• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Perbatasan Cagar Alam Dolok Sibual Buali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Perbatasan Cagar Alam Dolok Sibual Buali"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

ESTIMASI KEPADATAN ORANGUTAN SUMATERA

(Pongo abelii Lesson, 1827)

BERDASARKAN JUMLAH

SARANG DI PERBATASAN CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL

BUALI

SKRIPSI

Oleh :

GABRIELLA JUNIKE MARIA AZALIA SIMANJUNTAK 101201037

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

ESTIMASI KEPADATAN ORANGUTAN SUMATERA

(Pongo abelii Lesson, 1827)

BERDASARKAN JUMLAH

SARANG DI PERBATASAN CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL

BUALI

SKRIPSI

Oleh:

GABRIELLA JUNIKE MARIA AZALIA SIMANJUNTAK 101201037

MANAJEMEN HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

Judul Skripsi : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Perbatasan Cagar Alam Dolok Sibual Buali.

Nama : Gabriella Junike Maria Azalia Simanjuntak

Nim : 101201037

Program Studi : Kehutanan

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Pindi Patana S. Hut, M. Sc. Dr. Erni Jumilawaty, S.Si., M.Si

Ketua Anggota

Mengetahui,

(4)

ABSTRAK

GABRIELLA JUNIKE MARIA AZALIA SIMANJUNTAK: Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) Berdasarkan Jumlah Sarang di Perbatasan Cagar Alam Dolok Sibualbuali. Di bawah bimbingan PINDI PATANA dan ERNI JUMILAWATY

Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) merupakan spesies mamalia yang dilindungi saat ini yang keberadaannya dalam kategori critically endangered species atau spesies yang mempunyai resiko tinggi punah di habitat liar menurut organisasi International Union for the Conservation of Nature (IUCN). Berdasarkan data Departemen Kehutanan Indonesia pada tahun 2007 jumlah populasi orangutan Sumatera diperkirakan hanya tersisa 6.500 ekor dan hanya dapat dijumpai di Taman Nasional Gunung Leuser di Propinsi Aceh dan Sumatera Utara dan bagian selatan Propinsi Sumatera Utara, yaitu di sepanjang Cagar Alam Dolok Sibualbuali. Penelitian ini berusaha menghitung estimasi kepadatan orangutan Sumatera berdasarkan jumlah sarang yang ditemukan, juga mengetahui jenis-jenis vegetasi dominan digunakan sebagai pohon bersarang orangutan sumatera di Desa Aek Nabara, serta Mengetahui nilai Indeks Nilai Penting (INP) pohon yang terdapat di Desa Aek Nabara. Metode ini dilakukan karena perhitungan jumlah populasi orangutan Sumatera secara pertemuan langsung dengan satwa ini sulit dilakukan sehingga untuk mengetahui populasi dan kepadatan orangutan Sumatera di habitatnya dilakukan dengan memperkirakan jumlah sarang orangutan Sumatera. Penelitian ini dilakukan di perbatasan Cagar Alam Dolok Sibualbuali, Kabupaten Tapanuli Selatan.

Hasil penelitian ini menunjukkan kepadatan populasi orangutan berdasarkan jumlah sarang di Desa Aek Nabara dan kawasan CADS adalah 0,006 individu/km2 atau 0,595 individu/ha dari jumlah keseluruhan sarang ditemukan 18 sarang. Sarang terbanyak di temukan pada jarak 0-100 meter dari seluruh jalur dengan jumlah sarang 7 sarang (44,44%) dan kelas sarang yang mendominasi adalah kelas sarang C dengan jumlah 7 sarang (38,87%). Posisi sarang paling dominan berada pada posisi I yang merupakan posisi sarang dekat dengan batang utama pohon dengan jumlah 9 sarang (50%). Umumnya sarang ditemukan pada ketinggian 6-10 meter dengan jumlah 8 sarang (44,44%). Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi terdapat pada jenis Hoteng (Quercus gamelliflora Blume.) dari famili Fagaceae dengan nilai INP 41,06%.

(5)

ABSTRACT

GABRIELLA JUNIKE MARIA AZALIA SIMANJUNTAK: Estimating

Sumatran Orangutan Densities (Pongo abelii Lesson, 1827) Based on a Number of Nests in the Border of Dolok Sibualbuali Nature Reserve. Supervised by PINDI PATANA and ERNI JUMILAWATY

Sumatran orangutans (Pongo abelii Lesson, 1827) are protected mammal species whose existence is now in critically endangered species category or Based on data from Ministry of Forestry of Indonesia in 2007 number of remaining Sumatran orangutans population were estimated with only 6,500 and only could be found in Gunung Leuser National Park in Aceh and North Sumatra Provinces and southern part of North Sumatra Province, where in along the Dolok Sibualbuali Nature Reserve. This research attempted to calculate by estimating Sumatran orangutans densities which were found, also determine the types of dominant vegetation is used as a nesting tree of the Sumatran orangutan in the village Aek Nabara, Knowing the value and Importance Value Index (IVI) of trees located in the village of Aek Nabar. This method was done because the calculation of amount of Sumatran orangutans population with a direct encounter with these animals was difficult to be done so that in order to know about popolation and density of Sumatran orangutans in wild habitat it had been done by estimating a number of nests of Sumatran orangutans. This research had been done in the border of Dolok Sibualbuali Nature Reserve, South Tapanuli.

The results of this study indicate orangutan population density based on the number of nests in the Aek Nabara village and district CADS is 0,006 individuals/km2 or 0,595 individuals/ha of the total number of nests found 18 nests. Most nests were found at a distance of 0-100 meters of the entire track the number of 7 nests (44,44%) and the class that dominates nest class C is the number of 7 nests (38,87%). Dominant position of the nest is in a position which is a position I nest close to the main stem of the tree with the nest number 9 (50%). Generally the nest is found at an altitude of 6-10 meters with a sum of 8 nests (44,44%). Important Value Index (IVI) is highest on the type Hoteng (Quercus gamelliflora Blume.).

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Gabriella Junike Maria Azalia Simanjuntak lahir dari

pasangan keluarga dengan ayah Drs. Junjungan SBP Simanjuntak, M.Si. dan ibu

Christina Hutauruk, S.E. Lahir di Medan tanggal 14 Juni 1992. Penulis

merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada SD St.Antonius

Medan pada tahun 2004, pendidikan sekolah menengah pertama pada SMP

Swasta St. Thomas 1 Medan pada tahun 2007 dan sekolah menengah atas pada

SMA Negeri 4 Medan pada tahun 2010. Penulis diterima pada Universitas

Sumatera Utara pada Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian melalui jalur

UMB (Ujian Masuk Bersama) pada tahun 2010.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai asisten praktikum

Ekologi Hutan tahun 2012 dan asisten praktikum Penarikan Contoh dan

Permodelan Data tahun 2014. Penulis telah mengikuti kegiatan Praktik

Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) selama 10 hari dari tanggal 7-16 Juli 2012

di Tahura Bukit Barisan, Tongkoh dan telah melaksanakan Praktik Kerja Lapang

(PKL) selama sebulan dari tanggal 27 Januari-5 Maret 2014 di Hutan Tanaman

Industri pada Rimba Hutani Mas Region Sumatera Selatan PT. Bumi Persada

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827)

Berdasarkan Jumlah Sarang Di Perbatasan Cagar Alam Dolok Sibual Buali”

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya

kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan dan mendidik penulis

selama ini. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pindi Patana,

S.Hut., M.Sc dan Dr. Erni Jumilawaty, S.Si., M.Si selaku ketua dan anggota

komisi pembimbing yang telah banyak memberikan masukan, arahan dan

bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Khusus untuk Bapak

M. Nasir Siregar, Bapak Harianja, di Resot Cagar Alam Dolok Sibual-buali,

Kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan dan BBKSDA Sumatera Utara serta BPKH

Wilayah I Sumatera Utara, penulis menyampaikan banyak terima kasih atas

bantuannya selama penulis mengumpulkan data.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf dan pegawai di

Program Studi Kehutanan, serta semua rekan mahasiswa yang telah membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Medan, Oktober 2014

(8)

DAFTAR ISI

Peluruhan Sarang Orangutan... 13

Kelas Sarang Orangutan ... 14

Karakteristik Sarang Orangutan ... 15

(9)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kepadatan Sarang... 28

Populasi Orangutan ... 29

Kelas Sarang ... 31

Posisi Sarang ... 33

Tinggi Sarang ... 35

Indeks Nilai Penting (INP) ... 36

Pohon Bersarang ... 38

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 40

Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

(10)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Jumlah sarang ditemukan pada setiap jalur ... 28

2. Nilai kepadatan populasi orangutan (individu/km2 dan individu/ha) pada masing-masing jalur ... 29

3. Kelas sarang orangutan yang ditemukan pada masing-masing jalur ... 31

4. Posisi sarang yang ditemukan pada masing-masing jalur ... 34

5. Tinggi sarang pada masing-masing jalur ... 35

6. Indeks Nilai Penting (INP) ... 36

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Ilustrasi Posisi Sarang Orangutan ... 12

2. Peta lokasi penelitian ... 22

3. Jalur Line transect ... 25

4. Plot jalur analisis vegetasi ... 26

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Tally sheet sarang ... 45

2. Tally sheet analisis vegetasi ... 48

3. Perhitungan populasi ... 54

(13)

