• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budidaya Kering Analisis Tanah

Hasil analisis sifat fisik tanah pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 1 dan hasil analisis berbagai sifat kimia tanah disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1 Hasil analisis sifat fisik tanah percobaan budidaya kering

Variabel Satuan Hasil Analisis Kriteria

Tekstur Pasir % 36 Liat berpasir Debu % 21 Liat % 43 Bahan Organik C % 0.65 Sangat Rendah N % 0.18 Rendah C/N % 4 Sangat Rendah

Keterangan: Penilaian kriteria berdasarkan Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam Hardjowigeno (1987).

Tabel 1 menunjukkan bahwa tanah yang digunakan bertekstur liat berpasir dengan komposisi liat lebih tinggi dibanding dengan fraksi pasir dan terendah adalah fraksi debu. Komposisi tanah yang demikian dapat memberikan pengaruh baik untuk pertumbuhan tanaman. Pentingnya sifat-sifat fisik tanah yang baik dalam menunjang pertumbuhan tanaman sering tidak disadari karena kesuburan tanah selalu dititikberatkan hanya pada kesuburan kimianya (Rohlini dan Soeprapto 1989).

Tekstur yang baik tersebut tidak diikuti oleh kandungan bahan organik. Tabel 1 menunjukkan bahwa kandungan bahan organik pada tanah lokasi penelitian sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh lahan tersebut adalah lahan kering. Dengan demikian proses perombakan dan pelapukan yang terjadi sangat cepat. Bahan organik disamping berpengaruh terhadap pasokan hara tanah juga tidak kalah pentingnya terhadap sifat fisik, biologi dan kimia tanah lainnya. Keadaan fisik tanah yang baik dapat menjamin pertumbuhan akar tanaman dan mampu sebagai tempat aerasi dan lengas tanah, semuanya berkaitan dengan peran bahan organik. Komponen kualitas bahan organik yang penting meliputi nisbah

C/N, kandungan lignin, kandungan polifenol, dan kapasitas polifenol mengikat protein (Handayanto 1997).

Tabel 2 Hasil analisis sifat kimia tanah percobaan budidaya kering di Lampung Selatan

Variabel Satuan Metode Hasil

Analisis Kriteria

pH H2O 5.49 Masam

pH KCl 4.74 Masam

P2O5 mg/kg Ekstrak HCl 25 % 114.00 Sangat Tinggi

Bray I 3.13 Sangat Rendah

K2O mg/kg Ekstrak HCl 25 % 55.00 Tinggi

K mg/kg Ekstrak Morgan Vanema 54.31 Tinggi Ekstrak Amonium Asetat (CH3COONH4) 1 M pH 7 0.11 Rendah Ca cmol(+)/kg 4.31 Rendah Mg cmol(+)/kg 0.96 Rendah

Na cmol(+)/kg 0.09 Sangat Rendah

KTK 6.04 Rendah

KB % 90.00 Sangat Tinggi

Al cmol(+)/kg Ekstrak KCl 1 M 0.00 ND

H cmol(+)/kg 0.02 -

Fe mg/kg Ekstrak DTPA 22.88 Sangat Tinggi

Mn mg/kg 159.43 Sangat Tinggi

Keterangan: Penilaian kriteria berdasarkan Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam Hardjowigeno (1987).

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa pH H2O dan pH KCl masam dan di peroleh pH cadangan (KCl) lebih rendah dari pH aktual (H2O). Hal ini diduga oleh adanya ion Fe yang terikat pada koloid tanah bereaksi dengan KCl dan melepaskan ion Fe3+ dan dengan adanya air akan terhidrolisis membentuk Fe(OH)3+ yang sekaligus melepas H+. Selain itu, dipengaruhi oleh unsur Mn dalam jumlah yang sangat tinggi sehingga dapat memicu penurunan pH. Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan Al tidak terdeteksi sehingga yang paling berpengaruh adalah unsur Fe.

