• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekstraksi Kolagen

Ekstraksi kolagen dari kulit ikan gabus (Channa striata) menggunakan dua metode, yaitu metode A dan B. Ekstrak kolagen yang diperoleh menggunakan metode A merupakan kolagen larut air (Water Soluble Collagen) sedangkan pada metode B merupakan kolagen larut asam (Acid Soluble Collagen). Tahap awal ekstraksi kolagen pada kedua metode adalah perendaman di dalam etanol 50% untuk menghilangkan komponen lemak yang terkandung pada kulit ikan. Etanol merupakan pelarut non-polar yang sangat mudah melarutkan minyak dan lemak. Pada metode A dilakukan perendaman di dalam asam asetat 1.5% selama 24 jam untuk mengembangkan kulit sehingga memudahkan proses ekstraksi. Ektraksi menggunakan aquades dan berlangsung pada suhu 400C. Pada metode B

dilakukan perendaman di dalam NaOH 0.1 M selama 6 jam setelah tahap awal. Perendaman di dalam NaOH 0.1 M bertujuan untuk menghilangkan komponen non-kolagen. Perendaman dengan NaOH mengakibatkan struktur kolagen mengembang akibat adanya air yang berpenetrasi. Hal tersebut mengakibatkan komponen-komponen non-kolagen yang pada awalnya terperangkap di dalam matriks kolagen dapat dengan mudah terlepas (Jaswir et al. 2011). Untuk melarutkan kolagen, kulit yang telah diberi perlakuan NaOH direndam dalam asam asetat 0.5bM selama 24 jam. Perendaman kulit ikan di dalam asam asetat mengakibatkan kulit ikan akan mengembang. Hal tersebut disebabkan adanya penetrasi air ke dalam struktur kulit, adanya asam asetat juga membantu meningkatkan ion H+ sehingga mendukung air dapat masuk ke serat kolagen. Pada tahapan ini, kolagen tidak larut sepenuhnya. Hal tersebut disebabkan rendahnya solubilitas kolagen. Untuk mengendapkan kolagen yang terlarut dalam asam asetat maka dilakukan penambahan NaCl sebelum proses sentrifugasi. Pada metode B keseluruhan proses ekstraksi berlangsung pada suhu ± 40C. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya denaturasi kolagen selama proses ekstraksi. Takeshi (2003) menyatakan bahwa ekstraksi kolagen dari sisik ikan berlangsung pada suhu rendah untuk mereduksi terjadinya fragmentasi.

Pengukuran kadar protein dilakukan pada masing-masing ekstrak menggunakan metode Bradford. Kadar protein dari masing-masing ekstrak kolagen dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa kadar protein ekstrak kolagen menggunakan metode B lebih tinggi dibandingkan metode A. Kadar protein yang rendah dari kedua jenis kolagen tersebut disebabkan rendahnya solubilitas kolagen. Namun, penggunaan asam asetat lebih mampu melarutkan kulit ikan dibandingkan dengan air, meskipun perendaman dan pengadukan kontinyu selama 24 jam dengan asam asetat belum mampu melarutkan kulit ikan sepenuhnya. Rendahnya solubilitas kolagen dikarenakan terjadinya cross linking oleh ikatan kovalen melalui kondensasi gugus aldehid pada daerah telopeptida molekul kolagen (Zhang et al. 2007). Kolagen yang berasal dari kulit ikan sangat mudah mengalami cross linking jika dibandingkan dengan mamalia, selain itu kadar hidroksiprolin pada kolagen ikan juga cenderung lebih rendah, yaitu sekitar 4-10% dari total asam amino dari kolagen ikan (Sato et al. 1989).

Tabel 4. Hasil analisa kadar protein ekstrak kolagen

Metode Jenis Ikan Kadar Protein (mg/ml)

Tipe Kolagen A Ikan Gabus (Channa striata) 0.048 – 0.092 WSC

B Ikan Gabus (Channa striata) 0.546 – 1.323 ASC

Keterangan: Metode A (Yuniarti 2010), Metode B (Modifikasi Nagai and Suzuki 2000); WSC (Water Soluble Collagen), ASC (Acid Soluble Collagen).

