• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Sarang Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) Di Kawasan Hutan Sekunder Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung Leuser

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Sarang Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) Di Kawasan Hutan Sekunder Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung Leuser"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran A. Peta Lokasi Resort Sei Betung TNGL

(2)

Lampiran B. Peta Transek Penelitia

(3)

Lampiran C

ID Transek : Transek 2 Titik koordinat awal Titik koordinat akhir Arah : 140 ke barat

Pengamat : Inggin trimendes T: 0395033 U: 0447334 T : 0395937 U: 0446140 Panjang: 1000 M

(4)

ID Transek : Transek 3 Titik koordinat awal Titik koordinat akhir Arah : 320 ke timur

Pengamat : Inggin trimendes T: 0395604 U: 0445945 T : 0395029 U: 0446954 Panjang: 1400 M

(5)

ID Transek : Transek 4 Titik koordinat awal Titik koordinat akhir Arah : 320 derajat timur

sarang (m) Nama pohon sarang

(6)

20 969 394710 446690 44 9.5 S A 3 9 Pometia pinnata 42 S

21 995 394698 446707 85 19 S B 3 12 Arthocarpus dada 57 S

22 1125 394647 446714 78 18 S B 3 6 Dipterocarpus sp. 56 S

23 1230 394615 446808 56 6.5 S B 3 8 Litsea sp. 54.6 S

24 1236 394584 446828 61 6 U B 3 9 Litsea sp. 52.5 S

25 1280 394571 446834 71 11 U A 3 11 Lithocarpus sp. 31 S

27 1325 394406 446970 68 7.6 U B 1 12 Syzigium sp1. 61.5 S

28 1325 394406 446970 68 7.6 U A 2 14 Syzigium sp1.

Litsea sp.

61.5

78.5 S

29 1330 394550 446881 73 9.5 S A 4 7 S

Lithocarpus sp. 56 S

30 1332 395286 446820 73 9.8 S A 4 8 Lithocarpus sp. 56 S

Litsea sp. 78 S

31 1400 395048 446917 65 16.7 S D 2 13 Endospermum diadenum 120 S

(7)
(8)

18 1125 395582 445242 68 16 S B 2 11 Anthrocepalus sp. 70 S

19 1320 395623 445120 73 5 S A 4 7 Macaranga indica 41 S

(9)
(10)
(11)

ID Transek : Transek 7 Titik koordinat awal Titik koordinat akhir Arah : 140 ke Barat

Keterangan : Kleas A : Kelas sarang yang masih baru dengan daun masih hijau semua

Kelas B : Kelas sarang yang sebahagian daun masih hijau dan sebahagian sudah coklat Kelas C : Kelas sarang yang semuanya daunnya sudah berwarna coklat

Kelas D : Sarang sudah berlubang dan tidak utuh lagi Kelas E : Sarang tinggal rantingnya saja

(12)

Arah Sarang U : Sarang berada di utara transek DPL : Diatas Permukaan Laut PPD : Jarak sarang dari transek

Habitat S

: Hutan sekunder

Habitat ST : Hutan sekunder tua Posisi 1 : Sarang dibatang utama

Posisi 2 : Sarang berada di percabangan pohon Posisi 3 : Sarang berada di pucuk pohon

(13)

Lampiran D.Foto Penelitian

(14)

Pencatatan data Sarang

(15)

Sarang Kelas A

(16)

Sarang Kelas C

(17)

Sarang Kelas E

(18)

Foto Spesimen: Macaranga hypoleuca

(19)
(20)

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS.1990. Pengelolaan Satwaliar. Jilid I. Yayasan Penerbit FakultasKehutanan IPB. Bogor

Anonim. 2007. IUCN Red List of Theartened Species.

Asfi, Z. 2001. Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang di Agusan Ekosistem Leuser.Skipsi.Universitas Syiah Kuala Fakultas Kehutanan: Banda Aceh.

BBTNGL.2010. Ayo Berwisata di Taman Nasional Gunung Leuser.Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser. Medan.

Benfika. 1998. Perilaku dan Pola Bersarang pada Orangutan (Pongo pygmaeus abelli, Lesson, 1827) di Beberapa Tipe Hutan di Pusat Penelitian Suaq Balimbing, Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh Selatan. Universitas Nasional. Jakarta. Skripsi tidak dipublikasikan.

Dalimunte, P. N. 2009. Estimasi Populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser.Skripsi.Jurusan FMIPA Universitas Sumatera Utara. Medan.

Fajria, A. 2014.Estimasi Kepadatan Populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii, Lesson, 1827) Berdasarkan Jumlah Sarang di Kawasan Hutan Primer Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung Leuser.Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Fleagle, J. G., 1999. Primate Adaptation and Evolution. Second edition Acdemic Press: New York

Galdikas B, M, F. 1978. Adaptasi Orangutan Di Suaka Tanjung Putting KalimantanTengah.Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Galdikas B, M, F. 1984. Adaptasi Orangutan di Suaka Tanjung Putting Kalimantan Tengah. Universitas Indonesia-Press: Jakarta.

Galdikas B, M, F. 1986. Adaptasi Orangutan di Suaka Tanjung Putting Kalimantan Tengah. Cetakan Kedua. Universitas Indonesia-Press: Jakarta. Ginting YWSB. 2006. Studi Reintroduksi Orang Utan Sumatera (Pongo

(21)

Groves, Colin. 2001. Primate Taxonomy. Smithsonian Institution Press.Washington and London.

Gusnanda, A. 2013. Restorasi Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Resort Sei Betung Desa Halaban Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Laporan Kerja Praktek. Departemen Biologi FMIPA USU. Medan. Hidayah, Khoirul. 2007. Perilaku makan Orangutan Kalimantan (Pongopygmaeus

,linnaeus 1760) di Pusat Primata Schmutzer Taman Margasatwa Ragunan Jakarta. Laporan praktek Kerja Lapangan.Jurusan MIPA Fakultas Sains dan Teknologi Universitas islam Negeri. Jakarta.

Umri, K. 2012. Estimasi Kepadatan Populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang di Marike dan Sikundur Kecil Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara.Skripsi.Jurusan FMIPA Universitas Sumatera Utara. Medan.

MacKinnon, J. R. 1974. The ape Within Us Holt. Rinehard and Winston: New York.

Margianto, G. 1998. Prilaku Bersarang Pada Orangutan (Pongo abelii) Di Pusat Penelitian Ketambe, Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh Tenggara, Aceh.Skirpsi. Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta.

Meijaard E, Rijksen DH, Kartikasari NS. 2001. Di Ambang Kepunahan – KondisiOrangutan Liar di Awal Abad ke - 21.The Gibbon Foundation Indonesia.Jakarta.

Muin, A. 2007.Analisis Tipoloi Pohon Tempat Bersarang dan Karakteristik Sarang Oranguan di Taman Nasional Tanjung Putting, Kalimantan Tengah.Tesis. Sekolah Pasca Sarajana. Istitut Pertanian Bogor. Bogor. Napier. 1967. A Handbook of Living Primates – Morphology, Ecology

andBehaviour of Nonhuman Primates. Academic Press. London – New York.

Paulina, L.E. Djuwantoko dan P. yuda. 2001. Penggunaan Habitat Orngutan (Pongo Pygmaeus) Rehabilitan di Hutan Lindung Sungai Wain Kalimantan Timur. Biota VI (3): 117-122.

Prasetyo, D. 2006. Sarang Orangutan: Inteligensi dan Prilaku, Forum Studi Primata, UNAS. Jakarta.

(22)

Pujiyani, H. 2008. Karakteristik pohon tempat bersarangOrangutan sumatera (pongo abelii)Di kawasan hutan batang toru,Kabupaten tapanuli utara - sumatera utara.Skripsi.Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rijksen, D. H. 1978. A Fieldstudy On Sumatran Orang Utans ( Pongo pygmaeus abelii Lesson 1827 ) – Ecology, Behaviour And Conservation.Agricultural University, Wageningen. Netherlands.

Rijksen, D. H. and E. Meijar, 1998.Our Vanishing Relative: The Status of Wild Orangutan at The Close of The Twenticth Century. Kluwer Academic Publisher. Dordrecht.

Schurmann, C. L. 1982. Mating Behavior of Wild Orangutan, its biology and conservation. Liem De Boer (eds.), The Hague, W junk.

Sugardjito, J., 1983. Selecting Nest-site Of Sumateran Orangutan, Pongo Pygmaeus abelii in The Gunung Leuser national Park. Indonesia, Primates.

Sugardjito, J. 1986. Ecological Constraints on the Behaviour of Sumatran Orangutan (Pongo pygmaeus abelii) in the Gunung Leuser National Park, Indonesia. Universiteit Utrecht. Utrecht. Thesis Ph.D.

UNESCO-PanEco/YEL. 2009.Cara Kerja Survei Sebaran & Populasi Orangutan Di TNGL 2009-2010.SOCP-Untuk Kalangan Sendiri.

Van Schaik, C. P. dan Azwar, 1991. Orangutan Densities In Different Forest Type in the Gunung Leuser National Park (Sumatera). As Determined by Nest Count, Report to PHPA. LIPI and L. S. B. Lea Foundation, Durham. Van Schaick, C. P., S. Poniran, S. Utami, M. Griffit, 1994. Estimate of Orangutan

Distribution and Status in Sumatra.Plenum-Press.NewYork.

