Kondisi Umum Kawasan Penelitian
Air Terjun Timbulun berlokasi di bukit Air Muro bagian utara Sungai Nanam, dengan posisi geografis 1001’02”LS -100046’46” dan BT 1001’05” LS - 100047’16” BT. Nagari Sungai Nanam secara umum terletak di dataran tinggi dalam jajaran bukit barisan yang membentang dari utara ke selatan sepanjang 8,25 Km, dimulai dari Batang Tantak (Bukit Rampuang) tapal batas dengan Kecamatan Payung Sekaki, bagian selatan dengan Lasuang Lakek Kenagarian Alahan Panjang Kecamatan Lembah Gumanti, melebar dari timur ke barat dimulai dari Bukit Janjang tapal batas dengan Kecamatan Hiliran Gumanti dan Tigo Lurah, sebelah barat dengan Bukit Cambai tapal batas dengan Kecamatan Danau Kembar dan Lembang Jaya sepanjang 4,5 Km (Pemerintah Sungai Nanam 2003). Suhu rata-rata Nagari Sungai Nanam berkisar antara 15-320C, dengan ketinggian rata-rata 1500 m di atas permukaan laut.
Kawasan Air Terjun Timbulun secara geografis terletak di daerah tropis, sehingga mengalami dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Kawasan ini terdiri atas sungai yang terbentang dari utara ke selatan sepanjang ±600 m, yang memiliki 4 air terjun dengan 1 air terjun utama dengan ketinggian ±10 m. Kawasan ini dikelilingi oleh 3 perbukitan yang secara kepemilikan merupakan kepunyaan dari 3 suku di Nagari Sungai Nanam, yaitu Suku Panai, Suku Caniago dan Suku Kutianyia. Kondisi kawasan Air Terjun Timbulun masih sangat alami, dengan tutupan bermacam-macam vegetasi tropis dan kualitas perairan yang masih baik. Selain itu, perbukitan yang mengelilingi kawasan Air Terjun Timbulun memiliki potensi sebagai kawasan wisata karena memiliki pemandangan yang sangat menarik, berupa pemandangan perkampungan Nagari Sungai Nanam dengan suasana kawasan pertaniannya. Kawasan Air Terjun Timbulun juga merupakan kawasan yang strategis karena sudah dapat ditempuh menggunakan kendaraan bermotor. Terdapat 2 akses utama menuju kawasan, yaitu melalui jalan Sawah Liek Jorong Koto Sungai Nanam, atau melalui jalan lingkar bukit dari Jorong Lekok.
Kawasan Air Terjun Timbulun berada di Nagari Sungai Nanam dengan jarak ± 78 Km dari Kota padang atau ± 68 Km dari Kota Solok. Aksesibilitas menuju kawasan Danau Diatas dapat dijangkau melalui tiga jalur, dimana jalur ini merupakan paket wisata yang ditawarkan Propinsi Sumatera Barat antara lain : (a) Padang – Kebun Teh Kayu Aro – Alahan Panjang (Danau Diatas, Panorama Danau Kembar, Wisata Terpadu, Kawasan Air Terjun Timbulun dan Agro Wisata) – Danau Singkarak –Tanah Datar/Bukittinggi, (b) Mandeh – Alahan Panjang (Danau Diatas, Panorama Danau Kembar, Wisata Terpadu, Kawasan Air Terjun Timbulun dan Agro Wisata) - Danau Singkarak – Tanah Datar/Bukittinggi, (c) Bukittinggi/Tanah Datar – Danau Singkarak - Alahan Panjang (Danau Diatas, Panorama Danau Kembar, Wisata Terpadu, Kawasan Air Terjun Timbulun dan Agro Wisata) – Mandeh – Padang.