Kadar protein ASC dari kulit ikan gabus jauh lebih rendah dibandingkan dengan ASC yang diekstrak dari kulit ayam (5.60 mg/ml) sedangkan kadar protein ASC dari kulit ikan gabus hampir setara dengan ASC yang diekstrak dari ekor tikus, yaitu 1.05 mg/ml. Kadar protein WSC yang diperoleh dari kulit ikan gabus juga jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kulit ayam yang mencapai 5.61 mg/ml (Quereshi et al. 2010; Siriwardane 2008).

Elektroforesis Kolagen

Untuk mengetahui berat molekul kolagen dari masing-masing ekstrak dilakukan SDS-PAGE. Konsentrasi gel pemisah yang digunakan adalah 7.5% dan gel penahan 4%. Kolagen dari tendon sapi digunakan sebagai standar. Hasil analisa SDS-PAGE kolagen masing-masing ekstrak dapat dilihat pada Gambar 4. SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis) merupakan suatu teknik pemisahan protein berdasarkan berat molekulnya. Pada analisa SDS-PAGE, semua protein dibuat bermuatan negatif. SDS yang ditambahkan menyebabkan protein terdenaturasi dan akan berikatan dengan molekul protein sehingga mencegah terjadinya interaksi protein dan protein. Selama proses elektroforesis, kompleks SDS-protein akan bergerak menuju kutub positif. Matriks berpori pada gel poliakrilamid kemudian memisahkan kompleks SDS-protein berdasarkan berat molekulnya (Rehm 2006). Berat molekul protein dapat ditentukan dengan menggunakan protein baku yang telah diketahui berat molekulnya dan membandingkan dengan nilai mobilitas relatif (Rf) yang diperoleh (Suhartono 1989).

Gambar 4 menunjukkan bahwa kolagen yang diperoleh menggunakan metode ekstraksi WSC dan ASC memiliki berat molekul diatas 97 kDa. Kolagen hasil ekstraksi dari kulit ikan gabus merupakan kolagen tipe 1 karena terdapat dua strukur α, yang sering disebut dengan (α-1) dan (α-2). Hema et al. (2013) menyatakan bahwa kolagen tipe I mengandung dua struktur α yang identik, yaitu α-1 dan α-2. Kedua struktur α pada kolagen ikan dapat dipisahkan dengan SDS- PAGE berdasarkan perbedaan afinitasnya terhadap SDS, dimana α-2 memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap SDS dibandingkan dengan α-1. Muyonga et al.

(2004) menyatakan bahwa kolagen tipe I ditemukan pada kulit, tendon dan tulang.

Acid Soluble Collagen (ASC) yang diekstrak dari kulit ikan gabus mengandung struktur dibandingkan Water Soluble Collagen (WSC). Namun, kolagen yang diperoleh dari kedua metode tersebut mengandung struktur . Ketebalan intensitas pita protein struktur menunjukkan tingginya jumlah kolagen yang mengalami cross linking. Komponen dan menunjukkan molekul kolagen yang mengalami

Gambar 4. Elektroforesis ekstrak kolagen dari ikan gabus. Gel pemisah sebesar 7.5 % dan gel penahan 4% Marker (1), ASC (2), WSC (3), dan kolagen dari tendon sapi (4).

(A) (B) (C) (D) Gambar 5. Elektroforesis kolagen beberapa jenis ikan. Konsentrasi gel pemisah

7.5% dan gel penahan 4%. (A) Ikan Gabus (penelitian ini); (B) Ikan Tuna dan Salmon (Sung et al. 2011); (C) ikan lele (Singh et al.

2011); (D) Ikan lele (Bama et al. 2010).

Gambar 5 menunjukkan perbandingan hasil SDS PAGE kolagen dari kulit ikan gabus dan kolagen dari beberapa jenis ikan. Gambar 5 menunjukkan bahwa pola hasil SDS-PAGE kolagen dari setiap jenis ikan memiliki kesamaan, yaitu terdapat struktur α dan . Kedua struktur tersebut memiliki berat molekul yang tinggi, dimana struktur α memiliki berat molekul dengan kisaran 100-130 kDa sedangkan struktur memiliki berat molekul yang berkisar pada 200-250 kDa. Struktur α-1 menunjukkan intesitas pita protein yang lebih tebal dibandingan dengan α-2. Perbedaan spesies ikan menyebabkan variasi jumlah kolagen pada jaringan tubuhnya. Variasi jumlah kolagen tersebut mampu merefleksikan

swimming behavior dan mempengaruhi karakteristik tekstur otot dari setiap jenis ikan (Montero et al. 1990 dalam Hema et al. 2013).