Nilai pH memiliki hubungan dengan kandungan Fe, kejenuhan basa dan unsur hara lainnya. Hal ini terlihat pada kandungan unsur P dengan P cadangan memiliki kandungan sangat tinggi sedangkan P tersedia sangat rendah. Unsur hara K juga demikian yaitu K cadangan tinggi sedangkan K tersedia rendah. Kondisi demikian berimplikasi pada kandungan Ca, Mg, Na dan KTK juga rendah.

Serapan Hara P dan Ca

Hasil analisis regresi (Gambar 1 dan 2) menunjukkan bahwa peningkatan dosis pemupukan fosfor dan kapur dapat meningkatkan serapan hara P dan Ca pada varietas Anjasmoro dan Tanggamus di tanah masam .

a

b

Gambar 1 Serapan hara P (a) dosis pupuk fosfor (Kg P2O5/ha); (b) dosis kapur (ton/ha) dua varietas kedelai.

Respon genotipe Anjasmoro dan Tanggamus pada pemupukan P dan kapur terhadap serapan hara P dan Ca (Gambar 1 dan 2) menunjukkan bahwa genotipe Tanggamus lebih responsif terhadap pemupukan kapur untuk meningkatkan serapan hara P dan Ca. Genotipe Anjasmoro lebih responsif terhadap pemupukan P dalam meningkatkan serapan hara P. Responsifnya Tanggamus terhadap pemupukan disebabkan karena Tanggamus merupakan genotipe yang adaptif terhadap lahan kering masam. Hal ini didukung dengan data pertumbuhan yang menunjukkan bahwa Tanggamus memiliki jumlah daun trifoliate (Tabel 4), bobot kering akar (Tabel Tabel 5), bobot kering daun (Tabel 11), jumlah polong isi (Tabel 14) dan bobot per petak (Tabel 14) lebih tinggi dibanding Anjasmoro. Kondisi pertumbuhan yang demikian dapat menyebabkan Tanggamus memiliki serapan hara lebih tinggi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon dua genotipe kedelai terhadap pemupukan P dan Ca merupakan garis linear. Hal ini menunjukkan bahwa pemupukan P dan Ca belum terdapat titik optimum terhadap serapan hara P dan Ca. Kondisi ini terjadi karena pada lahan percobaan merupakan lahan kering, sehingga tanaman mengalami cekaman kekeringan dan ketersediaan P dan Ca pada taraf pemupukan yang diberikan masih rendah. Dengan demikian, tanaman melakukan penyerapan sebesar-besarnya terhadap kebutuhan hara yang digunakan untuk adaptasi dalam merespon cekaman kekeringan. Menurut Sopandie (2006) bahwa suatu genotipe yang mengalami cekaman kekeringan mempunyai hasil yang lebih baik dari genotipe lain karena mampu menjaga tekanan turgor daun, laju transpirasi dan pertukaran CO2 bersih.

Berdasarkan Gambar 1 dan 2 bahwa model regresi tersebut memiliki nilai koefisien regresi (R2) yang tinggi. Hal ini menjelaskan bahwa serapan hara P dan Ca sangat di pengaruhi oleh pemupukan fosfor dan kapur. Artinya bahwa seiring dengan peningkatan dosis pemupukan fosfor dan kapur, maka serapan hara P dan Ca juga akan meningkat. Kondisi yang demikian dapat dikaitkan dengan hasil analisis sifat kimia tanah (Tabel 2) menunjukkan bahwa kandungan P dan Ca tersedia cukup rendah, walaupun P potensial sangat tinggi. Rendahnya P dan Ca disebabkan oleh adanya unsur Fe yang mengikat P dan Ca menjadi senyawa yang sukar larut.

