• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat sintasan hewan uji (SR ) adalah merupakan persentase dari jumlah hewan uji yang hidup pada akhir penelitian dengan jumlah hewan uji pada awal penelitian yang dipelihara dalam suatu unit penelitian (Effendie 1985 ). Hasil perhitungan survival rate atau sintasan ikan beronang yang disuntik vaksin dan diuji tantang dengan bakteri vibrio adalah sebagai berikut.

Tabel 4 Data pengaruh vaksin terhadap kelulusan hidup ikan pasca uji tantang

Metode injeksi ulangan Jumlah Rerata 1 2 3 Priming 3 3 2 8 2,666 a Booster 1 minggu 4 3 4 11 3,666 b Booster 2 minggu 5 4 4 13 4,333 b Kontrol 0 1 0 1 0,333 c Jumlah 12 11 10 33 10,998

Keterangan : huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata antarperlakuan pada taraf 5% (P<0.05)

Berdasarkan table diatas maka dapat diketahui bahwa SR atau tingkat kelulusan hidup ikan baronang tertinggi didapatkan pada perlakuan booster vaksin 2 minggu (4,33), kemudian diikuti oleh perlakuan boster vaksin 1 minggu (3,66), lalu suntik vaksin dengan cara priming (2,66) dan terakhir adalah perlakuan Kontrol (0,33) yang nyaris mendekati titik terendah atau nol. Hasil penelitian ini senada dengan pernyataan Jhonny F (2004 ) bahwa dalam

serangan bakteri vibrio umumnya akan memperlihatkan gejala mortalitas yang sangat cepat dan hampir 100 % dihari kedua atau ketiga setelah infeksi.

Hasil analisis sidik ragam (ANSIRA) menunjukkan bahwa penerapan atau penggunaan vaksin dalam menangkal serangan bakteri pathogen vibrio memberikan pengaruh yang sangat nyata dimana nilai F hitung sebanyak 27,84 jauh diatas Ftabel 1% (uji taraf tinggi ) yang hanya sebesar 7,59 dan Ftabel 5%(uji taraf rendah ) yang sebesar 4,07. Dari hasil ANSIRA juga dapat disimpulkan bahwa pemberian vaksin dalam menangkal serangan vibrio berhasil dengan sangat baik dan berarti pula ada salah satu perlakuan yang pengaruhnya sangat menonjol dibandingkan dengan kontrol yakni perlakuan booster 2 minggu. Sementara itu nilai koefisien keragaman (KK ) 5,2 % maka dilakukan uji lanjutan yakni uji beda nyata terkecil (BNT).

Hasil uji BNT menunjukkan hasil yang cukup variatif dimana perlakuan booster vaksin 2 minggu (B2) tidak berbeda nyata dengan perlakuan vaksin 1 minggu (B1) namun sangat berbeda nyata dengan perlakuan priming (P) dan perlakuan kontrol (K). Sementara perlakuan B1 berbeda nyata dengan perlakuan P dan berbeda sangat nyata dengan perlakuan K dan terakhir perlakuan P juga menunjukkan hasil berbeda sangat nyata dengan perlakuan K. Berikut gambaran histogram tingkat SR ikan selama perlakuan.

Gambar 4 Survival Rate Ikan uji selama penelitian

Perlakuan vaksin B2 dan B1 menunjukkan hasil yang sangat memuaskan dalam hal meningkatkan sintasan ikan yang diuji tantang karena vaksin yang diberikan secara booster mampu meningkatkan level antibodi dan daya memorizing terhadap antigen spesifik yang masuk. Vaksin yang masuk pertama kali akan direspon oleh limfosit darah ikan dengan cara membentuk sell B dan sel B inilah yang membentuk antibodi spesifik dan melakukan proses memorizing (pengenalan reseptor ) sehingga ketika vaksin atau antigen spesifik masuk untuk yang kedua kalinya sistem imun atau limfosit akan menghasilkan antibody dalam jumlah yang cukup untuk protektif karena telah terjadi pengenalan antigen tersebut sebelumnya. Meskipun hasil antara Booster 2 minggu dan booster 1 minggu menunjukkan hasil tidak beda nyata tapi lebih disarankan untuk menggunakan metode vaksin booster 2 minggu karena terbukti lebih tinggi tingkat sintasan ikan yang diuji tantang dengan bakteri vibrio.

