• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi dan DeskripsiIkan Gindara

Ikan gindara pada studi ini diperoleh dari wilayah perairan selatan Jawa yang didaratkan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Ikan gindara bernama populer escolar, namun bernama lokal jeladin di wilayah Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Ikan gindara merupakan ikan yang berasal dari famili gemplidae yang tersebar di daerah beriklim tropis (Nakamura dan Parin 1993). Klasifikasi ikan gindara menurut Nakamura dan Parin (1993) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Gemplydae Genus : Lepidocybium

Spesies : Lepidocybium flavobrunneum

Karakteristik ikan gindara yang diamati pada studi ini memiliki mata besar, kulit berwarna coklat kehitaman dengan permukaan halus tanpa sisik. Ikan ini memiliki bentuk mulut terminal, yaitu terletak di ujung hidung dan memiliki gigi yang runcing. Pengamatan dihasilkan pula bahwa ikan gindara memiliki daging berwarna putih dengan tekstur lunak dan berminyak. Penampakan morfologi ikan gindara dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Ikan gindara (Lepidocybium flavobrunneum)

Ikan gindara yang diperoleh merupakan hasil tangkapan samping (by-catch) para nelayan setempat.Hal ini serupa dengan escolar di Amerika Serikat menurut Levesque (2010); Brendtro et al. (2008); dan Milessi et al. (2002) yang

11 menyatakan bahwa di Amerika Serikat, escolar merupakan salah satu contoh spesies by-catch yang telah mendapat perhatian berupa penelitian kecil dari lembaga perikanan.

Ikan gindara yang digunakan pada studi ini ditangkap menggunakan tuna

longline dengan kedalaman kurang dari 50 meter. Hal ini berkaitan dengan habitat ikan ini adalah laut dalam yang sebagian besar berada pada zona continental slope, yaitu pada kedalaman (200-885) meter, namun pada malam hari ikan ini bermigrasi vertikal ke atas menuju kolom perairan untuk mencari makanan berupa cumi-cumi, ikan bramids,trachipterids, dan crustacean (Nakamura dan Parin 1993). Hal ini sesuai dengan pernyataan Kerstetter et al. (2008), ikan gindara ditangkap menggunakan tuna long-line pada kedalaman kurang dari 50 meter pada malam hari.

Morfometrik Ikan Gindara

Hasil pengukuran morfometrik ikan gindara dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Data morfometrik ikan gindara

Parameter Ikan gindara

Panjang total (cm) 58,08±11,28

Tinggi (cm) 9,2±2,08

Lebar (cm) 9,2±1,52

Berat (gram) 1.634±674,19

*Menggunakan sampel 10 ekor ikan gindara

Tabel 1 menunjukkan bahwa ikan gindara yang digunakan pada studi ini memiliki rata-rata panjang 58,08 cm, tinggi 9,2 cm, lebar 9,2 cm, dan berat 1.634 gram. Panjang dan berat ikan gindara memiliki keragaman, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai standar deviasi yang tinggi secara berturut-turut yaitu 11,28 dan 674,19. Nurjanah et al. (2011) menyatakan bahwa karakteristik biota perairan dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, habitat, dan makanan. Karakteristik biota perairan dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, habitat, dan makanan.

Rendemen Ikan Gindara

Hasil studi menunjukkan bahwa rendemen daging ikan gindara sebesar 65,31±16,13% dan rendemen jeroan sebesar 6,53±2,16%. Rendemen tertinggi terdapat pada bagian daging sehingga pemanfaatan daging ikan gindara dapat menjadi sumber pangan yang sangat penting. Hal ini mendorong penggunaan bagian daging ikan gindara sebagai bahan baku untuk ekstraksi taurin yang dilakukan pada studi ini. Pemanfaatan daging ikan gindara belum optimal dilakukan. Daging ikan gindara dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat pesisir pantai selatan Jawa khususnya Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat sebagai bahan untuk pembuatan sup ikan gindara. Rendemen daging ikan gindara kemudian dibandingkan dengan rendemen daging beberapa ikan laut dalam. Hasil penelitian Jayanti (2008) mengenai rendemen daging beberapa ikan laut dalam dapat dilihat pada Tabel 2.

