UJI EFEKTIVITAS BEBERAPA JAMUR ENTOMOPATOGEN
TERHADAP MORTALITAS LARVA Setothosea asigna van Ecke
(LEPIDOPTERA: LIMACODIDAE) DI LABORATORIUM
SKRIPSI
OLEH
JONLI SINAGA050302010 HPT
DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
UJI EFEKTIVITAS BEBERAPA JAMUR ENTOMOPATOGEN
TERHADAP MORTALITAS LARVA Setothosea asigna van Ecke
(LEPIDOPTERA: LIMACODIDAE) DI LABORATORIUM
SKRIPSI
OLEH JONLI SINAGA
050302010 HPT
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di
Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan
Disetujui Oleh Komisi Pembimbing
Ir. Amansyah Siregar
Ketua Anggota
Ir. Yuswani P. Ningsih, MS
DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRACT
Jonli Sinaga “The Effectivity of Some Entomopathogen Fungy to
Mortalitality of Setothosea asigna van Ecke Larvae (Lepidoptera: Limacodidae) in Laboratory”. This research was held in Laboratory of Pest and
Planthology Protection of Plant Department Faculty of Agriculture
North Sumatera University, Medan in March 2010. This objective of the research was larvae of Setothosea asigna van Ecke. The purpose of this research to got the kind of more effective fungy to eradicate larvae of Setothosea asigna van Ecke and to know the comparison of efectivity different density of conidia in eradication Setothosea asigna van Ecke. This research was held in laboratory used Complete Randomized Designed Factorial with three replications and twelve combinations. The first factor was the kinds of fungy, it was J1 = Metarhizium
anisopliae, J2 = Beauveria bassiana (Balsamo) dan J3 = Cordyceps militaris (Fr.)
Link. The second factor was conidia density, it was K1 = conidia density 105, K2
= conidia density 106, K3 = conidia density 107. The parameters observed were
percentage (%) of larvae Setothosea asigna Van Ecke mortality. The highest mortality of the kinds of fungy for larvae was found in treatment J3
(Cordyceps militaris (Fr.) Link.), it was 96.67 % and continuedto J2
66.67 % and J1 (Metarhizium anisopliae), it was 46.67 %. And the highest
mortality of conidia density for larvae was found in treatment K3 (conidia density
107), it was 68.87 %, and continued to K2 (conidia density 106), it was 65.55 %
and K1 (conidia density 105), yaitu 59.98 %. And highest mortality of
combination of treatment J3K3 (C. militaris with conidia density 107), it was
33.33 % and continued to J2K3 (B. bassiana with density conidia 106), it was
ABSTRAK
Jonli Sinaga “Uji Efektivitas Beberapa Jamur Entomopatogen
Terhadap Mortalitas Larva Setothosea asigna van Ecke (Lepidoptera: Limacodidae) di Laboratorium”. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium
Hama dan Penyakit Tumbuhan Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan pada bulan Maret 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis jamur yang lebih efektif untuk mengendalikan larva Setothosea asigna van Ecke dan untuk mengetahui perbandingan efektivitas masing-masing kerapatan konidia yang berbeda dalam pengendalian Setothosea asigna van Ecke. Penelitian di laboratorium menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan 3 ulangan dengan 12 kombinasi perlakuan dengan Faktor I : Jenis Jamur, yaitu J1 =
Metarhizium anisopliae (Metch Sorikin), J2 = Beauveria bassiana dan J3 = Cordyceps militaris (Fr.) Link. Faktor II : Kerapatan Konidia, yaitu K1 =
kerapatan konidia 105, K2 = kerapatan konidia 106, K3 = kerapatan konidia 107.
Parameter yang diamati adalah persentase mortalitas larva Setothosea asigna van
Ecke. Data persentase mortalitas larva tertinggi adalah pada perlakuan jamur J3
(Cordyceps militaris), yaitu 96.67 % berturut-turut J2 yaitu 66.67 % serta
terendah dengan J1 (Metarhizium anisopliae), yaitu 46.67 %, sedangkan persentase mortalitas tertinggi pada perlakuan kerapatan konidia K3 (kerapatan
konidia 107), yaitu 60.00 %, berturut-turut K2 yaitu 52.50 % dan K1 (kerapatan
konidia 105), yaitu 45.00%. Kombinasi perlakuan yang tertinggi adalah J3K3 (C.
militaris dengan kerapatan konidia 107) yaitu 33.33 % berturut-turut J2K3 (B.
bassiana dengan kerapatan konidia 106) yaitu 26.67 % dan J1K3 (M. anisopliae
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik.
Adapun judul skripsi ini adalah “Uji Efektivitas Beberapa Jamur
Entomopatogen Terhadap Mortalitas Larva Setothosea asigna (Lepidoptera: Limacodidae) di Laboratorium” yang merupakan salah satu syarat untuk dapat
memperoleh gelar sarjana di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing
Bapak Ir. Amansyah Siregar sebagai ketua dan
Ibu Ir. Yuswani Pangestiningsih, MS sebagai anggota, yang telah membimbing
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Bapak dan Ibu Penanggung Jawab Laboratorium Hama dan Penyakit
Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Dan ucapan terima kasih kepada ayahanda dan ibunda atas segala doa dan
perhatiannya juga kepada abang dan kakak serta adik yang tercinta, teman-teman
Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan angkatan 2005 serta seluruh pihak
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian dan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Medan, Agustus 2010
DAFTAR ISI
ABSTRACT ...
i
ABSTRAK ...
ii
KATA PENGANTAR ...
iii
DAFTAR ISI ...
iv
DAFTAR TABEL ...
vi
DAFTAR GAMBAR ...
vii
DAFTAR LAMPIRAN ...
viii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ... 1Tujuan Penelitian ... 3
Hipotesis Penelitian ... 4
Kegunaan Penelitian ... 4
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Ulat Api Setothosea asigna Van Ecke ... 5Daur Hidup Setothosea asigna Van Ecke ... 7
Gejala Serangan Setothosea asigna Van Ecke ... 7
Pengendalian Ulat Api Setothosea asigna Van Ecke ... 8
Karakteristik Metarhizium anisopliae (Metch Sorikin) ... 9
Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan M. anisopliae ... 10
Mekanisme Penetrasi Metarhizium anisopliae (Metch Sorikin) ... 10
Gejala Serangan Metarhizium anisopliae (Metch Sorikin) ... 11
Karakteristik Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin ... 12
Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan B.bassiana ... 13
Mekanisme Penetrasi Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin ... 13
Gejala Serangan Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin ... 13
Karakteristik Cordyceps militaris (Fr.) Link ... 14
Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan C.militaris (Fr.) Link ... 15
Mekanisme Penetrasi Cordyceps militaris (Fr.) Link ... 15
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian ... 17
Bahan dan Alat ... 17
Metode Penelitian ... 17
Pelaksanaan Penelitian ... 19
Penyediaan Serangga Uji ... 19
Penyediaan Jamur Entomopatogen ... 20
Pembuatan Suspensi Jamur Entomopatogen ... 20
Aplikasi ... 20
Pengamatan Parameter ... 20
Persentase Mortalitas Larva ... 20
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Aplikasi Jamur Entomopatogen Terhadap Mortalitas ... 22Pengaruh Interaksi Jamur Entomopatogen dan Kerapatan Konidia Terhadap Mortalitas Larva ... 25
Gejala Serangan Jamur M. anisopliae (Metch Sorikin) ... 27
Gejala Serangan Jamur B. bassiana (Balsamo) Vuillemin ... 28
Gejala Serangan Jamur C. militaris (Fr.) Link ... 29
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 31Saran ... 31
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
1. Beda Uji Rataan Pengaruh Jamur Entomopatogen
Terhadap Mortalitas (%) Larva S. asigna ... 22
2. Beda Uji Rataan Pengaruh Kerapatan Konidia
Terhadap Mortalitas (%) Larva S. asigna ... 24
3. Beda Uji Rataan Interaksi Jamur Entomopatogen dan
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
1. Telur S. asigna ... 5
2. Larva S. asigna ... 6
3. Kokon S. asigna ... 6
4. Imago S. asigna ... 7
5. Gejala Serangan S. asigna ... 8
6. Histogram Persentase Mortalitas Setiap Jamur Selama Enam Kali Pengamatan ... 24
7. Larva S. asigna Yang Terinfeksi M. anisopliae ... 28
8. Larva S. asigna Yang Terinfeksi B. bassiana ... 29
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Bagan Penelitian ... 30
2. Data Suhu Dan Kelembaban ... 31
3. Foto Tempat Penelitian Berlangsung ... 31
4. Data Pengamatan Mortalitas Larva S. asigna (%) 1 HSA ... 34
5. Data Pengamatan Mortalitas Larva S. asigna (%) 2 HSA ... 36
6. Data Pengamatan Mortalitas Larva S. asigna (%) 3 HSA ... 38
7. Data Pengamatan Mortalitas Larva S. asigna (%) 4 HSA ... 40
8. Data Pengamatan Mortalitas Larva S. asigna (%) 5 HSA ... 42
ABSTRACT
Jonli Sinaga “The Effectivity of Some Entomopathogen Fungy to
Mortalitality of Setothosea asigna van Ecke Larvae (Lepidoptera: Limacodidae) in Laboratory”. This research was held in Laboratory of Pest and
Planthology Protection of Plant Department Faculty of Agriculture
North Sumatera University, Medan in March 2010. This objective of the research was larvae of Setothosea asigna van Ecke. The purpose of this research to got the kind of more effective fungy to eradicate larvae of Setothosea asigna van Ecke and to know the comparison of efectivity different density of conidia in eradication Setothosea asigna van Ecke. This research was held in laboratory used Complete Randomized Designed Factorial with three replications and twelve combinations. The first factor was the kinds of fungy, it was J1 = Metarhizium
anisopliae, J2 = Beauveria bassiana (Balsamo) dan J3 = Cordyceps militaris (Fr.)
