• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 3 Perubahan konsentrasi fase gerak metanol pada metode gradien KCKT ekstrak etanol 70% S. arvensis Solo.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi

Pelarut merupakan salah satu faktor penting dalam menghasilkan mutu ekstrak yang baik (Vijesekera 1991). Pelarut yang dipilih adalah yang memiliki daya larut tinggi, tidak berbahaya, dan tidak beracun. Menurut Depkes RI (1996), pelarut yang dipilih harus menguntungkan, artinya dalam jumlah sedikit sudah dapat melarutkan zat aktif suatu bahan. Selain itu, waktu menguapkan pelarut harus singkat sehingga kemungkinan terjadinya kerusakan zat aktif yang tidak tahan panas dapat diperkecil. Kirk dan Othmer (1951) menyatakan bahwa pelarut yang digunakan juga harus selektif terhadap bahan aktif yang diinginkan. Berdasarkan kriteria pemilihan pelarut tersebut, pelarut metanol 70% dan etanol 70% dipilih untuk mengekstraksi tempuyung (S. arvensis) dan tapak dara (C. roseus) untuk mendapatkan mutu ekstrak yang baik.

Pemilihan pelarut metanol 70% dan etanol 70% selain berdasarkan kriteria pelarut yang baik, juga mengacu pada metode Suwandi (2008). Metode ini menitikberatkan kepada sifat polar metanol 70% dan etanol 70% dalam mengekstraksi senyawa flavonoid yang umumnya bersifat polar. Dengan demikian, diharapkan banyak senyawa flavonoid dapat terekstraksi. Selain itu, kedua pelarut baik untuk ekstraksi pendahuluan, karena memiliki gugus hidroksil polar dan gugus alkil nonpolar. Dengan adanya perbedaan tingkat kepolaran ini, diharapkan semua senyawa

 

6

 

bioaktif dalam S.arvensis dan C. roseus akan terekstraksi dengan baik ke dalam pelarut metanol 70% dan etanol 70%.

Analisis rendemen ekstrak digunakan untuk mengetahui persentase ekstrak yang dihasilkan dari setiap gram daun segar yang diambil dari simplisia S. arvensis dan C. roseus. Kisaran rendemen ekstrak metanol 70% S. arvensis yang diperoleh berkisar 3−6%, sedangkan rendemen ekstrak etanol 70% berkisar 3−7%. Lebih tingginya rendemen ekstrak metanol 70% dapat disebabkan oleh sifat kepolaran metanol 70% yang lebih tinggi daripada etanol 70%, sehingga dapat lebih banyak mengekstrasi aglikon flavonoid yang bersifat polar (Harwood dan Moody 1989). Data terperinci

S. arvensis dan C. roseus ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Rendemen ekstrak S.arvensis dan C. roseus

Sampel Kadar air (%) Rerata rendemen Ekstrak (%b/b) ± SD MeOH 70% EtOH 70% Tempuyung Bogor I Bogor II Bogor III Solo Wonogiri Tapak dara Bogor I 9.53 ± 0.10b 10.64 ± 0.10d 9.27 ± 0.23b 8.25 ± 0.08a 9.59 ± 0.10b 9.59 ± 0.10bc 5.78 ± 0.20cd 6.48 ± 0.20d 6.11 ± 0.10bc 5.48 ± 0.07b 3.44 ± 0.38a 10.25 ± 0.07e 7.80 ± 0.24e 6.27 ± 0.20d 5.56 ± 0.10c 4.36 ± 0.06b 3.22 ± 0.24a 14.32 ± 0.11f

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.

Tabel 1 menunjukkan bahwa tiap-tiap daerah asal sampel tanaman, baik S. arvensis

maupun C. roseus, memberikan rendemen yang berbeda nyata. Perbedaan terlihat dari perbedaan huruf yang tertera pada tabel. Sebagai contoh, rendemen ekstrak metanol 70% dari S. arvensis Wonogiri (3.44 ± 0.38a) berbeda nyata dengan rendemen S. arvensis

Solo (5.48 ± 0.07b). Perbedaan dapat disebabkan oleh adanya perbedaan struktur geografis, seperti suhu, tinggi permukaan tanah, dan curah hujan (Ubaidillah 2010). Perbedaan dapat pula disebabkan oleh

perbedaan senyawa bioaktif yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan hal itu, dapat dikatakan bahwa asal tanaman juga berpengaruh nyata terhadap rendemen yang dihasilkan.

