• Tidak ada hasil yang ditemukan

Time Lag Data Presipitasi GCM

Time lag data presipitasi luaran GCM ditentukan berdasarkan nilai korelasi silang tertinggi antara data presipitasi dengan data curah hujan. Nilai korelasi tersebut dihitung dengan menggunakan CCF. Berdasarkan Lampiran 3(a), plot curah hujan di Kabupaten Indramayu menunjukkan bahwa curah hujan tertinggi rata-rata terjadi pada bulan Januari dan Februari. Serupa dengan Lampiran 3(a), plot presipitasi juga menunjukkan presipitasi tertinggi rata-rata terjadi pada bulan Januari dan Februari (Lampiran 3(f)). Hal ini berarti bahwa tidak terjadi pergeseran waktu pada data presipitasi . Sebaliknya, terjadi pergeseran waktu pada data presipitasi dan . Lampiran 3(c) dan 3(h) menunjukkan bahwa presipitasi tertinggi rata-rata terjadi pada bulan Maret untuk presipitasi dan bulan Desember untuk presipitasi . Hal ini mengakibatkan korelasi yang rendah antara data curah hujan dengan data presipitasi dan . Oleh karena itu, CCF digunakan untuk menentukan time lag data presipitasi.

Hasil pada Lampiran 3(b), 3(e), dan 3(g) menunjukkan bahwa presipitasi

, , dan memiliki korelasi silang tertinggi (time lag) dengan curah hujan berturut-turut pada time lag ke-2, ke-0, dan ke-(-1). Curah hujan bulan Januari terjadi di bulan Maret pada data presipitasi dan terjadi di bulan Desember pada data presipitasi . Oleh karena itu, data presipitasi dilakukan penundaan 2 bulan, sedangkan data presipitasi dilakukan pergeseran 1 bulan ke depan. Presipitasi tidak dilakukan penundaan maupun pergeseran karena mempunyai korelasi silang tertinggi pada time lag ke-0. Pola tebaran data presipitasi dan dengan penundaan mengikuti pola curah hujan (Lampiran 3(d) dan 3(i)). Pergeseran terjauh data presipitasi terjadi pada time lag ke-10. Namun, time lag

data presipitasi umumnya terjadi pada time lag ke-1 (Tabel 1).

Hasil perhitungan pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa presipitasi GCM dengan penundaan mempunyai korelasi yang lebih tinggi daripada presipitasi GCM tanpa penundaan. Jumlah grid GCM dengan penundaan (GCM-lag) yang memiliki korelasi lebih dari 0.7 dengan data curah hujan adalah sebanyak 73%. Sementara itu, korelasi antara data curah hujan dengan data presipitasi tanpa penundaan (GCM) yang lebih dari 0.7 hanya mencapai 9%.

Variance Inflation Factors

Multikolinieritas ditandai dengan adanya korelasi yang kuat antar peubah prediktor dan nilai VIF yang besar. Hasil perhitungan pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa data presipitasi GCM-lag memiliki nilai VIF berkisar 5.56−1252.11. Hal ini mengindikasikan adanya multikolinieritas atau hubungan yang kuat antar grid data GCM-lag yang saling berdekatan.

12

Model Statistical Downscaling Regresi Kuadrat Terkecil Parsial

RKTP merupakan salah satu pendekatan dalam model SD untuk mengatasi masalah multikolinearitas pada data luaran GCM. Metode RKTP menghasilkan sejumlah komponen baru yang memodelkan terhadap . Jumlah komponen yang digunakan dalam RKTP ditentukan berdasarkan nilai statistik prediction residual sum of squares (PRESS). PRESS merupakan suatu pendekatan yang dipertimbangkan untuk prosedur kestabilan penduga koefisien regresi. Nilai PRESS yang minimum memberikan kestabilan pendugaan yang lebih tinggi terhadap model jika ada data baru. Berdasarkan Tabel 2, nilai PRESS memperlihatkan bahwa cukup menggunakan satu komponen dalam model RKTP meskipun terdapat dua komponen yang memiliki nilai akar rataan PRESS terkecil (komponen yang memiliki nilai peluang>0.05). Satu komponen terekstrak dapat menjelaskan sebesar 83.1% keragaman data presipitasi GCM-lag dan sebesar 62.1% keragaman data curah hujan (Gambar 2). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa metode RKTP dengan nilai R2 sebesar 71.7% cukup baik dalam menjelaskan keragaman data dengan nilai root mean square error (RMSE) yang dihasilkan sebesar 57.93.

