• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

ESTIMASI KEPADATAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii)

BERDASARKAN JUMLAH SARANG DI BUKIT LAWANG

TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

NURZAIDAH PUTRI DALIMUNTHE

050805037

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

ESTIMASI KEPADATAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii)

BERDASARKAN JUMLAH SARANG DI BUKIT LAWANG

TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar sarjana sains

NURZAIDAH PUTRI DALIMUNTHE

050805037

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

PERSETUJUAN

Judul : ESTIMASI KEPADATAN ORANGUTAN SUMATERA

(Pongo Abelii) BERDASARKAN JUMLAH SARANG DI BUKIT LAWANG TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SUMATERA UTARA

Kategori : SKRIPSI

Nama : NURZAIDAH PUTRI DALIMUNTHE

Nomor Induk Mahasiswa : 050805037

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

(4)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

PERNYATAAN

ESTIMASI KEPADATAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii)

BERDASARKAN JUMLAH SARANG DI BUKIT LAWANG

TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Desember 2009

(5)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T. yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara” ini dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Arlen H.J., M.Si selaku Pembimbing I dan Bapak Panut Hadisiswoyo S.S., M.Sc selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, motivasi, arahan, waktu, serta perhatiannya kepada penulis dari mulai penelitian sampai akhirnya penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S dan Ibu Masitta Tanjung, M.Si selaku ketua dan sekretaris penguji yang telah banyak memberikan banyak saran dan masukan serta waktunya demi kesempurnaan dan penyelesaian skripsi ini.

Ibu Masitta Tanjung, S.Si, M.Si selaku dosen penasehat akademik yang selalu memberikan saran dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan segala urusan akademis selama masa perkuliahan. Bapak Dr. Dwi Suryanto, M.Sc dan Ibu Nunuk Priyani, M.Sc selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU dan kepada seluruh staf pengajar Depertemen Biologi FMIPA USU, serta Ibu Roslina Ginting dan Bang Erwin selaku pegawai Departemen Biologi FMIPA USU, Ibu Nurhasni Muluk dan Bapak Sukirmanto selaku analisis dan laboran di Laboratorium Departemen Biologi yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Mas Panut Hadisiswoyo selaku Direktur Lembaga Sumatran Orangutan Society-Orangutan Information Centre (SOS-OIC), yang telah memberikan beasiswa kepada penulis, Kepada Bapak Nurhady selaku Kepala BBTNGL (Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser) dan Bapak Hendra Selaku Kepala Subseksi Pusat Pengamatan Satwa Bukit Lawang yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian.

(6)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

Secara khusus penulis juga mengucapkan terima kasih kepada BIOPALAS yang telah membesarkan dan mendidik penulis. Serta buat Bang Gigi, Bang Asri, Bang Barita, bang Kiki, Bang Mahya, Bang Yopi, Bang Zamrud, Bang Andinal, Kak Mugi, kak Santi, Kak Tice, Kak Meyna, Kak Maini, kak Roma atas dukungan moril kepada penulis. Bang Sofyan, Bang Indra, dan kru OIC terima kasih atas bantuan secara teknis kepada penulis selama penelitian berlangsung.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bang Sindra selaku ranger, bang Darna, Gilang, Uya, Juju, bang Anto, bang Mahya, atas kerja sama dan bantuannya selama penelitian berlangsung juga seluruh staf perawatan satwa Bukit Lawang dan para pemandu wisata di Bukit Lawang atas bantuan dan kerja samanya. Serta tidak lupa pula secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Bukit Lawang atas keramahannya selama penulis berada di Bukit Lawang.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan untuk teman-teman seperjuangan di stambuk 2005, Imam, Diana (Drogba), Fifi (Peot), Andi (Momon), Rico (cocobel), Nikma (menik), Widya, Irfan, Ulan, Verta, Saputri, Dahin, Juned, Kabul, Imus, Effendi, Uthin, Ummi, Pida, Santi SM, Maysarah, Nia, Winda, Ruth, Simlah, Siti, Kalista, Julita, Delni, Riris, Misran, Taripar, Fitria, Toberni, Erna, Erni, Valen, Beca, Ochid, Susi, Munthe qu, Eri, Uwi, Seneng, Patimah, Giant, termia kasih untuk persahabatan yang indah. Kepada Anak Ekowan Umri, Rivo, Leni, Eva, Aini, Encai, Desi terima kasih untuk doa, perhatian dan dukungannya selama ini. Kepada adik asuhku, Icha dan Asril, terima kasih untuk doa, perhatian dan dukungannya selama ini. Kakak-kakak dan Adik-adik penulis di Biologi, bang Andi, Bang Edu, kak Yuni, Juki, santi (keket), dan seluruh adik-adik Stambuk 2006, Eva (Edaq), Maika, Dwi Putri R. Dwi Putri A., Misfala, Farid, Stambuk 2007, Ika, Rini, Pestaria, Igun, Stambuk 2008, atas semua bantuan dan dukungan Semua pihak yang telah terlibat langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas segala bantuan dan dukungannya selama ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Demikianlah skripsi ini penulis sampaikan semoga bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Amin Ya Robbal ‘Alamin.