ABSTRAK

GABRIELLA JUNIKE MARIA AZALIA SIMANJUNTAK: Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) Berdasarkan Jumlah Sarang di Perbatasan Cagar Alam Dolok Sibualbuali. Di bawah bimbingan PINDI PATANA dan ERNI JUMILAWATY

Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) merupakan spesies mamalia yang dilindungi saat ini yang keberadaannya dalam kategori critically endangered species atau spesies yang mempunyai resiko tinggi punah di habitat liar menurut organisasi International Union for the Conservation of Nature (IUCN). Berdasarkan data Departemen Kehutanan Indonesia pada tahun 2007 jumlah populasi orangutan Sumatera diperkirakan hanya tersisa 6.500 ekor dan hanya dapat dijumpai di Taman Nasional Gunung Leuser di Propinsi Aceh dan Sumatera Utara dan bagian selatan Propinsi Sumatera Utara, yaitu di sepanjang Cagar Alam Dolok Sibualbuali. Penelitian ini berusaha menghitung estimasi kepadatan orangutan Sumatera berdasarkan jumlah sarang yang ditemukan, juga mengetahui jenis-jenis vegetasi dominan digunakan sebagai pohon bersarang orangutan sumatera di Desa Aek Nabara, serta Mengetahui nilai Indeks Nilai Penting (INP) pohon yang terdapat di Desa Aek Nabara. Metode ini dilakukan karena perhitungan jumlah populasi orangutan Sumatera secara pertemuan langsung dengan satwa ini sulit dilakukan sehingga untuk mengetahui populasi dan kepadatan orangutan Sumatera di habitatnya dilakukan dengan memperkirakan jumlah sarang orangutan Sumatera. Penelitian ini dilakukan di perbatasan Cagar Alam Dolok Sibualbuali, Kabupaten Tapanuli Selatan.

Hasil penelitian ini menunjukkan kepadatan populasi orangutan berdasarkan jumlah sarang di Desa Aek Nabara dan kawasan CADS adalah 0,006 individu/km2 atau 0,595 individu/ha dari jumlah keseluruhan sarang ditemukan 18 sarang. Sarang terbanyak di temukan pada jarak 0-100 meter dari seluruh jalur dengan jumlah sarang 7 sarang (44,44%) dan kelas sarang yang mendominasi adalah kelas sarang C dengan jumlah 7 sarang (38,87%). Posisi sarang paling dominan berada pada posisi I yang merupakan posisi sarang dekat dengan batang utama pohon dengan jumlah 9 sarang (50%). Umumnya sarang ditemukan pada ketinggian 6-10 meter dengan jumlah 8 sarang (44,44%). Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi terdapat pada jenis Hoteng (Quercus gamelliflora Blume.) dari famili Fagaceae dengan nilai INP 41,06%.

(14)

ABSTRACT

GABRIELLA JUNIKE MARIA AZALIA SIMANJUNTAK: Estimating

Sumatran Orangutan Densities (Pongo abelii Lesson, 1827) Based on a Number of Nests in the Border of Dolok Sibualbuali Nature Reserve. Supervised by PINDI PATANA and ERNI JUMILAWATY

Sumatran orangutans (Pongo abelii Lesson, 1827) are protected mammal species whose existence is now in critically endangered species category or Based on data from Ministry of Forestry of Indonesia in 2007 number of remaining Sumatran orangutans population were estimated with only 6,500 and only could be found in Gunung Leuser National Park in Aceh and North Sumatra Provinces and southern part of North Sumatra Province, where in along the Dolok Sibualbuali Nature Reserve. This research attempted to calculate by estimating Sumatran orangutans densities which were found, also determine the types of dominant vegetation is used as a nesting tree of the Sumatran orangutan in the village Aek Nabara, Knowing the value and Importance Value Index (IVI) of trees located in the village of Aek Nabar. This method was done because the calculation of amount of Sumatran orangutans population with a direct encounter with these animals was difficult to be done so that in order to know about popolation and density of Sumatran orangutans in wild habitat it had been done by estimating a number of nests of Sumatran orangutans. This research had been done in the border of Dolok Sibualbuali Nature Reserve, South Tapanuli.

The results of this study indicate orangutan population density based on the number of nests in the Aek Nabara village and district CADS is 0,006 individuals/km2 or 0,595 individuals/ha of the total number of nests found 18 nests. Most nests were found at a distance of 0-100 meters of the entire track the number of 7 nests (44,44%) and the class that dominates nest class C is the number of 7 nests (38,87%). Dominant position of the nest is in a position which is a position I nest close to the main stem of the tree with the nest number 9 (50%). Generally the nest is found at an altitude of 6-10 meters with a sum of 8 nests (44,44%). Important Value Index (IVI) is highest on the type Hoteng (Quercus gamelliflora Blume.).

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kurang dari 20.000 tahun yang lalu orangutan dapat dijumpai di seluruh

Asia Tenggara, dari Pulau Jawa di ujung selatan sampai ujung utara Pegunungan

Himalaya dan Cina bagian selatan. Akan tetapi, saat ini jenis kera besar itu hanya

ditemukan di Sumatera dan Borneo (Kalimantan). Orangutan merupakan salah

satu satwaliar yang paling dikenal dan membuat kagum hampir semua orang di

dunia, termasuk di Indonesia. Morfologi dan perilaku yang mirip dengan manusia

merupakan daya tarik pemerhati primata maupun turis lokal dan internasional .

Saat ini Orangutan Sumatera hanya ditemukan di Provinsi Sumatera Utara

dan Provinsi Aceh, dengan Danau Toba sebagai batas paling selatan sebarannya.

Hanya 2 populasi yang relatif kecil berada di sebelah barat daya danau, yaitu

Sarulla Timur dan hutan-hutan di Batang Toru Barat. Populasi orangutan terbesar

di Sumatera dijumpai di Leuser Barat (2.508 individu) dan Leuser Timur (1.052

individu), serta Rawa Singkil (1.500 individu). Populasi lain yang diperkirakan

potensial untuk bertahan dalam jangka panjang (viable) terdapat di Batang Toru,

Sumatera Utara, dengan ukuran sekitar 400 individu (Departemen kehutanan,

2007).

Cagar Alam Dolok Sibual-buali dan Dolok Lubuk Raya di kawasan Hutan

Batang Toru Bukit Barisan seluas 76.007 hektare yang merupakan kawasan hutan

yang tersisa bagi sekitar 400-an ekor populasi orangutan, seperti halnya kawasan

hutan lainnya di Indonesia, mengalami berbagai ancaman menyangkut

(16)

mengancam keberadaan keanekaragamanhayati yang ada di dalamnya, seperti

halnya orangutan.

Menurut International Union Concervation of Nature (IUCN) (2007)

sekitar 80% habitat orangutan telah hilang atau musnah, yang disebabkan karena

terganggu, rusak dan berkurangnya kawasan hutan sebagai habitatnya. Bila

keadaan ini dibiarkan, maka dalam 10–20 tahun ke depan orangután akan punah.

Sehingga IUCN mengkategorikan orangutan sebagai critically endangered species

atau sebagai satwa yang terancam punah.

Semua kera besar membuat sarang, salah satu fungsi sarang adalah sebagai

tempat beristirahat setelah seharian melakukan aktivitas hariannya. Selain itu

sarang juga berfungsi sebagai tempat berlindung dari cuaca yang ekstrim.

Perilaku bersarang ini ditemukan pada kera besar karena kera besar memiliki

perkembangan otak yang lebih baik. Sehingga kera besar dapat berfikir bahwa

ada cara yang paling nyaman untuk beristirahat. Untuk Orangutan sendiri, sarang

adalah syarat mutlak yang dilakukan setiap harinya di akhir aktivitas jelajahnya

(Meijaard et al, 2001).

Penghitungan populasi orangutan menggunakan perjumpaan langsung

dengan orangutan merupakan hal yang sangat sulit dilakukan., hal ini disebabkan

karena orangutan adalah primata semi-soliter yang sangat pemalu dan jumlahnya

tidak melimpah. Dengan menggunakan metode perjumpaan langsung, maka data

perhitungan memiliki tingkat kesalahan yang tinggi. Melihat kondisi tersebut,

maka metode penghitungan sarang orangutan adalah metode yang

(17)

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui kepadatan populasi orangutan berdasarkan jumlah sarang di desa

Aek Nabara, kawasan Cagar Alam Dolok Sibual Buali, Kecamatan Sipirok,

Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara.

2. Mengetahui nilai Indeks Nilai Penting (INP) pohon yang terdapat di desa Aek

Nabara.

3. Mengetahui jenis-jenis vegetasi dominan digunakan sebagai pohon bersarang

orangutan sumatera di desa Aek Nabara.

Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) berdasarkan jumlah

sarang di perbatasan Cagar Alam Dolok Sibual Buali, Provinsi Sumatera Utara

kepada instansi terkait sehingga lebih bermanfaat bagi upaya konservasi sumber

daya alam hutan berupa satwa secara optimal dan diharapkan dapat dijadikan

sebagai acuan kepada peneliti selanjutnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat

menunjukkan kondisi habitat dan populasi orangutan terbaru di Cagar Alam

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

a. Letak dan Luas

Ekosistem Cagar Alam (CA) Dolok Sibual Buali secara administrasi

pemerintahan terletak di 3 (tiga) wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Sipirok,

Kecamatan Padang Sidempuan Timur, dan Kecamatan Marancar, Kabupaten

Tapanuli Selatan, Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan wilayah pengelolaan

hutan termasuk dalam wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah II yang

berkedudukan di Rantau Prapat, Balai Konservasi Sumber Daya Alam

Sumatera Utara II (BBKSDASUMUT, 2011).