Metode RKTP menghasilkan beberapa keluaran berupa plot antara nilai skor dan skor . Gambar 2 merupakan plot antara skor dan skor yang dihasilkan dari komponen pertama. Gambar 2 memberikan informasi bahwa amatan dengan curah hujan tinggi cenderung lebih beragam dibandingkan dengan amatan dengan curah hujan rendah. Amatan ke-25 merupakan amatan dengan nilai skor tertinggi. Hal ini sesuai dengan kondisi sebenarnya, yakni amatan ke-25 adalah Tabel 1 Time lag data presipitasi −

Grid GCM Time lag Grid GCM Time lag Grid GCM Time lag Grid GCM Time lag 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 -1 -1 -1 1 10 10 10 1 2 2 2 1 2 2 2 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 -1 -1 0 0 10 10 -1 10

13 amatan dengan curah hujan tertinggi. Amatan ke-25 merupakan curah hujan bulan Januari 1981 dengan nilai sebesar 582.6 mm/bulan. Gambar 2 juga menggambarkan kondisi sisaan dari model RKTP. Semakin tinggi nilai skor , maka nilai sisaan semakin besar yang mengindikasikan sisaan model RKTP tidak homogen (membentuk pola divergen).

Gambar 2 menunjukkan 5 kelompok data curah hujan berdasarkan kelompok warna dominan pada data curah hujan yang bersesuaian dengan nilai skor . Kelompok 1 umumnya terjadi pada bulan Mei hingga Oktober dengan intensitas 0−110.53 mm/bulan, kelompok 2 umumnya terjadi pada bulan Maret, April, dan November dengan intensitas 110.54−235.07 mm/bulan, kelompok 3 umumnya terjadi pada bulan Desember dengan intensitas 235.08 − 353.73 mm/bulan, kelompok 4 umumnya terjadi pada bulan Februari dengan intensitas 353.74−454.73 mm/bulan, dan kelompok 5 umumnya terjadi pada bulan Januari dengan intensitas lebih dari 454.73 mm/bulan. Pengelompokan ini dilakukan secara subjektif dengan mempertimbangkan warna dominan yang terbentuk. Jika menggunakan analisis diskriminan, maka diperoleh persentase ketepatan pengelompokan sebesar 94.8%.

Tabel 2 Komponen terekstrak pada model RKTP Jumlah komponen

terekstrak Akar rataan PRESS Peluang > PRESS

0 1.02 <.00

1 0.63 0.36

2 0.63 1.00

3 0.64 0.01

14

Regresi Komponen Utama

Pemodelan pada metode RKU diawali dengan AKU untuk mereduksi dimensi atau mengatasi masalah multikolinieritas dalam data. Penentuan matriks yang digunakan untuk mereduksi dimensi data dipilih berdasarkan hasil uji kehomogenen ragam data GCM-lag yang menggunakan uji Levene. Pemeriksaan kehomogenan ragam menggunakan statistik uji Levene dengan hipotesis:

H0: ragam data GCM-lag homogen H1: ragam data GCM-lag tidak homogen

Berdasarkan Gambar 3, nilai peluang yang dihasilkan oleh uji Levene lebih kecil dari taraf 5% yang digunakan. Hal ini berarti bahwa data presipitasi − dari GCM-lag secara nyata memiliki ragam yang heterogen. Oleh karena itu, AKU dibentuk berdasarkan matriks korelasi untuk mereduksi dimensi data.

Jumlah KU yang digunakan untuk membangun model RKU ditentukan berdasarkan proporsi kumulatif keragaman total berkisar 80%−95%. Tabel 3 menunjukkan bahwa 4 KU pertama (KU1-KU4) dapat menjelaskan keragaman data presipitasi GCM-lag sebesar 95%. Dengan demikian, terdapat 4 model awal RKU berdasarkan jumlah KU yang digunakan.