12

Tabel 2 Rendemen daging ikan laut dalam

Spesies ikan laut dalam Rendemen daging (%)

Antigonia capros Antigonia rubicund Caelorinchus smithi Coryphaenoides sp. Diretmoides pauciradiatus Diretmoides veriginae Lamprogrammus niger Neoscopelus microchir Setarches guentheri Zenopsis conchifer 31,25 32,56 30,16 36,22 14,94 66,94 35,48 33,33 32,94 33,82 Sumber: Jayanti (2008)

Rendemen daging ikan gindara lebih tinggi jika dibandingkan dengan ikan laut dalam lainnya, namun spesies Diretmoides veriginae memiliki rendemen daging lebih tinggi dibandingkan dengan ikan gindara. Perbedaan rendemen dipengaruhi oleh perbedaan jenis, umur, ukuran, habitat, dan asupan makanan ikan. Nurjanah et al. (2011) menambahkan bahwa besar rendemen dari ikan dipengaruhi oleh pola pertumbuhan ikan tersebut, sedangkan pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis ikan, jenis kelamin, umur ikan,

fishing ground, musim, dan jenis makanan yang tersedia. Komposisi kimia Ikan Gindara

Hasil studi komposisi kimia ikan gindara dan ikan tuna (Thunnus sp.) yang merupakan ikan pelagis sebagai pembanding ikan gindara dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi kimia ikan gindara dan tuna

Komposisi kimia Ikan gindara Ikan tuna

Kadar air (%) 63,38 70,58 Kadar abu (%) 0,59 1,30 Lemak (%) 18,34 1,01 Protein (%) 16,40 22,00 Karbohidrat (%) 1,29 5,11 Kadar air

Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar air ikan gindara sebesar 63,38%. Kadar air pada ikan gindara yang digunakan pada studi ini memiliki kisaran yang sama dengan kadar air pada ikan gindara yang digunakan pada studi Pattaravivat et al. (2008), yaitu sebesar 63,20%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Karl dan Rehbein (2004) yang menyatakan bahwa kadar air ikan gindara berkisar antara (61-65)% dari total berat tubuhnya.

Kadar air yang terdapat pada ikan gindara lebih rendah dari pada kadar air ikan tuna. Perbedaan keduanya disebabkan kondisi lingkungan perairan. Nybakken (1992) menyatakan bahwa karakteristik laut dalam memiliki salinitas tinggi dengan nilai lebih dari 34,2 permil dengan kelarutan garam anorganik yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan peristiwa hipotonik pada ikan, yaitu

13 keluarnya air dari dalam tubuh ikan menuju larutan garam. Cara untuk menjaga agar tubuh tetap dalam kondisi isotonik, organisme laut dalam beradaptasi dengan melakukan osmoregulasi dengan meminum air laut sebanyak-banyaknya dan sedikit mengekskresikan urin, sehingga air laut diserap oleh faring dan insang kemudian masuk ke dalam tubuh ikan sebagai air. Hal tersebut berkaitan pula dengan nilai water holding capacity dari otot ikan yang akan mempengaruhi kandungan air dalam tubuh ikan sehinggamenyebabkan kadar air pada tubuh ikan laut dalam lebih rendah dari pada ikan pelagis.

