• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Gizi Subjek

Penilaian status gizi subjek menggunakan indikator Indeks Massa Tubuh (IMT) selanjutnya dikategorikan menjadi normal (18.5-25 kg/m2), overweight

(25.1-27 kg/m2), dan obes (>27 kg/m2) (Almatsier, 2004).

Status gizi subjek berdasarkan IMT (indeks massa tubuh) ditampilkan pada Tabel 6. Terlihat pada Tabel 6 bahwa sebagian besar subjek (63.64%) memiliki status gizi overweight, masing-masing 18.18% subjek memiliki status gizi normaldan obes. Status gizi subjek yang sebagian besar memiliki status gizi lebih (overweight dan obes) dimana orang yang memiliki status gizi lebih (overweight maupun obes) memiliki komposisi lemak tinggi sehingga memiliki risiko gangguan toleransi glukosa yang dapat mengakibatkan pradiabetes dan diabetes (Wulandari 2014). Penelitian sebelumnya di India menunjukkan dimana status gizi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya diabetes mellitus dimana dari 59 subjek wanita terdapat 35.6% yang memiliki status gizi obes 1 dan 15.3% yang memiliki status gizi obes 2 (Manasagangotri 2007). Penelitian sejenis yang dilakukan di Manado menunjukkan sebagian besar pasien diabetes memiliki status gizi lebih. Hal ini yang dikarenakan faktor gaya hidup seperti kelebihan berat badan atau tidak berolahraga sangat terkait dengan perkembangan diabetes tipe 2 (Awad et al. 2013). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa penderita pradiabetes memiliki IMT dan lingkar pinggang yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang dengan kadar glukosa darah normal (Geiss et al. 2010).

Tabel 6 Sebaran status gizi subjek

Status gizi n %

Normal 2 18.18

Overweight 7 63.64

Obese 2 18.18

Total 11 100

Berbeda dengan penelitian lain, penelitian yang dilakukan Haffner et al.(1990) menunjukkan bahwa IMT tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian diabetes, namun status gizi dapat meningkatkan risiko diabetes dengan meningkatkan resistensi insulin. Selain berdasarkan hasil penelitian Trisnawati (2013) itu kondisi obesitas berdasarkan IMT ditentukan oleh bentuk dan proporsi tubuh sehingga belum tentu memberikan status obesitas yang sama pada semua populasi terutama pada usia lanjut dan pada atlet yang banyak otot.

Karakteristik Subjek

Berdasarkan hasil cleaning data, telah diperoleh subjek yang memiliki data lengkap berjumlah 11 orang. Tabel 7 menunjukkan data karakteristik subjek yang meliputi usia, pendidikan terakhir, status pernikahan, besar keluarga berdasarkan status gizi. Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar keluarga subjek

24

(63.6%) termasuk dalam kategori keluarga kecil yaitu keluarga yang memiliki anggota keluarga tidak lebih dari empat orang (Hurlock 1997).

Tabel 7 Sebaran karakteristik subjek

Variabel n % Usia (Tahun) Dewasa lanjut (41-60) 7 63.6 Dewasa awal (20-40) 4 36.4 Total 11 100.0 Status pernikahan Menikah 10 90.9 Cerai hidup 1 9.1 Total 11 100.0 Pendidikan Terakhir

Tidak tamat SD dan SD 9 81.8

SMP-SMA 2 18.2 Total 11 100.0 Besar keluarga Keluarga kecil (≤ 4) 7 63.6 Keluarga besar (> 4) 4 36.4 Total 11 100.0

Berdasarkan sebaran karakteristik subjek pada Tabel 7, sebagian besar subjek termasuk dalam kelompok usia dewasa lanjut (41-60 tahun) (63.6%) dengan tingkat pendidikan rendah (81.8%) dan memiliki status pernikahan menikah (90.9%). Adapun sebagian besar keluarga subjek termasuk dalam ukuran

keluarga kecil (≤ 4 anggota keluarga) (63.6%). Menurut Yuliasih dan Wirawanni (2009) selain status gizi, kejadian diabetes mellitus tipe 2 juga dipengaruhi oleh faktor usia dimana kelompok usia lebih dari 40 tahun memiliki resiko lebih tinggi dibandingkan dengan usia dibawah 40 tahun. Hasil penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa kelompok umur <45 tahun 72 % lebih rendah dibanding

kelompok umur ≥45 tahun (Trisnawati dan Setyorogo 2013). Hal sejalan juga ditunjukkan oleh hasil dari National Health and Nutrition Examination Survey

(NHANES) menunjukkan bahwa kejadian TGT dan GPT lebih sering ditemui pada usia >40 tahun (Tabák et al. 2012).

