• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepadatan Sarang

Jumlah sarang yang ditemukan dari empat jalur sangat fluktuatif. Jumlah sarang tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah sarang yang ditemukan pada masing-masing jalur.

Jarak Jalur Jumlah Persentase

(%) I II III 0-100 4 1 3 8 44,44 101-200 - - - - - 201-300 - 2 1 3 16,67 301-400 - - 1 1 5,56 401-500 - - - - - 501-600 - 1 - 1 5,56 601-700 1 - - 1 5,56 701-800 2 - - 2 11,11 801-900 - - - - - 901-1000 - 2 - 2 11,11 Total 7 6 5 18 100

Pembutan jalur yang menggunakan metode purposive sampling menyebabkan karakteristik jalur berbeda-beda. Pada tabel 4 terlihat total sarang orangutan yang ditemukan sebanyak 18 sarang, dimana jumlah sarang terbanyak ditemukan pada jalur I (7 sarang) dan jalur II (6 sarang) dengan jarak jalur berkisar antara 0-1000 meter. Banyaknya jumlah sarang ditemukan pada jalur I dan II ini disebabkan karena keberadaan pakan menjadi faktor utama keberadaan sarang. Sedangkan jumlah sarang yang paling sedikit ditemukan adalah pada jalur III (5 sarang), keadaan ini disebabkan karena pada areal ini jenis pohon pakan lebih sedikit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Meijaard (2001) bahwa orangutan dalam melakukan aktifitas hidupnya, termasuk membuat sarang lebih menyukai

daerah yang memiliki kondisi vegetasi pohon yang lebih baik, dan terdapat pohon pakan yang lebih banyak dan bervariasi, serta aman dari berbagai gangguan.

Berdasarkan jarak dalam jalur, jumlah sarang yang banyak ditemukan adalah pada jarak 0-100 meter dengan banyak sarang 8 sarang (44,44%), jarak 201-300 meter sebanyak 3 sarang (16,67%), dan yang paling sedikit adalah dengan jarak jalur 301-400 meter, 501-600 meter, dan 601-700 meter masing- masing sebanyak 1 sarang (5,56%), serta pada jarak 801-900 meter tidak ditemukan sarang sama sekali. Menurut Kuswanda dan Sukmana (2005), ketersediaan sumber pakan, air, karakteristik vegetasi yang menjamin keamanan dan kenyamanan lokasi bersarang adalah faktor utama yang menjadi pertimbangan untuk pemilihan lokasi bersarang pada orangutan.

Populasi Orangutan

Analisis estimasi kepadatan orangutan berdasarkan 18 sarang yang ditemukan dari seluruh jalur didapatkan estimasi total populasi sebanyak 0,006 individu/km2 atau 0,595 individu/ha, seperti terlihat dalam Tabel 2.

Tabel 2.Populasi orangutan yang ditemukan pada masing-masing jalur

Jalur Jumlah Sarang Populasi

Individu/km2 Individu/ha I 7 0,002 0,233 II 6 0,002 0,200 III 5 0,002 0,166 Total 18 0,006 0,595 Rata-Rata 6 0,002 0,200

Estimasi populasi orangutan terbanyak terdapat di jalur I dengan jumlah 0,002 individu/km2 atau 0,233 individu/ha diikuti dengan jalur II dengan jumlah 0,002 individu/km2 atau 0,200 individu/ha dan jumlah terendah terdapat pada jalur

III dengan perkiraan populasi hanya 0,002 individu/km2 atau 0,166 individu/ha. Rata–rata populasi orangutan pada seluruh jalur adalah 0,002 individu/km2 atau 0,200 individu/ha. Utami (2006) menambahkan bahwa kepadatan populasi orangutan Sumatera tergolong rendah (0-7 individu/km2) pada berbagai tipe habitat.