Menurut Suswanto et al. (2007) bahwa pengapuran dapat menghilangkan Fe yang bersifat racun, sehingga unsur hara lainnya menjadi tersedia. Selanjutnya dengan kemampuan Tanggamus yang memiliki bobot kering daun dan bobot kering akar lebih tinggi mampu meningkatkan serapan unsur P dan Ca. Selain itu, tanaman memiliki strategi untuk meningkatkan serapan P dan Ca. Menurut Morgan et al. (2005) dan Hermans et al. (2006) bahwa tanaman meningkatkan proporsi yang lebih besar dari biomassa pada sistem akar. Hal ini tidak hanya untuk mengeksplorasi volume tanah lebih efektif tetapi juga untuk mengeksploitasi setiap bagian tanah yang memiliki ketersediaan Pi tinggi.

a

b

Gambar 2 Serapan hara Ca (a) dosis pupuk fosfor (Kg P2O5/ha); (b) dosis kapur (ton/ha) dua varietas kedelai.

Pertumbuhan Tanaman Tinggi tanaman

Hasil sidik ragam (Tabel Lampiran 3a) menunjukkan bahwa pupuk fosfor berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 4 dan 8 MST serta berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 6 MST. Nilai rata- rata tinggi tanaman disajikan pada Tabel 3.

Pemupukan posfor dengan dosis 36 dan 72 kg P2O5/ha memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap tinggi tanaman. Hal ini terkait dengan tercukupinya kebutuhan unsur P yang dapat tersedia dalam tanah sehingga dapat meningkatkan serapan hara P. Peningkatan serapan hara P pada tanaman menyebabkan laju fotosintesis meningkat (Kamara et al. 2008). Peningkatan fotosintesis akan mengakibatkan peningkatan akumulasi fotosintat untuk selanjutnya ditransfer keseluruh bagian tanaman yang membutuhkannya dan digunakan sebagai energi dalam pertumbuhan tanaman.

Tabel 3 Pengaruh pupuk fosfor dan genotipe terhadap rata-rata tinggi tanaman pada berbagai umur pengamatan

Perlakuan Tinggi Tanaman (cm)

Dosis fosfor (kg P2O5/ha)

2 4 6 8

……….MST………

0 10.69b 28.14b 35.49b 40.45b

36 11.11a 30.63a 38.57a 45.23a

72 11.16a 30.64a 40.24a 46.92a

108 10.70b 28.81b 36.32b 40.92b

Genotipe

Anjasmoro 11.43a 30.81a 38.86a 45.43a

Tanggamus 10.40b 28.30b 36.44b 41.33b

Keterangan: Angka-angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Perlakuan genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 2, 4, 6 dan 8 MST. Tabel 3 menunjukkan bahwa genotipe Anjosmoro memiliki tinggi tanaman lebih tinggi dibanding genotipe Tanggamus pada semua waktu pengamatan. Perbedaan tinggi (Tabel 3) disebabkan oleh perbedaan genotipe dan respon terhadap pemupukan fosfor di lahan kering. Berdasarkan deskripsi, varietas Anjasmoro tinggi (64 – 68 cm) yang lebih tinggi daripada varietas Tanggamus (67 cm) (Puslittan 2012).

Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman adalah proses bertambahnya ukuran dari suatu organisme yang mencerminkan bertambahnya protoplasma. Penambahan ini disebabkan oleh bertambahnya ukuran organ tanaman seperti tinggi tanaman sebagai akibat dari metabolisme tanaman yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan di daerah penanaman seperti air, sinar matahari dan nutrisi dalam tanah.

