• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIFITAS PEMBERIAN VAKSIN CAPRIVAC VIBRIN - L TERHADAP RESISTENSI BENIH IKAN BARONANG PADA PENYAKIT VIBRIOSIS SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEKTIFITAS PEMBERIAN VAKSIN CAPRIVAC VIBRIN - L TERHADAP RESISTENSI BENIH IKAN BARONANG PADA PENYAKIT VIBRIOSIS SKRIPSI"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIFITAS PEMBERIAN VAKSIN CAPRIVAC VIBRIN - L

TERHADAP RESISTENSI BENIH IKAN BARONANG

PADA PENYAKIT VIBRIOSIS

SKRIPSI

Oleh:

FADLI

K. 105 94 0546 10

JURUSAN PERIKANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MAKASSAR

(2)

EFEKTIFITAS CARA PEMBERIAN VAKSIN CAPRIVAC

VIBRIN-L TERHADAP RESISTENSI IKAN BARONANG

PADA PENYAKIT VIBRIOSIS

FADLI

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada

Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Unismuh Makassar

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

JURUSAN PERIKANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2013

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Dan Shalawat penulis tujukan untuk Baginda Rasulullah Muhammad SAW sebagai suri tauladan hidup sang penulis. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Program Studi Budidaya Perikanan, Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah , Makassar.

Dengan selesainya tersusun skripsi tidak luput karena adanya dukungan sangat besar dari keluarga. Salam cinta dan hormatku kupersembahkan kepada orangtuaku yang tercinta,terkasih. Teristimewa untuk Ayahanda tercinta terkasih

Takile dan Ibunda tercinta terkasih Nani dan Saudaraku tercinta terkasih Fatmawati,Tasniati dan Rivaldi yang dibesarkan dalam satu naungan cinta dan

kasih sayang yang sama.

Dalam perjalanan menyelesaikan skripsi ini, banyak hal yang harus penulis lalui. Berbagai kesulitan dan tantangan setia mengiringi, namun berkat semua kerja keras, pertolongan Allah serta motivasi dan bantuan dari berbagai pihak menjadikan semua kesulitan itu sebagai sebuah anugerah yang harus disyukuri dan diambil hikmahnya. melalui kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghormatan sebagai wujud rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Hamsah, S.Pi, M.Si selaku pembimbing utama dan Hamka, S.Pi, M.Si selaku pembimbing anggota yang dengan tulus dan telah sangat banyak membantu, memberi motivasi dan arahan-arahan. Semoga selalu dalam keadaan yang sehat dan sukses.

(5)

2. Murni, S.Pi, M,Si selaku pembimbing akademik yang banyak memberikan nasehat dan arahan yang sangat bermanfaat.

3. Sugeng Raharjo, A.Pi Ka. Balai BAP Takalar, tempat penulis mengabdikan diri sebagai PNS Kementerian Kelautan Perikanan atas Ijin,Nasehat, Saran dan arahannya kepada penulis selama mengikuti pendidikan kesarjanaan.

4. Ir.Darmawati, M.Si dan Murni, S.Pi, M.Si selaku penguji yang banyak memberi masukan yang bermanfaat.

5. Bapak dan Ibu Dosen, serta Staf pegawai FP UNISMUH Makassar yang telah banyak berbagi ilmu dan pengalaman kepada penulis dari awal kuliah hingga penulis mendapat gelar sarjana.

6. Adinda Megawati Hidding yang selalu menjadi terdepan dalam membantu selama penulis melakukan skripsi.

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penulisan yang lebih baik. Billahi Taufik Walhidayah Wassalamu Alaikum Wr. Wb.

Makassar, November 2013

Penulis,

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Pallette,Kab.Bone, Sulawesi Selatan pada tanggal 27 mei 1987. Diberi nama Fadli oleh pasangan Takile dan Nani sebagai putera anak ketiga dari empat bersaudara.

Pertama kali mengenyam pendidikan formal di SD Inpres 12/79 Pallette dan lulus pada tahun 1999. Kemudian penulis melanjutkan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Watampone dan lulus pada tahun 2002 selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SUPM negeri Bone dan lulus pada tahun ajaran 2005/2006. Penulis pernah aktif dalam kegiatan Organisasi siswa Mandiri (OWARI ) sebagai Ketua Bidang kesejahteraan periode 2005/2006, Ketua Pramuka Saka Bahari ranting SUPM N Bone dan penulis juga aktif sebagai anggota drum Band Gita Tirta SUPM N Bone.

Sejak tahun 2008 penulis mengabdikan diri sebagai Pegawai Negari Sipil di Kementerian Kelautan Perikanan dan ditempatkan di satker BBAP Takalar sebagai tenaga fungsional pengawas perikanan. Penulis meanjutkan pendidikan strata S1 di Universitas Muhammadiyah Makassar pada tahun 2010 dan menyelesaikan pendidikan di tahun 2013

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ………... i KATA PENGANTAR ………. ii DAFTAR ISI ………... iv DAFTAR TABEL ……… vi

DAFTAR GAMBAR ………... vii

DAFTAR LAMPIRAN ……… viii I.PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ……….. 1.2 Tujuan dan Kegunaan ………. II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi Ikan Baronang ……….. 2.2 Morfologi Ikan Baronang ………. 2.3 Taksonomi Bakteri Vibrio ………

2.4 Morfologi Bakteri vibrio sp

……….

2.5 Gejala Klinis Vibriosis ………..

2.6 Mekanisme Patogenitas

………

2.7 Mekanisme Imunitas ……… 2.8 Vaksinasi ……… 2.9 Aplikasi Vaksin melalui suntikan ……… III.METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat ………... 1 2 3 3 4 4 5 6 7 8 12 14 14 16

(8)

3.2 Materi Penelitian ………... 3.3 Prosedur Penelitian ………..

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 4.1 Survival Rate ………. 4.2 RPS (Relative Percentage Survive) ……….. 4.3 Prevalensi ……….. 4.4 Laju Pertumbuhan Mutlak ………... 4.5 Pengukuran Kualitas Air ……….. V KESIMPULAN DAN SARAN ………..

5.1 Kesimpulan ……… 5.2 Saran ……….. DAFTAR PUSTAKA ………. LAMPIRAN ………. 25 28 29 31 32 34 34 34 35 39

(9)

DAFTAR TABEL

Alat yang digunakan penelitian ……… Bahan yang digunakan penelitian ……… Gejala Klinis serangan bakteri vibrio ……….. Data Pengaruh vaksin terhadap SR ……… RelativePercentace Service ………. Tabel prevalensi ikan uji coba ……….. Data laju pertumbuhan mutlak ………. Data Nilai Parameter Kualitas air ……….

14 15 19 25 28 30 31 32

(10)

DAFTAR GAMBAR

Morfologi ikan baronang ………... Morfologi bakteri vibrio ………. Survival rate Ikan uji coba ………. Histogram RPS ………... Histogram Pravelensi ………. Laju pertumbuhan mutlak ikan uji ………

4 5 26 29 31 32

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

………..

(12)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan baronang merupakan salah satu spesies yang mulai dikembangkan pembudidayaanya dan saat ini menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan. Hal ini terjadi karena meningkatnya permintaan konsumen dalam negeri. Rumah-rumah makan yang merupakan konsumen utama lebih memilih ikan baronang hasil budidaya dibanding tangkapan dialam selain karena suplainya yang kontinyu ,juga bisa didapatkan dalam jumlah yang banyak,serta ukuran yang lebih seragam .

Sebagaimana umumnya spesies yang baru dikembangkan,ikan baronang memiliki kendala baik dari segi teknis maupun teknologinya, salah satu permasalahan yakni penyakit yang menyerang dan dapat menyebabkan kematian massal. Ikan baronang rentan terkena penyakit vibriosis yang disebabkan oleh bakteri patogen Vibrio.. Bakteri vibrio ini merupakan patogen primer dan juga sekunder karena umumnya menyerang ikan yang sudah terjangkiti parasit lainnya, dan menjadi oportunis apabila kondisi kualitas air memburuk. Penularannya dapat melalui air atau kontak langsung antar ikan dan menyebar sangat cepat pada ikan-ikan yang dipelihara dengan kepadatan tinggi. Vibriosis merupakan penyakit bakterial utama pada benih ikan-ikan laut dan sangat merugikan budidaya ikan laut di Asia Tenggara (Bondad-Reantaso et al.,2000). Bakteri vibrio yang pertama kali diisolasi dari ikan adalah Vibrio anguillarum yang diisolasi dari belut yang hidup diperairan mediterania ( Canestrini 1883; Inglis et al., 2001) . Sementara itu, kasus vibriosis di Indonesia ditemukan pertama kali sekitar awal tahun 1980 dan menjangkiti budidaya udang dan Vibrio alginolyticus adalah spesies yang paling sering diisolasi dari ikan

(13)

budidaya yang sakit di Indonesia (Taslihan et al., 2000; Nitimulyo et al., 2005) dan termasuk bakteri patogen yang ganas pada ikan kerapu (Desrina et al., 2006). Menurut Shickney (2000) bahwa cara yang sering dilakukan untuk membasmi bakteri patogen ini ialah dengan menggunakan antibiotik, namun penggunaan antibiotik dalam jangka lama dan intensif dapat menimbulkan efek samping yaitu dapat menjadikan bakteri patogen menjadi resisten, Oleh karena itu perlu dilakukan pencarian metode lain, salah satu caranya dengan vaksinasi.

