• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Optimum Reaksi Epoksidasi MJPE

Pencarian kondisi optimum dilakukan dengan terlebih dahulu mengukur parameter kimia keadaan bahan MJP. Parameter yang diukur meliputi bilangan iodin, bilangan oksirana, dan bilangan peroksida dengan hasil berturut-turut 97.4625 g I2/100 g, 0.0205 % dan 0.7294 eq/1000g. Epoksidasi MJP menjadi MJPE dilakukan pada waktu tetap 12 jam, dengan ragam suhu 50, 60dan 70 oC dan ragam konsentrasi katalis 1, 2, 3, dan 4%. Data Tabel 2 menunjukkan bahwa sintesis pada ragam peubah suhu dan konsentrasi katalis menghasilkan nilai bilangan iodin dan oksirana yang berbeda. Peragaman suhu dan katalis menunjukkan hasil nilai bilangan iodin cenderung turun seiring dengan naiknya suhu dan konsentrasi katalis. Nilai bilangan iodin turun seiring naiknya suhu dan konsentrasi katalis, diiringi dengan naiknya nilai bilangan oksirana. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil pengukuran awal bilangan iodin dibandingkan dengan hasil sintesis epoksidasi maka pada suhu 50 oC untuk bilangan iodin mengalami penurunan 1.5–4.2 kali dari kondisi awal. Pada suhu 60

oC bilangan iodin turun 1.8–4.23 kali dan pada suhu 70 oC penurunan terjadi 2.58–15.3 kali dari kondisi bilangan iodin awal. Demikian pada ragam suhu dan katalis yang berbeda juga menghasilkan nilai bilangan oksirana yang beragam. Pada suhu 50, 60, 70 oC nilai bilangan oksirana ini naik seiring naiknya konsentrasi katalis. Sementara itu untuk bilangan oksirana terjadi kenaikan 58.5– 107.3 kali dari kondisi bilangan oksirana sebelum epoksidasi pada suhu 50 oC. Selanjutnya pada suhu 60 oC terjadi kenaikan bilangan oksirana sebesar 87.8– 131.7 kali dan pada suhu 70 oC kenaikan sebesar 123.4–205.8 kali dari bilangan oksirana sebelum epoksidasi.

Tabel 2 Hasil sintesis epoksidasi pada ragam peubah suhu (50–70 oC ) dan katalis (1–4%)

Parameter Suhu 50 oC Suhu 60 oC Suhu 70 oC Bilangan iodin (g I2/100 g) 63.5–23.7 51.3–23 37.7–6.4 Bilangan oksirana (%) 1.2–2.2 1.8–2.7 2.53–4.22

3.5 Bil I od 20 2.5 40 60 A mber lit 50 1.5 60 70 80 Suhu

Semua data pada Lampiran 3 kemudian dioptimalisasi dengan metode respons permukaan (response surface method) dihasilkan kurva dua-tiga dimensi yang dapat menjelaskan pengaruh suhu dan konsentrasi katalis Amberlite IR-120 terhadap bilangan iodin dan oksirana. Hasilnya berturut-turut pada Gambar 4a dan 4b.

Gambar 4a Hubungan antara suhu dan katalis dan bilangan iodin ( = kecenderungan membaik).

Gambar 4b Respons permukaan suhu dan katalis dan bilangan iodin (inset: = daerah optimum; = daerah minimum).

Gambar 4a memperlihatkan bahwa dengan semakin naiknya suhu 66–70 oC dan konsentrasi katalis 3.2–4% akan menurunkan nilai bilangan iodin ke kisaran nilai lebih kecil dari 20 yang ditunjukkan oleh perubahan warna dari warna hijau tua ke warna hijau muda. Pada Gambar 4a juga terlihat bahwa pada suhu reaksi 75–80 oC dan katalis 4% ternyata nilai bilangan iodin fluktuatif pada kisaran nilai di bawah 20 (warna hijau paling terang). Hal ini mengandung arti bahwa pada suhu yang paling tinggi, yaitu antara 75 dan 80 oC penurunan bilangan iodin bersifat tidak stabil. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya penguraian asam perasetat karena di

atas suhu ±60–70 oC penguraian asam perasetat akan lebih cepat dibanding epoksidasi ikatan rangkap sehingga akan mengurangi hasil epoksidasi dan ini akan berpengaruh terhadap nilai bilangan iodin (Celikay et al. 2002).