Jumlah daun trifoliat dan jumlah cabang

Hasil sidik ragam (Tabel Lampiran 3a) menunjukkan bahwa pupuk fosfor berpengaruh nyata terhadap jumlah daun trifoliate pada umur 8 MST dan berpengaruh sangat nyata pada umur 6 MST, sedangkan pada jumlah cabang tidak berpengaruh nyata pada semua umur pengamatan. Pupuk kapur tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun trifoliate dan jumlah cabang pada semua umur pengamatan. Selanjutnya perlakuan genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun trifoliate pada umur 4, 6, dan 8 MST dan jumlah cabang pada umur 6 MST. Akan tetapi genotipe tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah cabang pada umur 8 MST. Nilai rata-rata jumlah daun trifoliate dan jumlah cabang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Pengaruh pupuk fosfor dan genotipe terhadap rata-rata jumlah daun trifoliate dan jumlah cabang pada berbagai umur pengamatan

Perlakuan Jumlah Daun Trifoliate (helai) Jumlah Cabang Dosis Fosfor

(kg P2O5/ha) 4 MST 6 MST 8 MST 6 MST 8 MST

0 4.72 3.90b 9.49ab 0.07b 0.17b

36 4.89 4.15ab 10.05ab 0.07b 0.29b

72 4.78 4.94a 11.49a 0.10a 0.42a

108 4.77 3.78b 8.80b 0.06b 0.25b

Genotipe

Anjasmoro 4.64b 3.89b 9.82 0.03a 0.20

Tanggamus 4.93a 4.49a 10.10 0.02b 0.37

Keterangan: Angka-angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Perlakuan pupuk fosfor kurang memberikan pengaruh terhadap jumlah daun trifoliate. Pada 6 MST dosis pupuk fosfor 36 kg P2O5/ha memiliki jumlah daun terbanyak, berbeda saat tanaman kedelai umur 8 MST tanpa pupuk fosfor memiliki jumlah daun terbanyak.

Tabel 4 menunjukkan bahwa perbedaan genotipe berpengaruh terhadap jumlah daun trifoliate yaitu genotipe Tanggamus memiliki jumlah daun terbanyak pada semua umur pengamatan dibanding genotipe Anjasmoro. Sedangkan untuk jumlah cabang mengalami perbedaan jumlah pada umur 6 MST yaitu genotipe Anjasmoro memiliki jumlah cabang lebih banyak dibanding genotipe Tanggamus. Fosfor merupakan salah satu hara makro esensial bagi pertumbuhan tanaman (Marschner 1995). Fosfor sering menjadi faktor pembatas setelah nitrogen. Unsur fosfor sangat penting karena terlibat langsung hampir pada seluruh proses kehidupan (Hakim et al. 1986). Oleh karena itu unsur P perlu ditambahkan dalam peningkatan produksi pertanian. Fosfor juga berperan dalam pembentukan membran sel, misalnya lemak fosfat. Fosfor juga berfungsi meningkatkan efisiensi penggunaan nitrogen (Salisbury dan Ross 1995).

Bobot kering akar

Hasil sidik ragam (Tabel Lampiran 3a) menunjukkan bahwa pupuk fosfor berpengaruh sangat nyata terhadap bobot kering akar pada umur 6 MST dan pupuk kapur berpengaruh sangat nyata terhadap bobot kering akar pada umur 6 dan 8 MST.

Tabel 5 menunjukkan bahwa peningkatan dosis pupuk fosfor dan kapur dapat meningkatkan bobot kering akar, kecuali pada umur 8 MST mengalami penurunan bobot kering akar pada dosis pupuk kapur 1.5 ton/ha. Perlakuan dosis pupuk fosfor tertinggi 108 kg P2O5/ha dan pupuk kapur 1.5 ton/ha pada 6 MST memiliki bobot terberat yaitu 0.259 g dan 0.683 g sedangkan bobot akar terendah pada perlakuan tanpa pupuk fosfor dan tanpa pupuk kapur. Peningkatan dosis pupuk fosfor dan kapur dapat meningkatkan bobot kering akar, kecuali pada umur

8 MST mengalami penurunan bobot kering akar pada dosis pupuk kapur 1.5 ton/ha.

Pertambahan bobot kering akar berkaitan dengan mekanisme adaptasi tanaman kedelai terhadap cekaman kekeringan. Menurut Hanum et al. (2003) bahwa pertumbuhan akar lebih luas untuk kedelai dibanding tanaman legum lainnya untuk memperoleh P dari tanah yang mengalami cekaman kekeringan.

