• Tidak ada hasil yang ditemukan

EkstraksiTaurin Alami dari Ikan Gindara (Lepidocybium flavobrunneum) sebagai Crude Taurine Powder

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EkstraksiTaurin Alami dari Ikan Gindara (Lepidocybium flavobrunneum) sebagai Crude Taurine Powder"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

EKSTRAKSI TAURIN ALAMI DARI IKAN GINDARA

(Lepidocybium flavobrunneum) SEBAGAI

CRUDE TAURINE POWDER

SRI HAYATI

DEPAREMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ekstraksi Taurin Alami dari Ikan Gindara (Lepidocybium flavobrunneum) sebagai Crude Taurine Powder

adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Sri Hayati

(4)
(5)

ABSTRAK

SRI HAYATI. Ekstraksi Taurin Alami dari Ikan Gindara (Lepidocybium flavobrunneum) sebagai Crude Taurine Powder. Dibimbing oleh SUGENG HERI SUSENO dan NURJANAH

Ikan gindara (Lepidocybium flavobrunneum) merupakan salah satu jenis ikan laut dalam yang terdistribusi di laut tropis, salah satunya wilayah perairan selatan Jawa dan Sumatera. Ikan gindara mengandung senyawa taurin yang dapat memperbaiki fungsi fisiologis tubuh. Tujuan penelitian ini, yaitu menentukan suhu dan waktu optimum ekstraksi taurin untuk menghasilkan produk serta menentukan karakteristik produk crude taurine powder dari perlakuan ekstraksi terbaik. Sampel daging ikan gindara diekstraksi menggunakan pelarut air 1:1 (m/v) dengan berbagai perlakuan suhu (30, 45, 60, 75) °C dan waktu (30, 45, 60, 75) menit. Hasil uji taurin menunjukkan bahwa kandungan taurin ikan gindara sebesar 442,01 mg/kg, namun setelah dilakukan ekstraksi, kadar taurin mengalami peningkatan. Kadar taurin tertinggi pada produk terdapat pada perlakuan ekstraksi pada suhu 45 °C selama 45 menit dengan kenaikan kadar taurin sebesar 224,70%. Produk taurin yang dihasilkan dinamakan crude taurine powder yang memiliki karakteristik berupa bubuk kering berwarna kuning dan memiliki rasa gurih dengan komposisi kimia, yaitu kadar air 10,16%, kadar abu 9,44%, kadar protein 76,91%, dan kadar lemak 3,48%.

Kata kunci: crude taurine powder, ekstraksi, ikan gindara, ikan laut dalam, taurin

ABSTRACT

SRI HAYATI. Natural Taurine Extraction of Escolar (Lepidocybium flavobrunneum) as Crude Taurine Powder. Supervised by SUGENG HERI SUSENO and NURJANAH

Escolar (Lepidocybium flavobrunneum) is one species of deep sea fish distributed in tropical seas, one of which in Southern Ocean of Java and Sumatra. Escolar contain taurine compounds that can improve the body's physiological functions . The aim of this study are to determine the optimum temperature and time extraction to produce the product, and to determine the characteristics of the crude taurine powder from the best extraction treatment. The samples of escolar taurine level concentration 224,7%. The final product is called crude taurine powder which has the characteristics such as dry powder, the color is yellow and has a savory flavor. The chemical compositions were water content 10,16%, ash content 9,44%, protein content 76,91%, and fat content 3,48% .

(6)
(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan

EKSTRAKSI TAURIN ALAMI DARI IKAN GINDARA

(Lepidocybium flavobrunneum) SEBAGAI

CRUDE TAURINE POWDER

SRI HAYATI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(10)
(11)

Judul Skripsi : EkstraksiTaurin Alami dari Ikan Gindara

(Lepidocybium flavobrunneum) sebagai Crude Taurine Powder

Nama : Sri Hayati NIM : C34090009

Program studi : Teknologi Hasil Perairan

Disetujui oleh

Dr Sugeng Heri Suseno, SPi, MSi Pembimbing I

Prof Dr Ir Nurjanah, MS Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Joko Santoso, MSi Ketua Departemen

(12)
(13)
(14)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Oktober 2013 dengan judul “Ekstraksi Taurin Alami dari Ikan Gindara (Lepidocybium flavobrunneum) sebagai Crude Taurine Powder”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada :

1. Dr Sugeng Heri Suseno, SPi, MSi selaku dosen pembimbing I skripsi, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis

2. Prof Dr Nurjanah MS selaku dosen pembimbing II, atas segala arahan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis

3. Dr Sri Purwaningsih, SPi, MSi selaku dosen penguji atas segala saran dan kritik yang diberikan kepada penulis untuk menyempurnakan skripsi

4. Dr Eng Uju, SPi, MSi selaku perwakilan komisi akademik Departemen Teknologi Hasil Perairan

5. Dr Joko Santoso, SPi, MSi selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan 6. Staf dosen dan administrasi Departemen Teknologi Hasil Perairan

7. Ibu dan Bapak yang telah memberikan cinta, kasih sayang, dukungan materi maupun moril serta doanya kepada penulis

8. Teman seperjuangan THP angkatan 46, 45, 47, dan 48 atas segala bantuan dan motivasinya.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Februari 2014

(15)
(16)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

Ruang Lingkup Penelitian ... 2

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 3

Bahan Penelitian ... 3

Peralatan Penelitian ... 4

Prosedur Penelitian ... 4

HASIL DAN PEMBAHASAN Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Gindara ... 10

Morfometrik Ikan Gindara ... 11

Rendemen Ikan Gindara ... 11

Komposisi Kimia Ikan Gindara ... 12

Komposisi Asam Amino ... 14

Taurin pada Daging Ikan Gindara ... 14

Ekstraksi Taurin dan Pembuatan Produk Crude Taurine Powder ... 15

Rendemen Produk ... 17

Hasil Evaluasi Deskriptif Produk ... 17

Komposisi Kimia Produk ... 18

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 18

Saran ... 19

DAFTAR PUSTAKA ... 19

(17)

DAFTAR TABEL

1 Data morfometrik ikan gindara ... 11

2 Rendemen daging beberapa ikan laut dalam ... 12

3 Komposisi kimia ikan gindara ... 12

4 Komposisi asam amino ikan gindara ... 14

5 Komposisi kimia produk crude taurine powder ... 18

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir alur analisis bahan baku ... 4

2 Diagram alir prosedur pembuatan produk crude taurine powder... 5

3 Ikan gindara ... 10

4 Kadar taurin daging ikan gindara dan tuna ... 14

5 Kadar taurin produk crude taurine powder ... 15

6 Produk crude taurine powder ... 17

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kromatogram komposisi asam amino ikan gindara ... 22

