TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
a. Letak dan Luas
Ekosistem Cagar Alam (CA) Dolok Sibual Buali secara administrasi
pemerintahan terletak di 3 (tiga) wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Sipirok,
Kecamatan Padang Sidempuan Timur, dan Kecamatan Marancar, Kabupaten
Tapanuli Selatan, Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan wilayah pengelolaan
hutan termasuk dalam wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah II yang
berkedudukan di Rantau Prapat, Balai Konservasi Sumber Daya Alam
Sumatera Utara II (BBKSDASUMUT, 2011).
Cagar Alam Dolok Sibual Buali secara geografis terletak pada koordinat
01°0’ - 01°37’ Lintang Utara dan 99°11’15” - 99°17’55” Bujur Timur. Cagar
Alam Dolok Sibual Buali terletak pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Barumun.
Berdasarkan letak pada ketinggian di atas permukaan laut (dpl) maka Cagar Alam
Dolok Sibual Buali terletak pada ketinggian 750 s/d 1.819 m dpl. Setelah beralih
fungsi menjadi Cagar Alam, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian
No.215/Kpts/Um/14/1982 tanggal 8 April 1982, maka Cagar Alam Dolok Sibual
Buali Register 3 memiliki luas 5.000 hektar (BBKSDASUMUT, 2011).
b. Penataan Batas
Menurut BBKSDASUMUT (2011), Kawasan Cagar Alam Dolok
Sibual Buali sebagian besar berbatasan dengan hutan rakyat dan kebun.
• Bagian Timur berbatasan dengan wilayah Desa Sumuran, Hutaraja,
Mandurana, Aek Horsik, Paringgonan, Hasahatan, Pinang Sori, dan
Gunungtua Baringin.
• Bagian Barat berbatasan dengan wilayah Desa Sugijae, Pasar Marancar,
Simaretung/Haunatas, Bonan Dolok, Tanjung Rompa, Janjimanaon, dan
Aek Nabara.
c. Topografi, Geologi dan Iklim
Cagar Alam Dolok Sibual Buali sebagian besar memiliki topografi
bergelombang dan berbukit. Terdapat 4 buah gunung utama/tertinggi dan 6 buah
anak gunung. Kemiringan lahan sebagian besar adalah curam (21-55%)
(BBKSDASUMUT, 2011).
Iklim di Cagar Alam Dolok Sibual Buali ditandai dengan hujan yang
paling sering turun pada bagian utara dan barat kawasan, sehingga pada beberapa
lokasi banyak terdapat longsor. Sebagian besar kawasan sudah tertutup embun
mulai jam 17.00 WIB, sedangkan di beberapa bagian puncak mulai turun embun
jam 16.00 WIB. Angin bertiup dari arah barat menuju utara dan timur. Suhu
maksimum 29°C dan minimum 18°C (BBKSDASUMUT, 2011).
d. Flora
Berdasarkan hasil survey identifikasi tanaman obat-obatan tahun 2002
oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara II, terdapat lebih dari
107 jenis tanaman obat-obatan yang terdapat di dalam Cagar Alam Dolok Sibual
Buali dan daerah sekitarnya. Pohon didominasi oleh famili Euphorbiaceae,
Myrtaceae, Anarcadiaceae dan Moraceae, Dipterocarpaceae, Raflesia sp., Pinus
(Exbucklandia populnea), Sengon (Albizia procera), Beringin (Ficus sp.).
Keadaan vegetasi di lapangan masih relatif baik, di dalam hutan masih banyak
ditemui pohon-pohon berdiameter 1 m (BBKSDASUMUT, 2011).
e. Fauna
Berbagai jenis satwa terdapat di Cagar Alam Dolok Sibual Buali, beberapa
jenis diantaranya dilindungi seperti Mawas (Pongo abelli), Siamang
(Hylobates sindactylus), Kambing Hutan (Capricornis sumatrensis), Harimau
Sumatera (Panthera tiggris sumatrae), Kuau (Argosianus argus), Rusa
(Cervus sp), dan lain-lain (BBKSDASUMUT, 2011).