Seiring meningkatnya kualitas habitat dan ketersediaan pohon pakan, maka nilai kepadatan ini juga dapat meningkat dan sebaliknya. Kualitas habitat biasanya menurun ketika masyarakat sekitar hutan mengadakan pembukaan hutan menjadi ladang perkebunan dan lahan. Kondisi hutan yang mengalami penurunan pada akhirnya akan menyebabkan kepunahan lokal dan pergerakan orangutan pun akan terbatas.

Menurut Meijaard (2001) estimasi populasi orangutan berdasarkan metode penghitungan sarang turut ditentukan oleh umur sarang, potensi pohon pakan, perilaku pergerakan, termasuk migrasi serta kondisi habitat. Oleh karena itu, produktivitas tumbuhan yang menghasilkan makanan pada waktu yang tepat dan sebagai tempat beristirahat yang aman inilah yang merupakan daya dukung habitat orangutan.

Laju peluruhan sarang sebagai parameter dalam pendugaan kepadatan populasi orangutan memiliki nilai yang berbeda antara satu tipe habitat dengan tipe habitat lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Van Schaik (1994) bahwa hancur dan hilangnya sarang orangutan ditentukan oleh faktor ketinggian tempat diatas permukaan laut, tipe hutan/habitat, temperatur, kelembaban, dan curah hujan. Berdasarkan penelitian Van Schaik (1995) di Leuser bahwa waktu ketahanan sarang adalah 73 hari, dan berdasar penelitian yang dilakukan di

Ketambe waktu ketahanan sarang antara 81 dan 250 hari (Rijksen, 1978; Buij et al., 2003). Kemampuan orangutan dalam membangun sarang juga sangat

mempengaruhi perhitungan populasi yang menggunakan perhitungan sarang. Diketahui bahwa orangutan sumatera membangun sarang rata-rata 1,6–1,8 sarang per hari (Van Schaik et al., 1995; Singleton, 2000).

Kelas Sarang

Penentuan kelas sarang didasarkan pada perubahan warna daun dan konstruksi sarang. Persentase jumlah sarang berdasarkan kelas sarang memberikan informasi terkait kehadiran orangutan, seperti yang diuraikan pada Tabel 3.

Tabel 3.Kelas sarang orangutan yang ditemukan pada masing-masing jalur.

Kelas Sarang Jalur Jumlah Persentase

(%) I II III A - 2 - 2 11,11 B 3 - - 3 16,67 C 1 3 3 7 38,87 D 2 1 2 5 27,78 E 1 - - 1 5,56 Total 7 6 5 18 100 Keterangan :

Sarang KelasA : merupakan sarang paling baru dengan daunnya masih hijau semua dan umurnya baru seminggu

Sarang Kelas B : daunnya sebagian hijau dan sebagian sudah kecoklatan Sarang Kelas C : semua daunnya sudah coklat

Sarang Kelas D : alas sarangnya sudah berlubang dan bentuknya kurang utuh Sarang Kelas E : biasanya sudah tinggal kerangka, namun masih kelihatan bentuk sarangnya

Dari tabel 3 terlihat bahwa jumlah dan persentase sarang yang paling tinggi berdasarkan kelas sarang didapatkan pada kelas sarang C, yaitu dengan jumlah sebanyak 7 sarang (38,87%) kemudian kelas sarang D dengan jumlah 5 sarang (27,78%). Jumlah terendah terdapat pada kelas sarang B, A, dan E dengan jumlah masing–masing 3 (16,67%), 2 (11,11%), dan 1 (5,56%).

Kelas sarang C merupakan kelas sarang dengan persentase terbesar yang ditemukan pada lokasi penelitian. Hal ini menunjukkan pada periode sebelum penelitian, tingkat kehadiran orangutan sangat tinggi pada kawasan tersebut. Kehadiran orangutan di suatu kawasan dipengaruhi oleh pohon pakan yang sedang berbuah. Dimana saat terdapat pohon pakan yang sedang berbuah, orangutan membuat sarang didekat pohon pakan tersebut. Sarang kelas A (baru), yang menjadi penduga kehadiran orangutan di lokasi penelitian, masih dapat ditemukan, walaupun dengan persentase sebesar 10,53% . Rendahnya persentase perjumpaan sarang kelas A di lokasi penelitian ini dikarenakan rendahnya potensi pakan di lokasi tersebut. Pada saat dilakukan penelitian, lokasi tersebut sedang tidak dalam musim berbuah.