Link. The second factor was conidia density, it was K1 = conidia density 105, K2
= conidia density 106, K3 = conidia density 107. The parameters observed were
percentage (%) of larvae Setothosea asigna Van Ecke mortality. The highest mortality of the kinds of fungy for larvae was found in treatment J3
(Cordyceps militaris (Fr.) Link.), it was 96.67 % and continuedto J2
66.67 % and J1 (Metarhizium anisopliae), it was 46.67 %. And the highest
mortality of conidia density for larvae was found in treatment K3 (conidia density
107), it was 68.87 %, and continued to K2 (conidia density 106), it was 65.55 %
and K1 (conidia density 105), yaitu 59.98 %. And highest mortality of
combination of treatment J3K3 (C. militaris with conidia density 107), it was
33.33 % and continued to J2K3 (B. bassiana with density conidia 106), it was
ABSTRAK
Jonli Sinaga “Uji Efektivitas Beberapa Jamur Entomopatogen
Terhadap Mortalitas Larva Setothosea asigna van Ecke (Lepidoptera: Limacodidae) di Laboratorium”. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium
Hama dan Penyakit Tumbuhan Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan pada bulan Maret 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis jamur yang lebih efektif untuk mengendalikan larva Setothosea asigna van Ecke dan untuk mengetahui perbandingan efektivitas masing-masing kerapatan konidia yang berbeda dalam pengendalian Setothosea asigna van Ecke. Penelitian di laboratorium menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan 3 ulangan dengan 12 kombinasi perlakuan dengan Faktor I : Jenis Jamur, yaitu J1 =
Metarhizium anisopliae (Metch Sorikin), J2 = Beauveria bassiana dan J3 = Cordyceps militaris (Fr.) Link. Faktor II : Kerapatan Konidia, yaitu K1 =
kerapatan konidia 105, K2 = kerapatan konidia 106, K3 = kerapatan konidia 107.
Parameter yang diamati adalah persentase mortalitas larva Setothosea asigna van
Ecke. Data persentase mortalitas larva tertinggi adalah pada perlakuan jamur J3
(Cordyceps militaris), yaitu 96.67 % berturut-turut J2 yaitu 66.67 % serta
terendah dengan J1 (Metarhizium anisopliae), yaitu 46.67 %, sedangkan persentase mortalitas tertinggi pada perlakuan kerapatan konidia K3 (kerapatan
konidia 107), yaitu 60.00 %, berturut-turut K2 yaitu 52.50 % dan K1 (kerapatan
konidia 105), yaitu 45.00%. Kombinasi perlakuan yang tertinggi adalah J3K3 (C.
militaris dengan kerapatan konidia 107) yaitu 33.33 % berturut-turut J2K3 (B.
bassiana dengan kerapatan konidia 106) yaitu 26.67 % dan J1K3 (M. anisopliae
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekspor minyak sawit mentah (CPO) Sumatera Utara pada tahun 2007
dapat mencapai 2 miliar dolar Amerika Serikat. Negara tujuan ekspor terbesar
CPO Sumatera Utara adalah India, Belanda, Cina dan Singapura. Kondisi ini
berdasarkan nilai ekspor CPO Sumatera Utara tahun 2006 yang mencapai 1,79
miliar dolar AS. Berdasarkan catatan BPS angka produksi CPO per tahun
mencapai 4 juta ton dengan luas areal kebun kelapa sawit di Sumatera Utara
seluas 1,1 hektar atau nomor dua setelah propinsi Riau dengan luas 1,4 juta hektar
(BPS Sumut, 2007).
Thosea asigna merupakan hama pada tanaman kelapa sawit di Sumatera
dan Malaysia. Larva berbentuk persegi panjang, berwarna hijau dan memiliki
karakteristik corak pada bagian punggung, di sisi terdapat duri yang menyengat
dan terdiri dari empat pasang secara berkelompok (Kalshoven, 1981).
Hama ulat api seperti Setohosea asigna dan Setora nitens (Lepidoptera:
Limacodidae) dan ulat kantung Metisa plana dan Mahasena corbetti
(Lepidoptera: Psychidae) merupakan Ulat Pemakan Daun Kelapa Sawit (UPDKS)
yang utama serta dapat menimbulkan kerugian. Dari hasil percobaan simulasi
kerusakan daun yang dilakukan pada kelapa sawit berumur 8 tahun, diperkirakan
penurunan produksi sekitar mencapai 30-40 %. Pada dua tahun setelah terjadinya
kehilangan daun sebesar 50 % (Sudharto, dkk, 2005).
Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mengendalikan hama,
kimia dipandang dapat menimbulkan masalah baru seperti pencemaran
lingkungan, timbulnya resistensi (ketahanan) sasaran, resurgensi (peningkatan)
populasi hama sasaran. Permasalahan ini menimbulkan istilah Pengendalian Hama
Terpadu (PHT) (Khaerudin, 1990).
Pengendalian hama dengan insektisida kimia telah menimbulkan banyak
masalah lingkungan, terutama rendahnya serangga terhadap insektisida kimia,
munculnya hama sekunder yang lebih berbahaya, tercemarnya tanah dan air dan
bahaya keracunan pada manusia yang melakukan kontak langsung dengan
insektisida kimia. Salah satu alternatif pengendalian yang cukup potensial adalah
penggunaan patogen serangga, khususnya jamur Beauveria bassiana. Mekanisme
infeksinya yang secara kontak melalui kutikula dan tidak perlu tertelan oleh
serangga menyebabkan B. bassiana menjadi kandidat utama untuk digunakan
sebagai agen pengendalian berbagai spesies serangga hama
(Soetopo dan Igaa, 2007).
Berbeda dengan virus, jamur patogen masuk ke dalam tubuh serangga
tidak melalui saluran makanan, tetapi langsung masuk ke dalam tubuh serangga,
jamur memperbanyak dirinya melalui pembentukan hifa dalam jaringan
epikutikula, epidermis, hemocoel, serta jaringan-jaringan lainnya. Pada akhirnya
semua jaringan dipenuhi oleh miselia jamur (Untung, 2006).
Dengan mengetahui hama yang menyerang tanaman, secara tidak langsung
dapat diketahui pula jenis jamur entomopatogen yang sesuai untuk tindakan
pengendalian karena untuk setiap jenis jamur entomopatogen mempunyai inang
beberapa jenis serangga ordo Coleoptera, Lepidoptera, Homoptera, Hemiptera dan
Isoptera (Prayogo, 2006).
Jamur Cordyceps militaris sebagai salah satu agensia pengendalian hayati
meruapakan salah satu parasit pada hama ulat api yang perlu mendapat perhatian
karena jamur tersebut berpotensi tinggi untuk mengendalikan populasi ulat api.
Jamur ini menyerang ulat api pada fase larva dan berkembang pada larva sampai
dengan fase pupa (Wahyu, 2004).
Jamur Beauveria, Metarrhizium, Sorosporella, Cephalosporium, dan
lain-lain memasuki inangnya terutama dari bagian luar setelah mengadakan kontak
dengan kulit luar. Spora-sporanya melekat pada inangnya dengan adhesi
permukaan, dan gerakan menembus ke dalam hanya mungkin terjadi setelah
terjadi aksi gabungan dari enzim-enzim proteinase, lipase dan chitinase yang
dihasilkan oleh konidia jamur. Jamur dapat menyebabkan infeksi terhadap
serangga. Jamur patogenitas mengakibatkan penyakit pada serangga yang sehat.
Pemberian inokulum dengan serangga biasanya mengakibatkan persentase dari
serangga yang terkena pengaruh toksin meningkat bersama dengan meningkatnya
dosis (Huffaker dan Messenger, 1989).
Tujuan Penelitian
1. Untuk mendapatkan jenis jamur entomopatogen yang lebih efektif untuk
mengendalikan S. asigna van Ecke.
2. Untuk mengetahui perbandingan efektivitas masing-masing kerapatan
Hipotesis Penelitian
1. Cordyceps militaris paling efektif digunakan untuk diaplikasikan pada
larva S. asigna van Ecke.
2. Kerapatan konidia 107 lebih efektif menyebabkan kematian pada larva
S. asigna van Ecke dibandingkan dengan kerapatan konidia 106 dan 105.
Kegunaan Penelitian
1. Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Pertanian
di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan.