Sementara itu tingkat kelulusan hidup ikan yang divaksin dengan metode priming yang hanya sedikit diatas 50% disebabkan proses pengenalan vaksin dengan jumlah dosis yang terlalu banyak juga tidak mampu memberikan efek stimulant antibodi. Kuat dugaan terjadi peluruhan antibodi dalam rentang waktu

0 5 10 15

Priming Bo1M Bo2M Kontrol

sampai ikan disuntik uji tantang dengan bakteri pathogen vibrio sehingga antibodi yang terbentuk tidak maksimal dan tidak mencapai konsentrasi protektif. Antibodi yang tidak berkembang secara penuh ini bisa diakibatkan adanya kondisi lingkungan yang berubah –ubah (suhu dan salinitas berubah karena sering terjadi hujan ) dan mengakibatkan ikan mengalami kondisi stressor dan juga bisa jadi dikarenakan ikan stress karena perlakuan diantaranya dilakukan sampling dan air yang sedikit keruh karena banyaknya larutan sisa pakan dan plankton yang tumbuh diair. Selain itu pergantian air juga ditenggarai memiliki andil yang besar bagi meningkatnya stress ikan uji.

Untuk menghindari cepatnya menurun jumlah antibody maka disarankan memberikan adjuvant dimana adjuvant ini berfungsi sebagai depot penampungan vaksin dan akan mengeluarkan vaksin sedikit demi sedikit dan dalam jangka waktu yang lama. Selain penggunaan adjuvant dapat juga dilakukan pemberian imunistimulan. Sementara perlakuan K yang memperlihatkan hasil nyaris 0 % dikarenakan ikan baronang sudah tidak mampu mengatasi bakteri dengan dosis letal yang mencapai 105 sel/ml.

4.2 RPS (Relative Percentage Survive )

RPS ( Relative percentage survival ) adalah tingkat persentase ikan yang bertahan hidup dari serangan bakteri. RPS ini didasarkan atas kematian ikan yang terjadi setelah uji tantang. Kematian diamati setiap hari selama 15 hari. RPS ini ditentukan berdasarkan formula, RPS = 1 – (v/k) x 100%, dengan v adalah mortalitas ikan yang divaksin (%) dan k adalah mortalitas ikan kontol (%). RPS > 60 % membuktikan bahwa vaksin tersebut telah bekerja efektif dan apabila hasil RPS menunjukkan nilai < 60% maka vaksin tersebut tidak berjalan

secara efektif atau tidak layak digunakan (Hambali 2013 ). Berikut table yang memperlihatkan hasil RPS dari ikan yang divaksin

Tabel 5 RPS (Relative Percentace Service ) ikan yang divaksin

Ikan mati (Ulangan Percobaan)

Metode 1 2 3 Jumlah Rerata RPS(%)

(A) Priming 2 2 3 7 2,33 50

(B) Booster 1 Mgu 1 2 1 4 1,33 72

(C) Booster 2 Mgu 0 1 1 2 0,66 86

(D) Kontrol* 5 4 5 14 4,66 0 *hanya sebagai faktor pembagi

Dari hasil yang tertera diatas dapat disimpulkan bahwa metode pemberian vaksin dengan cara priming (RPS 50) tidak dianjurkan dalam pencegahan penyakit vibrio, selain karena tidak efektif memberikan perlindungan juga akan merugikan baik dari segi waktu dan teknis. Dalam hitungan ekonomi hal ini kurang menguntungkan karena selain menurunkan potensi pendapatan dari jumlah hasil panen dan juga membutuhkan vaksin dalam jumlah yang lebih banyak. Sementara itu metode vaksin dengan cara booster 2 minggu (RPS 86) adalah hasil yang terbaik diikuti dengan metode booster 1 minggu (RPS 72) .Sangat disarankan untuk melakukan booster untuk pencegahan ikan dari serangan bakteri pathogen vibrio.