Respons permukaan (Gambar 4b) menjelaskan adanya keteraturan penurunan bilangan iodin dengan naiknya suhu dan bertambahnya konsentrasi katalis pada daerah optimum dan minimum. Nilai bilangan iodin minimum diperoleh pada suhu 50 oC dan konsentrasi katalis 1% (bagian mendatar paling bawah pada kurva), sedangkan nilai bilangan iodin optimum didapat pada suhu 70

oC dan konsentrasi katalis 4% (kurva yang menjulang ke atas) dengan nilai bilangan iodin pada kisaran 7.12 g I2/100 g. Hal ini sesuai dengan data hasil sintesis epoksidasi bilangan iodin (Lampiran 3).

Nilai bilangan iodin mencerminkan jumlah ikatan rangkap atau derajat ketidakjenuhan. Penurunan bilangan iodin yang tajam terjadi pada kondisi optimum menunjukkan adanya konversi ikatan rangkap yang cepat pada suhu 70

o

C dan waktu 12 jam dengan katalis 4%. Nilai bilangan iodin ini lebih kecil dibandingkan pada suhu 50 dan 60 oC, tetapi lebih besar daripada suhu 80 oC pada waktu dan jumlah katalis yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan bilangan iodin sangat dipengaruhi oleh suhu.

Sementara itu Gambar 5a memperlihatkan peningkatan bilangan oksirana dengan naiknya suhu dari 50 ke 70 oC dan konsentrasi katalis dari 1 ke 4%, yang ditunjukkan oleh perubahan warna dari hijau muda ke hijau tua. Bilangan oksirana optimum dicapai pada suhu 70 oC dan konsentrasi katalis 4% (daerah bulatan utuh pada kurva).

Gambar 5a Hubungan antara suhu dan katalis dan bilangan oksirana ( = kecenderungan membaik). Suhu A m b e rl it 80 75 70 65 60 55 50 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 Bil 1.5 - 2.0 2.0 - 2.5 2.5 Ok sirana - 3.0 3.0 - 3.5 > 3.5 < 1.0 1.0 - 1.5

Gambar 5b Respons permukaan suhu dan katalis dan bilangan

oksirana (inset: = daerah optimum; = daerah minimum).

Lebih lanjut Gambar 5b memperlihatkan bahwa nilai bilangan oksirana minimum akan diperoleh pada suhu 50 oC dan konsentrasi katalis 1% (bagian mendatar paling bawah pada kurva). Secara teoretis kenaikan suhu dan katalis akan mempercepat pengubahan ikatan rangkap menjadi gugus oksirana. Kenaikan bilangan oksirana terjadi secara signifikan pada rentang suhu 50–70 oC konsentrasi katalis 1–4% (kurva menjulang dari bawah ke atas). Hal ini sesuai dengan hasil sintesis epoksidasi bilangan oksirana (Lampiran 3). Kondisi optimum untuk bilangan oksirana didapatkan pada suhu kira-kira 70 oC dengan kosentrasi katalis mencapai 4% dengan menghasilkan bilangan oksirana yaitu >3.5 (daerah kurva mendatar paling atas). Pada suhu yang lebih tinggi yaitu ±80

o

C bilangan oksirana turun dan ditunjukkan dengan titik balik penurunan pada daerah lengkungan kurva bagian ujung paling atas. Menurut Goud et al. (2006), konversi ikatan rangkap menjadi oksirana dengan cepat akan terjadi pada suhu 80–85 oC dalam kisaran waktu yang singkat, yaitu antara 3 dan 6 jam reaksi. Namun kisaran suhu ini juga dapat mengakibatkan ketidakstabilan cincin oksirana dan pembukaan cincin oksirana. Pada proses sintesis epoksidasi, untuk mencegah reaksi eksotermik tidak terkontrol, maka setiap tingkat kisaran suhu dipisahkan dengan perbedaan 10 oC. Peningkatan suhu akan mendorong pembentukan asam perasetat. Hal ini akan mempercepat laju epoksidasi, tetapi sekaligus meningkatkan laju hidrolisis, sehingga terjadi pembukaan cincin oksirana (Campanela & Baltanas 2005).

