• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Kulit Buah Kopi

Penggunaan bakteri untuk ekstraksi polifenol dari kulit kopi memerlukan persyaratan substrat yang memungkinkan bakteri untuk hidup. Bakteri memerlukan protein sebagai salah satu nitrogen organik dalam pertumbuhannya (Rachman 1999). Hasil analisis kulit kopi (Tabel 1) memberikan informasi bahwa kulit kopi merupakan suatu bahan yang menyediakan sumber nitrogen dan sumber karbon untuk pertumbuhan mikrob. Hal ini karena kulit kopi merupakan komponen kompleks yang terdiri atas serat kasar, protein, lemak, karbohidrat, gula total, dan gula reduksi (Tabel 1). Hasil yang sama dikemukakan oleh Brand

et al. (2001) yang menyatakan bahwa kulit buah kopi yang terdiri dari kulit luar, pulp, dan perkamen, mengandung (% DM): karbohidrat (21-35), protein (5.2), serat kasar (30.8), lemak (2.0-7.0), dan mineral (10.7). Dengan demikian maka kulit kopi dapat digunakan sebagai substrat tunggal untuk pertumbuhan konsorsium aktinomiset tanpa adanya penambahan komponen lain sebagai nutrisi pada proses kultivasi. Substrat dengan kandungan karbohidrat dan protein yang tinggi berpotensi untuk dimanfaatkan dalam bioproses (Ashock et al. 2000). Tabel 1 Komponen kimia kulit buah kopi

Kandungan bahan Komposisi (% bk) Kandungan bahan Komposisi (% bk)

Bahan kering 37.34 Komponen serat

Kadar abu 3.43 Lignin 6.10

Serat kasar 13.39 Selulosa 53.42

Protein 3.90 Hemiselulosa 24.10

Lemak 1.51 Senyawa bioaktif

Karbohidrat (by

difference) 28.50 Polifenol 0.73 mg mL

-1

Kandungan gula Tanin 2.0 %

Gula total 11.8 mg mL-1

Gula reduksi 2.0 mg mL-1

Hasil analisis proksimat juga menunjukkan bahwa kadar air yang cukup tinggi. Kandungan air pada kulit buah kopi merupakan modal dasar untuk dilakukannya proses kultivasi media padat (SSF). Proses SSF merupakan proses teknologi yang digunakan untuk pengelolaan limbah agro-industri dan penambahan nilai dari suatu biomassa atau limbah. Substrat pada SSF dapat digunakan untuk memproduksi senyawa seperti enzim dan berbagai metabolit sekunder (Panday et al. 2000; Soccol et al. 2003). Menurut Murthy dan Naidu (2011) proses kultivasi pada kulit buah kopi robusta melalui SSF dapat diperoleh aktivitas enzim seperti selulase dan xilanase. SSF juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi terutama karena fermentor berukuran lebih kecil, tidak memerlukan pengadukan dan biaya sterilisasi yang lebih rendah (Nigam 2009).

11

Produksi Enzim

Aktivitas enzim yang dihasilkan serta pertumbuhan sel Streptomyces sp. diamati selama 8 hari. Aktivitas enzim xilanase Streptomyces exfoliatus 42 pada media xilan 0.5% tertinggi pada hari ke-4 sebesar 205.5 mU mL-1 dan biomassa sel sebesar 1.15 g L-1, sedangkan Streptomyces costaricanus 45I-3 pada hari ke-4 sebesar 248.31 mU mL-1 dan biomassa sel sebesar 1.25 g L-1. Aktivitas enzim selulase Streptomyces exfoliatus 42 pada media CMC 1% tertinggi pada hari ke-4 sebesar 25.5 mU mL-1 dan biomassa sel sebesar 1.15 g L-1.