(7)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara

ABSTRAK

Penelitian tentang “Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara” telah dilakukan pada bulan Agustus sampai September 2009. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan populasi orangutan berdasarkan jumlah sarang. Penelitian dilakukan dengan metode line transect. Dari hasil survey diperoleh sebanyak 225 sarang dengan kepadatan populasi orangutan sebesar 0,0349 individu/km2 atau 3,484 individu/ha. Sarang yang ditemukan didominasi oleh sarang kelas III (kelas sarang berumur sekitar 4 bulan) yaitu 50,66%. Sedangkan posisi sarang didominasi oleh posisi 1(posisi sarang yang terletak dekat batang utama) yaitu 39,11%. Pemilihan sarang berdasarkan ketinggian ditemukan paling banyak berada pada ketinggian 15-20 m yaitu sebesar 27,56%. Pemilihan sarang berdasarkan jenis pohon ditemukan sebanyak 10 famili dan didominasi oleh famili Dipterocarpaceae dan Lauraceae masing-masing sebesar 29,17%.

(8)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

Estimation Of Orangutan Sumatera Population (Pongo abelii) Density Based On Number Of Nest In Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser

ABSTRACT

A study on “Estimation Of Orangutan Sumatera Population (Pongo abelii) Density based on Numbers Of Nest In Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser” has been conducted from August until September 2009. The research purposed to estimate orangutan populatin density based on numbers of nest. The research has conducted by Line Transeck Methode. The result has got 225 nest with orangutan population about 0,0349 individu/km2 or 3,484 individu/Ha. The nest were dominated by Class III (aged about 4 month) about 50,66%. Position of nest were dominated by position 1 (located in the premier branches) about 39,11%. Depend on altitude of nest were most found in 15-20 m about 27,56%. The nest were found in 10 family of flora and dominated by family Dipterocarpaceae and Lauraceae about 29,17%.

(9)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

DAFTAR ISI

2.1 Klasifikasi Orangutan 4

2.2 Morfologi Orangutan 4

2.3 Reproduksi orangutan 5

2.4 Ekologi 6

2.4.1 Habitat Orangutan 6

2.42 Kepadatan Orangutan 8

2.43 Perilaku Bersarang Pada Orangutan 9

Bab 3 Bahan dan Metoda 13

(10)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

4.2.1 Kelas sarang 21

4.2.2 Posisi sarang 23

4.3.2 Ketinggian sarang 24

4.3 Pemilihan Sarang 26

Bab 5 Kesimpulan dan Saran 27

(11)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

DAFTAR TABEL

Tabel Judul halaman

4.1 Jumlah Sarang Pada Masing-Masing Transek 18

4.2 Nilai Kepadatan Populasi Orangutan (ind/km2 atau ind/ha) pada Masing-Masing Transek Penelitian

20

4.3 Jumlah dan Persentase Sarang Berdasarkan Kelas sarang 22 4.4 Jumlah dan Persentase Sarang Berdasarkan Posisi Sarang 23 4.5 Jumlah dan Persentase Sarang Berdasarkan Tinggi sarang

orangutan pada setiap tingkatan ketinggian

(12)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul halaman

2.1 Foto Orangutan 5

2.2 Posisi Sarang Orangutan 12

4.1 Diagram Perbandingan Persentase Kelas Sarang 23

(13)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul halaman

A Peta Lokasi Penelitian Di Kawasan Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser

31

B Peta Lokasi Penelitian Dengan Metode” line transeck” Di Kawasan Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser

32

C Tabel Data Pengamatan 33

D Foto Penelitian di Kawasan Taman Nasional Bukit Lawang 42 E Ilustrasi Posisi Sarang Yang Biasa Digunakan Orangutan

Dalam Suatu Pohon

47

F Perhitungan Kepadatan Orangutan Di Kawasan Taman Nasional Bukit Lawang

48

G Perhitungan nilai rata-rata jarak antara sarang dengan transek (W) yang dicatat dalam data pengamatan setiap transek di Kawasan Taman Nasional Bukit Lawang.