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Ulat Api S. asigna van Ecke
S. asigna van Ecke termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum
Arthropoda, kelas Insecta, ordo Lepidoptera, family Limacodidae, genus
Setothosea, dan spesies S. asigna van Ecke (Sudharto, dkk, 2005).
Telur diletakkan berderet 3-4 baris sejajar dengan permukaan daun sebelah
bawah, biasanya pada pelepah 16-17. Satu tumpukan telur terdiri dari 44 butir dan
seekor ngengat betina selama hidupnya mampu menghasilkan telur 300-400 butir.
Telur biasanya menetas 4-8 hari setelah diletakkan. Telur pipih dan berwarna
kuning muda (Buana dan Siahaan, 2003).
a
Gambar 1. Telur S. asigna van Ecke (a) Sumber : Foto Langsung
Larva yang baru menetas hidup berkelompok, mengikis jaringan daun dari
permukaan daun dan meninggalkan epidermis permukaan bagian atas daun. Ulat
pada instar 2-3 memakan daun mulai dari ujung ke arah pangkal daun. Selama
perkembangannya ulat berganti kulit 7-8 kali dan mampu menghabiskan helaian
daun seluas 400 cm2. Ulat berwarna hijau kekuningan dengan bercak-bercak yang
Selain itu juga pada bagian punggungnya dijumpai duri-duri yang kokoh. Ulat
instar terakhir (instar 9) berukuran panjang 36 mm dan lebar 14 mm. Stadia ulat
ini berlangsung selama 49-53 hari (Buana dan Siahaan, 2003).
a
Gambar 2. Larva S. asigna van Ecke (a) Sumber : Foto Langsung
Kepompong berada dalam kokon yang terbuat dari air liur ulat, berbentuk
bulat telur dan berwarna cokelat gelap serta dijumpai pada bagian tanah yang
gembur di sekitar piringan tanaman kelapa sawit atau bahkan pada celah-celah
kantung pelepah yang lama. Kokon jantan atau betina masing-masing berukuran
16 x 13 mm dan 20 x 16,5 mm. Stadium kepompong berlangung 39 hari
(Buana dan Siahaan, 2003).
a
Ngengat yang merupakan imago S. asigna jantan dan betina
masing-masing mempunyai rentang sayap 41 mm dan 51 mm. Imago S. asigna yang
berupa ngengat memiliki sayap. Sayap depan ngengat berwarna kemerahan
dengan garis transparan dan bintik-bintik gelap, sedangkan sayap belakang
berwarna cokelat muda dengan garis transparan dan bintik-bintik gelap,
sedangkan sayap belakang berwarna cokelat muda (Buana dan Siahaan, 2003).
a b
Gambar 4. Imago Betina (a) dan Imago Jantan (b) S. asigna van Ecke Sumber :
Daur Hidup Ulat Api S. asigna van Ecke
Larva dari S. asigna ini aktif merusak daun tanaman kelapa sawit pada
instar 3-5. Pupa dari S. asigna berada di tanah sekitar piringan tanaman kelapa
sawit dan juga di dalam kantung-kantung pelepah tanaman kelapa sawit. Imago
yang dihasilkan dari pupa berupa ngengat yang umumnya aktif di malam hari.
Perkembangan hama ini mulai dari telur hingga menjadi ngengat berkisar antara
92-98 hari (Buana dan Siahaan, 2003).
Gejala Serangan Ulat Api S. asigna van Ecke
Ulat muda (di bawah instar 3) biasanya bergerombol di sekitar tempat
serta meninggalkan epidermis daun bagian atas. Bekas serangan terlihat seperti
jendela-jendela memanjang pada helaian daun. Mulai instar ketiga biasanya ulat
memakan semua helaian daun dan meninggalkan lidinya saja
(Buana dan Siahaan, 2003).
a
Gambar 5. Gejala Serangan S. asigna van Ecke (a) Sumber : Foto Langsung
Serangan ulat ini biasanya mulai dari pelepah daun yang terletak di strata
tengah dari tajuk kelapa sawit ke arah pelepah daun yang lebih muda atau lebih
atas. Tetapi pada serangan yang lebih berat daun yang tua sekalipun dimakan juga
oleh S. asigna tersebut. Pada serangan yang berat, semua helaian daun dimakan
oleh S. asigna dan hanya tinggal pelepah beserta lidinya saja. Gejala serangan ini
sering disebut gejala melidi (Buana dan Siahaan, 2003).
Pengendalian Ulat Api S. asigna van Ecke
Pengendalian dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Secara mekanis
Pengutipan ulat (larva) dapat dilakukan pada tanaman yang berumur satu
sampai lima tahun, yang luas serangannya kecil atau kurang dari 25 ha dan
dengan mengutip kepompong yang ditemui di pinggiran, gawangan dan ketiak
bekas pemotongan buah (Pahan, 2008).
1. Secara biologi dan hayati
Pelepasan predator seperti Scyanus sp., Spinaria sp., parasitoid telur
Trichogrammatoidae thosea, parasitoid kepompong Chlorocryptus purpuatus
(Purba, dkk, 1989). Pengendalian hayati ulat api pada kelapa sawit dapat
menggunakan mikroorganisme entomopatogenik, yaitu virus Nudaurelia,
multiple nucleopolyhedrovirus (MNPV) dan jamur Cordyceps aff. militaris
(Prawirosukarto, dkk, 2008).
2. Secara kimiawi
Untuk melakukan pemberantasan terhadap ulat apabila telah menimbulkan
gejala serangan yang hebat dapat dilakukan penyemprotan Aldrin 40 WP
(Kartasapoetra, 1993).
Karakteristik M. anisopliae (Metch Sorikin)
Menurut Alexopoulus, et al (1996), klasifikasi Metarhizium anisopliae
(Metch Sorikin) adalah kingdom Fungy, filum Ascomycota, kelas
Sordariomycetes, ordo Hypocreales, family Clavicipitaceae, genus Metarrhizium.
M. anisopliae memiliki dua tipe, yaitu spora yang bentuknya pendek,
M. anisopliae var. anisopliae (konidia 3,5-9,0 ), dan spora yang bentuknya
panjang, M. anisopliae var. major (konidia 9,0-18,0 ). Strain-strain dari variasi
major relatif bersifat homogen, tetapi variasi anisopliae sangat heterogen ketika
diuji dengan isoenzim. Spesies ini berbeda tingkat virulensinya dan juga
Jamur ini biasa disebut dengan green muscardine fungus dan tersebar luas
di seluruh dunia. Koloni jamur M. anisopliae pada awal pertumbuhannya
berwarna putih, kemudian berubah menjadi hijau gelap dengan bertambahnya
umur. Miselium bersekat, diameter 1,98-2,97 , konidiofor tersusun tegak,
berlapis dan bercabang yang dipenuhi dengan konidia. Konidia bersel satu
berwarna hialin, berbentuk bulat silinder dengan ukuran 9,94 x 3,96
(Purwantara dan Darmono, 2001).
Jamur mempenetrasi integumen dan diikuti dengan perkembangan konidia
dimana bagian luarnya adalah berwarna hijau dan dapat menginfeksi sekitar 7
sampai 10 hari. Perkecambahan dan pembentukan konidia tergantung pada
kondisi. Selama musim kering jamur tersebut dalam keadaan tidak aktif
(Sweetman, 1983).
Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan M. anisopliae (Metch Sorikin)
Temperatur yang optimum untuk pertumbuhan M. anisopliae berkisar
20-22 0C, walaupun beberapa laporan menyebutkan bahwa jamur masih dapat
tumbuh pada temperatur yang lebih dingin. Konidia akan membentuk kecambah
pada kelembaban di atas 90 %. Namun demikian, konidia akan berkecambah
dengan baik dan patogenitasnya meningkat bila kelembaban udara sangat tinggi
hingga 100 %. Patogenitas cendawan M. anisopliae akan menurun apabila
kelembaban udara di bawah 86 % (Prayogo, 2006).
Mekanisme Penetrasi M. anisopliae (Metch Sorikin)
Mekanisme infeksi M. anisopliae dapat digolongkan menjadi empat
adalah inokulasi, yaitu kontak antara propagul jamur dengan tubuh serangga.
Propagul jamur M. anisopliae berupa konidia karena merupakan jamur yang
berkembang biak secara tidak sempurna. Dalam proses ini senyawa
mukopolisakarida memegang peranan penting. Tahap kedua adalah proses
penempelan dan perkecambahan propagul jamur pada integumen serangga.
Kelembaban udara yang tinggi dan bahkan kadang-kadang air diperlukan untuk
perkecambahan propagul jamur. Jamur pada tahap ini dapat memanfaatkan
senyawa-senyawa yang terdapat pada integumen. Tahap ketiga, yaitu penetrasi
dan invasi. Jamur dalam melakukan penetrasi menembus integumen dan
membentuk tabung kecambah (appresorium). Titik penetrasi sangat dipengaruhi
oleh konfigurasi morfologi integumen. Penembusan dilakukan secara mekanis
atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin. Tahap keempat, yaitu
destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blatospora yang kemudian beredar
ke dalam hemolimf dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan
lainnya. Pada umumnya serangga sudah mati sebelum poliferase blatospora. Enam
senyawa enzim yang dikeluarkan yaitu lipase, chitinase, amilase, proteinase,
prospatase, dan esterase (Prayogo, 2006).