Van Schaick, C. P., A. Prinata, dan D. Prinata. 1995. Populatiosn Estimates Habitat Referens of Orangutan Based on Line Transeck of nest. Plenum Press, New York.

Van Schaik C. P. A. 2004. Among Orangutans: Red Apes and the Rise of

Human Culture. Harvard University Press. 244p.

Van Schaick, C. P. 2006. Diantara Orangutan Kera Merah Dan Bangkitnya Kebudayaan Manusia.Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo. Jakarta. Walkers, E. P., 1983.Mammals of The World. The Jhons Hopkins University

Press, London.

(23)

Willyanti, F. 2005. Aktifitas Harian Anak Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Akibat Adanya Aktivitas Manusia di Pusat PEngamatan Orangutan Sumatera Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser.Skripsi.Jurusan FMIPA Universitas Sumatera Utara. Medan.

Yeager, C.P. 1999. Orangutan Action Plan.DirJen PKA, WWF-Indonesia and CERC.

(24)

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli s/d Agustus 2014, di kawasan hutan sekunder, Resort Sei Betung, Taman Nasional Gunung Leuser, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. (Gambar 3.1 dan Lampiran A,)

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian

Sumber: Orangutan Information Center (OIC 3.2. Deskripsi Area

3.2.1. Letak dan Topografi

(25)

Sebelah utara : Aceh Tenggara

sbelah selasatan : Hutan Primer Resort Sei Betung TNGL sebelah barat : Tenggulun

sebelah timur : Kebun Rapala, Putri Hijau dan Desa Halaban

Seacara geografis lokasi penelitian terletak pada 03o 95’ 72” LU dan 04o 45’ 48,4” BT. Kawasan penelitian ini merupakan hutan sekunder yang termasuk kedalam lokasi TNGL, dengan ketinggian 50-120 m dpl. Topografinya berupa bukit-bukit, terdapat aliran air parit dibagian tepi dan dalam hutan namun tidak terdapat kawasan aliran sungai besar dilokasi penelitian.

3.2.2. Potensi Kawasan

Hutan Sekunder Resort Sei Betung, Taman Nasional Gunung Leuser merupakan hutan lindung yang mempunyai keanekaragaman flora dan fauna yang terdapat di dalamnya. Berbagai jenis flora yang dapat dijumpai diantaranya jambu-jambuan (Syzygium sp sp.), kayu kuning (Eugenia sp.), damar (Shore sp.), kayu minyak (Dipterocarpus sp.), cempedak hutan (Arthocarpus sp.), Macaranga sp. yang merupakan sebagian besar hasil penanaman hutan oleh OIC dan sebagian tumbuhan yang memang sudah ada lalu dirawat sampai besar.

Jenis fauna yang ditemukan di hutan sekunder Resort Sei Betung diantaranya Siamang (Hyliobates sp.), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Orangutan (Pongo abelii), babi hutan (Sus barbatus), gajah (Elephas maksimus) dan Burung rangkong (Buceros rhinoceros). Jenis-jenis tersebut dapat dijumpai disaat mencari makan dan bersarang.

3.3. Alat dan Bahan

(26)

3.4. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan dalam pengumpulan data mengenai karakteristik sarang orangutan adalah metode line transect secara random sampling (Van Schaick, C. P. 2006). Metode ini didasarkan atas penentuan kategori sarang yang terdapat disekitar garis transek. Jumlah transek sebanyak 7 transek diambil secara acak sesuai dengan keberadaan sarang pada lokasi penelitian. Luas wilayah lokasi penelitian ini adalah 500 ha yang merupakan hutan sekunder hasil restorasi. Pada setiap garis transek dilakukan pengamatan dengan mencatat semua sarang yang dijumpai dengan karaktristik kelas sarang, posisi sarang, pohon tempat bersarang, dan tinggi sarang.

3.5. Prosedur Kerja

Mula-mula ditentukan jalur transek yang akan digunakan untuk pengamatan, jalur transek yang digunakan merupakan jalur transek yang sudah ada sebelumnya sepanjang 600 m sampai 1600 m setiap jalur transek, jalur transek yang digunakan sebanyak 7 transek pada bagian hutan yang telah dipilih secara random, dimana jarak antar transek berkisar 300-400 m (Gambar 3.2).

Gambar 3.2 Skematik Transek Penelitian

Cara kerja dilakukan dengan berjalan menyusuri garis transek mulai dari awal sampai akhir garis transek. Di setiap jarak 25 m pada jalur transek dipasang pita merah sebagai penanda untuk memudahkan pengamatan. Sarang yang dijumpai di sekitar garis transek baik disebelah kiri maupun disebelah kanan garis transek akan dilakukan pengamatan, jarak sarang yang diambil dari garis transek adalah 30 m di kiri dan kanan garis transek, di setiap sarang yang ditemukan diambil data titik koordinat agar tidak terjadi pengambilan data berulang terhadap

(27)

sarang orangutan. Pengambilan data sarang yang berada jauh dari garis transek didasarkan atas jarak pandang mata yang masih bisa menjangkau sarang target, pengambilan data ini dilakukan dengan bantuan binokuler sehingga memungkinkan untuk menemukan sarang yang sulit terlihat karena letaknya jauh dari jalur dan medan yang tidak memungkinkan untuk mencapai sarang atau sarang tersebut sedikit tersembunyi. Setiap sarang yang terlihat selama pengamatan akan dilakukan pencatatan terhadap karakteristik sarang dan karakter pohon sarang sesuai parameter pengamatan.

3.6. Pengambilan Data Karakteristik Sarang

Data yang akan diambil untuk menentukan karakteristik sarang adalah sebagai berikut:

3.6.1. Kelas Sarang

Pengambilan data kelas sarang dilakukan berdasarakn dengan IUCN (2007) sarang-sarang terbagi menjadi 5 kelas menurut kondisi dan umur sarang tersebut, dimana klasifikasi kelas sarang tersebut adalah:

a. Sarang kelas A , merupakan sarang paling baru dengan daunnya masih hijau semua dan umumnya baru seminggu.

b. Sarang kelas B, daunnya sebagian hijau dan sebagian sudah kecoklatan. c. Sarang kelas C, semua daunnya sudah coklat.

d. Sarang kelas D, alas sarangnya sudah berlubang dan bentuknya kurang utuh. e. Sarang kelas E, sarang tinggal ranting-ranting penyusunnya saja dan sebagian

sudah jatuh.

3.6.2. Posisi Sarang

Data posisi sarang yang diambil berdasarkan dengan IUCN (2007) yang mengelompokkan posisi sarang sebagai berikut:

a. Posisi 1 (satu), posisi sarang yang terletak dibatang utama

(28)

d. Posisi 4 (empat), posisi sarang yang terletak diantara dua pohon yang berbeda. 3.6.3. Ketinggian sarang

Setiap jenis sarang yang dijumpai di area garis transek diukur tinggi sarang berdasarkan jarak dari bawah pohon tempat orangutan meletakkan sarang sampai tempat sarang berada. Pengukuran ketinggian sarang dilakukan dari setiap kelas dan posisi sarang yang ditemukan. Pengukuran ketinggian sarang dilakukan dengan cara pengukuran langsung menggunakan halgaaltimeter, namun apabila pohon tempat bersarang terlalu tinggi maka pengukuran sarang dilakukan dengan menggunakan cara estimasi. Untuk penentuan ketinggian sarang dengan menggunakan estimasi dilakukan dengan perkiraan dan perbandingan dengan pohon.

3.6.4. Pohon Tempat Bersarang

Semua jenis pohon tempat bersarang orangutan akan dicatat tanpa membedakan umur sarang dan individu orangutan pembuat sarang. Pohon yang digunakan orangutan sebagai tempat bersarang dilakukan identifikasi lapangan. Jenis Pohon sarang diidentifikasi dengan menggunakan buku acuan The Flora of Malaya, A manual for Forest Volume 1 dan 2 (Whitemore, 1972), A field Guide to Common Sumateran Trees (Phil, 1978).