Inventarisasi Satwaliar
Inventarisasi dimaksudkan sebagai kegitan pengumpulan data mengenai
tumbuhan dan satwa liar (BPPKP, 1998). Husch (2003) menyatakan bahwa
inventarisasi satwaliar dapat didefinisikan sebagai suatu prosedur untuk
mendapatkan data dan informasi mengenai kuantitas, kualitas, dan kondisi dari
suatu populasi satwaliar beserta karakteristik habitatnya.
Ukuran populasi suatu spesies sangat penting diketahui; selain untuk
mengetahui kekayaan/kelimpahannya di suatu kawasan (alam), ukuran populasi
merupakan data dasar untuk menilai kemungkinan kelangsungan atau
keterancaman keberadaannya di alam, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan
manajemen satwaliar. Ukuran populasi dapat juga digunakan sebagai dasar dalam
pendugaan kualitas lingkungan (habitat); walaupun secara umum tidak akan lebih
baik bila didasarkan pada keanekaragaman. Perubahan ukuran populasi dalam
suatu kawasan tertentu dapat merupakan indikasi terjadinya perubahan kualitas
membaik, paling tidak daya dukung lingkungan masih memungkinkan
berkembangnya populasi; sebaliknya, penurunan ukuran populasi akan terjadi bila
kondisi lingkungan memburuk (Tobing, 2008).
Estimasi ukuran populasi secara akurat sangat susah dilakukan, dan
memerlukan teknik/metode tersendiri. Metode-metode yang digunakan secara
umum dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu : penghitungan
seluruh anggota populasi secara langsung, pendugaan ukuran populasi
berdasarkan densitas, dan pendugaan berdasarkan tanda-tanda khas (dari suatu
spesies) yang ditinggalkan.
Inventarisasi orangutan secara langsung merupakan pekerjaan yang sangat
sulit (Mathewson et al. 2008). Hal ini berhubungan dengan kecepatan berpindah
orangutan pada saat berada di pohon. Orangutan secara alami akan menghindari
manusia yang mendekat. Gerakan orangutan akan sangat sulit untuk diamati oleh
pengamat karena lebatnya tajuk pohon dan keterbatasan gerak pengamat pada
kondisi lokasi tertentu (Meijaard et al. 2001). Untuk mengatasi kesulitan tersebut,
salah satu metode yang paling sering digunakan adalah metode penghitungan
sarang orangutan (Buij et al. 2002; Schaik et al. 2005; Mathewson et al. 2008).
Sarang adalah bukti keberadaan orangutan yang paling mudah diamati
(Meijaard et al. 2001).).
Klasifikasi Orangutan
Menurut Groves (2001), orangutan termasuk ordo Primata dan famili
Homonidae, dengan klasifikasi sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Kelas : Mamalia
Ordo : Primata
Family : Homonidae
Genus : Pongo
Species : Pongo abelii (Orangutan Sumatera)
Pongo pygmaeus (Orangutan Kalimantan/Borneo)
Morfologi Orangutan
Orangutan atau mawas, merupakan kera besar yang hanya ada di Pulau
Sumatera bagian Utara dan Kalimantan, termasuk Sabah Malaysia. Orangutan
Sumatera, memiliki warna tubuh merah kekuningan dan lebih terang
dibandingkan orangutan Kalimantan (Wahyono, 2005). Selanjutnya Galdikas
(1986) menjelaskan bahwa orangutan Sumatera (Pongo abelii), biasanya
berwarna lebih pucat, khasnya “ginger” (jahe), rambutnya lebih lembut dan lemas.