Risiko diabetes meningkat seiring dengan umur, khususnya pada usia lebih dari 40 tahun, disebabkan karena pada usia tersebut mulai terjadi peningkatan intoleransi glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan berkurangnya

kemampuan sel β pancreas dalam memproduksi insulin. Selain itu pada individu

yang berusia lebih tua terdapat penurunan aktivitas mitokondria di sel-sel otot sebesar 35%. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar lemak di otot sebesar 30% dan memicu terjadinya resistensi insulin (Trisnawati dan Setyorogo 2013). Selain itu prevalensi obes sentral, faktor risiko pradiabetes, pada orang dewasa lebih tinggi pada orang dewasa berumur 55 tahun atau lebih (Sugianti et al. 2009; Janghorbani et al. 2007). Kejadian obes sentral ini dikarenakan peningkatan pnumpukan lemak seiring dengan pertambahan umur seseorang (Martins & Marinho 2003).

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan subjek dari satuan Ukuran Rumah Tangga (URT) dikonversikan ke dalam satuan gram dan diolah menggunakan Tabel Komposisi Pangan Indonesia (TKPI). Kecukupan energi dan zat gizi subjek dihitung menggunakan Angka Kecukupan Gizi (AKG) menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) 2013 dengan koreksi BB aktual subjek.

Tingkat konsumsi energi dan zat gizi diperoleh dengan membandingkan konsumsi energi dan zat gizi dengan kecukupan energi dan zat gizi subjek. Rata-rata konsumsi gizi subjek selama intervensi adalah 1727.1 kkal energi, 44.60 g protein, 40.81 g lemak dan 282.3 g karbohidrat. Berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG 2013) untuk wanita berusia 20 sampai 60 tahun, diperoleh rata-rata persentase tingkat konsumsi energi, protein, lemak dan karbohidrat selama intervensi masing-masing 80.79%, 75.93%, 72.45% dan 89.78% (Tabel 8).

Tabel 8 Rata-rata asupan dan tingkat konsumsi subjek

Energi/Zat Gizi Rata-rata±SD

Energi Asupan (kkal) 1727.1 ± 327.4 Tingkat konsumsi (%) 80.79±12.17 Protein Asupan (g) 44.60±9.30 Tingkat konsumsi (%) 75.93±12.73 Lemak Asupan (g) 40.81±15.13 Tingkat konsumsi (%) 72.45±24.51 Karbohidrat Asupan (g) 282.3±46.7 Tingkat konsumsi (%) 89.78±13.47

Tingkat konsumsi energi dan karbohidrat subjek masih tergolong defisit tingkat ringan (80-89%) begitupun pada tingkat konsumsi protein dan lemak yang tergolong defisit tingkat sedang (70-79%) (Kusharto dan Supariasa 2014).

Tingkat kecukupan energi dan zat gizi subjek dikategorikan kedalam lima kelompok yaitu defisit tingkat berat, defisit tingkat sedang, defisit tingkat ringan, cukup, dan lebih. Berdasarkan kategori tingkat kecukupan pada Tabel 9, sebagian besar subjek memiliki tingkat kecukupan energi defisit tingkat ringan dan sedang (masing-masing 36.4%), tingkat kecukupan protein defisit tingkat ringan,sedang dan berat (masing-masing 27.3%), tingkat kecukupan lemak defisit tingkat berat (45.5%), dan tingkat kecukupan karbohidrat cukup (72.7%). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Waloya (2013) pada dewasa di Bogor dimana tingkat kecukupan energi sebagian besar subjek masih berada dalam kategori defisit.

Rendahnya asupan energi mempengaruhi kadar glukosa darah karena semakin tinggi energi memacu resistensi insulin maka resistensi insulin dapat dikendalikan dan tidak terjadi peningkatan kadar GDP. Hal ini dapat memberikan efek perancu pada hasil penelitian (dijelaskan pada Tabel 12 dan Tabel 14).

