• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Aplikasi Jamur Entomopatogen Terhadap Mortalitas Larva

Hasil penelitian di laboratorium mengenai mortalitas larva S. asigna menunjukkan bahwa aplikasi ketiga jenis jamur entomopatogen (M. anisopliae,

B. bassiana serta C. militaris) berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva S. asigna yang diuji selama enam kali pengamatan, seperti terlihat pada

masing-masing daftar Analisis Sidik Ragam (Lampiran 4-9).

Hasil uji jarak Duncan dan Rataan mortalitas pada masing-masing perlakuan selama pengamatan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Beda uji rataan pengaruh jamur entomopatogen terhadap mortalitas (%)

larva S. asigna pada pengamatan 1–6 HSA.

Perlakuan Pengamatan

1 HSA 2 HSA 3 HSA 4 HSA 5 HSA 6 HSA

J0 0.00 d 0.00 c 0.00 d 0.00 d 0.00 c 0.00 d

J1 3.33 c 6.67 b 13.33 c 23.33 c 30.00 b 46.67 c

J2 6.67 b 10.00 a 30.00 b 33.33 b 53.33 a 66.67 b

J3 10.00 a 13.33 a 36.67 a 40.00 a 60.00 a 96.67 a

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata hasil uji jarak Duncan pada taraf 5 %. Tabel 1 menunjukkan bahwa ketiga jamur entomopatogen yang diuji pada setiap hari mengalami peningkatan persentase mortalitas larva. Jika dilihat segi efektivitas, maka perlakuan J3 (C. militaris) yang paling efektif dalam mengendalikan larva S. asigna, sedangkan yang kurang efektif dari ketiga perlakuan tersebut adalah perlakuan J1 (M. anisopliae). Oleh karena itu, urutan perlakuan yang paling efektif adalah J3, J2 dan J1.

Tabel 1 juga menunjukkan bahwa sejak pengamatan pertama (1 HSA) sampai dengan pengamatan terakhir (6 HSA), mortalitas larva terendah dijumpai

pada perlakuan J1 (M. anisopliae) yaitu 46.67 %. Hal ini disebabkan oleh jamur pada perlakuan J1 (M. anisopliae) kurang efektif bila dibandingkan dengan yang lain karena kemampuan jamur mempenetrasi integumen dipengaruhi oleh konfigurasi morfologi integumen dari larva tersebut. Sementara mortalitas tertinggi terjadi pada perlakuan J3 (C. militaris) yaitu 96.67 % , karena jamur pada perlakuan J3 (C. militaris) memiliki toksin berupa senyawa Cordycepin (3’deoxy adenosine) atau Hydroethyladenosine yang mampu menumbuhkan askospora yang mempenetrasi melalui pembuluh dan menghidrolisa lapisan kitin dari larva tersebut sehingga mengakibatkan persentase mortalitas tinggi pada larva.

Pada pengamatan pertama (1 HSA), ketiga (3 HSA), keempat (4 HSA) dan keenam (6 HSA) menunjukkan bahwa pada perlakuan J3 (C. militaris) berbeda

nyata dengan perlakuan J0 (tanpa perlakuan), J1 (M. anisopliae) dan J2 (B. bassiana). Hal ini dimaklumi karena perkembangan patogenitas pada tubuh

larva dipengaruhi oleh faktor ruang laboratorium seperti cahaya yang cukup serta

kondisi lingkungan yang sesuai. Hal ini sesuai dengan pernyataan Holliday and Matt (2004), yang menyatakan bahwa keadaan yang sedikit gelap

akan berpengaruh terhadap evolusi stromata, tetapi cahaya akan merangsang

keluarnya peritesia. Suhu optimal untuk pertumbuhan miselia, yaitu 21-30 0C dan

ini merupakan suhu untuk pertumbuhan yang cepat, sedangkan suhu 3-5 0C untuk

pertumbuhan yang lambat. Dengan suhu yang optimal demikian, senyawa seperti Cordycepin (3’deoxy adenosine) atau Hydroethyladenosine dapat dihasilkan oleh jamur.

Untuk lebih jelasnya persentase mortalitas larva pada masing-masing perlakuan selama pengamatan (1 HSA sampai dengan 6 HSA) dapat dilihat pada

histogram.

Gambar 6. Histogram Persentase Mortalitas Larva Setiap Jamur Selama Enam Kali Pengamatan (1 HSA Sampai 6 HSA)

Tabel 2 memperlihatkan bahwa aplikasi ketiga kerapatan konidia pada larva S. asigna berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva tersebut, seperti yang terlihat pada masing-masing daftar Analisis Sidik Ragam (Lampiran 4-9).