ɣ α-1 α-2 97 kDa 66 kDa 45 kDa 1 2 3 4 97 kDa 66 kDa 45 kDa

Kadar Asam Amio Kolagen

Pengujian kadar asam amino masing-masing kolagen dilakukan menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) detektor

fluorosence. HPLC merupakan suatu teknik analisa yang digunakan untuk memisahkan dan mengidentifikasi suatu komponen. Pada analisa menggunakan HPLC, sampel diinjeksikan ke dalam fase gerak. Komponen yang interaksinya kurang kuat dengan fase diam akan keluar dari kolom lebih dahulu dan komponen yang kuat interaksinya akan keluar belakangan. Setiap komponen yang keluar dari kolom akan dideteksi oleh detektor dan divisualisasikan dalam bentuk kromatogram. Kolom yang digunakan adalah AccQtag (3.9 x 150 mm) yang merupakan kolom reversed-phase dimana fase diamnya bersifat hidrofobik. Fase gerak yang digunakan adalah asetonitril 60% dengan laju alir 1 ml/menit, dan volume penyuntikan sebesar 5µl. Fase gerak yang digunakan adalah pelarut semi- polar yang mampu melarutkan komponen ionik dan non-polar. Asetonitril merupakan pelarut yang memiliki reaktivitas rendah terhadap senyawa kimia dan viskositasnya rendah.

Gambar 6. Kadar asam amino kolagen. (ASC) Acid Soluble Collagen; (WSC)

Water Soluble Collagen.

Kadar asam amino dari masing-masing kolagen dapat diketahui pada Gambar 6. ASC dan WSC menunjukkan profil kadar asam amino yang serupa, dimana asam amino yang dominan adalah glisin, prolin, dan alanin. Berdasarkan hasil pengujian kadar asam amino kedua jenis kolagen diketahui bahwa asam amino kolagen didominasi oleh asam amino non-polar, yaitu glisin. Glisin merupakan asam amino utama pada kolagen dan kadarnya paling tinggi jika dibandingkan dengan asam amino lainnya. Kolagen mengandung tiga rantai peptida yang tersusun membentuk struktur triple helix. Sekuens dari peptida tersebut adalah Gly-X-Y, dimana X dan Y lebih sering terdeteksi sebagai prolin

0 5 10 15 20 25 As p ar tat Se ri n e G lu tam at G li si n H is ti d in Argi n in T h re o n in Al an in Pro li n Si stei n T iros in Val in Me ti o n in Li si n Is o le u si n le u si n Fe n il al an in T ri p to fan K ad ar Asam Am in o (% )

Jenis Asam Amino

WSC ASC

dan hidroksiprolin (Daboor et al. 2010). Hasil analisa juga menunjukkan bahwa terdapat tujuh asam amino esensial yang terdeteksi pada kedua jenis kolagen, yaitu histidin, threonin, valin, metionin, isoleusin, leusin, dan fenilalanin.

Kadar asam amino glisin untuk WSC dan ASC berturut-turut adalah 21.65% dan 15, 69%. Kadar gilisin untuk ASC cenderung jauh lebih rendah dibandingkan dengan WSC. Disamping itu, kadar glisin ASC ikan gabus juga jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kandungan glisin yang diperoleh pada ikan tuna, ikan hiu, dan ikan lele yang berada pada kisaran 30% (Hema et al. 2013; Singh et al.

2011). Kadar asam amino prolin dan alanin ASC ikan gabus juga cenderung lebih rendah dibandingkan dengan ikan tuna, ikan hiu, dan ikan lele. Kandungan prolin dan alanin ASC ikan gabus sebesar 7.09% dan 6.21% sedangkan pada ikan tuna, ikan hiu dan ikan lele berada pada kisaran 9-12% untuk prolin dan 11-12% untuk alanin (Hema et al. 2013; Singh et al. 2011).

