• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN Halaman

TINJAUAN PUSTAKA Fosfor dalam Tanah

Fosfor diserap tanaman dalam bentuk ion H2PO4- atau HPO4-2, tergantung pH larutan tanah. pH 7.22 jumlah ion H2PO4- sama dengan HPO4-2, di bawah pH 7.22 sebagian besar dalam bentuk ion H2PO4-, dan di atas pH 7.22 sebagian besar dalam bentuk ion HPO4-2. Tanaman menyerap ion H2PO4- lebih cepat daripada ion HPO4-2. Senyawa fosfat organik dapat diserap tanaman, akan tetapi dalam jumlah kecil (Jain et al. 2007).

Keadaan air berlebih, kelarutan Mn dan Fe tinggi dan dapat menimbulkan keracunan bagi tanaman. Penambahan P yang cukup dapat menurunkan kadar ion Mn+2 dan Ca+2 dan ion lain pada jaringan tanaman (Crawford 1978). Hardjowigeno (2003) menyebutkan bahwa pemupukan P tinggi dapat mengatasi keracunan Fe pada padi.

Fosfor dalam tanah terutama dalam bentuk Al-posfat dan Fe-fosfat pada pH rendah dan Ca-fosfat pada pH tinggi, juga diadsorpsi pada permukaan mineral liat serta oksida Al dan Fe ( T u r n e r 2 0 0 7) . Selanjutnya Tan (1982) menyatakan bahwa pada tanah masam terdapat ion-ion Al+, Fe+2 dan Mn+2 baik larut maupun dapat dipertukarkan, sehingga fosfat dijerap pada komplek jerapan. Blair (1993) menyatakan bahwa fosfat yang diikat dengan cara ini dapat digunakan oleh tanaman.

Ketersediaan P di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah, kadar Al, Fe, dan Mn terlarut, tersedianya kalsium (Ca), jumlah dan tingkat dekomposisi bahan organik serta jenis dan populasi mikoorganisme tanah (Hardjowigeno 2003).

Fospor pada Tanaman

Fosfor diabsorpsi oleh akar-akar tanaman dan didistribusikan pada setiap sel tanaman hidup. Fosfor dalam sel bersatu dengan karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan elemen lainnya dalam bentuk molekul-molekul organik yang komplek. Unsur P juga merupakan bagian esensial dari material genetik pada inti sel (Niklas 2008).

Peran P dalam sel tanaman yaitu menyimpan dan mentransfer energi secara perlahan-lahan yang amat penting karena mempunyai fungsi mempengaruhi proses-proses motabolisme tanaman. Kehadiran P dibutuhkan untuk reaksi biokimia esensial lainnya, transfer ion dan kerja osmotik, reaksi- reaksi fotosintesis dan glikolisis (Marschner 1995).

Fosfor merupakan komponen struktur esensial dalam banyak senyawa- senyawa termasuk fosfolipid, asam nukleat, gula fosfat, nukleotida dan koenzim- koenzim. Peredaran P pada proses fotosintesis dan metabolisme menyediakan energi untuk pertumbuhan tanaman dalam proses-proses reproduksi (Wallingford 1978). Rinsema (1988) berpendapat bahwa P berguna dalam pembentukan biji, merangsang perkembangan akar lateral dan akar halus, serta sangat berguna bagi pertumbuhan kacang-kacangan.

Pemupukan P meningkatkan bobot tajuk, tetapi tidak mempengaruhi bobot akar pada tanaman kedelai umur 16 dan 21 hari (Halmark dan Barber 1984). Pemupukan P juga meningkatkan bobot bintil akar dan jumlah polong tiap tanaman (Setiaatmaja 1974).

Fosfor adalah unsur hara makro kedua yang mutlak diperlukan oleh tanaman. P diserap tanaman hampir seluruhnya dalam bentuk ion hidrogen fosfat, yaitu H2PO4-, dan di dalam tanaman P tidak direduksikan dalam sel menjadi bentuk yang berada pada tingkat oksidasi lebih rendah sebagaimana halnya dengan nitrat dan sulfat (Soepardi 1983).