Habitat Orangutan
Orangutan hidup pada hutan tropis dataran rendah, rawa-rawa dan
terkadang dapat ditemukan pada hutan perbukitan yang dapat mencapai
ketinggian 1.500 m dpl. Orangutan Sumatera (Pongo abelii) memiliki persebaran
yang terbatas, hanya dapat dijumpai di Sumatera bagian utara sampai ke Aceh
(Supriatna dan Edy, 2000). Orangutan hidup di dataran rendah dengan ketinggian
200 - 400 m dpl dan di daerah Sumatera orangutan terkadang dapat ditemukan di
ketinggian lebih dari 1.500 m dpl. Habitat yang optimal bagi orangutan paling
sedikit mencakup dua tipe lahan utama yaitu tepi sungai dan dataran tinggi kering
Menurut Kuswanda (2011) yang mengacu dari Van Schaik et al., (1994)
dan Meijaard et al., (2001), kriteria habitat yang sesuai dengan reintroduksi
orangutan, yaitu:
1. Prioritas kawasan merupakan hutan negara.
2. Lokasi habitat merupakan habitat baru bagi orangutan.
3. Penutupan lahan masih berupa hutan primer.
Kualitas hutan sangat berpengaruh terhadap daya reproduksi orangutan
(Population and Habitat Viability Assessment, 2004), selain itu juga akan
mempercepat adaptasi dan meningkatkan daya reproduksi.
4. Luasan habitat yang cukup ideal.
Satu individu orangutan diperkirakan membutuhkan luasan 100 Ha atau 1
km2. Pada habitat alaminya, orangutan dapat hidup dengan normal antara 5 – 6
individu dalam luasan 1 km2, seperti di Ketambe, TNGL yang mencapai
kepadatan 5,5 ekor/km2 (Meijaard et al., 2001).
5. Kerapatan Vegetasi Tinggi
Kerapatan vegetasi pada habitat untuk reintroduksi diharapkan mencapai 400 -
550 pohon/ha. Indeks keanekaragaman jenis pada setiap tingkat pertumbuhan
(semai, pancang, tiang dan pohon) berada pada selang 2,5 < H maks <
sehingga masih tergolong stabil.
6. Persentase pohon sumber pakan orangutan
Habitat yang akan dipilih sebaiknya habitat yang paling sedikitnya 60 - 80%
jenis pohonnya teridentifikasi sebagai sumber pakan orangutan.
Lokasi pelepasliaran orangutan sebaiknya telah teridentifikasi paling sedikit
30 - 40% dari seluruh jumlah pohon dalam kawasan.
8. Menyediakan tumbuhan obat bagi orangutan
9. Habitat sebaiknya teridentifikasi paling sedikit 30 - 40% dari jumlah
tumbuhan sumber pakan yang berfungsi sebagai tanaman obat bagi orangutan.
Kepadatan Orangutan
Faust et al., (1994), disitasi oleh Syukur (2000) menyatakan bahwa
kepadatan orangutan dipengaruhi oleh ketinggian tempat di atas permukaan laut
(dpl), tipe hutan dan tingkat gangguan yang ada. Kepadatan orangutan diketahui
terus menurun dengan meningkatnya suatu tempat di atas permukaan laut (dpl).
Mulai kepadatan 5 individu/km2 pada hutan rawa (± 30 m dpl), sekitar 2,5
individu/km2 pada ketinggian < 500 m dpl, kurang lebih 1,8 individu/km2 pada
ketinggian 500-1000 m dpl, hingga akhirnya tidak didapatkan sama sekali pada
ketinggian >1800 m dpl.
Kepadatan populasi orangutan Sumatera tergolong rendah (0-7
individu/km2) pada berbagai tipe habitat. Paling banyak ditemui di daerah flood
plain/rawa gambut sebesar 6,1 ind/km2, dataran rendah alluvial (<500 m) sebesar
3,9 ind/km2, dataran tinggi (500-1000 m) sebesar 1,4 ind/km2, dan (sub)
pegunungan (>1000 m) sebesar 0,8 ind/km2 (Utami, 2006).