Dewasa ini sudah mulai diteliti calon vaksin untuk mengendalikan vibriosis pada ikan baronang di Indonesia. Vaksin menjadi pilihan utama untuk pencegahan pathogen karena relatif aman bagi manusia, ramah lingkungan dan lebih murah dibandingkan dengan antibiotik. Vaksin yang digunakan untuk mengendalikan vibriosis umumnya berupa vaksin polivalen. Vaksin polivalen adalah vaksin yang terdiri dari beberapa antigen yang memiliki beberapa epitope. Berangkat dari permasalahan yang disebut diatas dan dalam rangka dukungan terhadap gerakan vaksinasi ikan budidaya yang dicanangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, maka dilakukan penelitian tentang pencegahan dan pengendalian penyakit vibriosis dengan cara melakukan vaksinasi pada benih juwana ikan baronang.

1.2 Tujuan dan kegunaan

Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui cara atau metode pemberian vaksin yang efektif untuk meningkatkan daya tahan tubuh ikan baronang baik pertahanan non spesifik (pertahanan seluler) maupun pertahanan spesifik (antibodi ) yang berperan dalam menahan serangan pathogen bakteri vibrio dan akan tergambar dari nilai RPS,Prevalensi maupun SR ikan Uji.

(14)

Kegunaan dari penelitian ini sebagai sumber referensi dalam penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan vaksinasi ikan baronang mengingat penelitian tentang vaksinasi ikan baronang masih sangat minim. dan diharapkan pula hasil dari penelitian ini dapat ditindak lanjuti dengan penggunaan vaksin dan metode vaksinasi yang cocok dan dilakukan secara meluas bagi kalangan pembudidaya ikan.

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Ikan Baronang

Menurut Sunyoto dan Mustahal ( 1997 ), Ikan Baronang memiliki klasifikasi sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub filum : Avertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Actinopterygii Infra kelas : Telestoi Divisi : Euteleostei Ordo : Percipformes Famili : Siganidae Genus : Siganus

Spesies :Siganus guttatus

2.2 Morfologi Ikan Beronang

Tubuh ikan beronang lebar dan pipih, ditutupi oleh sisik-sisik halus dengan warna tubuh yang bervariasi. Ikan baronang memiliki bintik kuning dan berkombinasi dengan warna badan ikan yang kebiruan dibagian punggung dan cenderung berwarna kuning dibagian perut. Hal yang paling mencolok dari spesies ikan baronang ini yaitu adanya bintik kuning yang berukuran besar dipangkal ekor. Sementara dibagian operculum terdapat garis coklat tipis disekeliling mata ikan.. Warna ikan beronang dapat berubah - ubah dengan cepat sesuai dengan kondisi lingkungan dan tingkat stress ikan.

(16)

Ikan beronang mempunyai duri - duri yang berbisa yang terdapat pada 13 duri keras sirip punggung, 4 duri keras sirip perut, dan 7 duri keras sirip dubur. ( Nontji 1987 ). Di antara jenis beronang, beronang lada dapat mencapai ukuran yang lebih besar, yaitu lebih dari 1 kg dan beronang ini paling cepat pertumbuhannya dibanding jenis lain (Sunyoto dan Munstahal, 1997).

Gambar 1. Ikan baronang lada ( Sumber. Google.Image.Com)

2.3 Taksonomi Bakteri Vibrio

Menurut data Gen Bank dalam Hart et.al (2007 ), Bakteri vibrio memiliki klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Bacteria

Phylum : Proteobacteria

Class : Gamma Proteobacteria Order : Vibrionales

Family : Vibrionaceae Genus : Vibrio Species : Vibrio sp

2.4 Morfologi bakteri Vibrio sp

Vibrio spp adalah termasuk dalam kelompok bakteri gram – negative yang bersifat fakultatif anaerob dan memiliki tangkai berbentuk bengkok dan memiliki ukuran 0.5 x 1.0-2.0 m, berbentuk batang bisa lurus maupun bentuk koma,

(17)

bergerak dengan menggunakan polar flagella, fermentative dan cytochrom oksidase positif, sensitive terhadap vibriostat 0/129 (pteridine) (Richard and Robart, 1978, dalam Desrina 2011). Secara khas ditemukan di air laut dan tumbuh hampir disegala media umum yang mengandung NaCl 1-1.5%. Bakteri ini bersifat motil (dengan satu sampai tiga flagella). Habitat dari bakteri ini adalah species ikan laut sebagai pembawa, namun bakteri ini juga telah ditemukan pada invertebrata dan benthos (Hastein, 1975, Desrina 2011).

2a 2b

Gambar 2a Morfologi bakteri vibrio sp (Sumber : Google.Image.Com )

2b Koloni bakteri vibrio dimedia TCBSA (Sumber : Dokumentasi Arief Taslihan)

Bakteri vibrio yang patogen dapat hidup di bagian tubuh organisme lain baik di luar tubuh dengan jalan menempel, maupun pada organ tubuh bagian dalam seperti hati, usus dan sebagainya. Dampak langsung bakteri patogen dapat menimbulkan penyakit, parasit, pembusukan dan toksin yang dapat menyebabkan kematian biota yang menghuni perairan tersebut. Beberapa jenis vibrio yang bersifat patogen yaitu dengan mengeluarkan toksin ganas dan seringkali mengakibatkan kematian pada manusia dan hewan (Feliatra, 1999).

(18)

2.5 Gejala Klinis Vibriosis

Vibriosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri dari genus Vibrio sp. Bakteri ini merupakan patogen oportunistik, yaitu organisme yang dalam keadaan normal ada dalam lingkungan pemeliharaan lalu berkembang dari sifat yang saprofit menjadi patogenik karena kondisi lingkungan memungkinkan. Bakteri vibrio diketahui sebagai bakteri oportunistik dan merupakan bakteri yang sangat ganas dan berbahaya pada budidaya ikan laut karena dapat bertindak sebagai patogen primer dan sekunder. Sebagai patogen primer bakteri masuk tubuh ikan melalui kontak langsung, sedangkan sebagai patogen sekunder bakteri menginfeksi ikan yang telah terserang penyakit lain, misalnya oleh parasit (Post, 1987). Serangan vibriosis bisa menimbulkan kerugian yang besar pada budidaya ikan air laut maupun payau karena tingginya kematian yang bisa mencapai 90% dalam waktu singkat dan akan semakin diperparah bila ikan dalam kondisi ketahanan tubuh ikan yang stress dan lemah.

Vibrio menyerang ikan dan organisme lainnya dimulai dari bagian lendir (mucus) yang diproduksi oleh tubuh, sebab lendir dapat menjadi media yang baik untuk perkembangan koloni bakteri. Hal ini karena di dalam lendir terdapat nutrisi yang dibutuhkan oleh vibrio. Tanda – tanda klinis infeksi vibrio adalah terjadi perubahan warna kulit (melanosis), mulut merah (red mouth ), pengelupasan (gripis ) pada ekor dan sirip punggung, hemorhagik dan edema (borok ) pada pangkal sirip, jaringan otot dan kulit. Limpa ikan yang terinfeksi akan mengalami pembengkakan dan berwarna merah. Secara histologis hati, ginjal, limpa dan mukosa usus mengalami nekrosis (Irianto,2005).

Perubahan warna kulit terjadi diakibatkan ikan mengalami stress karena adanya infeksi bakteri. Munculnya haemoragik yang ditandai dengan luka

(19)

kemerahan pada sekitar mulut dan sirip adalah karena aliran darah terganggu akibat infeksi Vibrio. Hal ini diakibatkan adanya toksin protein “haemolysin” yang dikeluarkan oleh bakteri yang akan merusak eritrosit. Proses inilah yang menyebabkan eritrosit pecah dan keluar dari pembuluh dan menyusup pada jaringan tubuh dan tampak sebagai warna kemerahan pada sekitar mulut dan sirip ikan kerapu. Sedangkan terjadinya edema diakibatkan oleh akumulasi cairan secara tidak normal pada rongga tubuh, ruang antara pada jaringan dan organ yang menyebabkan terjadinya pembengkakan. Cairan tersebut media yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri, sehingga dampak yang lebih jauh mengakibatkan kematian. Selain itu, edema menandakan adanya ketidakseimbangan tekanan hydrostatic, tekanan osmotic darah, peningkatan permeabilitas kapiler, penghalangan lymphatic atau gangguang fungsi ginjal (Yanuhar 2008).

2.6 Mekanisme Patogenitas

Patogenesis pada ikan disebabkan adanya pengenalan antara molekul reseptor yang dimiliki ikan dengan molekul adhesin bakteri. Menurut Bally and Schott, (2007) dalam Yanuhar, (2008) menyatakan bahwa adhesin bakteri secara tipikal merupakan komponen makromolekul pada permukaan sel bakteri yang berinteraksi dengan sel inang. Adhesin dan reseptor biasanya berinteraksi dengan komplemen dan menunjukkan suatu ikatan yang spesifik. (Pascale et al 2000, dalam Rahmaningsih 2011) menjelaskan bahwa pathogen akan mendapatkan respon yang kuat dari hospes. Terdapat dua faktor yang menjelaskan mekanisme ini, adalah pathogen memiliki serangkaian molekul yang mengaktivasi hospes. Kedua adalah pathogen memiliki molekul aktivasi hospes lebih efisien terhadap sel sehingga terjadi hubungan aktivasi respon hospes

(20)

terhadap daya survivalnya. Hubungan antara hospes dengan pathogen melibatkan molekul adhesin yang ditemukan pada ECM seperti kolagen, fibrinektin dan protein matrik lainnya atau melibatkan protein reseptor adhesin seperti integrin, selectin, cadherin dan kelompok immunoglobulin pada sel hospes.