Fosfor dalam tanaman mempunyai peranan mengatur banyak reaksi enzimatik. Adenosin diphosphate (ADP) menjadi Adenosin Triphosphate (ATP) tergantung pada kepekatan P dalam sel tanaman. Kekurangan unsur P pada umumnya akan menghambat reaksi-reaksi sintesis dalam tanaman (Suseno 1974). Selanjutnya Hammond et al. (2004) mengemukakan bahwa selain sintesis ATP dari ADP dan P anorganik, P berperanan dalam sebagai senyawa perantara fotosintesis dan respirasi serta terdapat dalam semua asam nukleat. Raven (2008) menambahkan bahwa disamping sebagai penyusun asam nukleat dan komponen utama inti sel, P juga berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan dan pembentukan akar awal, membuat tanaman tegar serta merangsang pembungaan dan membantu pembentukan biji.

Setiaatmadja (1974) mengemukakan bahwa pada tanaman leguminosa, P secara tidak langsung merupakan hara yang mempengaruhi aktivitas fiksasi N oleh bakteri rhizobium. Ini terlihat dari berkurangnya pembentukan bintil akar oleh Rhizobium dengan menurunnya kandungan P dalam tanah.

Pemupukan P pada tanaman kedelai sangat nyata berpengaruh terhadap kenaikan hasil. Ismunadji dan Partohardiono (1985) menyatakan bahwa pemupukan P sebanyak 67.5 kg P/ha dapat menaikkan produksi kedelai hingga mencapai 1.5 ton/ha. Hallmark dan Barber (1984) melaporkan bahwa dari hasil percobaannya ternyata penambahan P menaikkan bobot tajuk, bobot akar dan diameter akar primer tanaman kedelai.

Kalsium pada Tanaman

Kalsium (Ca) adalah salah satu unsur esensial dalam tanaman. Ca diperlukan untuk berbagai peranan dalam struktur dinding dan membran sel, penyeimbang kation untuk anion-anion organik dan anorganik dalam vakuola (Marschner 1995).

Tanaman tumbuh dengan Ca yang cukup pada lingkungan alaminya, konsetrasi Ca pada tunas pucuk berkisar antara 0.1-5% bobot kering (Supanjani 2006). Nilai ini menggambarkan ketersediaan Ca dari lingkungan dan keperluan Ca setiap tanaman berbeda. Defiseinsi Ca di alam jarang terjadi, tetapi mungkin terjadi dalam tanah bila saturasi basa rendah dan atau tingkat deposisi asamnya tinggi (McLaughlin et al. 1999). Meskipun demikian, toleransi terhadap kelebihan Al, Mn dan Fe lebih membatasi tumbuhan di lahan masam dan insensitivitas Fe serta defisiensi P membatasi pertumbuhan di lahan berkalsium (Lee 1999).

Secara umum bila sesaat terjadi kehilangan Ca maka jaringan akan gagal tumbuh. Hal ini terjadi karena Ca tidak dapat mobilisasi dari jaringan tua dan didistribusikan kembali melalui phloem. Hal ini menebabkan jaringan tanaman bergantung pada suplai Ca sesaat dari xilem yang sangat bergantung pada transpirasi (Marschner 1995).

Menurut para ekologis, spesies tanaman dikelompokkan menjadi calcifuges pada tanah dengan Ca rendah dan calcicoles pada tanah berkalsium. Konsentrasi Ca pada tanaman calcifuges atau calcicoles sangat berbeda.

Calcifuges secara umum lebih baik tumbuh pada lahan dengan konsentrasi Ca2+ rendah pada rhizosfer [(Ca2+)cyt] dan merespon sedikit [(Ca2+)cyt] yang dapat menghambat pertumbuhan. Sebaliknya, mekanisme yang memungkinkan tanaman calcicoles menjaga [(Ca2+)cyt] rendah dengan menginduksi defisiensi Ca (Lee 1999). Pada fenotipe tanaman yang ekspresi berlebih pada Ca2+-transporter dan melepas Ca2+ dari sitoplasma ke vakuola yang memperlihatkan pada gejala defisiensi Ca rendah [(Ca2+)cyt] (Marschner 1995).

