• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Uji Fitokimia Daun Mahkota Dewa

Hasil pengujian ekstrak daun mahkota dewa memperlihatkan bahwa ekstrak metanol daun mahkota dewa mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, fenolik, glikosida, saponin, dan terpenoid/steroid. Hasil pengujian fitokimia daun mahkota dewa dengan pelarut metanol dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil uji fitokimia masing-masing ekstrak daun mahkota dewa Golongan Senyawa Pereaksi Ekstrak Metanol

Fenolik FeCl3 +++++ Terpenoid/steroid Lieberman-Bouchard - Alkaloid Bouchardat - Dragendroff ++ Mayer - Wagner - Saponin Aquades-HCl +++ Flavonoid FeCl3 ++++ Uji In Vitro

Ekstrak daun mahkota dewa menunjukkan adanya zona hambat pada bakteri A. hydrophila sebagai bakteri uji. Hasil pengamatan menunjukkan adanya peningkatan diameter zona hambat pada bakteri A. hydrophila pada masing-masing konsentrasi. Pengaruh setiap konsentrasi terhadap diameter zona bening dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Pengaruh setiap konsentrasi terhadap diameter zona bening

Hasil pengujian ekstrak daun mahkota dewa terhadap pertumbuhan bakteri

A. hydrophila menunjukkan adanya zona hambat pada ekstrak. Besarnya zona

hambat yang dihasilkan oleh ekstrak terlihat dengan adanya zona hambat di sekitar cakram (Gambar 4.)

(1) (2)

Gambar 4. Zona hambat (1) ulangan I (2) ulangan II ekstrak daun mahkota dewa dengan pelarut metanol terhadap pertumbuhan bakteri A. hydrophila

Uji LC50 48 Jam

Semakin besar konsentrasi ekstrak daun mahkota dewa yang dilarutkan dalam setiap akuarium benih ikan gurami menunjukkan peningkatan jumlah kematian. Pengaruh setiap konsentrasi terhadap mortalitas dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Pengaruh setiap konsentrasi terhadap mortalitas

Ekstrak daun mahkota dewa yang dilarutkan dalam setiap akuarium benih ikan gurami sebagai hewan uji menunjukkan jumlah kematian yang berbeda setiap jam pengamatan. Mortalitas pertama terjadi pada jam ke- 6 pada konsentrasi 600 ppm dan 750 ppm. Hasil pengamatan mortalitas ikan uji pada setiap jam pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 7.

Pengukuran kualitas air dilakukan setiap hari pada pagi dan sore hari. Parameter kualitas air yang diukur meliputi suhu, DO, dan pH. Hasil pengukuran kualitas air setiap konsentrasi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil pengukuran kualitas air Konsentrasi Parameter Suhu (0c) DO (ppm) pH 0 ppm 25-26 6.29 – 6.86 6.81 – 7.21 250 ppm 25-26 5.36 – 6.78 6.52 – 6.95 500 ppm 25-26 4.92 – 5.67 6.30 – 6.63 600 ppm 25-26 3.26 – 4.83 5.10 – 6.50 750 ppm 25-26 0.22 – 4.86 3.96 – 5.87 Pembahasan

Uji Fitokimia Daun Mahkota Dewa

Hasil uji fitokimia fenolik menunjukkan hasil positif pada pelarut metanol ditandai dengan terjadinya perubahan warna menjadi ungu gelap setelah diberi FeCl3 seperti yang terlihat pada Lampiran 3. Sukarja (1992) menyatakan bahwa ciri khas fenolik adalah terbentuk warna biru atau ungu dengan besi (III) klorida. Warna yang terbentuk diduga berupa besi (III) heksa fenolat sehingga uji ini memberikan indikasi gugus OH aromatik. Menurut Robinson (1995), beberapa senyawa fenolik bersifat menolak atau racun terhadap hewan pemangsa tumbuhan (herbivor), beberapa bersifat racun serangga (insektisida), sementara senyawa fenol yang lain mempengaruhi perkembangbiakan binatang pengerat.