Cagar Alam Dolok Sibual Buali secara geografis terletak pada koordinat

01°0’ - 01°37’ Lintang Utara dan 99°11’15” - 99°17’55” Bujur Timur. Cagar

Alam Dolok Sibual Buali terletak pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Barumun.

Berdasarkan letak pada ketinggian di atas permukaan laut (dpl) maka Cagar Alam

Dolok Sibual Buali terletak pada ketinggian 750 s/d 1.819 m dpl. Setelah beralih

fungsi menjadi Cagar Alam, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian

No.215/Kpts/Um/14/1982 tanggal 8 April 1982, maka Cagar Alam Dolok Sibual

Buali Register 3 memiliki luas 5.000 hektar (BBKSDASUMUT, 2011).

b. Penataan Batas

Menurut BBKSDASUMUT (2011), Kawasan Cagar Alam Dolok

Sibual Buali sebagian besar berbatasan dengan hutan rakyat dan kebun.

• Bagian Utara berbatasan dengan wilayah Desa Bulumario dan Desa Huraba.

• Bagian Selatan berbatasan dengan wilayah Desa Sialaman, Sibio-bio, Aek

(19)

• Bagian Timur berbatasan dengan wilayah Desa Sumuran, Hutaraja,

Mandurana, Aek Horsik, Paringgonan, Hasahatan, Pinang Sori, dan

Gunungtua Baringin.

• Bagian Barat berbatasan dengan wilayah Desa Sugijae, Pasar Marancar,

Simaretung/Haunatas, Bonan Dolok, Tanjung Rompa, Janjimanaon, dan

Aek Nabara.

c. Topografi, Geologi dan Iklim

Cagar Alam Dolok Sibual Buali sebagian besar memiliki topografi

bergelombang dan berbukit. Terdapat 4 buah gunung utama/tertinggi dan 6 buah

anak gunung. Kemiringan lahan sebagian besar adalah curam (21-55%)

(BBKSDASUMUT, 2011).

Iklim di Cagar Alam Dolok Sibual Buali ditandai dengan hujan yang

paling sering turun pada bagian utara dan barat kawasan, sehingga pada beberapa

lokasi banyak terdapat longsor. Sebagian besar kawasan sudah tertutup embun

mulai jam 17.00 WIB, sedangkan di beberapa bagian puncak mulai turun embun

jam 16.00 WIB. Angin bertiup dari arah barat menuju utara dan timur. Suhu

maksimum 29°C dan minimum 18°C (BBKSDASUMUT, 2011).

d. Flora

Berdasarkan hasil survey identifikasi tanaman obat-obatan tahun 2002

oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara II, terdapat lebih dari

107 jenis tanaman obat-obatan yang terdapat di dalam Cagar Alam Dolok Sibual

Buali dan daerah sekitarnya. Pohon didominasi oleh famili Euphorbiaceae,

Myrtaceae, Anarcadiaceae dan Moraceae, Dipterocarpaceae, Raflesia sp., Pinus

(20)

(Exbucklandia populnea), Sengon (Albizia procera), Beringin (Ficus sp.).

Keadaan vegetasi di lapangan masih relatif baik, di dalam hutan masih banyak

ditemui pohon-pohon berdiameter 1 m (BBKSDASUMUT, 2011).

e. Fauna

Berbagai jenis satwa terdapat di Cagar Alam Dolok Sibual Buali, beberapa

jenis diantaranya dilindungi seperti Mawas (Pongo abelli), Siamang

(Hylobates sindactylus), Kambing Hutan (Capricornis sumatrensis), Harimau

Sumatera (Panthera tiggris sumatrae), Kuau (Argosianus argus), Rusa

(Cervus sp), dan lain-lain (BBKSDASUMUT, 2011).

Inventarisasi Satwaliar

Inventarisasi dimaksudkan sebagai kegitan pengumpulan data mengenai

tumbuhan dan satwa liar (BPPKP, 1998). Husch (2003) menyatakan bahwa

inventarisasi satwaliar dapat didefinisikan sebagai suatu prosedur untuk

mendapatkan data dan informasi mengenai kuantitas, kualitas, dan kondisi dari

suatu populasi satwaliar beserta karakteristik habitatnya.

Ukuran populasi suatu spesies sangat penting diketahui; selain untuk

mengetahui kekayaan/kelimpahannya di suatu kawasan (alam), ukuran populasi

merupakan data dasar untuk menilai kemungkinan kelangsungan atau

keterancaman keberadaannya di alam, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan

manajemen satwaliar. Ukuran populasi dapat juga digunakan sebagai dasar dalam

pendugaan kualitas lingkungan (habitat); walaupun secara umum tidak akan lebih

baik bila didasarkan pada keanekaragaman. Perubahan ukuran populasi dalam

suatu kawasan tertentu dapat merupakan indikasi terjadinya perubahan kualitas

(21)

membaik, paling tidak daya dukung lingkungan masih memungkinkan

berkembangnya populasi; sebaliknya, penurunan ukuran populasi akan terjadi bila

kondisi lingkungan memburuk (Tobing, 2008).

Estimasi ukuran populasi secara akurat sangat susah dilakukan, dan

memerlukan teknik/metode tersendiri. Metode-metode yang digunakan secara

umum dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu : penghitungan

seluruh anggota populasi secara langsung, pendugaan ukuran populasi

berdasarkan densitas, dan pendugaan berdasarkan tanda-tanda khas (dari suatu

spesies) yang ditinggalkan.

Inventarisasi orangutan secara langsung merupakan pekerjaan yang sangat

sulit (Mathewson et al. 2008). Hal ini berhubungan dengan kecepatan berpindah

orangutan pada saat berada di pohon. Orangutan secara alami akan menghindari

manusia yang mendekat. Gerakan orangutan akan sangat sulit untuk diamati oleh

pengamat karena lebatnya tajuk pohon dan keterbatasan gerak pengamat pada

kondisi lokasi tertentu (Meijaard et al. 2001). Untuk mengatasi kesulitan tersebut,

salah satu metode yang paling sering digunakan adalah metode penghitungan

sarang orangutan (Buij et al. 2002; Schaik et al. 2005; Mathewson et al. 2008).

Sarang adalah bukti keberadaan orangutan yang paling mudah diamati

(Meijaard et al. 2001).).

Klasifikasi Orangutan

Menurut Groves (2001), orangutan termasuk ordo Primata dan famili

Homonidae, dengan klasifikasi sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

(22)

Kelas : Mamalia

Ordo : Primata

Family : Homonidae

Genus : Pongo

Species : Pongo abelii (Orangutan Sumatera)

Pongo pygmaeus (Orangutan Kalimantan/Borneo)

Morfologi Orangutan

Orangutan atau mawas, merupakan kera besar yang hanya ada di Pulau

Sumatera bagian Utara dan Kalimantan, termasuk Sabah Malaysia. Orangutan

Sumatera, memiliki warna tubuh merah kekuningan dan lebih terang

dibandingkan orangutan Kalimantan (Wahyono, 2005). Selanjutnya Galdikas

(1986) menjelaskan bahwa orangutan Sumatera (Pongo abelii), biasanya

berwarna lebih pucat, khasnya “ginger” (jahe), rambutnya lebih lembut dan lemas.

Habitat Orangutan

Orangutan hidup pada hutan tropis dataran rendah, rawa-rawa dan

terkadang dapat ditemukan pada hutan perbukitan yang dapat mencapai

ketinggian 1.500 m dpl. Orangutan Sumatera (Pongo abelii) memiliki persebaran

yang terbatas, hanya dapat dijumpai di Sumatera bagian utara sampai ke Aceh

(Supriatna dan Edy, 2000). Orangutan hidup di dataran rendah dengan ketinggian

200 - 400 m dpl dan di daerah Sumatera orangutan terkadang dapat ditemukan di

ketinggian lebih dari 1.500 m dpl. Habitat yang optimal bagi orangutan paling

sedikit mencakup dua tipe lahan utama yaitu tepi sungai dan dataran tinggi kering

(23)

Menurut Kuswanda (2011) yang mengacu dari Van Schaik et al., (1994)

dan Meijaard et al., (2001), kriteria habitat yang sesuai dengan reintroduksi

orangutan, yaitu:

1. Prioritas kawasan merupakan hutan negara.

2. Lokasi habitat merupakan habitat baru bagi orangutan.

3. Penutupan lahan masih berupa hutan primer.

Kualitas hutan sangat berpengaruh terhadap daya reproduksi orangutan

(Population and Habitat Viability Assessment, 2004), selain itu juga akan

mempercepat adaptasi dan meningkatkan daya reproduksi.

4. Luasan habitat yang cukup ideal.

Satu individu orangutan diperkirakan membutuhkan luasan 100 Ha atau 1

km2. Pada habitat alaminya, orangutan dapat hidup dengan normal antara 5 – 6

individu dalam luasan 1 km2, seperti di Ketambe, TNGL yang mencapai

kepadatan 5,5 ekor/km2 (Meijaard et al., 2001).