(14)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia termasuk negara yang kaya akan keanekaragaman hayati satwa liar primata, dari sekitar 195 jenis primata yang ada di dunia, 37 jenis diantaranya terdapat hidup di Indonesia, dan 20 jenis diantaranya, merupakan primata endemik Indonesia. Primata tersebut banyak yang termasuk jenis terancam punah diantaranya adalah orangutan (kera besar). Keadaan ini disebabkan karena semakin berkurangnya habitat dan masih berlangsungnya penangkapan liar untuk diperdagangkan. Jenis primata besar ini di dunia hanya ditemukan di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Orangutan yang terdapat di pulau Sumatera disebut Pongo abelii dan Kalimantan disebut Pongo pygmaeus (Groves, 2001).

Menurut International Union Concervation of Nature (IUCN) sekitar 80% habitat orangutan telah hilang atau musnah, bila keadaan ini dibiarkan, maka dalam 10–20 tahun ke depan orangután akan punah. Sehingga IUCN mengkategorikan orangután sebagai critically endangered species atau sebagai satwa yang terancam punah (IUNC, 2007).

(15)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

besar membuat sarang, salah satu fungsi sarang adalah sebagai tempat beristirahat setelah seharian melakukan aktivitas hariannya. Selain itu sarang juga berfungsi sebagai tempat berlindung dari cuaca yang ekstrim. Perilaku sarang ini ditemukan pada kera besar karena kera besar memiliki perkembangan otak yang lebih baik. Sehingga kera besar dapat berfikir bahwa ada cara yang paling nyaman untuk beristirahat. Untuk Orangutan sendiri, sarang adalah sarat mutlak yang dilakukan setiap harinya di akhir aktivitas jelajahnya (Meijaard et al, 2001).

Rodman (1979) menyatakan bahwa aktivitas utama orangutan dipenuhi oleh kegiatan makan kemudian aktivitas istirahat, bermain, berjalan-jalan di antara pepohonan dan membuat sarang merupakan kegiatan yang dilakukan dalam persentase waktu yang relatif sedikit. Menurut Fakhrurradhi (1998), di Suaq Balimbing rata-rata dalam satu hari orangutan menggunakan waktu 65% untuk melakukan aktivitas makan, 16% untuk bergerak pindah, 17% untuk beristirahat, 1% untuk membuat sarang dan 0,5% untuk aktivitas sosial.

Keberadaan dan kepadatan orangutan pada suatu daerah dari tahun ke tahun diketahui terus mengalami penurunan yang disebabkan karena terganggu, rusak dan berkurangnya kawasan hutan sebagai habitatnya, disamping adanya perburuan terhadap satwa ini. Untuk menghitung kepadatan, banyak peneliti yang telah mencoba mengestimasikan kepadatan orangutan melalui perhitungan sarang sepanjang transek tertentu. Hal ini dimungkinkan karena semua jenis kera besar termasuk orangutan, umumnya membangun sarang ketika akan beristirahat pada siang dan terutama malam hari (Rijksen, 1978).

(16)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

1.2Permasalahan

Orangutan Sumatera adalah jenis orangutan yang paling terancam diantara dua spesies orangutan yang ada di Indonesia, hal ini disebabkan karena kehilangan habitat alaminya dengan cepat oleh berbagai aktivitas manusia yang melakukan pembukaan hutan untuk pertanian, perkebunan, dan pemukiman, serta pembalakan liar dan perburuan. Namun demikian sampai saat ini belum diketahui berapakah jumlah individu atau kepadatan orangutan Sumatera (Pongo abelii) berdasarkan jumlah sarang yang masih terdapat di Bukit Lawang Taman Nasional

Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

1.3Tujuan penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah

a. Mengetahui kepadatan orangutan Sumatera (Pongo abelii) berdasarkan jumlah sarang di sekitar kawasan Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

b. Mengetahui posisi, kelas, tinggi sarang dan vegetasi dominan sarang di sekitar kawasan Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

1.4Manfaat Penelitian

(17)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Orangutan

Menurut Groves (2001), orangutan termasuk ordo Primata dan famili Homonidae, dengan klasifikasi sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrae

Kelas : Mamalia

Ordo : Primata

Family : Homonidae

Subfamily : Pongonidae

Genus : Pongo

Species : Pongo abelii (Orangutan Sumatera)

Pongo pygmaeus (Orangutan Kalimantan/Borneo)