Hasil uji fitokimia terpen/steroid menunjukkan hasil negatif pada pereaksi CeSO4 hal ini didasarkan bahwa tidak adanya perubahan warna menjadi biru hijau setelah dipanaskan diatas hotplate seperti yang terlihat pada Lampiran 3. Hal ini berbeda dengan pernyataan Sofianti (2006) yang menunjukkan adanya kandungan terpen/steroid pada ekstrak etanol daun muda dan daun tua mahkota dewa. Menurut Sofianti (2006), perbedaan kandungan metabolit sekunder pada jenis

tanaman yang sama seringkali terjadi karena pengaruh lingkungan. Pernyataan tersebut didukung oleh Kardono (2003) yang diacu oleh Septiawati (2008) bahwa perbedaan kandungan metabolit sekunder pada jenis tanaman yang sama seringkali terjadi karena perbedaan jenis pelarut yang digunakan saat ekstraksi, variasi genetik, individual, dan kondisi geografis tempat tumbuh.

Hasil uji fitokimia alkaloid menunjukkan hasil negatif pada pereaksi Bouchardat, Mayer, dan Wagner. Uji fitokimia alkaloid menunjukkan hasil positif pada pereaksi Dragendroff ditandai dengan adanya endapan merah jingga seperti yang terlihat pada Lampiran 3. Menurut Harbone (1998) uji alkaloid dilakukan berdasarkan reaksi warna dengan pereaksi Dragendrof dan terbentuk endapan merah jingga diperkirakan endapan tersebut adalah kalium alkaloid. Robinson (1995) menyatakan bahwa alkaloid tersebar luas di dunia tumbuhan. Berbagai perkiraan menyatakan bahwa presentase jenis tumbuhan yang mengandung alkaloid terletak dalam rentang 15-30%. Satu-satunya sifat kimia alkaloid yang paling penting adalah kebasaannya. Metode pemurnian dan pencirian umumnya mengandalkan sifat ini. Alkaloid biasanya diperoleh dengan cara mengekstraksi bahan tumbuhan dengan memakai air yang diasamkan yang melarutkan alkaloid.

Hasil uji fitokimia saponin menunjukkan hasil positif pada pelarut metanol ditandai dengan munculnya buih setelah diberi aquades kemudian dikocok selama ± 10 menit seperti yang terlihat pada Lampiran 3. Menurut Robinson (1995) Saponin mula-mula diberi nama demikian karena sifatnya yang menyerupai sabun (bahasa Latin Sapo berarti sabun). Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat bekerja sebagai antimikroba dan menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada larutan yang sangat kental, saponin sangat beracun untuk ikan. Suparjo

(2008) menyatakan bahwa saponin mengandung senyawa polar yang dapat larut dalam air dan sifat non polar karena memiliki gugus hidrofob yaitu aglikon. Oleh karena itulah dapat terbentuk busa karena saponin terdirpersi diantara senyawa polar dan non polar.

Hasil uji fitokimia flavonoid menunjukkan hasil positif pada pelarut Etil asetat terhadap pereaksi FeCl3 ditandai dengan warna merah jingga seperti yang terlihat pada Lampiran 3. Rohyami (2008) menjelaskan bahwa flavonoid merupakan termasuk senyawa fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan dan mempunyai bioaktivitas sebagai obat. Salah satu tanaman yang mengandung flavonoid adalah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa). Senyawa ini ditemukan pada batang, daun, dan buah. Menurut Sofianti (2006), Secara semi kuantitatif, diketahui bahwa ekstrak daun muda dan daun tua mahkota dewa memiliki kandungan kelompok senyawa yang sama.