26

Tabel 9 Tingkat kecukupan energi dan zat gizi makro subjek

Tingkat kecukupan n %

Energi

Defisit tingkat berat 1 9.1

Defisit tingkat sedang 4 36.4

Defisit tingkat ringan 4 36.4

Cukup 2 18.2

Protein

Defisit tingkat berat 3 27.3

Defisit tingkat sedang 3 27.3

Defisit tingkat ringan 3 27.3

Cukup 2 18.2

Lemak

Defisit tingkat berat 5 45.5

Defisit tingkat sedang 1 9.1

Defisit tingkat ringan 2 18.2

Cukup 3 27.3

Karbohidrat

Defisit tingkat berat 1 9.1

Defisit tingkat sedang 1 9.1

Defisit tingkat ringan 1 9.1

Cukup 8 72.7

Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik subjek dihitung menggunakan short form dari IPAQ. Aktivitas fisik adalah variabel utama setelah angka metabolisme basal dalam penghitungan pengeluaran energi (WHO 2004). Short form IPAQ ini menanyakan mengenai tiga tipe aktivitas fisik yaitu berjalan, aktivitas sedang dan aktivitas berat kemudian dikonversi ke METs (energi yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas) (IPAQ, 2005).

Latihan fisik pada penderita DM memiliki peranan yang sangat penting dalam mengendalikan kadar gula dalam darah, dimana saat melakukan latihan fisik terjadi peningkatan pemakaian glukosa oleh otot yang aktif sehingga secara langsung dapat menyebabkan penurunan glukosa darah (Indriyani et al. 2010). Untuk penderita DM tipe 2 disarankan untuk melakukan aktivitas fisik selama 10-15 menit/sesi dan disesuaikan dengan rekomendasi pengeluaran energi aktivitas tersebut ditingkatkan paling tidak 30 menit setiap harinya (Albright et al. 2000).

Beberapa penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas fisik disertai dengan perubahan pola makan secara terus menerus dapat mencegah perkembangan pradiabetes menjadi diabetes melitus tipe 2 (Yates et al. 2007). Sejalan dengan hasil penelitian tersebut American Diabetes Association

(ADA) merekomendasikan aktivitas fisik dengan intensitas sedang selama 150 menit/minggu untuk mencegah progresivitas prediabetes menjadi diabetes melitus tipe 2 (Eikenberg & Davy 2013).

Tabel 10 Sebaran subjek berdasarkan kategori aktivitas fisik

Kategori aktivitas fisik n %

Rendah 3 27.3

Sedang 8 72.7

Total 11 100.0

Berdasarkan Tabel 10, sebagian besar subjek memiliki aktivitas sedang (72.7%). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa aktivitas fisik rendah merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pradiabetes dan diabetes. Menurut Trisnawati dan Setyorogo (2013), individu yang memiliki aktivitas fisik berat memiliki risiko lebih rendah dibandingkan dengan individu yang memiliki aktivitas fisik ringan (OR 0.239 (95%CI 0.071-0.802) menderita diabetes mellitus. Penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa latihan fisik (senam aerobik) berpengaruh terhadap penurunan kadar gula darah (Indriyani et al. 2010). Penurunan kadar gula darah pada penderita pradiabetes tersebut disebabkan oleh peningkatan sensitivitas insulin yang merupakan hasil dari perubahan yang terjadi pada beberapa organ dan jaringan, termasuk adiposa, otot, hati, dan pankreas (Burr et al. 2010). Oleh karena itu aktivitas fisik dapat memberikan efek perancu pada hasil akhir penelitian sehingga dilakukan analisis lebih lanjut untuk melihat pengaruh tersebut (Tabel 12 dan Tabel 14).