5. Kerapatan Vegetasi Tinggi

Kerapatan vegetasi pada habitat untuk reintroduksi diharapkan mencapai 400 -

550 pohon/ha. Indeks keanekaragaman jenis pada setiap tingkat pertumbuhan

(semai, pancang, tiang dan pohon) berada pada selang 2,5 < H maks <

sehingga masih tergolong stabil.

6. Persentase pohon sumber pakan orangutan

Habitat yang akan dipilih sebaiknya habitat yang paling sedikitnya 60 - 80%

jenis pohonnya teridentifikasi sebagai sumber pakan orangutan.

(24)

Lokasi pelepasliaran orangutan sebaiknya telah teridentifikasi paling sedikit

30 - 40% dari seluruh jumlah pohon dalam kawasan.

8. Menyediakan tumbuhan obat bagi orangutan

9. Habitat sebaiknya teridentifikasi paling sedikit 30 - 40% dari jumlah

tumbuhan sumber pakan yang berfungsi sebagai tanaman obat bagi orangutan.

Kepadatan Orangutan

Faust et al., (1994), disitasi oleh Syukur (2000) menyatakan bahwa

kepadatan orangutan dipengaruhi oleh ketinggian tempat di atas permukaan laut

(dpl), tipe hutan dan tingkat gangguan yang ada. Kepadatan orangutan diketahui

terus menurun dengan meningkatnya suatu tempat di atas permukaan laut (dpl).

Mulai kepadatan 5 individu/km2 pada hutan rawa (± 30 m dpl), sekitar 2,5

individu/km2 pada ketinggian < 500 m dpl, kurang lebih 1,8 individu/km2 pada

ketinggian 500-1000 m dpl, hingga akhirnya tidak didapatkan sama sekali pada

ketinggian >1800 m dpl.

Kepadatan populasi orangutan Sumatera tergolong rendah (0-7

individu/km2) pada berbagai tipe habitat. Paling banyak ditemui di daerah flood

plain/rawa gambut sebesar 6,1 ind/km2, dataran rendah alluvial (<500 m) sebesar

3,9 ind/km2, dataran tinggi (500-1000 m) sebesar 1,4 ind/km2, dan (sub)

pegunungan (>1000 m) sebesar 0,8 ind/km2 (Utami, 2006).

Estimasi populasi dengan metode penghitungan sarang dipengaruhi oleh

umur sarang, potensi pohon pakan, perilaku pergerakan, termasuk migrasi serta

kondisi habitat. Bagi orangutan, daya dukung habitat ini ditentukan oleh

produktivitas tumbuhan yang menghasilkan makanan pada waktu yang tepat dan

(25)

terjadinya persaingan, dan anggota yang posisinya lebih rendah harus mencari

sumber-sumber makanan di tempat lain, atau menerima sumber-sumber makanan

alternatif. Jika tidak, mereka akan mati (Meijaard, 2001).

Perilaku Bersarang Orangutan

Perilaku bersarang pada orangutan merupakan perilaku yang hanya

dilakukan oleh kera besar lainnya seperti simpanse, bonobo dan gorilla yang

melakukan aktivitas tersebut secara reguler (Ergenter, 1990 dalam Kuncoro,

2004). Perilaku bersarang orangutan bukanlah perilaku berdasarkan naluri tetapi

lebih kepada perilaku yang muncul setelah dipelajari, bayi orangutan akan

mengikuti dan berlatih cara membuat sarang kepada induknya

(Prasetyo et al., 2009).

Berdasarkan penelitian Pujiyani (2009), ada beberapa posisi sarang

orangutan (Gambar 1), posisi I adalah apabila sarang orangutan terletak di

dekat batang utama, posisi II adalah apabila sarang orangutan berada di

pertengahan atau di pinggir percabangan tanpa menggunakan pohon atau

percabangan pohon lainnya, posisi III adalah apabila sarang orangutan terletak

di bagian puncak pohon dan posisi IV adalah apabila sarang orangutan terletak

di antara dua cabang atau lebih, dari tepi pohon yang berlainan.

Prasetyo (2006) menjelaskan bahwa sarang orangutan dapat dibuat pada

posisi yang berbeda di pohon, terdapat empat posisi yang umum digunakan oleh

orangutan yaitu posisi 1, 2, 3, dan 4 serta posisi yang tidak lazim yaitu posisi 0.

Beberapa alasan dalam pemilihan posisi sarang seperti fungsi sarang yang

berhubungan dengan kekuatan konstruksi sarang untuk menahan berat tubuh

(26)

Menurut Sugardjito (1983), posisi sarang di atas puncak pohon (posisi 3)

dan dahan pohon (posisi 1 dan 2), baik pada satu batang maupun pada dua batang

mempunyai keuntungan bagi orangutan yaitu tidak terhalangnya pandangan dan

jangkauan yang dapat mencakup sebagian besar dari penjuru hutan. Selain itu,

posisi ini juga memudahkan orangutan dalam melakukan pergerakan sewaktu

keluar dari sarang. Dari segi keamanan, posisi ini menghindarkan orangutan dari

ancaman predator.

.

Gambar 1. Ilustrasi Posisi Sarang Orangutan

Setelah Orangutan menemukan dahan yang cocok untuk bersarang maka

terdapat 4 (empat langkah) dalam teknik bersarang yang menggunakan

dahan-dahan tersebut yaitu :

1. Melingkari, dahan dilengkungkan mendatar untuk membentuk sarang

melingkar dan pegangan pada tempat bengkokan lain pada cabang pohon

2. Menggantung, dimana sebuah cabang dibengkokkan kebawah mengarah ke

sarang untuk membentuk bagian tutup sarang

3. Bertiang, dimana cabang-cabang dilingkarkan ke atas dari bawah mengarah

pada sarang untuk menahan cabang-cabang untuk dukungan ekstra

4. Melepaskan, sebuah cabang dihentakkan dari pohon lain dan di taruh dibawah

(27)

(Margianto, 1998).

Orangutan dalam melakukan aktifitas hidupnya, termasuk membuat sarang

lebih menyukai daerah yang memiliki kondisi vegetasi pohon yang lebih baik, dan

terdapat pohon pakan yang lebih banyak dan bervariasi, serta aman dari berbagai

gangguan. Di habitat yang berkualitas baik, antara 57% (jantan) dan 80% (betina)

waktu makannya dihabiskan untuk memakan buah-buahan. Walaupun ada sekitar

200 jenis buah yang dimakan, beberapa jenis buah tertentu ternyata jauh lebih

tinggi dalam komposisi makanan orangutan. Buah-buahan ini berdaging lembek,

berbiji, termasuk buah berbiji tungal dan buah beri. Orangutan juga lebih

menyukai pohon-pohon yang berbuah lebat (Meijaard, 2001). Leighton (1993)

menambahkan bahwa orangutan lebih suka memakan buah-buahan, khususnya

buah yang berdaging dan manis.

Peluruhan Sarang Orangutan

Tingkat peluruhan sarang bervariasi sesuai dengan spesies kera besar,

spesies pohon tempat bersarang, tipe hutan, dan parameter abiotik seperti curah

hujan, ketinggian, suhu, serta tipe dan pH tanah (van Schaik et al., 1995; Buij et

al., 2003; Ancrenaz et al. 2004; Walsh dan White 2005; Marshall et al., 2006;

Mathewson et al., 2008). Namun, sejauh mana faktor-faktor lingkungan ini dapat

berkorelasi dengan durasi sarang dengan cara yang dapat diandalkan tidak

diketahui. Dalam beberapa kasus, hubungan yang dibentuk di satu kawasan telah

gagal untuk memprediksi secara tepat peluruhan sarang di kawasan lain. Sebagai

contoh, walaupun nilai pH mungkin dapat dikaitkan dengan tingkat peluruhan

(28)

dapat diandalkan di dua kawasan di Borneo (Johnson et al., 2005; Marshall et al.,

2006).

Keawetan sarang tergantung pada teknik konstruksi, berat dan ukuran

orangutan, suasana hati saat membangun sarang, lokasi dan karakteristik pohon,

cuaca serta keberadaan satwa lain yang mungkin akan merusak sarang orangutan

tersebut, dalam waktu 2,5 bulan sarang orangutan akan tetap terlihat sebelum pada

akhirnya akan hancur dan tinggal ranting-rantingnya saja (Rijksen, 1978).

Sarang orangutan tidak permanen sifatnya (Sugardjito, 1983). Lebih lanjut

Rijksen (1978) menjelaskan bahwa orangutan sering kali membuat sarang baru di

lokasi yang berbeda atau dengan memperbaiki sarang yang lama dan ini biasanya

setelah periode 2-8 bulan karena adanya pohon berbuah yang disukai. Sarang-sarang

tersebut dapat digunakan selama dua malam atau lebih, sedangkan ketahanan

sarang orangutan dapat bervariasi dari dua minggu sampai lebih dari satu tahun.

Menurut Van Schaik et al., (1994), hancur dan hilangnya sarang orangutan

ditentukan oleh faktor ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl), tipe hutan,

habitat, begitu juga faktor-faktor lain yang juga mempengaruhinya seperti

temperatur, kelembaban dan curah hujan.