Uji In Vitro

Hasil pengamatan terhadap uji in vitro menunjukkan larutan ekstrak daun mahkota dewa dapat menghambat pertumbuhan bakteri, terlihat dari terbentuknya zona bening di sekitar kertas cakram, zona bening tersebut menunjukkan zona hambat pertumbuhan bakteri. Setiap konsentrasi memberikan diamater zona hambat yang berbeda, hal ini mengindikasikan bahwa setiap konsentrasi memberikan respon daya hambat yang berbeda terhadap pertumbuhan bakteri. Pada Gambar 4. menunjukkan kertas cakram yang tidak mengandung larutan ekstrak daun mahkota dewa (kontrol) menyebabkan pertumbuhan bakteri

Menurut Brock dan Mardigan (1994), keefektifan senyawa antibakteri tergantung dari jenis bakteri dan karakteristik bakteri. Bakteri A. hydrophila

termasuk gram negatif, oksidasi positif dan mampu memfermentasikan beberapa jenis gula, seperti glukosa, fruktosa, maltosa, dan trehalosa.

Hasil pengukuran rata-rata diameter zona hambat bakteri dengan menggunakan ekstrak daun mahkota dewa antara 13,53 mm hingga 20,5 mm. Diameter zona hambat terkecil diperoleh pada konsentrasi ekstrak daun mahkota dewa 2% dan yang terbesar 8% yang dapat dilihat pada Gambar 3. Hal ini memperlihatkan bahwa semakin besar konsentrasi yang digunakan, semakin besar diameter zona hambat yang diperoleh, artinya aktivitas antibakteri ekstrak daun mahkota dewa semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak tersebut. Sebagaimana pendapat Lesmanawati (2006) bahwa banyaknya jumlah koloni yang tumbuh menunjukkan besarnya daya antibakteri suatu bahan. Semakin sedikit koloni bakteri yang tumbuh maka semakin baik daya antibakteri dari bahan tersebut.

Menurut pendapat Bell (1984) jika diameter zona hambat yang terbentuk lebih besar atau sama dengan 6 mm, maka ekstrak dikategorikan memiliki aktivitas antibakteri dan bila diameter zona hambat yang terbentuk lebih kecil dari 6 mm atau tidak terbentuk maka ekstrak tersebut dikategorikan tidak memiliki aktivitas antibakteri. Pada Gambar 3. Menunjukkan zona hambat yang dihasilkan lebih besar dari 6 mm, maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun mahkota dewa pada konsentrasi 2% hingga 8% memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Aeromonas hydrophila. Semakin besar konsentrasi ekstrak daun mahkota dewa, maka bahan aktif sebagai antibakteri semakin besar pula. Lisdawati (2002) menyatakan bahwa adanya aktivitas antibakteri ini disebabkan oleh kandungan

senyawa-senyawa yang yang terdapat dalam mahkota dewa. Toksisitas mahkota dewa yang sangat tinggi menyebabkan tanaman ini memiliki aktivitas antimikroba, seperti halnya tanaman marga phaleria lainnya.

Hasil pengamatan antibakteri ekstrak daun mahkota dewa menunjukkan adanya zona bening di tiap perlakuan selain perlakuan kontrol yang tidak mengandung ekstrak daun mahkota dewa. Zona bening yang terbentuk ini disebabkan karena adanya aktifitas senyawa aktif dari golongan alkaloid, saponin dan fenolik yang dikandung ekstrak daun mahkota dewa ini sebagai anti bakteri yang dapat dilihat pada Tabel 1. Hal ini sesuai dengan pemaparan Sofianti (2006) yang menyatakan bahwa dari hasil analisis fitokimia diketahui ekstrak etanol daun muda dan daun tua mahkota dewa menunjukkan adanya alkaloid, senyawa fenolik, dan saponin. Buckley dkk., (1981) diacu oleh Rahman (2008) menjelaskan bahwa cara kerja zat antimikrobial alkaloid dan flavonoid terhadap bakteri Aeromonas hydrophila diduga dengan menghambat kerja enzim bakteri sehingga mengganggu reaksi biokimiawi dan mengakibatkan terganggunya metabolisme atau matinya sel bakteri Aeromonas hydrophila dan diduga pula adanya penghambatan pembentukan enzim berupa toksin ekstraseluler yang merupakan faktor virulensi bakteri Aeromonas hydrophila.