Pengaruh Intervensi Minuman Secang terhadap Glukosa Darah Puasa Kadar glukosa darah bergantung pada keseimbangan antara pemanfaatan glukosa, asupan makanan, dan produksi glukosa endogen. Glukosa dalam darah berasal dari 3 sumber yaitu absorpsi karbohidrat, glikogenolisis, dan glukoneogenesis. Glukosa yang terkandung dalam darah diangkut ke dalam sel dan akan melalui beberapa jalur metabolisme yaitu disimpan sebagai cadangan (glikogen) atau mengalami glikolisis menjadi piruvat. Pada saat kadar glukosa darah rendah, cadangan (glikogen) dan/atau piruvat akan diubah menjadi glukosa kemudian dilepaskan ke sirkulasi darah oleh hati dan ginjal. Setelah makan, hasil penyerapan glukosa dapat meningkatkan kadar glukosa darah hingga lebih dari dua kali hasil produksi glukosa endogen, bergantung pada kandungan karbohidrat dari makanan dan tingkat serta derajat penyerapan glukosa. Saat terjadi penyerapan glukosa setelah makan, produksi glukosa endogen akan ditekan, dan pemanfaatan glukosa oleh hati, otot, dan jaringan lemak akan ditingkatkan (Giugliano et al. 2008).

Pradiabetes adalah suatu keadaan di mana kadar glukosa darah seseorang beradadi atas normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikategorikan ke dalam kondisi diabetes (Price 2005). Toleransi glukosa terganggu (TGT) merupakan suatu keadaan pradiabetes yang terdeteksi di mana kadar glukosa darah 2 jam post prandial mencapai 140-199 mg/dl. Diagnosis TGT ditetapkan apabila kadar glukosa darah seseorang 2 jam setelah mengkonsumsi 75 gram glukosa per oral berada di antara 140-199 mg/dl. Sedangkan GPT adalah suatu kondisi pradiabetes di mana terdiagnosis kadar glukosa darah puasa pada selang 100-125 mg/dl (Nathan et al. 2007). Sebanyak 5-10% penderita pradiabetes menjadi penderita diabetes setiap tahunnya dibandingkan dengan kondisi normoglikemik (WHO

28

2006). Kondisi hiperglikemik pada pradiabetes dipengaruhi oleh peningkatan produksi glukosa endogen dan pemanfaatan perifer berkurang. Produksi glukosa endogen berasal dari hati melalui jalur glukoneogenesis dan glikogenolisis (Harvey dan Ferrier 2011).

Berdasarkan Tabel 11, setelah pemberian minuman secang sebanyak 3x200mL selama 28 hari dengan rata-rata tingkat kepatuhan 98.3% terjadi penurunan kadar glukosa darah puasa yang signifikan (p<0.05) sebanyak 14.36 mg/dl (rata-rata). Hal ini sejalan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya dimana ekstrak kayu secang secara signifikan dapat menurunkan kadar glukosa pada plasma darah tikus diabetes (Moon et al. 1990 dalam Indariani 2011) selain itu pemberian ekstrak kayu secang dengan dosis 100mg/kgBB selama 15 hari dapat menurunkan kadar glukosa sewaktu pada tikus diabetes secara signifikan daripada pemberian glibenclamide 5 mg (Swatriani 2012).

Tabel 11 Kadar GDP sebelum dan setelah intervensi

Fase Rata-rata GDP (mg/dL)

Sebelum 109.64±6.87

Setelah 95.27±21.41

Selisih -14.36±19.19

p- value 0.032*

Data disajikan dengan mean ± standar deviasi

*Signifikan berbeda antara sebelum dan setelah intervensi

Selain secang, terdapat beberapa tanaman yang memiliki efek antihiperglikemik diantaranya kayu manis (Cinnamomum cassia), pare (Momordica charantia), pohon Ara (Ficus racemosa Linn.), korakan atau finger millet

(Eleusine coracana L.) dan kelapa sawit afrika (Elaeis guineensis) (Ziegenfuss et al. 2006; Efird et al. 2014; Veerapur et al. 2012; Devi et al. 2014; Kalman et al. 2013). Penelitian sebelumnya pada dewasa dengan pradiabetes menunjukkan bahwa pemberian ekstrak kayu manis dalam bentuk suplemen (Cinnulin PF 2x250mg) yang setara dengan 10 g bubuk kayu manis selama 12 minggu dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa secara signifikan sebanyak 9.8 mg/dL (rata-rata) (Ziegenfuss et al. 2006). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun kelapa sawit afrika dalam bentuk suplemen (OPLE 2x250mg) selama 8 minggu dpat menurunkan kadar glukosa darah puasa secara signifikan sebanyak 7.7 mg/dL (rata-rata) pada dewasa dengan pradiabetes (Kalman et al. 2013).