2 Kromatogram standartaurin ... 22

3 Kromatogram taurin ikan gindara ... 23

4 Kromatogram taurin ikan tuna ... 23

5 Kadar taurin produk crude taurine powder ... 23

6 Uji normalitas data (Kolmogorov-Smirnov Z) ... 24

7 Hasil uji anova (rancangan acak faktorial) ... 24

8 Hasil uji lanjut Tukey (faktor suhu) ... 24

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Luas dan volume laut dalam diperkirakan masing-masing sebesar 85% dan 90% dari total wilayah laut di permukaan bumi (Nybakken 1992). Laut dalam dengan wilayah yang lebih luas dibandingkan wilayah pelagis dengan karakteristik (unsur fisika dan kimia) yang unik memiliki potensi yang tinggi dalam hal pemanfaatan sumber daya hayati. Ikan laut dalam merupakan sumber daya perikanan Indonesia yang telah dieksplorasi, namun pemanfaatan ikan laut dalam di Indonesia masih terbatas.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bekerja sama dengan negara Jepang melakukan penelitian yang berkaitan dengan ikan laut dalam dengan ekspedisi Kapal riset Baruna Jaya IV tahun 2004-2005 di Samudra Hindia, wilayah penelitian sekitar selatan Laut Jawa hingga barat Sumatera. Penelitian tersebut menghasilkan 529 spesies ikan laut dalam belum memiliki nama taksonomi yang terdiri atas 415 jenis ikan dan 68 jenis udang atau kepiting, serta 46 cumi-cumi (BRKP 2005). Kajian lain yang telah dilakukan mengenai ikan laut dalam, yaitu Suman dan Badrudin (2010) mengenai kebijakan penangkapan dan pemanfaatan sumber daya ikan laut dalam di Indonesia, Damayanti (2005) mengenai kajian awal pemanfaatan beberapa ikan laut dalam di perairan barat Sumatera sebagai sumber pangan dan obat-obatan, Suseno et al. (2006) melakukan studi mengenai kandungan gizi dan potensi antibakteri ikan laut dalam di selatan Jawa. Beberapa studi tersebut hanya terbatas pada tinjauan aspek biologis dan aspek nilai gizi serta bahan aktif, namun pemanfaatan sumber daya hayati laut dalam belum diupayakan, termasuk pengembangan produk lanjutan dari kajian karakteristik sumber daya hayati yang telah dilakukan.

Hasil penelitian Suseno et al. (2008) menunjukkan terdapatnya kandungan taurin pada beberapa spesies ikan laut dalam, yaitu Antagonia capros, Diretmoides pauciradiatus, Neoscopelus microchir, dan Zenopsis conchifer. Ikan gindara merupakan salah satu jenis ikan laut dalam yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat pesisir Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Ikan gindara bersifat musiman yang dipercaya dapat memperbaiki fungsi fisiologis tubuh dan meningkatkan vitalitas. Hal tersebut diduga bahwa ikan gindara mengandung senyawa taurin dan steroid. Hal tersebut merupakan pengalaman empiris yang perlu diteliti dan dibuktikan secara ilmiah. Pengalaman empiris dan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kandungan gizi dan komponen bioaktif ikan laut dalam merupakan dasar dalam pengembangan produk lanjutan ikan laut dalam berupa taurin alami sebagai suplemen kesehatan.

(19)

2

sebagai suplemen kesehatan. Pengembangan tersebut dilakukan dengan cara pengekstraksian taurin alami dari daging ikan gindara.

Perumusan Masalah

Pengembangan taurin di Indonesia maupun dunia didominasi oleh taurin sintetis yang berpotensi menimbulkan efek samping negatif bagi kesehatan (Tafu dan Matsuda 2001). Upaya untuk meminimalisasi efek samping tersebut dilakukan dengan cara mengekstraksi taurin yang berasal dari bahan alami, salah satunya ikan laut dalam. Abdul Karim et al. (2006) menyatakan bahwa teknologi ekstraksi yang berkembang di dunia pada umumnya menggunakan pelarut organik. Kelemahan penggunaan pelarut organik yaitu menghasilkan senyawa residu yang terbawa pada produk ekstraksi, selain itu pelarut organik berkontribusi dalam emisi industri bahan organik volatil yang termasuk kategori gas efek rumah kaca. Studi ini menggunakan teknologi ekstraksi ramah lingkungan yaitu menggunakan akuades sebagai pelarut ekstraksi sehingga dihasilkan produk yang aman bagi kesehatan dan lingkungan.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, yaitu:

a. Menentukan karakteristik ikan gindara secara fisik dan kimia, kemudian dibandingkan dengan karakteristik kimia ikan tuna sebagai ikan pelagis b. Menentukan suhu dan waktu optimum ekstraksi taurin untuk menghasilkan

produk terbaik

c. Menentukan penampakan fisik dan komposisi kimia produk crude taurine powder dari hasil perlakuan ekstraksi terbaik

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai karakteristik fisik dan kimia ikan gindara, serta memberikan informasi yang akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan pengembangan ikan laut dalam sebagai ikan layak konsumsi dan peningkatan nilai ekonomis tangkapan serta eksplorasi bahan taurin alami sebagai suplemen kesehatan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan para nelayan untuk meningkatkan taraf hidup atau perekonomian masyarakat.

Ruang Lingkup Penelitian

(20)

3 diberikan dalam upaya mencari kadar taurin tertinggi adalah ekstraksi menggunakan pelarut air dengan perbandingan 1:1 (m/v) pada berbagai perlakuan suhu (30, 45, 60, dan 75) °C serta berbagai perlakuan waktu (30, 45, 60, dan 75 ) menit. Hasil ekstraksi dilanjutkan dengan pegeringan beku sehingga menghasikan produk berupa crude taurine powder. Parameter produk yang diamati adalah kadar taurin, rendemen, evaluasi deskriptif, serta komposisi kimia produk.

METODE

Penelitian dilakukan dalam tiga tahap utama, yaitu karakterisasi bahan baku, ekstraksi dan pembuatan produk, serta karakterisasi produk. Karakterisasi bahan baku meliputi pengamatan morfologi, pengamatan morfometrik, penghitungan rendemen, analisis proksimat, taurin, dan komposisi asam amino. Pada karakterisasi bahan baku dibandingkan antara komposisi kimia dan kadar taurin ikan gindara dan ikan tuna (ikan pelagis). Penelitian tahap dua meliputi ekstraksi taurin dan pembuatan produk crude taurine powder. Ekstraksi taurin dilakukan dengan berbagai faktor perlakuan (waktu dan suhu) sebagai upaya mencari kadar taurin tertinggi. Hasil ekstraksi dilanjutkan dengan metode pengeringan beku sehingga menghasilkan produk. Tahap tiga karakterisasi produk meliputi analisis taurin, evaluasi deskriptif, penghitungan rendemen, dan analisis komposisi kimia produk.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Oktober 2013 bertempat di Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Kimia Terpadu, Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Pusat Antar Universitas, Bioteknologi Institut Pertanian Bogor, dan PT. Saraswanti Graha Indonesia, Bogor.