3.7 Analisis Data

Data yang didapatkan tentang karakteristik sarang orangutan Sumatera (Pongo abelii) ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar. Analisis untuk mengetahui persentase kelas sarang, posisi sarang, ketinggian sarang digunakan rumus yang diberikan oleh Van Schaik et al,. (1994), sebagai berikut:

Persentase Kelas Sarang = JumlahKelasSarang

JumlahKeseluruhanSarang

x 100

Persentase Posisi Sarang = JumlahPosisiSarang

JumlahKeseluruhanSarang

x 100

(29)

Persentase Ketinggian Sarang = KetinggianSarang

JumlahKeseluruhanSarang

x 100

Analisis untuk mengetahui dominasi pohon tempat bersarang dilakukan perhitungan dengan didasarkan jumlah pohon sarang yang paling banyak digunakan oleh orangutan Sumatera sebagai tempat bersarang, selanjutnya dihitung persentase dominasi jenis pohon sarangnya dengan rumus sebagai berikut:

Dominasi Jenis Pohon Sarang

= JumlahindividuJenisPohonSarang

(30)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Aktifitas Bersarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) 4.1.1. Kelas Sarang

Dari hasil penelitian karakteristik sarang orangutan Sumatera (Pongo abelii) berdasarkan kelas sarang di kawasan hutan sekunder Resort Sei Betung, TNGL yang telah dilakukan, didapatkan jumlah sarang orangutan Sumatera (Pongo abelii) sebanyak 104 sarang, dimana didominasi oleh sarang kelas D (24,05%), kemudian diikuti oleh sarang kelas E (22,11%), kelas B (22,11%) selanjutnya sarang kelas C (20,19%), sementara itu sarang kelas A (11,53%) merupakan sarang yang paling sedikit ditemukan, seperti pada Tabel 4.1 dan Lampiran C. Tabel 4.1 Kelas Sarang orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Kawasan

Hutan Sekunder Resot Sei Betung TNGL

No Kelas Transek Jumlah Persentase

(%)

Kelas A : Sarang yang baru dan masih hijau

Kelas B : Sarang yang sebagian sudah berobah menjadi warna coklat Kelas C : Semua sarang sudah berwarna coklat

Kelas D : Alas sarang sudah berlobang dan tidak utuh lagi Kelas E : Sarang sudah tinggal kerangka atau ranting saja

(31)

beraktifitas dan bersarang dilokasi ini. Sebagaimana dijelaskan oleh Sugardjito (1986), bahwa orangutan biasanya membuat sarang-sarang baru di sekitar pohon pakan terakhir atau pada kondisi tertentu sarang tersebut dibuat dipohon pakan terakhir yang dikunjunginya.

Jumlah kelas sarang yang banyak ditemukan terdapat pada transek IV dimana kelas D merupakan kelas yang paling dominan pada transek ini. Transek ini merupakan transek terpanjang dengan panjang 1600 m dan berada ditengah hutan sekunder dan sebahagian berada di perbatasan hutan sekunder dan hutan primer (sekunder tua). Kanopi pada transek ini tergolong rapat dan terdapat beberapa jenis pohon yang sedang berbuah dan ditemukan sejumlah sarang yang baru (kelas A) di sekitar transek.

Menurut Galdikas (1986), kehidupan orangutan tergantung dari kondisi habitatnya yang mendukung akan adanya ketersedian makanan yang cukup bagi kehidupannya. Agar dapat bertahan hidup, maka suatu populasi orangutan menggantungkan hidupnya pada komposisi pepohonan yang menyediakan makanan selama musim produktif secara terus-menerus sepanjang tahun dan dalam jarak penjelajahan yang masih bisa dijangkau, habitat orangutan yang berkualitas baik dipenuhi oleh pepohonan.

Sementara itu transek VII merupakan transek terpendek dengan panjang transek 600 m namun demikian walaupun jarak transek yang pendek ditemukan sejumlah sarang pada lokasi ini dimana kelas sarang yang paling dominan adalah kelas B. Lokasi ini merupakan lokasi tempat pelepasan beberapa individu orangutan hasil translokasi sehingga orangutan masih cenderung untuk beraktifitas dan bersarang disekitar area ini namun demikian tidak ditemukan individu orangutan yang terlihat secara langsung.

(32)

jelajah yang luas. Menurut Meijaard et al (2001), orangutan tidak tersebar merata menurut waktu dan lokasi di suatu kawasan. Keadaan ini disebabkan karena kera besar tersebut menghabiskan waktunya untuk menjelajah dan mencari makanan, sehingga terkadang menetap di lokasi yang sama sekali belum pernah didatangi. Antara mencari makan dan membuat wilayah baru selalu dilakukan setiap harinya sampai ke jenis hutan yang berbeda

Selama penelitian tidak ditemukan individu orangutan secara langsung namun demikian masih ditemukan sarang yang masih baru (kelas A) (12%) di hutan sekunder. Sarang kelas A lebih banyak ditemukan pada hutan sekunder tua. Kondisi di lokasi ini lebih banyak pohon berbuah dibandingkan dengan lokasi yang lain walaupun sudah melewati musim berbuah secara umum. Beberapa diantara tumbuhan yang masih berbuah seperti Arthocarpus dada, Callerya atropurpurea dan Pometia pinnata namun dalam jumlah yang sedikit.

Sebaran sarang orangutan dipengaruhi oleh sebaran pohon pakan di suatu kawasan. Perbedaan persentasi kelas sarang di hutan sekunder Resort Sei Betung TNGL dipengaruhi oleh sebaran pohon pakan di masing-masing tipe habitat tersebut, terutama berkaitan dengan pohon pakan yang berbuah. Sarang-sarang baru (kelas A) cenderung lebih banyak ditemukan pada habitat yang menyediakan banyak pohon pakan yang sedang berbuah dan berdaun muda. Sementara itu kelas sarang lainnya cenderung lebih banyak ditemukan di kondisi lingkungan yang sudah melewati musim berbuah.

(33)

Orangutan membuat sarang baru pada pohon setiap harinya terutama di waktu sore hari, sarang tersebut terdiri dari susunan dahan yang dibuat dalam beberapa menit pada tempat yang cocok misalnya di puncak pohon atau di cagak dahan. Orangutan terkadang juga menggunakan sarang-sarang lama dengan menggunakan cabang-cabang segar dari pohon sarang tersebut dan menggunakan sarang yang telah diperbaiki ini sebagai tempat bermalam (Paulina et al., 2001)..

Kelas sarang mempunyai kaitan yang erat dengan ketahanan sarang orangutan, dimana perubahan kelas sarang orangutan akan dipengaruhi oleh ketahanan sarang. Ketahanan sarang orangutan bergantung pada temperatur dan kelembaban udara di wilayah sarang berada. Hancur dan hilangnya sarang orangutan ditentukan oleh faktor ketinggian tempat di atas permukaan laut, tipe ekosistem hutan atau habitat, temperatur, kelembapan, dan curah hujan (Van Schaik et al., 1995). Ketahanan sarang tergantung pada teknik konstruksi, berat dan ukuran orangutan, suasana hati saat membangun sarang dan cuaca serta keberadaan satwa lain yang mungkin akan merusak sarang orangutan tersebut, dalam waktu 2,5 bulan sarang orangutan akan tetap terlihat sebelum pada akhirnya akan hancur dan tinggal ranting-rantingnya saja (Rijksen, 1978).

Menurut Rijksen (1978), kondisi vegetasi juga berpengaruh terhadap pembusukan sarang. Selanjutnya Yeager (1999), menambahkan posisi sarang di pohon, jenis pohon sarang, tinggi pohon sarang merupakan faktor yang mempengaruhi laju kerusakan sarang. Semakin tinggi dan kokoh jenis pohon, maka sarang akan semakin kuat dan awet. Posisi sarang yang berada ditengah pohon akan membuat sarang tidak cepat rusak, karena tidak langsung terkena cahaya matahari dan hujan. Van Schaick et al (1995), menyatakan bahwa di Sumatera rata-rata umur sarang orangutan 2,5 bulan dengan variasi antara 2 minggu atau lebih.

4.1.2. Posisi Sarang

(34)

Tabel 4.2 Posisi Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Kawasan Hutan Sekunder Resort Sei Betung TNGL

No Posisi Transek Jumlah Persentase

(%)

Posisi 1 : Posisi sarang berada di batang utama pohon Posisi 2 : Posisi sarang berada di percabangan pohon Posisi 3 : Posisi sarang berada di pucuk pohon

Posisi 4 : Posisi sarang berada antara dua pohon yang berbeda

Dari Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa dari 4 posisi sarang orangutan sumatera (Pongo abelii) yang diamati di hutan sekunder Resort Sei Betung TNGL didapatkan hasil yang bervariasi, dimana didominasi oleh posisi 3 (46,15%), selanjutnya posisi 2 (25,96% ) dan posisi 1 (20,19%), sedangkan posisi yang paling sedikit digunakan orangutan adalah posisi 4 (7,69% ).

Berdasarkan hasil yang didapatkan diketahui bahwa orangutan di hutan sekunder Resort Sei Betung TNGL lebih mendominasi posisi sarang yang berada dipucuk pohon (posisi 3) jika dibandingkan dengan posisi sarang yang lain, hal ini berbeda dengan MacKinnon (1974), yang mengatakan bahwa orangutan lebih sering membangun sarangnya di dekat batangutama (posisi 1) dari pada di posisi lain. Diasumsikan perbedaan tersebut karena pada hutan sekunder kebanyakan kondisi pohon bersarang orangutan yang masih tergolong rendah dengan dahan dan ranting yang masih lemah untuk menopang sarang orangutan jika sarang dibangun di percabangan pohon, sehingga posisi yang paling memungkinkan untuk membuat sarang pada hutan sekunder adalah di pucuk pohon. Pemilihan posisi sarang juga ditentukan oleh banyak faktor, seperti keuntungan dari tidak terhalangnya pandangan mata yang dapat menjangkau sebagian besar penjuru hutan.

(35)

berbukit-bukit pada sebahagian lokasi, sehingga sulit bagi orangutan untuk membuat sarang pada posisi ini. Sarang orangutan pada posisi 4 pada umumnya ditemukan pada kondisi pohon yang rapat antara satu dengan yang lainnya, posisi ini dapat ditemukan pada jenis Macaranga sp., Polyalthia sumaterana, Aglaia sp. dan Litsea sp.