Gejala Serangan M. anisopliae (Metch Sorikin)
Larva yang terserang M. anisopliae menjadi lemas dan akhirnya menjadi
kaku. Larva yang mati tampak memar berwarna kecokelat-cokelatan. Miselium
jamur kemudian tumbuh dan muncul ke permukaan kulit serangga yang mati.
Bantalan miselium yang semula tampak berwarna putih berubah menjadi hijau
berwarna putih. Bantalan spora M. anisopliae tampak kering dan mengelupas dari
kulit serangga (Purwantara dan Darmono, 2001).
Karakteristik B. bassiana (Balsamo) Vuillemin
B. bassiana termasuk dalam filum Deuteromycotina (fungy imperfecti),
kelas Hypomycetes, ordo Hypocreales dari family Clavicipitaceae
(Ainsworth, et al, 1983).
Jamur B. bassiana adalah jamur mikroskopik dengan tubuh berbentuk
benang-benang halus atau hifa. Kemudian hifa-hifa tadi membentuk koloni yang
disebut dengan miselia. Jamur ini tidak dapat memproduksi makanannya sendiri.
Oleh karena itu, ia bersifat parasit terhadap serangga inangnya
(Utomo dan Pardede, 1990).
Jamur B. bassiana juga dikenal sebagai penyakit white muscardine karena
miselia dan konidia atau spora yang dihasilkan berwarna putih, bentuknya oval
dan tumbuh secara zig-zag pada konidiofornya (Soetopo dan Igaa, 2007). Miselia
jamur B. bassiana bersekat dan berwarna putih, di dalam tubuh serangga yang
terinfeksi terdiri atas banyak sel dengan diameter 4 , sedang di luar tubuh
serangga ukurannya kecil yaitu 2 (Utomo dan Pardede, 1990).
Jamur B. bassiana merupakan spesies jamur yang paling popular untuk
mengendalikan serangga. B. bassiana diaplikasikan dalam bentuk konidia. Sistem
kerjanya dengan perkecambahan konidia. Jamur ini selanjutnya akan
mengeluarkan racun beauverin yang membuat kerusakan jaringan tubuh serangga.
Dalam hitungan hari serangga akan mati. Setelah itu miselia jamur akan tumbuh
Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan B. bassiana
Faktor lingkungan, terutama kelembaban dan temperatur serta sedikit
cahaya sangat penting perannya dalam proses infeksi dan sporulasi jamur
entomopatogen. Temperatur optimum untuk perkembangan, patogenitas dan
kelulusan hidup jamur umumnya 20-30 0C. Untuk perkecambahan konidia dan
sporulasi pada permukaan tubuh serangga dibutuhkan kelembaban sangat tinggi
(> 90 %). Tetapi sebaliknya, untuk melepaskan konidia B. bassiana dari
konidiofor hanya dibutuhkan kelembaban sekitar 50 % (Soetopo dan Igaa, 2007).
Mekanisme Penetrasi B. bassiana (Balsamo) Vuillemin
Jamur B. bassiana masuk ke dalam tubuh serangga inang melalui kulit,
saluran pencernaan, spirakel. Inokulum jamur yang menempel pada tubuh
serangga inang akan berkecambah dan berkembang membentuk tabung
kecambah, kemudian masuk menembus kulit tubuh. Penembusan dilakukan secara
mekanis dan kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Jamur akan
berkembang dalam tubuh inang dan menyerang seluruh tubuh, sehingga serangga
mati (Utomo dan Pardede, 1990).
Gejala Serangan B. bassiana (Balsamo) Vuillemin
Serangga yang terinfeksi gerakannya lamban, nafsu makannya berkurang
bahkan berhenti, lama-kelamaan diam dan mati. Tubuh mulai pucat dan mengeras
serta permukaannya penuh dengan badan buah dan konidia berwarna putih
(Soetopo dan Igaa, 2007).
Hifa jamur yang tumbuh dari spora mengeluarkan enzim menyerang dan
serangga. Menghasilkan suatu toksin yang disebut Beauvericin yang
memperlemah sistem kekebalan inang. Setelah serangga mati, suatu zat antiseptik
(oosporein) diproduksi memungkinkan jamur terdapat dalam pencernaan.
Secepatnya seluruh tubuh dan bagian-bagiannya dipenuhi jamur (Manaf,1991).
Karakteristik C. militaris (Fr.) Link
Menurut Holliday and Matt (2004), jamur C. militaris (Fr.) Link termasuk
kingdom Fungy, filum Ascomycota, kelas Ascomycetes, ordo Hypocreales,
family Clavivipitacea, genus Cordyceps.
Cordyceps dikenal sebagai jamur entomopatogen yang membentuk badan
buah pada serangga inangnya dan dikenal 750 spesies dari jamur ini. C. militaris
merupakan jamur entomopatogen, khususnya pada larva dan pupa ordo
Lepidoptera (Schgal and Sagar, 2006). Jamur ini bersifat soilborne karena infeksi
mulai terjadi pada saat larva turun ke tanah untuk berkepompong
(Wibowo, dkk, 1994).
Stroma dan sinemata Cordyceps berasal dari endosklerotium dan biasanya
keluar dari mulut atau anus serangga dan dapat berkembang dengan bantuan
cahaya. Stromata dan sinemata terdiri dari bundel-bundel yang tersusun rapi yang
membentuk garis-garis membujur atau terdiri dari hifa yang saling berjalin dan
peritesia yang berkembang semakin ke atas. Pada umumnya berbentuk klavat atau
kapitat dan askosporanya saling berhubungan satu sama lain. Struktur badan
buahnya dapat mencapai panjang kira-kira 30 cm, dan berbentuk sederhana
ataupun bercabang atau berwarna kuning, jingga, merah, cokelat, kuning tua,
dengan askospora dengan multisepta yang dapat berubah bentuk menjadi semakin
besar dalam satu bagian sel tersebut (Tanada and Harry, 1993).
Peritesia memanjang dalam satu lapisan sel yang berjalin dengan longgar,
kadang-kadang tampak memanjang setengah. Aski berukuran 300-510 x 3,5-5 ,
dengan caps yang tipis yaitu 3,5-5 . Spora-spora yang saling memotong dan
seperti benang, menyatu membentuk irisan-irisan berbentuk bulat panjang dengan
ukuran 2-4,5 x 1,5 (Kuo, 2006).
Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan C. militaris (Fr.) Link
Hasil penelitian di Balai Penelitian Marihat menunjukkan bahwa pada
kondisi kelembaban yang cukup, perkembangan Cordyceps dari mumifikasi
sampai terjadinya emisi askospora sekitar 24 hari. Keadaan yang sedikit gelap
akan berpengaruh terhadap evolusi stromata, tetapi cahaya akan merangsang
keluarnya peritesia. Waktu yang diperlukan untuk pembentukan stromata berkisar
2-4 minggu setelah inokulasi (Wibowo, dkk, 1994). Suhu optimal untuk
pertumbuhan miselia, yaitu 21-30 0C dan ini merupakan suhu untuk pertumbuhan
yang cepat, sedangkan suhu 3-5 0C untuk pertumbuhan yang lambat. Dengan suhu
yang optimal demikian, senyawa seperti Cordycepin (3’deoxy adenosine) atau
Hydroethyladenosine dapat dihasilkan oleh jamur (Holliday and Matt, 2004).
Mekanisme Penetrasi C. militaris (Fr.) Link
Askospora yang berada pada integumen dari larva dan pupa melakukan
penetrasi melalui pembuluh, dan mempunyai kemampuan untuk menghidrolisa
berbentuk silindris pada haemocoel pupa, kemudian badan hifa meningkat dan
menyebar pada tubuh serangga (Schgal and Sagar, 2006).
Gejala Serangan C. militaris (Fr.) Link
Kepompong yang terinfeksi menjadi keras (mumifikasi), warnanya krem
sampai cokelat muda. Selanjutnya miselium yang kompak dan berwarna putih
membalut tubuh kepompong di dalam kokon. Hal ini juga terjadi pada fase larva
yang menjelang kepompong. Miselium selanjutnya berkembang keluar dinding
kokon dan terjadi diferensiasi membentuk rhizomorf dengan beberapa beberapa
cabang, berwarna merah muda. Ujung-ujung rhizomorf berdeferensiasi
membentuk badan buah berisi peristesia dengan aski dan askospora. Infeksi
pertama terjadi pada saat larva tua akan berkepompong, tetapi lebih banyak pada
fase kepompong. Pada kondisi lapangan C. militaris tumbuh baik pada
tempat-tempat lembab di sekitar piringan kelapa sawit dan gawangan (Purba, dkk, 1989).
Media yang dipakai untuk menumbuhkan jamur entomopatogen sangat
menentukan laju pembentukan koloni dan jumlah konidia selama pertumbuhan.