Hasil analisa data zona hambat dengan menggunakan uji ANOVA menunjukkan pengaruh nyata (P<0,05). Data rinci uji ANOVA dapat dan dapat dilihat pada Lampiran 4. Analisa data dengan uji BNT menunjukkan semakin besar konsentrasi ekstrak daun mahkota dewa, semakin besar pula zona hambat bakteri Aeromonas hydrophila yang terpapar ekstrak daun mahkota dewa tersebut. Pengaruh sangat nyata konsentrasi ekstrak daun mahkota dewa terhadap besarnya

zona hambat bakteri Aeromonas hydrophila pada selang kepercayaan 99% (P<0,001) (Lampiran 6.)

Uji LC50 48 Jam

Pengujian LC50 48 jam ekstrak daun mahkota dewa terhadap benih ikan gurami memperlihatkan mortalitas 50% berada pada konsentrasi 600 ppm. Pada Lampiran 5. Software analisis EPA probit menunjukkan konsentrasi ekstrak daun mahkota dewa sebesar 600,536 ppm menyebabkan kematian benih ikan gurami sebanyak 50% dalam waktu 48 jam. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun mahkota dewa, maka jumlah kematian benih ikan gurami pun semakin banyak yang dapat dilihat pada Lampiran 6. Hal ini terjadi karena ekstrak daun mahkota dewa mengandung senyawa aktif sebagai antimikroba, namun dalam konsentrasi yang tinggi dapat meracuni benih ikan gurami. Senyawa antimikroba yang bersifat racun bagi ikan jika dalam konsentrasi tinggi adalah saponin. Sebagaimana pendapat Robinson (1995) bahwa saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat bekerja sebagai antimikroba dan dalam larutan yang sangat kental saponin sangat beracun untuk ikan, dan tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan sebagai racun.

Hasil uji LC50 konsentrasi ekstrak daun mahkota dewa dengan software analisis EPA Probit menunjukkan nilai LC50 sebesar 600,536 ppm menyebabkan kematian sebanyak 50%. Menurut Wibisono (1989) diacu oleh Nedi dkk., (2013), bahwa nilai yang aman (safety concentration) bagi organisme dari daya racun toksisitas adalah 10% dari nilai LC50. Oleh karena itu, konsentrasi yang ekstrak daun mahkota dewa yang aman digunakan untuk ikan gurami adalah 10% dari 600,536 ppm yakni 60,0536 ppm. Konsentrasi ini tidak berbeda jauh dengan

penelitian Rosidah dan Afiziah (2012) dengan uji LC50 ikan gurami terhadap ekstrak jambu biji yakni konsentrasi aman yang didapatkan adalah 60,058 ppm.

Kualitas Air

Menurut Kamaludin (2011), kualitas air merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit pada ikan, karena penyakit muncul dari interaksi antara inang, patogen, dan lingkungan. Kualitas air yang berada di luar kisaran optimum kebutuhan hidup ikan akan menyebabkan ikan mengalami stress, sehingga akibatnya ikan lebih mudah terserang penyakit. Oleh karena itu kondisi kualitas air selama perlakuan harus diperhatikan, agar tetap berada pada kisaran normal.

Hasil pengukuran DO menunjukkan kandungan oksigen yang terrendah yakni 0.22 – 4.86 ppm berada pada konsentrasi tertinggi yaitu 750 ppm yang dapat dilihat pada Tabel 2. Kandungan oksigen terrendah ini memberikan efek terhadap jumlah mortalitas ikan gurami yang terpapar. Berdasarkan Gambar 5. mortalitas ikan gurami mengalami peningkatan bersamaan dengan semakin besarnya konsentrasi esktrak daun mahkota dewa sebagai perlakuan, dan pada Tabel 2. menunjukkan bahwa kandungan oksigen terlarut mengalami penurunan bersamaan dengan semakin besarnya konsentrasi esktrak daun mahkota dewa yang diberikan. Dapat disimpulkan bahwa semakin rendah kandungan oksigen uji LC50 ekstrak daun mahkota dewa terhadap ikan gurami, semakin tinggi pula mortalitas ikan gurami tersebut.