Pengapuran dan Pengaruhnya terhadap Tanah dan Tanaman

Pengapuran menurut istilah pertanian adalah penambahan kalsium atau bahan yang mengandung kalsium dan atau magnesium yang dapat mengurangi kemasaman tanah. Istilah kapur pada awalnya berkaitan dengan kalsium oksida (CaO), tetapi beberapa bahan seperti kalsium hidroksida Ca(OH)2, kalsium karbonat (CaCO3), kalsium-magnesium karbonat CaMg(CO3)2 dan terak kalsium silikat juga digunakan sebagai bahan pengapuran dan bentuk CaCO3 lebih banyak digunakan sebagai bahan pengapuran untuk pertanian (Iyamuremye 1996).

Secara umum pengaruh pengapuran terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah telah banyak dikemukakan, antara lain meningkatkan granulasi, struktur tanah menjadi remah, meningkatkan pH tanah, menurunkan Al-dd dan merangsang kegiatan mikroorganisme tanah. Pengaruh pengapuran terhadap sifat kimia tanah antara lain meningkatkan pH tanah, menurunkan erapan P (lyamuremye et al. 1996), meningkatkan kejenuhan basa (Tan 1998), meningkatkan kapasitas tukar kation (Philips, Black, dan Cameron 1988), dan meningkatkan kelarutan Cu dan Zn (Salam et al. 1997).

Mekanisme peningkatan pH tanah akibat pengapuran meliputi reaksi penetralan H+ dalam larutan tanah, dan penukaran kation Al serta H pada kompleks pertukaran. Pertukaran anion berlangsung dan menggambarkan pentingnya pengapuran untuk membantu mempertahankan tingkat P tersedia yang lebih tinggi (Soepardi 1983).

Perbaikan ciri-ciri tanah akibat pengapuran berpengaruh secara tidak langsung terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Sedangkan pengaruh langsungnya antara lain merupakan sumber hara Ca dan Mg bagi tanaman.

Suwarno (1998) melaporkan bahwa pengapuran dolomit pada Andisol dapat meningkatkan kandungan Ca dan Mg bagian atas tanaman.

Genotipe Kedelai Adaptif Lahan Kering Masam

Upaya mengoptimalkan produktivitas kedelai di lahan masam melalui pendekatan genetik dengan penyediaan varietas kedelai adaptif lahan masam memiliki keuntungan yakni biaya murah dan mudah diadopsi oleh petani (Purwantoro et al. 2009).

Spesies tumbuhan secara genetis sangat beragam dalam kemampuannya untuk toleran atau tidak toleran terhadap unsur tidak essensial seperti aluminium dalam konsentrasi tinggi yang menghambat pertumbuhan tanaman. Varietas Sibayak memiliki kemampuan untuk mencegah berpindahnya Al+3 masuk ke ruang bebas pada meristem yang lebih baik dibandingkan varietas lainnya, hingga melindungi pembelahan sel. Hal ini memperlihatkan mekanisme pengikatan pada dinding sel, akibatnya perkembangan akar dapat terjadi dengan sedikit hambatan (Fitter & Hay 1998).

Tahun 2008 sudah banyak varietas unggul kedelai yang dilepas, diantaranya tiga varietas dinilai adaptif lahan kering masam pH 5 dan kejenuhan Al-dd 25-30%, yaitu Tanggamus, Sibayak, dan Nanti dengan produktivitas 1.4 hingga 1.5 ton/ha. Varietas Slamet dan Sandoro juga dinilai toleran terhadap kemasaman tetapi produktivitas lebih rendah (1 ton/ha). Penggunaan varietas toleran pada lahan masam merupakan salah satu alternatif teknologi untuk meningkatkan produktivitas kedelai, selain pengapuran dan penggunaan pupuk organik (Kuntyastuti dan Taufiq 2008).

Respon Kedelai pada Cekaman Kekeringan

Cekaman (stres) kekeringan merupakan salah satu bentuk stres yang sering diteliti pada tanaman semusim. Pada dasarnya tanaman memiliki dua sifat ketahanan terhadap stres kekeringan yaitu toleran (drought tolerance) dan penghindaran (drought avoidance) (Sopandie 2006).