Gambar 3 Aktivitas enzim selulase pada media CMC 1% ( ), xilanase pada media beechwood xylan 0.5% ( ) dan pertumbuhan

Streptomyces exfoliatus 42 ( ) yang diinkubasi pada suhu 27 °C

Gambar 4 Aktivitas xilanase pada media beechwood xylan 0.5% ( ) dan pertumbuhan Streptomyses costaricanus 45I-3 ( ) diinkubasi pada suhu 27 °C

Streptomyces exfoliatus 42 memiliki aktivitas enzim xilanase dan selulase (Gambar 3). Aktivitas kedua enzim ini meningkat seiring dengan penambahan biomassa sel. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Astuti (2012) dan Apriani (2013) bahwa Streptomyces exfoliatus 42 memiliki aktivitas xilanase dan selulase. Adanya xilan memacu dihasilkannya enzim xilanase. Menurut Beg et al. (2001) sintesis xilanase akan diinduksi oleh media yang mengandung residu xilan atau xilan murni, xilosa, xilooligosakarida, dan residu lignoselulosa. Aktivitas xilanase akan mengubah xilan menjadi xilosa yang selanjutnya akan digunakan mikrob sebagai sumber karbon.

0 50 100 150 200 250 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1 2 3 4 5 6 7 8 A k ti v it a s X il a n a se (m U m L -1) B io m a ssa sel ( g L -1)

Waktu Inkubasi (Hari)

0 5 10 15 20 25 30 35 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1 2 3 4 5 6 7 8 A k ti v it a s S e lu la se (m U m L -1) B io m a ssa sel ( g L -1)

Waktu inkubasi (hari)

0 50 100 150 200 250 300 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 1 2 3 4 5 6 7 8 B io m a ssa s el (g L -1) A k ti v it a s x il a n a se ( m g m L -1)

12

Streptomyces exfoliatus 42 pada inkubasi hari ke-1 diketahui memasuki fase lag, dimana sel mikrob yang dipindahkan ke media cair xilan mengalami adaptasi terlebih dahulu. Fase tersebut ditandai dengan pertambahan biomassa sel

Streptomyces exfoliatus 42 yang tidak terlalu besar. Hari ke-3 sampai dengan hari ke-4 merupakan fase pertumbuhan atau fase eksponensial yang terlihat dari kenaikan biomassa sel dan aktivitas xilanase yang mencapai optimum. Hari ke-5 hingga hari ke-7 merupakan pertumbuhan sel memasuki fase stasioner yang ditandai dengan bobot biomassa sel dan aktivitas enzim yang cenderung stabil. Xilanase mulai diproduksi pada saat sel mengalami fase eksponensial, substrat mulai dimanfaatkan oleh mikrob untuk memproduksi xilanase. Peningkatan aktivitas enzim xilanase ini berhubungan dengan pola pertumbuhan sel, laju pertumbuhan sel akan maksimum ketika waktu fase eksponensial telah tercapai dan aktivitas enzim akan berkurang atau stabil selama fase stasioner (Amraini 2008). Streptomyces exfoliatus 42 pada media cair xilan (Gambar 3) juga memperlihatkan fase-fase pertumbuhan yang dialami isolat tersebut. Pola peningkatan populasi selama rentang waktu tertentu akan membentuk fase-fase pertumbuhan. Fase-fase tersebut meliputi fase lag, fase eksponensial, fase stasioner dan fase kematian (Sunatmo 2009).

Enzim selulase juga dihasilkan oleh Streptomyces exfoliatus 42. Aktivitas selulase yang dihasilkan oleh Streptomyces exfoliatus 42 meningkat seiring dengan pertumbuhan biomassa selnya. Aktivitas selulase mulai mengalami peningkatan pada inkubasi hari ke-1. Hal ini menunjukkan bahwa selulase dihasilkan untuk memanfaatkan CMC sebagai sumber karbon. Tamburini et al.