Bahan Penelitian

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan gindara yang berasal dari Perairan Selatan Jawa dan didaratkan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, dan ikan tuna yang diperoleh dari Pasar Anyar, Bogor. Bahan-bahan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuades, bahan-bahan analisis taurin yaitu akuabides, pereaksi Carrez, larutan buffer Na2CO3, methylamine HCl,

bahan-bahan analisis profil asam amino yaitu HCl 6 N, HCl 0,01 N, larutan ortofaltadehia (OPA), serta bahan-bahan analisis proksimat yaitu H2SO4,butiran

(21)

4

Peralatan Penelitian

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas alat preparasi, ekstraksi, pembuatan dan analisis produk. Alat-alat preparasi, yaitu baskom, nampan, pisau, freezer dan sudip. Alat untuk ekstraksi, yaitu erlenmeyer 125 mL, 200 mL, dan 250 mL, pipet tetes, gelas ukur 200 mL, kertas saring, plastik, tapis saring, blender, botol sampel, corong, corong pisah, sendok, timbangan digital, timbangan analitik, serta waterbath shaker merk Certomat WR. Alat pembuatan produk, yaitu beaker glass dan freeze dryer merk Labconco, alat-alat analisis, yaitu oven, tanur, tabung kjeldahl, kompor listrik, desikator, cawan, soxhlet, dan perangkat HPLC.

Prosedur Penelitian

Karakterisasi Bahan Baku

Tahap pertama studi ini meliputi karakterisasi bahan baku yang terdiri atas ikan gindara dan ikan tuna. Diagram alir karakterisasi bahan baku dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alir karakterisasi bahan baku

Ekstraksi dan pembuatan produk (Liu dan District 2006 yang dimodifikasi)

Ikan gindara yang akan diekstraksi disiapkan lalu diambil bagian daging, selanjutnya ditimbang sebanyak 100 gram, setelah itu dihaluskan menggunakan blender. Daging gindara yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam erlenmeyer serta ditambahkan akuades sebanyak 100 mL. Tahap selanjutnya dilakukan ekstraksi menggunakan waterbath shaker dengan perlakuan suhu dan waktu yang telah ditentukan dan dilakukan penyaringan tahap 1 menggunakan penyaring tapis dan kain blacu. Hasil penyaringan tahap 1 dilanjutkan dengan penyaringan tahap 2 menggunakan kertas saring, lalu dilakukan pemisahan fase air dan minyak menggunakan corong pemisah. Fase air yang terbentuk dilanjutkan dengan pengeringan beku menggunakan freeze dryer. Tahap terakhir dihasilkan produk

crude taurine powder serta dilanjutkan dengan karakterisasi produk. Ekstraksi dilakukan sebanyak dua kali ulangan. Diagram alir prosedur ekstraksi dan pembuatan produk dapat dilihat pada Gambar 2.

Ikan gindara Ikan tuna

Analisis proksimat

Analisis kadar taurin

Analisis Morfometrik

Analisis asam amino

(22)

5

Gambar 2 Diagram alir pembuatan produk crude taurine powder

Daging ikan gindara

Penimbangan

Penghalusan

Pemasukan ke dalam erlenmeyer

Fase air

Pengeringan beku

Crude taurine powder

Karakterisasi produk

Kadar taurin Rendemen Deskriptif Proksimat

Ekstraksi

Suhu (30, 45, 60, 75) °C Waktu ( 30, 45, 60, 75) menit

Penyaringan Tahap 1

Penyaringan Tahap 2

(23)

6

Prosedur Analisis

Analisis Proksimat

Analisis kadar air (AOAC 1995)

Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu (102-105) °C selama 30 menit. Cawan tersebut diletakkan dalam desikator (kurang lebih 30 menit) hingga dingin dan ditimbang hingga beratnya konstan. Tahap selanjutnya, cawan dan sampel seberat (1-2) gram ditimbang. Cawan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu (102-105) °C selama 6 jam. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan hingga dingin kemudian ditimbang. Perhitungan kadar air adalah sebagai berikut:

% Kadar air = B−C

B−A× 100%

Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram) Kadar abu (1995)

Prinsip dari analisis kadar abu yaitu untuk mengetahui jumlah abu yang terdapat pada suatu bahan terkait dengan mineral dari bahan yang dianalisis. Cawan abu porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu sekitar 105 °C selama 30 menit. Cawan abu porselen tersebut dimasukkan ke dalam desikator (30 menit), kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam cawan abu porselen. Tahap selanjutnya, dilakukan pembakaran di atas kompor listrik sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 °C selama 7 jam. Cawan dimasukkan ke dalam desikator dibiarkan sampai dingin, kemudian ditimbang. Rumus yang digunakan untuk penghitungan kadar abu adalah:

% Kadar abu = C−A

B−A × 100%

Keterangan: A= Berat cawan porselen kosong (gram)

B= Berat cawan porselen dengan sampel (gram)

C = Berat cawan porselen dengan sampel setelah dikeringkan (gram)

Kadar protein (AOAC 1995)

Analisis protein dilakukan dengan menentukan kandungan protein kasar (crude protein) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein yaitu destruksi, destilasi dan titrasi.

1. Tahap destruksi

Sampel ditimbang seberat 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjeltec. Satu butir kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 mL H2SO4.Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan

(24)

7

2. Tahap destilasi

Isi labu dituangkan ke dalam labu destilasi, lalu ditambahkan akuades sebanyak 50 mL. Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 mL. Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam Erlenmeyer 125 mL berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes

indikator (cairan methyl red dan brom cresol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh 200 mL destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer.

3. Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,09 N sampai warna larutan pada erlenmeyer berubah warna menjadi merah muda. Perhitungan kadar protein adalah sebagai berikut:

% Nitrogen = mL HCl sampel− mL HCl blanko ×0,1 N HCl ×fp ×14

mg sampel × 100%

% Kadar protein = % nitrogen x faktor konversi (6,25) Kadar lemak (AOAC 1995)

Sampel seberat 2 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan

selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet.

Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 °C dengan menggunakan pemanas listrik selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Saat tahap destilasi, pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Kadar lemak

ditentukan dengan rumus:

% Kadar lemak = W 3−W 2 W 1 ×100 %

Keterangan: W1 = Berat sampel (gram)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram)

W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)

Kadar karbohidrat (AOAC 1995)

Kadar karbohidrat diperoleh dengan menghitung selisih dari empat komponen yaitu kadar air, protein, abu dan lemak. Perhitungan kadar karbohidrat sebagai berikut:

(25)

8

Analisis Asam Amino (AOAC 1995)

Komposisi asam amino ditentukan dengan menggunakan HPLC. Analisis asam amino dengan menggunakan HPLC terdiri atas empat tahap, yaitu tahap pembuatan hidrolisat protein, pengeringan, derivatisasi, dan injeksi serta analisis asam amino.