Model awal RKU dibangun dengan meregresikan KU terpilih dengan data curah hujan. Hasilnya menunjukkan bahwa model awal RKU kurang baik dalam menjelaskan keragaman data dibandingkan model RKTP. Nilai R2 yang dihasilkan berkisar 62%−63% dengan RMSE yang cukup besar, yakni berkisar 66.21−67.14 (Tabel 4). Hal ini berarti bahwa model awal RKU hanya mampu menjelaskan keragaman data sekitar 62.58%. Nilai dugaan koefisien regresi disajikan dalam Lampiran 8. Hasil pada Lampiran 6 menunjukkan bahwa peningkatan nilai koefisien regresi model RKU (R1KU, R2KU, R3KU, dan R4KU) tidak berbeda nyata sehingga mengakibatkan nilai R2 model-model RKU juga tidak berbeda jauh.

Diagnosis sisaan dilakukan terhadap keempat model RKU. Model R1KU menunjukkan kondisi ragam sisaan yang tidak homogen (Gambar 4). Tebaran sisaan model R1KU membentuk pola divergen. Tebaran sisaan pada curah hujan tinggi lebih beragam dibandingkan dengan curah hujan rendah. Serupa dengan itu, tebaran sisaan model R2KU, R3KU, dan R4KU juga menunjukkan kondisi yang tidak homogen (Lampiran 7). Oleh karena itu, analisis dilanjutkan dengan mengalikan pembobot dalam model RKU. Pembobot ditentukan berdasarkan keragaman setiap bulan.

x9 x8 x7 x64 x63 x62 x61 x60x6 x59 x58 x57 x56 x55 x54 x53 x52 x51 x50x5 x49 x48 x47 x46 x45 x44 x43 x42 x41 x40x4 x39 x38 x37 x36 x35 x34 x33 x32 x31 x30x3 x29 x28 x27 x26 x25 x24 x23 x22 x21 x20x2 x19 x18 x17 x16 x15 x14 x13 x12 x11 x10x1 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 G C M -l ag

Selang kepercayaan 95% bagi simpangan baku Statistik uji 92.60 Nilai-P 0.000

Uji Lev ene

15

RKU Terboboti

Perkalian bobot ke dalam model RKU (RKUB) bertujuan untuk menangani masalah keheterogenan sisaan. Pembobotan ditentukan berdasarkan keragaman setiap bulan. Hal ini dilakukan dengan mengelompokkan data curah hujan ke dalam kelompok bulan. Selanjutnya, bulan yang memiliki ragam yang sama dikelompokkan ke dalam satu kelompok. Simpangan baku dihitung pada setiap kelompok yang terbentuk. Nilai pembobotnya adalah satu per nilai simpangan baku masing-masing kelompok.

Gambar 5 memperlihatkan bahwa data curah hujan dalam kelompok bulan memiliki lebar selang kepercayaan yang berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa ragam data curah hujan dalam kelompok bulan tidak homogen. Oleh karena itu, pengelompokan dilakukan terhadap data curah hujan yang memiliki ragam sama. Hasil uji kesamaan ragam menunjukkan bahwa terdapat 3 kelompok yang memiliki ragam yang homogen (Lampiran 8). Kelompok 1 yang terdiri dari bulan Agustus dan September mempunyai bobot 0.0515, kelompok 2 yang terdiri dari bulan Maret, April, Mei, Juni, Juli, Oktober, dan Desember mempunyai bobot 0.0131, dan kelompok 3 yang terdiri dari bulan November, Januari, dan Februari mempunyai bobot 0.0081.

Tabel 3 Nilai akar ciri dan proporsi keragaman 5 KU pada data GCM-lag

KU1 KU2 KU3 KU4 KU5

Nilai akar ciri 53.16 3.81 2.68 1.15 0.66 Proporsi keragaman 0.83 0.06 0.04 0.02 0.01 Proporsi kumulatif 0.83 0.89 0.93 0.95 0.96

Tabel 4 Nilai R2 dan RMSE model awal RKU

Model Komponen R2 RMSE

R1KU KU 1 62.0% 67.14 R2KU KU 1, KU 2 62.3% 66.86 R3KU KU 1, KU 2, KU 3 63.0% 66.29 R4KU KU 1, KU 2, KU 3, KU 4 63.0% 66.21 300 250 200 150 100 50 0 300 200 100 0 -100 -200