(2004) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa aktivitas selulase Streptomyces rochei A2 dalam mendegradasi CMC berlangsung selama fase awal pertumbuhan yang cepat, dan aktivitasnya sebanding dengan kenaikan bahan sel. Menurut Datshban et al. (2010) hidrolisis selulosa membutuhkan gabungan enzim endoglukanase, eksoglukanase dan ß-glukosidase yang bekerja secara sinergis. Mikrob yang mampu tumbuh pada substrat CMC memiliki endoglukanase yang dapat memutus ikatan ß-1.4 glikosida (Wang et al. 2008; Maki et al. 2009). Enzim tersebut akan mendegradasi substrat CMC dengan memutuskan ikatan selulosa pada bagian internal area amorf. Selanjutnya ketika sel mencapai fase stasioner, aktivitas enzim selulase juga memperlihatkan pola yang statis. Fase stasioner ditandai dengan kecepatan pembelahan sel sama dengan kecepatan kematian sel dan lisis sel (Martina et al. 2002). Hal ini menyebabkan aktivitas enzim juga statis bahkan sedikit cenderung turun.

Streptomyses costaricanus 45I-3 diketahui memiliki aktivitas enzim xilanase (Gambar 4). Meryandini et al. (2008) melaporkan bahwa Streptomyses costaricanus 45I-3 mampu menghasilkan xilanase. Aktivitas xilanase meningkat dari awal inkubasi atau inkubasi hari ke-1. Peningkatan aktivitas xilanase dapat terjadi karena adanya xilan dan tidak adanya penambahan glukosa pada media uji tersebut. Dengan tidak adanya glukosa, maka mikrob langsung menggunakan xilan sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan sel mikrob. Adanya glukosa menyebabkan peningkatan xilanase cenderung lambat (Gomes et al. 1994). Xilan pada media beechwood xylan merupakan inducer untuk dihasilkannya xilanase. Peningkatan aktivitas xilanase terus terjadi hingga hari ke-3 inkubasi. Fase eksponensial sel mikrob terlihat dari kenaikan biomassa sel hingga hari ke-4. Hari

13 ke-5 hingga hari ke-8 merupakan pertumbuhan sel memasuki fase stasioner yang ditandai dengan bobot biomassa dan aktivitas xilanase yang cenderung stabil.

Streptomyces exfoliatus 42 dan Streptomyces costaricanus 45I-3 merupakan bakteri Gram positif yang memiliki dua macam miselia, yaitu miselia aerial dan miselia substrat. Aktinomiset tersebut mampu menghasilkan senyawa enzim hidrolitik berupa selulase dan xilanase yang dapat bermanfaat pada bioproses. Pada ekstraksi dengan dihasilkannya enzim tersebut akan membantu melepaskan senyawa metabolit dari tanaman. Menurut Vattem dan Setti (2003) perolehan polifenol dapat ditingkatkan dengan bantuan enzim β-glukosidase yang berasal dari Aspergillus lentinusedodes melalui SSF. Salah satu karakteristik SSF yaitu rendahnya agitasi dan bakteri sebagai pelaku proses fermentasi. Agitasi diketahui memiliki efek buruk yang dapat menyebabkan gangguan keterikatan bakteri dengan substrat, dan kerusakan miselia (Lonsane et al. 1992). Dengan karakteristik Streptomyces sp. yang memiliki miselia atau berfilamen tersebut maka mendukung untuk dilakukan proses fermentasi secara SSF.

Degradasi Komponen Serat pada Biomassa Kulit Kopi

Aktivitas Enzim Oleh Konsorsium Isolat Aktinomiset pada Media Kulit Kopi

Aktivitas enzim selulase dan xilanase oleh konsorsium aktinomiset pada media kulit kopi diukur untuk menentukan waktu yang diperlukan untuk persiapan mikrob konsorsium aktinomiset sebagai starter yang digunakan dalam proses kultivasi. Aktivitas enzim selulase mengalami peningkatan tertinggi pada hari ke-4 sebesar 21.61 mU mL-1, dan aktivitas xilanase pada hari ke-6 sebesar 98.11 mU mL-1 (Gambar 5). Hasil yang berbeda diperlihatkan oleh penelitian Vats

et al. (2013) pada substrat lignoselulosa, konsorsium bakteri hasil isolasi dari tanah memiliki aktivitas enzim yang lebih besar yaitu aktivitas selulase 0.214 U mL-1 dan aktivitas xilanase 0.673 U mL-1. Tuncer et al. (2004) melaporkan juga bahwa aktivitas endoglukanase yang lebih tinggi dihasilkan oleh Streptomyces sp. FP2621 pada substrat jerami padi tertinggi terjadi pada hari ke-7 yaitu 22.41 U mL-1.

