• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Sifat Kimia Sampel Tanah Gambut

Jenis tanah gambut yang di analisis yaitu jenis gambut kasar (Fibris ) dan gambut sedang (Hemis). Gambut kasar (Fibris) yaitu gambut yang memiliki lebih dari 2/3 bahan organik kasar, gambut kasar mempunyai porositas yang tinggi, daya memegang air tinggi, namun unsur hara masih dalam bentuk organik dan sulit tersedia bagi tanaman. Gambut kasar mudah mengalami penyusutan yang besar jika tanah direklamasi. Jenis gambut sedang (Hemis) yaitu gambut yang memiliki 1/3 – 2/3 bahan organik kasar. Hasil analisis sifat kimia tanah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis sifat kimia sampel tanah gambut fibris dan hemis Nilai Kriteria Parameter Satuan Fibris Hemis

pH (H2

C-Organik % 18,81 18,93 Tinggi O) - 5,81 5,87 Masam

N-total % 0,70 0,73 Tinggi P-tersedia ppm 11,72 5,50 Sangat rendah P2 O5

Al-dd me/100g Td*) Td*) - – Total mg/100g 39,56 31,73 Tinggi

KTK me/100g 40,35 39,75 Sangat tinggi Fe ppm 798,97 855,36 Sangat tinggi

Lampiran 3

Keterangan : Td*) = Tidak terdeteksi

Hasil analisis dari kedua sampel tanah gambut menunjukkan pH tanah termasuk dalam kriteria masam, dimana pH gambut fibris yaitu 5,81 dan pH pada tanah gambut hemis 5,87. Menurut Barchia (2006) kemasaman tanah gambut

disebabkan tingginya asam fenolat dan asam-asam organik lain hasil dekomposisi bahan organik yang banyak mengandung lignin. Tapak pertukaran tanah gambut didominasi ion hidrogen yang merupakan kation yang berperan dalam pertukaran kation (KTK). Kation gambut akan mengikat basa-basa yang umumnya adalah hara yang dibutuhkan tanaman. Jumlah ion H+

Hasil analisis kapasitas tukar kation (KTK) tanah menunjukkan dari kedua sempel tanah yang digunakan termasuk sangat tinggi, Hal ini disebabkan oleh muatan negatif bergantung pH yang sebagian besar dari gugus karboksil dan gugus hidroksil dari fenol. Menurut Andriesse (1988) KTK tanah gambut di Indonesia sebagian besar ditentukan oleh fraksi lignin dan senyawa humat. Terutama tanah gambut ombrogen mempunyai komposisi vegetasi penyusun gambut yang didominasi oleh tumbuhan yang berasal dari bahan kayu-kayuan. Bahan kayu-kayuan umumnya banyak mengandung senyawa lignin yang dalam proses degradasinya akan menghasilkan asam-asam fenolat, sehingga menyebabkan pH tanah rendah dan sejumlah pupuk yang diberikan ke dalam tanah relatif sulit terserap oleh akar tanaman.

yang tinggi menyebabkan hara terikat semakin tinggi serta diikuti pula dengan penurunan pH. Penurunan pH akan diikuti kejenuhan basa yang rendah. Hal ini juga berarti ketersediaan hara yang semakin kecil.

Selain sebagai sumber nutrisi, bahan organik berperan dalam menentukan nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan berpengaruh terhadap kemampuan mempengaruhi pH tanah hal ini dikarenakan asam–asam organik melepaskan ion H+ yang mempengaruhi pH tanah. Semakin banyak H+ yang dilepaskan maka pH tanah akan semakin masam. Penurunan pH ini akan diikuti peningkatan KTK

tanah. Hal ini disebabkan oleh muatan negatif bergantung pH yang sebagian besar dari gugus karboksil dan gugus hidroksil dari fenol. Menurut Andriesse (1988) KTK tanah gambut di Indonesia sebagian besar ditentukan oleh fraksi lignin dan senyawa humat. Terutama tanah gambut ombrogen mempunyai komposisi vegetasi penyusun gambut yang didominasi oleh tumbuhan yang berasal dari bahan kayu-kayuan. Bahan kayu-kayuan umumnya banyak mengandung senyawa lignin yang dalam proses degradasinya akan menghasilkan asam-asam fenolat.