Dalam rangkuman penelitian yang dilakukan Desriana 2007 , hasil yang hampir sama juga dilaporkan oleh Rahman dan Kawai (1999) pada ikan mas koki, Collado et al., (2000) pada ikan sidat, Rahman et al. (2002) pada ikan mas,

Qian et al.,(2008b) pada ikan large yellow croacker dan Cai et al. (2010) pada ikan Lutjanus erythroptherus dimana nilai RPS yang didapatkan pasca uji tantang berkisar antara 70-80. Perlu disampaikan bahwa semua peneliti di atas menggunakan dosis yang lebih tinggi dari yang digunakan dalam penelitian ini dan menggunakan vaksin sub unit.

Histogram nilai RPS dari setiap perlakuan adalah sebagai berikut :

Gambar 5 Histogram RPS (Relative Percentace Survival ) Ikan uji

4.3 Prevalensi

Prevalensi adalah persentase jumlah ikan yang sakit yang menggambarkan kondisi tertentu dalam periode waktu tertentu ( Period Prevalence ). ( Desrina 2007 ). Pengamatan ikan sakit dilakukan segera setelah selesai uji tantang. Pengamatan dilakukan dengan memperhatikan gejala klinis ikan perlakuan dan mencatatnya. Gejala klinis yang terlihat dari ikan yang terkena serangan bakteri vibrio yakni terjadinya pelpeasan mucus (lendir), perubahan warna (melanosis), red mouth (bibir merah),haemoragik (borok) ,edema (Irianto 2005 ) dan dalam tingkat yang sangat parah terjadinya pengelupasan sirip (gripis ) dan pop eye (mata bengkak) (Murdjiman 2004 ).

0 20 40 60 80 100

Berikut tabel yang mengambarkan hasil dari prevalensi ikan yang diuji coba

Metode injeksi ulangan Jumlah % Rerata 1 2 3 Kontrol 5 5 5 15 100,00 5,00 Priming 2 2 3 7 46,66 2,33 ** Booster 1 minggu 1 2 2 5 33,33 1,66 ns Booster 2 minggu 0 1 2 3 20,00 1,00 ns Jumlah 8 10 12 30 9,99 Keterangan : ** beda sangat nyata

ns (not significant ) tidak beda nyata pada taraf minimum (5%)

Berdasarkan tabel diatas maka dapat diketahui bahwa prevalensi (jumlah ikan yang sakit ) terbanyak terjadi perlakuan kontrol yakni 100% yang artinya semua ikan yang diuji tantang terinfeksi dan memperlihatkan hasil yang sangat beda nyata dengan ikan yang vaksin bahkan dengan nilai tertingi prevalensi ikan vaksin yakni metode priming. Selain itu,ikan kontrol sudah memperlihatkan gejala klinis awal dengan mengeluarkan lendir bahkan dihari kedua uji tantang. Berturut diposisi kedua yakni metode priming dengan persentase 46,66 atau hampir separuhnya dan diikuti metode boster 1minggu dan booster 2 minggu dengan masing-masing persentase sebanyak 33,33 % dan 20 %. Antara dua perlakuan ini tidak terjadi beda nyata (not signifikan).

Analisis sidik ragam (ANSIRA) juga menunjukkan hasil bahwa terjadinya prevalensi sangat terlihat bagi ikan yang tidak disuntik (kontrol ) dengan vaksin dan terjadi perbedaan yang sangat nyata dengan hasil terendah ikan vaksin

(priming ). Hal ini berarti bahwa semua ikan yang disuntik vaksin memberikan respon imun terhadap bakteri vibrio.

Dari hasil uji BNT terlihat data bahwa jumlah ikan yang sakit pada perlakuan kontrol sangat berbeda nyata dengan semua jumlah ikan yang sakit per perlakuan vaksin.Nilainya jauh diatas batas taraf tinggi (1%) yang jumlahnya sebanyak 1,51. Sementara itu perbandingan antara sesama ikan perlakuan vaksin memperlihatkan data bahwa antara priming dengan perlakuan booster 1 minggu tidak beda nyata dan dengan perlakuan booster 2 minggu memperlihatkan hasil hanya beda nyata. Sementara itu antara perlakuan booster 1 minggu dan booster 2 minggu juga menghasilkan data tidak beda nyata.