Gambar 5 Aktivitas enzim selulase ( ) dan xilanase ( ) oleh konsorsium aktinomiset pada media starter kulit kopi 1% dan diinkubasi pada suhu 27 °C

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Ak tiv it a s E nzim ( m U m L -1)

14

Aktivitas selulase dan xilanase oleh konsorsium aktinomiset pada kulit kopi cenderung lambat dibanding pada aktivitas enzim xilanase dan selulase kultur tunggal (Gambar 4). Aktivitas xilanase dan selulase pada awal inkubasi terlihat belum mengalami peningkatan yang cukup besar. Hal ini dikarenakan hari ke-1 dan ke-2 inkubasi merupakan fase adaptasi atau fase lag dari mikrob konsorsium Streptomyces exfoliatus 42 dan Streptomyces costaricanus 45I-3. Mikrob yang telah dikultur dan selanjutnya dipindahkan ke lingkungan yang baru maka mikrob tersebut akan menyesuaikan diri terlebih dahulu (Stanbury dan Whitaker 1993). Peningkatan aktivitas enzim yang cenderung lambat juga dikarenakan konsorsium aktinomiset menggunakan komponen yang paling sederhana yaitu gula pereduksi berupa glukosa yang terdapat pada kulit kopi tanpa harus menghidrolisis selulosa maupun xilan untuk digunakan sebagai sumber karbon. Fontes et al. (2000) melaporkan bahwa pertumbuhan mikrob penghasil xilanase yang diuji menggunakan glukosa dan xilan sebagai sumber karbon menghasilkan pertumbuhan sel lebih cepat pada medium glukosa dibandingkan dengan pertumbuhan sel pada media xilan. Pada substrat kulit kopi hari ke-3 sampai dengan hari ke-4 merupakan fase eksponensial yang terlihat dari puncak aktivitas enzim xilanase dan selulase yang dihasilkan dan kenaikan aktivitas enzimnya yang sangat besar. Puncak aktivitas enzim tertinggi pada hari ke-6. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan konsorsium aktinomiset mencapai titik maksimum atau fase eksponensial. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa konsorsium aktinomiset menghasilkan aktivitas xilanolitik yang lebih tinggi dibandingkan dengan selulolitik meskipun selulosa merupakan komponen utama pulp kopi. Hasil penelitian tersebut sama dengan penelitian yang dikemukakan Tuncer et al. (2004) bahwa xilanase dan selulase oleh Streptomyces sp. FP2621 dihasilkan pada fase pertumbuhan (eksponensial).

Aktivitas enzim oleh konsorsium aktinomiset juga relatif rendah dibandingkan dengan aktivitas enzim tunggal pada media CMC (Gambar 3) dan xilan sintesis (Gambar 3 dan 4). Hal ini terjadi karena adanya persaingan nutrisi dalam penggunaan substrat yang dibutuhkan mikrob dalam pertumbuhan. Interaksi antar spesies tidak hanya bersifat sinergisme atau komensalisme, tetapi dapat juga bersifat kompetisi dan penghambatan (Kato et al. 2005). Perbedaan yang lain juga disebabkan oleh adanya polifenol yang mampu menjadi inhibitor bagi enzim. Polifenol mampu berikatan pada sisi aktif enzim sehingga menghambat aktivitas enzim selulase (McDaugall et al. 2005 dan Jurgonski et al. 2013). Polifenol tersebut merupakan polifenol larut air yang muncul karena ukuran substrat yang dikecilkan menjadi 40 mesh. Selain itu juga perbedaan aktivitas enzim terjadi karena adanya perbedaan dan konsentrasi substrat. Enzim memiliki spesifitas yang tinggi terhadap substrat. Penggunaan media yang berbeda menyebabkan perbedaan aktivitas enzim yang dihasilkan (White 1995).