1. Tahap pembuatan hidrolisat protein

Sampel ditimbang sebanyak 0,15 gram dan dihancurkan. Sampel yang telah hancur dihidrolisis asam menggunakan HCl 6 N sebanyak 10mL, kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 110 °C selama 24 jam. Pemanasan dalam oven dilakukan untuk menghilangkan gas atau udara yang ada pada sampel agar tidak mengganggu kromatogram yang dihasilkan dan mempercepat reaksi hidrolisis. 2.Tahap pengeringan

Sampel yang telah dioven disaring menggunakan gelas masir dan dikeringkan menggunakan rotary evaporator pada suhu 85 °C selama 30 menit. 3. Tahap derivatisasi

Larutan derivatisasi sebanyak 30 µL ditambahkan pada hasil pengeringan. Larutan derivatisasi dibuat dari campuran metanol, natrium asetat, dan trietilamin dengan perbandingan 3:3:4. Langkah selanjutnya dilakukan pengenceran dengan cara menambahkan 20 mL asetonitril atau buffer natrium asetat 1 M, kemudian didiamkan selama 20 menit, dan disaring menggunakan kertas saring Whatman. 4. Injeksi ke HPLC

Hasil saringan sebanyak 20 µL diinjeksikan ke dalam HPLC. Pemisahan semua asam amino ditunggu sampai selesai. Waktu yang diperlukan sekitar 25 menit. Perhitungan konsentrasi asam amino yang ada pada bahan dilakukan dengan pembuatan kromatogram standar dengan menggunakan asam amino yang telah siap pakai yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel. Kandungan asam amino dalam bahan dapat dihitung dengan rumus:

% Asam amino = Luas area sampel ×C ×FP ×BM ×100 %

Luas area standar × bobot sampel

Keterangan:

C = Konsentrasi standar asam amino (0,5 µmol/mL) FP = Faktor pengenceran (5mL)

BM = Bobot molekul dari masing-masing asam amino (gram/µ mol)

Analisis Taurin (AACC 1994)

Perhitungan kandungan taurin ditentukan dengan menggunakan HPLC. Analisis taurin menggunakan HPLC terdiri atas lima tahap, yaitu pembuatan hidrolisat protein, pengeringan, tahap derivatisasi dan injeksi, serta analisis taurin. 1. Pembuatan hidrolisat protein

(26)

9 2. Pengeringan

Hasil saringan diambil sebanyak 30 µL dan ditambahkan dengan 30 µL larutan pengering. Larutan pengering dibuat dari campuran antara larutan metanol, pikoiotisianat dan trietilamin dengan perbandingan 3:3:4 (300:300:400 mL), kemudian dikeringkan menggunakan gas nitrogen (N2).

3. Derivatisasi

Larutan derivatisasi sebanyak 30 µL ditambahkan pada hasil pengeringan. Larutan derivatisasi dibuat dari campuran antara metanol, Na-Asetat dantrietilamin dengan perbandingan 2:2:1 (200:200:100 mL). Proses derivatisasi dilakukan agar masing-masing komponen terpisah secara homogen sehingga detektor mudah untuk mendeteksi senyawa yang ada pada sampel. Tahap selanjutnya dilakukan pengenceran dengan cara menambahkan 1 mL asetonitril 60 % atau buffer fosfat 0,1 M lalu didiamkan selama 20 menit. Hasil pengenceran disaring kembali dengan kertas saring Millipore 45.

4. Injeksi ke HPLC

Hasil saringan diambil sebanyak 20 µL untuk diinjeksikan ke dalam HPLC. Penghitungan konsentrasi taurin yang ada pada bahan dilakukan dengan pembuatan kurva standar menggunakan taurin yang telah siap pakai yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel.

Prosedur Analisis Data

Model rancangan percobaan faktorial yang digunakan adalah rancangan acak faktorial. Pengaruh linier dari kedua variabel terhadap respon yang diinginkan didasarkan pada persamaan berikut :

Y = aa + Σ aixi2+ Σ aijxixj+ εijk

i :1 i<j

Keterangan :

Y = respon dari masing-masing perlakuan aa, ai, aij = parameter regresi

xi = pengaruh linier faktor utama

xixj = pengaruh linier dua faktor

ɛijk = galat kombinasi perlakuan (ij) pada ulangan ke-k

Hipotesis :

Ho : Perbedaan suhuekstraksi tidak berpengaruh terhadap kadar taurin yang

dihasilkan

H1 : Perbedaan suhu ekstraksi berpengaruh terhadap kadar taurin yang

dihasilkan

Ho : Perbedaan waktu ekstraksi tidak berpengaruh terhadap kadar taurin yang dihasilkan

H1 : Perbedaan waktu ekstraksi berpengaruh terhadap kadar taurin yang

dihasilkan

(27)

10

H1 : Interaksi suhu dan waktu ekstraksi berpengaruh terhadap kadar taurin

yang dihasilkan

Nilai hasil interaksi antar faktor kemudian diolah secara statistik menggunakan software statistika (PASW 18.0) untuk melihat koefisien parameter regresi, persen signifikansi (selang kepercayaan), dan pola interaksi faktor yang berpengaruh signifikan terhadap respon. Uji lanjut yang digunakan dalam analisis data ini adalah uji Tukey untuk melihat pengaruh signifikan dari faktor.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Klasifikasi dan DeskripsiIkan Gindara

Ikan gindara pada studi ini diperoleh dari wilayah perairan selatan Jawa yang didaratkan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Ikan gindara bernama populer escolar, namun bernama lokal jeladin di wilayah Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Ikan gindara merupakan ikan yang berasal dari famili gemplidae yang tersebar di daerah beriklim tropis (Nakamura dan Parin 1993). Klasifikasi ikan gindara menurut Nakamura dan Parin (1993) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Gemplydae Genus : Lepidocybium

Spesies : Lepidocybium flavobrunneum

Karakteristik ikan gindara yang diamati pada studi ini memiliki mata besar, kulit berwarna coklat kehitaman dengan permukaan halus tanpa sisik. Ikan ini memiliki bentuk mulut terminal, yaitu terletak di ujung hidung dan memiliki gigi yang runcing. Pengamatan dihasilkan pula bahwa ikan gindara memiliki daging berwarna putih dengan tekstur lunak dan berminyak. Penampakan morfologi ikan gindara dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Ikan gindara (Lepidocybium flavobrunneum)

(28)

11 menyatakan bahwa di Amerika Serikat, escolar merupakan salah satu contoh spesies by-catch yang telah mendapat perhatian berupa penelitian kecil dari lembaga perikanan.

Ikan gindara yang digunakan pada studi ini ditangkap menggunakan tuna

longline dengan kedalaman kurang dari 50 meter. Hal ini berkaitan dengan habitat ikan ini adalah laut dalam yang sebagian besar berada pada zona continental slope, yaitu pada kedalaman (200-885) meter, namun pada malam hari ikan ini bermigrasi vertikal ke atas menuju kolom perairan untuk mencari makanan berupa cumi-cumi, ikan bramids,trachipterids, dan crustacean (Nakamura dan Parin 1993). Hal ini sesuai dengan pernyataan Kerstetter et al. (2008), ikan gindara ditangkap menggunakan tuna long-line pada kedalaman kurang dari 50 meter pada malam hari.

