• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Cagar Alam Dolok Sibual Buali (Studi Kasus Desa Bulumario, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Cagar Alam Dolok Sibual Buali (Studi Kasus Desa Bulumario, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

a. Letak dan Luas

Ekosistem Cagar Alam (CA) Dolok Sibual Buali secara administrasi pemerintahan terletak di 3 (tiga) wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Sipirok, Kecamatan Padang Sidempuan Timur, dan Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan, Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan wilayah pengelolaan hutan termasuk dalam wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah II yang berkedudukan di Rantau Prapat, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara II (BBKSDA SUMUT, 2011).

Cagar Alam Dolok Sibual Buali secara geografis terletak pada koordinat 01°0’ - 01°37’ Lintang Utara dan 99°11’15” - 99°17’55” Bujur Timur. Cagar Alam Dolok Sibual Buali terletak pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Barumun. Berdasarkan letak pada ketinggian di atas permukaan laut (dpl) maka Cagar Alam Dolok Sibual Buali terletak pada ketinggian 750 s/d 1.819 m dpl. Setelah beralih fungsi menjadi Cagar Alam, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.215/Kpts/Um/14/1982 tanggal 8 April 1982, maka Cagar Alam Dolok Sibual Buali Register 3 memiliki luas 5.000 hektar (BBKSDA SUMUT, 2011).

b. Penataan Batas

Menurut BBKSDA SUMUT (2011), Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual Buali sebagian besar berbatasan dengan hutan rakyat dan kebun.

(2)

• Bagian Selatan berbatasan dengan wilayah Desa Sialaman, Sibio-bio, Aek Sabaon Julu, Sukarame, Sugitonga, dan Sugijulu.

• Bagian Timur berbatasan dengan wilayah Desa Sumuran, Hutaraja, Mandurana, Aek Horsik, Paringgonan, Hasahatan, Pinang Sori, dan Gunungtua Baringin. • Bagian Barat berbatasan dengan wilayah Desa Sugijae, Pasar Marancar,

Simaretung/Haunatas, Bonan Dolok, Tanjung Rompa, Janjimanaon, dan Aek Nabara.

c. Topografi, Geologi dan Iklim

Cagar Alam Dolok Sibual Buali sebagian besar memiliki topografi bergelombang dan berbukit. Terdapat 4 buah gunung utama/tertinggi dan 6 buah anak gunung. Kemiringan lahan sebagian besar adalah curam (21-55%) (BBKSDA SUMUT, 2011).

Iklim di Cagar Alam Dolok Sibual Buali ditandai dengan hujan yang paling sering turun pada bagian utara dan barat kawasan, sehingga pada beberapa lokasi banyak terdapat longsor. Sebagian besar kawasan sudah tertutup embun mulai jam 17.00 WIB, sedangkan di beberapa bagian puncak mulai turun embun jam 16.00 WIB. Angin bertiup dari arah barat menuju utara dan timur. Suhu maksimum 29°C dan minimum 18°C (BBKSDA SUMUT, 2011).

d. Flora

(3)

Merkusii, Kecing tanduk (Castanopsis aeaecuminatissima), Hapas-hapas (Exbucklandia populnea), Sengon (Albizia procera), Beringin (Ficus sp.). Keadaan vegetasi di lapangan masih relatif baik, di dalam hutan masih banyak ditemui pohon-pohon berdiameter 1 m (BBKSDA SUMUT, 2011).

e. Fauna

Berbagai jenis satwa terdapat di Cagar Alam Dolok Sibual Buali, beberapa jenis diantaranya dilindungi seperti Mawas (Pongo abelli), Siamang (Hylobates sindactylus), Kambing Hutan (Capricornis sumatrensis), Harimau Sumatera (Panthera tiggris sumatrae), Kuau (Argosianus argus), Rusa (Cervus sp), dan lain-lain (BBKSDA SUMUT, 2011).