Proses infeksi bakteri vibrio diawali dengan interaksi dengan perlekatan atau adesi pada permukaan sel inang. Pada permukaan sel inang terdapat reseptor, reseptor merupakan molekul karbohidrat spesifik pada permukaan membran sitoplasma, yang diperankan oleh protein. Reseptor pada ikan kerapu dapat diperankan oleh protein yang berasal dari superfamili immunoglobulin, cadherin, integrin dan selectin. Peran molekul reseptor berpengaruh terhadap ekspresi protein dalam mengikat ligannya, seperti protein adhesin yang berasal dari bakteri dan virus. Proses yang menyebabkan terjadinya infeksi bakteri diawali dengan perlekatan, kolonisasi, kemudian invasi. Sistem perlekatan bakteri diperankan oleh molekul adhesin bakteri dan molekul reseptor pada hospesnya (Todar, 2002).

2.7 Mekanisme imunitas

Secara alamiah ikan memiliki mekanisme imun yaitu sistem pertahanan seluler dan sistem pertahanan humoral. Sistem kekebalan (seluler) atau non spesifiks adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme. Sistem kekebalan non spesifik meliputi barier fisik, kimiawi yang meliputi mucus, sisik, kulit dan insang sedang pertahanan seluler meliputi sel fagosit (makrofag dan sel granulosit ) sel sitotosik, sel pembunuh alami (naturall killer cell ) dan leukosit ( monosit, netrofil, eosinofil dan basofil ) (Nitimulyo, 2005). Mukus ikan yang menyelimuti permukaan tubuh,

(21)

insang dan terdapat pada lapisan mukosa usus berperan sebagai pemerangkap pathogen secara mekanik dan eliminasi pathogen secara kimiawi dengan lizosim dan enzim proteolitik lainnya. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan pathogen (Taslihan, 2000).

Kekebalan humoral merupakan respon yang bersifat spesifik yang dilakukan oleh suatu substansi yang dikenal sebagai antibodi atau imunoglobin. Antibodi merupakan senyawa protein yang terbentuk sebagai respon pertahanan terhadap masuknya benda asing kedalam tubuh yang dapat bereaksi dengan 3456antigen khusus ( Tizard ,1998 ). Antigen merupakan benda asing bagi tubuh yang dapat memproduksi antibodi spesifik. Sistem komponen kekebalan humoral meliputi opsonin, sistem litik, antiprotoase, peptida anti bakteri, metal-binding protein dan interferon. ( Rahman 2002 ). Proses memasukkan antigen ini merangsang pembentukan antibodi dikenal dengan istilah imunisasi aktif atau vaksin. Cara kerja vaksin merangsang pembentukan antibodi melalui mekanisme kekebalan spesifik. Antigen presenting cell (APC ) mengikatkan vaksin (antigen ) ke sel T melalui molekul MHC2. Sel T teraktivasi memproduksi cytokine dan mengaktifkan sel T pembunuh, makrofag dan sel B dan pada akhirnya sel B ini akan memproduksi antibodi spesifik terhadap pathogen tertentu. Antibodi akan terbentuk apabila limfosit telah berfungsi dengan baik, (Tizard, 1998).

(22)

2.8 Vaksinasi

A.Sejarah vaksinasi ikan

Fenomena bahwa ikan mampu melakukan respon imun terhadap infeksi bakteri Vibrio ditemukan oleh Nybellin (1935 ), Tujuh tahun kemudian Duff (1942 ) membuktikan bahwa antibody mampu melindungi ikan dari infeksi Aeromonas salmonicida. Setelah 30 tahun, akhirnya lahirlah vaksin komersial pertama pada ikan ditahun 1970.Vaksin ini dapat melindungi ikan salmon dari serangan ERM (enteric redmouth disease),Di Indonesia sendiri penelitian tentang vaksin tertinggal beberapa dasawarsa dibandingkan negara-negara Eropa dan Amerika Utara yang aktif melakukan penelitian tentang vaksin sejak tahun 1970-an.

B. Prinsip kerja vaksin

Vaksin adalah bahan atau antigen yang dibuat dengan sengaja kedalam tubuh ikan dengan metode tertentu untuk memperoleh dan meningkatkan kekebalan spesifik. Vaksin atau antigen berfungsi untuk memacu sel-sel limfosit dalam meproduksi antibody (Klesius dkk,2001). Menurut Ellis(1998) bahwa , vaksin merupakan cara imunisasi aktif dengan cara meningkatkan daya tahan tubuh ikan. Vaksinasi dapat dilakukan dengan metode rendaman,oral maupun suntikan.

Vaksinansi didasarkan pada prinsip ketika mikroorganisme pathogen (misalnya bakteri atau virus ) menginfeksi inang, maka sistem kekebalan tubuh inang akan bereaksi untuk mengusirnya. Bila ikan terpapar kembali dengan mikroorganisme yang sama, maka sistem kekebalan inang akan melakukan respon imun yang lebih baik karena sudah mengenal antigen tersebut. Hal ini yang disebut sebagai respon memori atau kekebalan adaptif. Vaksinasi meniru

(23)

mekanisme infeksi pathogen dan merangsang sistem kekebalan ikan dalam melawan pathogen tersebut, tetapi vaksin tidak menyebabkan penyakit.

Vaksin harus mampu menginduksi respon imun dalam level yang cukup untuk melindungi ikan dari serangan pathogen tertentu. Kemampuan vaksin dalam menginduksi kekebalan sangat tergantung dari proses pembuatan antigennya. Terkadang pathogen penyakit tidak dapat dikendalikan dengan vaksin konvensional dapat dilakukan dengan menambahkan adjuvant kedalam vaksin untuk meningkatkan tingkat perlindungan (level of protection ) dan lamanya kekebalan ( duration of immunity ). Adjuvan bekerja dengan cara melakukan pelepasan antigen secara perlahan-lahan dan dalam waktu yang lama sehingga dapat meningkatkan respon imun ikan dan menimbulkan respon inflamasi (peradangan ) sehingga menarik leukosit kelokasi peradangan. Selanjutnya leukosit akan mengambil antigen dan membaanya ke jaringan limfoid dimana antigen –presenting cell akan menyajikan antigen ini ke sel limfosit.( Thompson, 2004 ).

Ada beberapa kondisi dimana penggunaan vaksin mungkin kurang efektif, misalnya pada benih umur sebelum satu minggu atau ikan yang mengalami stress karena transportasi atau padat tebar yang tinggi ( immunosupreseed ).hal seperti ini dapat diatasi dengan penggunaan immunostimulan. Immunistimulan bekerja dengan cara mengaktifkan sistem kekebalan alami (innate immune system ) baik komponen kekebalan seluler maupun humoral. Komponen kekebalan seluler meliputi sel fagosit (makrofag dan sel granulosit ), sel sitosik dan sel pembunuh alami (naturall killer cell ). Sedangkan komponen kekebalan humoral meliputi opsonin, sistem litik, antiprotease, peptide antibakteri, metal binding protein dan interferon.Zat aktif immunistimulan yang dipakai diakuakultur

(24)

terutama mengandung glukan, peptidoglycan, lipopolisarida,chitin,laktoferin, levamisole, mikronutrisi seperti vitamin B dan C dan proklatin (Sunarto et al 200).

C. Jenis-jenis vaksin

Menurut Agus, (2012 ) Berdasarkan proses pembuatannya vaksin dapat digolongkan menjadi :

a ) Vaksin in-aktif yaitu vaksin yang dibuat dari mikroorganisme yang telah dimatikan (in-aktif). Vaksin jenis ini diinaktivasi dengan menggunakan formalin atau pemanasan. Jenis vaksin ini sangat efektif menginduksi respon antibodi humoral tetapi kurang efektif merangsang kekebalan selular maupun respon mucosal. Beberapa contoh vaksin jenis ini adalah vaksin V.anguilarrum, V.salmonicida, V. ordalii

b )Vaksin hidup yang dilemahkan (live-attenuated vaccine ) yaitu vaksin yang dibuat dari mikroorganisme hidup yang dilemahkan. Jadi vaksin ini seperti infeksi oleh pathogen tetapi menimbulkan penyakit. Degan vaksin ini, sistem kekebalan inang terpapar dengan antigen dalam waktu yang lama sehingga efektif dalam merangsang sistem kekebalan selular dan menginduksi respon memori. Namun kelemahan vaksin jenis ini adalah adanya kemungkinan mikroorganisme menjadi ganas kembali. Hal inilah yang menyebabkan vaksin hidup sulit mendapatkan ijin untuk digunakan secara komersil. Namun demikian, dengan kemajuan dalam bidang rekayasa genetic, maka gen penyebab virulensi dapat dihilangkan sehingga kecil kemungkinan mikroorganisme dapat menjadi ganas kembali.

c) Vaksin sub-unit yaitu vaksin yang dibuat dari bagian/komponen mikroorganisme misalnya molekul makro kapsul polisakarida, exotoksin, atau protein rekmbinian hasil rekayasa genetic.vaksin rekombonian

(25)

diperoleh dengan cara mengkloning gen dari suatu pathogen kedalam bakteri/jamur. Bakteri dan jamur inilah yang akan menjadi pabrik untuk memproduksi protein imunogenik. Teknologi vaksin rekombinian sangat cocok dipakai untuk membuat vaksin dari pathogen yang sulit dikultur massal seperti virus. Vaksin ini cukup aman karena hanya mengambil sebagian komponen mikroorganisme untuk digunakan sebagai vaksin, maka kekhawatiran mikroorganisme menjadi ganas kembali seperti pada vaksin hidup dapat dihindari.

d ) Vaksin DNA, yaitu vaksin yang dibuat dari DNA (gen ) yang mengkode protein imunogenik dari pathogen target. Gen imunogenik dari suatu pathogen dikloning kedalam plasmid dan pasmid ini kemudian disuntikkan ke ikan. Gen akan terekspresi secara extrachromosal (diluar kromoson ikan ) untuk memproduksi protein imunogenik yang merangsang sistem kekebalan ikan spesifik ikan.