Uji Fitokimia

Berdasarkan uji fitokimia, diketahui bahwa S. arvensis (Solo) positif mengandung flavonoid, sedangkan C. roseus (PSB) positif mengandung alkaloid (Tabel 2). C. roseus

juga positif mengandung flavonoid, tetapi dengan intensitas warna yang lebih lemah. Hal ini diduga karena kandungan senyawa flavonoid dalam S. arvensis lebih banyak. Perbedaan juga dapat disebabkan oleh perbedaan jenis flavonoid yang terkandung di dalam tanaman.

Tabel 2 Uji fitokimia serbuk tanaman S. arvensis (Solo) dan C. roseus

(PSB)

Uji Fitokimia Hasil Uji

Tempuyung Tapak Dara

Alkaloid - ++ Saponin + + Flavonoid ++ + Triterpenoid + - Steroid + - Tanin + +

Keterangan: Tanda (+) menunjukkan tingkat intensitas warna

Tanda (-) menunjukkan tidak ada senyawa uji

Penapisan fitokimia adalah pemeriksaan kimia secara kualitatif terhadap senyawa organik bioaktif yang terdapat dalam simplisia tumbuhan seperti alkaloid, flavonoid, terpenoid, tanin, dan steroid (Markham 1988). Dalam penelitian ini, pemeriksaan fitokimia dapat membantu langkah-langkah fitofarmakologi, yaitu membantu mengetahui ada tidaknya senyawa flavonoid di dalam S. arvensis yang dapat dikaitkan dengan aktivitas biologisnya sebagai antikanker melalui toksisitasnya terhadap A. salina.

Uji Golongan Flavonoid

Flavonoid merupakan golongan fenolik yang dapat menyerap di daerah sinar UV pendek. Sinar UV akan membantu penampakan bercak pada pelat gel silika. Oleh karena itu, penampakan bercak senyawa flavonoid ekstrak S. arvensis pada KLT

dilakukan pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm.

Flavonoid diduga merupakan senyawa bioaktif utama pada ekstrak S. arvensis yang berperan sebagai antikanker. Senyawa flavonoid pada umumnya adalah senyawa fenolik, yang umumnya akan berubah warna apabila ditambah basa. Oleh karena itu, penambahan basa berupa uap amoniak berfungsi memperjelas penampakan bercak yang ditandai dengan adanya perubahan warna. Perubahan warna tersebut merupakan ciri khas suatu flavonoid tertentu. Perubahan warna antara golongan flavonoid satu dan lainnya akan berbeda.

Uji golongan flavonoid terhadap ekstrak etanol 70% S. arvensis Solo memperlihatkan golongan flavon dengan nilai Rf 0.15; 0.25; dan 0.50. Selain itu, terdapat juga golongan kalkon dengan nilai Rf 0.15 dan 0.25. Data terperinci golongan flavonoid dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Penafsiran golongan flavonoid ekstrak S. arvensis Solo etanol 70% (Markham 1988) Warna pita Tanpa uap NH3 (+) Uap NH3

Dugaan Nilai Rf ekstrak MeOH 70% EtOH 70% Biru gelap Biru gelap Flavon Flavonol isoflavon Kalkon 0.14 0.15

Hitam Hitam Flavon, kalkon flavonol 0.20 0.25 Biru Langit Biru Langit Flavon Flavonol 0.54 0.50

Hasil uji golongan flavonoid memperkuat hasil uji sebelumnya (Akbar 2010), yang dilakukan dengan penambahan berbagai pereaksi. Berdasarkan kedua hasil uji tersebut, dapat dikatakan bahwa senyawa bioaktif utama pada S. arvensis, khususnya ekstrak etanol 70% S. arvensis Solo adalah flavonoid, yakni golongan flavon dan flavonol sebagai golongan flavonoid mayor, dan kalkon sebagai golongan flavonoid minor.

Uji Toksisitas Larva Udang

Uji letalitas larva udang (BSLT) dapat digunakan untuk menduga aktivits suatu bahan uji dalam membunuh sel kanker, hama penyakit, atau menduga efek farmakologinya.

Pada penelitian ini, uji BSLT bertujuan mengetahui efek farmakologi ekstrak S. arvensis dan C. roseus berdasarkan toksisitasnya terhadap hewan uji A. salina. Toksisitas ekstrak tersebut dilihat dari kemampuannya dalam membunuh 50% hewan uji (LC50) dengan tingkat kepercayaan 95% (Rahman 1991).