Jumlah stasiun penelitian yang dilakukan di kawasan Air Terjun terdiri atas 3 stasiun utama (stasiun 1, 2, dan 3) yang masing-masing stasiun terdiri atas 2 sub stasiun. Posisi geografis ke-3 stasiun tersebut disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Posisi georafis stasiun penelitian
No Stasiun Koordinat
Lintang Selatan Bujur Timur
1 Stasiun 1 100’58” 100047’19”
2 Stasiun 2 100’42” 100047’45”
3 Stasiun 3 100’10” 100047’42”
Keseluruhan kawasan Air Terjun Timbulun yang memiliki potensi sebagai kawasan wisata yaitu ±18 ha. Secara ekologi kawasan ini memiliki fungsi yang sangat penting bagi masyarakat Nagari Sungai Nanam. Saat ini masyarakat sekitar kawasan dan hampir 30% dari masyarakat Sungai Nanam memanfaatkan sumber mata air Air Terjun Timbulun sebagai sumber air minum, sehingga pengelolaan kawasan ini perlu dilakukan, selain sebagai wisata alternatif bagi masyarakat juga dalam rangka melindungi sumber air masyarakat. Hal ini perlu dilakukan karena saat ini banyak terjadi konversi hutan di sekitar kawasan Air Terjun Timbulun untuk dikonversi menjadi lahan pertanian, sehingga dikhawatirkan akan merusak kawasan tersebut.
Stasiun 1 Stasiun 2
Stasiun 3
18
Substrat dasar dari ke-3 stasiun memiliki perbedaan, hal ini diduga dikarenakan kemiringan lahan dari ke-3 stasiun berbeda. Stasiun 1 memiliki kemiringan lahan yang lebih landai dari kawasan yang lainnya yaitu sekitar 0-30% memiliki substrat batuan sungai yang lebih halus. Stasiun 2 adalah kawasan air terjun dengan tingkat kemiringan lahan hampir 80%, substrat berupa batuan besar dengan rata-rata diameter 1 m. Sedangkan stasiun 3 memiliki tingkat kemiringan yang lebih beragam dari yang landai hingga terdapat air terjun dengan ketinggian 2-3 m serta memiliki substrat batuan yang lebih beragam, mulai dari yang berupa kerikil hingga batuan besar dengan diameter mencapai 2 m. Selain daya tarik air terjun, pemandangan, dan kesejukan kawasan, keberadaan batuan-batuan besar juga menjadi daya tarik para wisatawan yang berkunjung ke kawasan ini.
Analisis Ekologi Kawasan Air Terjun Timbulun
Parameter fisika
Hasil pengukuran parameter fisika lingkungan perairan kawasan Air Terjun Timbulun memperlihatkan kondisi kawasan yang masih sangat alami dan belum mengalami pencemaran dari aktivitas manusia (Tabel 5).
Tabel 5 Nilai rata-rata parameter fisika kawasan Air Terjun Timbulun
Kondisi parameter fisika pada ke-3 stasiun pengamatan mencakup kondisi suhu, arus, debit, warna, bau, air terjun, dan topografi lahan. Suhu merupakan variabel lingkungan yang sangat penting, tidak hanya musiman, tetapi juga fluktuasi harian, karena pada perairan tipikal dangkal suhu mudah dipengaruhi oleh radiasi sinar matahari dan pendinginan pada malam hari, serta karena pengaruh angin (Williams 2006). Pada kawasan Air Terjun Timbulun, kondisi suhu dapat dikategorikan dingin hingga sejuk yaitu mulai dari 150C hingga 220C, namun pada musim panas dapat mencapai 320C. Sedangkan nilai suhu air saat
penelitian adalah sekitar 150C pada saat hujan dan 160C saat kondisi panas, sehingga dapat dikatakan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada perubahan suhu air. Hal ini diduga dikarenakan pengaruh iklim mikro dari tutupan vegetasi di sekitar perairan yang menyebabkan sinar matahari tidak langsung mengenai perairan. Tentunya hal ini juga baik bagi kehidupan organisme di perairan, karena dapat menjadi shading bagi kenyamanan organisme di perairan. Kondisi suhu udara dan air merupakan elemen kunci proses ekowisata, karena terkait dengan kenyamanan bagi pengunjung dalam beraktivitas di kawasan. Gambaran kehidupan organisme memperlihatkan bahwa pertama kalinya mereka harus bisa beradaptasi dengan suhu lingkungan, kemudian sumberdaya air yang tersedia di lingkungan tersebut (Al-Sayed dan Al-langawi 2003).