Berdasarkan jumlah/ jenis antigen yang digunakan, vaksin dibagi menjadi vaksin monovalen (satu jenis antigen ), bivalen (dua jenis antigen ), multivalent / polyvalent (beberapa jenis antigen ).

D. persyaratan vaksinasi pada ikan

Proses induksi kekebalan umumnya mulai dapat terdeteksi setelah 1-3 minggu dari saat pemberian vaksin. Idealnya, vaksinanasi dilakukan lebih dari satu kali. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa antibody yang diperoleh pada vaksinansi pertama (priming) relative rendah,karena pada tahap tersebut lebih banyak sebagai tahap pengenalan atau lebih umum dikenal sebagai tahap memorizing terhadap antigen. untuk menghindari terjadinya peluruhan antibody maka dilakukan booster (vaksinanasi ulang ) untuk mempertahankan level

(26)

antibody hingga mencapai level protektif. Keberhasilan program vaksinasi tidak hanya ditentukan oleh keampuhan dari vaksin yang digunakan, tetapi juga sangat ditentukan oleh bagaimana dan kapan sebaiknya vaksin itu diberikan. Oleh karena itu, ada beberapa persyaratan yang sebaiknya diperhatikan sebelum melakukan vaksinasi terhadap ikan, sebagai berikut ;

A) Sebaiknya ikan telah berumur 3 minggu atau lebih, karena pada umur kurang dari 3 minggu,organ-organ yang berperan dalam sistem pembentukan antibody belum berkembang sempurna. Organ-organ yang terlibat dalam sistem kekebalan ikan meliputi reticula endothelial (ginjal bagaian depan, thymus, limfa dan hati ) limfosit,plasmoit dan fraksi serum protein tertentu.

B) Status kesehatan ikan harus dalam kondisi optimal, ikan yang sedang sakit misalnya karena terinfeksi pathogen parasitic sebaiknya jangan divaksinasi terlebih dahulu sebelum parasit tersebut diberantas.

C) Suhu air relative hangat (> 26o C). vaksin dan pemeliharaan ikan pada suhu air > 28 o C, respon antibody yang terbentuk akan lebih cepat dibandingkan dengan suhu air yang lebih rendah.

D) Air yang digunakan untuk melakukan vaksinasi dan pemeliharaan ikan harus bebas dari unsur polutan. Air yang mengandung unsur polutan akan menghambat proses pembentukan antibody ( immunosupressif ) dalam tubuh ikan.

2.9 Aplikasi vaksin melalui suntikan

Cara pemberian vaksin melalui suntikan lebih tepat untuk ikan-ikan yang berukuran relatif besar, jumlahnya tidak terlalu banyak dan berharga tinggi, misalnya induk ikan. Namun demikian mengenai jumlah yang banyak pada saat

(27)

ini tidak merupakan masalah yang menjadi faktor pembatas karena sudah ada alat vaksinasi automatic. Keuntungan pemberian vaksin melalui penyuntikan adalah 100 % vaksin dapat masuk kedalam tubuh ikan.

Ada dua cara penyuntikan yang biasa dilakukan, yaitu dimasukkan kerongga perut (intra peritioneal ) dan dimasukkan kedalam otot/daging (intra muscular). Penyuntikan secara IP dilakukan dibagian perut diantara kedua sirip perut atau sedikit didepan anus, dengan sudut kemiringan jarum suntik (needle) kira-kira 30 0. Penyuntikan secara IM biasanya dilakukan dibagian punggung, pada ikan yang bersisik biasanya dilakukan disela-sela sisik ke 3-5 dari kepala, dengan sudut kemiringan jarum suntik 30-40 0.namun mengingat bahwa sifat kulit ikan tidak dapat secara cepat menutup kembali setelah ditusuk dengan jarum suntik (daya elastisnya kurang) maka lebih disarankan penyuntikan dengan vaksin dilakukan secara intraperitioenal.

(28)

III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2013, bertempat di Laboratorium Penelitian/ Perekayasaan Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Takalar. Sementara itu pengadaan antigen, bakteri pathogen dilakukan di laboratorium Kesehatan Ikan Balai Budidaya Air Payau (BBAP ) Takalar, Desa Mappakalompo, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar.

3.2 Materi Penelitian

A. Alat dan Bahan Penelitian

Alat- alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Alat yang akan digunakan dalam penelitian

No. Nama alat Kegunaan

1 Ember vol.40 liter Wadah Penelitian 2 Peralatan aerasi Suplai oksigen 3 Filter bag Menyaring air media 4 Selang siphon Menyipon kotoran 5 Seser Menangkap ikan

6 Timbangan Menimbang ikan sampel & media TCBS 7 Mistar Mengukur panjang ikan sampel

8 Peralatan tulis Mencatat hasil sampling 9 Cawan petri Tempat media kultur bakteri 10 Bunsen Sterilisasi jarum ose

(29)

12 Pisau bedah Membedah organ dalam ikan 13 Jarum ose Mengambil bakteri dari badan ikan 14 Erlenmeyer Tempat mencampur media bakteri 15 Tabung reaksi Tempat menyimpan larutan bakteri 16 Micropipet Mengambil larutan bakteri

17 Sentrifuge Memisahkan supernatant bakteri 18 Inkubator shake Tempat menginkubasi biakan bakteri 19 Autoklaf Tempat mensterilkan media

20 Mikrobact 24 E Wadah mengidentifikasi bakteri vibrio

21 Jarum suntik Menyuntik ikan dengan vaksin atau pathogen

22 Hemacitometer Menghitung sebaran dan jumlah bakteri 23 Mikrosop Pengamatan jumlah & morfologi bakteri

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut Tabel 2. Bahan yang akan digunakan dalam penelitian

No. Nama Bahan Kegunaan

1 Air laut Media pemeliharaan

2 Ikan baronang Obyek penelitian

3 Isolat murni bakteri vibrio Obyek penelitian / uji tantang 4 Vaksin polivalen Obyek penelitian vaksinasi 5 Triptic Soy Agar (TSA) Media identifikasi bakteri umum 6 TCBSA Media identifikasi bakteri spesifik 7 Nutrient Agar (NA) Suplemen untuk bakteri vibrio 8 Pakan KRA 3 Pakan ikan baronang

(30)

9 Aquades Campuran media TSA dan TCBSA 10 Pewarnaan Gram Ryu Pewarnaan morfologi bakteri

11 Reagen Microbact Pereaksi untuk identifikasi spesies vibrio 12 Minyak emersi Mengikat obyek dalam preparat

3.3 Prosedur Penelitian

Prosedur yang dilakukan dalam penelitian efektifitas vaksin vibrio ini adalah sebagai beikut :

A. Persiapan wadah & media

Wadah yang digunakan dalam penelitian ini berupa ember plastik bervolume 40 liter dan di isi dengan air laut steril sebanyak 35 liter. Ember disusun secara seri dengan tiga kali ulangan atau barisan dan dilengkapi dengan peralatan aerasi. Hewan uji yang digunakan adalah ikan baronang dengan berat rata-rata 150 gram ( ± 1 gram). Jumlah hewan uji pada setiap unit penelitian adalah 5 ekor. Sebelum dilakukan penelitian, hewan uji diadaptasi dalam wadah pemeliharaan selama 7 hari.

B. Penyediaan Vaksin

Vaksin yang digunakan adalah CAPRIVAC VIBRIN- L produksi PT Caprifarmindo Laboratories, Bandung – Indonesia. Seperti yang diketahui bahwa vaksin adalah imunogen yang mampu menginduksi sistem pertahanan spesifik (antibody spesifik ) ikan dan hanya melakukan perlawanan sesuai dengan jenis antigen yang pernah menyerang sebelumnya. Vaksin yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah vaksin vibrio polivalen yang memiliki empat antigen

(31)

dan mampu menangkal serangan bakteri penyebab penyakit vibriosis. Kandungan bakteri atau antigennya sebagai berikut; Vibrio Camplelli 2J2 ( 2,5 x 106 CFU ), Vibrio Algylinoticus 24 SK ( 2,5 x 106 CFU), Vibrio fluvialis 16G ( 2,5 x 106 CFU) dan Vibrio sp 2SA ( 2,5 x 106 CFU).

C.Isolasi bakteri dari ikan Kultur & isolasi bakteri

Sebelum melakukan isolasi bakteri, ikan donor dilakukan infeksi dengan sediaan antigen dari laboratorium dengan cara disuntik, metode ini dikenal dengan sistem pengganasan, karena walau bagaimanapun bakteri yang telah lama tersimpan akan menurun virulensinya. Isolasi bakteri dilakukan dilaboratorium atau tempat tidak ada hembusan angin, hal ini dilakukan secepat mungkin untuk mencegah kontaminasi ( (Yuasa,2003 ). Pengambilan bakteri dilakukan pada organ dalam ikan dengan pertimbangan bahwa organ dalam akan lebih cepat terinfeksi apabila pengganasan bakteri dilakukan dengan cara penyuntikan. Metode inokulasi bakteri dari organ dalam sebagai berikut ;

a. Bersihkan permukaan tubuh ikan dengan kapas beretanol 70%

b. Bedah ikan dan buka rongga perut dengan peralatan bedah yang steril dan diusahakan tidak melukai usus.

c. Gunting permukaan tiap organ dalam dengan pisau bedah steril

d. Masukkan jarum ose yang telah dibakar untuk mengambil sampel jaringan dan sebar ke agar (Media TCBSA )

e. Bakteri umumnya diisolasi dari limpa, ginjal dan hati.