Curah hujan dugaan

S

is

aa

n

16 Sep Okt Nov Mei Mar Jun Jul Jan Feb Des Apr Agu 200 150 100 50 0 B ul an

Selang kepercayaan 95% bagi simpangan baku

Gambar 5 Uji kehomogenan ragam kelompok bulan data untuk presipitasi GCM-lag

Tabel 5 Nilai R2 dan RMSE model RKUB Model R2 RMSE R1KUB 70.9% 67.23 R2KUB 71.1% 66.97 R3KUB 71.7% 66.32 R4KUB 71.7% 66.26 300 250 200 150 100 50 0 300 200 100 0 -100 -200

Curah hujan dugaan

S

is

aa

n

Gambar 6 Plot sisaan model R1KUB

Tabel 5 memberikan informasi bahwa model RKUB memberikan hasil yang lebih baik daripada model awal RKU, namun relatif sama dengan model RKTP. Perkalian bobot ke dalam model RKU menghasilkan nilai R2 berkisar 70.9%−71.7% dan nilai RMSE berkisar 66.26−67.23. Hal ini berarti bahwa nilai R2 meningkat sekitar 8.78% dari model RKU dengan nilai RMSE yang relatif sama. Nilai R2 model RKUB (R1KUB, R2KUB, R3KUB, dan R4KUB) dalam Tabel 5 tidak berbeda jauh yang juga digambarkan dari nilai koefisien regresinya (Lampiran 6). Peningkatan nilai koefisien regresi model RKUB hanya sedikit jika menggunakan lebih dari satu KU. Selain itu, plot sisaan pada Gambar 6 dan Lampiran 9 menunjukkan bahwa perkalian bobot tidak dapat mengatasi masalah keheterogenan sisaan model RKU. Plot sisaan membentuk pola divergen. Analisis selanjutnya adalah dengan menambahkan peubah boneka dalam model RKU.

17

Tabel 6 Nilai R2 dan RMSE model RKUK

Model R2 RMSE R1KUK 92.9% 29.09 R2KUK 92.9% 28.92 R3KUK 93.2% 28.40 R4KUK 93.4% 28.06 600 500 400 300 200 100 0 100 50 0 -50

Curah hujan dugaan

S

is

a

a

n

Gambar 7 Plot sisaan model R1KUK RKU dengan Peubah Boneka

Penambahan peubah boneka pada model awal RKU (RKUK) juga dilakukan dengan tujuan untuk menangani masalah keheterogenan sisaan. Peubah boneka ditentukan berdasarkan hasil pengelompokan model RKTP (Gambar 2). Plot antara skor dengan skor memperlihatkan 5 kelompok data curah hujan berdasarkan kelompok warna dominan sehingga terdapat 4 peubah boneka yang ditambahkan ke dalam model RKU.

Hasil pada Tabel 6 memberikan informasi bahwa model RKUK mampu menghasilkan model yang lebih baik daripada model RKU, RKUB, maupun RKTP. Nilai RMSE yang dihasilkan relatif kecil, yakni berkisar 28.06−29.09. Penambahan peubah boneka mampu menangani keragaman sisaan dengan menurunkan nilai RMSE sekitar 38.01. Selain itu, nilai R2 yang diperoleh berkisar 92.9%−93.4. Hal ini berarti bahwa model RKUK lebih baik dalam menjelaskan keragaman data. Penambahan peubah boneka mampu meningkatkan nilai R2 sekitar 30.53%. Ketepatan dalam mengelompokkan data curah hujan menghasilkan model yang lebih memadai dan akurat berdasarkan nilai R2 dan RMSE yang dihasilkan. Selain itu, jumlah KU yang digunakan dalam model RKUK tidak mempengaruhi nilai R2 model karena nilai R2 yang diperoleh tidak jauh berbeda. Hal ini disebabkan karena nilai koefisien regresi setelah penambahan KU dalam model RKUK hanya sedikit (Lampiran 6).