Tabel 5 Pengaruh pupuk fosfor, pupuk kapur dan genotipe terhadap rata-rata bobot kering akar umur 6 dan 8 MST

Perlakuan Bobot Kering Akar (g)

Dosis Fosfor (kg P2O5/ha) 6 MST 8 MST 0 0.47b 0.44 36 0.52b 0.54 72 0.57b 0.54 108 0.74a 0.48 Dosis Kapur (ton/ha) 0 0.45d 0.48b 0.5 0.61a 0.50b 1 0.54ac 0.53a 1.5 0.68ab 0.48b Genotipe Anjasmoro 0.57 0.48 Tanggamus 0.57 0.51

Keterangan: Angka-angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Hasil sidik ragam (Tabel Lampiran 3a) mununjukkan bahwa adanya interaksi antara pupuk fosfor dengan pupuk kapur yang berpengaruh nyata terhadap bobot kering akar pada umur 6 dan 8 MST.

Tabel 6 menunjukkan bahwa pada umur 6 MST seiring peningkatan dosis pupuk fosfor dan dosis pupuk kapur maka bobot kering akar juga mengalami peningkatan. Bobot kering akar terberat yaitu pada perlakuan dosis pupuk fosfor 108 kg P2O5/ha dengan dosis pupuk kapur 1.5 ton/ha sedangkan bobot terendah tanpa pemupukan fosfor dan kapur.

Interaksi perlakuan dosis pupuk fosfor dengan dosis pupuk kapur terhadap bobot kering akar pada 8 MST menunjukkan bahwa bobot kering akar mengalami penurunan pada dosis tertinggi. Akan tetapi, bobot kering akar terberat berada pada interaksi perlakuan dosis pupuk fosfor 72 kg P2O5/ha dengan dosis pupuk kapur 1 ton/ha.

Hal ini disebabkan karena semakin banyaknya hara yang mampu diserap oleh akar tergantung dari banyaknya akar yang dapat bersentuhan dengan hara sehingga akar yang menyerap banyak hara akan memberikan pertumbuhan akar yang optimal (Hakim et al. 1986).

Tabel 6 Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan pupuk kapur terhadap rata-rata bobot kering akar pada 6 dan 8 MST

Dosis Fosfor (kg P- 2O5/ha)

Dosis Kapur (ton/ha)

0 0.5 1 1.5 0 0.5 1 1.5

6 MST 8 MST

……….g……….

0 0.41h 0.46f 0.48ef 0.51e 0.34i 0.44gh 0.45g 0.52d 36 0.45fg 0.56d 0.44g 0.62c 0.54cd 0.49f 0.55c 0.60e 72 0.46f 0.59cd 0.61c 0.61c 0.56c 0.54c 0.64a 0.41gh 108 0.49ef 0.84b 0.63cd 0.99a 0.49e 0.54c 0.47eg 0.41gh

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Selanjutnya terdapat interaksi antara pupuk fosfor dengan genotipe yang berpengaruh pada bobot kering akar pada umur 8 MST. Pada tabel 7 terlihat bahwa interaksi masing-masing genotipe dengan dosis pupuk fosfor menunjukkan pengaruh yang berbeda. Interaksi dosis pupuk fosfor dengan genotipe Anjasmoro mencapai bobot kering akar tertinggi pada dosis pupuk fosfor 36 kg P2O5/ha yang selanjutnya mengalami penurunan bobot kering akar seiring penambahan dosis pupuk fosfor, tetapi tidak serendah tanpa dosis pupuk fosfor. Interaksi antara pupuk fosfor dengan genotipe Tanggamus bobot kering akar tertinggi pada dosis pupuk fosfor 72 kg P2O5/ha yang selanjutnya mengalami penurunan bobot kering akar.