(32)

Identifikasi Bakteri

Koloni bakteri yang diisolasi dari ikan,biasanya mengandung bakteri lingkungan. Bakteri ini harus dipisah atau dibuang dengan menggunakan media kultur spesifik misal media TCBSA yang hanya bisa ditumbuhi dengan baik oleh bakteri vibrio sehingga keberadaan koloni bakteri lain dapat dihilangkan. Pathogen pada luka ikan yang terinfeksi biasanya tumbuh dominan sehingga koloni yang jumlahnya dominan pada kultur media dianggap sebagai pathogen utama ( Yuasa, et,al 2003 ).

Identifikasi bakteri yang dilakukan melalui berbagai tahap yakni identifikasi morfologi koloni dengan media biakan TCBSA dan TSA, identifikasi umum morfologi bakteri dengan pewarnaan gram, katalase dan oksidasi. Identifikasi pewarnaan gram dilakukan dengan bantuan mikroskop. Identifikasi secara morfologi/meliputi bentuk koloni, warna, sifat tembus cahaya, bentuk pinggiran dan permukaan koloni. Sementara untuk identifikasi morfologi bakteri dilakukan dengan menggunakan pewarnaan gram dibawah mikroskop (1000x ). Dengan pewarnaan Gram , dapat dibedakan antara Gram positif dan Gram negative. Gram positif berwarna biru dan Gram negative berwarna merah. Bakteri Vibrio sp sendiri teriidentifikasi sebagai gram negative dengan batang berbentuk koma dan ukuran 1,02 x 0,5-0,8 µm.:

E.Uji patogenitas

Uji patogenitas dilakukan untuk mengkonfirmasi apakah bakteri patogen yang berhasil diisolasi dari ikan baronang yang sakit mampu menginfeksi kembali ikan baronang yang sehat dengan gejala yang sama. Uji patogenitas ini juga untuk menentukan nilai lethal konsentrasi (penyebab kematian ) yang nantinya digunakan sebagai dosis dalam perlakuan uji tantang dengan vaksin vibrio.

(33)

Menghitung jumlah bakteri dalam larutan yang digunakan untuk infeksi

Sebelum dilakukan uji patogenitas atau uji virulensi dilakukan penghitungan jumlah bakteri terlebih dahulu. Jumlah bakteri dapat diduga dengan menghitung jumlah koloni pada agar atau melakukan penghitungan dengan bantuan haemasitometer dimikroskop, dan untuk menghitung jumlah bakteri pada agar yang tersedia dalam bentuk larutan, langkah kerjanya sebagai berikut :

a. Hitung jumlah bakteri yang diambil dengan mikro pipet sebanyak 0,1 ml dengan menggunakan haemasitometer

b. Encerkan larutan bakteri dengan larutan Nacl 0,9% pada tabung reaksi dengan pengenceran kelipatan 10 sampai 10-6

c. Inokulasi larutan bakteri dengan pengenceran 105 pada tempat yang terpisah sebanyak 0,1 ml

d. Inkubasi pada suhu kamar selama 1-2 hari e. Bakteri siap digunakan

Uji pathogen dengan metode suntik

Langkah-langhak kerja untuk uji pathogen dengan metode suntik intraperitoneal adalah sebagai berikut :

a. Bakteri yang sudah dihitung diinokulasi pada larutan agar dan diinkubasi pada suhu 28-37 °C selama 24-48 jam.

b. Ambil larutan bakteri dengan spoit dengan dosis 102 sel/ml, 103 sel/ml, 104 sel/ml, 105 sel/ml dan 106 sel/ml

c. Suntikkan 0,2 ml larutan bakteri setiap dosis ke ikan sehat secara intraperitoneal

(34)

d. Ikan yang telah disuntik kemudian dipelihara dalam media terkontrol dan kualitas lingkungan yang optimal bagi pertumbuhan ikan.

e. Catat gejala klinis ikan dan waktu terjadinya kematian atau mortalitas pada ikan.

Pemantauan gejala klinis

Selama pemeliharaan dalam waktu satu minggu tersebut semua ikan mengalami infeksi namun tingkat keakutan infeksi penyakit terhadap dosis perlakuan pada ikan berbeda-beda. Berikut penjelasan dalam bentuk tabel. Tabel 3 Gejala klinis serangan bakteri vibrio pada ikan baronang

Gejala Klinis berdasarkan dosis uji

Hari 102 sel/ml 103 sel/ml 104 sel/ml 105 sel/ml 106 sel/ml I Melanosis Melanosis Melanosis Melanosis Melanosis Berlendir Berlendir II Berlendir Berlendir Berlendir Red Mouth Red Mouth Hemoragik Hemoragik parah

III Berlendir Red mouth Red Mouth Hemoragik parah Mata Bengkak

Hemoragik Edema

IV Ikan stabil Edema Hemoragik Mati Mati V Ikan stabil Edema > Hemoragik Mati Mati Memudar mengering

> Nafsu Makan (-)

(35)

VI Ikan sehat Ikan stabil Ikan stabil Mati Mati VII Ikan sehat Ikan sehat Ikan sehat Mati Mati

Dari hasil pengamatan gejala klinis tersebut diatas didapatkan data bahwa letal konsentrasi terjadi pada dosis 106 dan dosis 105 sel/ml. Kedua dosis tersebut mampu membuat mati ikan di hari ke empat setelah infeksi. Karena pertimbangan bahwa dosis letal terendah yang digunakan maka dosis 105 sel/ml yang digunakan. Dosis 105 sel/ml sudah cukup untuk membuat ikan baronang mati. Dari semua ikan yang disuntik dengan bakteri memperlihatkan gejala melanosis dan berlendir. Gejala melanosis (perubahan warna kulit ) ini disebabkan karena ikan mengalami stress akibat disuntik sedangkan badan berlendir (mucus) disebabkan karena adanya reaksi penolakan terhadap bakteri atau karena menurunnya mutu kualitas air media.Lendir merupakan media terbaik untuk pertumbuhan bakteri karena memiliki nutrisi yang cocok untuk pertumbuhan vibrio (Irianto 2005). Lendir merupakan indikator utama dalam mendiagnosis serangan bakteri terutama serangan pathogen vibrio. Dari hasil pengamatan gejala klinis juga terlihat bahwa terkadang ikan bisa langsung mati apabila telah terjadi haemoragik parah tanpa melalui fase mata menonjol (pop eye ) .Bakteri dengan dosis 102 dan 103, tidak mampu membuat ikan sakit atau bahkan mati, namun terjadi respon perlawanan dari imun ikan ,sementara bakteri dengan dosis 104 mampu membuat ikan sakit tapi dapat diatasi oleh sistem imun ikan. Dibutuhkan waktu sekitar 4 hari ikan untuk mengembalikan kondisi kesehatannya menjadi normal/stabil.

(36)

F.Vaksinasi

Vaksinasi dilakukan dengan cara menyuntikkan ikan baronang uji secara intraperitonial. Perlakuan pertama adalah menyuntikkan ikan dengan dosis 0,2 ml / ikan dengan satu kali suntikan (priming), sementara perlakuan kedua dilakukan dengan menyuntikkan ikan dengan vaksin 0,1 ml / ikan untuk penyuntikan pertama dan dilakukan penyuntikan susulan (booster ) juga dengan dosis yang sama yakni 0,1 ml / ikan setelah 7 hari dari penyuntikan awal. Perlakuan ketiga juga dilakukan booster dengan dosis yang sama namun interval waktu penyuntikan susulan lebih lama yakni 14 hari. Sementara perlakuan yang keempat adalah kontrol yakni ikan dilakukan penyuntikan dengan larutan PBS tanpa vaksin. Ikan kemudian dipelihara pada kondisi lingkungan yang memenuhi syarat.

G. Uji tantang

Kultur murni bakteri Vibrio alginolyticus yang virulen (hasil pasase) pada media TSA akan dipanen dan disuntikkan kepada ikan baronang uji baik vaksin priming, vaksin booster maupun kontrol secara intraperitonial sebanyak 0,1 ml dengan dosis berdasarkan hasil uji patogenitas dalam penentuan Letal konsentrasi. Penyuntikan bakteri dilakukan secara bersamaan untuk semua perlakuan. Penyuntikan dilakukan setelah satu minggu dari booster terakhir. Ikan akan dipelihara selama 2 minggu setelah diuji tantang dan dihitung RPS ( Relatif Percentage Survival ).

H. Tahap Pemeliharaan

Ikan yang telah divaksin dan diuji tantang akan dipelihara dengan waktu minimal 1 bulan. Selama pemeliharaan ikan akan diberi pakan KRA 3 dengan dosis 3 % dari BB dan diberi 3 kali perhari yakni pukul 08.00, 12.00, dan 16.00.

(37)

Untuk penanganan kualitas air media dilakukan penyiponan dan pergantian air sebanyak 30 % dari jumlah air media setiap dua hari sekali.