Estimasi populasi dengan metode penghitungan sarang dipengaruhi oleh
umur sarang, potensi pohon pakan, perilaku pergerakan, termasuk migrasi serta
kondisi habitat. Bagi orangutan, daya dukung habitat ini ditentukan oleh
produktivitas tumbuhan yang menghasilkan makanan pada waktu yang tepat dan
terjadinya persaingan, dan anggota yang posisinya lebih rendah harus mencari
sumber-sumber makanan di tempat lain, atau menerima sumber-sumber makanan
alternatif. Jika tidak, mereka akan mati (Meijaard, 2001).
Perilaku Bersarang Orangutan
Perilaku bersarang pada orangutan merupakan perilaku yang hanya
dilakukan oleh kera besar lainnya seperti simpanse, bonobo dan gorilla yang
melakukan aktivitas tersebut secara reguler (Ergenter, 1990 dalam Kuncoro,
2004). Perilaku bersarang orangutan bukanlah perilaku berdasarkan naluri tetapi
lebih kepada perilaku yang muncul setelah dipelajari, bayi orangutan akan
mengikuti dan berlatih cara membuat sarang kepada induknya
(Prasetyo et al., 2009).
Berdasarkan penelitian Pujiyani (2009), ada beberapa posisi sarang
orangutan (Gambar 1), posisi I adalah apabila sarang orangutan terletak di
dekat batang utama, posisi II adalah apabila sarang orangutan berada di
pertengahan atau di pinggir percabangan tanpa menggunakan pohon atau
percabangan pohon lainnya, posisi III adalah apabila sarang orangutan terletak
di bagian puncak pohon dan posisi IV adalah apabila sarang orangutan terletak
di antara dua cabang atau lebih, dari tepi pohon yang berlainan.
Prasetyo (2006) menjelaskan bahwa sarang orangutan dapat dibuat pada
posisi yang berbeda di pohon, terdapat empat posisi yang umum digunakan oleh
orangutan yaitu posisi 1, 2, 3, dan 4 serta posisi yang tidak lazim yaitu posisi 0.
Beberapa alasan dalam pemilihan posisi sarang seperti fungsi sarang yang
berhubungan dengan kekuatan konstruksi sarang untuk menahan berat tubuh
Menurut Sugardjito (1983), posisi sarang di atas puncak pohon (posisi 3)
dan dahan pohon (posisi 1 dan 2), baik pada satu batang maupun pada dua batang
mempunyai keuntungan bagi orangutan yaitu tidak terhalangnya pandangan dan
jangkauan yang dapat mencakup sebagian besar dari penjuru hutan. Selain itu,
posisi ini juga memudahkan orangutan dalam melakukan pergerakan sewaktu
keluar dari sarang. Dari segi keamanan, posisi ini menghindarkan orangutan dari
ancaman predator.
.
Gambar 1. Ilustrasi Posisi Sarang Orangutan
Setelah Orangutan menemukan dahan yang cocok untuk bersarang maka
terdapat 4 (empat langkah) dalam teknik bersarang yang menggunakan
dahan-dahan tersebut yaitu :
1. Melingkari, dahan dilengkungkan mendatar untuk membentuk sarang
melingkar dan pegangan pada tempat bengkokan lain pada cabang pohon
2. Menggantung, dimana sebuah cabang dibengkokkan kebawah mengarah ke
sarang untuk membentuk bagian tutup sarang
3. Bertiang, dimana cabang-cabang dilingkarkan ke atas dari bawah mengarah
pada sarang untuk menahan cabang-cabang untuk dukungan ekstra
4. Melepaskan, sebuah cabang dihentakkan dari pohon lain dan di taruh dibawah
(Margianto, 1998).