(a) (b)

(e)

Gambar 5. Kelas sarang (a) sarang kelas A, (b) sarang kelas B, (c) sarang kelas C, (d) sarang kelas D, dan (e) sarang kelas E.

Terkadang, ditemukan juga orangutan yang menggunakan sarang lamanya dengan cara membangun ulang bagian dalam sarang dengan cara mengambil ranting dari pohon sarang atau pohon lain. Fakta ini juga dikuatkan dengan apa yang disebutkan oleh Rijksen (1978) bahwa orangutan menggunakan sarang lama dan ini biasanya setelah periode 2-8 bulan karena adanya pohon berbuah yang disukai. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi komposisi sarang namun secara umum tidak mempengaruhi kelas sarang karena bahan sarang lama masih terlihat dengan jelas dan perbaikan sarang lama tidak menyeluruh.

Posisi Sarang

Posisi sarang orangutan menentukan visibilitas sarang dan mempengaruhi perhitungan sarang yang ditemukan di lapangan. Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sekitar 50% orangutan Sumatera di lokasi penelitian membuat sarang dekat dengan batang utama (posisi I) dan 27,78% pada percabangan utama pohon (posisi II). Sementara untuk posisi sarang III dan IV dengan persentase yang sama yaitu 11,11%, seperti terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Posisi sarang yang ditemukan pada masing-masing jalur.

Posisi Sarang Jalur Jumlah Persentase

(%) I II III I 5 2 2 9 50 II 2 2 1 5 27,78 III - - 2 2 11,11 IV - 2 - 2 11,11 Total 7 6 5 18 100 Keterangan :

Posisi I : posisi sarang yang terletak dekat batang utama

Posisi II : sarang berada dipertengahan/dipinggir percabangan tanpa menggunakan pohon atau percabangan dari pohon lainnya.

Posisi III : posisi sarang terdapat di puncak pohon

Posisi IV : posisi sarang yang terletak diantara dua pohon yang berbeda.

Pada tabel 4 terlihat bahwa orangutan pada lokasi penelitian lebih cenderung memilih membuat sarang pada posisi I dan diikuti posisi II. Hal ini disebabkan karena sarang yang dibuat pada posisi tersebut dapat menopang bobot badan orangutan karena terletak pada cabang utama. Selain hal tersebut, posisi sarang ini juga memungkinkan orangutan terlindung dari intensitas cahaya matahari yang tinggi, angin dan ketika kondisi dengan curah hujan yang tinggi.

Prasetyo (2006) menambahkan beberapa alasan dalam pemilihan posisi sarang seperti fungsi sarang yang berhubungan dengan kekuatan konstruksi sarang untuk menahan berat tubuh orangutan dan perlindungan terhadap predator. Posisi sarang II dibangun di atas pohon yang relatif besar dan sarang terletak dipertengahan atau dipinggir percabangan. Posisi ini diduga cukup kuat untuk menahan berat badan 2 orangutan (induk dan anak), serta orangutan pun dapat leluasa mengawasi keadaan dibawah sarang sehingga saat ada gangguan dengan mudah dapat berpindah ke pohon lain.

Tinggi Sarang

Penelitian yang dilakukan berlokasi pada ketinggian ±900 mdpl dengan topografi yang berbukit dan jurang. Tinggi sarang mempengaruhi visibilitas

sarang tersebut, sehingga berpengaruh pula terhadap perhitungan sarang di lapangan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan jumlah sarang berdasarkan ketinggian sarang orangutan pada setiap tingkat ketinggian cukup bervariasi, seperti terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Tinggi sarang yang ditemukan pada masing-masing jalur.