Jumlah konidia akan menentukan keefektifan jamur entomopatogen dalam
mengendalikan serangga. Jamur entomopatogen membutuhkan media dengan
kandungan gula yang tinggi di samping protein. Media dengan kadar gula yang
tinggi akan meningkatkan virulensi jamur entomopatogen. Media dari jagung
manis atau jagung lokal + gula 1% menghasilkan jumlah konidia dan persentase
daya kecambah konidia yang lebih tinggi dibandingkan media yang lain
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama dan Penyakit
Tumbuhan Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian + 25 meter di atas
permukaan laut. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2010.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva instar 5
S. asigna Van Ecke, jamur entomopatogen yaitu M. anisopliae dan
B. bassiana (Balsamo) Vuillemin serta C. militaris (Fr.) Link alkohol, aquadest,
dan daun muda kelapa sawit.
Alat yang digunakan adalah stoples plastik sebagai wadah habitat larva,
handsprayer sebagai alat untuk menyemprotkan larutan jamur entomopatogen,
timbangan digital untuk menimbang jamur, beaker glass sebagai wadah larutan
jamur entomopatogen, label nama untuk memberi nama masing-masing perlakuan
pada stoples, alat pengaduk untuk mengaduk larutan jamur entomopatogen, kain
muslin untuk menutup atas stoples, karet sebagi pengikat kain muslin pada bagian
atas stoples dan alat tulis untuk mencatat data pengamatan.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial
1. Faktor pertama, yaitu jenis jamur. Terdiri dari 4 taraf, yaitu :
- J0 yaitu kontrol (tanpa perlakuan)
- J1 yaitu jamur M. anisopliae (Metch Sorikin)
- J2 yaitu jamur B. bassiana (Balsamo) Vuillemin
- J3 yaitu jamur C. militaris (Fr.) Link.
2. Faktor kedua, yaitu kerapatan konidia. Terdiri dari 3 taraf, yaitu :
- K1 yaitu kerapatan konidia 105
- K2 yaitu kerapatan konidia 106
- K3 yaitu kerapatan konidia 107.
Sehingga diperoleh 12 kombinasi perlakuan sebagai berikut :
J0K1 J0K2 J0K3
J1K1 J1K2 J1K3
J2K1 J2K2 J2K3
J3K1 J3K2 J3K3
Masing – masing perlakuan terdiri dari 3 ulangan, dengan rumus :
t1 (t2-1) (r-1) ≥ 12
4 (3-1) (r-1) ≥ 12
8 (r-1) ≥ 12
r ≥ 2.5
r = 3
Jumlah perlakuan (t) = 12
Model linear yang digunakan adalah :
Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + ξijk
Keterangan :
Yijk = respon atau nilai pengamatan taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari
faktor B pada ulangan ke-k
μ = nilai tengah umum
αi = pengaruh taraf ke-i dari faktor A
βj = pengaruh taraf ke-j dari faktor B
(αβ)ij= pengaruh interaksi taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B
ξijk = pengaruh galat percobaan taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor
B pada ulangan ke-k
Bila dalam pengujian sidik ragam diperoleh pengaruh perlakuan berbeda nyata
atau sangat nyata, maka dilanjutkan dengan uji perbandingan nilai tengah Duncan
pada taraf nyata 5% (Steel dan Torrie, 1995).
Pelaksanaan Penelitian Penyediaan Serangga Uji
Serangga uji, yaitu larva diambil dari areal perkebunan PT. SIPEF
Kerasaan Kabupaten Simalungun, Pematang Siantar dan dipastikan bahwa larva
tersebut masih sehat. Kemudian dimasukkan ke dalam stoples plastik. Sebagai
makanannya dimasukkan daun muda kelapa sawit ke dalam stoples dan kemudian
ditutup dengan kain muslin. Jumlah larva yang dimasukkan 10 ekor per stoples.
Jumlah larva yang dibutuhkan 360 ekor. Larva yang dibutuhkan adalah larva
Penyediaan Jamur Entomopatogen
Jamur M. anisopliae dan B. bassiana diperoleh dari BP2TP Helvetia,
Medan. Dan jamur C. militaris diperoleh dari PPKS Marihat, Pematang Siantar.
Jamur tersebut sudah tersedia dalam bentuk tepung dan dapat diaplikasikan
langsung pada serangga dengan diencerkan terlebih dahulu.
Pembuatan Suspensi Jamur Entomopatogen
Jamur yang telah diperoleh dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak
50 gram dan diletakkan dalam beaker glass, lalu diencerkan dengan 450 ml
aquadest. Lalu akan terbentuk suspensi jamur dengan kerapatan konidia 107.
Kemudian suspensi jamur tadi diambil sebanyak 50 ml dan diencerkan kembali
dengan 450 ml aquades. Maka akan terbentuk suspensi jamur dengan kerapatan
konidia 106. Lalu suspensi jamur tadi diambil lagi sebanyak 50 ml dan diencerkan
kembali hingga didapatkan suspensi jamur dengan kerapatan konidia 105.
Aplikasi
Aplikasi jamur entomopatogen dilakukan dengan menggunakan
handsprayer pada pagi hari pukul 08.00 WIB. Aplikasi jamur entomopatogen
dilakukan hanya satu kali saja pada daun kelapa sawit, yaitu makanan larva
tersebut.
Pengamatan Parameter
Persentase Mortalitas Larva
Pengamatan mortalitas larva dilakukan setiap hari dengan pengamatan
sebanyak 6 kali. Persentase mortalitas larva dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
M=
Keterangan :
M = Persentase mortalitas larva
a = Jumlah larva yang mati
b = Jumlah larva yang hidup
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Aplikasi Jamur Entomopatogen Terhadap Mortalitas Larva
Hasil penelitian di laboratorium mengenai mortalitas larva S. asigna
menunjukkan bahwa aplikasi ketiga jenis jamur entomopatogen (M. anisopliae,
B. bassiana serta C. militaris) berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva
S. asigna yang diuji selama enam kali pengamatan, seperti terlihat pada
masing-masing daftar Analisis Sidik Ragam (Lampiran 4-9).
Hasil uji jarak Duncan dan Rataan mortalitas pada masing-masing
[image:34.595.106.511.384.501.2]perlakuan selama pengamatan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Beda uji rataan pengaruh jamur entomopatogen terhadap mortalitas (%)
larva S. asigna pada pengamatan 1–6 HSA.
Perlakuan Pengamatan
1 HSA 2 HSA 3 HSA 4 HSA 5 HSA 6 HSA
J0 0.00 d 0.00 c 0.00 d 0.00 d 0.00 c 0.00 d
J1 3.33 c 6.67 b 13.33 c 23.33 c 30.00 b 46.67 c
J2 6.67 b 10.00 a 30.00 b 33.33 b 53.33 a 66.67 b
J3 10.00 a 13.33 a 36.67 a 40.00 a 60.00 a 96.67 a
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata hasil uji jarak Duncan pada taraf 5 %.
Tabel 1 menunjukkan bahwa ketiga jamur entomopatogen yang diuji pada
setiap hari mengalami peningkatan persentase mortalitas larva. Jika dilihat segi
efektivitas, maka perlakuan J3 (C. militaris) yang paling efektif dalam
mengendalikan larva S. asigna, sedangkan yang kurang efektif dari ketiga
perlakuan tersebut adalah perlakuan J1 (M. anisopliae). Oleh karena itu, urutan
perlakuan yang paling efektif adalah J3, J2 dan J1.
Tabel 1 juga menunjukkan bahwa sejak pengamatan pertama (1 HSA)
pada perlakuan J1 (M. anisopliae) yaitu 46.67 %. Hal ini disebabkan oleh jamur
pada perlakuan J1 (M. anisopliae) kurang efektif bila dibandingkan dengan yang
lain karena kemampuan jamur mempenetrasi integumen dipengaruhi oleh
konfigurasi morfologi integumen dari larva tersebut. Sementara mortalitas
tertinggi terjadi pada perlakuan J3 (C. militaris) yaitu 96.67 % , karena jamur
pada perlakuan J3 (C. militaris) memiliki toksin berupa senyawa Cordycepin
(3’deoxy adenosine) atau Hydroethyladenosine yang mampu menumbuhkan
askospora yang mempenetrasi melalui pembuluh dan menghidrolisa lapisan kitin
dari larva tersebut sehingga mengakibatkan persentase mortalitas tinggi pada
larva.
Pada pengamatan pertama (1 HSA), ketiga (3 HSA), keempat (4 HSA) dan
keenam (6 HSA) menunjukkan bahwa pada perlakuan J3 (C. militaris) berbeda
nyata dengan perlakuan J0 (tanpa perlakuan), J1 (M. anisopliae) dan J2
(B. bassiana). Hal ini dimaklumi karena perkembangan patogenitas pada tubuh
larva dipengaruhi oleh faktor ruang laboratorium seperti cahaya yang cukup serta
kondisi lingkungan yang sesuai. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Holliday and Matt (2004), yang menyatakan bahwa keadaan yang sedikit gelap
akan berpengaruh terhadap evolusi stromata, tetapi cahaya akan merangsang
keluarnya peritesia. Suhu optimal untuk pertumbuhan miselia, yaitu 21-30 0C dan
ini merupakan suhu untuk pertumbuhan yang cepat, sedangkan suhu 3-5 0C untuk
pertumbuhan yang lambat. Dengan suhu yang optimal demikian, senyawa seperti
Cordycepin (3’deoxy adenosine) atau Hydroethyladenosine dapat dihasilkan oleh
Untuk lebih jelasnya persentase mortalitas larva pada masing-masing
perlakuan selama pengamatan (1 HSA sampai dengan 6 HSA) dapat dilihat pada
[image:36.595.148.477.166.360.2]histogram.