Komponen dalam ekstrak secang yang diduga memiliki efek antihiperglikemik adalah brazilin dan tanin (Indariani 2011 dan Diana 2010). Efek antihiperglikemik brazilin disebabkan oleh peningkatan metabolisme glukosa di perifer termasuk transport glukosa, sintesis glikogen dan pengikatan insulin di adiposa, hati dan otot (Khil et al. 1999; Won et al. 2004; Moon et al. 1990). Menurut You et al. (2005), brazilin dapat meningkatkan glikolisis dan menekan glukoneogenesis di hati dengan meningkatkan produksi fruktosa-2,6-bifosfat melalui peningkatan level fructosa-6-fosfat dan hexose-6-fosfat dalam sel (Gambar 8). Fruktosa-2,6-bisfosfat berperan penting dalam pengaturan glukoneogenesis dan glikolisis di hati dimana fruktosa-2,6-bifosfat bertindak sebagai sinyal intraselular (Harvey dan Ferrier 2011). Selain menekan produksi

glukosa dari hati, brazilin meningkatkan tranpor glukosa dengan menstimulasi translokasi glukosa transpor dari intraselular ke membran plasma pada sel adiposit (Khil et al. 1999). Kandungan tanin pada ekstrak secang memiliki aktivitas

inhibisi terhadap enzim α-glukosidase dan α-amilase. Tanin dapat membentuk kompleks dengan protein enzim sehingga menurunkan kemampuan enzim α

-glukosidase dan α-amilase sebagai katalisator dalam pencernaan karbohidrat.

Gambar 8 Pengaruh fruktosa-2,6-bifosfat pada proses glikolisis (Harvey & Ferrier 2011).

Selain dari minuman secang, kadar glukosa juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya, pada penelitian ini faktor perancu (confounding factor) yang diteliti adalah tingkat kecukupan, usia, status gizi dan aktivitas fisik. Untuk menilai pengaruh faktor perancu tersebut terhadap perubahan kadar glukosa dilakukan analisis regresi linier.

Tabel 12 Pengaruh faktor perancu terhadap perubahan kadar glukosa darah

Faktor Perancu p value*

Tingkat kecukupan energi 0.157

Tingkat kecukupan protein 0.202

Tingkat kecukupan lemak 0.183

Tingkat kecukupan karbohidrat 0.216

Usia 0.088

Status Gizi 0.112

Aktivitas fisik 0.097

R square: 0.829, p value 0.295 (ANOVA)

* p value masing-masing faktor perancu. Tidak signifikan p > 0.05

Berdasarkan Tabel 12, hasil uji regresi linier didapatkan p value 0.295 yang berarti menunjukkan bahwa secara keseluruhan faktor perancu tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan kadar glukosa darah. Hasil yang sama juga ditunjukkan dengan p value masing-masing faktor perancu (p value> 0.05).

30

Pengaruh Intervensi Minuman Secang terhadap Kadar Insulin Puasa Kadar glukosa dalam darah diatur oleh keseimbangan fisiologis beberapa hormon yaitu insulin yang berfungsi untuk menurunkan kadar glukosa darah dan glukagon, epinefrin, glukokortikoid serta growth hormone yang berfungsi meningkatkan kadar glukosa darah untuk mencegah hipoglikemik (Price dan Wilson 2005). Insulin adalah hormon polipeptida yang dihasilkan oleh selβdari pulau Langerhans di pankreas. Sel β adalah sel pendeteksi glukosa yang paling penting dalam tubuh dimana sel β mengandung transporter GLUT-2 (seperti hati) dan memiliki aktivitas glukokinase. Glukokinase adalah enzim yang berperan penting pada fosforilasi glukosa dan bertindak sebagai sensor glukosa yang menentukan jumlah sekresi insulin (Harvey & Ferrier 2011).

Insulin berfungsi untuk meningkatkan proses penyimpanan energi di hati, otot, dan adiposa dengan meningkatkan sintesis glikogen di otot dan adiposa serta meningkatkan jumlah transporter glukosa (GLUT-4) di membran sel. Selain itu, insulin juga menurunkan produksi glukosa melalui penghambatan glikogenolisis dan glukoneogenesis di hati (Harvey & Ferrier 2011).