I.Parameter yang akan diukur 1. SR (Survival Rate )

Tingkat sintasan hewan uji (SR ) adalah merupakan prosentase dari jumlah hewan uji yang hidup pada akhir penelitian dengan jumlah hewan uji pada awal penelitian. Untuk mengetahui tingkat sintasan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie 1997 ):

Dimana :

SR = Survival rate (%)

Nt = Jumlah hewan uji yang hidup pada akhir penelitian (ekor)

No = Jumlah hewan Uji yang hidup pada awal penelitian (ekor) 2. RPS ( Relative Percentage Survival )

RPS ( Relative percentage survival ) adalah tingkat persentase ikan yang sembuh dari serangan bakteri. RPS > 60 % membuktikan bahwa vaksin tersebut telah bekerja efektif dan apabila hasil RPS < 60% maka vaksin tersebut tidak berjalan secara efektif atau tidak layak digunakan (Hambali 2013 ). Berikut rumusnya :

RPS = 1- ( MrV/ MrC ) x 100 %

N

t

S R = x 100%

N

o

(38)

Dimana RPS = Relative percentage Survival

MrV = Mortalitas ikan vaksin

MrC = Mortalitas ikan kontrol

3. Prevalensi

Prevalensi adalah persentase jumlah ikan yang sakit yang menggambarkan kondisi tertentu dalam periode waktu tertentu ( Period Prevalence ). ( Desrina 2007 )

Prev = ( Jk / Jp ) x 100 %

Dimana:

Prev = Prevalensi

Jk = Jumlah kasus ikan sakit Jp = Jumlah populasi ikan

4. Pertumbuhan Mutlak

Untuk mengukur pertumbuhan benih baronang akan dilakukan penimbangan dengan timbangan metler dengan ketelitian 0,0001 gram. Pertumbuhan berat mutlak dihitung sesuai sebagai berikut (Effendie 2007 ) :

h = Wt – Wo Dimana

h = Pertumbuhan berat mutlak (gram)

Wt = Rata-rata berat individu pada akhir penelitian (gram)

(39)

5. Pengukuran Kualitas Air

Adapun sebagai data penunjang akan dilakukan pengukuran parameter fisika dan kimia kualitas air yang meliputi : suhu, salinitas, DO, pH, dan NH3.

Pengukuran kualitas air dilakukan secara periodik sekali dalam seminggu.

6.Rancangan Percobaan

Penelitian ini akan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan4 perlakukan. Masing-masing perlakuan terdiri dari tiga ulangan sehingga jumlah satuan percobaan ialah 12 unit percobaan. Adapun perlakuan yang diujikan adalah :

a. Perlakuan A : Ikan uji akan disuntik dengan metode vaksin priming (satu kali suntik ) dengan dosis 0,2 ml/ikan dan diuji tantang dengan bakteri vibrio berdasarkan dosis lethal concentration

b. Perlakuan B : Ikan uji akan disuntik dengan metode vaksin booster (dua kali suntik ) dengan dosis 0,1 ml/ikan setiap penyuntikan dengan rentang waktu 7 hari dan diuji tantang dengan bakteri vibrio berdasarkan dosis letal konsentrasi

c. Perlakuan C : Ikan uji akan disuntik dengan metode vaksin booster (dua kali suntik ) dengan dosis 0,1 ml/ikan setiap penyuntikan dengan rentang waktu 14 hari dan diuji tantang dengan bakteri vibrio berdasarkan dosis letal konsentrasi

d. Perlakuan D : Kontrol.Ikan uji hanya disuntik dengan larutan PBS tanpa disuntik bakteri.

Penempatan unit percobaan tersebut dilakukan secara acak menurut Pola Acak Lengkap (Gasperz, 1991)

(40)

J.Analisis Data

Data penelitian yang meliputi RPS (Relative Percentage Survival ), Prevalensi, SR ( Survival Rate ) , dan Pertumbuhan mutlak, akan dianalisis dengan analisa ragam (ANOVA) sehingga dapat diketahui pengaruh perlakuan pada Penelitian ini. Apabila perlakuan memberi pengaruh yang nyata maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) sesuai petunjuk Gasperz (1991). Parameter kualitas air dianalisis secara deskriptif berdasarkan tingkat kelayakan untuk budidaya ikan baronang lada ( Siganus guttatus ).

(41)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Survival Rate

Tingkat sintasan hewan uji (SR ) adalah merupakan persentase dari jumlah hewan uji yang hidup pada akhir penelitian dengan jumlah hewan uji pada awal penelitian yang dipelihara dalam suatu unit penelitian (Effendie 1985 ). Hasil perhitungan survival rate atau sintasan ikan beronang yang disuntik vaksin dan diuji tantang dengan bakteri vibrio adalah sebagai berikut.

Tabel 4 Data pengaruh vaksin terhadap kelulusan hidup ikan pasca uji tantang

Metode injeksi ulangan Jumlah Rerata 1 2 3 Priming 3 3 2 8 2,666 a Booster 1 minggu 4 3 4 11 3,666 b Booster 2 minggu 5 4 4 13 4,333 b Kontrol 0 1 0 1 0,333 c Jumlah 12 11 10 33 10,998

Keterangan : huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata antarperlakuan pada taraf 5% (P<0.05)

Berdasarkan table diatas maka dapat diketahui bahwa SR atau tingkat kelulusan hidup ikan baronang tertinggi didapatkan pada perlakuan booster vaksin 2 minggu (4,33), kemudian diikuti oleh perlakuan boster vaksin 1 minggu (3,66), lalu suntik vaksin dengan cara priming (2,66) dan terakhir adalah perlakuan Kontrol (0,33) yang nyaris mendekati titik terendah atau nol. Hasil penelitian ini senada dengan pernyataan Jhonny F (2004 ) bahwa dalam

(42)

serangan bakteri vibrio umumnya akan memperlihatkan gejala mortalitas yang sangat cepat dan hampir 100 % dihari kedua atau ketiga setelah infeksi.

Hasil analisis sidik ragam (ANSIRA) menunjukkan bahwa penerapan atau penggunaan vaksin dalam menangkal serangan bakteri pathogen vibrio memberikan pengaruh yang sangat nyata dimana nilai F hitung sebanyak 27,84 jauh diatas Ftabel 1% (uji taraf tinggi ) yang hanya sebesar 7,59 dan Ftabel 5%(uji taraf rendah ) yang sebesar 4,07. Dari hasil ANSIRA juga dapat disimpulkan bahwa pemberian vaksin dalam menangkal serangan vibrio berhasil dengan sangat baik dan berarti pula ada salah satu perlakuan yang pengaruhnya sangat menonjol dibandingkan dengan kontrol yakni perlakuan booster 2 minggu. Sementara itu nilai koefisien keragaman (KK ) 5,2 % maka dilakukan uji lanjutan yakni uji beda nyata terkecil (BNT).

Hasil uji BNT menunjukkan hasil yang cukup variatif dimana perlakuan booster vaksin 2 minggu (B2) tidak berbeda nyata dengan perlakuan vaksin 1 minggu (B1) namun sangat berbeda nyata dengan perlakuan priming (P) dan perlakuan kontrol (K). Sementara perlakuan B1 berbeda nyata dengan perlakuan P dan berbeda sangat nyata dengan perlakuan K dan terakhir perlakuan P juga menunjukkan hasil berbeda sangat nyata dengan perlakuan K. Berikut gambaran histogram tingkat SR ikan selama perlakuan.

(43)

Gambar 4 Survival Rate Ikan uji selama penelitian

Perlakuan vaksin B2 dan B1 menunjukkan hasil yang sangat memuaskan dalam hal meningkatkan sintasan ikan yang diuji tantang karena vaksin yang diberikan secara booster mampu meningkatkan level antibodi dan daya memorizing terhadap antigen spesifik yang masuk. Vaksin yang masuk pertama kali akan direspon oleh limfosit darah ikan dengan cara membentuk sell B dan sel B inilah yang membentuk antibodi spesifik dan melakukan proses memorizing (pengenalan reseptor ) sehingga ketika vaksin atau antigen spesifik masuk untuk yang kedua kalinya sistem imun atau limfosit akan menghasilkan antibody dalam jumlah yang cukup untuk protektif karena telah terjadi pengenalan antigen tersebut sebelumnya. Meskipun hasil antara Booster 2 minggu dan booster 1 minggu menunjukkan hasil tidak beda nyata tapi lebih disarankan untuk menggunakan metode vaksin booster 2 minggu karena terbukti lebih tinggi tingkat sintasan ikan yang diuji tantang dengan bakteri vibrio.

Sementara itu tingkat kelulusan hidup ikan yang divaksin dengan metode priming yang hanya sedikit diatas 50% disebabkan proses pengenalan vaksin dengan jumlah dosis yang terlalu banyak juga tidak mampu memberikan efek stimulant antibodi. Kuat dugaan terjadi peluruhan antibodi dalam rentang waktu

0 5 10 15

Priming Bo1M Bo2M Kontrol

(44)

sampai ikan disuntik uji tantang dengan bakteri pathogen vibrio sehingga antibodi yang terbentuk tidak maksimal dan tidak mencapai konsentrasi protektif. Antibodi yang tidak berkembang secara penuh ini bisa diakibatkan adanya kondisi lingkungan yang berubah –ubah (suhu dan salinitas berubah karena sering terjadi hujan ) dan mengakibatkan ikan mengalami kondisi stressor dan juga bisa jadi dikarenakan ikan stress karena perlakuan diantaranya dilakukan sampling dan air yang sedikit keruh karena banyaknya larutan sisa pakan dan plankton yang tumbuh diair. Selain itu pergantian air juga ditenggarai memiliki andil yang besar bagi meningkatnya stress ikan uji.