Morfometrik Ikan Gindara

Hasil pengukuran morfometrik ikan gindara dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Data morfometrik ikan gindara

Parameter Ikan gindara

Panjang total (cm) 58,08±11,28

Tinggi (cm) 9,2±2,08

Lebar (cm) 9,2±1,52

Berat (gram) 1.634±674,19

*Menggunakan sampel 10 ekor ikan gindara

Tabel 1 menunjukkan bahwa ikan gindara yang digunakan pada studi ini memiliki rata-rata panjang 58,08 cm, tinggi 9,2 cm, lebar 9,2 cm, dan berat 1.634 gram. Panjang dan berat ikan gindara memiliki keragaman, hal tersebut ditunjukkan oleh nilai standar deviasi yang tinggi secara berturut-turut yaitu 11,28 dan 674,19. Nurjanah et al. (2011) menyatakan bahwa karakteristik biota perairan dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, habitat, dan makanan. Karakteristik biota perairan dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, habitat, dan makanan.

Rendemen Ikan Gindara

(29)

12

Tabel 2 Rendemen daging ikan laut dalam

Spesies ikan laut dalam Rendemen daging (%)

Antigonia capros

Rendemen daging ikan gindara lebih tinggi jika dibandingkan dengan ikan laut dalam lainnya, namun spesies Diretmoides veriginae memiliki rendemen daging lebih tinggi dibandingkan dengan ikan gindara. Perbedaan rendemen dipengaruhi oleh perbedaan jenis, umur, ukuran, habitat, dan asupan makanan ikan. Nurjanah et al. (2011) menambahkan bahwa besar rendemen dari ikan dipengaruhi oleh pola pertumbuhan ikan tersebut, sedangkan pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis ikan, jenis kelamin, umur ikan,

fishing ground, musim, dan jenis makanan yang tersedia. Komposisi kimia Ikan Gindara

Hasil studi komposisi kimia ikan gindara dan ikan tuna (Thunnus sp.) yang merupakan ikan pelagis sebagai pembanding ikan gindara dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi kimia ikan gindara dan tuna

Komposisi kimia Ikan gindara Ikan tuna

Kadar air (%) 63,38 70,58

Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar air ikan gindara sebesar 63,38%. Kadar air pada ikan gindara yang digunakan pada studi ini memiliki kisaran yang sama dengan kadar air pada ikan gindara yang digunakan pada studi Pattaravivat et al. (2008), yaitu sebesar 63,20%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Karl dan Rehbein (2004) yang menyatakan bahwa kadar air ikan gindara berkisar antara (61-65)% dari total berat tubuhnya.

(30)

13 keluarnya air dari dalam tubuh ikan menuju larutan garam. Cara untuk menjaga agar tubuh tetap dalam kondisi isotonik, organisme laut dalam beradaptasi dengan melakukan osmoregulasi dengan meminum air laut sebanyak-banyaknya dan sedikit mengekskresikan urin, sehingga air laut diserap oleh faring dan insang kemudian masuk ke dalam tubuh ikan sebagai air. Hal tersebut berkaitan pula dengan nilai water holding capacity dari otot ikan yang akan mempengaruhi kandungan air dalam tubuh ikan sehinggamenyebabkan kadar air pada tubuh ikan laut dalam lebih rendah dari pada ikan pelagis.

Kadar abu

Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar abu ikan gindara sebesar 0,59%. Kadar abu ikan gindara yang digunakan pada studi ini memiliki kisaran serupa dengan disebabkan oleh perbedaan jenis organisme dan lingkungan hidup organisme tersebut. Masing-masing organisme memiliki kemampuan yang berbeda dalam meregulasikan dan mengabsorbsi logam, hal ini akan mempengaruhi kadar abu dalam bahan. lingkungan perairan. Pattaravivat et al. (2008) menyatakan bahwa kondisi suhu lingkungan laut dalam yang ekstrem mengakibatkan suhu tubuh yang rendah pada organisme laut dalam. Suhu tubuh rendah ditunjang dengan lambatnya proses metabolisme sehingga mengakibatkan timbunan lemak yang terdapat pada organisme laut dalam lama terdegradasi.

Kadar protein

Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar protein ikan gindara sebesar 16,40%. Kadar protein ikan gindara yang digunakan pada studi ini memiliki kisaran serupa dengan kadar protein pada ikan gindara yang digunakan pada studi Pattaravivat et al. (2008), yaitu sebesar 16,8%. Karl dan Rahbein (2004) menyatakan bahwa kadar protein ikan gindara berkisar antara (16-18)%.

(31)

14

Komposisi asam amino

Hasil studi komposisi asam amino ikan gindara disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi asam amino ikan gindara

Asam amino Hasil (% w/w)

Asam glutamat merupakan asam amino bebas yang memberikan rasa gurih (Okuzumi dan Fujii 2000). Tabel 4 menunjukkan bahwa asam amino glutamat merupakan asam amino tertinggi pertama pada ikan gindara yaitu sebesar 2,04%. Asam glutamat merupakan asam amino non-esensial dalam tubuh mahluk hidup. Dominasi asam amino glutamat pada daging ikan gindara mengakibatkan daging ikan gindara memiliki rasa gurih.

Metionin merupakan asam amino esensial yang mengandung atom sulfur dan terdapat pada protein hewani (Kusnandar 2010). Metionin dan sistein melalui reaksi dekarboksilasi dapat disintesis menjadi taurin (Okuzumi dan Fujii 2000). Tabel 4 menunjukkan bahwa asam amino metionin sebesar 0,43%. Kandungan asam amino metionin menjadi salah satu sumber taurin pada ikan gindara.

Taurin pada Daging Ikan Gindara

(32)

15 Gambar 4 menunjukkan bahwa daging ikan gindara memiliki kadar taurin sebesar 442,01 mg/kg, sedangkan ikan tuna memiliki kadar taurin sebesar 308,55 mg/kg. Kadar taurin ikan gindara lebih tinggi dari pada ikan tuna. Perbedaan ini disebabkan oleh kondisi habitat kedua jenis ikan tersebut. Ikan gindara merupakan ikan laut dalam yang berhabitat di laut dengan kedalaman lebih dari 200 meter. Nybakken (1992) menyatakan bahwa karakteristik perairan ikan gindara yang merupakan laut dalam memiliki salinitas tinggi dengan nilai lebih dari 34,2 permil dengan kelarutan garam anorganik yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan peristiwa hipotonik pada ikan. Kondisi ekstrem laut dalam memungkinkan ikan gindara melakukan adaptasi dengan cara menghasilkan metabolit berupa taurin untuk keseimbangan proses osmoregulasi. Palefsky (1988) menjelaskan bahwa taurin diimplikasikan sebagai osmoregulator pada beberapa jaringan ikan. Shiau et al. (1997) menambahkan bahwa akumulasi taurin pada organisme laut merupakan fungsi utama osmoefektor selular sebagai bentuk adaptasi osmoregulasi.