4 3 B il O k s ir a n a 1 2 3 A m b e r l i t 4 2 5 0 6 0 1 7 0 8 0 S u h u

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0 3 6 9 12 15 B ila n g a n i o d in ( g I /100 g ) Suhu 50 Suhu 60 Suhu 70 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 3 6 9 12 15 B il a nga n oks ir a na (% ) Suhu 50 Suhu 60 Suhu 70

Besarnya bilangan oksirana dipengaruhi juga oleh faktor konversi atau perubahan ikatan rangkap yang terdapat pada rantai karbon asam lemak minyak jarak pagar. Semakin besar konversi ikatan rangkap menjadi oksirana akan semakin besar pula bilangan oksirana dan meningkatkan hasil reaksi epoksidasi. Konversi ikatan rangkap menjadi cincin oksirana menentukan keberhasilan reaksi epoksidasi. Nilai konversi ikatan rangkap dapat dihitung secara teoritis. Berdasarkan perhitungan maka pada penelitian ini nilai konversinya adalah 7.123 lebih besar dari nilai konversi yang dihasilkan oleh Goud et al. (2006), yaitu 5.31 tetapi lebih kecil dari Petrovićetal. (2001) sebesar 7.3 (Lampiran 4).

Kondisi optimum epoksidasi yang diperoleh menggunakan software Minitab 14 ialah suhu 70 oC dan konsentrasi katalis Amberlite IR-120 4% dalam waktu reaksi 12 jam (Lampiran 5) dengan nilai bilangan oksirana sebesar 4.2%.

Gambar 6 Hubungan antara (a) bilangan iodin (b) dan bilangan oksirana terhadap waktu.

Gambar 6 memperlihatkan nilai bilangan iodin MJPE turun 13–14 kali dari kondisi awal. Sebaliknya, bilangan oksirana MJPE meningkat 208 kali. Hal ini membuktikan telah terjadinya reaksi epoksidasi. Bilangan oksirana maksimum yang didapat, yaitu 4.2% lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil epoksidasi minyak kedelai (±6.9%) (Petrovićet al. 2001), tetapi lebih tinggi daripada hasil epoksidasi menggunakan metil ester jarak pagar dengan waktu, suhu, dan katalis yang sama (Sugita et al. 2007), yaitu 3.38%, dan juga lebih tinggi dibandingkan dengan pada penggunaan katalis zeolit (Diana 2007) atau bentonit (Wahid 2007) yang berturut-turut menghasilkan bilangan oksirana yaitu 1.36 dan 1.33%. Pengolahan dengan perangkat lunak Minitab 14 untuk melihat interaksi setiap

respons (suhu dan katalis) berdasarkan analisis koefisien kuadratik menghasilkan model persamaan matematika untuk optimalisasi sebagai berikut: Bilangan oksirana = 17.8733 + 0.5498x + 1.2830y–0.0039z–0.1960xy–0.004xz dengan nilai

R-Sq dan R-Sq (adj) berturut-turut 75.9 % dan 63.8 % (Lampiran 6). linearitas sebesar 75.9% tergolong rendah kurang dari 0.95. Analisis keragaman atau Anova menunjukkan bahwa nilai P (0.001) lebih kecil daripada taraf α (5%). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa semua peubah suhu dan katalis memiliki pengaruh nyata terhadap bilangan oksirana (Lampiran 7).

Ciri MJPE Optimum Berdasarkan FTIR dan GC-MS

Daerah serapan C=C pada MJP terdapat pada 1652.82 cm-1. Pada MJPE serapan ini berkurang atau tidak terlihat lagi dengan semakin bertambahnya tingkat epoksidasi, karena ikatan rangkap mengalami pemutusan dan mengikat oksigen untuk membentuk cincin oksirana. Terbentuknya cincin oksirana pada MJPE juga ditunjukkan oleh serapan pada 729.24 cm-1 yang merupakan serapan khas untuk gugus fungsi epoksi. Sementara itu pada MJPE juga terdapat serapan pada 3500 cm-1 yang menunjukkan gugus fungsi OH dari diol (Lampiran 8 dan 9).