Skrining Isolat Penghasil Kolagenase

Isolat yang digunakan untuk skrining mikroba penghasil kolagenase adalah

Bacillus licheniformis F11.4 dan F11.1, Bacillus subtilis, Bacillus pumilus, Bacillus sp. TPS2d, Bacillus sp. MTS, Bacillus cereus, Bacillus sp.,

Stenotropomonas sp. dan isolat Sw. Kesepuluh isolat ditumbuhkan pada media yang diperkaya kolagen. Kolagen yang ditambahkan pada media sebesar 5% dan dalam bentuk kasar. Supernatan bebas sel hasil fermentasi kemudian dianalisa zimogram untuk mengetahui mikroba penghasil kolagenase. Pada analisa zimogram, gel pemisah 10% dikopolimerasi dengan 1 ml kolagen. Kolagen yang digunakan adalah ASC (Acid Soluble Collagen). Hasil skrining isolat penghasil kolagenase dengan metode zimogram dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 dan Tabel 5 menunjukkan bahwa semua isolat memiliki kemampuan kolagenolitik. Hal tersebut dibuktikan dengan terbentuknya pita-pita berwarna bening pada gel akrilamid yang telah dikopolimerasi dengan kolagen (ASC). Diantara kesepuluh isolat tersebut terdapat beberapa isolat yang memiliki kemampuan kolagenolitik paling tinggi berdasarkan intensitas pita bening yang terbentuk, yaitu Streptropomonas sp., isolat Sw dan Bacillus licheniformis F11.4.

Bacillus pumilus dan Bacillus subtilis merupakan kontrol positif. Penambahan kolagen pada media pertumbuhan dapat menginduksi mikroba untuk menghasilkan fraksi pemecah kolagen, dengan kata lain kolagen yang ditambahkan pada media pertumbuhan kesepuluh jenis isolat tersebut berperan sebagai inducer. Kolagenase yang dihasilkan merupakan suatu respon terhadap kehadiran kolagen di dalam media pertumbuhan. Berdasarkan hal tersebut kolagenase yang dihasilkan oleh kesepuluh isolat bakteri tidak tergolong enzim konstitutif. Enzim konstitutif merupakan golongan enzim yang dapat diproduksi tanpa bergantung terhadap kehadiran suatu substrat tertentu. Terdapat kemiripan fraksi kolagenase yang dihasilkan dari isolat yang berbeda. Fraksi kolagenase yang dihasilkan oleh Bacillus subtilis memiliki kesamaan dengan fraksi dari isolat Sw, sehingga terdapat kemungkinan bahwa isolat Sw yang belum teridentifikasi merupakan Bacillus subtilis. Selain itu, fraksi kolagenase yang dihasilkan oleh

Bacillus pumilus memiliki kemiripan dengan fraksi kolagenase dari Bacillus sp.

Tabel 5. Hasil skrining isolat penghasil kolagenase

Jenis Isolat Sumber Aktivitas

Kemampuan Menghasilkan

Kolagenase

Bacillus licheniformis F11.4 Limbah kulit udang Penghasil Protease √

Bacillus licheniformis F11.1 Limbah kulit udang Penghasil Protease √

Isolat Sw Limbah kulit udang Penghasil Protease √

Bacillus sp. MTS Tanah belerang gunung Tangkuban Perahu, Bandung- Jawa Barat

Mampu menghancurkan bulu ayam utuh dan hidrolisis berbagai substrat protein

Bacillus subtilis Limbah cair tahu Penghasil Protease √

Bacillus pumilus Limbah cair tahu Penghasil Protease √

Bacillus cereus Oncom Penghasil Protease √

Bacillus sp. TPS2d Tangkuban Perahu Penghasil Protease √

Bacillus. sp Oncom Penghasil Protease √

Stenotropomonas sp. Oncom Fibrinolitik √

Gambar 7. Zimogram isolat penghasil kolagenase. Gel pemisah sebesar 10% dan gel penahan 4%. (F11.1) Bacillus licheniformis F11.1; (BP) Bacillus pumilus; (11) Streptropomonas sp.; (Sw) Isolat Siswa; (MTS) Bacillus

sp. MTS; (G) Bacillus cereus; (Tps2d) Bacillus sp TPS2d; (BS)

Bacillus subtilis; (J) Bacillus sp.

Deteksi aktivitas enzim melalui analisa zimogram merupakan suatu teknik elektroforesis menggunakan akrilamid, SDS (Sodium duodesil sulfat) dan substrat. Pada metode ini enzim akan menghidrolisis substrat, dalam hal ini kolagen, pada gel akrilamid dengan menginkubasi gel pada suhu dan pH yang sesuai dengan aktivitas enzim. Daya katalitik enzim pada metode ini divisualisasikan dengan merendam gel ke dalam larutan pewarna coomasie briliant blue hingga terbentuk fraksi atau pita bening (Baehaki et al. 2012).