Suhu kawasan dapat menjadi daya tarik tertentu untuk peruntukan aktivitas wisata. Terutama bagi masyarakat yang biasa hidup di dataran rendah dengan suhu yang tinggi, mereka akan lebih tertarik untuk menikmati aktivitas wisata pada kawasan dengan suhu yang lebih dingin dan sejuk. Keberadaan suhu yang dingin dan sejuk umumnya terdapat di dataran tinggi dengan pegunungan yang masih memiliki hutan. Menurut Al-Sayed dan Al-langawi (2003) kondisi lingkungan juga dapat mempengaruhi keberadaan sumberdaya air, yaitu tidak adanya hujan pada musim kemarau panjang, atau tingginya tingkat penguapan pada suhu yang tidak normal (lebih tinggi). Tentunya kondisi seperti ini akan mempengaruhi keberadaan dan nilai keindahan dari Air Terjun Timbulun yang sebagian besar sumber air berasal dari air hujan. Kawasan Air Terjun Timbulun mengalami pengurangan debit karena tidak adanya air masuk dari air hujan pada musim panas, kondisi ini mulai terlihat pada saat dibandingkan antara kondisi hujan dan sesudah 2 minggu tidak hujan (Gambar 40).
Kawasan dengan ekosistem yang baik memiliki kondisi morfologi yang masih alami dan belum mengalami perubahan oleh aktivitas manusia. Morfologi sungai dan air terjun yang diukur saat penelitian mencakup tinggi air terjun, kedalaman, lebar sungai dan lebar badan sungai. Gössling (1999) menyatakan bahwa peningkatan aktivitas manusia, seperti peningkatan populasi, tekanan kerja, dan sempitnya lahan pemukiman, mengakibatkan eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya alam, sehingga mengubah lansekap suatu kawasan. Kondisi fisik dari suatu perairan akan mempengaruhi adaptasi dari spesies-spesies yang hidup di dalamnya atau yang dinamakan dengan “lansekap spesies” yaitu bermacam- macam kawasan ekologi serta dampaknya terhadap struktur dan fungsi ekosistem (Sanderson et al. 2002).
20
Kondisi Hujan Kondisi setelah 2 minggu tidak hujan
Ganbar 4 Perbedaan kondisi Air Terjun Timbulun pada kondisi hujan dan kondisi setelah 2 minggu tidak hujan
Kawasan Air Terjun Timbulun merupakan daerah hulu dari sungai-sungai besar yang mengalir menuju Samudera Hindia. Rata-rata daerah hulu adalah sungai-sungai yang mengalir dari sumber air berupa mata air, yang kemudian berkumpul menjadi sungai yang lebih besar. Sungai-sungai kecil ini merupakan sumber air bagi sungai-sungai yang lebih besar, sehingga menjadi point utama dalam pengelolaan suatu daerah aliran sungai (DAS). Kondisi fisik suatu kawasan perairan harus menjadi pertimbangan dalam pengelolaan suatu kawasan untuk peruntukan tertentu seperti konservasi alam, khususnya untuk perencanaan kawasan oleh ahli (Jessel dan Jacobs 2005).
Terdapat beberapa air terjun yang dapat menjadi objek wisata, dengan air terjun tertinggi adalah pada stasiun 2 yaitu ±10 m. Diharapkan dalam pengelolaan kawasan Air Terjun Timbulun sebagai kawasan ekowisata, struktur fisik merupakan pertimbangan utama. Hal ini dikarenakan beberapa jenis organisme yang hidup di perairan, seperti organisme bentik sangat bergantung pada kondisi fisik perairan, seperti kedalaman, substrat, dan hidromorfologi (Mereta et al. 2012). Sejak dahulu manusia sudah melakukan intervensi terhadap sungai, namun terkadang manusia tidak berhati-hati dalam memodifikasi karakteristik sungai tersebut, sehingga banyak sungai di dunia yang sudah mengalami perubahan dan rusak berat oleh aktivitas manusia dalam jangka panjang (Xu et al. 2012). Adanya kerusakan hidromorfologi perairan umumnya akan menimbulkan pengaruh berupa tekanan terhadap biota-biota sungai (Lautenschlager dan Kiel 2005). Kemiringan lahan ke-3 stasiun bervariasi, stasiun 1 lebih landai dengan kemiringan berkisar antara 0-30 %, stasiun 2 adalah stasiun yang paling curam yaitu berkisar antara 50-80 %. Sedangkan stasiun 3 memiliki kemiringan yang bervariasi dari 0 hingga
45 %. Kondisi kemiringan lahan yang berbeda kemudian mempengaruhi kondisi substrat, arus dan debit masing-masing perairannya.