Posisi sarang di pucuk pohon (posisi 3) merupakan posisi yang paling ideal bagi orangutan untuk meletakkan sarang di hutan sekunder Resort Sei Betung TNGL, karena pada lokasi ini didominasi oleh tumbuhan muda dengan batang yang masih rendah dan dahan percabangan yang belum cukup kuat untuk menopang sarang orangutan sehingga untuk meletakkan sarang yang paling aman berada dipucuk pohon, Pujiyani (2008), menjelaskan bahwa kelebihan dari sarang yang berada di puncak pohon (posisi 3) adalah pandangan dari posisi tersebut lebih leluasa sehingga memudahkan orangutan untuk memperhatikan daerah sekitarnya. Namun juga terdapat kelemahan pada posisi ini sarang orangutan yang berada di puncak pohon akan lebih mudah terkena terpaan angin dan hujan.

Pembagian posisi sarang orangutan pada setiap transeknya juga bervariasi, dimana antara satu transek dengan transek yang lain memiliki perbedaan jumlah posisi. Pada setiap transek posisi yang paling banyak ditemukan adalah posisi 3, kecuali pada transek VI posisi yang paling banyak ditemukan adalah posisi 2, sementara itu posisi sarang di antara dua pohon (posisi 4) merupakan posisi yang paling sedikit ditemukan pada setiap transeknya.

(36)

Posisi sarang pada batang utama (Posisi 1) lebih banyak ditemukan pada transek III dan IV, pada kedua transek ini banyak ditemukan tumbuhan dalam kategori besar, dengan percabangan yang sudah kuat untuk menopang sarang orangutan sehingga banyak ditemukan sarang orangutan pada posisi di batang utama (posisi 1) dan di percabangan pohon (posisi 2), Transek III berada di tengah hutan sekunder dan transek IV berada di perbatasan antara hutan sekunder dengan hutan primer (sekunder tua), akan tetapi pada kedua transek ini posisi sarang pada pucuk pohon (posisi 3) merupakan posisi sarang yang paling banyak ditemukan dibandingkan dengan posisi sarang yang lainnya.

Posisi sarang diantara dua pohon (posisi 4) tidak ditemukan pada transek VI, Posisi ini memerlukan dua pohon bagi orangutan untuk membangun sarang, kondisi vegetasi pada transek ini tergolong rapat jika dibandingkan dengan transek lain, akan tetapi medan yang berbukit dengan kemiringan yang tinggi menyebabkan orangutan akan kesulitan untuk membangun sarang menggunakan dua pohon (posisi 4) sehingga pada transek ini tidak ditemukan sama sekali sarang pada posisi tersebut.

Kawasan hutan sekunder merupakan kawasan yang kurang ideal bagi orangutan untuk beraktifitas karena berdasarkan teori persediaan makanan lebih sedikit dibandingkan dengan hutan primer, selain itu kondisi kanopi yang jarang akan menyulitkan orangutan dalam pembuatan dan penentuan posisi sarang yang akan dibuat. Penentuan pembuatan sarang pada orangutan sangat penting. Menurut Rijksen (1978), orangutan akan membuat sarang dengan menyesuaikan kondisi lingkungan, sarang dibangun di posisi dan lokasi yang menguntungkan baik dari segi keamanan maupun kenyamanan.

4.1.3. Ketinggian Sarang

(37)

Sedangkan jumlah sarang yang paling sedikit ditemukan pada ketinggian 21-25 m (1,92%). seperti pada Tabel 4.3 dan Lampiran C.

Tabel 4.3 Ketinggian Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di KawasanHutan Sekunder Resort Sei Betung TNGL

No Ketinggian

Berdasarkan hasil pengamatan sarang di hutan sekunder Resort Sei Betung TNGL menunjukkan bahwa ketinggian sarang orangutan cenderung terlihat bervariasi, mulai dari ketinggian 3 m sampai 25 m dari permukaan tanah, namun orangutan lebih cenderung membangun sarang pada ketinggian 6-10 m diatas permukaan tanah, hal ini terbukti dengan ditemukan lebih dari separuh (51,92% sarang) pada ketinggian tersebut, sementara itu pada ketinggian 21-25 m hanya 1,92% sarang yang ditemukan. Kecenderungan orangutan membangun sarang pada ketinggian 6-10 m dari permukaan tanah disebabkan oleh kondisi tumbuhan yang cenderung rendah di hutan sekunder ini. Ketinggian 6-10 merupakan ketinggian yang ideal bagi orangutan untuk membuat sarang di hutan sekunder Resort Sei Betung TNGL hal ini melihat kondisi tumbuhan yang berada di kawasan ini di dominasi oleh ketinggian kurang dari 15 m dari permukaan tanah.

Pohon yang tingginya lebih dari 20 meter, kurang disukai orangutan untuk membuat sarang karena kondisinya yang tidak terlindung dari terpaan angin. Kondisi tumbuhan di hutan sekunder Resort Sei betung TNGL hanya sedikit yang ditemukan mencapai ketinggian 20 m. Kondisi tumbuhan yang tergolong tinggi ditemukan pada hutan sekunder tua, namun sarang yang didapatkan tidak banyak berada pada ketinggian 20 m lebih, hanya beberapa sarang saja yang ditemukan pada ketinggian 20 m dan 22 m dari permukaan tanah pada lokasi ini.

(38)

setiap tumbuhannya. Tumbuhan yang terdapat di hutan sekunder masih tergolong muda jika dibandingkan dengan tumbuhan hutan primer. Di hutan sekunder Sesort Sei Betung ini rata-rata keliling pohon tempat bersarang orangutan berkisar antara 15-131 cm.

Ketinggian tumbuhan berbeda pada setiap transeknya, pada transek I ketinggian tumbuhan tergolong rendah karena pada umumnya kondisi tumbuhan di transek ini tergolong muda, pada transek ini rata-rata ketinggian tumbuhan berkisar antara 4-12 m dari permukaan tanah, pada umumya didominasi dari family Euphorbiaceae. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan transek II karena transek II bersebalahan dengan transek I dengan jarak 200 m antar transek. Namun pada transek II ditemukan beberapa tumbuhan dengan ketinggian lebih dari 15 m dari permukaan tanah tetapi hanya beberapa saja. Pada transek II juga ditemukan sarang pada ketinggian 16-20 m dari permukaan tanah namun hanya satu sarang saja, pada umumnya sarang sarang ditemukan pada ketinggian 6-10 m dari permukaan tanah.

Ketinggian tumbuhan yang tergolong tinggi terdapat pada transek III dan transek IV, rata-rata ketinggian tumbuhan pada transek ini berkisar antara 6-28 m dari permukaan tanah karena kedau transek ini berada di tengah hutan sekunder dan sebahagian dari transek IV berada di perbatasan hutan sekunder dengan hutan primer (sekunder tua), namun terdapat beberapa sarang ditemukan pada ketinggian 0-5 m dari permukaan tanah, sarang yang didapatkan pada ketinggian ini ditemukan pada anakan pohon dengan posisi sarang berada di pucuk pohon. Sementara itu pada transek VI dan VII merupakan transek yang berada pada kondisi kontur medan yang berbukit-bukit dengan didominasi oleh tumbuhan paku-pakuan di permukaan lantai hutan, ketinggian tumbuhan pada transek ini berkisar antara 5-15 m dari permukaan tanah dan didominasi dari family Euphorbiaceae dan Fabaceae.

(39)

(2008) di kawasan hutan Batang Toru, rata-rata ketinggian sarang Orangutan yang ditemukan adalah 17,4 meter.

Berdasarkan hasil yang teramati di lapangan, sarang terletak lebih rendah dibandingkan ketinggian pohon secara keseluruhan. Meskipun sarang berada pada ujung batang pohon, tetapi selalu ada percabangan pohon yang menjulang ke atas sehingga pada akhirnya ketinggian pohon selalu melebihi ketinggian sarang. Hasil ini mempunyai kesamaan dengan hasil penelitian Muin (2007) bahwa rata-rata tinggi sarang orangutan di Taman Nasional Tanjung Puting adalah 2,5-3,6 meter dari puncak tajuk.

Orangutan akan memilih pohon tempat bersarang yang aman dan terhindar dari predator yang berada dipermukaan tanah. Rijksen (1978) mengatakan ketinggian 7-15 meter dari permukaan tanah sangat ideal bagi orangutan untuk menghadapi kemungkinan buruk, keadaan ini lebih disukai letaknya dan sering berada di dalam rimbunan daun pohon tempat orangutan bersarang yang dapat melindunginya dari predator dan cuaca buruk.

Predator orangutan dapat berupa macan dahan (Neofelis sp.) dan harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) bagi orangutan Sumatera, dimana dapat memanjat dan menjangkau ketinggian pohon tertentu sehingga dapat memangsa orangutan. Sarang-sarang yang dibuat pada ketinggian tertentu dapat menghindari orangutan dari ancaman hewan lainnya. Semakin tinggi sarang yang dibuat orangutan, semakin sulit bagi predator untuk menjangkaunya (Mc Kinnon, 1974).