Karakterisasi Kolagenase Bacillus lichenifromis F11.4 Pola Peptida dan Elektroforesis Kolagenase

Berdasarkan hasil skrining diketahui bahwa kesepuluh isolat yang digunakan potensial sebagai penghasil kolagenase. Salah satu isolat, yaitu Bacillus licheniformis F11.4 kemudian ditumbuhkan pada media yang diperkaya dengan kolagen (ASC) sebesar 15% dan diinkubasi pada kondisi yang sama dengan proses skrining. Kolagenase yang diperoleh kemudian dianalisa berat molekulnya dan kemampuannya memecah kolagen dengan metode SDS-PAGE. Hasil analisa berat molekul kolagenase dan kemampuan memecah substrat kolagen dengan metode SDS-PAGE dapat dilihat pada Gambar 8. Kolagenase dari Bacillus licheniformis F11.4 dipilih untuk dikarakterisasi disebabkan bakteri Bacillus licheniformis F11.4 merupakan suatu bakteri yang unik. Bacillus licheniformis

F11.4 adalah hasil mutasi dari bakteri Bacillus licheniformis F11 yang memiliki aktivitas protease tinggi akan tetapi kehilangan aktivitas kitinasenya (Waldeck et al. 2006). Hasil mutasi Bacillus licheniformis F11, yaitu penghilangan gen chiA

dan chiB, menghasilkan Bacillus licheniformis F11.4 yang kehilangan operon pembentukan poliglutamat (∆pga) dan chiBA (Hoffmann et al. 2010). Selain itu,

Bacillus lichenifornis F11.4 merupakan golongan bakteri gram positif yang sifatnya tidak patogen, sedangkan Streptropomonas sp. merupakan bakteri gram negatif dan telah dilaporkan bersifat patogen.

Gambar 8 menunjukkan bahwa berat molekul kolagenase Bacillus licheniformis F11.4 adalah 15 kDa. Pada Gambar 8 kolagen hasil ekstraksi dari ikan gabus, kolagenase, serta kompleks ASC dan kolagenase dianalisa menggunakan SDS-PAGE dengan gel pemisah sebesar 12%. Tujuan penggunaan gel pemisah 12% adalah untuk melihat pola pemecahan kolagenase terhadap kolagen. Oleh karena itu, pada line 2 dari Gambar 8, pita kolagen yang dihasilkan tidak sama dengan pita kolagen pada gel pemisah 7.5% (Gambar 4; line 2). Hasil inkubasi ASC dan kolagenase Bacillus licheniformis F11.4 menunjukkan terbentuknya pita-pita baru. Pita-pita baru tersebut menunjukkan bahwa kolagenase mampu menghidrolisis kolagen (ASC) dari kulit ikan gabus. Pita-pita dominan yang terbentuk memiliki ukuran berat molekul yang lebih kecil dibandingkan kolagen, yaitu 62, 51, 44, 37, 32, dan 25 kDa. Hasil SDS-PAGE peptida kolagen juga menunjukkan bahwa terjadi penurunan intesitas ketebalan pita pada struktur α. Hal tersebut menunjukkan bahwa kolagenase dari Bacillus licheniformis F11.4 memiliki kemampuan memecah struktur α dari kolagen

(ASC).

Mekanisme hidrolisis kolagen oleh kolagenase Bacillus licheniformis F11.4 belum sepenuhnya diketahui. Namun, berdasarkan hasil penelitian pada kolagenase dari Clostridium histolyticum diketahui bahwa kolagenase memiliki domain katalitik yang mengandung Zn dan tergolong ke dalam metaloprotease. Selain itu, kolagenase dari Clostridium histolyticum memiliki dua domain lain yang dikenal dengan Collagen Binding Domain (CBD) dan Polycystic Kidney Disease-like Domain (PKD) (Fields 2013). Ketiga domain tersebut sangat berperan aktif di dalam hidrolisis molekul kolagen. Collagen Binding Domain

(CBD) berperan di dalam mengenali struktur triple helix dari kolagen, PKD berperan di dalam mempersiapkan molekul kolagen dengan cara mengembangkan

struktur triple helix akan tetapi tidak berikatan atau menempel pada bagian molekul kolagen, sedangkan domain katalitik merupakan bagian dari molekul kolagenase yang akan menempel pada molekul kolagen dan selanjutnya akan memotong kolagen pada titik-titik tertentu (Brandstetter dan Eckhard 2011).