Selanjutnya pengaruh kerapatan konidia terhadap larva S. asigna yang diuji setelah pengamatan pertama (1 HSA) sampai dengan pengamatan terakhir (6 HSA) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Beda uji rataan pengaruh kerapatan konidia terhadap mortalitas (%)

larva S. asigna pada pengamatan 1–6 HSA

Perlakuan Pengamatan

1HSA 2 HSA 3 HSA 4 HSA 5 HSA 6 HSA

K1 0.00 c 0.00 c 15.00 c 17.50 c 32.50 c 45.00 c

K2 2.50 b 7.50 b 20.00 b 25.00 b 37.50 b 52.50 b

K3 15.00 a 15.00 a 25.00 a 30.00 a 37.50 a 60.00 a

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang

0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00

1HSA 2HSA 3HSA 4HSA 5HSA 6HSA

Pengamatan Mo rt a li ta s La rv a ( % ) J0 J1 J2 J3

Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase mortalitas tertinggi larva dari pengamatan pertama (1 HSA) sampai pengamatan terakhir (6 HSA) terdapat pada

perlakuan K3 (107) yaitu 60.00 %, dan berbeda nyata dengan K1 (105) dan K2

(106). Hal ini disebabkan karena kerapatan konidia pada perlakuan ini tinggi

sehingga toksin yang dihasilkan untuk dapat mematikan larva S. asigna juga tinggi. Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa setiap perlakuan pada setiap hari pengamatan mengalami peningkatan persentase mortalitas larva.

Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa persentase mortalitas larva terendah selama pengamatan (1 HSA sampai 6 HSA) dijumpai pada

perlakuan K1 (105) yaitu 45.00 %, dan perlakuan ini berbeda nyata dengan

perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena tingkat kerapatan konidia yang diberikan pada perlakuan tersebut (K1) rendah sehingga toksin atau racun yang terkandung di dalamnya juga rendah. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap proses terjadinya infeksi dan kematian larva.

Tabel 2 memperlihatkan juga adanya pengaruh kerapatan konidia dengan mortalitas larva yang terjadi pada perlakuan tersebut, yaitu penambahan kerapatan konidia dapat meningkatkan mortalitas larva. Hal ini disebabkan karena kerapatan konidia yang tinggi lebih banyak mengandung toksin yang termakan atau

tersentuh oleh larva sehingga kematian larva juga bertambah. Menurut

Huffaker dan Messengger (1989), pemberian inokulum dengan serangga biasanya mengakibatkan persentase dari serangga yang terkena pengaruh toksin meningkat bersama dengan meningkatnya dosis tersebut.

Pengaruh Interaksi Aplikasi Jamur Entomopatogen Dan Kerapatan Konidia Terhadap Mortalitas Larva

Data pengamatan mortalitas dan analisis sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 4 – 9. Dari analisis sidik ragam dapat dilihat bahwa interaksi antara aplikasi jamur entomopatogen dan kerapatan konidia pada pengamatan 1 HSA sampai 6 HSA berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva S. asigna. Hasil beda uji rataan interaksi antara aplikasi jamur entomopatogen dan kerapatan konidia terhadap mortalitas larva dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Beda uji rataan interaksi aplikasi jamur entomopatogen dan kerapatan

konidia terhadap mortalitas (%) S. asigna pada pengamatan 1–6 HSA

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata hasil uji jarak Duncan pada taraf 5 %.

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa pada pengamatan 1 HSA sampai

6 HSA mortalitas larva tertinggi terdapat pada perlakuan J3K3 (jamur

C. militaris dengan kerapatan konidia 107) yaitu 33.33 %, dan terendah pada

perlakuan J1K1 (jamur M. anisopliae dengan kerapatan konidia 105) yaitu 20.00

%. Hal ini disebabkan karena jamur yang digunakan pada perlakuan J3K3 (jamur

Perlakuan Pengamatan

1 HSA 2 HSA 3 HSA 4 HSA 5 HSA 6 HSA J0K1 0.00 d 0.00 b 0.00 d 0.00 e 0.00 e 0.00 f J0K2 0.00 d 0.00 b 0.00 d 0.00 e 0.00 e 0.00 f J0K3 0.00 d 0.00 b 0.00 d 0.00 e 0.00 e 0.00 f J1K1 0.00 d 0.00 b 0.00 d 3.33 d 10.00 d 10.00 e J1K2 0.00 d 0.00 b 3.33 c 10.00 c 10.00 d 16.67 d J1K3 3.33 c 6.67 a 10.00 b 10.00 c 10.00 d 20.00 c J2K1 0.00 d 0.00 b 10.00 b 10.00 c 13.33 c 20.00 c J2K2 0.00 d 3.33 a 10.00 b 10.00 c 20.00 b 20.00 c J2K3 6.67 b 6.67 a 10.00 b 13.33 b 20.00 b 26.67 c J3K1 0.00 d 0.00 b 10.00 b 10.00 c 20.00 b 30.00 b J3K2 3.33 d 6.67 a 13.33 a 13.33 b 20.00 b 33.33 a J3K3 10.00 a 6.67 a 13.33 a 16.67 a 20.00 a 33.33 a

C. militaris dengan kerapatan konidia 107) sudah dibiakkan pada media jagung,

dimana jumlah konidia dan persentase daya kecambah konidia lebih tinggi

sehingga lebih cepat untuk menginfeksi. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Prayogo (2006) yang menyatakan jamur entomopatogen membutuhkan media dengan kandungan gula yang tinggi di samping protein. Media dengan kadar gula yang tinggi akan meningkatkan virulensi jamur entomopatogen. Media dari jagung manis atau jagung lokal + gula 1% menghasilkan jumlah konidia dan persentase daya kecambah konidia yang lebih tinggi dibandingkan media yang lain.

Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa jamur mulai menginfeksi mulai pengamatan 2 – 3 HSA. Infeksi ini mulai terjadi setelah larva memakan daun kelapa sawit sekaligus tubuh larva bersentuhan dengan suspensi jamur tersebut Hal ini sesuai pernyataan Prayogo (2006) yang menyatakan bahwa jamur masuk ke dalam tubuh serangga inang melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel dan inokulum jamur menempel, berkecambah dan berkembang membentuk tabung kecambah.

Gejala Serangan Jamur M. anisopliae (Metch Sorikin)

Berdasarkan hasil pengamatan pada perlakuan J1K2 (M. anisopliae

dengan kerapatan konidia 106) bahwa larva S. asigna pada hari pertama (1 HSA)

belum ada yang mati. Namun gejala infeksi sudah terlihat terutama setelah larva memakan daun muda kelapa sawit yang disemprot dengan M. anisopliae dan larva dimasukkan ke dalam stoples, larva memakan daun dan sekaligus bersentuhan dengan campuran M. anisopliae, larva menjadi lemas dan bergerak lambat. Hal ini

sesuai dengan literatur Purwantara dan Darmono (2001) yang menyatakan bahwa larva yang terserang M. anisopliae menjadi lemas dan akhirnya menjadi kaku.

Pada pengamatan kedua sampai keenam (2 HSA sampai 6 HSA) pada

perlakuan J1K1 (M. anisopliae dengan kerapatan konidia 105) dan J1K2

(M. anisopliae dengan kerapatan konidia 106) serta perlakuan J1K3

(M. anisopliae dengan kerapatan konidia 107) sudah ditemukan larva yang mati.

Pada larva ditemukan adanya perubahan warna kecokelat-cokelatan pada tubuh larva yang terserang. Hal ini sesuai dengan literatur Purwantara dan Darmono (2001) yang menyatakan bahwa larva yang mati tampak memar berwarna kecokelat-cokelatan. Miselium jamur kemudian tumbuh dan muncul ke permukaan kulit serangga yang mati. Bantalan miselium yang semula tampak berwarna putih berubah menjadi hijau keabu-abuan, kemudian diikuti oleh

pembentukan struktur seperti rhizomorf berwarna putih. Bantalan pora

M. anisopliae tampak kering dan mengelupas dari kulit serangga.

Gambar 7. Larva S. asigna Yang Terinfeksi M. anisopliae Sumber : Foto Langsung

Gejala Serangan Jamur Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin

Hasil penelitian pada pengamatan pertama (1 HSA) J2K3

(B. bassiana dengan kerapatan konidia 107) dan J2K2 (B. bassiana dengan

kerapatan konidia 106) menunjukkan bahwa larva yang diuji sudah

memperlihatkan adanya gejala infeksi seperti gerakannya lamban dan larva yang terinfeksi mulai menjauh dari daun kelapa sawit yang merupakan makanan larva tersebut. Setelah gejala infeksi ini terjadi, terlihat bahwa larva sudah ada yang mati. Menurut Soetopo dan Igaa (2007) menyatakan bahwa serangga yang terinfeksi gerakannya lamban, nafsu makannya berkurang bahkan berhenti, lama-kelamaan diam dan mati. Tubuh mulai pucat dan mengeras serta permukaannya penuh dengan badan buah dan konidia berwarna putih.

Gambar 8. Larva S. asigna Yang Terinfeksi B. bassiana Sumber : Foto Langsung

Gejala Serangan Jamur Cordyceps militaris (Fr.) Link

Berdasarkan hasil penelitian pada pengamatan pertama sampai keenam (1 HSA sampai 6 HSA) perlakuan J3K3 (C. militaris dengan kerapatan konidia

pada tubuh larva yang terinfeksi yaitu perubahan warna menjadi cokelat muda. Tubuh larva yang telah mati tersebut bila disentuh akan terasa mengeras, akan tetapi pada hari pertama pengamatan ini belum ditemukan pertumbuhan miselium. Pada pengamatan kedua sampai keenam (2 HSA sampai 6 HSA) pada perlakuan J3K1, J3K2 dan J3K3 gejala infeksi pun semakin jelas terlihat, yaitu pada tubuh larva ditemukan miselium berwarna keputih-putihan yang tumbuh secara kompak. Hal ini sesuai dengan literatur Purba, dkk (1989) yang menyatakan bahwa miselium yang kompak dan berwarna putih membalut tubuh kepompong di dalam kokon. Hal ini juga terjadi pada fase larva yang menjelang kepompong. Miselium selanjutnya berkembang keluar dinding kokon dan terjadi diferensiasi membentuk rhizomorf dengan beberapa beberapa cabang, berwarna merah muda.

Gambar 9. Larva S. asigna Yang Terinfeksi C. militaris Sumber : Foto Langsung

Dokumen terkait