Dalam uji toksisitas ekstrak S. arvensis

dan C. roseus, digunakan kontrol negatif yang berfungsi menguji pengaruh pelarut metanol 70% dan etanol 70%. Kontrol diharapkan tidak membunuh A. salina. Walaupun demikian, dalam percobaan terdapat beberapa A. salina yang mati.

Kematian A. salina pada kontrol negatif diduga diakibatkan penurunan aktivitas A.. salina. Hal ini ditandai dengan pergerakan A. salina yang terus-menerus berada di dasar tabung percobaan. Dengan demikian, kematian A. salina pada kontrol negatif merupakan kematian yang alami.

Kematian A. salina pada kontrol negatif berbeda dari kematian A. salina yang diberi perlakuan. Penambahan ekstrak S. arvensis

dan C. roseus mengakibatkan A. salina

mengalami disorientasi gerak (pergerakannya tidak teratur). A. salina tetap berputar-putar pada satu titik, dan pada akhirnya mengalami kematian. Kematian tersebut diduga diakibatkan oleh senyawa bioaktif yang terkandung dalam S. arvensis (flavonoid) dan

C. roseus (alkaloid).

Meyer (1982) dan Anderson (1991) melaporkan bahwa suatu ekstrak menunjukkan aktivitas ketoksikan dalam uji BSLT jika dapat mematikan 50% hewan uji pada konsentrasi 1000 ppm. Ekstrak dikatakan sangat toksik bila memiliki nilai LC50 di bawah 30 ppm dan dianggap tidak toksik apabila nilai LC50 di atas 1000 ppm. Karena itu, dapat dikatakan ekstrak metanol 70% S. arvensis dari Bogor I (1934.47 ppm), Bogor II (1010.51 ppm), Bogor III (1107.34 ppm), dan Wonogiri (1020.89 ppm) tidak toksik. Nilai LC50 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 menunjukkan bahwa ekstrak S. arvensis Solo memiliki toksisitas lebih tinggi di antara ekstrak S. arvensis lainnya, baik ekstrak metanol 70% maupun etanol 70%. Ekstrak etanol 70% (325.63 ppm) lebih toksik daripada ekstrak metanol 70% (766.44 ppm). Semakin rendah nilai LC50 suatu ekstrak, semakin rendah konsentrasi ekstrak yang diperlukan untuk dapat menyebabkan kematian A. salina sebagai hewan uji. Dengan

 

8

 

kata lain, ekstrak tersebut semakin toksik (Meyer et al. 1982).

Tabel 4 Nilai rerata LC50 ekstrak metanol 70% dan etanol 70% pada S. arvensis dan C. roseus

Ekstrak LC50 (ppm) Metanol 70% Etanol 70% Tempuyung Bogor I 1934.47 ± 8.08f 410.07 ± 3.89d Bogor II 1010.51 ± 9.77c 449.76 ± 5.50f Bogor III 1107.34 ± 12.74e 426.52 ± 3.31e Solo 766.44 ± 20.63b 325.63 ± 4.94b Wonogiri 1020.89 ± 0.14cd 386.61 ± 9.97c Tapak dara Bogor I 729.48 ± 4.36a 310.34 ± 3.53a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%

Toksisitas ekstrak etanol 70% S. arvensis

Solo diduga berasal dari adanya senyawa flavonoid golongan flavon, flavonon, dan kalkon sebagaimana diperlihatkan oleh hasil uji golongan flavonoid. Golongan-golongan tersebut diduga kuat merupakan senyawa bioaktif utama yang berperan sebagai antikanker.

Flavon, flavonol, kalkon, dan isoflavon dalam ekstrak S. arvensis merupakan aglikon flavonoid yang kurang polar, disebabkan oleh adanya gugus metoksil (Harborne 1987). Gugus metoksil lebih larut dalam pelarut yang kurang polar. Dengan demikian, aglikon flavonoid dalam ekstrak S. arvensis akan lebih larut dalam pelarut etanol 70%. Hal ini dapat menyebabkan toksisitas ekstrak etanol 70% lebih tinggi daripada metanol 70%.

Tanaman C. roseus pada umumnya dikenal dalam pengobatan tradisional dalam menurunkan kadar glukosa dalam darah. Namun, pada pemeriksaan selanjutnya, C. roseus terbukti menunjukkan aktivitas sebagai antikanker (Lingga 2005). Zat aktif dalam C. roseus yang berfungsi sebagai antikanker adalah golongan alkaloid seperti vinblastin, vinkristin, dan katarantin (Foye 1995). Berdasarkan hal tersebut, C.roseus dijadikan sebagai tanaman pembanding toksisitas S. arvensis dalam hal potensinya sebagai antikanker.