Kinerja Hasil Degradasi

Pemanfaatan konsorsium aktinomiset dalam mendegradasi substrat biomassa lignoselulosa dapat dilihat dengan terjadinya susut bobot setelah kultivasi. Persentase susut bobot buah kopi dihitung berdasarkan perbandingan bobot substrat setelah dan sebelum kultivasi. Susut bobot (%) mengindikasikan perubahan komposisi komponen substrat akibat interaksi aktinomiset dengan

15 substrat. Interaksi antara substrat dengan bakteri menyebabkan dihasilkannya aktivitas enzim endo glukanase, β glucanase, dan xilanase oleh konsorsium

Clostridium dan Thermoanaerobacterium yang mengakibatkan penurunan bobot substrat jerami padi, bagas, dan tongkol jagung setelah difermentasi selama 7 hari (Wangwilaiwalin et al. 2010). Persentase susut bobot (%) pada biomassa kulit kopi (Gambar 6) selama 9 hari lama inkubasi masing-masing sebesar 19.02% pada hari ke-3, 34.24% pada hari ke-6, dan 39.29% pada hari ke-9.

Gambar 6 Persentase susut bobot substrat kopi setelah kultivasi metode padat pada suhu 27 °C

Kemampuan konsorsium aktinomiset dalam berinteraksi dengan substrat diperlihatkan dengan pertumbuhan koloni Streptomyces sp. pada permukaan substrat kulit buah kopi dengan warna koloni abu-abu dan putih, sedangkan pada perlakuan kontrol terdapat sedikit koloni yang berwarna putih. Pertumbuhan aktinomiset juga terlihat dari banyaknya uap air yang terdapat pada wadah kultivasi. Menurut Dalzel et al. (1997) dalam perombakan bahan organik oleh mikroba dibutuhkan air dan oksigen dan nutrien dari bahan organik sebagai sumber energi dan kemudian melepaskan CO2, air dan energi panas sehingga menyebabkan bobot bahan semakin berkurang. Terjadinya penurunan bobot juga diakibatkan oleh pelepasan CO2 dan senyawa-senyawa lainnya. Menurut Tuomela

et al. (2000) bahan organik dari lignoselulosa dimanfaatkan mikrob sebagai sumber karbon untuk proses metabolisme yang menghasilkan energi dan melepaskan CO2 dan produk akhir yang lebih sederhana sesuai dengan enzim ekstraseluler yang dihasilkan. Penyusutan bobot juga menunjukkan bahwa konsorsium aktinomiset yang digunakan mampu merombak komponen serat yang meliputi selulosa, hemiselulosa, dan lignin pada kulit kopi.

Perubahan kandungan komponen substrat dikaitkan dengan adanya mikroorganisme dan kemampuannya dalam mensekresikan enzim ekstraseluler. Pada perlakuan kontrol (fermentasi spontan atau tanpa penambahan kultur konsorsium Streptomyces sp.) terjadi penurunan komposisi komponen serat tidak signifikan dibandingkan dengan perlakuan sampel (Tabel 2). Hal ini terjadi karena hanya terdapat bakteri indigenous pada fermentasi buah kopi tersebut. Menurut Silva et al. (2008), pada fermentasi spontan proses pengolahan kopi secara alami

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 3 6 9 P er sent a se B o bo t Su bs tra t (%)

16

terdapat mikroorganisme seperti Bacillus sp. Bakteri tersebut mampu menghidrolisis selulosa karena adanya kemampuan menghasilkan selulase (Coughlan dan Mayer 1991). Pada perlakuan konsorsium aktinomiset, penurunan komposisi serat berkaitan dengan kemampuan mikrob dalam mensekresikan beberapa enzim ekstraseluler untuk pertumbuhan, yaitu selulase dan xilanase (Gambar 3) serta lignin peroksidase (Apriyani 2012). Kemampuan mikrob dalam mengasimilasi bahan organik tergantung dengan kemampuannya dalam memproduksi enzim yang dibutuhkan untuk mendegradasi komponen substrat, semakin kompleks substrat yang digunakan maka semakin komplek enzim yang dibutuhkan (Tuomela et al. 2000). Menurunnya kandungan serat selulosa menjadi 29% dan hemiselulosa menjadi 5.4% pada Borage officinalis disebabkan karena penggunaan enzim komersial yaitu selulase dan xilanase secara konsorsium (Soto