Ekstraksi Taurin dan Pembuatan Produk Crude Taurine Powder

Ekstraksi taurin yang dilakukan pada studi ini mengacu pada metode Liu dan District (2006) yang dimodifikasi. Studi ini menggunakan metode pengeringan beku untuk pembuatan produk. Alasan penggunaan metode pengeringan beku, yaitu untuk menghasilkan produk yang stabil dalam hal warna, bentuk, tekstur, flavor, dan kandungan gizi khususnya asam amino berupa taurin. Hariyadi (2013) menyatakan bahwa salah satu keunggulan penggunaan metode pengeringan beku adalah hasil produk yang tidak menyebabkan permukaan keriput, lebih porus, densitas lebih rendah, mutu flavor dan kandungan gizi lebih mudah dipertahankan. Produk yang dihasilkan pada studi ini berupa produk taurin kasar yang berbentuk bubuk, sehingga produk hasil studi ini disebut sebagai crude taurine powder. Kadar taurin yang terdapat pada produk dengan berbagai perlakuan waktu dan suhu dapat dilihat pada Gambar 5.

(33)

16

Gambar 5 menunjukkan bahwa kadar taurin mengalami peningkatan setelah mendapatkan proses ekstraksi. Hal ini disebabkan karena ketika sampel berupa daging ikan gindara dicampur dengan pelarut berupa air, maka pelarut menembus kapiler-kapiler dalam bahan padat dan melarutkan ekstrak berupa taurin. Larutan ekstrak taurin terkonsentrasi pada filtrat. Hasil studi (lampiran 5) menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi pada ekstraksi mampu meningkatkan kadar taurin sebesar (43,16-224,70)%.

Hasil analisis statistik (lampiran 7) menunjukkan bahwaminimal salah satu dari perlakuan suhu dan waktu mempengaruhi kadar taurin yang dihasilkan (P<0.05). Hasil analisis statistik (lampiran 7) menunjukkan pula bahwa minimal satu pasangan interaksi taraf perlakuan suhu dan waktu mempengaruhi kadar taurin yang dihasilkan, sehingga analisis dilanjutkan pada uji lanjut Tukey.

Hasil uji lanjut Tukey (lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan suhu 45 °C dan 75 °C memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar taurin yang dihasilkan, namun perlakuan suhu 30 °C tidak berbeda nyata terhadap suhu 60 °C, namun kedua perlakuan tersebut berbeda nyata terhadap perlakuan suhu lainnya. Hasil uji lanjut Tukey (lampiran 9) menunjukkan bahwa perlakuan waktu memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar taurin yang dihasilkan, dimana kadar taurin antar perlakuan saling berbeda nyata. Kadar taurin tertinggi terdapat pada produk dengan perlakuan suhu 45 °C selama 45 menit sebesar 1.435,22±0,17 mg/kg. EFSA (2012) menyatakan bahwa taurin larut dalam air dimana 10 gram taurin larut dalam 100 mL air pada suhu 25 °C, namun taurin tidak larut dalam etanol, aseton, dan etil eter. Hasil studi Gu et al. (2003) menunjukkan bahwa pada pelarut air dengan suhu 25 °C taurin larut dengan konsentrasi 10,48 gram/100gram serta pada suhu yang sama taurin tidak bersifat larut dalam pelarut etanol. Hasil penelitian EFSA (2012) dan Gu et al. (2003) menunjukkan bahwa taurin dapat larut dalam air pada suhu minimal 25 °C. Faktor lain pendukung suhu 45 °C sebagai suhu optimal kelarutan taurin pada penelitian ini diduga disebabkan oleh adanya bantuan aktivitas optimum enzim protease yang dapat membuka jaringan yang memerangkap taurin dengan cara mendegradasi jaringan pada daging. Sajuthi et al. (2010) menyatakan bahwa aktivitas protease berada pada kisaran suhu (35-50) °C, dan optimal pada suhu 45 °C.

Taurin merupakan asam amino bebas yang dibutuhkan dalam organ tubuh manusia termasuk jantung, otak, hati, dan terlibat dalam beberapa proses fisiologi krusial (Okuzumi dan Fujii 2000). Eilersten et al. (2000) menyebutkan bahwa keterlibatan taurin dalam proses fisiologi, yaitu neuromodulasi dalam sistem saraf, produksi energi, perlindungan terhadap oksidasi, dan imunomodulasi. EFSA (2012) menyatakan bahwa taurin digunakan sebagai bahan aktif dalam minuman energi dan terdaftar sebagai bahan dalam produk kosmetik sebagai agen penyangga (Commission decision 2006/257/EEC). Taurin telah digunakan secara klinis dalam pengobatan penyakit kardiovaskular (Oudit et al. 2004; Xu et al. 2008), hiperkolesterolemia (El Idrissi et al. 2003), penyakit Alzheimer (Louzada

(34)

17

Rendemen Produk

Rendemen produk diperoleh dari perhitungan antara berat sampel akhir produk dibagi dengan berat sampel awal ekstraksi. Rata-rata Rendemen produk

crude taurine powder sebesar 5,7±1,87%. Presentase rendemen produk dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satu faktor tersebut adalah penyusutan kadar air akibat pengeringan beku. Penelitian Tafu dan Matsuda (2001) mengenai ekstraksi taurin dan mineral pada oyster menghasilkan rendemen taurin sebesar 3,50%.

Hasil evaluasi deskriptif produk

Evaluasi deskriptif produk dilakukan pada produk crude taurine powder

terpilih dari perlakuan terbaik. Produk crude taurine powder dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Produk crude taurine powder

Gambar 6 menunjukkan bahwa secara deskriptif penampakan produk

crude taurine powder terlihat berupa bubuk kering, berwarna kuning kecoklatan, bertekstur renyah, beraroma agak menyengat seperti ikan yang dikeringkandan memiliki rasa gurih. Faktor penampakan, warna, dan tekstur produk crude taurine powder merupakan hasil dari proses pengeringan beku. Hariyadi (2013) menyatakan bahwa proses pengeringan beku terjadi melalui mekanisme sublimasi yang terjadi pada suhu dingin, dengan demikian uap air dapat berdifusi dengan baik dari bagian basah ke udara lingkungan, sehingga dihasilkan produk yang kering dengan baik (tanpa kerak) dan tanpa mengalami proses gelatinisasi, karamelisasi, serta denaturasi. Profil produk yang kering menghasilkan tekstur renyah.

(35)

18

Komposisi Kimia Produk

Produk crude taurine powder yang dihasilkan merupakan produk taurin kasar yang berbentuk bubuk, sehingga masih terdapat komponen kompleks gizi lainnya selain taurin. Komposisi kimia produk dari perlakuan terbaik dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi kimia produk crude taurine powder

Parameter Kadar terukur (% bobot basah)

Kadar air 10,16

Kadar abu 9,44

Kadar protein 76,91

Kadar lemak 3,48

Tabel 5 menunjukkan bahwa kadar airproduk crude taurine powder

sebesar 10,16%. Kadar air produk menunjukkan penurunan dari kadar air awal bahan baku sebesar 55,4%. Penurunan ini diakibatkan oleh adanya perlakuan pengeringan beku. Estiaghi et al. (1997) menyatakan bahwa adanya proses pengeringan beku mengakibatkan sebagian besar air ditarik keluar dari sampel atau bahan melalui mekanisme sublimasi, sehingga produk bubuk crude taurine powder termasuk produk yang mengandung kadar air rendah. Hariyadi (2013) menambahkan bahwa keberadaan air pada bahan dapat dihilangkan baik dengan dehidrasi secara konvensional maupun mekanisme pengeringan beku (freeze drying).