Gambar 6 Histogram Prevalensi Ikan berdasarkan perlakuan

4.4 Laju Pertumbuhan Mutlak

Laju Pertumbuhan mutlak Ikan baronang yang selama pernelitian dapat dilihat dari lampiran, sedangkan rata-rata laju pertumbuhannya dapat dilihat pada tabel dibawah ini

0 2 4 6 8 10 12 14 16

Tabel 7 Data Laju Pertumbuhan Mutlak

Metode injeksi Rerata Wt Rerata Wo LPH

Bo2 Minggu 178.66 158 20.66 Bo1 Minggu 177.33 158 19.33 Priming 174.00 158 16.00 Kontrol 167.00 158 9.00

Jumlah 64.99

Laju pertumbuhan mutlak ikan memperlihatkan hasil bahwa pertumbuhan terbaik terjadi pada perlakuan booster 2 minggu,hal ini berbanding lurus dengan hasil SRnya yang sangat tinggi. Hal ini dimungkinkan karena ikan tidak terlalu mengalami kondisi sakit sehingga laju pertumbuhannnya juga ikut baik. Selanjutnya ada perlakuan vaksin booster 1 minggu dengan nilai 19.33.perlakuan ini memperlihatkan hasil yang tidak beda nyata dengan perlakuan booster 2 minggu. Sementara itu perlakuan kontrol memperlihatkan hasil laju pertumbuhan yang sangat rendah karena setelah uji tantang ikan mengalami sakit dan tidak mau makan,sehingga laju pertumbuhannya setelah uji tantang sangat rendah.

Gambar 7 laju pertumbuhan mutlak ikan baronang

4.5 Pengukuran Kualitas Air

Selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran parameter fisika-kimia air media pemeliharaan larva beronang lada meliputi : Suhu, pH, oksigen terlarut dan amoniak. Nilai kisaran parameter kualitas air dapat dilihat pada dibawah ini. Parameter Perlakuan A B C D Suhu (ºC) 29 – 30 29 – 30 29 – 30 29 – 30 pH 7,55 – 7,73 7,48 – 7,65 7,43 – 7,71 7,50 – 7,65 O2 (ppm) 4,45 - 5,81 4,53 - 5,80 4,57 - 5,80 4,55 - 5,85 Amoniak (ppm) 0,002- 0,036 0,003 - 0,030 0,002 - 0,028 0,005 - 0,036 0 5 10 15 20 25

Suhu air media pemeliharaan benih baronang selama penelitian berkisar antara 29 - 30ºC. Kisaran tersebut masih layak untuk kelangsungan hidup ikan beronang. Suhu yang optimal untuk kehidupan ikan berkisar antara 25 – 33 o

C, namun suhu ideal adalah 27 – 32 oC dengan perubahan yang tidak ekstrim (Kordi, 2005). Suhu dapat menyebabkan beberapa variabel kualitas air berada di bawah batas toleransi organisme. Meningkatnya tingkat metabolisme dapat diakibatkan oleh peningkatan suhu air dan pada akhirnya meningkatkan kebutuhan oksigen, dilain pihak kelarutan oksigen menurun sejalan dengan peningkatan suhu.

pH air media pemeliharaan ikan beronang untuk semua perlakuan selama penelitian berkisar antara 7,43 - 7,73. Kisaran ini masih dalam batas yang layak untuk kehidupan ikan beronang. Ikan beronang tumbuh optimal pada pH 7,2 – 8,5. Bahkan pada pH 6,5 pun ikan beronang masih hidup dengan baik, tetapi pertumbuhannya lambat (Sunyoto dan Mustahal, 1997).

Kandungan Oksigen terlarut (O2 ) selama penelitian berkisar antara 4,45- 5,85 ppm. Nilai kisaran tersebut masih layak untuk mempertahankan sintasan ikan beronang. Kandungan oksigen terlarut 4 ppm merupakan standar yang tidak boleh kurang untuk kelayakan kehidupan organisme dalam perairan ( Boyd, 1990).