Oksigen terlarut merupakan kebutuhan mutlak yang harus terpenuhi pada media pemeliharaan ikan. Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa kisaran oksigen terlarut media pengujian LC50 berada pada kisaran 0.22 – 6.86 ppm. Menurut

Boyd (1982), kandungan oksigen terlarut kurang dari 1 mg/l akan mematikan ikan, pada kandungan 1-5 mg/l cukup mendukung kehidupan ikan tetapi pertumbuhan ikan lambat, dan pada kandungan oksigen lebih dari 5 mg/l pertumbuhan ikan akan berjalan normal.

Hasil pengukuran suhu menunjukkan tidak adanya perbedaan temperatur terhadap setiap media uji dengan berbeda konsentrasi. Tabel 2. menunjukkan suhu media uji pada konsentrasi 0 ppm sampai 750 ppm selama masa percobaan masih berada dalam kisaran optimum kebutuhan hidup ikan gurami yaitu pada kisaran 25 – 260C. Hal ini sesuai dengan kualitas air yang dipaparkan menurut SNI (2000) yaitu kisaran suhu optimal untuk ikan gurami berada pada kisaran 250C - 300C. Menurut Khairuman dan Amri (2003) diacu oleh Nirmala dan Rasmawan (2010), suhu yang optimal untuk pertumbuhan ikan gurami adalah pada kisaran 24.9 – 280C.

Hasil pengukuran pH media uji pada konsentrasi 0 ppm sampai 600 ppm adalah 6.50 – 7.21. Kadar pH tersebut masih berada dalam kisaran optimum kebutuhan hidup ikan gurami. Sedangkan pada konsentrasi 750 ppm, nilai pH berada pada nilai terrendah berada dibawah standar kelayakan pH untuk kegiatan budidaya yakni 3.96 - 5.87. SNI (2000) menetapkan, secara umum nilai pH 6.5 – 8.5 merupakan kualitas air yang dianjurkan untuk kelayakan budidaya perikanan. Menurut Augusta (2012), pH sebesar 5 – 6 masih dapat di tolerir oleh ikan. Boyd (1982) menyatakan nilai pH yang mematikan bagi ikan yaitu lebih kecil dari 4 dan lebih besar dari 11. Pada pH lebih kecil dari 6.5 atau lebih besar dari 9.5 dalam waktu lama akan mempengaruhi pertumbuhan dan reproduksi pada ikan.

Berdasarkan Tabel 4. mortalitas ikan gurami mengalami peningkatan bersamaan dengan semakin besarnya konsentrasi esktrak daun mahkota dewa

sebagai perlakuan, dan pada Tabel 2. menunjukkan bahwa kandungan pH mengalami penurunan bersamaan dengan semakin besarnya konsentrasi esktrak daun mahkota dewa yang diberikan. Dapat disimpulkan bahwa semakin rendah pH dalam uji LC50 ekstrak daun mahkota dewa terhadap ikan gurami, semakin tinggi pula mortalitas ikan gurami tersebut.

KESIMPULAN

Kesimpulan

1. Hasil uji fitokimia ekstrak daun mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) dengan pelarut metanol mengandung senyawa fenolik, alkaloid, dan saponin dan dengan pelarut etil asetat positif mengandung Flavonoid.

2. Ekstrak daun mahkota dewa mampu menghambat pertumbuhan bakteri A. hydrophila karena mengandung senyawa antimikroba.

3. Ekstrak daun mahkota dewa memiliki nilai LC50 48 jam sebesar 600, 536 ppm. Konsentrasi ekstrak daun mahkota dewa yang aman digunakan untuk ikan gurami adalah 10% nilai LC50 48 jam tersebut yakni 60,0536 ppm.

Saran

Sebaiknya dilakukan uji In Vivo dengan langsung menguji terhadap ikan sakit untuk lebih mengetahui ekstrak daun mahkota dewa sebagai antibakteri alami.

Dokumen terkait