Tabel 7 Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan genotipe terhadap rata-rata bobot kering akar pada 8 MST

Dosis Fosfor

(Kg P2O5/ha) Anjasmoro Tanggamus

0 0.41d 0.46c

36 0.57a 0.51b

72 0.48b 0.59a

108 0.46c 0.50b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Bobot kering batang

Hasil sidik ragam (Tabel Lampiran 3a) menunjukkan bahwa pupuk fosfor dan pupuk kapur masing-masing berpengaruh sangat nyata terhadap bobot kering batang pada umur 6 MST. Selanjutnya perlakuan genotipe berpengaruh sangat

nyata terhadap bobot kering batang pada umur 8 MST. Nilai rata-rata bobot kering batang disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 menunjukkan bahwa perlakuan dosis fosfor tertinggi menghasilkan bobot kering batang terberat, begitupun dengan dosis pupuk kapur pada 6 MST dan tanpa pemupukan memiliki berat terendah. Sedangkan genotipe Anjasmoro memiliki berat tertinggi pada 6 MST dan 8 MST dibandingkan dengan genotipe Tanggamus.

Kondisi demikian dapat diduga bahwa tanaman kedelai mengalami cekaman kekeringan pada fase vegetatif tidak mampu meningkatkan pertumbuhannya. genotipe Anjasmoro lebih toleran di tanaman pada lahan kering.

Tabel 8 Pengaruh pupuk fosfor, pupuk kapur dan genotipe terhadap rata-rata bobot kering batang pada berbagai umur pengamatan

Dosis Fosfor (kg P2O5/ha) 6 MST 8 MST ……….g……… 0 0.67c 2.46b 36 0.75bc 3.24ab 72 0.87b 3.79a 108 1.13a 3.34ab Dosis Kapur (ton/ha) 0 0.69c 3.00 0.5 0.85bc 3.15 1 0.87ab 3.43 1.5 1.01a 3.26 Genotipe Anjasmoro 2.678 3.602a Tanggamus 2.016 2.815b

Keterangan: Angka-angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Hasil sidik ragam (Tabel Lampiran 3a) mununjukkan bahwa adanya interaksi antara pupuk fosfor dengan pupuk kapur yang berpengaruh nyata terhadap bobot kering batang pada umur 6 dan 8 MST. Tabel 9 menunjukkan bahwa bobot kering batang mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan kombinasi perlakuan dosis pupuk fosfor dan dosis pupuk kapur.

Terlihat bahwa pada perlakuan dosis pupuk fosfor 108 kg P2O5/ha dengan dosis pupuk kapur 1.5 ton/ha memberikan bobot kering tertinggi pada 6 MST. Berbeda ketika tanaman berumur 8 MST, bobot kering batang tertinggi pada dosis

perlakuan pupuk fosfor 72 kg P2O5/ha dengan dosis pupuk kapur 1 ton/ha. Sedangkan bobot kering batang terendah tanpa pemupukan fosfor dan kapur. Tabel 9 Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan pupuk kapur terhadap rata-rata

bobot kering batang pada 6 dan 8 MST Dosis

Fosfor (kg P- 2O5/ha)

Dosis Kapur (ton/ha)

0 0.5 1 1.5 0 0.5 1 1.5

6 MST 8 MST

……….g……….

0 0.55i 0.66gh 0.68g 0.78e 1.72h 2.56g 2.41g 3.13de 36 0.62h 0.80e 0.68g 0.88d 2.93f 2.94f 3.43e 3.67de 72 0.74f 0.86d 1.00c 0.88d 3.49cd 3.77bc 4.78a 3.12d 108 0.86d 1.09b 1.11b 1.48a 3.87b 3.32de 3.08df 3.11de

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf %.