Kadar abu

Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar abu ikan gindara sebesar 0,59%. Kadar abu ikan gindara yang digunakan pada studi ini memiliki kisaran serupa dengan ikan gindara yang digunakan pada studi Pattaravivat et al. (2008) yaitu sebesar 0,8%. Karl dan Rehbein (2004) menyatakan bahwa kadar abu ikan gindara berkisar antara (0,8-0,9)%. Kadar abu pada ikan gindara lebih rendah dari pada ikan tuna. Hal ini disebabkan oleh perbedaan jenis dan habitat ikan. Rosa dan Nunens (2004) menyatakan bahwa tinggi rendahnya kadar abu disebabkan oleh perbedaan jenis organisme dan lingkungan hidup organisme tersebut. Masing-masing organisme memiliki kemampuan yang berbeda dalam meregulasikan dan mengabsorbsi logam, hal ini akan mempengaruhi kadar abu dalam bahan.

Kadar lemak

Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar lemak ikan gindara sebesar 18,34%. Kadar lemak ikan gindara yang digunakan pada studi ini memiliki kisaran yang sama dengan ikan gindara yang digunakan pada studi Pattaravivat et al. (2008) yaitu sebesar 22,08%. Ikan gindara memiliki kadar lemak yang lebih tinggi dari pada ikan tuna. Hal ini disebabkan oleh perbedaan spesies, asupan makanan dan lingkungan perairan. Pattaravivat et al. (2008) menyatakan bahwa kondisi suhu lingkungan laut dalam yang ekstrem mengakibatkan suhu tubuh yang rendah pada organisme laut dalam. Suhu tubuh rendah ditunjang dengan lambatnya proses metabolisme sehingga mengakibatkan timbunan lemak yang terdapat pada organisme laut dalam lama terdegradasi.

Kadar protein

Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar protein ikan gindara sebesar 16,40%. Kadar protein ikan gindara yang digunakan pada studi ini memiliki kisaran serupa dengan kadar protein pada ikan gindara yang digunakan pada studi Pattaravivat et al. (2008), yaitu sebesar 16,8%. Karl dan Rahbein (2004) menyatakan bahwa kadar protein ikan gindara berkisar antara (16-18)%.

Kadar protein suatu organisme perairan dipengaruhi oleh tinggi kedalaman habitat (Nybakken 1992). Kadar protein ikan gindara lebih rendah dari pada ikan tuna. Hal ini disebabkan perbedaan spesies, umur, asupan makanan, dan kondisi habitat. Kadar protein ikan gindara masih termasuk dalam kategori ikan yang berprotein tinggi. Santoso (1998) menyatakan bahwa ikan yang memiliki protein lebih dari 15% termasuk dalam kategori ikan berprotein tinggi.

14

Komposisi asam amino

Hasil studi komposisi asam amino ikan gindara disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi asam amino ikan gindara

Asam amino Hasil (% w/w)

Aspartat 1,44 Glutamat 2,04 Serin 0,58 Histidin* 0,89 Glisin 0,57 Treonin* 0,66 Arginin* 0,83 Alanin 0,78 Tirosin 0,50 Metionin* 0,43 Valin 0,74 Fenilalanin* 0,54 Isoleusin* 0,70 Leusin* 1,08 Lisin* 1,21

Total asam amino 13,01

Keterangan: (*) asam amino esensial

Asam glutamat merupakan asam amino bebas yang memberikan rasa gurih (Okuzumi dan Fujii 2000). Tabel 4 menunjukkan bahwa asam amino glutamat merupakan asam amino tertinggi pertama pada ikan gindara yaitu sebesar 2,04%. Asam glutamat merupakan asam amino non-esensial dalam tubuh mahluk hidup. Dominasi asam amino glutamat pada daging ikan gindara mengakibatkan daging ikan gindara memiliki rasa gurih.

Metionin merupakan asam amino esensial yang mengandung atom sulfur dan terdapat pada protein hewani (Kusnandar 2010). Metionin dan sistein melalui reaksi dekarboksilasi dapat disintesis menjadi taurin (Okuzumi dan Fujii 2000). Tabel 4 menunjukkan bahwa asam amino metionin sebesar 0,43%. Kandungan asam amino metionin menjadi salah satu sumber taurin pada ikan gindara.