Ketinggian Jalur Jumlah Persentase

(%) I II III 0-5 - - - - - 6-10 2 4 2 8 44,44 11-15 2 2 2 6 33,33 16-20 3 - 1 4 22,22 21-25 - - - - - 26-30 - - - - - Total 7 6 5 18 100

Pada tabel 5, sarang terbanyak yang dibangun orangutan adalah pada ketinggian 6-10 meter dengan jumlah 8 sarang (44,44%) dan terendah pada ketinggian 16-20 meter dengan jumlah 4 sarang (22,22%). Rata-rata orangutan membuat sarang pada ketinggian 6-20 meter. Pemilihan ketinggian sarang ini berkaitan dengan kemungkinan tingkat gangguan yang ada disekitar pohon sarang. Sarang dengan ketinggian yang rendah ini kemungkinan merupakan sarang individu orangutan berumur tua, selain itu pun rendahnya ketinggian sarang dimungkinkan karena rendahnya tingkat predator seperti harimau Sumatera yang merupakan salah satu predator pada populasi orangutan di Sumatera.

Ketinggian sarang bervariasi pada beberapa lokasi. Di Batang Toru sarang paling banyak ditemukan pada ketinggian 10-20 meter. Wilayah lain di Sumatera yaitu Bahorok 20-35 meter dan Ketambe kebanyakan membuat sarang pada ketinggian 10-30 meter. Menurut Rijksen (1978) tinggi sarang

orangutan bergantung pada struktur hutan pada tempat tertentu. Hal ini diduga disebabkan karena adanya predator.

Indeks Nilai Penting (INP)

Hasil analisis vegetasi dari 30 plot diperoleh sebanyak 197 pohon yang terdiri dari 48 spesies. Indeks Nilai Penting dari seluruh spesies pada seluruh plot dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Indeks nilai penting tingkat pohon pada seluruh jalur.

No Nama Lokal Nama Latin Jumlah KR

(%) FR (%) DR (%) INP (%)