Menurut Harjadi dan Yahya (1988) toleran terhadap kekeringan diartikan sebagai kemampuan sel-sel tanaman untuk hidup dan berfungsi secara fisiologis walaupun ada kerusakan jaringan atau berkurangnya tegangan air. Penghindaran

terhadap kekeringan menunjukkan kemampuan sel-sel tanaman menjaga tegangan air tetap tinggi baik dengan cara menyerap air dan mengirimkannya ke batang dan daun mampu mengurangi kehilangan air dengan penutupan stomata ataupun pembentukan lapisan kutikula pada daun.

Tanaman yang mengalami cekaman kekeringan menunjukkan sintesis ABA (asam absisi) dalam daun meningkat. ABA ini kemudian menyebabkan sel penjaga mengempis sebelum terjadi penutupan stomata (Xiong et al. 1999). Menurut Moore (1979) peranan ABA dalam proses penutupan stomata adalah menyebabkan sel penjaga mengalami kebocoran K dan penurunan turgor, sehingga stomata menutup. Dalam kondisi kekeringan, maka konsentrasi ABA di dalam sel penjaga naik, sel penjaga kehilangan K dan turgor, stomata menutup, yang selanjutnya melindungi tanaman terhadap kekeringan. Sebaliknya jika tanaman disirami dan kekeringan berkurang, maka konsentrasi ABA dalam sel penjaga turun, K dan turgor naik kembali dan stomata akan terbuka sehingga menyebabkan CO2 dapat masuk ke dalam daun dan fotosintesis dapat berjalan normal kembali.

Ketahanan terhadap cekaman kekeringan bervariasi menurut jenis tanaman (Hsiao dan Acevedo 1975). Telah diketahui juga bahwa tanaman C-4 lebih tahan terhadap kekeringan daripada tanaman C-3 (Hsiao dan Acevedo 1975; Yamada 1984). Hasil-hasil percobaan pada tanaman kedelai menunjukkan bahwa ketahanan kultivar-kultivar kedelai terhadap cekaman kekeringan adalah berbeda (Brown et al. 1985; Korte et al. 1983; dan Sammons et al. 1979).

Menurut Pugnaire et al. (1999) bahwa bergantung responnya terhadap kekeringan, tanaman dapat diklasifikasikan menjadi (1) tanaman yang menghindari kekeringan (drought avoiders) dan (2) tanaman yang mentoleransi kekeringan (drought tolerators). Tanaman yang menghindari kekeringan membatasi aktivitasnya pada periode air tersedia atau akuisisi air maksimum antara lain dengan meningkatkan jumlah akar dan modifikasi struktur dan posisi daun. Tanaman yang mentoleransi kekeringan mencakup penundaan dehidrasi atau mentoleransi dehidrasi. Penundaan dehidrasi mencakup peningkatan sensitivitas stomata dan perbedaan jalur fotosintesis, sedangkan toleransi dehidrasi mencakup penyesuaian osmotik.

Sivakumar dan Shaw (1978) menyatakan bahwa selain menggunakan parameter potensial air daun, juga menggunakan daya hantar stomata (stomatal conductance) dan peningkatan luas daun (leaf area expansion) sebagai indikator ketahanan terhadap cekaman kekeringan pada tanaman kedelai. Rata-rata harian hambatan stomata dan potensial air daun dan laju peningkatan luas daun yang diukur beberapa kali selama periode pertumbuhan sangat berhubungan dengan perubahan potensial air tanah. Selain itu laju tumbuh relatif (Relative Growth Rate) tanaman kedelai berkorelasi negatif dengan hambatan stomata, potensial air daun dan laju peningkatan luas daun. Hasil percobaan Brown et al. (1985) menunjukkan bahwa cekaman kekeringan membatasi pertumbuhan akar tanaman kedelai pada tanah lapisan atas, tetapi meningkatkan pada lapisan yang lebih bawah. Akibatnya hasil tanaman akan menurun apabila tanaman mengalami cekaman kekeringan cukup berat terutama bila terjadi pada fase yang paling kritis.