Taurin pada Daging Ikan Gindara

Hasil analisis taurin daging ikan gindara dan daging tuna dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Kadar taurin daging ikan gindara dan tuna. ikan gindara; ikan tuna 0 100 200 300 400 500 jenis ikan K ada r ta ur in (m g /kg ) 308,55 442,01

15 Gambar 4 menunjukkan bahwa daging ikan gindara memiliki kadar taurin sebesar 442,01 mg/kg, sedangkan ikan tuna memiliki kadar taurin sebesar 308,55 mg/kg. Kadar taurin ikan gindara lebih tinggi dari pada ikan tuna. Perbedaan ini disebabkan oleh kondisi habitat kedua jenis ikan tersebut. Ikan gindara merupakan ikan laut dalam yang berhabitat di laut dengan kedalaman lebih dari 200 meter. Nybakken (1992) menyatakan bahwa karakteristik perairan ikan gindara yang merupakan laut dalam memiliki salinitas tinggi dengan nilai lebih dari 34,2 permil dengan kelarutan garam anorganik yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan peristiwa hipotonik pada ikan. Kondisi ekstrem laut dalam memungkinkan ikan gindara melakukan adaptasi dengan cara menghasilkan metabolit berupa taurin untuk keseimbangan proses osmoregulasi. Palefsky (1988) menjelaskan bahwa taurin diimplikasikan sebagai osmoregulator pada beberapa jaringan ikan. Shiau et al. (1997) menambahkan bahwa akumulasi taurin pada organisme laut merupakan fungsi utama osmoefektor selular sebagai bentuk adaptasi osmoregulasi.

Ekstraksi Taurin dan Pembuatan Produk Crude Taurine Powder

Ekstraksi taurin yang dilakukan pada studi ini mengacu pada metode Liu dan District (2006) yang dimodifikasi. Studi ini menggunakan metode pengeringan beku untuk pembuatan produk. Alasan penggunaan metode pengeringan beku, yaitu untuk menghasilkan produk yang stabil dalam hal warna, bentuk, tekstur, flavor, dan kandungan gizi khususnya asam amino berupa taurin. Hariyadi (2013) menyatakan bahwa salah satu keunggulan penggunaan metode pengeringan beku adalah hasil produk yang tidak menyebabkan permukaan keriput, lebih porus, densitas lebih rendah, mutu flavor dan kandungan gizi lebih mudah dipertahankan. Produk yang dihasilkan pada studi ini berupa produk taurin kasar yang berbentuk bubuk, sehingga produk hasil studi ini disebut sebagai crude taurine powder. Kadar taurin yang terdapat pada produk dengan berbagai perlakuan waktu dan suhu dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Kadar taurin produk crude taurine powder pada berbagai perlakuan suhu dan waktu; huruf-huruf yang berbeda (a,b, c, .., p) menunjukkan beda nyata, bahan baku; 30 menit; 45 menit; 60 menit; 75 menit 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 30 45 60 75 K ada r ta ur in (m g/ kg) Suhu ( °C) a b c d e f g h m n o p ck dl ai bj

16

Gambar 5 menunjukkan bahwa kadar taurin mengalami peningkatan setelah mendapatkan proses ekstraksi. Hal ini disebabkan karena ketika sampel berupa daging ikan gindara dicampur dengan pelarut berupa air, maka pelarut menembus kapiler-kapiler dalam bahan padat dan melarutkan ekstrak berupa taurin. Larutan ekstrak taurin terkonsentrasi pada filtrat. Hasil studi (lampiran 5) menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi pada ekstraksi mampu meningkatkan kadar taurin sebesar (43,16-224,70)%.

Hasil analisis statistik (lampiran 7) menunjukkan bahwaminimal salah satu dari perlakuan suhu dan waktu mempengaruhi kadar taurin yang dihasilkan (P<0.05). Hasil analisis statistik (lampiran 7) menunjukkan pula bahwa minimal satu pasangan interaksi taraf perlakuan suhu dan waktu mempengaruhi kadar taurin yang dihasilkan, sehingga analisis dilanjutkan pada uji lanjut Tukey.