Ketersediaan fosfat dalam tanah sangat dipengaruhi pH karena P sangat rentan diikat pada kondisi masam maupun alkalin. Ketersediaan fosfat akan menurun pada pH <5,5 atau >7,0. Pada kondisi masam aktivitas besi dan aluminium yang tinggi menjadi unsur pengikat P yang utama. Pada kondisi aktivitas fiksasi atau jerapan dilakukan oleh kalsium dan magnesium yang banyak tersedia dan larut. Menurut poerwowidodo (2000), umumnya ketersediaan fosfat dalam tanah maksimum dijumpai pada kisaran pH 5,5-7,0.

Pada umumnya lahan gambut tropis memiliki pH antara 3- 4,5 dimana gambut dangkal mempunyai pH lebih tinggi (pH 4,0–5,1) dari pada gambut dalam (pH 3,1–3,9). Hasil analisis menunjukkan kandungan N-total pada gambut fibris sebesar 0,70 % dan gambut hemis sebesar 0,73 %, kategori ini termasuk tinggi, tetapi pada umumnya tidak tersedia bagi tanaman. Tidak tersedianya bagi tanaman disebabkan oleh N tersimpan dalam bentuk senyawa organik, oleh karena rasio C/N yang tinggi (Wibisono et al., 2005). Bila pH tanah dinaikkan, maka P akan berubah menjadi tersedia kembali. Pada pH diatas netral, P juga kurang tersedia bagi tanaman karena diikat oleh Ca menjadi senyawa yang kurang tersedia. Unsur

tersebut akan tersedia kembali bila pH diturunkan. Jadi ketersediaan P sangat dipengaruhi oleh pH tanah.

Hasil pengukuran C-organik sampel tanah gambut fibris adalah 18,81 % dan tanah gambut hemis adalah 18,93 %. Nilai tersebut menggambarkan pada lahan gambut memiliki simpanan karbon yang tinggi. Kadar C-organik dapat memberi gambaran kandungan bahan organik dalam tanah. Bahan organik sebagai sumber hara makro dan mikro tanaman juga menjadi sumber nutrisi bagi kehidupan mikroba tanah yang akan mempengaruhi populasi dan aktivitasnya.

Hasil analisis menunjukkan bahwa ketersediaan fosfat dalam tanah pada tanah gambut fibris adalah 11,72 ppm dan gambut hemis sebesar 5,50 ppm ini menunjukkan bahwa kandungan P tersedia sangat rendah. Ketersediaan P ini sesuai dengan ketersediaan P pada tanah gambut secara umum. Mikroba tanah mampu menghasilkan enzim ekstraseluler yaitu kelompok enzim fosfatase dan fitase yang berperan dalam mekanisme pelarutan P-organik menjadi P-anorganik secara biologis. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Rao (1994) yang menunjukkan bahwa mikroba pelarut fosfat mampu meningkatkan ketersediaan unsur P melalui aktivitas enzim. Enzim ini diproduksi selama proses dekomposisi bahan organik berlangsung. Dengan kata lain enzim fosfatase yang dihasilkan berbanding lurus dengan besar bahan organik yang didekomposisi.

Hasil pengukuran P-total sempel tanah gambut fibris adalah 39,56 dan tanah gambut hemis adalah 31,73, nilai tersebut menunjukkan bahwa kandungan P-totalnya tinggi. Kandungan bahan organik berhubungan dengan keadaan P-total serta hubungan antara bahan organik dengan lingkungan gambut. Bahan organik mengandung berbagai hara, termasuk fosfat yang akan terlepas selama

dekomposisi baik dalam bentuk P-terikat ataupun P-tersedia. Besarnya bahan organik yang terdekomposisi dipengaruhi keadaan lingkungan seperti pH dan keberadaan oksigen tanah. Jika lingkungan mendukung, jumlah dan aktivitas dekomposer akan meningkat yang diikuti pelepasan hara kedalam tanah. Gambut juga mengandung beragam asam organik bermanfaat serta derivate fenolat yang bersifat racun bagi tanaman.