Diagnostik sisaan model R1KUK pada Gambar 6 menunjukkan 5 kelompok sisaan. Pengelompokan ini disebabkan oleh penggunaan peubah boneka dalam model RKU. Kondisi sisaan yang sama juga ditunjukkan oleh plot sisaan model R2KUK, R3KUK, dan R4KUK yang tercantum pada Lampiran 10. Akan tetapi,

18

pola tebaran sisaan masing-masing kelompok pada Gambar 7 dan Lampiran 10 lebih homogen daripada pola tebaran sisaan model awal RKU, RKUB, dan RKTP. Penambahan peubah boneka pada model RKU mampu menghasilkan model dengan tebaran sisaan yang lebih homogen. Analisis selanjutnya adalah dengan menambahkan peubah boneka ke dalam model RKUB.

RKU Terboboti dan Peubah Boneka

Penambahan peubah boneka ke dalam model RKU terboboti (RKUBK) dilakukan untuk mengatasi masalah heteroskedastisitas. Hasilnya menunjukkan bahwa model RKUBK mampu menghasilkan nilai R2 berkisar 92.4%−92.9% (Tabel 7). Nilai R2 model RKUBK yang menggunakan satu atau lebih KU tidak berbeda jauh karena penambahan jumlah KU hanya meningkatkan nilai koefisien regresi sekitar 1−4 satuan (Lampiran 6). Penambahan peubah boneka ke dalam model RKUB dapat meningkatkan nilai R2 sekitar 30.1%. Selain itu, nilai RMSE yang dihasilkan berkisar 28.16−29.38. Penambahan peubah boneka ke dalam model RKUB menurunkan nilai RMSE sekitar 37.83.

Diagnostik dilakukan terhadap sisaan model RKUBK. Gambar 8 memperlihatkan 5 kelompok sisaan pada model R4KUBK. Plot sisaan untuk model R1KUBK, R2KUBK, dan R3KUBK tercantum pada Lampiran 11. Plot sisaan pada Lampiran 11 juga memperlihatkan 5 kelompok sisaan. Namun, pola tebaran sisaan masing-masing kelompok pada Gambar 8 dan Lampiran 11 relatif lebih homogen daripada pola tebaran sisaan model awal RKU, RKUB, maupun RKTP. Hal ini berarti bahwa penambahan peubah boneka ke dalam model RKUB juga mampu menghasilkan model dengan sisaan yang lebih homogen.

Tabel 7 Nilai R2 dan RMSE model RKUBK

Model R2 RMSE R1KUBK 92.4% 29.38 R2KUBK 92.6% 29.12 R3KUBK 92.8% 28.52 R4KUBK 92.9% 28.16 600 500 400 300 200 100 0 80 60 40 20 0 -20 -40 -60 -80

Curah hujan dugaan

S

is

a

a

n

19 Peramalan Data Curah Hujan dan Pemilihan Model Terbaik

Hasil pemodelan data curah hujan menunjukkan bahwa metode RKTP, RKU, dan RKUB tidak dapat mengatasi masalah keheterogenan ragam sisaan. Akan tetapi, metode RKUK dan RKUBK dapat mengatasi masalah tersebut. Selain itu, keragaman data yang mampu dijelaskan oleh model RKUK dan RKUBK cukup baik daripada model RKTP, RKU, dan RKUB. Namun, model RKUK lebih baik daripada model RKUBK karena lebih sederhana dengan nilai R2 dan RMSE yang relatif sama. Model RKUK juga konsisten pada hasil validasi model sebagai model terbaik. Peramalan data curah hujan untuk validasi model menggunakan data curah hujan periode 2008. Tahap validasi model menghitung RMSEP dan korelasi antara curah hujan aktual dengan curah hujan dugaan. Nilai korelasi menggambarkan kesesuaian antara model dugaan dengan data baru dan RMSEP menggambarkan keakuratan model dalam menduga data baru.