et al. 2008). Keberadaan enzim-enzim yang dihasilkan oleh konsorsium aktinomiset efektif digunakan dalam mendegradasi komponen organik yang kompleks menjadi molekul sederhana. Molekul-molekul sederhana yaitu berupa monosakarida yang dapat digunakan sebagai sumber karbon bagi sel mikrob. Faktor lain yang ikut mempengaruhi degradasi komponen serat yaitu aktivitas enzim yang dimiliki. Semakin besar aktivitas enzim maka akan semakin tinggi pula kemampuannya dalam mendegradasi komponen lignoselulosa. Kammerer et al. (2005) menyatakan bahwa penggunaan enzim pada ekstraksi polifenol dari limbah pengolahan anggur harus memiliki proses yang relevan seperti jenis enzim, rasio enzim-substrat dan suhu.

Tabel 2 Komposisi komponen substrat kulit kopi setelah dikultivasi pada suhu 27 °C

Komponen

serat (%) Perlakuan

Waktu inkubasi (hari)

0 3 6 9 Selulosa A 56.30±0.27 a 49.13±0.64b 30.44±0.76c 28.65±0.4c B 56.38±1.27d 51.57±0.39d 48.33±0.13e 45.24±1.36f Hemiselulosa A 23.65±0.33 a 18.29±0.44a 16.00±0.5c 11.14±0.3d B 23.31±0.27a 22.92±0.7b 15.68±0.7c 10.28±0.4d Lignin A 6.10±0.15 a 3.40±0.45b 2.90±0.25b 2.83±0.18b B 6.10±0.15a 5.40±0.57c 4.90±0.42c 4.89±0.55c Zat Ekstraktif A 13.95±0.15a 29.18±0.25b 50.66±0.30c 57.38±0.1c B 14.21±0.15d 20.11±0.17d 30.09±0.35e 36.59±0.15f Data: Rata-rata, ± standar deviasi, α μ 0.05

Ket: A: Sampel (dengan kultur konsorsium Streptomyces sp.) B: Kontrol (tanpa kultur konsorsium Streptomyces sp.)

Terjadi perbedaan penurunan kadar selulosa, hemiselulosa, dan lignin pada kulit kopi selama kultivasi (Gambar 7). Persentase penurunan kadar lignin dan selulosa pada kulit kopi tertinggi terjadi pada hari ke-6 sebesar 4.19%, kemudian kadar selulosa pada hari ke-6 sebesar 29.11%, dan kadar hemiselulosa pada hari ke-9 sebesar 16.89%. Penurunan kandungan lignin pada substrat kulit kopi terjadi karena aktivitas enzim lignin peroksidase yang dihasilkan oleh Streptomyces exfoliatus 42. Apriyani (2013) menyatakan bahwa Streptomyces exfoliatus 42

17 mampu mendegradasi lignin pada tongkol jagung sehingga menyebabkan penurunan lignin mencapai 4.8%. Enzim peroksidase seringkali dihubungkan dengan degradasi lignin karena kerja enzim relatif tidak spesifik. Substrat yang mampu didegradasi adalah senyawa seperti fenol, aromatik amines dan beberapa komponen seperti alkil peroksida (Jing Li et al. 2009). Penurunan kandungan lignin di kulit kopi terjadi pada inkubasi hari ke-3, dan penurunan terbesarnya pada hari ke-6. Penurunan tersebut seiring dengan meningkatnya aktivitas enzim peroksidase. Tuncer et al. (2004) menyatakan juga bahwa Streptomyces sp. FP2621 memiliki aktivitas lignoselulolitik berupa peroksidase. Aktivitas peroksidase meningkat seiring pertumbuhan biomassa sel dan mencapai aktivitas optimum setelah 4 hari inkubasi.