Sampel tanah gambut yang di ambil merupakan lahan bekas perkebunan sawit yang sudah lama tidak di olah, sehingga keadaan tanah hanya ditutupi vegetasi tanaman tumbuhan bawah dan tergenang air. Hal ini yang menyebabkan kandungan Fe pada gambut fibris sangat tinggi yaitu 798,97 dan 855,36 pada gambut hemis, sementara kandungan Al-dd tidak terdeteksi.

Kandungan Fe tinggi disebabkan karena air hujan yang turun jatuh ke tanah dan mengalami infiltrasi masuk ke dalam tanah yang mengandung FeO akan bereaksi dengan H2O dan CO2 dalam tanah dan membentuk Fe (HCO3)2 dimana semakin dalam air yang meresap ke dalam tanah semakin tinggi juga kelarutan besi karbonat dalam air tersebut, pH air gambut akan terpengaruh terhadap kesadahan kadar besi dalam air gambut, apabila pH air gambut rendah akan berakibat terjadinya proses korosif sehingga menyebabkan larutnya besi dan logam lainnya dalam air gambut, pH yang rendah kurang dari 7 dapat melarutkan logam. Dalam keadaan pH rendah, besi yang ada dalam air gambut berbentuk ferro dan ferri, dimana bentuk ferri akan mengendap dan tidak larut dalam air serta tidak dapat dilihat dengan mata sehingga mengakibatkan air gambut menjadi berwarna dan berbau.

Isolasi Jamur Pelarut Fosfat dari Bahan Tanah Gambut

Hasil isolasi Jamur Pelarut Fosfat (JPF) dan Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) dari tanah gambut Fibris dan hemis, diperoleh 30 sampel tanah yang diambil dari 5 petak contoh dilapangan dengan kedalaman 0-20 cm, dari tanah gambut fibris sebanyak 4 petak yaitu petak 1,2,3,4 dan pada tanah hemis satu petak yaitu petak 5. Diperoleh 12 isolat jamur pelarut fosfat, isolat JF1, JF2, JF3, JF4, JF5, JF8, JF9, JF10, JF11, dan JF 12 berasal dari tanah gambut fibris, sedangkan dari gambut hemis ada 2 isolat yaitu JH6 dan JH7 . Mikroba yang tumbuh di media isolasi baik itu jamur pelarut fosfat dan bakteri pelarut fosfat diamati dan dihitung jumlah total koloni dari setiap petak. Jumlah koloni total Jamur Pelarut Fosfat (JPF) dan Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) dihitung agar dapat dibandingkan antara jumlah koloni jamur pelarut fosfat dengan bakteri pelarut fosfat sehingga dapat

dilihat mana yang paling banyak tumbuh pada media isolasi disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil perhitungan jumlah koloni JPF dan BPF

Petak Jenis Gambut Jumlah Koloni JPF Jumlah Koloni BPF

1 2 3 4 5 Fibris 15,87 × 10 Fibris 24,36 ×10 3 Fibris 25,22 × 10 3 Fibris 10,75 × 10 3 Hemis 12,27 × 10 3 78,32 × 10 3 67,40 × 10 3 36,93 × 10 3 54,29 × 10 3 75,16 × 10 3 3 Total Fibris 76,2 × 103 236,81× 103