Orangutan Sumatera

Dahulu kala orangutan hidup di hutan di seluruh Asia, namun saat ini orangutan hanya hidup di pulau Sumatera dan Kalimantan. Terdapat dua spesies orangutan yang berbeda yaitu Orangutan Suamatera dan Orangutan Kalimantan. Dua spesies ini memiliki ciri-ciri fisik yang sedikit berbeda. Orangutan Sumatera memiliki warna rambut yang lebih terang dan janggut yang lebih pajang dibandingkan dengan Orangutan Kalimantan, dan Orangutan Sumatera jantan memiliki kantong pipi yang lebih kecil. (Butler, 2011).

Menurut Napier dan Napier (1967) dalam Zulkifli (1999), orangutan Sumatera dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

(4)

Ordo : Primata Family : Hominoidea Subfamily : Pongidae Genus : Pongo

Species : Pongo abelii Lesson 1827.

Kera besar tidak berekor dengan jantan dewasa berpipi yang tingginya dapat mencapai 1,5 m dan rentang tangan hingga 2,4 m. Ukuran tubuh betina dewasa dan jantan dewasa tidak berpipi hanya setengah dari jantan dewasa berpipi. Warna rambut kemerahan dan pucat seperti jahe, tebal, dan lebih pajang daripada Orangutan Kalimantan. Ciri khas lainnya adalah rambut wajah yang lebih terang, dan ibu jari yang lebih pendek dengan lengan yang lebih panjang. Mereka hidup arboreal dan aktif di siang hari. Jantan dewasa berpipi kadang menyuarakan seruan panjang (long calls) yang dapat terdengar hingga 2 km. Orangutan dewasa dan remaja setiap hari membuat sarang dari bahan yang dilengkung dan dipatahkan (FORINA dan USAID, 2012).

(5)

Status Konservasi

Orangutan Sumatera masuk daftar merah IUCN (International Union for Conservation of Nature) sebagai satwa sangat terancam punah (Critically Endangered) sementara Orangutan Kalimantan ditetapkan sebagai satwa genting (Endangered). Keduanya juga terdaftar dalam Appendix I CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Wild Fauna and Flora), yang berarti baik satwa maupun semua produk yang berasal darinya (daging, kulit, rambut, kuku, kotoran, dll) tidak boleh diperdagangkan dimanapun juga. Sebaran orangutan saat ini terbentuk oleh halangan iklim dan geografis seperti sungai dan tekanan dari pembangunan yang dilakukan manusia. Orangutan Sumatera saat ini hanya memiliki sisa habitat yang sesuai seluas 864.100 hektar (kurang dari 0,5% dari total luas Indonesia) di pulau Sumatera, semua kawasan ini terdapat di bagian utara pulau Sumatera (Butler, 2011). Di Indonesia, orangutan telah dilindungi secara hukum. Salah satu undang-undang yang sangat penting adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, termasuk turunannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar dan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar (Utami dan Rifqi, 2012).

Perilaku Umum Orangutan Sumatera

(6)

hidup di atas kanopi pohon, bahkan membuat sarang di atas pohon untuk tidur. Kera besar lainnya (Sipanse, Bobobo, dan Gorilla) juga memanjat dan membuat sarang di atas pohon, tapi kera-kera besar tersebut cenderung menghabisakan waktu di atas tanah (Butler, 2011).

Menurut Utami dan Rifqi (2012) orangutan hidup semi soliter (cenderung sendiri), mereka merupakan hewan arboreal (beraktivitas banyak di pepohonan) yang berukuran besar, memiliki daerah jelajah yang luas (1-2 km/hari), dan masa hidup panjang (dapat lebih dari 50 tahun) sehingga berperan penting dalam pemencaran biji untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Ketidakhadiran orangutan di hutan dapat mengakibatkan kepunahan suatu jenis tumbuhan yang penyebarannya tergantung oleh primata itu.