Orangutan dalam menentukan ketinggian sarang juga menyesuaikan dengan struktur hutan yang di mana orangutan tersebut berada. Orangutan yang rentan bahaya akan membangun sarang lebih tinggi sesuai dengan struktur hutan. Jadi, ketinggian pohon dalam suatu hutan juga mempengaruhi pemilihan pohon untuk dijadikan sebagai material sarang oleh orangutan (Rijsken, 1978).

4.2. Pemilihan Pohon Sarang

(40)

Tabel 4.4 Dominasi Jenis Pohon Tempat Bersarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Kawasan Hutan Sekunder Resort Sei Betung TNGL

1 Annonaceae Polyalthia sumatrana Kopi-Kopi 3,03 8-23

2 Dipterocarpaceae Dipterocarpus sp. Keruwing 1,01 4-7

Shorea sp. Meranti Buaya 2,02 12-15

Vatica sp. Meranti 1,01 5-6

3 Euphorbiaceae Endospermum diadenum Tapak Gaja 9,09 6-24

Macaranga hypoleuca Marak tiga jari 7,07 8-22

Macaranga indica Marak Biasa 5,05 8-10

Macaranga lowii Marak Batu 9,09 8-12

7 Malvaceae Hibiscus macrophylus Sempuyung 1,01 9-13

8 Meliaceae Aglaia sp. Setur 3,03 13-16

9 Moraceae Arthocarpus dada Cempedak

hutan 2,02 8-13

Ficus auriculata Beringin

Hutan 1,01 8-12

Sloetia elongata Trempini 4,04 9-19

10 Myrtaceae Schima walichi Puspa 2,02 15-19

Syzigium sp1. Jambu bol 2,02 7-12

Syzigium sp2. Pucuk Merah 5,05 6-15

11 Phylanthaceae Phylanthus sp.

Cerme/Turi-Turi 7,07 9-17

Bridelia glhocidion Kincit-Kincit 1,01 13-18

12 Rubiaceae Antrocepalus sp. Seribu Naik 2,02 10-15

13 Sapindaceae Pometia pinnata Pakam 8,08 6- 10

14 Tiliaceae Commersenia batramina Endillo 3,03 9-14

15 Verbanaceae Calicarpa petandra Tempe-Tempe 1,01 9-12

Jumlah 99,99

(41)

menyebabkan orangutan tidak banyak membuat sarang pada jenis-jenis pohon tersebut.

Dari jenis tumbuhan yang diketahui sebagai tempat bersarang orangutan jenis Macaranga indica, Callerya atropurpurea, Phylanthus sp., Pometia pinnata, Lithocarpus sp., Litsea sp., Polyalthia sumaterana, Anthrocepalus sp. dan Macaranga lowii merupakan jenis pohon sarang yang digunakan orangutan membuat sarang baru (kelas A) pada saat penelitian.

Berdasarkan Gusnanda (2013), tumbuhan di hutan sekunder didominasi dari famili Euphorbiaceae, jenis-jenis dari famili Euphorbiaceae tersebut diantaranya Macaranga sp., Endospermum sp. Baccaurea sp. jenis ini cukup banyak tersebar dihutan sekunder pada setiap habitatnya, hal ini karena hutan sekunder ini hasil restorasi yang mana didominasi penanamannya dari famili Euphorbiaceae sebagai pohon pelindung. Selain itu famili Fabaceae, Rubiaceae dan Lauraceae juga banyak ditemukan di hutan sekunder ini. Jenis Callerya atropurpurea dari famili Fabaceae merupakan jenis yang banyak ditemukan jumlahnya.

Tinggi pohon sarang orangutan di hutan sekunder bervariasi dari 4-24 m dari permukaan tanah, namun ketinggian pohon yang berada diatas 20 m hanya sedikit saja didapatkan, ketinggian ini ditemukan pada jenis Endospermum diadenum dan Macaranga hypoleuca pada umumnya ketinggian pohon sarang rata-rata berkisar antara 6-15 m dari permukaan tanah, Keliling pohon sarang orangutan di hutan sekunder Resort Sei betung TNGL berkisar antara 15-131 cm, namun keliling pohon sarang yang diatas 100 cm sangat sedikit didapatkan dan pada umumnya ditemukan di perbatasan hutan sekunder dan hutan primer. Keliling pohon sarang yang paling banyak ditemukan berkisar antara 30-80 cm. Berdasarkan ukuran keliling pohon dan tinggi pohon sarang tersebut dapat diketahui bahwa tumbuhan yang berada di kawasan ini yang digunakan untuk bersarang oleh orangutan masih tergolong muda.

(42)

pada suatu tumbuhan tertentu akan tetapi hanya ditemukan dalam jumlah yang sedikit. Jenis-jenis vegetasi dengan nilai dominansi terbesar di hutan sekunder Resort Sei Betung TNGL berada pada wilayah yang memiliki kontur medan yang relatif datar, pada beberapa kondisi yang memiliki tingkat kemiringan yang tinggi tidak ditemukan vegetasi dengan ukuran yang besar. Pada umumnya tumbuhan yang berada pada lokasi ini masih tergolong kecil dan muda.

Van Schaik et al.,(1994), menyatakan bahwa orangutan dalam membuat sarang, terutama orangutan semi liar dan liar kurang menyukai daerah yang terjal dan terbuka dan kurangnya didapatkan pohon pakan yang tinggi dan kuat, seperti dari family Euphorbiaceae, lauraceae dan di pterocarpaceae menimbulkan ketidak nyamanan orangutan untuk beristirahat.

Menurut Rijksen (1978), Orangutan membangun sarang selalu dekat dengan pohon yang buahnya sedang berbuah dan matang. Beberapa jenis pohon yang diketahui menjadi sumber pakan bagi orangutan hutan sekunder Resoert Sei Betung TNGL antara lain Arthocarpus dada, Callerya atropurpurea, Macaranga sp. Pometia pinnata, Ficus sp.. Callerya atropurpurea namun hanya beberapa saja yang ditemukan berbuah. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan orangutan lebih cenderung membuat sarang didekat pohon pakan berupa Callerya atropurpurea dan Arthocarpus dada..

Prasetyo (2006), menjelaskan bahwa terdapat indikasi pemilihan jenis pohon sarang tertentu yang dilakukan oleh orangutan, pemilihan jenis pohon sarang bertujuan untuk mendapatkan kenyamanan di saat tidur dan penghematan energi pada saat proses membuat sarang. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pemilihan genus pohon sarang orangutan juga dipengaruhi oleh ketersediaan jenis pohon di kawasan penelitian meskipun pada akhirnya diketahui bahwa pemilihan tersebut cenderung tidak berkaitan dengan genus pohon yang paling dominan.

(43)

Tabel 4.5 Dominasi Famili Pohon Tempat Bersarang Orangutan Sumatera

(Pongo abelii) di Kawasan Hutan Sekunder Resort Sei Betung

TNGL

Seringnya penggunaan famili Euphorbiaceae sebagai material sarang diduga karena jenis pohon ini mempunyai ranting yang lentur dan daun yang lebar. Sebagaimana Van Schaik (2006), menyebutkan bahwa orangutan akan memilih jenis pohon tertentu yang baginya dirasa kuat dan nyaman, terutama dengan daun lebar dan tidak terlalu tinggi. Selain itu juga jumlah famili ini lebih mendominasi ditemukan disaat pengamatan jika dibandingkan dengan famili yang lainnya.

(44)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

a. Orangutan ditemukan beraktivitas dan bersarang dihutan sekunder Resort Sei Betung TNGL, berdasarkan jumlah sarang yang didapatkan sebanyak 104 sarang, orangutan menyukai hutan sekunder Resor Sei Betung sebagai tempat beraktivitas dan bersarang, dimana ditemukan 5 kelas sarang orangutan. Kelas sarang yang paling banyak adalah kelas D (24%), kemudian diikuti oleh sarang kelas E (22%), dan kelas B (22%) selanjutnya sarang kelas C (20%), sementara itu sarang yang paling sedikit ditemukan adalah kelas A (12%). b. Orangutan lebih menyukai membuat sarang pada pucuk pohon atau posisi3

(46%), selanjutnya posisi 2 (26% ), posisi 1 (20%), dan posisi yang paling sedikit digunakan orangutan untuk membuat sarang adalah posisi 4 (8% ). c. Orangutan lebih cenderung membangun sarang di hutan sekunder pada

ketinggian rendah, disebabkan tumbuhan yang pada umumnya masih kecil, dimana ketinggian sarang orangutan mulai dari 3 m sampai 25 m dari permukaan tanah, ketinggian sarang yang paling banyak berturut-turut adalah pada ketinggian 6-10 m (54% sarang), 11-15m (28%), 16-20m (9%), 0-5m (8%) dan terakhir 21-25m (2%).

d. Pohon sarang orangutan didapatkan sebanyak 15 famili dan 27 spesies, famili tersebut yaitu Annonaceae, Dipterocarpaceae, Euphorbiaceae, Fabaceae, Fagaceae, Lauraceae, Malvaceae, Meliaceae, Moraceae, Myrtaceae, Phylanthaceae, Rubiaceae, Sapindaceae, Tiliaceae dan Verbanaceae.