Biakan campuran yang tumbuh di media isolasi diamati dan dihitung jumlah mikroba yang mampu membentuk holozone. Total populasi mikroba

pelarut fosfat yang diperoleh dari gambut fibris sebesar 313,01 x 103 SPK/ml dan pada jenis gambut hemis total populasi mikroba pelarut fosfat yang diperoleh sebesar 87,43 x 103 SPK/ml, jumlah ini tergolong rendah dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya. Berdasarkan penampakan struktur tumbuhnya, mikroba pelarut fosfat hasil isolasi dibedakan atas bakteri pelarut fosfat dan jamur pelarut fosfat. Populasi jamur pelarut fosfat yang diperoleh pada tanah gambut fibris yaitu 236,81 x 103 SPK/ml, populasi bakteri pelarut fosfat tampak tumbuh pada gambut fibris dengan jumlah koloni 76,2 x 103 SPK/ml. Populasi jamur pelarut fosfat yang diperoleh pada tanah gambut hemis yaitu 12,27 x 103 SPK/ml, populasi bakteri pelarut fosfat yang diperoleh pada tanah gambut hemis yaitu dengan jumlah koloni 75,16 x 103 SPK/ml. Dominannya keberadaan Bakteri Pelarut Fosfat dibanding Jamur Pelarut Fosfat diperkirakan karena populasi mikroba pelarut fosfat dari kelompok bakteri di dalam tanah lebih besar dibanding kelompok jamur. Hal ini sesuai pernyataan Ginting (2006) yang menyatakan bahwa populasi bakteri pelarut fosfat dapat mencapai 12x106 organisme per gram tanah, sedangkan populasi jamur pelarut fosfat berkisar 2x104 – 1x106

Sampel tanah yang digunakan memiliki pH yang masam yaitu 5,81. Dengan keadaan pH demikian pertumbuhan BPF berkembang baik dan pertumbuhan JPF menurun. Tingginya populasi BPF dibanding JPF dikarenakan pertumbuhan mikroorganisme pelarut fosfat sangat dipengaruhi oleh kemasaman tanah, pada tanah masam aktifitas mikroba didominasi oleh kelompok bakteri sebab pertumbuhan optimium bakteri pada pH 5-5,5. Sebaliknya JPF kurang berpotensi tumbuh pada pH yang netral karena dapat menghambat metabolisme

dalam pertumbuhannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hardjowigeno (1996) yang menyatakan bahwa bakteri berkembang baik pada pH 5,5 atau lebih, sedangkan pada pH kurang dari 5,5 perkembangannya sangat terhambat.

Kondisi media inilah yang menyebabkan BPF dapat berkembang pesat karena kondisi pH yang netral tidak menghambat pertumbuhannya serta nutrisi yang tercukupi membuat BPF mampu berkembang maksimal. Populasi BPF yang tinggi selain didukung media tumbuh yang sesuai juga didukung sifat genetiknya yang berkembang lebih cepat dibanding jamur. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penghambatan pertumbuhan JPF oleh BPF pada media isolasi. Menurut Foth (1994), bakteri dapat berkembang biak sangat cepat dengan pembelahan biner yang dapat berlangsung tiap menit bahkan lebih cepat bila kondisi lingkungan dan nutrisi mendukung. Media isolasi yang digunakan mengandung nutrisi lengkap untuk pertumbuhan mikroba. Kelengkapan nutrisi inilah yang kemungkinan turut mendukung tingginya perkembangbiakan BPF.

Pada media isolasi besaran pH nya telah diatur sekitar 6,8-7,0 (netral) serta kandungan media tempat tumbuh isolasi mikroba pelarut fosfat yang sesuai dan tercukupi untuk keberlangsungan hidup mikroba tersebut. Kondisi yang sesuai dan mendukung inilah yang menyebabkan BPF tumbuh pesat, sedangkan JPF kurang optimal tumbuh pada pada pH netral. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gandjar et al,. (2006) yang menyatakan metabolisme fungi lebih efisien dibandingkan bakteri, fungi menggunakan lebih banyak C dan N serta menghasilkan lebih sedikit CO2 dan ammonium dibandingkan bakteri sekitar 50% dari bahan yang dimakan fungi menjadi bagian dari tubuhnya. Hal ini didukung juga oleh pernyataan Foth (1994) yang menyatakan bakteri dapat berkembang