Kelas Sarang Orangutan

UNESCO-PanEco dalam YEL (2009), menjelaskan bahwa kelas sarang

dan kelas kerusakan/kehancuran sarang dapat ditentukan atas empat kelas untuk

memprediksi kondisi tersebut dengan ciri-ciri sebagai berikut:

(29)

2. Kelas B : daun sudah mulai tidak segar, semua daun masih ada, bentuk

sarang masih utuh, warna daun sudah mulai coklat terutama di permukaan

sarang, belum ada lubang yang terlihat dari bawah

3. Kelas C : sarang tua, semua daun sudah coklat bahkan sebagian daun sudah

hilang sudah terlihat adanya lubang dari bawah

4. Kelas D : semua daun sudah hilang, sebagian besar hanya tinggal ranting

Menurut IUCN (2007) sarang-sarang tersebut dibagi menjadi 5 kelas

berdasarkan kondisi dan umur sarang tersebut dibuat, berikut klasifikasinya:

1. Sarang Kelas A : merupakan sarang paling baru dengan daunnya masih hijau

semua dan umurnya baru seminggu

2. Sarang Kelas B : daunnya sebagian hijau dan sebagian sudah kecoklatan

3. Sarang Kelas C : semua daunnya sudah coklat

4. Sarang Kelas D : alas sarangnya sudah berlubang dan bentuknya kurang utuh

5. Sarang Kelas E : biasanya sudah tinggal kerangka, namun masih kelihatan

bentuk sarangnya.

Karakteristik Sarang Orangutan

Menurut Mackinnon (1974), orangutan cenderung memilih sisi bukit

sebelah barat untuk menghindari panas matahari dan angin malam. Berdasarkan

pertimbangan kenyaman tersebut, orangutan juga merancang sarang sesuai dengan

bentuk dan ukuran tubuhnya. Sarang diharapkan dapat berfungsi sebagai tempat

untuk menghangatkan diri dan menghindari angin malam. Hal ini dilakukan

dengan menyesuaikan tinggi dinding dan panjang diameter sarang menurut

(30)

rata-rata sarang jantan pra-dewasa dan betina dewasa umumnya sama karena

kedua kelompok ini memiliki ukuran tubuh yang hampir sama.

Dimensi sarang yang dapat menjadi penciri yang baik untuk menentukan

kelas umur orangutan pembuat sarang adalah tinggi tempat bersarang, tinggi

dinding sarang, dan diameter rata-rata sarang. Semakin tua kelas umur satwa,

maka semakin tinggi dinding sarang dan semakin panjang diameter rata-rata

sarang serta semakin rendah tempat bersarang yang dipilih. Jantan dewasa

umunya memilih bersarang lebih rendah, tetapi betina dewasa (terutama yang

memiliki bayi atau anak) menempatkan sarang lebih tinggi pada puncak tajuk

pohon sesuai dengan struktur hutan yang ada untuk menghindari bahaya predator.

(Kudus, 2000).

Karakteristik pohon sarang yang berpengaruh terhadap perilaku orangutan

dalam pemilihan tempat bersarang adalah diameter batang, luas penutupan tajuk,

tinggi tajuk, dan bagian pohon sarang. Sedangkan tinggi bebas cabang dan tinggi

total, jarak tajuk pohon sarang ke tajuk pohon lainnya, dan tinggi sarang tidak

mempengaruhi perilaku orangutan untuk memilih tempat bersarang. Bagian

pohon yang sering digunakan untuk membuat sarang adalah puncak pohon dan

ujung cabang. Ketersediaan sumber pakan, air, karakteristik vegetasi yang

menjamin keamanan dan kenyamanan lokasi bersarang adalah faktor utama yang

menjadi pertimbangan untuk pemilihan lokasi bersarang pada orangutan

(Kuswanda dan Sukmana, 2005).

Survei Orangutan

Estimasi kepadatan Orangutan dengan metode survei sarang yang

(31)

provinsi Kalimantan Tengah (studi kasus di Camp Leakey) di delapan transek

yang mewakili areal 5,25 km2 dengan 21 km jalur pengamatan yang tersebar pada

tiga tipe habitat yang berbeda diketahui bahwa kepadatan populasi orangutan

Kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii Groves, 2001) di habitat berupa hutan

kerangas 1,07 ind/km2 dengan jumlah populasi orangutan sekitar 2 individu, di

habitat berupa dipterocarp dataran rendah 2,98 ind/km2 dengan jumlah populasi

orangutan sekitar 93 individu dan di habitat berupa hutan hutan rawa gambut 1,35

ind/km2 dengan jumlah populasi orangutan sekitar 18 individu. Untuk estimasi

jumlah total populasi orangutan di study area Camp Leakey adalah 113 individu

orangutan.

Hutan dipterocarp dataran rendah memiki nilai kepadatan yang tertinggi

dibandingkan dengan hutan rawa gambut dan kerangas. Hal ini terjadi karena

hutan dipterocarp dataran rendah merupakan tipe hutan yang memilki kondisi

yang lebih baik sebagai habitat orangutan terutama berkaitan dengan tingginya

ketersediaan pakan serta keanekaragaman jenis pohon pakan orangutan, sehingga

daya dukung lingkungan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan

orangutan pada habitat ini cuikup besar dalam mendukung pertumbuhan dan

perkembangan populasi orangutan untuk waktu selanjutnya. Estimasi kepadatan

yang paling rendah adalah hutan kerangas. Hal ini dimungkinkan karena

rendahnya ketersediaan pakan di tipe hutan ini walaupun pada dasarnya pada

hutan ini terdapat banyak jenis pohon pakan namun pada saat penelitian tidak

ditemukan sama sekali jenis pohon pakan yang sedang berbuah (Rahman, 2008).

Dalimunthe (2009) melaporkan bahwa kepadatan populasi orangutan

(32)

atau 3,484 individu/Ha dengan jumlah keseluruhan sarang sebanyak 225 sarang.

Kelas sarang orangutan yang paling banyak ditemukan adalah kelas sarang yang

berumur 4 bulan (kelas 3) dengan persentase 50,67% dan posisi sarang orangutan

yang paling banyak ditemukan adalah posisi sarang yang berada pada

percabangan utama (posisi 1) dengan persentase 39,11%. Ketinggian sarang

orang-utan paling banyak ditemukan adalah pada ketinggian 15-20 m dengan

persentase 26,98%. Pemilihan pohon sarang orangutan yang mendominasi adalah

pada Famili Dipterocarpaceae dan Lauraceae dengan persentase 29,17%.

Sementara kawasan hutan Batang Toru dengan luas 748,86 km2 masih

dapat mendukung kelangsungan hidup populasi orangutan yang diperkirakan

sebanyak 337-421 individu. Kepadatan populasi tertinggi diperkirakan berada di

hutan dataran tinggi berlumut (0,71 ind/km2) dan terendah di hutan dataran rendah

(0,30 ind/km2) dengan rerata kepadatan populasi sebesar 0,52 ind/km2. Rendahnya

kepadatan populasi orangutan sumatera di hutan dataran rendah dan campuran

dibandingkan dengan kedua tipe hutan dataran tinggi diperkirakan karena

tingginya aktivitas konversi lahan oleh masyarakat di dalam habitat orangutan. Di

Batang Toru sarang paling banyak ditemukan pada ketinggian 10-20 meter.

(Simorangkir, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Umri (2012) di Marike dan Sikundur Kecil

kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara menyatakan bahwa

nilai kepadatan Orangutan di Marike jauh lebih banyak dibandingkan dengan

lokasi di Sikundur Kecil, baik dilihat dari jumlah sarang maupun jumlah estimasi

kepadatan populasinya. Dimana jumlah sarang di Marike sebanyak 100,83 sarang,

(33)

jumlah sarang di Sikundur Kecil sebanyak 24,33 sarang, dengan estimasi

kepadatan orangutan sebanyak 0,56 individu/km2.

Terlihat bahwa jumlah sarang dan kepadatan Orangutan jauh berbeda, ini

disebabkan adanya perbedaan antara lokasi Hutan Marike dan Hutan Sikundur

Kecil. Hutan Marike masih tergolong hutan primer, sedangkan Hutan Sikundur

Kecil tergolong hutan sekunder dikarenakan hutan ini merupakan bekas area Hak

Pemilikan Hutan PT. Raja Garuda Mas (HPH PT. RGM) yang sudah lama di

tinggalkan. Sehingga jumlah populasi orangutan liar pada masing-masing lokasi

berbeda. Rendahnya jumlah kepadatan orangutan yang didapatkan di Sikundur

Kecil disebabkan oleh berbagai faktor pendukung bagi kelangsungan hidup

orangutan maupun kehadiran orangutan, seperti sumber pakan, kondisi

lingkungan hingga kenyamanan dari ancaman. Keadaan ini jika dibandingkan

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Asfi Z pada tahun 2000, di Agusan

yang hanya mendapatkan 0,0086 individu/ km2, populasi orangutan di Sikundur

Kecil ini masih tergolong cukup banyak (0,56 individu/km2).

Sementara penelitian yang dilakukan oleh Kuswanda (2013) di di CA

Sipirok yang secara administratif termasuk Kabupaten Tapanuli Selatan dan

Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, pendugaan rata-rata

kepadatan orangutan di CA Sipirok sebesar 0,47 individu/ km2 dengan kepadatan

tertinggi ditemukan pada hutan primer ketinggian 600-900 m dpl sebesar 1.02

individu/km2 atau dengan dugaan populasi antara 22- 40 individu pada area seluas

69,7 km2. Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Perbatakusuma

et al. (2006) yang menyatakan bahwa kepadatan orangutan pada setiap kawasan

(34)

Indeks Nilai Penting (INP)

Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau

komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat

tumbuh-tumbuhan. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan

penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis,

diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penyusun

komunitas hutan tersebut. Berdasarkan analisis vegetasi dapat diperoleh

informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan.