Hasil sidik ragam (Tabel Lampiran 3a) mununjukkan bahwa adanya interaksi antara pupuk fosfor dengan genotipe yang berpengaruh nyata terhadap bobot kering batang pada umur 6 MST. Tabel 10 menunjukkan bahwa perlakuan pupuk fosfor dengan genotipe memiliki bobot kering batang yang berbeda pada 6 MST. Perlakuan dosis pupuk fosfor memberikan peningkatan bobot kering batang pada masing-masing genotipe.

Tabel 10 Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan genotipe terhadap rata-rata bobot kering batang pada 6 MST

Dosis Fosfor

(kg P2O5/ha) Anjasmoro Tanggamus

………g..……….

0 0.70d 0.64e

36 0.73dc 0.76c

72 0.95b 0.79c

108 1.10b 1.17a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Bobot kering daun

Hasil sidik ragam (Tabel Lampiran 3a) menunjukkan bahwa pupuk fosfor berpengaruh nyata terhadap bobot kering daun pada umur 8 MST. Pupuk kapur berpengaruh sangat nyata terhadap bobot kering daun pada umur 6 MST. Nilai rata-rata bobot kering daun disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 menunjukkan bahwa peningkatan dosis pupuk fosfor dan dosis pupuk kapur dapat meningkatkan bobot kering daun pada 6 MST, sedangkan pada 8 MST perlakuan dosis pupuk fosfor 36 kg P2O5/ha memberikan bobot kering daun tertinggi yang selanjutnya bobot kering daun mengalami penurunan seiring dengan peningkatan dosis pupuk fosfor.

Kondisi lahan percobaan yang sangat kering dapat menghambat pertumbuhan tanaman kedelai khususnya bobot kering daun. Hal ini terjadi sebagai respon tanaman kedelai untuk dapat mempertahankan siklus hidupnya. Cekaman kekeringan berpengaruh terhadap aspek pertumbuhan tanaman meliputi anatomis, morfologis, fisiologis dan biokimia tanaman (Pugnaire et al. 1999). Tabel 11 Pengaruh pupuk fosfor, pupuk kapur dan genotipe terhadap rata-rata

bobot kering daun umur 6 MST dan 8 MST Dosis Fosfor (kg P2O5/ha) 6 MST 8 MST ………g..………. 0 1.29c 2.48b 36 1.41c 2.99ab 72 1.76b 3.49a 108 2.36a 2.80b Dosis Kapur (ton/ha) 0 1.31cb 2.64 0.5 1.76ab 2.79 1 1.69b 3.36 1.5 2.06a 2.95 Genotipe Anjasmoro 1.66 3.12 Tanggamus 1.76 2.76

Keterangan: Angka-angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Hasil sidik ragam (Tabel Lampiran 3a) mununjukkan bahwa adanya interaksi antara pupuk fosfor dengan pupuk kapur yang berpengaruh sangat nyata terhadap bobot kering daun pada umur 6 MST dan berpengaruh nyata pada umur 8 MST. Tabel 12 menunjukkan bahwa peningkatan pupuk fosfor dengan pupuk kapur dapat meningkatkan bobot kering daun pada umur 6 MST. Bobot kering daun tertinggi pada interaksi dosis pupuk fosfor 108 kg P2O5/ha dengan dosis pupuk kapur 1.5 ton/ha. Bobot kering daun terendah yaitu pada perlakuan tanpa pemupukan posor dan kapur.

Bobot kering daun tertinggi pada 8 MST yaitu pada interaksi perlakuan dosis pupuk fosfor 72 kg P2O5/ha dengan pupuk kapur 1 ton/ha, sedangkan bobot kering daun terendah pada perlakuan tanpa dosis pupuk fosfor dan tanpa dosis pupuk kapur.

Fase pertumbuhan vegetatif, ketersediaan air berpengaruh terhadap menurunnya kecepatan fotosintesis dan luas daun. Tanaman yang terkena cekaman kekeringan menyebabkan potensial air daun menurun, pembentukan klorofil terganggu (Navari-Izzo dan Rascio 1999) dan struktur kloroplas mengalami disintegrasi (Mullet dan Whissit 1996) sehingga tanaman tidak dapat melakukan pertumbuhan dengan normal.