(45)

5.1. Saran

a. Diharapkan untuk penelitian selanjutnya tentang karakteristik sarang orangutan Sumatera perlu penambahan parameter karakteristik sarang seperti diameter sarang, komposisi vegetasi penyusun sarang, kedalaman sarang dan struktur pembuatan sarang.

b. Diharapkan untuk penelitian selanjuntya diperlukan penelitian tentang hubungan antara pemilihan pohon sarang orangutan terhadap suatu spesies tertentu dan keterkaitan antara pohon sarang dengan pohon pakan orangutan yang berada disekitar sarang sehingga dapat diketahui faktor yang mempengaruhi keberadaan orangutan disuatu lokasi tertentu.

(46)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Orangutan

Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera (Pongo abelii) dan dari Kalimantan (Pongo pygmaeus) (Van Bammel 1968; Jones 1969). Kedua anak jenis ini terisolasi secara geografis paling sedikit sejak 10.000 tahun yang lalu ketika permukaan laut antara pulau Sumatera dan pulau Kalimantan naik (Meijaard, 2001).

Menurut Groves (2001), orangutan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Orangutan secara morfologi tidak berekor dan mempunyai telinga serta hidung yang kecil. Rambutnya panjang, lembut dan berwarna kepirangan. Rambut keningnya tidak mudah terlihat ketika tulang mulut dan dagunya menonjol keluar. Kepalanya berbentuk bujur dan matanya kecil. Serta memiliki lengan yang panjang dan kuat dengan jangkauan lengannya bisa mencapai mata kaki ketika hewan ini berdiri. Tubuhnya memiliki tinggi sekitar 1,25-1,50 meter dan tingginya ketika duduk adalah sekitar 0,70-0,90 meter. Berat dewasa untuk betina adalah 30-50 kg sedangkan untuk jantan adalah 50-90 kg rambut tipis dan tidak beraturan (Rijksen, 1978).

(47)

kalimantan memiliki rambut pipih dengan pigmen hitam yang tebal di tengah (Napier, 1967). Orangutan Sumatera (Pongo abelii) memiliki ciri fisik badan yang besar, berwarna gelap atau coklat kemerah-merahan, rambut jarang dan pendek, dan pada bayi terlihat ada bercak-bercak berwarna kemerahan. Sedangkan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) ciri fisik badannya terlihat lebih kecil, berwarna terang atau orange, dan tulang-tulang lebih panjang (Gambar 2.1). Secara umum orangutan jantan dewasa mengembang pada kedua pipinya (Galdikas, 1978).

a b

Gambar 2.1 a. Orangutan Sumatera (Pongoabelii) b. Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus).

Supriatna & Edy (2000), menambahkan jika dibandingkan dengan orangutan di Kalimantan, rambut orangutan Sumatera lebih terang yaitu berwarna coklat kekuningan serta lebih tebal dan panjang. Ukuran tubuh rata-rata orangutan jantan dewasa yaitu berkisar antara 125-150 cm, dua kali lebih besar daripada orangutan betina. Berat badan rata-rata orangutan jantan di alam yaitu berkisar antara 50-90 kg. Orangutan jantan memiliki kantung suara untuk mengeluarkan suara yang berupa seruan panjang.

Rijksen (1978), menyatakan bahwa perbedaan morfologi Orangutan berdasarkan kelas umur dan jenis kalamin adalah sebagai berikut :

(48)

umur anak, orangutan sudah mampu mancari makan sendiri walaupun masih bergantung pada induknya.

c. Remaja berumur 5-8 tahun dengan berat badan 15-30 kg memiliki rambut yang panjang disekitar muka.

d. Jantan setengah dewasa berumur 8-13/15 tahun dengan barat badan 30- 50 kg memiliki rambut berwarna lebih gelap dan rambut janggut sudah mulai tumbuh serta rambut di sekitar wajah sudah lebih pendek.

e. Betina dewasa 8+ tahun dengan berat badan 30-50 kg sudah memiliki janggut dan sangat sulit dibedakan dengan betina setengah dewasa.

f. Jantan dewasa berumur 13/15+ tahun dengan berat badan 50-90 kg. Jantan dewasa memiliki kantung suara, bantalan pipi dan berjanggut serta berambut panjang.

2.3. Ekologi Orangutan

Habitat orangutan adalah daerah pegunungan, rawa-rawa dataran rendah, dan delta aliran sungai yang banyak ditumbuhi pohon-pohon besar dan daerah inti hutan yang banyak ditumbuhi Liana sp. Juga menjadi tempat tinggal orangutan karena orangutan biasa membuat sarang di pohon besar yang dirambati Liana sp. (Galdikas 1984).

` Orangutan dapat hidup pada berbagai tipe hutan, mulai dari hutan Dipterokarpus perbukitan dan dataran rendah, daerah aliran sungai, hutan rawa air tawar, rawa gambut, tanah kering di atas rawa bakau dan nipah, sampai ke hutan pegunungan. Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) dapat ditemukan pada ketinggian 500 m dpl, sedangkan kerabatnya di Sumatera dilaporkan dapat mencapai hutan pegunungan pada 1.000 m dpl (Hoeve, 1996).

Galdikas (1986), menjelaskan bahwa saat ini habitat orangutan dapat dikategorikan sebagai habitat in-situ (hutan alam) dan habitat eks-situ (hutan binaan atau rehabilitasi reintroduksi dan kebun binatang). Apabila dikaitkan dengan usaha-usaha konservasi, maka kegiatan yang dilakukan di habitat tersebut dapat dikelompokkan menjadi kegiatan rehabilitasi.

(49)

persaingan, dan anggota yang posisinya lebih rendah harus mencari sumber-sumber makanan ditempat lain atau menerima sumber-sumber makanan alternatif. Jika tidak, mereka akan mati. Jadi, jika kebutuhan dasar lainnya (air, makanan, tempat beristirahat, dan lainnya) cukup tersedia, maka aktivitas hidupnya akan berlangsung dengan baik, dengan kata lain daya dukung untuk kehidupan ditentukan oleh ketersediaan kebutuhan (Meijaard, 2001).

Kehidupan soliter pada orangutan adalah sesuatu yang khas dan berbeda dari jenis kera besar lainnya dari suku Pongidae (Napier, 1976). Walaupun demikian menurut Schurmann (1982), orangutan bukan berarti tidak melakukan interaksi dengan individu yang lain, terutama hubungan yang terjadi antara anak dan induk yang terlibat dalam berbagai kebersamaan dengan jenis-jenis satuan lain secara luas. Selain itu, melimpahnya sumber pangan, juga membuat orangutan Sumatera lebih sosial (Van Schaik, 2006).

2.4. Prilaku Bersarang Orangutan

Membuat sarang merupakan salah satu perilaku harian orangutan. Sarang yang dimaksud adalah tempat peristirahatan orangutan setelah melakukan aktifitas hariannya (Willyanti, 2005). Tidak seperti pada monyet dan siamang, kera-kera besar tidak memiliki potongan-potongan belulang di bokongnya untuk memudahkan mereka duduk. Dalam hal seperti itu, berbaring di atas tempat tidur pasti akan terasa jauh lebih menyenangkan. Aktifitas harian adalah seluruh aktivitas orangutan yang berlangsung sejak meninggalkan sarang tidur pada pagi hari dan berakhir hingga masuk kembali kedalam sarang untuk bermalam (Van Schaik, 2006).

(50)

Semua kera besar termasuk orangutan membangun sarang yang bisa dipergunakan baik untuk beristirahat pada siang maupun tidur pada malam hari (Van Schaik et al, 1994). Sarang bagi orangutan juga dapat berfungsi sebagai tempat bermain bagi orangutan muda, tempat berlindung, melahirkan, melakukan kopulasi, dan aktivitas makan (Rijksen, 1978).

Setelah seharian melakukan aktifitasnya baik menjelajah dan mencari makan serta aktifitas sosial lainnya, maka pada sore harinya akan membuat sarang untuk tidurnya. Menurut Umri (2012), orangutan umumnya akan membuat sarang pada percabangan pohon yang besar dan dalam aktifitas membuat sarangnya orangutan mempunyai teknik membangun sarangnya tersendiri. Ketika orangutan menemukan tempat yang nyaman untuk bersarang di pohon, maka orangutan bergerak menuju batang-batang pohon kecil di sekitarnya lalu orangutan memegang dahan dengan cara memilin, melengkungkan dan melipat dahan sampai rapat, lalu dilanjutkan dengan menambah dahan-dahan kecil dan daun untuk kenyamanan (Margianto, 1998).

Putri (2009), menambahkan bahwa orangutan seringkali membuat sarang baru di lokasi yang berbeda atau dengan memperbaiki sebuah sarang lama. Sarang yang lama akan diperbaiki untuk ditempati lagi, namun orangutan tidak selalu memperbaiki sarang lama setiap harinya, orangutan lebih cenderung membuat sarang baru untuk tempat berlindung dan beristirahat yang disesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Apabila terdapat makanan yang cukup maka orangutan akan membuat sarang dilokasi tersebut. Sarang-sarang tersebut dapat digunakan selama dua malam atau lebih, sedangkan ketahanan sarang orangutan dapat bervariasi dari dua minggu sampai lebih dari satu tahun Rijksen (1978).