Hasil uji lanjut Tukey (lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan suhu 45 °C dan 75 °C memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar taurin yang dihasilkan, namun perlakuan suhu 30 °C tidak berbeda nyata terhadap suhu 60 °C, namun kedua perlakuan tersebut berbeda nyata terhadap perlakuan suhu lainnya. Hasil uji lanjut Tukey (lampiran 9) menunjukkan bahwa perlakuan waktu memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar taurin yang dihasilkan, dimana kadar taurin antar perlakuan saling berbeda nyata. Kadar taurin tertinggi terdapat pada produk dengan perlakuan suhu 45 °C selama 45 menit sebesar 1.435,22±0,17 mg/kg. EFSA (2012) menyatakan bahwa taurin larut dalam air dimana 10 gram taurin larut dalam 100 mL air pada suhu 25 °C, namun taurin tidak larut dalam etanol, aseton, dan etil eter. Hasil studi Gu et al. (2003) menunjukkan bahwa pada pelarut air dengan suhu 25 °C taurin larut dengan konsentrasi 10,48 gram/100gram serta pada suhu yang sama taurin tidak bersifat larut dalam pelarut etanol. Hasil penelitian EFSA (2012) dan Gu et al. (2003) menunjukkan bahwa taurin dapat larut dalam air pada suhu minimal 25 °C. Faktor lain pendukung suhu 45 °C sebagai suhu optimal kelarutan taurin pada penelitian ini diduga disebabkan oleh adanya bantuan aktivitas optimum enzim protease yang dapat membuka jaringan yang memerangkap taurin dengan cara mendegradasi jaringan pada daging. Sajuthi et al. (2010) menyatakan bahwa aktivitas protease berada pada kisaran suhu (35-50) °C, dan optimal pada suhu 45 °C.

Taurin merupakan asam amino bebas yang dibutuhkan dalam organ tubuh manusia termasuk jantung, otak, hati, dan terlibat dalam beberapa proses fisiologi krusial (Okuzumi dan Fujii 2000). Eilersten et al. (2000) menyebutkan bahwa keterlibatan taurin dalam proses fisiologi, yaitu neuromodulasi dalam sistem saraf, produksi energi, perlindungan terhadap oksidasi, dan imunomodulasi. EFSA (2012) menyatakan bahwa taurin digunakan sebagai bahan aktif dalam minuman energi dan terdaftar sebagai bahan dalam produk kosmetik sebagai agen penyangga (Commission decision 2006/257/EEC). Taurin telah digunakan secara klinis dalam pengobatan penyakit kardiovaskular (Oudit et al. 2004; Xu et al. 2008), hiperkolesterolemia (El Idrissi et al. 2003), penyakit Alzheimer (Louzada

et al. 2004; Santa-Maria et al. 2007), gangguan hati (Gupta 2006), gangguan okular dan diabetes (Chauncey et al. 2003; Franconi et al. 2001; Hansen 2001).

17 Rendemen Produk

Rendemen produk diperoleh dari perhitungan antara berat sampel akhir produk dibagi dengan berat sampel awal ekstraksi. Rata-rata Rendemen produk

crude taurine powder sebesar 5,7±1,87%. Presentase rendemen produk dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satu faktor tersebut adalah penyusutan kadar air akibat pengeringan beku. Penelitian Tafu dan Matsuda (2001) mengenai ekstraksi taurin dan mineral pada oyster menghasilkan rendemen taurin sebesar 3,50%.