Sarang Orangutan Sumatera

(7)

Sarang terdistribusi secara acak dan letaknya tergantung pada beberapa pertimbangan seperti jaraknya dengan sungai, dengan pohon buah/feeding tree, keterlindungan dari matahari siang hari, angin malam hari, dan keterjangkauan pandangannya terhadap areal hutan (MacKinnon, 1974 dan Rijksen, 1978).

MacKinnon (1974) menyatakan bahwa pembuatan sarang berlangsung selama 2-3 menit dengan tahapan sebagai berikut :

1. Rimming, dahan ditekuk secara horisontal membentuk lingkaran sarang dan ditahan dengan cara melekukkan dahan lain.

2. Hanging, dahan ditekuk masuk ke dalam sarang membentuk mangkuk sarang. 3. Pillaring, dahan ditekuk kebawah untuk menopang lingkaran sarang dan

memberi kekuatan ekstra.

4. Loose, dahan dipatahkan dari pohon dan diletakkan di dasar sarang sebagai alas, atau di atas sarang sebagai atap.

(8)

Peluruhan Sarang

Individu yang telah berhenti menyusu dari semua spesies kera besar akan membangun sarang untuk tempat mereka tidur di waktu malam dan kadang-kadang beristirahat pada siang hari. Sarang-sarang ini dapat dilihat di dalam hutan selama beberapa minggu atau bulan setelah dibangun dan digunakan. Oleh sebab itu sarang lebih sering ditemui dibanding kera besar sendiri, sehingga menghasilkan banyak data selama survei dan taksiran yang lebih akurat, dengan asumsi bahwa variabel yang digunakan untuk menghitung kepadatan (yaitu, tingkat produksi, tingkat peluruhan) juga dihitung dengan ketepatan yang layak. Selain itu, sarang tidak bergerak, dan ini memudahkan penentuan jarak tegak lurus dan ukuran kelompok dibanding deteksi kera besar itu sendiri.

Keawetan sarang tergantung pada teknik konstruksi, berat dan ukuran orangutan, suasana hati saat membangun sarang, lokasi dan karakteristik pohon, cuaca serta keberadaan satwa lain yang mungkin akan merusak sarang orangutan tersebut, dalam waktu 2,5 bulan sarang orangutan akan tetap terlihat sebelum pada akhirnya akan hancur dan tinggal ranting-rantingnya saja (Rijksen, 1978).

(9)

contoh, walaupun nilai pH mungkin dapat dikaitkan dengan tingkat peluruhan sarang di hutan lahan kering di Sumatera (Buij et al., 2003), terbukti ini tidak dapat diandalkan di dua kawasan di Borneo (Johnson et al., 2005; Marshall et al., 2006).

UNESCO-PanEco dalam YEL (2009), menjelaskan bahwa kelas sarang dan kelas kerusakan/kehancuran sarang dapat ditentukan atas empat kelas untuk memprediksi kondisi tersebut dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Kelas A : daun masih segar, sarang baru, semua daun masih hijau

2. Kelas B :daun sudah mulai tidak segar, semua daun masih ada, bentuk sarang masih utuh, warna daun sudah mulai coklat terutama di permukaan sarang, belum ada lubang yang terlihat dari bawah

3. Kelas C : sarang tua, semua daun sudah coklat bahkan sebagian daun sudah hilang sudah terlihat adanya lubang dari bawah

4. Kelas D : semua daun sudah hilang, sebagian besar hanya tinggal ranting

Menurut IUCN (2007) sarang-sarang tersebut dibagi menjadi 5 kelas berdasarkan kondisi dan umur sarang tersebut dibuat, berikut klasifikasinya:

1. Sarang Kelas A : merupakan sarang paling baru dengan daunnya masih hijau semua dan umurnya baru seminggu.

2. Sarang Kelas B : daunnya sebagian hijau dan sebagian sudah kecoklatan 3. Sarang Kelas C : semua daunnya sudah coklat.

4. Sarang Kelas D : alas sarangnya sudah berlubang dan bentuknya kurang utuh. 5. Sarang Kelas E : biasanya sudah tinggal kerangka, namun masih kelihatan