Orangutan dalam melakukan aktifitas hidupnya, termasuk membuat sarang
lebih menyukai daerah yang memiliki kondisi vegetasi pohon yang lebih baik, dan
terdapat pohon pakan yang lebih banyak dan bervariasi, serta aman dari berbagai
gangguan. Di habitat yang berkualitas baik, antara 57% (jantan) dan 80% (betina)
waktu makannya dihabiskan untuk memakan buah-buahan. Walaupun ada sekitar
200 jenis buah yang dimakan, beberapa jenis buah tertentu ternyata jauh lebih
tinggi dalam komposisi makanan orangutan. Buah-buahan ini berdaging lembek,
berbiji, termasuk buah berbiji tungal dan buah beri. Orangutan juga lebih
menyukai pohon-pohon yang berbuah lebat (Meijaard, 2001). Leighton (1993)
menambahkan bahwa orangutan lebih suka memakan buah-buahan, khususnya
buah yang berdaging dan manis.
Peluruhan Sarang Orangutan
Tingkat peluruhan sarang bervariasi sesuai dengan spesies kera besar,
spesies pohon tempat bersarang, tipe hutan, dan parameter abiotik seperti curah
hujan, ketinggian, suhu, serta tipe dan pH tanah (van Schaik et al., 1995; Buij et
al., 2003; Ancrenaz et al. 2004; Walsh dan White 2005; Marshall et al., 2006;
Mathewson et al., 2008). Namun, sejauh mana faktor-faktor lingkungan ini dapat
berkorelasi dengan durasi sarang dengan cara yang dapat diandalkan tidak
diketahui. Dalam beberapa kasus, hubungan yang dibentuk di satu kawasan telah
gagal untuk memprediksi secara tepat peluruhan sarang di kawasan lain. Sebagai
contoh, walaupun nilai pH mungkin dapat dikaitkan dengan tingkat peluruhan
dapat diandalkan di dua kawasan di Borneo (Johnson et al., 2005; Marshall et al.,
2006).
Keawetan sarang tergantung pada teknik konstruksi, berat dan ukuran
orangutan, suasana hati saat membangun sarang, lokasi dan karakteristik pohon,
cuaca serta keberadaan satwa lain yang mungkin akan merusak sarang orangutan
tersebut, dalam waktu 2,5 bulan sarang orangutan akan tetap terlihat sebelum pada
akhirnya akan hancur dan tinggal ranting-rantingnya saja (Rijksen, 1978).
Sarang orangutan tidak permanen sifatnya (Sugardjito, 1983). Lebih lanjut
Rijksen (1978) menjelaskan bahwa orangutan sering kali membuat sarang baru di
lokasi yang berbeda atau dengan memperbaiki sarang yang lama dan ini biasanya
setelah periode 2-8 bulan karena adanya pohon berbuah yang disukai. Sarang-sarang
tersebut dapat digunakan selama dua malam atau lebih, sedangkan ketahanan
sarang orangutan dapat bervariasi dari dua minggu sampai lebih dari satu tahun.
Menurut Van Schaik et al., (1994), hancur dan hilangnya sarang orangutan
ditentukan oleh faktor ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl), tipe hutan,
habitat, begitu juga faktor-faktor lain yang juga mempengaruhinya seperti
temperatur, kelembaban dan curah hujan.