Selanjutnya dilakukan analisis GC-MS untuk mengidentifikasi senyawa epoksida yang terbentuk dan didapatkan bahwa pada MJPE dengan waktu retensi 14.809 menit dan luas area 4.66% terdapat senyawa metil cis-9,10–epoksioleat dengan senyawa C19H36O3, BM=312 (Lampiran 10). Juga terdapat senyawa lain seperti asam laurat, metil palmitat, asam palmitat, metil stearat, dan asam oleat. Data ini menjelaskan bahwa telah terjadi reaksi epoksidasi MJP menjadi MJPE yakni pada residu asam oleatnya. Data GC-MS juga menunjukkan kandungan senyawa epoksi yang terdapat pada MJPE. Senyawa epoksi ini menjadi indikator adanya konversi ikatan rangkap yang terdapat pada MJP menjadi senyawa epoksioleat pada MJPE. Dengan demikian senyawa epoksioleat dengan kemiripan 93% terdapat pada MJPE .

Energi Aktivasi (Ea)

Kondisi optimum reaksi epoksidasi, yaitu suhu 70 oC, konsentrasi katalis 4%, dan waktu 12 jam selanjutnya dipakai untuk studi kinetika dan penentuan

nilai Ea. Reaksi epoksidasi secara in situ melibatkan dua reaksi utama, yang pertama adalah pembentukan asam peroksiasetat, sedangkan yang kedua adalah pembentukan epoksida dari reaksi asam peroksiasetat dengan ikatan rangkap, (Goud et al. 2006) : AA + H2O k1 k2 PAA + H2O ...(6) EO + AA...(7) PAA + MJP k3

AA adalah asam asetat (acetic acid), PAA adalah asam peroksiasetat (peroxoacetic acid), dan EO adalah gugus epoksi (epoxide group), k1, k2, dan k3

adalah tetapan laju reaksi.

Berdasarkan persamaan (6) dan (7), dengan mengasumsikan PAA tetap selama reaksi reaksi epoksidasi MJP adalah orde pertama, karena hanya melibatkan satu pereaksi tunggal (persamaan 6) yaitu MJP, akan tetapi penentuan ini juga harus diperkuat dengan metode integrasi, yaitu dengan melihat koefisien determinasi (R2). Data dan kurva penentuan orde reaksi epoksidasi untuk bilangan iodin ditunjukkan pada Lampiran 11 dan 12. Hasil analisis menunjukkan bahwa hasil epoksidasi MJP menjadi MJPE menghasilkan orde satu. Hal ini terlihat dari nilai R2pada orde satu lebih tinggi dibandingkan orde 2 dan 3 untuk setiap suhu. Tabel 3, menjelaskan nilai koefisien determinasi pada orde pertama, pada suhu 50, 60, dan 70 oC.

Tabel 3 Nilai koefisien determinasi (R2 ) orde pertama untuk reaksi epoksidasi Suhu (°C) Orde Persamaan garis R2

50 Ke-1 y = 0.0997x - 0.2243 0.9786 60 Ke-1 y = 0.034x + 0.3151 0.9701 70 Ke-1 y = 0.2134x + 0.4335 0.9811 Pada penentuan tetapan laju reaksi (k), persamaan yang digunakan pada orde pertama adalah sebagai berikut:

) 8 ...( ... ]... [ / ] [DB dt k DB d = −

Persamaan 8 tersebut merupakan interpretasi dari menurunnya bilangan iodin terhadap waktu (-d[DB]/dt) sehingga persamaan (8) ketika dilogaritmakan berubah menjadi persamaan (9):

) 9 ...( ... ... ]) /[ ] ln([DBo DB =kt

Tetapan laju reaksi (k) untuk kinetika reaksi epoksidasi MJPE dibuat dari persamaan 9, yaitu dengan membuat kurva regresi hubungan antara waktu sebagai sumbu x, dan ln([DBo]/[DB]) sebagai sumbu y, sehingga didapat persamaan garis

y = a + bx. Data penentuan tetapan laju reaksi dapat dilihat pada Lampiran 13. Kurva hubungan antara waktu dan ln[iodin] pada suhu 50, 60, dan 70 oCuntuk penentuan nilai tetapan laju reaksi (k) ditampilkan pada Gambar 7.

Gambar 7 Hubungan antara waktu dan ln ([DBo]/[DB]) pada suhu 50, 60, dan 70 oC untuk penentuan nilai tetapan laju reaksi (k).