Tabel 5 menunjukkan pula bahwa kadar protein produk sebesar 76,19%. Kadar protein produk mengalami peningkatan dari kadar air awal pada bahan baku sebesar 58,77%. Peningkatan ini diduga disebabkan oleh proses ekstraksi yang menggunakan pelarut air. Beberapa asam amino larut dalam pelarut air, sehingga asam amino yang larut bersama pelarut dan mengalami proses pengeringan beku terhitung sebagai kadar protein kasar. Selain itu, Hutuely et al. (1988) menyatakan bahwa hilangnya air pada proses pengeringan menyebabkan kadar protein produk lebih tinggi dari pada bahan baku awal.

Tabel 5 menunjukkan pula bahwa kadar abu produk sebesar 9,44%. Kadar abu produk mengalami peningkatan dari kadar abu awal pada bahan baku sebesar 8,47%. Peningkatan kadar abu disebabkan oleh proses pengeringan beku. Pengeringan beku mengakibatkan kadar air semakin menurun, sehingga hal ini mengakibatkan kadar abu semakin meningkat. Hutuely et al. (1988) menyatakan bahwa penurunan kadar air selama proses pengeringan mengakibatkan peningkatan kadar abu.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

(36)

19 45 °C selama 45 menit dengan penampakan produk adalah bubuk berwarna kuning kecoklatan, berbau agak menyengat, bertekstur renyah, serta memiliki rasa gurih. Rendemen produk sebesar 5,7%, dan produk mengalami penurunan kadar air serta peningkatan kadar protein akibat proses pengeringan beku.

Saran

Penelitian dengan perlakuan perbandingan jumlah sampel dengan pelarut perlu dilakukan untuk menghasilkan produk yang berkualitas lebih baik. Studi mengenai jenis dan formulasi enkapsulasi perlu dilakukan sebagai upaya memperpanjang umur simpan produk.

DAFTAR PUSTAKA

[AACC] American Association of Cereal Chemists. 1994. Approved Methods ofthe American Association of Cereal Chemists. Ed ke-9: Vol 1. USA: AAAC Inc.

Abdulkarim SM, Lai OM, Muhammad SKS, Long K, Ghazali HM. 2006. Use enzymes to enhance oil recovery during aqueous extraction of Moringa oleifera seed oil. Journal of Food Lipids. 13: 113-130

[AOAC] Association of official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. Washington (US): AOAC Int.

Brendtro KS, McDowell JR, Graves JE. 2008. Population genetic structure of escolar (Lepidocybium flavobrunneum). Mar Biol. 155:11-22.

BRKP [Balai Riset Kelautan dan Perikanan]. 2005. Pengkajian stok ikan laut dalam di perairan selatan Jawa dan barat Sumatera. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Chauncey KB, Tenner TE Jr, Lombardini JB, Jones BG, Brooks ML, Warner RD, Davis RL, Raqain RM. 2003. The effect of taurine supplementation on patients with type 2 diabetes mellitus. Adv Exp MedBiol. 526:91-96. Damayanti A. 2005. Kajian awal pemanfaatan beberapa ikan laut dalam di

perairan barat Sumatera sebagai sumber pangan dan obat-obatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. EFSA [European Food Safety Authority]. 2012. Scientific opinion on the safety

and efficacy of taurine as a feed additive for all animal species. EFSA Journal. 10 (6): 1-17

Eirlsten K. Larsen R, Mahre H, Jensen I, Elvevoll E. 2000. Anticholesterolemic and Antiatherogenic Effects of Taurine Supplementation is Model Dependent. Intech Open Science. 52:102-106

El Idrissi A, Messing J, Scalia J, Trenkner E. Prevention of epileptic seizures by taurine. 2003. Adv ExpMed Biol. 526:515-525.

(37)

20

Franconi F, Loizzo A, Ghirlanda G, Seghieri G. 2006. Taurine supplementation and diabetes mellitus. Curr Opin Clin Nutr Metab Care.9:32-36.

Gu Y, Feng S, Hongzou Y, Youquan D. 2003. Leaching separation of taurine and sodium sulfate solid mixture using ionics liquids. Separation and Purification Technology. 35:153-159

Gupta RC. 2006. Taurine analogues and taurine transport: therapeutic advantages.

Adv Exp Med Biol. 583:449-467.

Hansen SH. 2001. The role of taurine in diabetes and the development of diabetic complications. DiabetesMetab Res Rev. 17:330-346.

Hariyadi P. 2013. Freeze dring technology: for better quality and flavor of dried product. Food Review Indonesia. 8 (2):52-57

Hutuely L, Chasanah E, Malawat S. 1988. Tepung ikan dari hasil samping pukat udang. Jurnal Pendidikan Perikanan Laut. 45 (3):9-18

Jayanti ND. 2008. Kandungan steroid dan taurin dari beberapa ikan laut dalam perairan barat Sumatera dan selatan Jawa [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauitan Institut Pertanian Bogor

Karleskint G, Turner R, Small J. 1998. Introduction to Marine Biology. United States (US): Cengage Learning

Karl H, Rehbein H. 2004. Butterfish on the German market. Dtsch Lebenscm – Rundsc. Journal of Bio Science. 100 (5):34-42

Kerstetter DW, Rice PH, Snodgrass, Prince ED. 2008. Behaviour of an escolar Lepidocybium flavobrunneum in the windward passage as determined by popup satellite archival tagging. Gulf and Carribean Research. 20 (2): 97-102

Kusnandar F. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta (ID): PT Dian Rakyat

Levesque JC. 2010. Evolving fisheries: Today’s baycatch is tomorrow’s target catch escolar (Lepidocybium flavobrunneum) catch in the U.S. pelagic longline fishery. The Open Fish Science Journal. 3 (2) :30-41.

Liu Y, District J. 2006. Extracted the taurine from the oyster with zymolisis and boiled process. Journal of Food Science. 5 (2):43-47.

Louzada PR, Paula Lima AC, Mendonca-Silva DL, Noel F, De Mello FG, Ferreira ST. 2004. Taurine prevents the neurotoxicity of beta-amyloid and glutamate receptor agonists: activation of GABA receptors and possible implications for Alzheimer's disease and other neurological disorders.

J. FASEB. 18:511-518.

Milessi AC, Defeo O. 2002. Long-term impact of incidental catches by tuna longlines: the black escolar (Lepidocybium flavobrunneum) of the southwestern Atlantic Ocean. Fish Res. 58:203-13.

Militante JD, Lombardini JB. 2002. Taurine: evidence of phsyological function in the retina. J. Nutrition Neurosci. 5 (2):75-90.