Gambar 6. Histogram Persentase Mortalitas Larva Setiap Jamur Selama Enam Kali Pengamatan (1 HSA Sampai 6 HSA)
Tabel 2 memperlihatkan bahwa aplikasi ketiga kerapatan konidia pada
larva S. asigna berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva tersebut, seperti yang
terlihat pada masing-masing daftar Analisis Sidik Ragam (Lampiran 4-9).
Selanjutnya pengaruh kerapatan konidia terhadap larva S. asigna yang
diuji setelah pengamatan pertama (1 HSA) sampai dengan pengamatan terakhir
[image:36.595.113.506.626.730.2](6 HSA) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Beda uji rataan pengaruh kerapatan konidia terhadap mortalitas (%)
larva S. asigna pada pengamatan 1–6 HSA
Perlakuan Pengamatan
1HSA 2 HSA 3 HSA 4 HSA 5 HSA 6 HSA
K1 0.00 c 0.00 c 15.00 c 17.50 c 32.50 c 45.00 c
K2 2.50 b 7.50 b 20.00 b 25.00 b 37.50 b 52.50 b
K3 15.00 a 15.00 a 25.00 a 30.00 a 37.50 a 60.00 a
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00
1HSA 2HSA 3HSA 4HSA 5HSA 6HSA
Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase mortalitas tertinggi larva dari
pengamatan pertama (1 HSA) sampai pengamatan terakhir (6 HSA) terdapat pada
perlakuan K3 (107) yaitu 60.00 %, dan berbeda nyata dengan K1 (105) dan K2
(106). Hal ini disebabkan karena kerapatan konidia pada perlakuan ini tinggi
sehingga toksin yang dihasilkan untuk dapat mematikan larva S. asigna juga
tinggi. Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa setiap perlakuan pada setiap
hari pengamatan mengalami peningkatan persentase mortalitas larva.
Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa persentase mortalitas
larva terendah selama pengamatan (1 HSA sampai 6 HSA) dijumpai pada
perlakuan K1 (105) yaitu 45.00 %, dan perlakuan ini berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena tingkat kerapatan konidia yang
diberikan pada perlakuan tersebut (K1) rendah sehingga toksin atau racun yang
terkandung di dalamnya juga rendah. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap
proses terjadinya infeksi dan kematian larva.
Tabel 2 memperlihatkan juga adanya pengaruh kerapatan konidia dengan
mortalitas larva yang terjadi pada perlakuan tersebut, yaitu penambahan kerapatan
konidia dapat meningkatkan mortalitas larva. Hal ini disebabkan karena kerapatan
konidia yang tinggi lebih banyak mengandung toksin yang termakan atau
tersentuh oleh larva sehingga kematian larva juga bertambah. Menurut
Huffaker dan Messengger (1989), pemberian inokulum dengan serangga biasanya
mengakibatkan persentase dari serangga yang terkena pengaruh toksin meningkat
Pengaruh Interaksi Aplikasi Jamur Entomopatogen Dan Kerapatan Konidia Terhadap Mortalitas Larva
Data pengamatan mortalitas dan analisis sidik ragam dapat dilihat pada
Lampiran 4 – 9. Dari analisis sidik ragam dapat dilihat bahwa interaksi antara
aplikasi jamur entomopatogen dan kerapatan konidia pada pengamatan 1 HSA
sampai 6 HSA berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva S. asigna. Hasil beda
uji rataan interaksi antara aplikasi jamur entomopatogen dan kerapatan konidia
[image:38.595.106.506.355.583.2]terhadap mortalitas larva dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Beda uji rataan interaksi aplikasi jamur entomopatogen dan kerapatan
konidia terhadap mortalitas (%) S. asigna pada pengamatan 1–6 HSA
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata hasil uji jarak Duncan pada taraf 5 %.
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa pada pengamatan 1 HSA sampai
6 HSA mortalitas larva tertinggi terdapat pada perlakuan J3K3 (jamur
C. militaris dengan kerapatan konidia 107) yaitu 33.33 %, dan terendah pada
perlakuan J1K1 (jamur M. anisopliae dengan kerapatan konidia 105) yaitu 20.00
%. Hal ini disebabkan karena jamur yang digunakan pada perlakuan J3K3 (jamur
Perlakuan Pengamatan
1 HSA 2 HSA 3 HSA 4 HSA 5 HSA 6 HSA J0K1 0.00 d 0.00 b 0.00 d 0.00 e 0.00 e 0.00 f
J0K2 0.00 d 0.00 b 0.00 d 0.00 e 0.00 e 0.00 f
J0K3 0.00 d 0.00 b 0.00 d 0.00 e 0.00 e 0.00 f
J1K1 0.00 d 0.00 b 0.00 d 3.33 d 10.00 d 10.00 e
J1K2 0.00 d 0.00 b 3.33 c 10.00 c 10.00 d 16.67 d
J1K3 3.33 c 6.67 a 10.00 b 10.00 c 10.00 d 20.00 c
J2K1 0.00 d 0.00 b 10.00 b 10.00 c 13.33 c 20.00 c
J2K2 0.00 d 3.33 a 10.00 b 10.00 c 20.00 b 20.00 c
J2K3 6.67 b 6.67 a 10.00 b 13.33 b 20.00 b 26.67 c
J3K1 0.00 d 0.00 b 10.00 b 10.00 c 20.00 b 30.00 b
J3K2 3.33 d 6.67 a 13.33 a 13.33 b 20.00 b 33.33 a
C. militaris dengan kerapatan konidia 107) sudah dibiakkan pada media jagung,
dimana jumlah konidia dan persentase daya kecambah konidia lebih tinggi
sehingga lebih cepat untuk menginfeksi. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Prayogo (2006) yang menyatakan jamur entomopatogen membutuhkan media
dengan kandungan gula yang tinggi di samping protein. Media dengan kadar gula
yang tinggi akan meningkatkan virulensi jamur entomopatogen. Media dari
jagung manis atau jagung lokal + gula 1% menghasilkan jumlah konidia dan
persentase daya kecambah konidia yang lebih tinggi dibandingkan media yang
lain.
Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa jamur mulai menginfeksi mulai
pengamatan 2 – 3 HSA. Infeksi ini mulai terjadi setelah larva memakan daun
kelapa sawit sekaligus tubuh larva bersentuhan dengan suspensi jamur tersebut
Hal ini sesuai pernyataan Prayogo (2006) yang menyatakan bahwa jamur masuk
ke dalam tubuh serangga inang melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel dan
inokulum jamur menempel, berkecambah dan berkembang membentuk tabung
kecambah.
Gejala Serangan Jamur M. anisopliae (Metch Sorikin)
Berdasarkan hasil pengamatan pada perlakuan J1K2 (M. anisopliae
dengan kerapatan konidia 106) bahwa larva S. asigna pada hari pertama (1 HSA)
belum ada yang mati. Namun gejala infeksi sudah terlihat terutama setelah larva
memakan daun muda kelapa sawit yang disemprot dengan M. anisopliae dan larva
dimasukkan ke dalam stoples, larva memakan daun dan sekaligus bersentuhan
sesuai dengan literatur Purwantara dan Darmono (2001) yang menyatakan bahwa
larva yang terserang M. anisopliae menjadi lemas dan akhirnya menjadi kaku.
Pada pengamatan kedua sampai keenam (2 HSA sampai 6 HSA) pada
perlakuan J1K1 (M. anisopliae dengan kerapatan konidia 105) dan J1K2
(M. anisopliae dengan kerapatan konidia 106) serta perlakuan J1K3
(M. anisopliae dengan kerapatan konidia 107) sudah ditemukan larva yang mati.
Pada larva ditemukan adanya perubahan warna kecokelat-cokelatan pada tubuh
larva yang terserang. Hal ini sesuai dengan literatur Purwantara dan Darmono
(2001) yang menyatakan bahwa larva yang mati tampak memar berwarna
kecokelat-cokelatan. Miselium jamur kemudian tumbuh dan muncul ke
permukaan kulit serangga yang mati. Bantalan miselium yang semula tampak
berwarna putih berubah menjadi hijau keabu-abuan, kemudian diikuti oleh
pembentukan struktur seperti rhizomorf berwarna putih. Bantalan pora
M. anisopliae tampak kering dan mengelupas dari kulit serangga.
[image:40.595.165.462.474.663.2]
Gejala Serangan Jamur Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin
Hasil penelitian pada pengamatan pertama (1 HSA) J2K3
(B. bassiana dengan kerapatan konidia 107) dan J2K2 (B. bassiana dengan
kerapatan konidia 106) menunjukkan bahwa larva yang diuji sudah
memperlihatkan adanya gejala infeksi seperti gerakannya lamban dan larva yang
terinfeksi mulai menjauh dari daun kelapa sawit yang merupakan makanan larva
tersebut. Setelah gejala infeksi ini terjadi, terlihat bahwa larva sudah ada yang
mati. Menurut Soetopo dan Igaa (2007) menyatakan bahwa serangga yang
terinfeksi gerakannya lamban, nafsu makannya berkurang bahkan berhenti,
lama-kelamaan diam dan mati. Tubuh mulai pucat dan mengeras serta permukaannya
[image:41.595.164.460.380.581.2]penuh dengan badan buah dan konidia berwarna putih.