Kemiringan atau gradien dari persamaan garis pada Tabel 5 merupakan tetapan laju reaksi yang hasilnya diringkaskan pada Tabel 4.

Tabel 4 Tetapan laju reaksi epoksidasi MJPE Suhu reaksi

(oC)

Tetapan laju reaksi (k) ([DB]-1(jam)-1)

50 9.97 x 10-2

60 3.4 x 10-2

70 21.34 x 10-2

Tabel 4 menunjukkan bahwa perbedaan suhu reaksi 10 oC telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai tetapan laju (k). Kenaikan suhu 10 oC telah cukup signifikan untuk memperbesar fraksi molekul MJPE dan asam peroksiasetat yang teraktifkan atau memiliki energi kinetik melebihi Ea reaksi epoksidasi. Tabel 4 selanjutnya digunakan untuk menentukan Ea dengan menggunakan persamaan Arrhenius. Ea ini diperoleh dari kemiringan kurva hubungan 1/T dengan ln k (Gambar 8), yakni sebesar 24.99 kJmol-1 (Lampiran 14). Nilai ini lebih rendah dari nilai Ea epoksidasi minyak kedelai yang dilakukan oleh Petrovic et al. (2001), yakni 54.7 kJmol-1, Sugita et al. (2007), yakni 45.43

k = 0 . 2 1 3 4 k = 0 . 0 3 4 k = 0 . 0 9 9 7 0 . 0 0 . 5 1 . 0 1 . 5 2 . 0 2 . 5 3 . 0 3 . 5 4 . 0 3 6 9 1 2 1 5 W a k t u ( j a m ) ln (I o /I)

kJmol-1 yang berarti laju reaksi pada reaksi epoksidasi berlangsung lebih cepat. Namun nilai linearitas persamaan Arhennius yang diperoleh hanya 0.7885.

Gambar 8 Regresi hubungan antara 1/T dan ln k untuk penentuan Ea.

Penentuan orde reaksi juga dilakukan dengan menggunakan perubahan bilangan oksirana selama berlangsungnya reaksi epoksidasi. Pengujian untuk orde ke-0, 1, dan 2 dengan data bilangan oksirana kembali memberikan R2 terbesar pada orde pertamadengan rata-rata 0.93 dibanding pada orde ke-0,dan 2 berturut-turut R2 0.91 dan 0.88 (Lampiran 15). Nilai koefisien determinasi orde pertama pada suhu 50, 60, dan 70 oC ditunjukkan pada Tabel 5. Kemiringan dari persamaan garis pada Tabel 7, yang merupakan nilai k, diringkaskan pada Tabel 6 dan digunakan untuk penentuan Ea. Terlihat bahwa perbedaan nilai tetapan laju reaksi berdasarkan kenaikan bilangan oksirana ini lebih nyata dibanding yang berdasarkan penurunan bilangan iodin.

Tabel 5 Nilai koefisien determinasi (R2 ) oksirana untuk persamaan orde reaksi Suhu (°C) Orde Persamaan garis R2

50 Ke-1 y = -0.1128x – 2.5357 0.9375 60 Ke-1 y = -0.0439x – 3.1485 0.9225 70 Ke-1 y = -0.0189x –2.539 0.9369

Tabel 6 Tetapan laju reaksi epoksidasi MJPE untuk bilangan oksirana Suhu Reaksi

(oC)

Tetapan laju reaksi (k) ([DB]-1(jam)-1) 50 11.28×10-2 60 4.39×10-2 70 1.89×10-2 y = -2670x + 6.0297 R2 = 0.7885 -2.5000 -2.0000 -1.5000 -1.0000 -0.5000 0.0000 0.0028 0.0029 0.0030 0.0031 0.0032 1/T ln K 1/T ln k R2 y

Ea yang diperoleh dari percobaan berdasarkan bilangan oksirana ini sebesar 82.296 JK/mol (Lampiran 18). Nilai ini lebih tinggi dari nilai Ea epoksidasi berdasarkan bilangan iodin yaitu 24.99 JK/mol. Kurva regresi hubungan antara 1/T dan ln k untuk penentuan Ea ditampilkan pada Gambar 9 dengan nilai linearitas sebesar 0.9998. Nilai ini tergolong tinggi dan hal ini dapat menjelaskan adanya keseragaman nilai k dan bahwa pengaruh faktor keragaman suhu sangat kecil.