Keberadaan arus dan debit sungai dan air terjun di kawasan wisata merupakan salah satu daya tarik bagi aktivitas wisata. Rendahnya tingkat hujan rata-rata pertahun juga mempengaruhi arus aliran sungai (Judova´ dan Jansky´ 2005). Arus sungai pada stasiun penelitian berkisar antara 26,7-33,3 cm/detik, sedangkan arus arus terjun berkisar antara 63-150 cm/detik. Pada kawasan Air Terjun Timbulun tidak terdapat gangguan dari aktivitas manusia, sehingga arus dan debit perairan merupakan arus dan debit alami perairan tersebut. Kondisi ini bisa menjadi rona awal lingkungan, sehingga dapat dijadikan sebagai indikator adanya perubahan arus dan debit jika terdapat aktivitas manusia di sekitar kawasan. Meskipun demikian, perubahan juga mungkin dikarenakan adanya pengaruh dari faktor-faktor alamiah, seperti perubahan iklim. Fieseler dan Wolter (2006) menyatakan bahwa, sungai-sungai kecil sangat dipengaruhi oleh variabel- variabel fisik seperti iklim, suhu, morfologi, sumber air, arus, dan gangguan- gangguan yang disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti pembendungan dan pencemaran. Arus juga merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi perubahan kondisi geomorfologi dari badan perairan (Burneo dan Gunkel 2003). Kondisi dan perubahan arus sungai tidak hanya dipengaruhi oleh iklim, seperti musim hujan dan musim panas, tapi juga dipengaruhi oleh faktor gradien lingkungan.
Isaac dan Hubert (2001) in Burneo dan Gunkel (2003) menyatakan bahwa, hubungan antara sungai di pegunungan dengan lingkungannya sangat erat, terutama kondisi geomorfologi karena adanya perubahan arus dan gradien sungai. Pengamatan kualitas air dilakukan pada bulan Februari dan Maret. Bberdasarkan time series curah hujan bulanan dari tahun 2007 hingga 2011 terlihat bahwa pada bulan Februari curah hujan rendah, sedangkan pada bulan Maret curah hujan cenderung lebih tinggi. Kondisi curah hujan juga dapat dijadikan sebagai dasar dalam penentuan kebijakan dalam pengelolaan, terkait dengan pengaruhnya terhadap kondisi kawasan, terutama kondisi geomorfologi kawasan sebagai objek utama aktivitas wisata.
Dubicki (2000) in Dubicki et al. (2005) menyatakan bahwa topografi kawasan memainkan peranan penting dalam proses presipitasi, massa udara lembab yang bertiup ke arah lereng pegunungan mempercepat jumlah pengembungan dan meningkatkan jumlah hujan. Kawasan Air Terjun Timbulun yang terdapat pada ketinggian 1500 dpl maka frekuensi hujan akan lebih tinggi. Yu et al. (2010) menyatakan bahwa, suhu dan curah hujan dipengaruhi oleh ketinggian kawasan, sedangkan aliran permukaan bisa diamati dalam kaitannya dengan musim hujan dan musim kemarau. Kondisi hidrologi dan kualitas air sangat sensitif terhadap perubahan iklim, termasuk perubahan kondisi suhu dan presipitasi (Wu et al. 2012).