Toksisitas ekstrak etanol 70% S. arvensis

(325.63 ppm) lebih rendah daripada C. roseus

(310.34 ppm). Hasil uji beda nyata Duncan memperlihatkan bahwa nilai LC50 kedua ekstrak tersebut berbeda secara signifikan. Walaupun berbeda, berdasarkan Meyer et al.

(1982) dan Anderson (1991), S arvensis

berpotensi sebagai antikanker.

Nilai LC50 ekstrak etanol 70% S. arvensis

Solo (325.63 ppm) lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa ekstrak tanaman obat lain, seperti ekstrak daun kamanggi (16 182 ppm, Mukhtar et al. 2007), dan daun saga (606.74 ppm, Juniarti et al. 2010). Nilai LC50 tersebut juga lebih tinggi daripada ekstrak Turbinari decurrens (672.59 ppm, Fajarningsih et al

2008). Ekstrak T. decurrens telah terbukti memiliki sitotoksisitas terhadap sel tumor HeLa. Oleh sebab itu, ekstrak etanol 70% S. arvensis Solo sangat prospektif dikembangkan sebagai senyawa antitumor.

Profil Ekstrak Tempuyung dengan KCKT

Analisis profil ekstrak S. arvensis

dilakukan dengan menggunakan KCKT. Analisis dilakukan terhadap ekstrak etanol 70% S. arvensis Solo, karena ekstrak tersebut memiliki tingkat toksisitas tertinggi. Dengan tingkat toksisitas tertinggi tersebut, diharapkan profil yang diperoleh lebih representatif.

Fase gerak dipilih berdasarkan hasil uji golongan flavonoid yang menunjukkan komponen ekstrak etanol 70% S. arvensis

Solo sedikit terbawa pada fase gerak. Hal itu menandakan bahwa ekstrak tersebut bersifat polar. Dengan demikian, analisis ekstrak etanol 70% S. arvensis Solo pada KCKT menggunakan fase terbalik: fase diam lebih nonpolar daripada fase gerak, maka digunakan pelarut dengan kepolaran yang tinggi. Pelarut yang digunakan pada penelitian ini antara lain asetonitril, metanol, dan campuran metanol-asam asetat 0.01% (v/v) dalam air.

Analisis profil pada awalnya menggunakan fase gerak asetonitril dan metanol secara isokratik. Kedua pelarut tersebut tidak menghasilkan profil yang baik, tidak terdapat puncak pada kromatogramnya (Lampiran 3). Hal ini dapat diakibatkan fase gerak kurang bersifat polar, sehingga kurang dapat membawa komponen senyawa.

Selanjutnya, analisis dilakukan dengan fase gerak campuran metanol-asam asetat 0.01% (v/v). Analisis profil KCKT berdasarkan pada jumlah puncak yang terlihat dalam kromatogram. Jumlah puncak yang

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 45.0 50.0 min 0 250 500 750 1000 1250 1500 mV Detector A Ch1:360nm 1. 78 6 /880 0 6 38 5. 30 0 /368 3 5 5 7. 554/ 6 0611 12. 006 /33233 0.0 2.5 5.0 7.5 10.0 12.5 15.0 17.5 20.0 22.5 25.0 27.5 min -200 -100 0 100 200 300 400 500 600 700 mV Detector A Ch2:662nm 1. 80 0/ 4 20 58 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 45.0 50.0 55.0 min 0 250 500 750 1000 1250 1500 mV Detector A Ch2:350nm 1. 77 8/ 1 3 6 75 94 7 5. 34 1 /346 64 7 7. 62 6/ 6 54 91 1 2 .1 2 7 /7 7 2 2 2

dapat dideteksi dihitung berdasarkan kriteria nilai resolusi dan nisbah sinyal terhadap derau (S/N). Puncak diakui dan dihitung jika memiliki nilai resolusi ≥ 3 (Wahyuni 2010).

Analisis kromatogram pada panjang gelombang 350 (a), 360 (b), dan 662 nm (c) pada Gambar 4 menghasilkan 1−4 puncak. Jumlah puncak yang terbentuk terlalu sedikit, maka profil yang terbentuk tidak baik. Selain itu, puncak-puncak yang terbentuk diduga bukan berasal dari ekstrak etanol 70% S. arvensis, melainkan dari fase gerak. Berdasarkan hal itu, metode isokratik belum dapat digunakan dalam penentuan profil.