Tujuan pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan ke dalam 3

kategori yaitu (1) pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan

batas-batas jenis dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama

namun waktu pengamatan berbeda; (2) menduga tentang keragaman jenis dalam

suatu areal dan (3) melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor

lingkungan tertentu atau beberapa faktor lingkungan (Greig, 1983).

Frekuensi suatu jenis menunjukan penyebaran jenis-jenis dalam areal

tertentu. Jenis yang menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi yang

besar, sebaliknya jenis-jenis yang mempunyai nilai frekuensi kecil

mempunyai daerah sebaran yang kurang luas. Kerapatan dari suatu jenis

merupakan nilai yang menunjukan jumlah atau banyaknya suatu jenis per

satuan luas, makin besar kerapatan suatu jenis, makin banyak individu jenis

tersebut per satuan luas. Dominansi suatu jenis merupakan nilai yang

menunjukan peguasaan jenis terhadap komunitas (Soerianegara, 1996).

Dominansi suatu jenis merupakan nilai yang menunjukkan penguasaan

(35)

suatu jenis, semakin besar pengaruh penguasaan jenis tersebut terhadap jenis lain.

INP suatu jenis merupakan nilai yang menggambarkan peranan keberadaan suatu

jenis dalam komunitas. Semakin besar INP suatu jenis semakin besar pula peranan

jenis tersebut dalam komunitas. INP dengan nilai yang tersebar merata pada

banyak jenis lebih baik dari pada bertumpuk atau menonjol pada sedikit jenis

karena menunjukkan terciptanya relung (niche) yang lebih banyak dan tersebar

merata, spesifik dan bervariasi. (Kainde et al., 2011).

Nilai penting didefinisikan sebagai gabungan dari densitas/ kerapatan

relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan dominansi relatif (DR). Kondisi ini

menyebabkan nilai penting suatu jenis maksimum adalah 300% (KR=100%,

FR=100%, DR=100%), bila dalam suatu tegakan hanya terdiri dari satu jenis

saja (Curtis dan Mc.Intosh, 1951). Whittaker (1975) menyebutkan bahwa

nilai penting dapat ditentukan berdasarkan salah satu atau dua nilai, tetapi

lebih banyak nilai dijadikan dasar akan menjadi lebih baik dan mendekati

kebenaran dalam menentukan dominansi atau penguasaan jenis di dalam

(36)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Cagar Alam Dolok Sibual Buali, Desa Aek

Nabara, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera

Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2014.

Gambar 2. Peta lokasi penelitian

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Global Positioning

System (GPS), kamera, binokuler, pita ukur, parang, sarung tangan, plastik ukuran

10 kg dan alat tulis. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tally sheet,

peta lokasi penelitian, tali raffia, pohon yang digunakan orangutan untuk membuat

(37)

Metode penelitian

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan dalam pengumpulan data

mengenai kepadatan orangutan adalah metode line transect yang dibuat

berdasarkan keberadaan sarang (Purposive sampling), dengan jumlah transek

sebanyak 3 (tiga) transek. Metode ini sangat efektif digunakan untuk estimasi

kepadatan populasi orangutan seperti yang telah dilakukan oleh Van Schaik pada

tahun 1995.

Prosedur Penelitian

Mula-mula dilakukan pembuatan jalur (trail) sepanjang 1 km dengan lebar

25 m pada masing-masing sisi kanan dan kiri jalur pada daerah yang telah

ditentukan. Lebar jalur diterapkan atas dasar keyakinan bahwa jarak pandang mata

masih dapat menjangkau sasaran (target) dengan baik untuk mendeteksi

keberadaan sebuah sarang orangutan. Pengukuran terhadap lebar jalur (jarak

sarang dari jalur) tidak diperlukan apabila sarang diyakini masih berada dalam

jarak/lebar yang ditetapkan yaitu ≤ 25 m (misalnya hanya beberapa meter dari tepi

jalur).

Survei sarang dilakukan di setiap transek dengan empat kali ulangan

transek dengan jarak antara transek yang satu dan yang lain adalah 150 m. Cara

kerja dari survei dilakukan dengan berjalan menyusuri jalur secara perlahan-lahan,

untuk mengamati kemungkinan adanya sebuah sarang orangutan baik disisi kanan

maupun kiri jalur. Apabila sarang orangutan ditemukan, catat jarak antara lokasi

sarang dengan pengamat, dalam hal ini penghitungan sarang berdasarkan kelas

sarang agar tidak terjadi bias dalam penghitungan. Untuk mencegah penghitungan

(38)

a. Meter di rintis (jarak tertentu yang memungkinkan sarang dapat diamati)

b. Derajat arah sarang (koordinat GPS)

c. Jarak sarang dari rintis (jarak sarang dari titik pengamat)

d. Kelas sarang dengan kategori sebagai berikut:

1. Sarang Kelas A : merupakan sarang paling baru dengan daunnya masih

hijau semua dan umurnya baru seminggu

2. Sarang Kelas B : daunnya sebagian hijau dan sebagian sudah kecoklatan

3. Sarang Kelas C : semua daunnya sudah coklat

4. Sarang Kelas D : alas sarangnya sudah berlubang dan bentuknya kurang

utuh

5. Sarang Kelas E : biasanya sudah tinggal kerangka, namun masih

keliatan bentuk sarangnya

(IUCN, 2007).

e. Posisi sarang dengan kategori sebagai berikut:

- Posisi I : posisi sarang yang terletak dekat batang utama

- Posisi II :sarang berada di pertengahan/di pinggir percabangan tanpa

menggunakan pohon atau percabangan dari pohon lainnya.

- Posisi III : posisi sarang terdapat di puncak pohon

- Posisi IV :posisi sarang yang terletak diantara dua pohon yang berbeda.

Selanjutnya pohon yang ditemukan sarang orangutan, dicatat jenisnya jika

memungkinkan. Pohon yang tidak dapat diidentifikasi langsung, diambil bagian

daun serta alat generatifnya seperti bunga dan buah untuk diidentifikasi di

(39)

Teknik Analisis Data

Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode line transect

yang dibuat berdasarkan keberadaan sarang (Purposive sampling). Titik awal

pembutan jalur dimulai saat sarang telah ditemukan dengan gambaran jalur sebagi

berikut :

Gambar 3. Jalur line transect

Setelah dilakukan pembuatan jalur dan perhitungan sarang, selanjutnya

melakukan pendugaan kepadatan populasi orangutan pada setip jalur pengamatan

dengan metode perhitungan dari Van Schaik . Perhitungan kepadatan populasi

berdasarkan sarang dengan metode tersebut adalah sebagai berikut :

D = �

(��2���.�.�)

Keterangan:

D = Kepadatan populasi orangutan (individu/km²)

L = Panjang jalur/transect (km)

w = Rata-rata jarak antara sarang dengan transect (m)

P = Proporsi jumlah sarang yang dibangun dalam populasi

r = Tingkat produksi sarang

t = Ketahanan sarang

N = Jumlah sarang yang tercatat / ditemukan di sepanjang jalur transect. 25 m

25 m

(40)

Nilai yang digunakan pada penelitian ini merupakan nilai yang telah

ditetapkan oleh Van Scaik. Namun nilai L, N, dan w (*) disesuaikan berdasarkan

kondisi dan data yang didapatkan di lapangan. Penjelasan nilai rumus adalah :

- Panjang transek (L) = 1 km*

- Proporsi jumlah sarang yang dibangun dalam populasi (p) = 0,9

- Tingkat produksi sarang (r) = 1,7

- Nilai ketahanan sarang (t) = 73 hari

- Rata-rata jarak antara sarang dengan transek (w = 9,41 m)*

(Van Schaik, 1995).

Analisis vegetasi adalah suatu cara untuk mempelajari komposisi jenis dan

struktur vegetasi. Penelitian ini hanya mengambil data vegetasi tingkatan pohon

dengan petak pengamatan 20 m x 20 m. Pengambilan data vegetasi dilakukan

dengan menggunakan petak contoh sebagai berikut:

Gambar 4. Plot jalur analisis vegetasi

Data analisis vegetasi didapatkan dengan cara melakukan inventarisasi

pohon yang terdapat dalam petak contoh pengamatan, baik pohon yang terdapat

sarang maupun tidak. Hasil inventarisasi pohon kemudian diolah dengan

perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) dengan rumus sebagai berikut :

Kerapatan (K) = Jumlahindividusuatujenis

JumlahLuasunitcontoh

20 m

20 m 10 m

10 m

100 m 100 m 1000

(41)

Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatansuatujenis

Kerapatanseluruhjenisx 100%

Frekuensi (F) = Jumlahplotditemukansuatujenis

Jumlahseluruhplot

Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensisuatujenis

Frekuensiseluruhjenisx 100%

Dominansi (D) = Luasbidangdasar

Luaspetakcontoh

Dominansi Relatif (DR) = Dominansisuatujenis

Dominansiseluruhjenisx 100%

Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR

Luas bidang dasar ke-i = 1

(42)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kepadatan Sarang

Jumlah sarang yang ditemukan dari empat jalur sangat fluktuatif. Jumlah

sarang tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah sarang yang ditemukan pada masing-masing jalur.