biak sangat cepat dengan pembelahan biner yang dapat berlangsung tiap menit bahkan lebih cepat bila kondisi lingkungan dan nutrisi yang mendukung. Selain itu diduga JPF kurang mampu berkompetisi dalam mempertahankan hidupnya dan membentuk koloni pada media isolasi, alasan lain adalah pembuatan media Pikovskaya harus steril dan teliti dan juga pada saat penuangan media Pikovskaya kedalam cawan petri steril harus dilakuakan secara aseptis dan digoyang terus menerus agar kekeruhan dalam media dapat merata. Hal ini sudah diterapkan pada saat penelitian tetapi, ada kemungkinan dalam pembuatan media Pikovskaya bahan dan alat yang digunakan tidak dalam kondisi kondisi steril, penuangan media kedalam cawan petri untuk setiap ulangan tidak sama dan juga ada kemungkinan setelah media dituang ke cawan petri ada sebagian yang belum digoyang sehingga tingkat kekeruhan dalam medium tidak merata. Hal ini berpengaruh dalam memudahkan pengamatan zona bening yang terbentuk apabila isolat JPF maupun BPF yang diinokulasikan berpotensi mereduksi fosfat.

Perlakuan yang diberikan untuk jamur pelarut fosfat dan bakteri pelarut fosfat adalah sama artinya tidak ada perbedaan yang diberikan dalam hal mengkaji kemampuannya dalam mereduksi fosfat. Ini merupakan faktor yang penting diperhatikan pada saat melakukan penelitian, agar hasil yang didapatkan sesuai dengan yang di harapkan. Keberadaan mikroorganisme pelarut fosfat dari suatu tempat ketempat lainnya sangat beragam, salah satu faktor yang menyebabkan keragaman itu adalah sifat biologisnya. Ada yang hidup dalam kondisi asam dan ada pula yang hidup pada kondisi netral dan basa, ada yang hipofilik, mesofilik dan termofilik. Ada yang hidup sebagai aerob dan ada yang anaerob, bakteri pelarut fosfat sangat berpotensi tumbuh dalam kondisi agak masam hingga alkalis

sedangkan jamur pelarut fosfat berpotensi tumbuh pada kondisi masam hingga sangat masam, masing-masing mikroorganisme memiliki sifat-sifat khusus dan kondisi lingkungan optimal yang berbeda-beda yang mempengaruhi efektifitasnya melarutkan fosfat.

Mikroorganisme pelarut fosfat dapat diisolasi dari tanah yang kandungan fosfatnya rendah terutama disekitar perakaran tanaman, karena mikroorganisme ini menggunakan fosfat dalam jumlah yang sedikit untuk keperluan metabolismenya. Kondisi inilah yang medukung pengambilan sampel tanah diambil disekitar rhizosfir tanaman karena disekitar perakaran tanaman merupakan habitat yang sesuai dan mendukung untuk pertumbuhan mikroba karena adanya eksudat akar tanaman yang dapat menstimulir pertumbuhan, lisat akar maupun musigel yang secara langsung mempengaruhi kehidupan mikroba secara biologis dan pada umumnya populasi mikroba disekitar perakaran tanaman lebih tinggi dibandingkan bagian tanaman lainnya.

Kemampuan JPF Melarutkan P dalam Media Pikovskaya Padat

Jamur pelarut fosfat yang diperoleh yaitu JF1, JF2, JF3, JF4, JF5, JH6, JH7, JF8, JF9, JF10, JF11 dan JF12 selanjutnya diukur kemampuannya melarutkan P-terikat pada media pikovskaya padat. Sebagai sumber P media padat adalah Ca3(PO4)2, AlPO4, FePO4, dan Batuan Fosfat. Penggantian sumber fosfat ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan Premono (1994) dengan tujuan untuk menjaring mikroba dari tanah gambut yang diduga mampu melarutkan aluminium fosfat maupun besi fosfat.