Aliran sungai adalah indikator penting untuk mengamati aktivitas antropogenik. Apapun aktivitasnya baik itu pertanian, peternakan, industri, dan aktivitas manusia lainnya sebagian besar memberikan pengaruh terhadap kualitas perairan (Judova´ dan Jansky´ 2005). Salah satu pengaruh aktivitas manusia terhadap perairan adalah meningkatnya kekeruhan, yang kemudian akan mengurangi nilai estetika dan menganggu kehidupan organisme dari perairan tersebut. Beberapa aktivitas di sekitar kawasan Air Terjun Timbulun yang
22
berpotensi menimbulkan kekeruhan adalah pertambangan, aktivitas wisata, pertanian, dan aktivitas berburu. Rata-rata kondisi warna perairan selama penelitian adalah tidak berwarna dan tidak mengalami kekeruhan, hal ini dikarenakan pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari saat belum ada aktivitas masyarakat di sekitar kawasan, sehingga nilai kecerahan perairan mencapai 100% atau terlihat dasar perairan. Nilai kekeruhan berkisar antara 0,22- 0,88 NTU, nilai ini masih dapat dikategorikan perairan jernih, karena maksimal baku mutu perairan untuk air yang jernih adalah 5 NTU (UU No 82 Tahun 2001), sehingga dapat dikatakan nilai kekeruhan Air Terjun Timbulun masih tergolong rendah. Kekeruhan di kawasan Air Terjun Timbulun lebih banyak disebabkan oleh hujan, sehingga partikel-partikel dasar terangkat ke permukaan dan menyebabkan perairan keruh.
Parameter kimia
Kondisi perairan kawasan Air Terjun Timbulun secara kimia, melalui pengamatan oksigen terlarut, BOD, pH, total nitrogen dan total fosfat terlihat masih normal dan tidak mengalami pencemaran (Tabel 6).
Tabel 6 Nilai rata-rata parameter kimia kawasan Air Terjun Timbulun
Oksigen terlarut di kawasan Air Terjun Timbulun berkisar antara 6,2-7,2 mg/l dengan rata-rata 6,85 mg/l. Pengukuran oksigen terlarut dilakukan sebagai parameter pendukung yang dapat mencerminkan kondisi biota dan kesuburan perairan, karena oksigen terlarut merupakan senyawa kimia kimia utama yang dibutuhkan oleh biota-biota air. Konsentrasi oksigen terlarut pada perairan menjadi faktor kritis untuk kebanyakan organisme (Burneo dan Gunkel 2003). Selain itu, sebagai indikator kesuburan, oksigen terlarut dapat mencerminkan kondisi dari organisme penghasil oksigen, seperti perifiton dan tanaman air, serta dinamika air seperti arus. Perbedaan habitat organisme untuk hidup umumnya dipengaruhi oleh perbedaan ciri-ciri ekologis spesies, seperti kebiasaan makan dan kebutuhan oksigen terlarut, serta interaksi biotik (Sagnes et al. 2008). pH perairan yang diamati di setiap stasiun rata-rata sama yaitu 6,5. Kondisi pH masih termasuk normal yaitu pada kisaran 6-9. pH pada kisaran ini adalah pH yang ideal bagi kehidupan organisme atau biota perairan (Effendi 2003).
Oksigen terlarut di perairan sungai berasal dari difusi antara air dan udara karena adanya pergerakan air, seperti adanya arus. Oksigen juga dapat berasal dari hasil fotosintesis organisme autotrof di sungai yaitu alga perifiton, dan tanaman air. Berdasarkan pengamatan di sekitar kawasan Air Terjun Timbulun dengan
perairan yang berbatu, sehingga diduga penghasil utama oksigen terlarut di perairan berasal dari orgnisme perifiton dan difusi melalui arus air. Oksigen merupakan senyawa yang sangat penting bagi biota-biota di perairan, terutama bagi ikan dan serangga air yang umum ditemukan di kawasan ini, serta menjadi indikator bagi lingkungan perairan kawasan Air Terjun Timbulun. Dalam melakukan pengelolaan terhadap kawasan perairan ini hendaknya tetap dilakukan monitoring kondisi oksigen terlarut, karena dapat menggambarkan adanya perubahan kondisi perairan, serta masukan bahan pencemar.