Gambar 8. SDS-PAGE kolagenase dari Bacillus licheniformis F11.4. Gel pemisah sebesar 12% dan gel penahan 4%. Marker (1); Kolagen B (2); Kompleks ASC (Acid Soluble Collagen) dan kolagenase

Bacillus licheniformis F11.4 (3); Kolagenase Bacillus licheniformis F11.4.

Berat molekul kolagenase dari sumber yang berbeda telah banyak diteliti, diantaranya kolagenase dengan ukuran 125 kDa dari B.subtilis FS-2 (Hiroko dan Kim 1999); 120 dan 29 kDa dari B.licheniformis N22 (Asdornnithee et al. 1994); 42.8 kDa dari Bacillus cereus (Sela et al. 1998); 58.64 kDa dari B.pumilus (Wu et al. 2010); 33 dan 19.8 kDa dari Pseudomonas sp. (Hisano et al. 1989). Variasi dari berat molekul kolagenase disebabkan oleh proteolisis dari molekul kolagenase yang lebih besar (Bond dan Wart 1984), dimana enzim yang diamati pada penelitian ini merupakan bentuk terkecil dari molekul enzim.

Gambar 9 menunjukkan bahwa enzim ekstraseluler dari Bacillus licheniformis F11.4 mampu menghidrolisis substrat lain selain kolagen, yaitu fibrinogen dan kasein. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat fraksi-fraksi kolagenase Bacillus licheniformis F11.4 yang mampu menghidrolisis fibrinogen dan kasein. Namun, keberadaan kolagen pada media pertumbuhan mampu menginduksi fraksi-fraksi protease yang lebih aktif terhadap kolagen. Aktivitas fibrinolitik yang diperoleh dari kolagenase ini sangat penting untuk membuka peluang aplikasi kolagenase sebagai trombolyticagent pada bidang medis.

Kemampuan memecah fibrinogen dan kasein oleh kolagenase Bacillus licheniformis ditunjukkan dengan terbentuknya pita-pita baru dengan berat molekul yang lebih kecil. Hasil SDS-PAGE fibrinogen menunjukkan bahwa terdapat dua pita dominan dari fibrinogen yang memiliki berat molekul 63 dan 56 kDa. Kedua pita tersebut masing-masing terdeteksi sebagai rantai α dan . Setelah

97 kDa 66 kDa 45 kDa 30 kDa 20 kDa 4 2 3 1

97 kDa 66 kDa

45 kDa

30 kDa

20 kDa

proses inkubasi dengan kolagenase Bacillus licheniformis F11.4 dan fibrinogen terbentuk pita-pita baru dengan berat molekul 49, 41 dan 38 kDa. Pada kasein terdapat tiga band dominan yang memiliki berat molekul 45, 38 dan 34 kDa. Proses inkubasi kasein dan kolagenase Bacillus licheniformis F11.4 menghasilkan peptida baru dengan ukuran berat molekul yang lebih kecil, yaitu 22, 20, 18, 16, 15 dan 14 kDa.

Gambar 9. SDS-PAGE kolagenase Bacillus licheniformis F11.4 pada berbagai substrat. Gel pemisah sebesar 12% dan gel penahan 4%. Marker (1); Fibrinogen (2); Kompleks kolagenase dan fibrinogen (3); Kasein (4); Kompleks kolagenase dan kasein (5).

Suhu Optimum

Penentuan suhu optimum kolagenase Bacillus licheniformis F11.4 dilakukan dengan mereaksikan kolagenase dengan kolagen ASC pada berbagai tingkatan suhu. Umumnya enzim memiliki aktivitas maksimum pada suhu tertentu, aktivitas enzim akan semakin meningkat dengan bertambahnya suhu hingga suhu optimum tercapai. Setelah itu, kenaikan suhu lebih lanjut akan menurunkan aktivitas enzim. Peningkatan aktivitas kolagenase pada suhu 400C hingga 500C dikarenakan terjadi peningkatan energi kinetik kolagen dan kolagenase. Hal tersebut menyebabkan energi untuk menempelkan enzim pada substrat bertambah sehingga jumlah enzim yang bereaksi dengan substrat meningkat per unitnya. Sebaliknya, terjadinya penurunan aktivitas kolagenase seiring meningkatnya suhu inkubasi disebabkan kolagenase mengalami denaturasi. Denaturasi pada kolagenase menyebabkan kolagenase kehilangan bentuknya sehingga kolagen tidak dapat terikat pada sisi katalitik enzim. Gambar 10 menunjukkan pengaruh suhu terhadap aktivitas kolagenase kasar dan kolagenase semi murni dari Bacillus licheniformis F11.4.