Jarak Jalur Jumlah Persentase

Pembutan jalur yang menggunakan metode purposive sampling

menyebabkan karakteristik jalur berbeda-beda. Pada tabel 4 terlihat total sarang

orangutan yang ditemukan sebanyak 18 sarang, dimana jumlah sarang terbanyak

ditemukan pada jalur I (7 sarang) dan jalur II (6 sarang) dengan jarak jalur

berkisar antara 0-1000 meter. Banyaknya jumlah sarang ditemukan pada jalur I

dan II ini disebabkan karena keberadaan pakan menjadi faktor utama keberadaan

sarang. Sedangkan jumlah sarang yang paling sedikit ditemukan adalah pada jalur

III (5 sarang), keadaan ini disebabkan karena pada areal ini jenis pohon pakan

lebih sedikit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Meijaard (2001) bahwa orangutan

(43)

daerah yang memiliki kondisi vegetasi pohon yang lebih baik, dan terdapat pohon

pakan yang lebih banyak dan bervariasi, serta aman dari berbagai gangguan.

Berdasarkan jarak dalam jalur, jumlah sarang yang banyak ditemukan

adalah pada jarak 0-100 meter dengan banyak sarang 8 sarang (44,44%), jarak

201-300 meter sebanyak 3 sarang (16,67%), dan yang paling sedikit adalah

dengan jarak jalur 301-400 meter, 501-600 meter, dan 601-700 meter

masing-masing sebanyak 1 sarang (5,56%), serta pada jarak 801-900 meter tidak

ditemukan sarang sama sekali. Menurut Kuswanda dan Sukmana (2005),

ketersediaan sumber pakan, air, karakteristik vegetasi yang menjamin keamanan

dan kenyamanan lokasi bersarang adalah faktor utama yang menjadi

pertimbangan untuk pemilihan lokasi bersarang pada orangutan.

Populasi Orangutan

Analisis estimasi kepadatan orangutan berdasarkan 18 sarang yang

ditemukan dari seluruh jalur didapatkan estimasi total populasi sebanyak 0,006

individu/km2 atau 0,595 individu/ha, seperti terlihat dalam Tabel 2.

Tabel 2.Populasi orangutan yang ditemukan pada masing-masing jalur

Jalur Jumlah Sarang Populasi

Individu/km2 Individu/ha

I 7 0,002 0,233

II 6 0,002 0,200

III 5 0,002 0,166

Total 18 0,006 0,595

Rata-Rata 6 0,002 0,200

Estimasi populasi orangutan terbanyak terdapat di jalur I dengan jumlah

0,002 individu/km2 atau 0,233 individu/ha diikuti dengan jalur II dengan jumlah

(44)

III dengan perkiraan populasi hanya 0,002 individu/km2 atau 0,166 individu/ha.

Rata–rata populasi orangutan pada seluruh jalur adalah 0,002 individu/km2 atau

0,200 individu/ha. Utami (2006) menambahkan bahwa kepadatan populasi

orangutan Sumatera tergolong rendah (0-7 individu/km2) pada berbagai tipe

habitat.

Seiring meningkatnya kualitas habitat dan ketersediaan pohon pakan,

maka nilai kepadatan ini juga dapat meningkat dan sebaliknya. Kualitas habitat

biasanya menurun ketika masyarakat sekitar hutan mengadakan pembukaan hutan

menjadi ladang perkebunan dan lahan. Kondisi hutan yang mengalami penurunan

pada akhirnya akan menyebabkan kepunahan lokal dan pergerakan orangutan pun

akan terbatas.

Menurut Meijaard (2001) estimasi populasi orangutan berdasarkan metode

penghitungan sarang turut ditentukan oleh umur sarang, potensi pohon pakan,

perilaku pergerakan, termasuk migrasi serta kondisi habitat. Oleh karena itu,

produktivitas tumbuhan yang menghasilkan makanan pada waktu yang tepat dan

sebagai tempat beristirahat yang aman inilah yang merupakan daya dukung

habitat orangutan.

Laju peluruhan sarang sebagai parameter dalam pendugaan kepadatan

populasi orangutan memiliki nilai yang berbeda antara satu tipe habitat dengan

tipe habitat lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Van Schaik (1994) bahwa

hancur dan hilangnya sarang orangutan ditentukan oleh faktor ketinggian tempat

diatas permukaan laut, tipe hutan/habitat, temperatur, kelembaban, dan curah

hujan. Berdasarkan penelitian Van Schaik (1995) di Leuser bahwa waktu

(45)

Ketambe waktu ketahanan sarang antara 81 dan 250 hari (Rijksen, 1978; Buij et

al., 2003). Kemampuan orangutan dalam membangun sarang juga sangat

mempengaruhi perhitungan populasi yang menggunakan perhitungan sarang.

Diketahui bahwa orangutan sumatera membangun sarang rata-rata 1,6–1,8 sarang

per hari (Van Schaik et al., 1995; Singleton, 2000).

Kelas Sarang

Penentuan kelas sarang didasarkan pada perubahan warna daun dan

konstruksi sarang. Persentase jumlah sarang berdasarkan kelas sarang memberikan

informasi terkait kehadiran orangutan, seperti yang diuraikan pada Tabel 3.

Tabel 3.Kelas sarang orangutan yang ditemukan pada masing-masing jalur.

Kelas Sarang Jalur Jumlah Persentase

Sarang KelasA : merupakan sarang paling baru dengan daunnya masih hijau semua dan umurnya baru seminggu

Sarang Kelas B : daunnya sebagian hijau dan sebagian sudah kecoklatan Sarang Kelas C : semua daunnya sudah coklat

Sarang Kelas D : alas sarangnya sudah berlubang dan bentuknya kurang utuh Sarang Kelas E : biasanya sudah tinggal kerangka, namun masih kelihatan bentuk sarangnya

Dari tabel 3 terlihat bahwa jumlah dan persentase sarang yang paling

tinggi berdasarkan kelas sarang didapatkan pada kelas sarang C, yaitu dengan

jumlah sebanyak 7 sarang (38,87%) kemudian kelas sarang D dengan jumlah 5

sarang (27,78%). Jumlah terendah terdapat pada kelas sarang B, A, dan E dengan

(46)

Kelas sarang C merupakan kelas sarang dengan persentase terbesar yang

ditemukan pada lokasi penelitian. Hal ini menunjukkan pada periode sebelum penelitian,

tingkat kehadiran orangutan sangat tinggi pada kawasan tersebut. Kehadiran orangutan

di suatu kawasan dipengaruhi oleh pohon pakan yang sedang berbuah. Dimana

saat terdapat pohon pakan yang sedang berbuah, orangutan membuat sarang

didekat pohon pakan tersebut. Sarang kelas A (baru), yang menjadi penduga kehadiran

orangutan di lokasi penelitian, masih dapat ditemukan, walaupun dengan persentase

sebesar 10,53% . Rendahnya persentase perjumpaan sarang kelas A di lokasi penelitian

ini dikarenakan rendahnya potensi pakan di lokasi tersebut. Pada saat dilakukan

penelitian, lokasi tersebut sedang tidak dalam musim berbuah.

(a) (b)

(47)

(e)

Gambar 5. Kelas sarang (a) sarang kelas A, (b) sarang kelas B, (c) sarang kelas C, (d) sarang kelas D, dan (e) sarang kelas E.

Terkadang, ditemukan juga orangutan yang menggunakan sarang lamanya

dengan cara membangun ulang bagian dalam sarang dengan cara mengambil ranting dari

pohon sarang atau pohon lain. Fakta ini juga dikuatkan dengan apa yang disebutkan oleh

Rijksen (1978) bahwa orangutan menggunakan sarang lama dan ini biasanya setelah

periode 2-8 bulan karena adanya pohon berbuah yang disukai. Hal ini sedikit banyak

mempengaruhi komposisi sarang namun secara umum tidak mempengaruhi kelas

sarang karena bahan sarang lama masih terlihat dengan jelas dan perbaikan sarang

lama tidak menyeluruh.

Posisi Sarang

Posisi sarang orangutan menentukan visibilitas sarang dan mempengaruhi

perhitungan sarang yang ditemukan di lapangan. Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sekitar 50% orangutan Sumatera di

lokasi penelitian membuat sarang dekat dengan batang utama (posisi I) dan 27,78% pada

percabangan utama pohon (posisi II). Sementara untuk posisi sarang III dan IV dengan

(48)

Tabel 4. Posisi sarang yang ditemukan pada masing-masing jalur.

Posisi Sarang Jalur Jumlah Persentase

(%)

Posisi II : sarang berada dipertengahan/dipinggir percabangan tanpa menggunakan pohon atau percabangan dari pohon lainnya.

Posisi III : posisi sarang terdapat di puncak pohon

Posisi IV : posisi sarang yang terletak diantara dua pohon yang berbeda.

Pada tabel 4 terlihat bahwa orangutan pada lokasi penelitian lebih

cenderung memilih membuat sarang pada posisi I dan diikuti posisi II. Hal ini

disebabkan karena sarang yang dibuat pada posisi tersebut dapat menopang bobot badan

orangutan karena terletak pada cabang utama. Selain hal tersebut, posisi sarang ini juga

memungkinkan orangutan terlindung dari intensitas cahaya matahari yang tinggi, angin

dan ketika kondisi dengan curah hujan yang tinggi.