Hasil pengkuran Biochemical Oxygen Demand (BOD) perairan Air Terjun Timbulun rata-rata 1,85 mg/l. Kebutuhan BOD merupakan gambaran secara tidak langsung kadar bahan organik menjadi karbondioksida dan air (Chapman 1996). Kondisi BOD dapat menggambarkan kondisi bahan organik dan pencemaran di perairan. Berdasarkan pengamatan, di kawasan Air Terjun Timbulun tidak terdapat pencemaran yang berasal dari aktivitas manusia, rata-rata bahan organik yaitu berasal dari serasah-serasah daun pepohonan yang jatuh ke air. Keberadaan serasah ini menjadi penyumbang nutrien bagi perairan, serta sebagai makanan bagi biota-biota dasar pemakan detritus, seperti beberapa jenis serangga air. Selain bermanfaat sebagai sumber makanan bagi biota-biota dasar perairan, keberadaan serasah juga mempengaruhi struktur dari substrat perairan.
Di kawasan perairan Air Terjun Timbulun terlihat bahwa stasiun 3 memiliki komposisi substrat serasah yang lebih banyak daripada stasiun lainnya. Komposisi serasah banyak ditemukan pada perairan dengan tutupan vegetasi yang rapat serta arus yang agak lambat, sehingga daun-daun yang jatuh ke perairan dapat menetap tanpa terbawa oleh arus. Pada kawasan-kawasan dengan karakteristik tersebut yaitu arus yang lambat dan memiliki komposisi substrat serasah yang lebih banyak, memperlihatkan nilai BOD yang lebih tinggi daripada daerah dengan arus kencang dan substrat yang di dominasi oleh kerikil.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di ke-3 stasiun pengamatan dapat dilihat bahwa konsentrasi total fosfat perairan berkisar antara 0,039 mg/l hingga 0,048 mg/l. Nilai tertinggi adalah terdapat pada stasiun 1, hal ini diduga karena stasiun 1 memiliki tutupan vegetasi yang lebih padat daripada stasiun 2 dan 3, serta arus yang lebih tenang, sehingga pengurairan bahan organik menjadi nutrien lebih efektif. Nilai konsentrasi total nitrogen (TN) yang terukur berkisar antara 0,281 mg/l hingga 0,299 mg/l. Kondisi total nitrogen di keseluruhan stasiun terlihat hampir seragam, diduga karena tidak adanya masukan bahan organik dari aktivitas manusia, sehingga kondisi nutrien perairan masih merupakan jumlah normal yang dihasilkan perairan secara alami. Produktivitas perairan tawar secara umum dibatasi oleh keberadaan unsur P (fosfor), peningkatan unsur P diperairan berasal dari sumber internal dan eksternal. Sumber internal berasal dari hasil dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme, dan sumber eksternal berasal dari luar perairan. Penurunan kadar P terjadi karena dimanfaatkan oleh fitoplankton dan organisme autotrof lainnya untuk tumbuh (Kopacek et al. 2000). Keberhasilan pertumbuhan fitoplankton dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya, suhu yang mendukung, serta nutrien, salah satunya adalah keberadaan unsur P.
Parameter biologi
Pengamatan parameter biologi kawasan mencakup kondisi keanekaragaman dan keseragaman perifiton, komposisi kepadatan serangga air, tutupan vegetasi,
24
keberadaan ikan dan burung di sekitar kawasan. Secara ekologi, organisme- organisme yang diamati merupakan bagian yang sangat penting dalam mendukung keseimbangan ekosistem kawasan Air Terjun Timbulun, terutama dalam rantai makanan dan produktivitas perairan. Pengamatan perifiton dilakukan pada substrat batuan di dasar sungai, batuan yang dikerik adalah batuan yang terendam air, tetapi masih mendapat paparan cahaya matahari (Tabel 7).