Gambar 9 Regresi hubungan antara 1/T dan ln k untuk penentuan Eaoksirana.

Campuran Optimum PVC dengan Pemlastis

Pencampuran PVC dengan pemlastis MJPE dilakukan pada keadaan fase cair-cair menggunakan pelarut THF. Hasil pencampuran tersebut di uji dengan menggunakan alat uji tarik setelah dibentuk dumbell dengan menggunakan alat Instron ASTM D-1822. Nilai rata-rata dari hasil uji tarik dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil nilai uji tarik selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 20. Pencampuran dan penambahan pemlastis pada PVC dapat mengubah sifat fisik polimer tersebut, terlihat dari adanya perubahan nilai kuat tarik, elastisitas, dan elongasinya. Tabel 7 memperlihatkan nilai uji tarik pada ragam peubah pemlastis dan PVC. Terlihat bahwa nilai kuat tarik pada film PVC dengan bobot molekul 62000 g/mol semakin menurun dengan bertambahnya konsentrasi pemlastis. Sementara itu pada film PVC dengan bobot molekul 43000 g/mol juga kuat tarik turun nilai seiring kenaikan konsentrasi pemlastis. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikkan konsentrasi pemlastis akan menurunkan nilai kuat tarik pada film PVC.

y = 9843.8x - 32.674 R2 = 0.9998 -5.0000 -4.0000 -3.0000 -2.0000 -1.0000 0.0000 0.0029 0.0030 0.0030 0.0031 0.0031 0.0032 1/T ln K ln k y R2 1/T

Menurut Krauskof dan Godwin (2003) menurunnya nilai kuat tarik pada PVC disebabkan oleh terdifusinya pemlastis ke dalam polimer sehingga melemahkan interaksi antarpolimer dan mencegah terbentuknya jaringan yang kaku pada polimer. Sementara itu nilai elastisitas dan elongasi naik seiring kenaikan konsentrasi pemlastis pada film PVC. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 19.

Tabel 7 Data hasil uji kuat tarik PVC dan campurannya.

Contoh Kuat Tarik

(kg/cm2 ) Elastisitas (%) Elongasi (cm) Tipe1blanko (BM:62000) 523.20 20 1.2 Tipe 1+ 1g MJPE 350.00 204 3.0 Tipe 1+ 2g MJPE 217.24 250 3.5 Tipe 1+ 3g MJPE 75.09 284 3.8 Tipe 2 blanko (BM:43000) 368.44 50 1.5 Tipe 2+ 1g MJPE 220.14 150 2.5 Tipe 2+ 2g MJPE 181.05 150 2.5 Tipe 2+ 3g MJPE 54.80 200 2.0

Selanjutnya, data uji tarik yang diperoleh diolah menggunakan perangkat lunak Minitab 14 untuk melihat interaksi atau respons data terhadap beberapa faktor, diantaranya ragam jumlah pemlastis dan bobot molekul PVC. Menurut Biju et al. (2007) pemlastis yang berasal dari senyawa terepoksidasi tinggi akan berinteraksi kuat dengan PVC dan menambah kompatibilitas polimer sehingga akan berpengaruh pada kuat tarik, elastisitas, dan elongasi polimer. Gambar 10 menunjukkan kurva dua-dimensi yang memperlihatkan pengaruh konsentrasi pemlastis dan bobot molekul PVC pada kuat tarik (Data lengkap disajikan pada Lampiran 20, dan kurva tiga dimensinya pada Lampiran 21). Terlihat bahwa dengan naiknya konsentrasi pemlastis pada ragam peubah bobot molekul maka nilai kuat tarik turun yang ditunjukkan oleh perubahan warna dari biru tua menjadi hijau. Kurva (10) menjelaskan hubungan antara PVC dan MJPE pada pencampuran PVC bobot molekul dan MJPE 7:3; nilai kuat tarik menjadi 50-100 dan nilai ini sesuai dengan kondisi pencampuran antara PVC dan MJPE (Lampiran 20) dan ditunjukkan oleh warna hijau muda pada kurva. Hal ini

menunjukkan bahwa pemlastis yang terdifusi pada antarruang polimer dapat mengurangi interaksi antarmolekul pada polimer sehingga menjadi lebih lentur dan menurunkan nilai kuat tariknya.