Kelas Sarang Orangutan
UNESCO-PanEco dalam YEL (2009), menjelaskan bahwa kelas sarang
dan kelas kerusakan/kehancuran sarang dapat ditentukan atas empat kelas untuk
memprediksi kondisi tersebut dengan ciri-ciri sebagai berikut:
2. Kelas B : daun sudah mulai tidak segar, semua daun masih ada, bentuk
sarang masih utuh, warna daun sudah mulai coklat terutama di permukaan
sarang, belum ada lubang yang terlihat dari bawah
3. Kelas C : sarang tua, semua daun sudah coklat bahkan sebagian daun sudah
hilang sudah terlihat adanya lubang dari bawah
4. Kelas D : semua daun sudah hilang, sebagian besar hanya tinggal ranting
Menurut IUCN (2007) sarang-sarang tersebut dibagi menjadi 5 kelas
berdasarkan kondisi dan umur sarang tersebut dibuat, berikut klasifikasinya:
1. Sarang Kelas A : merupakan sarang paling baru dengan daunnya masih hijau
semua dan umurnya baru seminggu
2. Sarang Kelas B : daunnya sebagian hijau dan sebagian sudah kecoklatan
3. Sarang Kelas C : semua daunnya sudah coklat
4. Sarang Kelas D : alas sarangnya sudah berlubang dan bentuknya kurang utuh
5. Sarang Kelas E : biasanya sudah tinggal kerangka, namun masih kelihatan
bentuk sarangnya.
Karakteristik Sarang Orangutan
Menurut Mackinnon (1974), orangutan cenderung memilih sisi bukit
sebelah barat untuk menghindari panas matahari dan angin malam. Berdasarkan
pertimbangan kenyaman tersebut, orangutan juga merancang sarang sesuai dengan
bentuk dan ukuran tubuhnya. Sarang diharapkan dapat berfungsi sebagai tempat
untuk menghangatkan diri dan menghindari angin malam. Hal ini dilakukan
dengan menyesuaikan tinggi dinding dan panjang diameter sarang menurut
rata-rata sarang jantan pra-dewasa dan betina dewasa umumnya sama karena
kedua kelompok ini memiliki ukuran tubuh yang hampir sama.
Dimensi sarang yang dapat menjadi penciri yang baik untuk menentukan
kelas umur orangutan pembuat sarang adalah tinggi tempat bersarang, tinggi
dinding sarang, dan diameter rata-rata sarang. Semakin tua kelas umur satwa,
maka semakin tinggi dinding sarang dan semakin panjang diameter rata-rata
sarang serta semakin rendah tempat bersarang yang dipilih. Jantan dewasa
umunya memilih bersarang lebih rendah, tetapi betina dewasa (terutama yang
memiliki bayi atau anak) menempatkan sarang lebih tinggi pada puncak tajuk
pohon sesuai dengan struktur hutan yang ada untuk menghindari bahaya predator.
(Kudus, 2000).
Karakteristik pohon sarang yang berpengaruh terhadap perilaku orangutan
dalam pemilihan tempat bersarang adalah diameter batang, luas penutupan tajuk,
tinggi tajuk, dan bagian pohon sarang. Sedangkan tinggi bebas cabang dan tinggi
total, jarak tajuk pohon sarang ke tajuk pohon lainnya, dan tinggi sarang tidak
mempengaruhi perilaku orangutan untuk memilih tempat bersarang. Bagian
pohon yang sering digunakan untuk membuat sarang adalah puncak pohon dan
ujung cabang. Ketersediaan sumber pakan, air, karakteristik vegetasi yang
menjamin keamanan dan kenyamanan lokasi bersarang adalah faktor utama yang
menjadi pertimbangan untuk pemilihan lokasi bersarang pada orangutan
(Kuswanda dan Sukmana, 2005).
Survei Orangutan
Estimasi kepadatan Orangutan dengan metode survei sarang yang
provinsi Kalimantan Tengah (studi kasus di Camp Leakey) di delapan transek
yang mewakili areal 5,25 km2 dengan 21 km jalur pengamatan yang tersebar pada
tiga tipe habitat yang berbeda diketahui bahwa kepadatan populasi orangutan
Kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii Groves, 2001) di habitat berupa hutan
kerangas 1,07 ind/km2 dengan jumlah populasi orangutan sekitar 2 individu, di
habitat berupa dipterocarp dataran rendah 2,98 ind/km2 dengan jumlah populasi
orangutan sekitar 93 individu dan di habitat berupa hutan hutan rawa gambut 1,35
ind/km2 dengan jumlah populasi orangutan sekitar 18 individu. Untuk estimasi
jumlah total populasi orangutan di study area Camp Leakey adalah 113 individu
orangutan.