1 Andulpak Sapium baccatum Roxb 2 1,02 0,67 0,87 2,56

2 Api-api Adinandra dumosa Miq 2 1,02 1,34 0,39 2,74

3 Aren Arenga pinnata 5 2,54 1,34 1,36 5,24

4 Bayur Pterospermum blumeanum 7 3,55 2,68 3,33 9,57

5 Beringin Ficus benjamina Linn. 2 1,02 1,34 16,59 18,95

6 Dap-dap Fagara rhetsa Roxb. 2 1,02 0,67 0,43 2,11

7 Darodong Knema conferta Warb. 4 2,03 2,68 0,99 5,71

8 Dori Tarrietia sp. 1 0,51 0,67 1,26 2,44

9 Durian Durio zibethinus Murr. 1 0,51 0,67 0,11 1,29

10 Handis Garcinia dioica Blume. 4 2,03 2,01 1,13 5,17

11 Hase Dracontomelon dao 9 4,57 3,36 7,15 15,07

12 Hatopul Artocarpus rigidus Blume 2 1,02 1,34 1,69 4,05

13 Hau dolok Syzygium sp 1. 19 9,64 8,72 4,17 22,54

14 Hole Ficus sp. 2 1,02 1,34 0,73 3,09

15 Horsik Ilex pleiobrachiata 4 2,03 2,01 1,56 5,60

16 Hoteng Quercus gemelliflora Blume. 31 15,73 11,41 13,92 41,06

17 Hoteng barangan Quecus sp. 1 0,51 0,67 4,35 5,53

18 Hoteng batu Quercus maingayi 1 0,51 0,67 0,32 1,50

19 Junjung buit Elaeocarpus floribundus 1 0,51 0,67 0,12 1,30

20 Kayu manis Cinnamomum sp. 1 0,51 0,67 0,11 1,29

21 Kemenyan Styrax benzoin 6 3,05 3,36 1,51 7,91

22 Kemiri Aleurites moluccana 4 2,03 1,34 0,57 3,94

23 Lacat hutan Shorea hopeifolia Sym. 1 0,51 0,67 2,45 3,63

24 Lajo-lajo Dipterocarpus gracilis 7 3,55 4,03 1,77 9,35

25 Landorung Irvingia sp. 1 0,51 0,67 0,36 1,54

26 Losa Cinnamomum porectum 3 1,52 2,01 0,98 4,52

27 Mangga hutan Mangifera indica 2 1,02 1,34 0,65 3,01

28 Marhaehaemanuk 2 1,02 0,67 0,51 2,20

29 Mayang Palaquium gutta 8 4,06 3,36 4,57 11,99

30 31 32 Medang Medang hunik Medang londir

Litsea brachystachys Boerl.

Sapium sp.

Litsea resinosa Blume.

15 1 1 7,61 0,51 0,51 8,05 0,67 0,67 6,51 0,44 0,25 22,18 1,62 1,43 33 34 Medang kuning Meranti Litsea odorifera Shorea gibbosa Brandis.

1 4 0,51 2,03 0,67 2,68 0,39 1,04 1,57 5,75

35 Motung Ficus toxicaria Linn 1 0,51 0,67 0,12 1,30

36 Rambutan hutan Cryptocarya nitens 2 1,02 0,67 0,68 2,36

37 Rao Ficus drupacea Thunb. 1 0,51 0,67 1,20 2,38

38 Sapot Macaranga gigantea Muell, Arg 1 0,51 0,67 0,39 1,57

39 Sialang Koompassia excelsa Taub, 1 0,51 0,67 0,39 1,57

No Nama Lokal Nama Latin Jumlah KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)

41 Simare eme eme Schefflera aromatic 2 1,02 1,34 0,50 2,86

42 Simartolu Schima wallichii Korth. 3 1,52 2,01 0,91 4,45

43 Sitarak Macaranga lowii 2 1,02 1,34 0,47 2,82

44 Surian Toona sinensis Roem. 15 7,61 10,07 7,29 24,96

45 Talun Styrax serrulatus 4 2,03 2,01 0,76 4,80

46 Tappang Terminalia copelandii Elmer. 1 0,51 0,67 1,32 2,50

47 Teurep Artocarpus elasticus 4 2,03 2,01 2,53 6,57

48 Tipa-tipa 2 1,02 1,34 0,75 3,11

Total 197 100 100 100 300

Indeks Nilai Penting (INP) terbesar terdapat pada beberapa spesies seperti Hoteng (Quercus gamelliflora Blume.) dengan nilai INP 41,06%, Hau Dolok (Syzygium sp.) dengan INP 22,54%, Surian (Toona sinensis Roem.) dengan INP 24,96% dan Medang (Litsea brachystachys Boerl.) dengan INP 22,18%. Menurut hasil yang diperoleh dari analisis struktur vegetasi menunjukkan tingkat dominasi suatu jenis terhadap jenis-jenis lain yang diasumsi sebagai sumber makanan bagi orangutan di habitat hutan tersebut. Menurut Kainde et al (2011), semakin besar INP suatu jenis semakin besar pula peranan jenis tersebut dalam komunitas. Hal ini jelas bahwa spesies Hoteng (Quercus gamelliflora Blume.) sebagai penyusun utama komunitas tumbuhan dalam suatu ekosistem.