Respon Kedelai pada Budidaya Jenuh Air

Masalah kelebihan air sesaat merupakan keadaan umum yang terjadi pada pola penanaman di daerah tropis dan sub tropis. Kelebihan air ini dapat terjadi karena periode yang panjang dari cuaca basah dan curah hujan tinggi setelah irigasi (Troedson et al. 1983). Di Indonesia masalah kelebihan air juga terjadi pada lahan sawah yang akan dimanfaatkan untuk penanaman kedelai setelah padi dipanen. Keadaan ini disebabkan adanya lapisan kedap air pada kedalaman 15-20 cm di bawah permukaan tanah. Sebaliknya jika air tidak cukup lapisan kedap air membatasi penetrasi perakaran dan tanaman menjadi layu (Griffin et al. 1985).

Kelebihan air menurunkan suplai oksigen untuk respirasi, menghasilkan senyawa racun, dan menurunkan kandungan N dalam jaringan tanaman (Crawford 1978). Pengamatan menunjukkan bahwa nitrat tanah akan direduksi menjadi komponen gas seperti N2, dan N2O yang tidak tersedia bagi tanaman. Nitrogen diangkut dari daun tua ke daun muda pada keadaan air berlebih (Drew dan Sisworo 1978). Kedelai relatif toleran terhadap kelebihan air sesaat, dibandingkan kacang-kacangan lainnya, dan cepat memperbaiki pertumbuhan setelah air berkurang (Stanley, Kaspar dan Taylor 1980).

Budidaya jenuh air merupakan penanaman dengan memberikan irigasi terus menerus, dan membuat tinggi muka air tetap, sehingga lapisan di bawah perakaran jenuh air (Hunter et al. 1980). Tinggi muka air, tetap akan menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman, karena kedelai akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya (Troedson et al. 1983). Pertumbuhan dan produksi kedelai dengan budidaya jenuh air lebih tinggi daripada cara irigasi biasa (Hunter et al. 1980; Nathanson et al. 1984; Troedson et al. 1984).

Budidaya jenuh air hampir sama dengan padi sawah. Perbedaannya pada ketinggian muka air. Pada budidaya jenuh air tinggi muka air beberapa sentimeter di bawah permukaan tanah, sedangkan padi sawah beberapa sentimeter di atas permukaan tanah (Lawn 1985). Irigasi biasanya dilakukan dengan cara alur (Furrow Irrigation) untuk mencukupi kebutuhan evapotranspirasi, irigasi diberikan berdasarkan angka yang diperoleh dari panel evaporasi dengan interval tertentu sesuai kebutuhan tanaman (CSIRO 1983; Troedson 1983).

Pertumbuhan dan produksi kedelai pada cara irigasi biasa lebih rendah dibandingkan budidaya jenuh air (CSIRO 1983), karena: (a) Pemberian irigasi setiap interval tertentu tidak cukup untuk mencegah terjadinya cekaman air. Tanaman mengalami cekaman sebelum irigasi diberikan lagi; (b) Perkembangan bintil akar berlangsung dalam waktu yang lebih singkat dan jumlah serta aktifitasnya lebih rendah. Hal ini disebabkan keadaan lingkungan yang tidak stabil. Pada awal irigasi keadaan tanah jenuh air, dan akhirnya kekeringan. Kelebihan air sesaat menyebabkan kematian beberapa bintil akar yang terletak lebih dalam, dan kekeringan menyebabkan kematian beberapa bintil akar di bagian atas.

Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Pemupukan P dan Ca meningkatkan serapan hara dan produktivitas kedelai. 2. Genotipe kedelai Tanggamus memiliki serapan hara dan produktivitas lebih

tinggi.

3. Terdapat interaksi antara genotipe, pemupukan P dan Ca pada serapan hara dan produktivitas dua genotipe kedelai pada budidaya kering dan jenuh air. 4. Serapan hara dan produktivitas dua genotipe kedelai pada budidaya jenuh air

METODOLOGI

Dokumen terkait