Untuk menghindari cepatnya menurun jumlah antibody maka disarankan memberikan adjuvant dimana adjuvant ini berfungsi sebagai depot penampungan vaksin dan akan mengeluarkan vaksin sedikit demi sedikit dan dalam jangka waktu yang lama. Selain penggunaan adjuvant dapat juga dilakukan pemberian imunistimulan. Sementara perlakuan K yang memperlihatkan hasil nyaris 0 % dikarenakan ikan baronang sudah tidak mampu mengatasi bakteri dengan dosis letal yang mencapai 105 sel/ml.

4.2 RPS (Relative Percentage Survive )

RPS ( Relative percentage survival ) adalah tingkat persentase ikan yang bertahan hidup dari serangan bakteri. RPS ini didasarkan atas kematian ikan yang terjadi setelah uji tantang. Kematian diamati setiap hari selama 15 hari. RPS ini ditentukan berdasarkan formula, RPS = 1 – (v/k) x 100%, dengan v adalah mortalitas ikan yang divaksin (%) dan k adalah mortalitas ikan kontol (%). RPS > 60 % membuktikan bahwa vaksin tersebut telah bekerja efektif dan apabila hasil RPS menunjukkan nilai < 60% maka vaksin tersebut tidak berjalan

(45)

secara efektif atau tidak layak digunakan (Hambali 2013 ). Berikut table yang memperlihatkan hasil RPS dari ikan yang divaksin

Tabel 5 RPS (Relative Percentace Service ) ikan yang divaksin

Ikan mati (Ulangan Percobaan)

Metode 1 2 3 Jumlah Rerata RPS(%)

(A) Priming 2 2 3 7 2,33 50

(B) Booster 1 Mgu 1 2 1 4 1,33 72

(C) Booster 2 Mgu 0 1 1 2 0,66 86

(D) Kontrol* 5 4 5 14 4,66 0 *hanya sebagai faktor pembagi

Dari hasil yang tertera diatas dapat disimpulkan bahwa metode pemberian vaksin dengan cara priming (RPS 50) tidak dianjurkan dalam pencegahan penyakit vibrio, selain karena tidak efektif memberikan perlindungan juga akan merugikan baik dari segi waktu dan teknis. Dalam hitungan ekonomi hal ini kurang menguntungkan karena selain menurunkan potensi pendapatan dari jumlah hasil panen dan juga membutuhkan vaksin dalam jumlah yang lebih banyak. Sementara itu metode vaksin dengan cara booster 2 minggu (RPS 86) adalah hasil yang terbaik diikuti dengan metode booster 1 minggu (RPS 72) .Sangat disarankan untuk melakukan booster untuk pencegahan ikan dari serangan bakteri pathogen vibrio.

Dalam rangkuman penelitian yang dilakukan Desriana 2007 , hasil yang hampir sama juga dilaporkan oleh Rahman dan Kawai (1999) pada ikan mas koki, Collado et al., (2000) pada ikan sidat, Rahman et al. (2002) pada ikan mas,

(46)

Qian et al.,(2008b) pada ikan large yellow croacker dan Cai et al. (2010) pada ikan Lutjanus erythroptherus dimana nilai RPS yang didapatkan pasca uji tantang berkisar antara 70-80. Perlu disampaikan bahwa semua peneliti di atas menggunakan dosis yang lebih tinggi dari yang digunakan dalam penelitian ini dan menggunakan vaksin sub unit.

Histogram nilai RPS dari setiap perlakuan adalah sebagai berikut :

Gambar 5 Histogram RPS (Relative Percentace Survival ) Ikan uji

4.3 Prevalensi

Prevalensi adalah persentase jumlah ikan yang sakit yang menggambarkan kondisi tertentu dalam periode waktu tertentu ( Period Prevalence ). ( Desrina 2007 ). Pengamatan ikan sakit dilakukan segera setelah selesai uji tantang. Pengamatan dilakukan dengan memperhatikan gejala klinis ikan perlakuan dan mencatatnya. Gejala klinis yang terlihat dari ikan yang terkena serangan bakteri vibrio yakni terjadinya pelpeasan mucus (lendir), perubahan warna (melanosis), red mouth (bibir merah),haemoragik (borok) ,edema (Irianto 2005 ) dan dalam tingkat yang sangat parah terjadinya pengelupasan sirip (gripis ) dan pop eye (mata bengkak) (Murdjiman 2004 ).

0 20 40 60 80 100

(47)

Berikut tabel yang mengambarkan hasil dari prevalensi ikan yang diuji coba

Metode injeksi ulangan Jumlah % Rerata 1 2 3 Kontrol 5 5 5 15 100,00 5,00 Priming 2 2 3 7 46,66 2,33 ** Booster 1 minggu 1 2 2 5 33,33 1,66 ns Booster 2 minggu 0 1 2 3 20,00 1,00 ns Jumlah 8 10 12 30 9,99 Keterangan : ** beda sangat nyata

ns (not significant ) tidak beda nyata pada taraf minimum (5%)

Berdasarkan tabel diatas maka dapat diketahui bahwa prevalensi (jumlah ikan yang sakit ) terbanyak terjadi perlakuan kontrol yakni 100% yang artinya semua ikan yang diuji tantang terinfeksi dan memperlihatkan hasil yang sangat beda nyata dengan ikan yang vaksin bahkan dengan nilai tertingi prevalensi ikan vaksin yakni metode priming. Selain itu,ikan kontrol sudah memperlihatkan gejala klinis awal dengan mengeluarkan lendir bahkan dihari kedua uji tantang. Berturut diposisi kedua yakni metode priming dengan persentase 46,66 atau hampir separuhnya dan diikuti metode boster 1minggu dan booster 2 minggu dengan masing-masing persentase sebanyak 33,33 % dan 20 %. Antara dua perlakuan ini tidak terjadi beda nyata (not signifikan).

Analisis sidik ragam (ANSIRA) juga menunjukkan hasil bahwa terjadinya prevalensi sangat terlihat bagi ikan yang tidak disuntik (kontrol ) dengan vaksin dan terjadi perbedaan yang sangat nyata dengan hasil terendah ikan vaksin

(48)

(priming ). Hal ini berarti bahwa semua ikan yang disuntik vaksin memberikan respon imun terhadap bakteri vibrio.

Dari hasil uji BNT terlihat data bahwa jumlah ikan yang sakit pada perlakuan kontrol sangat berbeda nyata dengan semua jumlah ikan yang sakit per perlakuan vaksin.Nilainya jauh diatas batas taraf tinggi (1%) yang jumlahnya sebanyak 1,51. Sementara itu perbandingan antara sesama ikan perlakuan vaksin memperlihatkan data bahwa antara priming dengan perlakuan booster 1 minggu tidak beda nyata dan dengan perlakuan booster 2 minggu memperlihatkan hasil hanya beda nyata. Sementara itu antara perlakuan booster 1 minggu dan booster 2 minggu juga menghasilkan data tidak beda nyata.

Gambar 6 Histogram Prevalensi Ikan berdasarkan perlakuan

4.4 Laju Pertumbuhan Mutlak

Laju Pertumbuhan mutlak Ikan baronang yang selama pernelitian dapat dilihat dari lampiran, sedangkan rata-rata laju pertumbuhannya dapat dilihat pada tabel dibawah ini

0 2 4 6 8 10 12 14 16

(49)

Tabel 7 Data Laju Pertumbuhan Mutlak

Metode injeksi Rerata Wt Rerata Wo LPH

Bo2 Minggu 178.66 158 20.66 Bo1 Minggu 177.33 158 19.33 Priming 174.00 158 16.00 Kontrol 167.00 158 9.00

Jumlah 64.99

Laju pertumbuhan mutlak ikan memperlihatkan hasil bahwa pertumbuhan terbaik terjadi pada perlakuan booster 2 minggu,hal ini berbanding lurus dengan hasil SRnya yang sangat tinggi. Hal ini dimungkinkan karena ikan tidak terlalu mengalami kondisi sakit sehingga laju pertumbuhannnya juga ikut baik. Selanjutnya ada perlakuan vaksin booster 1 minggu dengan nilai 19.33.perlakuan ini memperlihatkan hasil yang tidak beda nyata dengan perlakuan booster 2 minggu. Sementara itu perlakuan kontrol memperlihatkan hasil laju pertumbuhan yang sangat rendah karena setelah uji tantang ikan mengalami sakit dan tidak mau makan,sehingga laju pertumbuhannya setelah uji tantang sangat rendah.

(50)

Gambar 7 laju pertumbuhan mutlak ikan baronang

4.5 Pengukuran Kualitas Air

Selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran parameter fisika-kimia air media pemeliharaan larva beronang lada meliputi : Suhu, pH, oksigen terlarut dan amoniak. Nilai kisaran parameter kualitas air dapat dilihat pada dibawah ini. Parameter Perlakuan A B C D Suhu (ºC) 29 – 30 29 – 30 29 – 30 29 – 30 pH 7,55 – 7,73 7,48 – 7,65 7,43 – 7,71 7,50 – 7,65 O2 (ppm) 4,45 - 5,81 4,53 - 5,80 4,57 - 5,80 4,55 - 5,85 Amoniak (ppm) 0,002- 0,036 0,003 - 0,030 0,002 - 0,028 0,005 - 0,036 0 5 10 15 20 25

(51)

Suhu air media pemeliharaan benih baronang selama penelitian berkisar antara 29 - 30ºC. Kisaran tersebut masih layak untuk kelangsungan hidup ikan beronang. Suhu yang optimal untuk kehidupan ikan berkisar antara 25 – 33 oC, namun suhu ideal adalah 27 – 32 oC dengan perubahan yang tidak ekstrim (Kordi, 2005). Suhu dapat menyebabkan beberapa variabel kualitas air berada di bawah batas toleransi organisme. Meningkatnya tingkat metabolisme dapat diakibatkan oleh peningkatan suhu air dan pada akhirnya meningkatkan kebutuhan oksigen, dilain pihak kelarutan oksigen menurun sejalan dengan peningkatan suhu.

pH air media pemeliharaan ikan beronang untuk semua perlakuan selama penelitian berkisar antara 7,43 - 7,73. Kisaran ini masih dalam batas yang layak untuk kehidupan ikan beronang. Ikan beronang tumbuh optimal pada pH 7,2 – 8,5. Bahkan pada pH 6,5 pun ikan beronang masih hidup dengan baik, tetapi pertumbuhannya lambat (Sunyoto dan Mustahal, 1997).