Gambar 10 Hubungan antara PVC dan MJPE (pemlastis) dan kuat tarik ( = kecenderungan membaik).

.

Gambar 11 menjelaskan pengaruh PVC dan pemlastis terhadap elastisitas (Data lengkap pada Lampiran 20 dan kurva tiga dimensinya pada Lampiran 22). Berdasarkan hasil pada Tabel 9 terlihat bahwa kenaikan konsentrasi pemlastis akan menaikkan nilai elastisitas film PVC. Pada PVC dengan bobot molekul 62000 tanpa penambahan pemlastis (blanko) nilai elastisitas sangat kecil dan naik tajam seiring kenaikan penambahan konsentrasi pemlastis. Kenaikkan nilai elastisitas ini juga terjadi pada PVC dengan bobot molekul 43000. Menurut Biju

et al. (2007), penambahan pemlastis pada polimer memengaruhi kelenturan polimer dengan menurunkan sifat getas dan kaku pada polimer sehingga menaikkan elastisitas pada polimer. Gambar 11 menjelaskan pengaruh ragam pemlastis dan bobot molekul terhadap elastisitas. Pada konsentrasi pemlastis 1.6– 3 g, nilai elastisitas konstan pada kisaran 200 yang ditunjukkan oleh warna biru muda terang pada kurva.

Gambar 11 Hubungan antara PVC dan MJPE (pemlastis) dan elastisitas ( = kecenderungan membaik).

Gambar 12 menjelaskan pengaruh pemlastis dan bobot molekul PVC terhadap nilai elongasi film PVC (Data lengkap pada Lampiran 20 dan kurva tiga dimensinya pada Lampiran 23). Nilai elongasi bertambah seiring kenaikan konsentrasi pemlastis. Elongasi terbesar didapatkan pada saat kisaran pemlastis 3 g yang menghasilkan nilai elongasi lebih besar 2.6. Hal ini disebabkan oleh adanya plastisasi polimer yang disebabkan oleh penambahan pemlastis sehingga menaikkan elongasi pada polimer. Elongasi akan bertambah besar seiring kenaikan jumlah pemlastis yang ditambahkan (Biju et al. 2007). Pada PVC dengan bobot molekul 43000 g/mol, nilai elongasi pada nisbah PVC:MJPE (7:3) adalah 2, ini lebih rendah dari nilai elongasi pada nisbah PVC:MJPE (8:2) yang nilainya 2.5. Hal ini mungkin disebabkan oleh distribusi pemlastis yang tidak merata pada proses pencampuran PVC dengan pemlastis sehingga tidak terdifusi dengan baik pada film PVC. Selanjutnya data keseluruhan kuat tarik, elastisitas dan elongasi diolah dengan Minitab 14 untuk mencari nilai optimum kondisi pencampuran PVC dengan pemlastis. Hasil pengolahan menunjukkan bahwa nilai optimum pencampuran adalah pada kondisi nisbah pencampuran PVC dan pemlastis 7:3. 0 1.5 2 2.5 3 3.5

Gambar 12 Hubungan antara PVC dan MJPE (pemlastis) dan elongasi ( = kecenderungan membaik).

Pengolahan dengan perangkat lunak Minitab 14 untuk melihat interaksi setiap respons (PVC dan pemlastis) berdasarkan analisis koefisien kuadratik menghasilkan model persamaan matematika untuk kuat tarik sebagai berikut: -13.9865 + 2.8257x + 2.6952y–1.4266z–1.2981xy–2.7224xz dengan nilai R-Sq

adalah 88.5% (Lampiran 24). Dengan nilai R-Sq 88.5%, linearitas ini tergolong rendah kurang dari 0.95. Artinya terdapat ketidakseragaman pencampuran yang dilakukan terutama faktor bobot molekul PVC dan pemlastis. Sementara itu analisis keragaman atau Anova menunjukkan bahwa nilai P (0.001) lebih kecil dari taraf α (5%). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa semua peubah bobot molekul PVC dan pemlastis memiliki pengaruh nyata terhadap kuat tarik.