Gambar 7 Penurunan lignin ( ), selulosa ( ), dan hemiselulosa ( ) setelah diinkubasi pada suhu 27 °C

.

Kandungan selulosa pada kulit kopi (Gambar 7) mengalami penurunan tertinggi pada hari ke-6 yang berkaitkan dengan enzim selulase oleh isolat konsorsium aktinomiset Streptomyces exfoliatus 42. Hasil yang berbeda dilaporkan bahwa penurunan kandungan selulosa tongkol jagung mencapai 51% oleh konsorsium bakteri hasil isolasi dari tanah setelah mengalami inkubasi selama 8 hari (Feng et al. 2008). Menurut Jager et al. (2010) bahwa kristalinitas selulosa merupakan faktor utama yang menentukan penguraian selulosa oleh enzim selulolitik sehingga mikrob mampu menghidrolisis kristal selulosa yang terdapat di alam. Menurut Yoon et al. (2005) penurunan kandungan serat pangan tak larut berupa selulosa dilakukan oleh enzim selulase yang mendegradasi dinding sel sebagai komponen tidak larut menjadi komponen sederhana yang lebih larut. Wang et al. (2008) mengemukakan bahwa selulase merupakan enzim yang dihasilkan untuk memanfaatkan selulosa yang melibatkan gabungan enzim hidrolisis, terdiri atas endoglukanase, eksoglukanase (cellobiohydrolase), dan ß-glukosidase yang bekerja secara sinergis.

Penurunan kandungan hemiselulosa tertinggi pada hari ke-9 inkubasi. Penurunan tersebut lebih besar dibandingkan dengan penurunan selulosa. Hal tersebut berkaitan besarnya aktivitas xilanase yang dihasilkan oleh kedua isolat konsorsium. Xilanase yang dihasilkan menghidrolisis xilan sebagai komponen

0 5 10 15 20 25 30 35 3 6 9 P enurun a n k o m po nen ser a t (%)

18

terbesar penyusun hemiselulosa. Selama proses hidrolisis, enzim xilanase menghidrolisis xilan menjadi fraksi-fraksi penyusunnya. Hidrolisis xilan diperlukan beberapa enzim berbeda yaitu endo1.4-ß-xilanase yang menghidrolisis struktur dasar xilan secara acak menjadi xilooligosakarida, 1.4 ß-D-xilosidase yang memutus xilooligosakarida menjadi xilosa. Gugus penyusun samping xilan akan dibebaskan oleh α-L-arabinofuranosidase, α-D-glukorodase, dan asetil xilan esterase menjadi arabinosa, glukuronat, dan asetat (Subraminayan dan Prema 2002). Mekanisme hidrolisis xilan diawali oleh α-rabinofurabinosidase yang mampu menghidrolisis xilan menjadi L-arabinosa dan xilobiosa. Pemutusan rantai

cabang akan memudahkan hidrolisis xilan oleh eksoxilan dan β-xilosidase. Produk utama dari hidrolisis ketiga enzim tersebut adalah xilosa, arabinosa, dan xilotetrosa yang sedikit bercampur dengan xilotriosa (Puspaningsih 2004).

Terjadinya perubahan kandungan serat lignoselulosa pada kulit buah kopi yaitu selulosa dan hemiselulosa, berpengaruh juga terhadap perolehan komponen gula dan senyawa bioaktif. Penentuan komponen tersebut dilakukan dengan cara mengekstraksi menggunakan pelarut polar yaitu etanol. Oleh karena itu, dalam penelitian ini komponen yang terukur dari hasil ekstraksi merupakan komponen bioaktif yang bersifat polar. Polifenol merupakan kelompok senyawa polar yang banyak mengandung gugus OH (Shi et al. 2003). Pengukuran komponen gula yaitu total gula dan gula reduksi, sedangkan senyawa bioaktif meliputi total polifenol, antosianin, tanin dan katekin. Perolehan hasil ekstraksi setelah proses kultivasi menggunakan konsorsium aktinomiset dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kandungan gula hasil ekstraksi setelah kultivasi pada suhu 27 °C