Jamur yang tumbuh pada media akan melarutkan P yang ditandai dengan terbentuknya holozone yang mengelilingi JPF. Holozone terbentuk sebagai akibat terjadinya pelarutan butiran aluminium fosfat, besi fosfat dan batuan fosfat dari media. Evaluasi kemampuan JPF dilakukan dengan mengukur lebar sempitnya diameter holozone yang disekelilingi koloni. Cara ini umum dilakukan, namun karena tidak memperhitungkan faktor pertumbuhan koloni, sering menghasilkan hubungan korelasi yang rendah antara lebar holozone dengan jumlah P-terlarut secara kualitatif. Menurut Premono (1994), hal tersebut dapat diatasi dengan menggunakan nilai indeks pelarutan (dissolving indeks) yaitu nisbah antara diameter holozone terhadap diameter koloni. Hasil indeks tersebut terbukti berkorelasi tinggi terhadap jumlah P yang dapat dilarutkan secara kualitatif. Maka pengukuran holozone dilakukan dengan menghitung nilai indeks pelarutan tiap isolat. Data hasil pengukuran indeks pelarutan dalam media pikovskaya padat selama 7 hari dapat dilihat pada Lampiran 7.

Tabel 3. Hasil pengukuran indeks pelarutan dalam media pikovskaya padat Isolat Jenis Gambut

Sumber P Ca3PO4 AlPO4 FePO4 Indeks Pelarutan Batuan Fosfat JF1 Fibris JF2 Fibris 1,460 1,368 1,338 1,368 1,340 1,236 - - JF3 Fibris 1,289 1,226 - 1,225 JF4 Fibris 1,338 1,254 1,334 - JF5 Fibris JH6 Hemis 1,277 1,251 1,250 - 1,211 - - - JH7 Hemis JF8 Fibris 1,271 - - - 1,301 - 1,131 1,310 JF9 Fibris 1,225 1,245 1,204 - JF10 Fibris 1,338 1,425 1,326 1,432 JF11 Fibris 1,276 1,257 - - JF12 Fibris 1,322 1,347 1,373 1,353

Keterangan : (- ) tidak terbentuk holozone

JF Jamur dari gambut Fibris

1-12 asal isolat JPF

Hasil pengukuran indeks pelarutan AlPO4 menunjukkan dari 12 isolat JPF hanya 9 isolat JPF diantaranya yang mampu melarutkan fosfat dari persenyawaan aluminium fosfat. Hal ini menunjukkan bahwa JPF yang mampu melarutkan ikatan Ca3(PO4)2 , belum tentu memiliki kemampuan untuk melarutkan fosfat yang terikat aluminium. Hal ini sesuai dengan pernyataan Elfiati (2005) yang menyatakan setiap jamur memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam melarutkan ikatan fosfat Ca3(PO4)2, AlPO4, dan FePO4. Pernyataan tersebut terbukti oleh isolat yang mampu melarutkan Ca3(PO4)2 Pada media isolasi, namun tidak banyak yang mampu melarutkan AlPO4

Di antara JPF yang mampu melarutkan P dari AlPO

pada media uji potensi. 4

Hasil pengukuran indeks pelarutan dalam media pikovskaya padat menunjukkan dari 12 isolat JPF hanya 7 isolat JPF diantaranya yang mampu melarutkan fosfat dari persenyawaan FePO

didapatkan isolat yang paling besar indeks pelarutan yaitu isolat 1 dan 10. Indeks pelarutanterbesar ditunjukkan oleh isolat 10 yaitu sebesar 1,425 cm. Indeks pelarutan terkecil dibentuk oleh isolat 3 yaitu sebesar 1,226 cm. Perbedaan kemampuan tiap isolat JPF membentuk holozone di duga karena isolat berasal dari titik pengambilan sampel tanah yang berbeda dari tiap petak. Titik pengambilan sampel yang berbeda tentunya memiliki kondisi lingkungan, kelembaban, dan keadaan nutrisi dari bahan organik. Spesies jamur yang berbeda baik yang berasal dari tanah yang sama, maupun yang berasal dari tanah yang berbeda, bisa sama ataupun berbeda kemampuannya dalam melarutkan fosfat.