Nakamura I, Parin NV. 1993. FAO Species Catalogue. Vol 15. Snake mackerels and cutlassfishes of the world (Families Gemplydae and Trichiuridae). Italy: FAO Fisheries Synopsis.

(38)

21 Nybakken JW. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa oleh Eidman M, 1982, Marine Biology: An Ecological Approach. Jakarta: Penerbit Gramedia.

Okuzumi M, Fujii. 2005. Nutritional and Functional Properties of Squid and Cuttlefih. Tokyo (JN): National Cooperative Association of Squid Processor.

Oudit GY, Trivieri MG, Khaper N, Husain T, Wilson GJ, Liu P, Sole MJ, Backx PH. 2004. Taurine supplementation reduces oxidative stress and improves cardiovascular function in an ironoverload murine model. Circulation. 109:1877-1885.

Palefsky R. 1988. Taurine transport in mamalian kidney: genetic and environmental influence [disertasi]. Kanada: The Dean and Faculty of Graduates Studies Departmen Biology, McGill University

Pattaravivat J, Morioka K, Shirosaki M, Itoh Y. 2008. Effect of washing condition on the removal of lipid from the fatty fish escolar (Lepidocybium flavobrunneum) meat. Journal of Biological Science. 8 (1):34-42

Rosa R, Nunes ML. 2004. Nutritional quality of red shrimp (Aristeus antennatus) pink shrimp (Parapenaeus longirostris), Norway lobster (Nephrops norvegicus). J. Sci Food Agri. 94 (3):84-89.

Sajuthi D, Suparto I, Yanti, Praira W. 2010. Purifikasi dan pencirian enzim protease fibrinolitik dari ekstrak jamur merang. Makara Sains. 14 (2): 145-150.

Santa-Maria I, Hernandez F, Moreno FJ, Avila J. 2007. Taurine, an inducer for tau polymerization and a weak inhibitor for amyloid-beta-peptide aggregation.

Neurosci Lett. 429:91-94.

Santoso J. 1998. Pengaruh sumber protein dan minyak dalam ransum terhadap jumlah dan komposisi asam amino dan asam lemak otak serta kemampuan belajar tikus percobaan [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Shiau C, Pong Y, Chiou T, Chai T. 1997. Effect of growth on the levels of free histidine and amino acid in white muscle of milkfish. National Science Council. 44 (3):427-430

Suman A, Badrudin. 2010. Kebijakan penangkapan dan pemanfaatan sumber daya ikan laut-dalam di Indonesia. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia. 2 (2):131-137

Suseno SH, Suman A, Al Fanany F. 2006. Kandungan zat gizi dan potensi antibakteri ikan laut dalam di Selatan Jawa. Jurnal Perikanan. 7 (1):57-67. Suseno SH, Hartoyo A, Desniar. 2008. Laporan Proyek RISTEK. Bogor: Institut

Pertanian Bogor.

Tafu S, Matsuda Y, penemu; Japan Clinic Company. 2001 Oktober 17. High-mineral oyster extract and process for manufacturing the same. United States Patent Application Publication US 2001/0041212A1

(39)

22

LAMPIRAN

Lampiran 1Kromatogram komposisi asam amino ikan gindara

(40)

23 Lampiran 3 Kromatogram taurin ikan gindara

Lampiran 4 Kromatogram taurin ikan tuna

Lampiran 5 Kadar taurin produk crude taurine powder

Kadar taurin (mg/kg)

Waktu (menit) Suhu ( °C)

30 45 60 75

30 692,80±4,67 754,50±6,08 720,40±0,42 768,20±0,00 45 777,16±1,61 1435,22±0,17 1332,93±7,38 1095,73±1,06

60 837,10±1,98 632,80±2,69 711,30±0,57 802,90±0,00

(41)

24

Lampiran 6 Hasil uji normalitas data (Kolmogorov-Smirnov Z)

Taurin Suhu Waktu

N 32 32 32

Parameter normal

Rata-rata 0,0012 52,5000 52,5000

Std.

Kolmogorov-Smirnov Z 1,262 0,962 0,962

Signifikansi 0,083 0,313 0,313

Lampiran 7 Hasil Uji Anova (Rancangan acak faktorial) Sumber

Model terkoreksi 2,268E-6a 15 1,512E-7 7505,498 0,000

Intercept 4,439E-5 1 4,439E-5 2203140,304 0,000

Suhu 5,066E-8 3 1,689E-8 838,158 0,000

Catatan: Data kadar taurin terdistribusi normal (Signifikansi>α(0,05))

Lampiran 8 Hasil uji lanjut Tukey (faktor suhu) Uji Lanjut TukeyDa,b

Signifikansi 1,000 0,616 1,000

(42)

25 Lampiran 9 Hasil uji lanjut Tukey (faktor waktu)

Uji lanjut Tukey a,b

Waktu N Subset

1 2 3 4

45 8 0,0009

75 8 0,0011

60 8 0,0014

30 8 0,0014

Signifikansi 1,000 1,000 1,000 1,000

(43)

26

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 14 Februari 1991. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Ahim dan Ibu Djuriah. Penulis telah menempuh pendidikan di SDN Sukasari lulus tahun 2003, SMPN 4 Cirebon lulus tahun 2006, dan SMAN 2 Cirebon lulus tahun 2009. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB pada tahun 2009.

Gambar

Gambar 2 Diagram alir pembuatan produk crude taurine powder
Tabel 3. Tabel 3 Komposisi kimia ikan gindara dan tuna
Tabel 4 Komposisi asam amino ikan gindara
Gambar 5 Kadar taurin produk crude taurine powder pada berbagai perlakuan

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul Kandungan Steroid dan Taurin dari Beberapa Spesies Ikan Laut Dalam di Perairan Barat Sumatera dan Selatan Jawa,

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Karakteristik Bakso Ikan dari Campuran Surimi Ikan Layang ( Decapterus spp) dan Ikan Kakap Merah ( Lutjanus sp)

Nilai salinitas yang tinggi pada daerah penangkapan ikan kembung lelaki. disebabkan karena daerah penangkapan tersebut berada pada bagian

Ikan Beryx splendens merupakan famili dari ikan-ikan laut dalam yang terdistribusi di seluruh dunia. Beberapa spesies ditemukan pada perairan yang dangkal dan pertengahan

Pertumbuhan berat ikan Koi selama penelitian didapati nilai pertumbuhan berat yang tinggi, dimana pertumbuhan berat yang tertinggi terdapat pada perlakuan P1

menyisihkan nitrogen di perairan yang memiliki salinitas tinggi seperti laut, hanya saja bakteri yang digunakan untuk proses nitrifikasi pada air dengan salinitas

Hal ini sesuai dengan kriteria Indeks Shannon-Wienner bahwa nilai tersebut menunjukan keanekaragaman jenis ikan yang berasosiasi pada apartemen di perairan laut

Perbedaan ini disebabkan karena perairan estuari Sungai Banyuasin berukuran lebih luas dan terhubung dengan laut sepanjang tahun (Gambar 1), dengan pengaruh salinitas yang lebih