Tabel 12 Pengaruh interaksi pupuk fosfor dengan pupuk kapur terhadap rata-rata bobot kering daun

Dosis Fosfor (kg P-

2O5/ha)

Dosis Kapur (ton/ha)

0 0.5 1 1.5 0 0.5 1 1.5

6 MST 8 MST

……….g……….

0 1.04k 1.26i 1.27i 1.60f 1.66e 2.45d 2.62b 3.19c 36 1.13j 1.65e 1.18h 1.67e 2.47d 2.65d 3.34a 3.49b 72 1.36g 1.73e 2.11c 1.85d 3.14bc 3.32b 4.82a 2.68d 108 1.69e 2.40b 2.20c 3.14a 3.31b 2.76d 2.68d 2.44d

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Jumlah bintil

Hasil sidik ragam (Tabel Lampiran 3a) menunjukkan bahwa pupuk fosfor berpengaruh nyata terhadap jumlah bintil pada umur 6 MST. Pupuk kapur dan Genotipe tidak berpengaruh nyata. Nilai rata-rata jumlah bintil disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 menunjukkan bahwa perlakuan pupuk fosfor dengan dosis 72 Kg P2O5/ha meningkatkan jumlah bintil akar dengan jumlah tertinggi, sedangkan pada dosis 36 Kg P2O5/ha tidak terdapat bintil akar. Hal ini diduga karena kondisi lahan percobaan dengan pH yang masam dan dalam kondisi sangat kering, sehingga tidak dapat memberikan lingkungan yang optimum untuk pembentukan bintil akar. Berdasarkan kebutuhan optimum pH bakteri memerlukan pH 6.0-6.5 untuk pertumbuhan bakteri Rhizobium.

Tabel 13 Pengaruh pupuk fosfor terhadap rata-rata jumlah bintil pada berbagai umur pengamatan Dosis Fosfor (Kg P2O5/ha) 6 MST 8 MST 0 0.08b 0.04 36 0.00b 0.50 72 0.38b 0.83 108 0.17a 0.58

Keterangan: Angka-angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan nilai berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Produksi Tanaman

Hasil sidik ragam (Tabel Lampiran 3a) menunjukkan bahwa pupuk fosfor berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah polong isi. Perlakuan genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah polong isi dan bobot 100 butir. Nilai rata-rata jumlah polong isi, bobot per petak dan bobot 100 butir disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 menunjukkan bahwa perlakuan dosis pupuk fosfor 72 Kg P2O5/ha memberikan jumlah polong isi dan bobot per petak tertinggi. Bobot terendah pada perlakuan tanpa pemupukan fosfor. Perlakuan genotipe memberikan hasil yang berbeda yaitu Tanggamus memiliki jumlah polong isi dan bobot per petak tertinggi, sedangkan anjasmoro memiliki bobot butir tertinggi.

Komponen hasil masih cukup rendah bila dibandingkan dengan potensi yang dimiliki kedua genotipe tersebut (Lampiran 1a dan Lampiran 1b). Hal ini diduga karena kedelai tersebut ditanam pada lahan kering dan pada musim kering. Fagi dan Tangkuman (1985) menegaskan bahwa rendahnya produktivitas kedelai karena keterbatasan air untuk menunjang pertumbuhan yang optimal.

Varietas kedelai secara genetik mempunyai kemampuan yang berbeda untuk bertahan pada cekaman kekeringan. Disisi lain cekaman kekeringan yang terjadi berbeda tingkat, lama dan stadia tumbuh pada setiap musim tanam. Untuk itu perakitan varietas unggul baru ditujukan untuk mengantisipasi berbagai saat

Dokumen terkait