2.5. Karakteristik Sarang Orangutan 2.5.1. Kelas Sarang

UNESCO-PanEco dalam YEL (2009), menjelaskan bahwa kelas sarang dan kelas kerusakan/kehancuran sarang dapat ditentukan atas empat kelas untuk memprediksi kondisi tersebut dengan ciri-ciri sebagai berikut:

(51)

Gambar 2.2 Contoh Sarang Kelas A

Sumber: Orangutan Information Center (OIC)

b. Kelas B, daun sudah mulai tidak segar, semua daun masih ada, bentuk sarang masih utuh, warna daun sudah mulai coklat terutama di permukaan sarang, belum ada lubang yang terlihat dari bawah, seperti pada Gambar 2.3 berikut:

Gambar 2.3 Contoh Sarang Kelas B

Sumber: Orangutan Information Center (OIC)

(52)

Gambar 2.4 Contoh Sarang Kelas C

Sumber: Orangutan Information Center (OIC)

d. Kelas D, sarang sudah mulai hancur dengan mulai bolong dibagian tengah seperti Gambar 2.5 berikut:

Gambar 2.5 Contoh Sarang Kelas D

Sumber: Orangutan Information Center (OIC)

(53)

Gambar 2.6 Contoh Sarang Kelas E

Sumber: Orangutan Information Center (OIC)

Kelas sarang bergantung pada jenis pohon, temperatur, dan kelembaban udara, termasuk sarang yang dibuat untuk istirahat disiang hari atau untuk bermalam. Pembuatan sarang untuk siang hari tidak intensif, sehingga kualitas sarang tidak sebaik sarang untuk malam hari. (Van Schaik et al,. 1995).

2.5.2. Posisi Sarang

Orangutan akan membangun sarang pada posisi yang sesuai pada suatu pohon. Orangutan menggunakan batang-batang pohon kecil sekitarnya, memilin, melengkungkan atau melipatnya ke bagian cabang yang lentur. Kemudian merapatkan sarang dengan mendorong dahan-dahan tersebut kebawah untuk membentuk suatu bidang datar. Pembuatan sebuah sarang biasanya membutuhkan waktu 2-3 menit, namun dilanjutkan dengan perbaikan-perbaikan ringan (Mac Kinnon, 1994). Selanjutnya Rijksen (1978), menyatakan bahwa konstruksi sebuah sarang orangutan dapat bervariasi dari suatu bidang datar kecil yang sederhana sampai sebuah sarang yang besar dan kokoh, yang bahkan mampu untuk menahan seorang manusia dewasa dan sangan nyaman.

(54)

bagian cabang yang lentur dengan tangannya. Tangan juga dipergunakannya untuk mendorong dahan-dahan tersebut ke bawah supaya rapat untuk membentuk suatu bidang datar. Pembuatan sebuah sarang biasanya membutuhkan waktu 2-3 menit, namun dapat dilanjutkan dengan perbaikan-perbaikan ringan (MacKinnon, 1974).

Sarang merupakan sesuatu yang sengaja atau tidak disengaja dibangun untuk digunakan sebagai tempat berkembang biak dan atau sebagai tempat istirahat atau tidur. Pada setiap sarang memiliki letak yang berbeda untuk setiap individu sesuai kebutuhan dan keadaan lingkungannya tempat bersarang (Alikodra, 1990).

Gambar 2.7 Posisi sarang orangutan: 1) posisi 1, 2) posisi 2, 3) posisi 3, 4) posisi 4.

(55)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman jenis primata yang tinggi, salah satu diantaranya adalah orangutan Sumatera (Pongo abelii). Orangutan merupakan salah satu primata yang sekarang paling terancam di dunia. International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan status orangutan sebagai endangered species atau spesies dalam keadaan genting. Pada tahun 1993, diperkirakan jumlah orangutan Indonesia dan Malaysia telah menurun 30-50 % dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sementara habitatnya telah menyusut sebanyak 80% dalam kurun waktu 20 tahun terakhir (Primack et al., 1998).

Orangutan biasanya hidup di hutan hujan tropis dalam batas-batas alam yang tidak dapat dilampaui seperti sungai atau gunung yang tingginya lebih dari 2000 m, orangutan hidup di dataran rendah dan juga di dataran tinggi hutan Indonesia (Hidayah, 2007). Penyebaran orangutan di Indonesia saat ini paling banyak berada di Sumatera, sedangkan tempat tinggal terbesar dan tidak terganggu adalah Kalimantan Timur.

Orangutan sumatera (Pongo abelii) dapat ditemukan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang merupakan salah satu habitat terbesar orangutan di pulau Sumatera. Berdasarkan data Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL, 2010), Taman Nasional Gunung Leuser ini adalah kawasan pelestarian alam di Indonesia dengan luas 1.094.692 Ha, Taman Nasional ini meliputi ekosistem asli dari pantai sampai pegunungan oleh hutan lebat tinggi yang diliputi oleh hutan lebat khas hujan tropis.

(56)

batas suaka ini kemungkinan berkisar 2.000 ekor. Namun sejak akhir 1970-an banyak kawasan dataran rendah ini mengalami degradasi, perambahan dan konversi hutan yang parah sehingga habitat orangutan terganggu sehingga berpindah tempat.

Salah satu habitat orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang terdapat di TNGL yaitu kawasan hutan sekunder Resort Sei Betung. Berdasarkan data Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL, 2010) kawasan restorasi, Resort Sei Betung, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan areal bekas perkebunan sawit PT. Putri Hijau dan PT. Rapala yang terletak di pinggiran TNGL dengan memiliki luas 9.734 Ha. Resort Sei Betung memiliki dua jenis hutan yaitu hutan primer dan hutan sekunder. Hutan sekunder hasil restorasi yang terdapat di Resort Sei Betung ini seluas 500 Ha, walaupun masih tergolong kedalam hutan baru atau sekunder, orangutan sudah menepati kawasan tersebut untuk bersarang dan beraktivitas. Hal tersebut terbukti karena ditemukan sarang orangutan dalam jumlah yang banyak disekitar kawasan hutan ini, namun demikian jarang dijumpai individu orangutan secara langsung, karena kawasan tersebut berbatasan langsung dengan hutan primer dan sulit untuk menemukan individu orangutan yang selalu berpindah-pindah untuk mencari makan dan bersarang.

Wardaningsih (1992), menyatakan bahwa orangutan sering berpindah-pindah dari suatu tempat ketempat lain, maka tiap harinya orangutan membuat sarang-sarang baru. Dalam membuat sarang, orangutan memilih pohon yang sesuai dengan seleranya. Kebanyakan disesuaikan dengan strategi dan pohon makanan terakhir yang dikunjunginya. Menurut Walkers (1983), sarang dibuat dari ranting dan daun yang masih segar, biasanya pada ketinggian 15 meter sampai 20 meter dari permukaan tanah.

(57)

Sarang orangutan lebih mudah dijumpai dibanding hewannya sendiri dan dapat terlihat dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga dapat dilakukan pengamatan dalam jangka waktu tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian dengan judul “Karakteristik Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Di kawasan Hutan Sekunder Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung Leuser”.

1.2. Permasalahan

Orangutan Sumatera (Pongo abelii) ditemukan hidup di hutan sekunder kawasan Resort Sei Betung, Taman Nasional Gunung Leuser. Hutan ini merupakan hutan yang masih baru ditempati oleh orangutan Sumatera sebagai tempat bersarang dan beraktifitas, namun demikian sampai saat ini belum diketahui bagaimanakah karakteristik sarang orangutan di lokasi tersebut.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik sarang orangutan Sumatera (Pongo abelii) berdasarkan kelas sarang, posisi sarang, ketinggian sarang dan dominasi pohon tempat bersarang di kawasan hutan sekunder, Resort Sei Betung, Taman Nasional Gunung Leuser.

1.4. Manfaat Penelitian

(58)

KARAKTERISTIK SARANG ORANGUTAN SUMATERA (Pong abelii) DI KAWASAN HUTAN SEKUNDER RESORT SEI BETUNG

TAMAN NASONAL GUNUNG LEUSER

ABSTRAK

Orangutan merupakan satwa yang terancam punah keberadaanya di dunia. Salah satu habitat orangutan Sumatera di TNGL adalah hutan sekunder Resort Sei Betung. Orangutan ditemukan beraktivitas dan bersarang di hutan tersebut. Penelitian mengenai “Karakteristik Sarang Orangutan Sumatera (Pong abelii) Di Kawasan Hutan Sekunder Resort Sei Betung Taman Nasonal Gunung Leuser” telah dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2014. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik sarang orangutan Sumatera berdasarkan kelas sarang, posisi sarang, ketinggian sarang dan pohon tempat bersarang. Penelitian ini menggunakan metode Line Transect secara Random Sampling. Dari hasil penelitian didapatkan Persentase kelas sarang paling tinggi berturut-turut adalah kelas D (24%), kelas E (22%), kelas B (22%), kelas C (20%) dan kelas A (12%). Persentase posisi sarang terbanyak berurut-turut adalah posisi 3 (46%), posisi 2 (26%), posisi 1 (20%) dan posisi 4 (8%). Ketinggian sarang mulai dari 3-25m, ketinggian terbanyak berturut-turut adalah ketinggian 6-10m (54%), 11-15m (28%), 16-20m (9%), 0-5m (8%) dan 21-25% (2%). Karakteristik berdasarkan jenis pohon tempat bersarang ditemukan sebanyak 15 family dan 27 spesies yang didominasi oleh faimily Euphorbiaceae (31%) dan Lauraceae (11%) dan spesies yang paling mendominasi adalah Endospermum diadenum dan Macaranga lowii