Komponen Perlakuan Waktu inkubasi (hari)

0 3 6 9 Gula total (mg mL-1) A 11.94±0.62c 19.60±1.62a 16.25±0.85b 10.82±0.87c B 12.17±1.31c 11.98±1.31c 11.89±1.30c 12.35±0.00c Gula reduksi (mg mL-1) A 2.06±0.00b 4.82±0.01a 4.86±0.01a 1.73±1.01c B 2.06±0.16b 2.53±0.18b 2.78±0.18b 2.67±0.19b Data : Rata-rata ± standar deviasi; α μ 0.05

Ket: A: Sampel (dengan kultur konsorsium Streptomyces sp.) B: Kontrol (tanpa kultur konsorsium Streptomyces sp.)

Hasil ekstraksi menunjukkan bahwa gula total pada perlakuan sampel tertinggi pada hari ke-3 hasil tersebut lebih besar dibandingkan dengan kontrol. Gula total meningkat seiring waktu inkubasi dan tertinggi pada hari ke-6. Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan konsorsium aktinomiset berpengaruh terhadap perolehan kandungan gula dan uji lanjut Duncan juga menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan kontrol dengan sampel. Kandungan total gula tertinggi hasil poses kultivasi menggunakan kultur starter konsorsium aktinomiset (Tabel 3) diketahui pada inkubasi hari ke-3, sedangkan inkubasi hari ke-6 kandungan gula yang diperoleh sedikit mengalami penurunan. Hal ini dapat terjadi karena dimungkinkan pada hari ke-6 konsorsium aktinomiset hanya mengubah oligosakarida menjadi monosakarida sehingga tidak menyebabkan adanya kenaikan total gula yang diperoleh.

19 Pada perlakuan kontrol, gula reduksi hanya sedikit saja mengalami peningkatan atau cenderung konstan, yang berbeda dengan perlakuan sampel. Dalam hal ini memungkinkan karena keterbatasan hadirnya mikroba yang hanya sedikit saja peningkatan gula reduksi oleh aktivitas mikrob indigeneus. Gula reduksi berupa monomer gula merupakan produk hasil degradasi serat selulosa dan xilan oleh aktivitas enzim xilanase dan selulase oleh konsorsium aktinomiset. Menurut Saha (2004) hidrolisis selulosa akan menghasilkan monomer glukosa dan oligomer selobiosa, sedangkan xilan berupa xilosa, arabinosa, dan xilo-oligosakarida. Menurut Yoon et al. (2005) hidrolisis serat menggunakan enzim selulase diperoleh beberapa komponen gula yaitu monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa, dan arabinosa), selooligosakarida (selopentosa, selotetrosa, selotriosa, dan selobiosa), dan galaktooligosakarida (galaktotetrosa dan galaktotriosa).

Nilai gula reduksi meningkat seiring dengan peningkatan waktu inkubasi substrat oleh konsorsium aktinomiset. Perolehan gula reduksi meningkat setelah 3 hari inkubasi dan perolehan tertinggi terjadi pada inkubasi hari ke-6. Perihal tersebut terkait dengan hasil degradasi tertinggi komponen serat kompleks (Gambar 7). Pada hari ke-3 substrat belum terhidrolisis secara sempurna oleh xilanase dan selulase sehingga masih ada peningkatan gula reduksi pada hari ke-6. Molekul xilosa memiliki struktur dengan gugus karbonil yang berada pada ujung rantai karbon, yang menandakan bahwa xilosa mempunyai gugus aldehid bebas yang reaktif sehingga dimasukkan dalam kategori gula pereduksi (Yang et al.

2005).

Terdegradasinya komponen selulosa, hemiselulosa dan lignin sebagai pengikat senyawa metabolit sekunder, maka berpengaruh juga terhadap perolehan hasil ekstraksi senyawa bioaktif pada kulit kopi (Tabel 4). Proses ekstraksi yang telah dilakukan diketahui perolehan total polifenol mengalami peningkatan yang lebih besar pada perlakuan sampel dibandingkan dengan kontrol. Hasil analisis

Dokumen terkait