Hasil evaluasi deskriptif produk

Evaluasi deskriptif produk dilakukan pada produk crude taurine powder

terpilih dari perlakuan terbaik. Produk crude taurine powder dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Produk crude taurine powder

Gambar 6 menunjukkan bahwa secara deskriptif penampakan produk

crude taurine powder terlihat berupa bubuk kering, berwarna kuning kecoklatan, bertekstur renyah, beraroma agak menyengat seperti ikan yang dikeringkandan memiliki rasa gurih. Faktor penampakan, warna, dan tekstur produk crude taurine powder merupakan hasil dari proses pengeringan beku. Hariyadi (2013) menyatakan bahwa proses pengeringan beku terjadi melalui mekanisme sublimasi yang terjadi pada suhu dingin, dengan demikian uap air dapat berdifusi dengan baik dari bagian basah ke udara lingkungan, sehingga dihasilkan produk yang kering dengan baik (tanpa kerak) dan tanpa mengalami proses gelatinisasi, karamelisasi, serta denaturasi. Profil produk yang kering menghasilkan tekstur renyah.

Aroma produk crude taurine powder yang agak menyengat seperti ikan yang dikeringkan berasal dari filtrat bahan baku berupa ikan gindara. Produk yang dihasilkan merupakan produk taurin kasar yang masih mengandung komponen kompleks gizi lainnya yang terdapat pada ikan selain taurin, selanjutnya komponen gizi yang masih kompleks tersebut mendapat perlakuan ekstraksi yang mengalami peningkatan suhu dan perlakuan pengeringan beku. Rasa produk yang gurih berasal dari kandungan asam amino bahan baku berupa asam amino glutamat yang larut dalam pelarut. Okuzumi dan Fujii (2000) menyatakan bahwa asam amino glutamat merupakan asam amino bebas yang memberikan rasa gurih pada produk.

18

Komposisi Kimia Produk

Produk crude taurine powder yang dihasilkan merupakan produk taurin kasar yang berbentuk bubuk, sehingga masih terdapat komponen kompleks gizi lainnya selain taurin. Komposisi kimia produk dari perlakuan terbaik dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi kimia produk crude taurine powder

Parameter Kadar terukur (% bobot basah)

Kadar air 10,16

Kadar abu 9,44

Kadar protein 76,91

Kadar lemak 3,48

Tabel 5 menunjukkan bahwa kadar airproduk crude taurine powder

sebesar 10,16%. Kadar air produk menunjukkan penurunan dari kadar air awal bahan baku sebesar 55,4%. Penurunan ini diakibatkan oleh adanya perlakuan pengeringan beku. Estiaghi et al. (1997) menyatakan bahwa adanya proses pengeringan beku mengakibatkan sebagian besar air ditarik keluar dari sampel atau bahan melalui mekanisme sublimasi, sehingga produk bubuk crude taurine powder termasuk produk yang mengandung kadar air rendah. Hariyadi (2013) menambahkan bahwa keberadaan air pada bahan dapat dihilangkan baik dengan dehidrasi secara konvensional maupun mekanisme pengeringan beku (freeze drying).

Tabel 5 menunjukkan pula bahwa kadar protein produk sebesar 76,19%. Kadar protein produk mengalami peningkatan dari kadar air awal pada bahan baku sebesar 58,77%. Peningkatan ini diduga disebabkan oleh proses ekstraksi yang menggunakan pelarut air. Beberapa asam amino larut dalam pelarut air, sehingga asam amino yang larut bersama pelarut dan mengalami proses pengeringan beku terhitung sebagai kadar protein kasar. Selain itu, Hutuely et al. (1988) menyatakan bahwa hilangnya air pada proses pengeringan menyebabkan kadar protein produk lebih tinggi dari pada bahan baku awal.

Tabel 5 menunjukkan pula bahwa kadar abu produk sebesar 9,44%. Kadar abu produk mengalami peningkatan dari kadar abu awal pada bahan baku sebesar 8,47%. Peningkatan kadar abu disebabkan oleh proses pengeringan beku. Pengeringan beku mengakibatkan kadar air semakin menurun, sehingga hal ini mengakibatkan kadar abu semakin meningkat. Hutuely et al. (1988) menyatakan bahwa penurunan kadar air selama proses pengeringan mengakibatkan peningkatan kadar abu.

Dokumen terkait