Spesies seperti Hau Dolok (Syzygium sp.), Surian (Toona sinensis Roem.) dan Medang (Litsea brachystachys Boerl.) dapat berasosiasi dengan spesies lain membentuk komunitas dan regenerasi seedling. Sebanyak 48 spesies menentukan nilai indeks keanekaragaman, dimana keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan di dalam suatu komunitas memiliki kompleksitas yang tinggi dipengaruhi oleh lingkungan lokasi penelitian yang terdiri dari komunitas ladang campuran dan lahan bukaan. Selain itu, faktor yang diduga dapat mempengaruhi perbedaan komposisi vegetasi pohon adalah perubahan tata guna lahan.

Hoteng (Quercus gamelliflora Blume.) berada pada tingkat indeks nilai penting yang paling baik apabila dilihat apabila dilihat dari jumlah individunya/kerapatannya. Struktur vegetasi Hoteng (Quercus gamelliflora Blume.) dapat diartikan sebagai pertumbuhan yang dianggap alami dan prospek regenerasinya cukup baik dalam membentuk komunitas. Hal ini sesui dengan pernyataan Kainde et al (2011), dimana indeks nilai penting suatu jenis

merupakan nilai yang menggambarkan peranan keberadaan suatu jenis dalam komunitas.

Pohon Bersarang

Pohon bersarang merupakan pohon yang dipilih orangutan untuk membangun sarang yang dipilih berdasarkan kekuatan pohon dan ketersediaan pakan pada lokasi sekitarnya. Pohon-pohon dominan yang digunakan oleh orangutan untuk membangun sarang dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Pohon sarang yang ditemukan pada masing-masing jalur.

No Nama Lokal Nama Latin Famili Jumlah Persentase

(%)

1 Handis Garcinia dioica Blume. Guttiferae 1 5,88

2 Hau Dolok Syzygium sp 1. Myrtaceae 6 35,29

3 Hoteng Quercus gemelliflora Fagaceae 1 5,88

4 Hase Dracontomelon dao Anacardiaceae 2 11,27

5 Hole Ficus sp. Moraceae 3 17,65

6 Mayang Palaquium gutta Sapotaceae 1 5,88

7 Medang Litsea brachystachys Lauraceae 3 17,65

Total 18 100

Pohon yang dijadikan pohon sarang merupakan pohon yang memiliki kayu yang tergolong kuat yang dapat menopang tubuh orangutan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari jenis pohon yang digunakan untuk membangun sarang. Tidak semua jenis pohon yang ada di kawasan desa Aek Nabara dijadikan pohon sarang

oleh orangutan. Ada beberapa jenis pohon yang ditemukan menjadi pohon sarang dengan proporsi yang rendah, namun ada juga jenis pohon tertentu yang dominan dijadikan pohon sarang.

Berdasarkan tabel 7, persentase terbesar pohon yang dijadikan lokasi bersarang orangutan dari seluruh jalur adalah pohon Hau Dolok (Syzygium sp 1.) dari famili Myrtaceae dengan jumlah 6 pohon (35,29%), Hole (Ficus sp.) dari

famili Moraceae dengan jumlah 3 pohon (17,65%), dan Medang (Litsea brachystachys) dari family Lauraceae dengan jumlah 2 pohon (17,65%).

Pemilihan genus pohon sarang orangutan tersebut cenderung tidak berkaitan dengan genus pohon yang paling dominan (memiliki nilai INP paling tinggi).

Pohon Hau Dolok merupakan pohon terbanyak yang dipilih orangutan untuk dijadikan sarang. Hal ini dikarenakan pohon Hau Dolok merupakan pohon yang kuat dan pohon ini memiliki buah yang berdaging, sesuai dengan pernyataan. Van Schaik (2006) yaitu bahwa orangutan akan memilih pohon yang kuat dan nyaman untuk dijadikan sarang. Alasan orangutan lebih memilih famili Myrtaceae untuk dijadikan pohon sarang adalah pohon ini relatif kuat, dengan

demikian sarang yang dibangun akan dapat menahan berat tubuh orangutan. Leighton (1993) menambahkan bahwa orangutan lebih suka memakan buah- buahan, khususnya buah yang berdaging dan manis.

Dokumen terkait