(10)

Penelitian populasi orangutan dengan inventarisasi sarang, umur sarang dari tipe A-E berperan penting dalam menaksir populasi orangutan. Kelas sarang bergantung pada jenis pohon, temperatur, dan kelembaban udara, termasuk sarang yang dibuat untuk istirahat di siang hari atau untuk bermalam. Pembuatan sarang untuk siang hari tidak intensif, sehingga kualitas sarang tidak sebaik sarang untuk malam hari. Dalam hal ini komposisi vegetasi tidak banyak berpengaruh pada pembusukan sarang. Di Sumatera rata-rata umur sarang 2,5 bulan dengan variasi antara 2 minggu sampai lebih dari satu tahun (Rijksen, 1978) dan antara 3-6 bulan (Van Schaik et al., 1995), namun angka ini tidak sama untuk semua habitat.

Kepadatan Orangutan

(11)

menambah tingginya angka penurunan populasi orangutan (Wich et al., 2008). Metode "line transect" hingga saat ini masih merupakan metode yang cukup akurat untuk menghitung kepadatan populasi orangutan. Metode ini terus dikembangkan, hingga sekarang sangat memungkinkan untuk menghitung kepadatan populasi orangutan pada suatu area yang didasarkan atas penghitungan sarang (Van Schaik et al.,1994).

Inventarisasi Orangutan

(12)

pendugaan kepadatan dengan bias yang besar. Hal tersebut menyebabkan pendugaan parameter demografi memberikan hasil yang tidak akurat dan berimplikasi pada kekeliruan dalam kegiatan manajeman populasi dan habitat.

Survei Orangutan

(13)

dimungkinkan karena rendahnya ketersediaan pakan di tipe hutan ini walaupun pada dasarnya pada hutan ini terdapat banyak jenis pohon pakan namun pada saat penelitian tidak ditemukan sama sekali jenis pohon pakan yang sedang berbuah. Dalimunthe (2009) melaporkan bahwa kepadatan populasi orangutan berdasarkan jumlah sarang di Kawasan Bukit Lawang adalah 0,0349 individu/km2 atau 3,484 individu/Ha dengan jumlah keseluruhan sarang sebanyak 225 sarang. Kelas sarang orangutan yang paling banyak ditemukan adalah kelas sarang yang berumur 4 bulan (kelas 3) dengan persentase 50,67% dan posisi sarang orangutan yang paling banyak ditemukan adalah posisi sarang yang berada pada percabangan utama (posisi 1) dengan persentase 39,11%. Ketinggian sarang orang-utan paling banyak ditemukan adalah pada ketinggian 15-20 m dengan persentase 26,98%. Pemilihan pohon sarang orangutan yang mendominasi adalah pada Famili Dipterocarpaceae dan Lauraceae dengan persentase 29,17%.

Sementara kawasan hutan Batang Toru dengan luas 748,86 km2 masih dapat mendukung kelangsungan hidup populasi orangutan yang diperkirakan sebanyak 337-421 individu. Kepadatan populasi tertinggi diperkirakan berada di hutan dataran tinggi berlumut (0,71 ind/km2) dan terendah di hutan dataran rendah (0,30 ind/km2) dengan rerata kepadatan populasi sebesar 0,52 ind/km2. Rendahnya kepadatan populasi orangutan sumatera di hutan dataran rendah dan campuran dibandingkan dengan kedua tipe hutan dataran tinggi diperkirakan karena tingginya aktivitas konversi lahan oleh masyarakat di dalam habitat orangutan (Simorangkir, 2009).