4. Hal ini menunjukkan bahwa JPF yang mampu melarutkan ikatan Ca3(PO4)2 , belum tentu memiliki kemampuan untuk melarutkan fosfat yang terikat Fe. Di antara JPF yang mampu melarutkan P

dari FePO4

Hasil pengukuran indeks pelarutan menunjukkan dari 12 isolat JPF hanya 5 isolat JPF diantaranya yang mampu melarutkan fosfat dari persenyawaan batuan fosfat. Hal ini menunjukkan bahwa JPF yang mampu melarutkan ikatan Ca

didapatkan 2 isolat yang paling besar membentuk holozone yaitu isolat 1 dan 12. Indeks pelarutan terbesar ditunjukkan oleh isolat 12 yaitu sebesar 1,373 cm. Indeks pelarutan terkecil dibentuk oleh isolat 8 yaitu sebesar 1,131 cm.

3(PO4)2 ,AlPO4, FePO4,

Keduabelas isolat berasal dari rhizosfir sama yaitu tumbuhan bawah/rumput, namun dari kedua belas isolat tersebut berasal dari tanah gambut yang berbeda. Isolat JF1, JF2, JF3, JF4, JF5, JF8, JF9, JF10, JF11, JF12 berasal dari tanah gambut fibris sedangkan isolat JH6 dan JH7 berasal dari tanah gambut

hemis. Dari data diatas dapat dilihat bahwa isolat JH6 dan JH7 yang berasal dari tanah gambut hemis tidak dapat melarutkan media pikovkaya padat pada media AlPO

belum tentu memiliki kemampuan untuk melarutkan fosfat yang terikat batuan fosfat.

4, FePO4

Indeks pelarutan fosfat sesuai digunakan untuk screening awal mikroba pelarut fosfat. Metode ini mudah dan murah untuk dilakukan. Tetapi jika tidak hati-hati metode ini bisa menimbulkan bias. Menurut Goenadi (1994), variasi indeks pelarutan fosfat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain:

dan Batuan Fosfat.

1. Konsentrasi fosfat AlPO4 tidak larut dalam air, untuk menuang medium ini ke dalam cawan petri perlu digoyang-goyang terlebih dahulu. Ada kemungkinan bahwa konsentrasi AlPO4

2. Ketebalan agar. Ketebalan agar di dalam cawan juga akan mempengaruhi tidak seragam, sehingga zona jernihnya juga terpengaruh

zona jernih. AlPO4

3. Kecepatan pertumbuhan mikroba. Ada mikroba yang tumbuh dengan cepat dan ada mikroba yang tumbuh lambat. Misalnya, Penicillium sp umumnya memiliki diamater koloni yang lebih kecil daripada Aspergillus sp. Indeks

Penicillium sp lebih besar dari Aspergillus sp, tetapi kemampuannya melarutkan fosfat in vitro Penicillium sp lebih kecil daripada Aspergillus sp.

di agar yang lebih tebal tentunya lebih sulit untuk dilarutkan daripada di agar yang tipis.

Lahan gambut yang masam sesuai untuk pertumbuhan JPF karena umumnya jamur tumbuh optimal pada kondisi masam. Hal ini memungkinkan efektifitas JPF melarutkan fosfat pada gambut menjadi tinggi. JPF melarutkan fosfat secara kimia dan biologi walau secara umum pelarutan dilakukan secara kimia. Mekanisme pelarutan fosfat secara kimia dimulai saat JPF mengekresikan sejumlah asam organik berbobot molekul rendah hasil metabolismenya kedalam media. Asam-asam organik tersebut dapat membentuk kompleks stabil dengan kation-kation pengikat P pada tanah masam. Setiap JPF memiliki kemampuan yang berbeda secara genetik dalam mengekskresikan jenis dan jumlah yang dihasilkan. Hal ini terlihat dari perbedaan kemampuan tiap jenis JPF dalam melarutkan P.

Menurut Ginting (2006), kemampuan tiap mikroba pelarut fosfat tumbuh dan melarutkan fosfat berbeda-beda yang diidentifikasi dari luas holozone dan waktu terbentuknya. Mikroba pelarut fosfat yang unggul akan menghasilkan

Dokumen terkait