(59)

CHARACTERISTIC OF NEST SUMATERAN ORANGUTAN (Pongo abelii) IN SECONDARY FOREST IN SEI BETUNG RESORT OF

GUNUNG LEUSER NATIONAL PARK

ABSTRACT

Sumatran orangutans are critically endangered species and one of their most viable habitat is Gunung Leuser National Park (GLNP) in northern Sumatra. Within the GLNP, secondary forest in Sei Betung resort is also considered as an important habitat for Sumatran orangutan and other species. In this secondary forest, orangutans were found roaming and nesting. The research entitled “Characteristic Of Nest Sumateran Orangutan (Pongo abelii) in Secondary Forest in Sei Betung Resort of Gunung Leuser National Park” was conducted from July to August 2014. The purpose of this research is to identify the characteristic of nest made by Sumatran orangutan based on nest class, nest position, nest altitude and nest tree. The result of the research shows that the nest classes is dominated by class D (24%) followed by class E (22%), class B (22%), class C (20%) and class A (12%). Percentage of the nest position is dominated by position 3 (46%) followed by position 2 (26%), position 1 (20%) and position 4 (8%). The altitude of nests ranges from 0-25m, with 54% is located at altitude of 6-10m , 28% is at 11-15 m, 9% is between 16-20m, 8% is 0-5m, and only 2 % is at 21-25 m. Characteristics based on the type of nesting tree found on 15 tree family and 27 tree species of which dominated by Euphorbiaceae (31%) and Lauraceae (11%). The most dominated species for nest making is Endospermum diadenum and Macaranga lowii.

(60)

KARAKTERISTIK SARANG ORANGUTAN SUMATERA

(

Pongo abelii

) DI KAWASAN HUTAN SEKUNDER RESORT

SEI BETUNG TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat

mencapai gelar Sarjana Sains

INGGIN TRIMENDES 100805074

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(61)

KARAKTERISTIK SARANG ORANGUTAN SUMATERA

(

Pongo abelii

) DI KAWASAN HUTAN SEKUNDER RESORT

SEI BETUNG TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat

mencapai gelar Sarjana Sains

INGGIN TRIMENDES 100805074

Disetuji Oleh:

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Panut Hadisiswoyo, SS, MA, M.Sc

NIP.19581018199031001 Drs. Arlen Hanel John, M.Si

DEPARTEMEN BIOLOGI

(62)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian ini yang berjudul “Karakteristik Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Kawasan Hutan Sekunder Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung Leuser”.

Pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Bapak Drs. Arlen Hanel Jhon, M.Si dan Bapak Panut Hadisiswoyo, S.S, M.Sc selaku dosen Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah banyak memberikan dorongan, bimbingan, arahan, waktu serta perhatian yang besar saat penulisan hasil penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan proposal penelitian ini, untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan hasil penelitian ini. Atas partisipasi dan dukungannya penulis ucapkan terimakasih.

Medan, Januari 2015

(63)

KARAKTERISTIK SARANG ORANGUTAN SUMATERA (Pong abelii) DI KAWASAN HUTAN SEKUNDER RESORT SEI BETUNG

TAMAN NASONAL GUNUNG LEUSER

ABSTRAK

Orangutan merupakan satwa yang terancam punah keberadaanya di dunia. Salah satu habitat orangutan Sumatera di TNGL adalah hutan sekunder Resort Sei Betung. Orangutan ditemukan beraktivitas dan bersarang di hutan tersebut. Penelitian mengenai “Karakteristik Sarang Orangutan Sumatera (Pong abelii) Di Kawasan Hutan Sekunder Resort Sei Betung Taman Nasonal Gunung Leuser” telah dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2014. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik sarang orangutan Sumatera berdasarkan kelas sarang, posisi sarang, ketinggian sarang dan pohon tempat bersarang. Penelitian ini menggunakan metode Line Transect secara Random Sampling. Dari hasil penelitian didapatkan Persentase kelas sarang paling tinggi berturut-turut adalah kelas D (24%), kelas E (22%), kelas B (22%), kelas C (20%) dan kelas A (12%). Persentase posisi sarang terbanyak berurut-turut adalah posisi 3 (46%), posisi 2 (26%), posisi 1 (20%) dan posisi 4 (8%). Ketinggian sarang mulai dari 3-25m, ketinggian terbanyak berturut-turut adalah ketinggian 6-10m (54%), 11-15m (28%), 16-20m (9%), 0-5m (8%) dan 21-25% (2%). Karakteristik berdasarkan jenis pohon tempat bersarang ditemukan sebanyak 15 family dan 27 spesies yang didominasi oleh faimily Euphorbiaceae (31%) dan Lauraceae (11%) dan spesies yang paling mendominasi adalah Endospermum diadenum dan Macaranga lowii

(64)

CHARACTERISTIC OF NEST SUMATERAN ORANGUTAN (Pongo abelii) IN SECONDARY FOREST IN SEI BETUNG RESORT OF

GUNUNG LEUSER NATIONAL PARK

ABSTRACT

Sumatran orangutans are critically endangered species and one of their most viable habitat is Gunung Leuser National Park (GLNP) in northern Sumatra. Within the GLNP, secondary forest in Sei Betung resort is also considered as an important habitat for Sumatran orangutan and other species. In this secondary forest, orangutans were found roaming and nesting. The research entitled “Characteristic Of Nest Sumateran Orangutan (Pongo abelii) in Secondary Forest in Sei Betung Resort of Gunung Leuser National Park” was conducted from July to August 2014. The purpose of this research is to identify the characteristic of nest made by Sumatran orangutan based on nest class, nest position, nest altitude and nest tree. The result of the research shows that the nest classes is dominated by class D (24%) followed by class E (22%), class B (22%), class C (20%) and class A (12%). Percentage of the nest position is dominated by position 3 (46%) followed by position 2 (26%), position 1 (20%) and position 4 (8%). The altitude of nests ranges from 0-25m, with 54% is located at altitude of 6-10m , 28% is at 11-15 m, 9% is between 16-20m, 8% is 0-5m, and only 2 % is at 21-25 m. Characteristics based on the type of nesting tree found on 15 tree family and 27 tree species of which dominated by Euphorbiaceae (31%) and Lauraceae (11%). The most dominated species for nest making is Endospermum diadenum and Macaranga lowii.

(65)
(66)

5.1 Kesimpulan 33

5.2 Saran 34

Daftar Pustaka 35

(67)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

Tabel 4.1 Kelas Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di

Kawasan Hutan Sekunder Resot Sei Betung TNGL 19 Tabel 4.2 Posisi Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di

Kawasan Hutan Sekunder Resot Sei Betung TNGL

23 Tabel 4.3 Ketinggian Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii)

di Kawasan Hutan Sekunder Resot Sei Betung TNGL 26 Tabel 4.4 Dominasi Jenis Pohon Tempat Bersarang Orangutan

Sumatera (Pongo abelii) di Kawasan Hutan Sekunder

Resort Sei Betung TNGL 29

Tabel 4.5 Dominasi Famili Pohon Tempat Bersarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Kawasan Hutan Sekunder

(68)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

Gambar 2.1 Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dan Orangtan

Kalminatan (Pongo pygmaeus) 5

Gambar 2.2 Contoh Sarang Kelas A 9

Gambar 2.3 Contoh Sarang Kelas B 9

Gambar 2.4 Contoh Sarang Kelas C 10

Gambar 2.5 Contoh Sarang Kelas D 10

Gambar 2.6 Contoh Sarang Kelas E 11

Gambar 2.7 Posisi Sarang Orangutan 12

Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian 13

(69)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lamp Judul Halaman

A Peta Lokasi Resort Sei Betung TNGL 39

B Peta Transek Penelitian 40

C Tabel Pengamatan 41

Gambar

Gambar 3.2 Skematik Transek Penelitian
Tabel 4.2 Posisi Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Kawasan
Tabel 4.3 Ketinggian Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di
Tabel 4.4   Dominasi Jenis Pohon Tempat Bersarang Orangutan Sumatera
+6

Referensi

Dokumen terkait

Bersumber dari wikipedia.com/Education in United States, dapat dilihat bahwa jenjang pendidikan di Amerika Serikat biasanya dimulai dari preschool, kindergarten, atau

Pada 20 inputan pertama itu langsung masuk ke hasil, dan dihasil akan di proses.

Selanjutnya mulai tahun 1920, PR bukan hanya digunakan untuk propaganda, kampanye dan penyuluhan saja, tapi karena perkembanagn masyarakat dan teknologi

[r]

(2) Satuan Kerja Perangkat Daerah yang membidangi kesehatan dan sosial sebagai Instansi teknis pembina pada kesehatan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d.. (3)

[r]

Windmill Water Flow Top benefited from the force of gravity to the ater entering the turbine blade, so that power is generated not only from the kinetic energy comes

Tabel Hasil Output Uji Multikolinearitas Setelah Mengeluarkan Variabel Pengeluaran