Kandungan amoniak yang terukur selama penelitain berkisar antara 0,002 - 0,036 ppm. Nilai kisaran ini masih layak untuk mempertahankan kelangsungan hidup ikan beronang. Untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan kadar amonia dalam media pemeliharaan ikan beronang hendaknya tidak melebihi 0,1 ppm (Boyd, 1990). Amonia dapat berasal dari buangan bahan organik yang mengandung senyawa nitrogen seperti protein maupun sebagai hasil ekskresi.

Amonia juga dihasilkan melalui amonifikasi bahan organik seperti pakan yang tidak terkonsumsi dan feses (Effendie, 2003).

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam pengamatan parameter peubah yakni SR, RPS dan Prevalensi perlakuan yang memperlihatkan hasil terbaik adalah boster 2 minggu dan diikuti oleh booster 1 minggu. Namun diantara perlakuan ini hanya memperlihatkan hasil yang tidak beda nyata, dan akan memperlihatkan hasil yang berbeda sangat nyata jika dibandingkan dengan perlakuan metode priming maupun kontrol

2. Laju pertumbuhan mutlak juga didapatkan hasil terbaik dari perlakuan booster 2 minggu,beturut-turut diikuti booster 1 minggu, vaksin cara priming dan terakhir kontrol. Untuk perlakuan kontrol pertumbuhan terhambat dikarenakan ikan mengalami sakit dan strees sehingga pertumbuhanberatnya tidak memperlihatkan hasil yang memuaskan.

B.Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan berupa jumlah penggunaan dosis yang tepat, analisa parameter darah ikan setelah dan sebelum uji tantang. Selain itu penelitian tentang penerapan immunistimulan sangat dianjurkan untuk mencari perpaduan antara metode pertahanan tubuh ikan baik secara spesifik maupun non spesifik.

DAFTAR PUSTAKA

Agus S. 2013 Vaksin dan Imunostimulan. Pelatihan Vaksinator Ikan BBAP Jepara September 2012. Laboratorium Penelitian Kesehatan Ikan. Balitbang KKP. Jakarta

Bondad-Reantaso, M.G., S.Kanchanakhan & S.Chinabut. 2000. Review of Grouper Diseases and Health Management Strategies for Grouper and other Marine Finfish Diseases. RegionalWorkshop on Sustainable Seafarming and Grouper Aquaculture. Collaborate APEC Grouper Research and Development Network. FWG 01/99. 17-20 April 2000. Medan, Indonesia

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management For Pond Fish Culture. Developments in Aquaculture and Fisheries Science vol,9 , Elsevier, New York.

Desrina, A. Taslihan, Ambariyanto, E.Yudiati, Y.D. Casessar, R.B.S. Sumanta, Triyanto, H.J.Situmeang & L. Sembiring. 2007. Isolasi, purifikasi dan immunogenitas protein outer membrane Vibrio alginolyticus pada ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). J. Perikanan, IX (1):8-16. Desrina, A.Taslihan, Ambariyanto, B.K. Djati 2011.Pengaruh Dosis Terhadap

Efektifitas Vaksin POM Vibrio alginolitycus 74 kDa pada Ikan Kerapu Macan Epinephelus fuscoguttatus

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.

Ellis ,A.E 1988. General principle of Fish vaccination, Academic Press, London. Feliatra. 1999. Identifikasi Bakteri Patogen (Vibrio sp) Di Perairan Nongsa Batam

Gasperz, V., 1991. Metode Perancangan Percobaan untuk Ilmu-Ilmu Pertanian Teknik dan Biologi. CV Armico. Bandung.

Hambali S. 2013 Vaksinasi Pada Ikan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, Jakarta.

Hamka, S. Faridah, Mutmainnah dan Faidar, 2008. Penggunaan Pakan Buatan Dan Pakan Alami (Gracillaria Sp) Pada Pendederan Benih Ikan Beronang Lada (Siganus Guttatus). Laporan Tahunan. Balai Budidaya Air Payau Takalar. Departemen Kelautan Dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.

Harth, E., J. Romero, R. Torres, and R. Espejo. 2007. Intragenomic Heterogenity and Intergenomic Recombination among Vibrio parahaemolitycus 16S rDNA. Microbiology, 153: 2640-2647 immunology , 10: 379-382.