Gambar 8. Larva S. asigna Yang Terinfeksi B. bassiana Sumber : Foto Langsung
Gejala Serangan Jamur Cordyceps militaris (Fr.) Link
Berdasarkan hasil penelitian pada pengamatan pertama sampai keenam
(1 HSA sampai 6 HSA) perlakuan J3K3 (C. militaris dengan kerapatan konidia
pada tubuh larva yang terinfeksi yaitu perubahan warna menjadi cokelat muda.
Tubuh larva yang telah mati tersebut bila disentuh akan terasa mengeras, akan
tetapi pada hari pertama pengamatan ini belum ditemukan pertumbuhan miselium.
Pada pengamatan kedua sampai keenam (2 HSA sampai 6 HSA) pada perlakuan
J3K1, J3K2 dan J3K3 gejala infeksi pun semakin jelas terlihat, yaitu pada tubuh
larva ditemukan miselium berwarna keputih-putihan yang tumbuh secara kompak.
Hal ini sesuai dengan literatur Purba, dkk (1989) yang menyatakan bahwa
miselium yang kompak dan berwarna putih membalut tubuh kepompong di dalam
kokon. Hal ini juga terjadi pada fase larva yang menjelang kepompong. Miselium
selanjutnya berkembang keluar dinding kokon dan terjadi diferensiasi membentuk
[image:42.595.170.466.383.579.2]rhizomorf dengan beberapa beberapa cabang, berwarna merah muda.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Jamur entomopatogen M. anisopliae, B. bassiana, C. militaris dengan
kerapatan konidia 105, 106 dan 107 berpengaruh nyata terhadap mortalitas
larva S. asigna van Ecke di laboratorium.
2. Pengaruh jamur entomopatogen terhadap mortalitas larva
S. asigna van Ecke tertinggi terdapat pada perlakuan J3 (C. militaris)
sebesar 96.67 % berturut-turut J2 (B. bassiana) sebesar 66.67 % dan
J1 (M. anisopliae) sebesar 46.67 %.
3. Pengaruh kerapatan konidia terhadap mortalitas larva S. asigna van Ecke
tertinggi terdapat pada perlakuan K3 (107) sebesar 60.00 % berturut-turut
K2 (106) sebesar 52.50 % dan K1 (105) sebesar 45.00 %.
4. Kombinasi jamur entomopatogen dan kerapatan konidia yang paling
efektif adalah J3K3 (C.militaris dengan kerapatan konidia 107) sebesar
33.33 % berturut-turut J2K3 (B.bassiana dengan kerapatan konidia 107)
sebesar 26.67 % dan J1K3 (M. anisopliae dengan kerapatan konidia 107)
sebesar 20.00 %.
Saran
Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut tentang efektivitas masing-masing
jamur entomopatogen dan kerapatan konidia terhadap mortalitas larva S. asigna di
DAFTAR PUSTAKA
Ainsworth, G. C., Hawsksworth, D. L., and Sutton, B. C., 1983. Ainsworth and
Bisby’s Dictionary of Fungy (Including The Lichens), 7th Edition.
Commonealth Mycological Institute, Kew, 445 p.
Alexopoulus, C. J., C. W. Mims, and M. Blackwell, 1996. Introductory Mycology. Fourth Edition. John Willey and Sons Inc., New York.
Basle,1985. Field Trial Manual. Ciba. Geigy, Switzerland. P:18.
BPS Sumut, 2007. Ekspor CPO Sumut Bisa Tembus 2 Miliar Dolar AS, Available
Buana dan Siahaan, 2003. Ulat Pemakan Daun Kelapa Sawit. Pertemuan Teknis Kelapa Sawit 21:56-77.
Holliday, J., and Matt, C., 2004. On The Trail Of The Yalk Ancinet Cordyceps In The Modern World.
Huffaker, C. B., dan P. S. Messenger, 1989. Teori dan Praktek Pengendalian Biologis. Penerjemah Soeprapto Mangoendihardjo. UI Press, Jakarta.
Kalshoven, L. G. E., 1981. Pests Of Crops In Indonesia. Revised and Translated By P. A. Van Der Laan. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta.
Kartasapoetra, A. G., 1993. Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan. Edisi Ketiga. Bumi Aksara, Jakarta.
Khaerudin, 1990. Pengendalian Terpadu Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta.
Kuo, M., 2006. Cordyceps militaris. Retrived From The Mushroom Expert.com.Websit
Manaf, A.,1991. Laporan Hasil Pelatihan Metode Pengembangbiakan dan Aplikasi Beauveria bassiana di Malang, Jawa Timur. Dinas Perkebunan Tingkat I, Lampung. Hal 4-6.
Prawirosukarto, S., A. Susanto, R. Y. Purba, dan B. Drajat, 2008. Teknologi Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Kelapa Sawit Siap Pakai Dan Ramah Lingkungan.http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/wr271.pdf. Diakses tanggal 10 Maret 2009.
Prayogo, Y., 2006. Upaya Mempertahankan Keefektifan Cendawan
Entomopatogen Untuk Mengendalikan Hama Tanaman Pangan. Jurnal Litbang Pertanian. 25(2):47-54. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian, Malang.
Purba, S., A. Sipayung, dan R. Desmier de Chenon, 1989. Kemungkinan Pengendlian Serangga Hama Pada Tanaman Kelapa Sawit Secara Hayati. Biological Control Posibilities Of Insect Pests Of Oil Palm). Prosiding Temu Ilmu Ilmiah Entomologi Perkebunan Indonesia Cabang Sumatera Utara-Aceh. Pusat Penelitian Marihat, Pematang Siantar.
Purwantara, A., dan T. W. Darmono, 2001. Bioinsektisida Meteor Berbahan Aktif Jamur Metarrhizium anisopliae Untuk Mengendalikan Hama Penggerek Pangkal Batang Tebu (Boktor). Prosiding Kongres Nasional XVI dan Seminar Ilmiah. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Bogor.
Schgal, A. K., and A. Sagar, 2006. In Vitro Isolation And Influence Of Nutrional Conditions On The Mycelia Growth Of The Enthomopathogenic And Medicinal Fungus Cordyceps militaris. Plant Pathology Journal 5(3):315-321.
Soetopo, D., dan Igaa, I., 2007. Status Teknologi Dan Prospek
Beauveria bassiana Untuk Pengendalian Serangga Hama Tanaman
Perkebunan Yang Ramah Lingkungan. Balai Penelitian Tanaman Tembakau Dan Serat, Malang.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie, 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrik. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sudharto, Hutauruk, P., dan Buana, 2005. Kajian Pengendalian Hama Terpadu
S. asigna Van Ecke (Lepidoptera: Limacodidae) Pada Tanaman Kelapa
Sawit. Bul. Perk. 56 (4):103-114.
Sweetman, H. L., 1983. The Principles Of Biological Control. Interrelation Of Host And Pests And Utilization In Regulation Of Animal And Plant Population. WM. Brown Company PublisherDubuque, Iqwa.
Tanada, Y., and Harry, K. K., 1993. Insect Pathology. Academic Press, Inc., New York.
Utomo, D., dan D. Pardede, 1990. Beauveria bassiana Parasit Pada Larva Penggerek Batang Kakao Zeuzera coffee Nietn. Buletin Perkebunan. Vol. 19 No.3 September 1988, Medan. Hal 3.
Wahyu, A. S., 2004. Pengembangan Cordyceps militaris Untuk Pengendalian UPDKS. PT. Smart Tbk. Smart Research Institute.