(14)

nilai kepadatan orangutan di Marike jauh lebih banyak dibandingkan dengan lokasi di Sikundur Kecil, baik dilihat dari jumlah sarang maupun jumlah estimasi kepadatan populasinya. Dimana jumlah sarang di Marike sebanyak 100,83 sarang, dengan estimasi kepadatan orangutan sebanyak 2,32 individu/km2, sedangkan jumlah sarang di Sikundur Kecil sebanyak 24,33 sarang, dengan estimasi kepadatan orangutan sebanyak 0,56 individu/km2. Terlihat bahwa jumlah sarang dan kepadatan orangutan jauh berbeda, ini disebabkan adanya perbedaan antara lokasi Hutan Marike dan Hutan Sikundur Kecil. Hutan Marike masih tergolong hutan primer, sedangkan Hutan Sikundur Kecil tergolong hutan sekunder dikarenakan hutan ini merupakan bekas area Hak Pemilikan Hutan PT. Raja Garuda Mas (HPH PT. RGM) yang sudah lama ditinggalkan. Sehingga jumlah populasi orangutan liar pada masing-masing lokasi berbeda. Rendahnya jumlah kepadatan orangutan yang didapatkan di Sikundur Kecil disebabkan oleh berbagai faktor pendukung bagi kelangsungan hidup orangutan maupun kehadiran orangutan, seperti sumber pakan, kondisi lingkungan hingga kenyamanan dari ancaman. Keadaan ini jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Asfi Z pada tahun 2000, di Agusan yang hanya mendapatkan 0,0086 individu/km2, populasi orangutan di Sikundur Kecil ini masih tergolong cukup banyak (0,56 individu/km2).

Indeks Nilai Penting (INP)

(15)

Dengan demikian indeks nilai penting (INP) dan indeks nilai penting untuk spesies ke-i (INP-i) dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut :

INP = KR + FR + DR INP-i = KR-i + FR-i + DR-i (Mukrimin, 2011).

Selanjutnya dikatakan bahwa penguasaan suatu jenis terhadap spesies lainnya ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP), yang merupakan penjumlahan dari kerapatan relatif, dominansi relatif dan fekuensi relatif. Frekuensi suatu jenis menunjukkan penyebaran suatu jenis dalam suatu areal. Semakin merata penyebaran jenis tertentu, nilai frekuensinya semakin besar sedangkan jenis yang nilai frekuensinya kecil, penyebarannya semakin tidak merata pada suatu areal atau kawasan yang diamati. Kerapatan dari suatu jenis merupakan nilai yang menunjukkan jumlah atau banyaknya suatu jenis persatuan luas.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa ketrampilan menyimak cerita pendek perlu ditingkatkan lagi, karena pada hasil yang dicapai pada pembelajaran yang telah

dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). 2) Bahwa Bank Permata bertanggung jawab atas akibat hukum dalam perjanjian. jual beli piutang dan akta cessie antara Silver

Untuk mengetahui kualitas layanan yang diberikan dalam penanganan gangguan padam maka dari Standard Operating Process (SOP) yang digunakan oleh PLN UPJ Ngagel ditambah dengan voice

yang berbeda. 1) Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Snowball Throwing terhadap motivasi belajar mata pelajaran Aqidah Akhlak siswa kelas IV MIN 3 Tulungagung.

Dian Ayu Linovia, Penerapan Model Pembelajaran Snowball Throwing Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Materi Bilangan Romawi Pada Siswa Kelas IV MI Mafatihul Ulum

Salah satu faktor yang dilakukan untuk menekan biaya operasional peledakan dengan cara melakukan perbaikan geometri peledakan dan mengefektifkan pemakaian ANFO, setelah perbaikan

Pada penelitian ini telah dipelajari penggunaan pendukung katalis zeolit, senyawa kompleks [Fe(EDTA)] - dan katalis [Fe(EDTA)] - /zeolit pada sintesis vitamin

Pada bab ini tentang Hasil dan Pembahasan mengenai analisa prosedur kerja dari sistem informasi akademik berbasis sms gateway yang diusulkan, penyusunan tabel dengan relasi