Tabel 8 menyajikan nilai korelasi dan RMSEP hasil dugaan data curah hujan yang menggunakan data presipitasi GCM-lag dan GCM. Hasil dugaan data curah hujan yang menggunakan data GCM-lag lebih unggul daripada menggunakan data GCM. Model RKTP pada data GCM-lag menghasilkan dugaan curah hujan dengan nilai korelasi (0.93) yang lebih tinggi dan nilai RMSEP (75.26) yang lebih rendah daripada korelasi (0.84) dan RMSEP (84.22) dari model RKTP pada data GCM. Lebih lanjut, pendugaan data curah hujan yang menggunakan model RKU dan RKUB pada data GCM-lag (RMSEP berkisar 71.91−77.29 dan korelasi berkisar 0.88−0.91) lebih baik daripada model RKU dan RKUB pada data GCM (RMSEP berkisar 79.58−103.98 dan korelasi berkisar 0.74−0.90). Selain itu, model RKUK dan RKUBK mampu memberikan hasil dugaan dengan nilai RMSEP berkisar 26.64−31.04 pada data GCM-lag dan RMSEP berkisar 30.48−35.06 pada data GCM, sedangkan nilai korelasinya berturut-turut berkisar 0.99 dan 0.97−0.98. Secara umum, model RKUK pada data GCM-lag mampu melakukan pendugaan data curah hujan yang lebih akurat dibandingkan model lainnya dengan model yang lebih sederhana. Model RKUK yang melibatkan KU1 merupakan model yang memberikan hasil dugaan terbaik berdasarkan nilai RMSEP (28.48) terkecil dan korelasi (0.99) lebih tinggi.

Gambar 9 dan Gambar 10 memperlihatkan bahwa model RKU, RKTP, dan RKUB pada data GCM-lag menghasilkan dugaan curah hujan yang lebih rendah dari curah hujan aktual pada periode Januari hingga Maret. Akan tetapi, dugaan curah hujan lebih tinggi dari curah hujan aktual pada bulan April hingga Desember. Model RKU dan RKUB tidak mampu menangkap pola curah hujan dengan baik, khususnya periode Februari, Juni, dan Juli. Model RKTP mampu melakukan pendugaan curah hujan yang lebih baik daripada model RKU dan RKUB, kecuali pada periode April. Jarak antara nilai aktual dengan nilai dugaan dari model RKU, RKTP, maupun RKUB cukup jauh, khususnya periode Januari−Maret. Hal ini berarti bahwa model RKU, RKTP, dan RKUB tidak dapat menduga curah hujan dengan baik pada musim hujan (Januari−Maret). Walaupun demikian, model RKU, RKTP, dan RKUB pada data GCM-lag mampu memberikan dugaan curah hujan yang lebih baik dibandingkan pada data GCM. Lampiran 12(a) dan 12(b) menunjukkan bahwa model RKU, RKTP, dan RKUB pada data GCM gagal dalam menangkap pola curah hujan dengan baik. Selain itu, jarak antara nilai aktual dengan nilai dugaan model pada data GCM cukup jauh, khususnya dugaan pada model R1KU.

20

Model RKUK dan RKUBK pada data GCM-lag menghasilkan pola curah hujan dugaan yang relatif sama (Gambar 11 dan Gambar 12). Model RKUK dan RKUBK mampu melakukan pendugaan curah hujan yang mengikuti pola curah hujan aktual dibandingkan model RKU, RKTP, dan RKUB. Selain itu, jarak antara curah hujan aktual dengan curah hujan dugaan yang dihasilkan lebih dekat daripada jarak yang dihasilkan model RKU, RKTP, maupun RKUB. Serupa dengan model RKUK dan RKUBK pada data GCM-lag, pola curah hujan dugaan hasil dari model RKUK dan RKUBK pada data GCM juga menunjukkan pola yang sama dengan curah hujan aktual (Lampiran 12(c) dan 12(d)). Jarak antara curah hujan aktual dengan curah hujan dugaan model RKUK dan RKUBK pada data GCM yang ditunjukkan relatif dekat. Namun secara rata-rata, model RKUK dan RKUBK pada data GCM-lag menunjukkan performa yang lebih baik dibandingkan dengan model RKUK dan RKUBK pada data GCM. Nilai dugaan curah hujan dari model RKUK dan RKUBK pada data GCM-lag lebih mendekati dan mengikuti pola curah hujan aktual (RMSEP berkisar 26.64−31.04 dan korelasi sebesar 0.99) dibandingkan dengan hasil dugaan model RKUK dan RKUBK pada data GCM (RMSEP berkisar 30.48−35.06 dan korelasi berkisar 0.97−0.98). Secara umum, model RKU yang melibatkan komponen pertama dengan penambahan peubah boneka (R1KUK) pada data GCM-lag merupakan model terbaik karena dapat menghasilkan dugaan curah hujan yang lebih akurat (RMSEP sebesar 28.49 dan korelasi sebesar 0.99) dengan model yang lebih sederhana daripada model lainnya pada musim kemarau maupun pada musim hujan. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan peubah boneka ke dalam model RKU dapat memperbaiki dugaan data curah hujan.