Wibowo, H., A. Sipayung, dan R. Desmier De Chenon, 1994. Teknik
Perbanyakan Cendawan Cordyceps sp. Untuk Pengendalian
Setothosea asigna Moore (Lepidoptera: Limacodidae). Buletin PPKS 1994,
Lampiran 1. Bagan Penelitian
BAGAN PENELITIAN
U
U
J1K1 J2K1 J3K3 J1K3
S
J3K3 J3K2 J2K2 J3K1
J2K2 J1K3 J3K2 J1K3
J1K2 J1K1 J2K3 J3K2
J2K1 J1K2 J1K3 J1K2
J2K3 J3K1 J1K1 J2K3
J0K1 J0K3 J0K2 J0K1
J0K2 J0K1 J0K3 J0K2
Keterangan :
J0K1 = kontrol (tanpa perlakuan) dengan kerapatan konidia 105
J0K2 = kontrol (tanpa perlakuan) dengan kerapatan konidia 106
J0K3 = kontrol (tanpa perlakuan) dengan kerapatan konidia 107
J1K1 = Jamur M. anisopliae dengan kerapatan konidia 105
J1K2 = Jamur M. anisopliae dengan kerapatan konidia 106
J1K3 = Jamur M. anisopliae dengan kerapatan konidia 107
J2K1 = Jamur B. bassiana dengan kerapatan konidia 105
J2K2 = Jamur B. bassiana dengan kerapatan konidia 106
J2K3 = Jamur B. bassiana dengan kerapatan konidia 107
J3K1 = Jamur C. militaris dengan kerapatan konidia 105
J3K2 = Jamur C. militaris dengan kerapatan konidia 106
Lampiran 2. Data Suhu dan Kelembaban Selama 6 Hari Pengamatan
Lampiran 3. Foto Tempat Penelitian Berlangsung
Jamur M. ansiopliae dalam Jamur B. bassiana dalam Jamur C. militaris dalam
media dedak padi media tepung tapioca media jagung
HARI SUHU (0 C ) KELEMBABAN (%)
1 30 0 C 71 %
2 30 0 C 71 %
3 30 0 C 71 %
4 30 0 C 71 %
5 30 0 C 71 %
Kiri : Larva yang masih sehat (belum terinfeksi)
Kanan : Larva yang terinfeksi jamur C. militaris (terlihat miselium
[image:50.595.161.482.68.509.2] [image:50.595.161.480.514.711.2]pada tubuh larva)
Gambar larva S. asigna yang sudah terinfeksi jamur B. bassiana
Lampiran 4. Data Pengamatan Mortalitas Larva S. asigna (%) 1 HSA
[image:51.595.106.464.123.352.2] [image:51.595.114.480.546.704.2]
Tabel Dwikasta Total
J/K K1 K2 K3 Total Rataan
J0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
J1 0.00 0.00 10.00 10.00 3.33
J2 0.00 0.00 20.00 20.00 6.67
J3 0.00 10.00 30.00 40.00 13.33
Total 0.00 10.00 60.00 70.00
Rataan 0.00 2.50 15.00 5.83
Daftar Sidik Ragam
SK db JK KT Fhit F.05 F.01
Perlakuan 11 464.47 42.22 6.29 * 2.31 3.26
J 3 70.37 23.46 3.49 * 3.05 4.82
K 2 253.35 126.67 18.86 * 3.44 5.72
J x K 6 140.75 23.46 3.49 * 2.55 3.76
Galat 22 147.79 6.72
Total 35 633.37
FK 2952.29 Keterangan: * = nyata
KK 8.61 %
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
J0K1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
J0K2 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
J0K3 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
J1K1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
J1K2 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
J1K3 0.00 0.00 10.00 10.00 3.33
J2K1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
J2K2 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
J2K3 10.00 0.00 10.00 20.00 6.67
J3K1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
J3K2 0.00 10.00 0.00 10.00 3.33
J3K3 10.00 10.00 10.00 30.00 10.00
Total 20.00 20.00 30.00 70.00
Uji Jarak Duncan Faktor J x K
sy 0.86
P 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17 3.24 3.29 3.32 3.35 3.37 3.39 3.41 3.42 3.43
LSR 0.05 2.53 2.66 2.74 2.80 2.84 2.87 2.89 2.91 2.93 2.95 2.95 2.96
Perlakuan J0K1 J0K2 J0K3 J1K1 J1K2 J2K1 J2K2 J3K1 J3K2 J1K3 J2K3 J3K3
Rataan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.33 6.67 10.00
.a .b
.c
d
Uji Jarak Duncan Uji Jarak Duncan
Faktor J Faktor K
sy 0.86 sy 0.75
P 2 3 4 5 P 2 3 4
SSR
0.05 2.93 3.08 3.17 3.24 SSR 0.05 2.93 3.08 3.17
LSR
0.05 2.53 2.66 2.74 2.80 LSR 0.05 2.19 2.30 2.37
Perlakuan J0 J1 J2 J3 Perlakuan K1 K2 K3
Rataan 0.00 3.33 6.67 10.00 Rataan 0.00 2.50 15.00
.a .a
.b .b
.c .c
Lampiran 5. Data Pengamatan Mortalitas Larva S. asigna (%) 2 HSA
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
J0K1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
J0K2 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
J0K3 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
J1K1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
J1K2 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
J1K3 0.00 10.00 10.00 20.00 6.67
J2K1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
J2K2 0.00 0.00 10.00 10.00 3.33
J2K3 0.00 10.00 10.00 20.00 6.67
J3K1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
J3K2 0.00 10.00 10.00 20.00 6.67
J3K3 0.00 10.00 10.00 20.00 6.67
Total 0.00 40.00 50.00 100.00
[image:53.595.112.469.113.345.2]Rataan 0.00 3.33 4.17 2.50
Tabel Dwikasta Total
J/K K1 K2 K3 Total Rataan
J0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
J1 0.00 0.00 20.00 20.00 6.67
J2 0.00 10.00 20.00 30.00 10.00
J3 0.00 20.00 20.00 40.00 13.33
Total 0.00 30.00 60.00 90.00
Rataan 0.00 7.50 15.00 8.33
Daftar Sidik Ragam
SK db JK KT Fhit F.05 F.01
Perlakuan 11 432.80 39.35 3.15 * 2.31 3.26
J 3 123.16 41.05 3.29 * 3.05 4.82
K 2 190.01 95.01 5.61 * 3.44 5.72
J x K 6 119.64 31.94 2.56 * 2.55 3.76
Galat 22 274.46 12.48
Total 35 855.05
FK 3595.49 Keterangan: * = nyata
Uji Jarak Duncan Faktor J x K
sy 1.18
P 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17 3.24 3.29 3.32 3.35 3.37 3.39 3.41 3.42 3.43
LSR 0.05 3.45 3.63 3.73 3.81 3.87 3.91 3.94 3.97 3.99 4.01 4.03 4.04
Perlakuan J0K1 J0K2 J0K3 J1K1 J1K2 J2K1 J3K1 J2K2 J1K3 J2K3 J3K2 J3K3
Rataan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.33 6.67 6.67 6.67 6.67
a
b
Uji Jarak Duncan Uji Jarak Duncan
Faktor J Faktor K
sy 1.18 sy 1.02
P 2 3 4 5 P 2 3 4
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17 3.24 SSR 0.05 2.93 3.08 3.17
LSR 0.05 3.45 3.63 3.73 3.81 LSR 0.05 2.99 3.14 3.23
Perlakuan J0 J1 J2 J3 Perlakuan K1 K2 K3
Rataan 0.00 6.67 10.00 13.33 Rataan 0.00 7.50 15.00
a .a
.b .b
Lampiran 6. Data Pengamatan Mortalitas Larva S. asigna (%) 3 HSA
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
J0K1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
J0K2 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
J0K3 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
J1K1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
J1K2 0.00 10.00 0.00 10.00 3.33
J1K3 10.00 10.00 10.00 30.00 10.00
J2K1 10.00 10.00 10.00 30.00 10.00
J2K2 10.00 10.00 10.00 30.00 10.00
J2K3 10.00 10.00 10.00 30.00 10.00
J3K1 10.00 10.00 10.00 30.00 10.00
J3K2 10.00 10.00 20.00 40.00 13.33
J3K3 10.00 20.00 10.00 40.00 13.33
Total 70.00 90.00 80.00 240.00
[image:55.595.112.477.113.346.2]Rataan 5.83 7.50 6.67 6.67
Tabel Dwikasta Total
J/K K1 K2 K3 Total Rataan
J0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
J1 0.00 10.00 30.00 40.00 13.33
J2 30.00 30.00 30.00 90.00 30.00
J3 30.00 40.00 40.00 110.00 36.67
Total 60.00 80.00 100.00 240.00
Rataan 15.00 20.00 25.00 20.00
Daftar Sidik Ragam
SK db JK KT Fhit F.05 F.01
Perlakuan 11 1178.38 107.13 15.03 * 2.31 3.26
J 3 966.64 322.21 45.21 * 3.05 4.82
K 2 73.27 36.63 5.14 * 3.44 5.72
J x K 6 138.47 23.08 3.24 * 2.55 3.76
Galat 22 156.79 7.13
Total 35 1350.96
FK 7579.13 Keterangan: * = nyata
Uji Jarak Duncan Uji Jarak Duncan
Faktor J Faktor K
Sy 0.89 Sy 0.77
P 2 3 4 5 P 2 3 4
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17 3.24 SSR 0.05 2.93 3.08 3.17
LSR 0.05 2.61 2.74 2.82 2.88 LSR 0.05 2.26 2.37 2.44
Perlakuan J0 J1 J2 J3 Perlakuan K1 K2 K3
Rataan 0.00 13.33 30.00 36.67 Rataan 15.00 20.00 25.00
.a .a
.b .b
.c .c
.d
Uji Jarak Duncan Faktor J x K
sy 0.89
P 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
SSR 0.05 2.93 3.08 3.17 3.24 3.29 3.32 3.35 3.37 3.39 3.41 3.42 3.43
LSR 0.05 2.61 2.74 2.82 2.88 2.93 2.95 2.98 3.00 3.02 3.03 3.04 3.05
Perlakuan J0K1 J