Hutan dipterocarp dataran rendah memiki nilai kepadatan yang tertinggi
dibandingkan dengan hutan rawa gambut dan kerangas. Hal ini terjadi karena
hutan dipterocarp dataran rendah merupakan tipe hutan yang memilki kondisi
yang lebih baik sebagai habitat orangutan terutama berkaitan dengan tingginya
ketersediaan pakan serta keanekaragaman jenis pohon pakan orangutan, sehingga
daya dukung lingkungan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan
orangutan pada habitat ini cuikup besar dalam mendukung pertumbuhan dan
perkembangan populasi orangutan untuk waktu selanjutnya. Estimasi kepadatan
yang paling rendah adalah hutan kerangas. Hal ini dimungkinkan karena
rendahnya ketersediaan pakan di tipe hutan ini walaupun pada dasarnya pada
hutan ini terdapat banyak jenis pohon pakan namun pada saat penelitian tidak
ditemukan sama sekali jenis pohon pakan yang sedang berbuah (Rahman, 2008).
Dalimunthe (2009) melaporkan bahwa kepadatan populasi orangutan
atau 3,484 individu/Ha dengan jumlah keseluruhan sarang sebanyak 225 sarang.
Kelas sarang orangutan yang paling banyak ditemukan adalah kelas sarang yang
berumur 4 bulan (kelas 3) dengan persentase 50,67% dan posisi sarang orangutan
yang paling banyak ditemukan adalah posisi sarang yang berada pada
percabangan utama (posisi 1) dengan persentase 39,11%. Ketinggian sarang
orang-utan paling banyak ditemukan adalah pada ketinggian 15-20 m dengan
persentase 26,98%. Pemilihan pohon sarang orangutan yang mendominasi adalah
pada Famili Dipterocarpaceae dan Lauraceae dengan persentase 29,17%.
Sementara kawasan hutan Batang Toru dengan luas 748,86 km2 masih
dapat mendukung kelangsungan hidup populasi orangutan yang diperkirakan
sebanyak 337-421 individu. Kepadatan populasi tertinggi diperkirakan berada di
hutan dataran tinggi berlumut (0,71 ind/km2) dan terendah di hutan dataran rendah
(0,30 ind/km2) dengan rerata kepadatan populasi sebesar 0,52 ind/km2. Rendahnya
kepadatan populasi orangutan sumatera di hutan dataran rendah dan campuran
dibandingkan dengan kedua tipe hutan dataran tinggi diperkirakan karena
tingginya aktivitas konversi lahan oleh masyarakat di dalam habitat orangutan. Di
Batang Toru sarang paling banyak ditemukan pada ketinggian 10-20 meter.
(Simorangkir, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Umri (2012) di Marike dan Sikundur Kecil
kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara menyatakan bahwa
nilai kepadatan Orangutan di Marike jauh lebih banyak dibandingkan dengan
lokasi di Sikundur Kecil, baik dilihat dari jumlah sarang maupun jumlah estimasi
kepadatan populasinya. Dimana jumlah sarang di Marike sebanyak 100,83 sarang,
jumlah sarang di Sikundur Kecil sebanyak 24,33 sarang, dengan estimasi
kepadatan orangutan sebanyak 0,56 individu/km2.