Tabel 8 Nilai korelasi dan RMSEP setiap model pada data GCM-lag dan GCM

Prediktor Model GCM-lag GCM

RMSEP Korelasi RMSEP Korelasi

− RKTP 75.26 0.93 84.22 0.84 KU R1KU 74.95 0.90 103.74 0.74 R2KU 77.29 0.88 91.87 0.81 R3KU 71.91 0.91 89.62 0.82 R4KU 73.02 0.91 79.93 0.90 KU & bobot R1KUB 76.51 0.90 103.98 0.74 R2KUB 78.74 0.88 93.77 0.81 R3KUB 72.54 0.91 90.56 0.82 R4KUB 73.44 0.91 79.58 0.90 KU & peubah boneka R1KUK 28.48 0.99 35.06 0.97 R2KUK 29.33 0.99 31.51 0.98 R3KUK 30.29 0.99 31.73 0.98 R4KUK 31.04 0.99 31.81 0.98 KU, bobot, & peubah boneka R1KUBK 26.64 0.99 33.96 0.97 R2KUBK 28.42 0.99 30.48 0.98 R3KUBK 29.72 0.99 30.74 0.98 R4KUBK 30.60 0.99 31.06 0.98

21 Nov-08 Sep-08 Jul-08 May-08 Mar-08 Jan-08 500 400 300 200 100 0 Bulan C ur ah h uj an Y ak tual RKTP R1KU R2KU R3KU R4KU

Gambar 9 Plot nilai curah hujan aktual dan curah hujan dugaan model RKTP dan RKU periode 2008 dengan data GCM-lag

Nov-08 Sep-08 Jul-08 May-08 Mar-08 Jan-08 500 400 300 200 100 0 Bulan C ur ah h uj an Y ak tual R1KUB R2KUB R3KUB R4KUB

Gambar 10 Plot nilai curah hujan aktual dan curah hujan dugaan model RKUB periode 2008 dengan data GCM-lag

Nov-08 Sep-08 Jul-08 May-08 Mar-08 Jan-08 500 400 300 200 100 0 Bulan C ur ah h uj an Y ak tual R1KUK R2KUK R3KUK R4KUK

Gambar 11 Plot nilai curah hujan aktual dan curah hujan dugaan model RKUK periode 2008 dengan data GCM-lag

22

5 SIMPULAN

Korelasi silang antara data curah hujan dan presipitasi luaran GCM berperan penting dalam pemodelan statistical downscaling. Korelasi silang tertinggi menentukan time lag yang dapat mengoptimakan keeratan hubungan antara data curah hujan dan presipitasi luaran GCM sehingga dapat meningkatkan ketepatan pendugaan data curah hujan. Pendugaan data curah hujan yang menggunakan presipitasi GCM dengan time lag memberikan hasil yang lebih akurat daripada menggunakan presipitasi GCM tanpa time lag. Model terbaik adalah hasil pemodelan dari metode RKU yang ditambahkan peubah boneka pada data presipitasi GCM dengan time lag berdasarkan bentuk model yang lebih sederhana dengan nilai R2 yang lebih tinggi dan RMSE yang lebih rendah. Peubah boneka didasarkan pada hasil pengelompokan metode RKTP. Model RKU dengan penambahan peubah boneka mampu memperbaiki hasil dugaan data curah hujan. Model RKU yang hanya melibatkan satu komponen utama dengan penambahan peubah boneka merupakan model terbaik berdasarkan nilai korelasi (0.99) yang tinggi dan RMSEP (28.48) yang dihasilkan. Model statistical downscaling terbaik dapat dituliskan sebagai berikut:

= 503.86 + 3.89 − 441.97 − 354.79 − 246.73 − 145.71 dengan, adalah curah hujan, adalah komponen utama, dan secara berturut-turut , , , merupakan peubah boneka.

Dokumen terkait