Inglis S.W, Canestrini ,1998; Bacterial Diases of Fish, Department Aquaculture, Newcastle University. Brisbane, Australia.

Irianto Agus, 2005. Patologi Ikan Teleostei. Yogyakarta. 256 Hal

Klesius 2001 Outer membrane fraction of Flavobacterium psychrophilum induces protective immunity in rainbow trout and ayu. Fish and shellfish mmunology, 12: 169-179

Kordi, G. 2003. Penanggulanggan Hama dan Penyakit Ikan. Rineka Cipta dan Bina Adiaksa. Jakarta. 194 hal

Murdjani, 2002. Identifikasi dan Patologi Bakteri Vibrio alginolyticus pada Ikan Kerapu Tikus. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Universitas Brawijaya.

Nagasawa, K & E. R. Cruz-Lacierda (editors). Diseases of Cultured Groupers. Southeast Asian Fisheries Development Center, Aquaculture Department, Iloilo, Philippines. 81 pp.

Nitimulyo, K.H., A. Isnanstyo, Triyanto, M. Murdjani & L. Solichah. 2005b. Effektifitas vaksin polivalen untuk pengendalian vibriosis pada kerapu tikus (Cromoliptes altivelis). J. Perikanan, 2: 95–100

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan.

Post, G. 1987. Texbook of Fish Health. T.F.H. Publications Inc. USA. 288 pp. proteins of Aeromonas hydrophila induce protective immunity in goldfish. Fish and shellfish

Rahman, M.H., A.Kuroda, J.M. Dijkstra, I. Kiryu, T.Nakanishi & M. Ototake. 2002. The outer

Rahmaningsih S.2011. Identifikasi Patogenitas selular bakteri Vibrio alginolyticus yang menginfeksi benih ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis).

Shickney R.R,, Encyclopedia of Aquaculture, John Wiley and Sons, Inc., New York, 2000, p. 418.

Sunarto ,A.Taukhid dan A. Rukyani 2000. Isolation and potency of lipopolysacharidae (LPS ) derived from Aeromonas hydropillia as an immunistimulant for african catfish, Advantage Technology 3: 33-39

Sunyoto, P. and Munstahal, 1997. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis Penting. Penebar Swadaya, Jakarta

Taslihan, A., M. Murdjani, C. Purbomartono & E.Kusnendar. 2000. Bakteri patogen penyebab penyakit mulut merah pada ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). J. Perikanan, II(2): 57-62.

Taslihan, A., M. Murdjani, C. Purbomartono & E.Kusnendar. 2000. Bakteri patogen penyebab penyakit mulut merah pada ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). J. Perikanan, II(2): 5762.

Thompson A. 2004. A Handbook of Normal Penaeid Shrimp Histology. World Aquaculture Society, Baton Rouge, Lousiana. USA

Tizard, I.R.1988. Pengantar Immunologi Veteriner. Partodirejo, M. Penerjemah ; Hardjosworo, S. Editor. Penerbit Universitas Airlangga Surabaya; 1987. Terjemahan dari An Introduction to Veterinary Immunology.497 Hal. Todar, K., 2002. The Mechanism of Bacterial Pathogenecity. Todar’s Online

Textbook of Bacteriology. University of Wisconsin-Madison Department of Bacteriology. P 1-18.

Wijayanti, A dan Hamid, N. 1997. Identifikasi Bakteri pada Pembenihan Ikan Kerapu Tikus (Chromileptes altivelis). Pertemuan Koordinasi dan Pemantapan Rekayasa Teknologi Pembenihan Lintas UPT Direktorat Jenderal Perikanan. BBAP Jepara. Ditjen Perikanan.

Yanuhar, U., 2006. Karakterisasi dan Identifikasi Molekuler Protein Adesi Pili Vibrio alginolyticus dan Reseptornya pada Ikan Kerapu Tikus Cromileptes altivelis (Studi Kajian Molekuler Patogenesa Vibriosis). Program Doktor Ilmu Kedokteran. Program Pascasarjana. Universitas Brawijaya. Malang Yuasa, K.Panigoro N,2003 . Panduan Diagnosa Penyakit Ikan. BBAT Jambi dan

LAMPIRAN

Dokumen terkait