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kadar insulin puasa bisa digunakan untuk mengidentifikasi pradiabetes dimana orang dengan konsentrasi insulin puasa lebih tinggi memiliki risiko lebih besar memiliki pradiabetes (Johnson et al. 2010). Penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa sebagian besar memiliki penderita pradiabetes memiliki konsentrasi insulin yang tinggi dan memiliki risiko diabetes lebih tinggi. Resistensi insulin sering dianggap sebagai salah satu tanda dari menurunnya daya kerja pankreas, hal ini dapat menyebabkan resistensi insulin kronis dimana terjadi hipersekresi insulin untuk mempertahankan homeostasis glukosa dan yang pada akhirnya dapat mengakibatkan diabetes mellitus jika hipersekresi glukosa oleh pankreas gagal (Haffner et al. 1990).

Kadar insulin puasa sebelum dan setelah pemberian minuman secang sebanyak 3x200mL selama 28 hari dengan rata-rata tingkat kepatuhan 98.3% menunjukkan peningkatan sebesar 1.19 µIU/mL (rata-rata), namun secara statistik tidak mengalami perubahan yang signifikan dimana nilai p> 0.05. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya dimana kandungan brazilin dari secang secara signifikan dapat menurunkan kadar glukosa pada plasma darah tikus diabetes tetapi tidak meningkatkan kadar insulin (Indariani 2011). Berbeda dengan secang, ekstrak daun kelapa sawit (Elaeis guineensis) dapat menurunkan kadar insulin puasa secara signifikan sebanyak 5.4 µIU/mL (rata-rata) pada dewasa dengan pradiabetes.

Tabel 13 Kadar insulin puasa sebelum dan setelah intervensi

Fase Rata-rata Insulin Puasa (µIU/mL)

Sebelum 12.77±5.47

Setelah 13.96±8.56

Selisih 1.19±5.31

p- value 0.863

Data disajikan dengan mean ± standar deviasi *Signifikan berbeda sebelum dan setelah intervensi

Menurut Moon et al. (1990), efek antihiperglikemik brazilin pada tikus diabetes tidak mempengaruhi daya kerja pankreas karena terdapat perubahan kadar insulin plasma yang signifikan. Aktivitas antihiperglikemik brazilin membantu kerja insulin dalam penyerapan glukosa dari aliran darah kedalam sel adiposa dengan meningkatkan translokasi glukosa transport (khususnya GLUT4) seperti yang ditampilkan pada langkah kedua Gambar 9 ( Khil et al.1999; Harvey dan Ferrier 2011).

Gambar 9 Mekanisme aksi insulin (Harvey & Ferrier 2011)

Kenaikan glukosa darah yang disebabkan oleh konsumsi glukosa atau karbohidrat dapat meningkatkankan sekresi insulin (serta penurunan sintesis dan pelepasan glukagon). Hal ini dikarenakan glukosa merupakan stimulus yang paling penting untuk sekresi insulin dan juga dapat meningkatkan ekspresi gen untuk produksi insulin (Harvey & Ferrier 2011). Selain konsumsi, kadar insulin puasa juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya, pada penelitian ini faktor perancu (confounding factor) yang diteliti adalah tingkat kecukupan, usia, status gizi dan aktivitas fisik. Untuk menilai pengaruh faktor perancu tersebut terhadap perubahan kadar insulin puasa dilakukan analisis regresi linier. Berdasarkan Tabel 14, hasil uji regresi linier didapatkan p value 0.250 yang berarti menunjukkan bahwa secara keseluruhan faktor perancu tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan kadar insulin darah. Hasil yang sama juga ditunjukkan dengan

p value masing-masing faktor perancu (p value> 0.05).

Tabel 14 Pengaruh faktor perancu terhadap perubahan kadar insulin puasa

Faktor Perancu p value*

Tingkat kecukupan energi 0.659

Tingkat kecukupan protein 0.867

Tingkat kecukupan lemak 0.310

Tingkat kecukupan karbohidrat 0.314

Usia 0.454

Status Gizi 0.308

Aktivitas fisik 0.371

R square: 0.850, p value 0.250 (ANOVA)

32

Dokumen terkait