Kolagenase Bacillus licheniformis F11.4 memiliki suhu optimum pada 400C

hingga 500C yang digolongkan ke dalam termostabil moderat. Suhu optimum kolagenase Bacillus licheniformis F11.4 sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kolagenase dari Streptomyces parvulus, yaitu 370C (Sakurai et al. 2009). Suhu

optimum kolagenase Bacillus licheniformis F11.4 lebih rendah dibandingkan

3

2 4 5

dengan Bacillus sp. MO-1 yang memiliki suhu optimum 70-75 0C (Okamoto et al.

2001).

Gambar 10. Pengaruh suhu terhadap aktivitas kolagenase Bacillus licheniformis

F11.4. Aktivitas kolagenase diukur menggunakan buffer fosfat pH 8 dengan substrat ASC (Acid Soluble Collagen).

Gambar 10 menunjukkan bahwa aktivitas kolagenase semi murni masih tetap terjaga pada kisaran suhu 30 hingga 700C jika dibandingkan dengan aktivitas kolagenase kasar. Hal tersebut dapat disebabkan oleh penambahan garam amonium sulfat yang mampu menjaga stabilitas molekul enzim sehingga kolagenase tidak kehilangan aktivitasnya meskipun suhu ditingkatkan hingga 700C. Garam amonium sulfat yang ditambahkan dengan tingkat kejenuhan sebesar 50% berperan didalam mempertahankan stabilitas enzim dengan cara meningkatkan kekuatan ion larutan (Scopes 1987). Kisaran suhu aktivitas kolagenase semi murni yang cukup luas sangat memungkinkan untuk mengaplikasikan kolagenase semi murni pada industri - industri.

pH Optimum

Penentuan pH optimum kolagenase Bacillus licheniformis F11.4 dilakukan dengan mereaksikan kolagenase pada berbagai tingkatan pH. Umumnya enzim memiliki aktivitas maksimum pada pH tertentu. Enzim memiliki banyak gugus fungsi yang dapat terionisasi sehingga perubahan pH dapat mempengaruhi bentuk enzim dan kemampuannya dalam mengikat substrat. Profil aktivitas pH dari suatu enzim menunjukkan pH dimana gugus pemberi atau penerima proton pada sisi katalitik enzim berada pada kondisi ionisasi yang diinginkan. Pengukuran pH optimum kolagenase Bacillus licheniformis F11.4 dilakukan pada kisaran pH 3 hingga 9. Gambar 11 menunjukkan pengaruh pH terhadap aktivitas kolagenase dari Bacillus licheniformis F11.4.

0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 0 10 20 30 40 50 60 70 80 A kt iv itas E n zi m ( U/m l) Suhu (0C) Kolagenase kasar Kolagenase Semi Murni

Hasil pengujian aktivitas kolagenase Bacillus licheniformis F11.4 pada berbagai tingkatan pH menunjukkan bahwa aktivitas tertinggi untuk kolagenase kasar dan kolagenase semi murni diperoleh ketika reaksi berlangsung pada pH 8-9 (Gambar 11) sehingga kolagenase Bacillus licheniformis F11.4 digolongkan ke dalam protease alkali. Kondisi asam menyebabkan terjadi perubahan komposisi muatan asam amino pada sisi katalitik kolagenase sehingga kolagen tidak dapat menempel pada sisi katalitik enzim. Molekul enzim merupakan suatu protein sehingga pada kondisi terlarut molekul enzim cenderung mudah berinteraksi dengan pelarutnya. Perubahan kondisi optimum mampu mempengaruhi sisi aktif enzim, akibatnya penurunan aktivitas dapat terjadi dengan cepat. Fraksi kolagenase semi murni menunjukkan aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kolagenase kasar, dimana garam amonium sulfat memiliki efek stabil terhadap beberapa jenis enzim karena tidak mempengaruhi struktur protein (Scopes 1987). pH optimum dari kolagenase Bacillus licheniformis F11.4 yang ditumbuhkan pada media yang mengandung ASC berbeda dengan pH optimum yang diperoleh ketika Bacillus licheniformis F11.4 ditumbuhkan pada media yang mengandung WSC, dimana pH optimum diperoleh pada kondisi netral (Baehaki et al. 2012).

Dokumen terkait