Selanjutnya Pengolahan dengan perangkat lunak Minitab 14 untuk melihat interaksi setiap respons (PVC dan pemlastis) berdasarkan analisis koefisien kuadratik menghasilkan model persamaan matematika untuk elongasi sebagai berikut = 23.4496–4.6851x–4.5487y + 2.340z + 2.206xy + 4.546xz dengan nilai R-Sq adalah 85% (Lampiran 25). Dengan nilai R-Sq adalah 85% linearitas ini juga tergolong rendah kurang dari 0.95. Artinya terdapat ketidakseragaman pencampuran yang dilakukan terutama faktor bobot molekul PVC dan pemlastis yang berpengaruh pada elongasi. Sementara itu analisis keragaman atau Anova menunjukkan bahwa nilai P (0.001) lebih kecil dari taraf α (5%). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa semua peubah bobot molekul PVC dan pemlastis memiliki pengaruh nyata pada elongasi.

Ciri Film Berdasarkan SEM

Optimalisasi pencampuran PVC dengan pemlastis menghasilkan nilai optimum pada kondisi PVC 7 g, pemlastis 3 g. Selanjutnya dilakukan pencirian film PVC dengan SEM. Hasil SEM permukaan film tanpa pemlastis (Gambar 13a) memperlihatkan tekstur kasar yang berlubang. Permukaan yang tidak merata pada kisi-kisinya dan tidak homogen memerangkap gelembung-gelembung udara dan akibatnya permukaan film terlihat kisut dan berlubang. Gambar 13b memperlihatkan keadaan yang sebaliknya. Permukaan film PVC yang menggunakan pemlastis memperlihatkan keseragaman tekstur yang merata sehingga teksturnya nampak lebih halus. Hal ini dikarenakan pemlastis mengisi kisi-kisi antarruang polimer sehingga permukaan atau tekstur film menjadi halus, tidak kisut, dan tidak berlubang.

Gambar 13a Foto SEM tekstur permukaan film tanpa pemlastis pada perbesaran 7500×.

Gambar 13b Foto SEM tekstur permukaan film dengan pemlastis pada perbesaran 7500×.

Tg Film Berdasarkan DSC

Tabel 8 menjelaskan hasil pengukuran hasil campuran PVC dengan pemlastis atau film yang menghasilkan nilai transisi kaca yang berbeda pada ragam pencampuran PVC dan pemlastis yang optimum.

Tabel 8 Data hasil uji Tg film dengan DSC Identitas Sampel Tg (o C) PVC BM 62000 43.6 PVC BM 43000 41.8 PVC BM 62000 + Pemlastis (7:3) 42.7 PVC BM 43000 + Pemlastis (7:3) 40.9

Tabel 8 menjelaskan bahwa nilai transisi kaca film untuk blanko PVC dengan bobot molekul 62000 g/mol setelah ditambah pemlastis mengalami penurunan nilai transisi kaca dari 43.6 menjadi 42.7 oC (termogram DSC selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 26-28). Sementara itu untuk PVC dengan bobot molekul 43000 g/mol nilai transisi kaca turun dari 41.8 menjadi 40.9 oC. Nilai transisi kaca secara teoritis untuk PVC adalah berkisar dari 81 sampai 87 oC, sedangkan hasil pengukuran film PVC blanko pada penelitian ini nilai berkisar dari 40 sampai 43 oC. Hal ini tampaknya disebabkan oleh PVC komersial yang digunakan belum murni atau terkontaminasi pada proses pembuatannya sehingga nilai Tg yang teridentifikasi berbeda.

Sementara itu susunan rantai karbon panjang yang terdapat pada pemlastis akan menyebabkan interaksi antara polimer dengan pemlastis tidak sempurna. Interaksi yang sempurna antara polimer dengan pemlastis akan tercapai jika terjadi introduksi yang cukup dari gugus epoksi pada rantai belakang senyawa diena yang menunjukkan tingkat epoksidasi yang tinggi pada pemlastis. Menurut Biju et al. (2007), interaksi yang kuat antara bahan PVC dengan pemlastis akan menurunkan nilai transisi kaca (Tg) film hasil campuran PVC dengan pemlastis berdasarkan interaksi molekular polar-polar. Hal ini disebabkan oleh

Dokumen terkait