Kandungan Oksigen terlarut (O2 ) selama penelitian berkisar antara 4,45-

5,85 ppm. Nilai kisaran tersebut masih layak untuk mempertahankan sintasan ikan beronang. Kandungan oksigen terlarut 4 ppm merupakan standar yang tidak boleh kurang untuk kelayakan kehidupan organisme dalam perairan ( Boyd, 1990).

Kandungan amoniak yang terukur selama penelitain berkisar antara 0,002 - 0,036 ppm. Nilai kisaran ini masih layak untuk mempertahankan kelangsungan hidup ikan beronang. Untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan kadar amonia dalam media pemeliharaan ikan beronang hendaknya tidak melebihi 0,1 ppm (Boyd, 1990). Amonia dapat berasal dari buangan bahan organik yang mengandung senyawa nitrogen seperti protein maupun sebagai hasil ekskresi.

(52)

Amonia juga dihasilkan melalui amonifikasi bahan organik seperti pakan yang tidak terkonsumsi dan feses (Effendie, 2003).

(53)

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam pengamatan parameter peubah yakni SR, RPS dan Prevalensi perlakuan yang memperlihatkan hasil terbaik adalah boster 2 minggu dan diikuti oleh booster 1 minggu. Namun diantara perlakuan ini hanya memperlihatkan hasil yang tidak beda nyata, dan akan memperlihatkan hasil yang berbeda sangat nyata jika dibandingkan dengan perlakuan metode priming maupun kontrol

2. Laju pertumbuhan mutlak juga didapatkan hasil terbaik dari perlakuan booster 2 minggu,beturut-turut diikuti booster 1 minggu, vaksin cara priming dan terakhir kontrol. Untuk perlakuan kontrol pertumbuhan terhambat dikarenakan ikan mengalami sakit dan strees sehingga pertumbuhanberatnya tidak memperlihatkan hasil yang memuaskan.

B.Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan berupa jumlah penggunaan dosis yang tepat, analisa parameter darah ikan setelah dan sebelum uji tantang. Selain itu penelitian tentang penerapan immunistimulan sangat dianjurkan untuk mencari perpaduan antara metode pertahanan tubuh ikan baik secara spesifik maupun non spesifik.

(54)

DAFTAR PUSTAKA

Agus S. 2013 Vaksin dan Imunostimulan. Pelatihan Vaksinator Ikan BBAP Jepara September 2012. Laboratorium Penelitian Kesehatan Ikan. Balitbang KKP. Jakarta

Bondad-Reantaso, M.G., S.Kanchanakhan & S.Chinabut. 2000. Review of Grouper Diseases and Health Management Strategies for Grouper and other Marine Finfish Diseases. RegionalWorkshop on Sustainable Seafarming and Grouper Aquaculture. Collaborate APEC Grouper Research and Development Network. FWG 01/99. 17-20 April 2000. Medan, Indonesia

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management For Pond Fish Culture. Developments in Aquaculture and Fisheries Science vol,9 , Elsevier, New York.

Desrina, A. Taslihan, Ambariyanto, E.Yudiati, Y.D. Casessar, R.B.S. Sumanta, Triyanto, H.J.Situmeang & L. Sembiring. 2007. Isolasi, purifikasi dan immunogenitas protein outer membrane Vibrio alginolyticus pada ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). J. Perikanan, IX (1):8-16. Desrina, A.Taslihan, Ambariyanto, B.K. Djati 2011.Pengaruh Dosis Terhadap

Efektifitas Vaksin POM Vibrio alginolitycus 74 kDa pada Ikan Kerapu Macan Epinephelus fuscoguttatus

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.

Ellis ,A.E 1988. General principle of Fish vaccination, Academic Press, London. Feliatra. 1999. Identifikasi Bakteri Patogen (Vibrio sp) Di Perairan Nongsa Batam

(55)

Gasperz, V., 1991. Metode Perancangan Percobaan untuk Ilmu-Ilmu Pertanian Teknik dan Biologi. CV Armico. Bandung.

Hambali S. 2013 Vaksinasi Pada Ikan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, Jakarta.

Hamka, S. Faridah, Mutmainnah dan Faidar, 2008. Penggunaan Pakan Buatan Dan Pakan Alami (Gracillaria Sp) Pada Pendederan Benih Ikan Beronang Lada (Siganus Guttatus). Laporan Tahunan. Balai Budidaya Air Payau Takalar. Departemen Kelautan Dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.

Harth, E., J. Romero, R. Torres, and R. Espejo. 2007. Intragenomic Heterogenity and Intergenomic Recombination among Vibrio parahaemolitycus 16S rDNA. Microbiology, 153: 2640-2647 immunology , 10: 379-382.

Inglis S.W, Canestrini ,1998; Bacterial Diases of Fish, Department Aquaculture, Newcastle University. Brisbane, Australia.

Irianto Agus, 2005. Patologi Ikan Teleostei. Yogyakarta. 256 Hal

Klesius 2001 Outer membrane fraction of Flavobacterium psychrophilum induces protective immunity in rainbow trout and ayu. Fish and shellfish mmunology, 12: 169-179

Kordi, G. 2003. Penanggulanggan Hama dan Penyakit Ikan. Rineka Cipta dan Bina Adiaksa. Jakarta. 194 hal

Murdjani, 2002. Identifikasi dan Patologi Bakteri Vibrio alginolyticus pada Ikan Kerapu Tikus. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Universitas Brawijaya.

(56)

Nagasawa, K & E. R. Cruz-Lacierda (editors). Diseases of Cultured Groupers. Southeast Asian Fisheries Development Center, Aquaculture Department, Iloilo, Philippines. 81 pp.

Nitimulyo, K.H., A. Isnanstyo, Triyanto, M. Murdjani & L. Solichah. 2005b. Effektifitas vaksin polivalen untuk pengendalian vibriosis pada kerapu tikus (Cromoliptes altivelis). J. Perikanan, 2: 95–100

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan.

Post, G. 1987. Texbook of Fish Health. T.F.H. Publications Inc. USA. 288 pp. proteins of Aeromonas hydrophila induce protective immunity in goldfish. Fish and shellfish

Rahman, M.H., A.Kuroda, J.M. Dijkstra, I. Kiryu, T.Nakanishi & M. Ototake. 2002. The outer

Rahmaningsih S.2011. Identifikasi Patogenitas selular bakteri Vibrio alginolyticus yang menginfeksi benih ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis).

Shickney R.R,, Encyclopedia of Aquaculture, John Wiley and Sons, Inc., New York, 2000, p. 418.

Sunarto ,A.Taukhid dan A. Rukyani 2000. Isolation and potency of lipopolysacharidae (LPS ) derived from Aeromonas hydropillia as an immunistimulant for african catfish, Advantage Technology 3: 33-39

Sunyoto, P. and Munstahal, 1997. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis Penting. Penebar Swadaya, Jakarta

Taslihan, A., M. Murdjani, C. Purbomartono & E.Kusnendar. 2000. Bakteri patogen penyebab penyakit mulut merah pada ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). J. Perikanan, II(2): 57-62.

Gambar

Tabel prevalensi ikan uji coba ………………………………………..
Gambar 1. Ikan baronang lada ( Sumber. Google.Image.Com)  2.3  Taksonomi Bakteri Vibrio
Tabel 3 Gejala klinis serangan bakteri vibrio pada ikan baronang                                               Gejala Klinis berdasarkan dosis uji
Gambar 5  Histogram RPS (Relative Percentace Survival ) Ikan uji
+3

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui pengaruh aktivitas inkuiri siswa dalam Outdoor learning pada skor afektif siswa, data dianalisis menggunakan analisis varian dengan regresi linear

Di antaranya yaitu dapat memenuhi kebutuhan makan sehat pada masyarakat perkotaan di masa yang akan datang, meningkatkan hasil produksi pertanian, serta melindungi tumbuhan

Seperti namanya maka kemudi ini langsung digerakan dengan tangan, karena kekuatan tangan kita terbatas maka peralatan kemudi ini hanya dip akai untuk kapal-kapal

Wawancara pada penelitian ini untuk mendapatkan data dan informasi mengenai proses produksi pada Warung Sederhana 2. Selain itu juga berfokus pada biaya-biaya dan

Teknik ini bertujuan untuk mengetahui mindset atau pola pikir masyarakat Semau yang menjadi partisipan mengenai karakter yang harus dimiliki oleh seorang pengusaha..

SUIIARDJON0

Kondisi awal yang menjadi permasalahan di SD Negeri 1 Kalitinggar Kidul yaitu sikap peduli lingkungan dan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran IPA yang

Mengacu pada hal tersebut, maka diharapkan Desa Tresnomaju menggunakan Sistem informasi berbasis Web dengan tujuan agar dapat mempublikasikan ke masyarakat luas serta