Terlihat bahwa jumlah sarang dan kepadatan Orangutan jauh berbeda, ini
disebabkan adanya perbedaan antara lokasi Hutan Marike dan Hutan Sikundur
Kecil. Hutan Marike masih tergolong hutan primer, sedangkan Hutan Sikundur
Kecil tergolong hutan sekunder dikarenakan hutan ini merupakan bekas area Hak
Pemilikan Hutan PT. Raja Garuda Mas (HPH PT. RGM) yang sudah lama di
tinggalkan. Sehingga jumlah populasi orangutan liar pada masing-masing lokasi
berbeda. Rendahnya jumlah kepadatan orangutan yang didapatkan di Sikundur
Kecil disebabkan oleh berbagai faktor pendukung bagi kelangsungan hidup
orangutan maupun kehadiran orangutan, seperti sumber pakan, kondisi
lingkungan hingga kenyamanan dari ancaman. Keadaan ini jika dibandingkan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Asfi Z pada tahun 2000, di Agusan
yang hanya mendapatkan 0,0086 individu/ km2, populasi orangutan di Sikundur
Kecil ini masih tergolong cukup banyak (0,56 individu/km2).
Sementara penelitian yang dilakukan oleh Kuswanda (2013) di di CA
Sipirok yang secara administratif termasuk Kabupaten Tapanuli Selatan dan
Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, pendugaan rata-rata
kepadatan orangutan di CA Sipirok sebesar 0,47 individu/ km2 dengan kepadatan
tertinggi ditemukan pada hutan primer ketinggian 600-900 m dpl sebesar 1.02
individu/km2 atau dengan dugaan populasi antara 22- 40 individu pada area seluas
69,7 km2. Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Perbatakusuma
et al. (2006) yang menyatakan bahwa kepadatan orangutan pada setiap kawasan
Indeks Nilai Penting (INP)
Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau
komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat
tumbuh-tumbuhan. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan
penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis,
diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penyusun
komunitas hutan tersebut. Berdasarkan analisis vegetasi dapat diperoleh
informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan.
Tujuan pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan ke dalam 3
kategori yaitu (1) pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan
batas-batas jenis dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama
namun waktu pengamatan berbeda; (2) menduga tentang keragaman jenis dalam
suatu areal dan (3) melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor
lingkungan tertentu atau beberapa faktor lingkungan (Greig, 1983).
Frekuensi suatu jenis menunjukan penyebaran jenis-jenis dalam areal
tertentu. Jenis yang menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi yang
besar, sebaliknya jenis-jenis yang mempunyai nilai frekuensi kecil
mempunyai daerah sebaran yang kurang luas. Kerapatan dari suatu jenis
merupakan nilai yang menunjukan jumlah atau banyaknya suatu jenis per
satuan luas, makin besar kerapatan suatu jenis, makin banyak individu jenis
tersebut per satuan luas. Dominansi suatu jenis merupakan nilai yang
menunjukan peguasaan jenis terhadap komunitas (Soerianegara, 1996).
Dominansi suatu jenis merupakan nilai yang menunjukkan penguasaan
suatu jenis, semakin besar pengaruh penguasaan jenis tersebut terhadap jenis lain.
INP suatu jenis merupakan nilai yang menggambarkan peranan keberadaan suatu
jenis dalam komunitas. Semakin besar INP suatu jenis semakin besar pula peranan
jenis tersebut dalam komunitas. INP dengan nilai yang tersebar merata pada
banyak jenis lebih baik dari pada bertumpuk atau menonjol pada sedikit jenis
karena menunjukkan terciptanya relung (niche) yang lebih banyak dan tersebar
merata, spesifik dan bervariasi. (Kainde et al., 2011).
Nilai penting didefinisikan sebagai gabungan dari densitas/ kerapatan
relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan dominansi relatif (DR). Kondisi ini
menyebabkan nilai penting suatu jenis maksimum adalah 300% (KR=100%,
FR=100%, DR=100%), bila dalam suatu tegakan hanya terdiri dari satu jenis
saja (Curtis dan Mc.Intosh, 1951). Whittaker (1975) menyebutkan bahwa
nilai penting dapat ditentukan berdasarkan salah satu atau dua nilai, tetapi
lebih banyak nilai dijadikan dasar akan menjadi lebih baik dan mendekati
kebenaran dalam menentukan dominansi atau penguasaan jenis di dalam