Ekstrak etanol 70% S. arvensis Solo selain dianalisis dengan metode isokratik, juga dianalisis dengan metode gradien dengan fase gerak yang sama. Elusi gradien didefinisikan sebagai penambahan kekuatan fase gerak selama analisis kromatografi berlangsung (Putra 2004). Peningkatan kekuatan fase gerak dapat mempersingkat waktu retensi dari senyawa-senyawa yang tertahan kuat dalam kolom, sehingga puncak-puncak kromatogram yang dihasilkan semakin banyak.

Profil ekstrak etanol 70% S. arvensis yang diperoleh dengan metode elusi gradien pada 350, 360, dan 662 nm dapat dikatakan lebih baik (Gambar 5). Jumlah puncak yang dihasilkan lebih banyak daripada metode elusi isokratik, berkisar antara 3 dan 7 puncak. Puncak-puncak yang teridentifikasi juga tidak muncul hanya pada menit awal saja, tetapi muncul selama analisis berlangsung sampai menit ke–55. Dengan demikian, profil yang terbentuk dengan metode gradien lebih representatif dibandingkan dengan metode isokratik.

Profil yang terbentuk pada metode elusi gradien lebih baik dibandingkan dengan metode isokratik, karena pada metode elusi gradien, susunan pelarut diubah tahap demi tahap, setiap tahap lebih polar daripada tahap sebelumnya. Adanya perubahan kepolaran tersebut membuat senyawa flavonoid lebih terbawa dalam fase gerak. Seperti penjelasan sebelumnya, senyawa flavonoid termasuk golongan fenolik yang bersifat polar sehingga akan cenderung berasosiasi dengan fase gerak.

Profil ekstrak etanol 70% S. arvensis Solo dengan elusi gradien pada 350 nm menghasilkan bentuk kromatogram yang lebih ramping dan sempit. Bentuk tersebut sesuai dengan kriteria kromatogram yang diinginkan. Oleh karena itu, dapat dikatakan kondisi tersebut menghasilkan profil terbaik dibandingkan dengan profil metode elusi

etanol 70% S. arvensis Solo pada 360 nm dan 662 nm.

a.

b.

c.

Gambar 4 Kromatogram isokratik ekstrak etanol 70% S. arvensis Solo dengan metanol-asam asetat 0.01% (v/v) pada 350(a), 360 (b), dan 622 nm (c). Waktu (menit) Densitas optik (mV) Waktu (menit) Densitas optik (mV) Waktu (menit) Densitas optik (mV)

  10   0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 45.0 50.0 55.0 m in 0 100 200 300 400 500 600 700 800 m V Detector A Ch2:350nm 13. 917/ 15 8 2 026 23 .2 7 0/ 3 2 20053 25. 060/ 20 638607 3 1 .218/ 66 6 5 410 32. 623/ 10 4 7 554 36 .2 79/ 1299 85 1 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 45.0 50.0 55.0 min 0 100 200 300 400 500 600 700 800 mV Detector A Ch1:360nm 1 3 .9 1 5 /8 0 3 183 2 3. 265 /139 2 8 02 25. 05 8/ 1 0 9 5 4 8 3 7 3 1. 223 /531 7 0 53 3 2 .629 /8 8282 3 3 6 .2 7 7 /1 38100 7 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 45.0 50.0 55.0 min -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 m V Detector A:662nm 2 4 .9 62/ 1871 1 a. b. c.

Gambar 5 Kromatogram gradien ekstrak etanol 70% S. arvensis Solo dengan metanol-asam asetat 0.01% (v/v) pada 350 (a), 360 (b), dan 622 nm (c).

Sriningsih etal. (2005) menyatakan bahwa

S. arvensis mengandung senyawa flavonoid, seperti flavon, flavonol, dan kalkon. Menurut Markham (1988), golongan flavon, flavonol,

dan kalkon menyerap sinar UV pada daerah 350−360 nm. Karena itu, penentuan profil ekstrak etanol 70% S. arvensis Solo dilakukan pada 350 nm dan 360 nm. Penentuan profil pada 662 nm berdasarkan pada nilai absorbans tertinggi. Dengan menggunakan panjang gelombang dari absorbans maksimum, jika terjadi penyimpangan (deviasi) kecil terhadap panjang gelombang dari cahaya yang masuk, maka hanya menyebabkan galat yang kecil dalam pengukuran (Day dan Underwood 1998).

Dokumen terkait