Prasetyo (2006) menambahkan beberapa alasan dalam pemilihan posisi

sarang seperti fungsi sarang yang berhubungan dengan kekuatan konstruksi sarang

untuk menahan berat tubuh orangutan dan perlindungan terhadap predator. Posisi

sarang II dibangun di atas pohon yang relatif besar dan sarang terletak

dipertengahan atau dipinggir percabangan. Posisi ini diduga cukup kuat untuk

menahan berat badan 2 orangutan (induk dan anak), serta orangutan pun dapat

leluasa mengawasi keadaan dibawah sarang sehingga saat ada gangguan dengan

mudah dapat berpindah ke pohon lain.

Tinggi Sarang

Penelitian yang dilakukan berlokasi pada ketinggian ±900 mdpl dengan

(49)

sarang tersebut, sehingga berpengaruh pula terhadap perhitungan sarang di

lapangan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan jumlah sarang

berdasarkan ketinggian sarang orangutan pada setiap tingkat ketinggian cukup

bervariasi, seperti terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Tinggi sarang yang ditemukan pada masing-masing jalur.

Ketinggian Jalur Jumlah Persentase

Pada tabel 5, sarang terbanyak yang dibangun orangutan adalah pada

ketinggian 6-10 meter dengan jumlah 8 sarang (44,44%) dan terendah pada

ketinggian 16-20 meter dengan jumlah 4 sarang (22,22%). Rata-rata orangutan

membuat sarang pada ketinggian 6-20 meter. Pemilihan ketinggian sarang ini

berkaitan dengan kemungkinan tingkat gangguan yang ada disekitar pohon

sarang. Sarang dengan ketinggian yang rendah ini kemungkinan merupakan sarang

individu orangutan berumur tua, selain itu pun rendahnya ketinggian sarang

dimungkinkan karena rendahnya tingkat predator seperti harimau Sumatera yang

merupakan salah satu predator pada populasi orangutan di Sumatera.

Ketinggian sarang bervariasi pada beberapa lokasi. Di Batang Toru sarang

paling banyak ditemukan pada ketinggian 10-20 meter. Wilayah lain di Sumatera

yaitu Bahorok 20-35 meter dan Ketambe kebanyakan membuat sarang pada

(50)

orangutan bergantung pada struktur hutan pada tempat tertentu. Hal ini diduga

disebabkan karena adanya predator.

Indeks Nilai Penting (INP)

Hasil analisis vegetasi dari 30 plot diperoleh sebanyak 197 pohon yang

terdiri dari 48 spesies. Indeks Nilai Penting dari seluruh spesies pada seluruh plot

dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Indeks nilai penting tingkat pohon pada seluruh jalur.

(51)

No Nama Lokal Nama Latin Jumlah KR

Indeks Nilai Penting (INP) terbesar terdapat pada beberapa spesies seperti

Hoteng (Quercus gamelliflora Blume.) dengan nilai INP 41,06%, Hau Dolok

(Syzygium sp.) dengan INP 22,54%, Surian (Toona sinensis Roem.) dengan INP

24,96% dan Medang (Litsea brachystachys Boerl.) dengan INP 22,18%. Menurut

hasil yang diperoleh dari analisis struktur vegetasi menunjukkan tingkat dominasi

suatu jenis terhadap jenis-jenis lain yang diasumsi sebagai sumber makanan bagi

orangutan di habitat hutan tersebut. Menurut Kainde et al (2011), semakin besar

INP suatu jenis semakin besar pula peranan jenis tersebut dalam komunitas. Hal

ini jelas bahwa spesies Hoteng (Quercus gamelliflora Blume.) sebagai penyusun

utama komunitas tumbuhan dalam suatu ekosistem.

Spesies seperti Hau Dolok (Syzygium sp.), Surian (Toona sinensis Roem.)

dan Medang (Litsea brachystachys Boerl.) dapat berasosiasi dengan spesies lain

membentuk komunitas dan regenerasi seedling. Sebanyak 48 spesies menentukan

nilai indeks keanekaragaman, dimana keanekaragaman jenis yang tinggi

menunjukkan di dalam suatu komunitas memiliki kompleksitas yang tinggi

dipengaruhi oleh lingkungan lokasi penelitian yang terdiri dari komunitas ladang

campuran dan lahan bukaan. Selain itu, faktor yang diduga dapat mempengaruhi

(52)

Hoteng (Quercus gamelliflora Blume.) berada pada tingkat indeks nilai

penting yang paling baik apabila dilihat apabila dilihat dari jumlah

individunya/kerapatannya. Struktur vegetasi Hoteng (Quercus gamelliflora

Blume.) dapat diartikan sebagai pertumbuhan yang dianggap alami dan prospek

regenerasinya cukup baik dalam membentuk komunitas. Hal ini sesui dengan

pernyataan Kainde et al (2011), dimana indeks nilai penting suatu jenis

merupakan nilai yang menggambarkan peranan keberadaan suatu jenis dalam

komunitas.

Pohon Bersarang

Pohon bersarang merupakan pohon yang dipilih orangutan untuk

membangun sarang yang dipilih berdasarkan kekuatan pohon dan ketersediaan

pakan pada lokasi sekitarnya. Pohon-pohon dominan yang digunakan oleh

orangutan untuk membangun sarang dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Pohon sarang yang ditemukan pada masing-masing jalur.

No Nama Lokal Nama Latin Famili Jumlah Persentase

(%)

1 Handis Garcinia dioica Blume. Guttiferae 1 5,88

2 Hau Dolok Syzygium sp 1. Myrtaceae 6 35,29

3 Hoteng Quercus gemelliflora Fagaceae 1 5,88

4 Hase Dracontomelon dao Anacardiaceae 2 11,27

5 Hole Ficus sp. Moraceae 3 17,65

6 Mayang Palaquium gutta Sapotaceae 1 5,88

7 Medang Litsea brachystachys Lauraceae 3 17,65

Total 18 100

Pohon yang dijadikan pohon sarang merupakan pohon yang memiliki kayu

yang tergolong kuat yang dapat menopang tubuh orangutan tersebut. Hal tersebut

dapat dilihat dari jenis pohon yang digunakan untuk membangun sarang. Tidak

(53)

oleh orangutan. Ada beberapa jenis pohon yang ditemukan menjadi pohon sarang

dengan proporsi yang rendah, namun ada juga jenis pohon tertentu yang dominan

dijadikan pohon sarang.

Berdasarkan tabel 7, persentase terbesar pohon yang dijadikan lokasi

bersarang orangutan dari seluruh jalur adalah pohon Hau Dolok (Syzygium sp 1.)

dari famili Myrtaceae dengan jumlah 6 pohon (35,29%), Hole (Ficus sp.) dari

famili Moraceae dengan jumlah 3 pohon (17,65%), dan Medang

(Litsea brachystachys) dari family Lauraceae dengan jumlah 2 pohon (17,65%).

Pemilihan genus pohon sarang orangutan tersebut cenderung tidak berkaitan

dengan genus pohon yang paling dominan (memiliki nilai INP paling tinggi).

Pohon Hau Dolok merupakan pohon terbanyak yang dipilih orangutan

untuk dijadikan sarang. Hal ini dikarenakan pohon Hau Dolok merupakan pohon

yang kuat dan pohon ini memiliki buah yang berdaging, sesuai dengan

pernyataan. Van Schaik (2006) yaitu bahwa orangutan akan memilih pohon yang

kuat dan nyaman untuk dijadikan sarang. Alasan orangutan lebih memilih famili

Myrtaceae untuk dijadikan pohon sarang adalah pohon ini relatif kuat, dengan

demikian sarang yang dibangun akan dapat menahan berat tubuh orangutan.

Leighton (1993) menambahkan bahwa orangutan lebih suka memakan

Gambar

Gambar 1. Ilustrasi Posisi Sarang Orangutan
Gambar 2. Peta lokasi penelitian
Gambar 3. Jalur line transect
Gambar 4. Plot jalur analisis vegetasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). 2) Bahwa Bank Permata bertanggung jawab atas akibat hukum dalam perjanjian. jual beli piutang dan akta cessie antara Silver

Untuk mengetahui kualitas layanan yang diberikan dalam penanganan gangguan padam maka dari Standard Operating Process (SOP) yang digunakan oleh PLN UPJ Ngagel ditambah dengan voice

yang berbeda. 1) Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Snowball Throwing terhadap motivasi belajar mata pelajaran Aqidah Akhlak siswa kelas IV MIN 3 Tulungagung.

Dian Ayu Linovia, Penerapan Model Pembelajaran Snowball Throwing Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Materi Bilangan Romawi Pada Siswa Kelas IV MI Mafatihul Ulum

Berlatar belakang dari permasalahan yang terjadi diatas, peneliti mencoba untuk melakukan penelitian dengan judul “ Pengaruh Internet Sebagai Sumber Belajar

Salah satu faktor yang dilakukan untuk menekan biaya operasional peledakan dengan cara melakukan perbaikan geometri peledakan dan mengefektifkan pemakaian ANFO, setelah perbaikan

Pada penelitian ini telah dipelajari penggunaan pendukung katalis zeolit, senyawa kompleks [Fe(EDTA)] - dan katalis [Fe(EDTA)] - /zeolit pada sintesis vitamin

Pada bab ini tentang Hasil dan Pembahasan mengenai analisa prosedur kerja dari sistem informasi akademik berbasis sms gateway yang diusulkan, penyusunan tabel dengan relasi