Tabel 7 Kelimpahan perifiton di kawasan Air Terjun Timbulun
NO Organisme Kelimpahan (ind/cm2)
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Bacillariophyceae 1 Achnanthes 4 0 5 2 Amphiprora 0 8 0 3 Cymbella 28 193 1050 4 Flagillaria 37 384 544 5 Navicula 3 10 20 6 Nitzhia 15 69 87 7 Pleurosigma 0 2 0 8 Strauroneis 3 34 7 Chlorophyceae 1 Melosira 17 12 279 2 Oscillatoria 6 673 348
Perifiton merupakan organisme autotrof yang menempel pada substrat yang beradaptasi terhadap kondisi perairan yang berarus. Perifiton merupakan salah satu penghasil oksigen di perairan sungai, terutama daerah hulu yang memiliki karakteristik fisik khusus yaitu dangkal dan berarus deras. Jenis-jenis perifiton yang banyak ditemukan pada ke-3 stasiun pengamatan rata-rata didominasi oleh fitoplankton yaitu dari kelas Bacillariophyceae dan Chlorophyceae. Karrasch et al. (2001) menyatakan bahwa, struktur dan proses ekologi dari kolom perairan baik autotrof maupun heterotrof dapat digambarkan oleh organisme plankton, terutama fitoplankton untuk perairan eutrofik.
Beberapa jenis perifiton yang mendominasi yaitu Cymbella dan Flagillaria dari kelas Bacillariophyceae dan Oscillatoria dari kelas Chlorophyceae, dengan kelimpahan tertinggi pada stasiun 3. Hal ini diduga karena stasiun 3 memiliki tutupan vegetasi yang paling jarang di antara ke-3 stasiun, sehingga cahaya matahari lebih intensif masuk ke perairan dan memungkinkan untuk kehidupan perifiton. Kualitas air di sungai merupakan permasalahan penting dalam pengelolaan lingkungan perairan (Xu et al. 2012). Penilaian kondisi ekologi Berdasarkan parameter biologi kawasan Air Terjun Timbulun, menggunakan data kelimpahan perifiton untuk mendapatkan nilai indeks keanekaragaman (H) dan keseragaman (E). Perifiton merupakan salah satu flora perairan yang digunakan sebagai bioindikator dalam penilaian kualitas lingkungan perairan (Feld et al. 2002). Bioindikator tidak hanya menunjukkan interaksi jangka panjang, tapi juga perubahan mendadak faktor-faktor lingkungan. Perifiton merupakan salah satu
bioindikator yang digunakan untuk ekosistem sungai, karena sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan, selain itu perifiton juga merupakan dasar dari rantai makanan di ekosistem sungai (Li et al. 2010).
Nilai indeks keanekaragaman (H) dan indeks keseragaman (E) di setiap stasiun baik berkisar antara 0,5-0,8 (Tabel 8). Kondisi ini hampir sama pada setiap stasiun. Kondisi keanekaragaman dan keseragaman jenis yang rendah akan sangat sensitif terhadap adanya gangguan terhadap lingkungannya, sehingga kondisi perairan dan komposisi dari komunitas perifiton dapat berubah-ubah, hal ini mengindikasikan kondisi perairan menjadi labil atau stabilitasnya rendah.
Tabel 8 Indeks Keanekaragaman (H) dan Keseragaman (E) perifiton
Stasiun Spesies H maks H E
1 8 0,9031 0,7484 0,8287
2 9 0,9542 0,5812 0,609
3 8 0,9031 0,6205 0,6871
Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian terlihat bahwa kestabilan perairan sangat mudah dipengaruhi oleh perubahan lingkungan dan aktivitas manusia, seperti mudah menjadi keruh. Kondisi cuaca yang berubah-ubah seperti ada tidaknya hujan mengakibatkan perairan cepat menjadi banjir pada saat hujan, dan cepat menjadi kering pada saat panas. Perubahan kondisi ini dapat dilihat sesudah 2 minggu tidak hujan. Hal ini diduga disebabkan oleh morfologi badan perairan, dengan lebar sungai kecil dan dangkal. Perifiton merupakan organisme