(18)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang merupakan hewan arboreal yang soliter dan mempunyai ciri-ciri yaitu bertubuh besar, rambut berwarna coklat kemerahan, tidak berekor dan secara genetik orangutan memiliki kemiripan dengan manusia (97,4 %). Orangutan Sumatera (Pongo abelli) memiliki ciri fisik badan yang lebih besar, berwarna gelap atau coklat kemerah-merahan, rambut jarang dan pendek, dan pada bayi terlihat ada bercak-bercak berwarna kemerahan atau kehijau-hijauan (Gambar 2.1.a), sedangkan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus ) ciri fisik badannya terlihat lebih kecil, berwarna terang atau oranye, dan tulang

tangan lebih panjang (Gambar 2.1.b). Secara umum, orangutan jantan dewasa bercheekpad (mengembang) pada kedua pipinya (Gambar 2.1.c) dan ukuran tubuhnya dua kali lebih besar dari betina, dengan berat tubuh di alam berkisar antara 50-90 kg (Galdikas, 1978).

a) Pongo abelii b) Pongo pygmeus c) P.abelii jantan dewasa

Gambar 2.1. Foto orangutan dari jenis a) Pongo abelii (sumber: foto penelitian lapangan, 2009), b)

Pongo pygmeus (sumber: sumatera indonesia.com), c) Pongo abelii jantan dewasa

(sumber: orangutanfoundation.wildlife)

(19)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

selanjutnya dijelaskan bahwa Perbedaan ini bukan merupakan sifat yang mantap, tetapi dapat digunakan sebagai penuntun kasar.

2.3Reproduksi Orangutan

Tahapan perkembangan kehidupan orangutan di alam dapat dibedakan dalam beberapa kategori, morfologi dan tingkah laku. Menurut Mac Kinnon (1974), Rikjsen (1978), dan Galdikas (1984) tahapan perkembangannya adalah:

a. Bayi (infant); Kisaran umur 0-2,5 tahun, dengan berat badan 2-6 kg. Warna tubuh umumnya jauh lebih pucat dari pada individu dewasa dengan bercak-bercak putih di seluruh tubuhnya. Mempunyai rambut panjang-panjang dan berdiri di sekitar muka, kulit di sekitar mata berwarna pucat. Seluruh tingkah lakunya masih tergantung induk dan tidur bersama-sama induk dalam sarang.

b. Kanak-kanak (juvenile); Kisaran umur 2,5-7 tahun dengan berat badan 6-15 kg. Warna tubuh lebih gelap dari individu bayi dengan bercak-bercak putih pada tubuh yang hampir pudar, tetapi wajahnya masih menyerupai bayi. Dalam beberapa aktivitas sudah dapat melakukan sendiri, tetapi masih bersama-sama induknya. Tidur masih dalam satu sarang bersama induknya, tetapi kemudian akan membuat sarang sendiri dekat sarang induknya. c. Remaja (adolescent); Kisaran umur 7-10 tahun dengan berat badan 15-30 kg. Warna

tubuh lebih pucat dari individu dewasa dengan ukuran tubuh yang lebih kecil. Rambut di sekitar muka masih panjang dan berdiri.

d. Betina pra-dewasa; Kisaran umur 10-12 tahun dengan berat badan 30-40 kg. Warna tubuh agak gelap.

(20)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

Orangutan betina rata-rata mencapai dewasa kelamin pada umur 15 tahun dan beranak tiap 8 tahun sekali, karena anak orangutan akan tinggal bersama dan tergantung pada induknya sampai ia berumur 7-8 tahun (Popowati et al, 1997). Selanjutnya dijelaskan bahwa, seekor induk orangutan tidak akan pernah memberikan bayinya kepada siapapun, sehingga untuk mendapatkan satu ekor anak orangutan minimal harus membunuh induknya lebih dahulu.

2.4 Ekologi

2.4.1 Habitat Orangutan

Hewan ini hidup di hutan-hutan tropik yang basah dalam batas-batas alam yang tidak dapat dilampaui seperti sungai atau gunung yang tingginya lebih dari 2.000 m. Hewan ini dapat hidup pada berbagai tipe hutan, mulai dari hutan dipterokarpus perbukitan dan dataran rendah, daerah aliran sungai, hutan rawa air tawar, rawa gambut, tanah kering di atas rawa bakau dan nipah, sampai ke hutan pegunungan. Di Borneo orangutan dapat ditemukan pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut (dpl), sedangkan kerabatnya di Sumatera dilaporkan dapat mencapai hutan pegunungan pada 1.000 m dpl (Hoeve,W.V., 1996).

(21)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

Pemenuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh orangutan tersebut tergantung pada keberadaan hutan hujan tropis, orangutan dianggap sebagai wakil terbaik dari struktur keanekaragaman hayati, karena memilki daerah jelajah dan persyaratan habitat yang luas. Sehingga apabila dijadikan fokus pengelolaan perlindungan, maka seluruh keanakaragaman hayati asli di dalam area jajahan orangutan akan ikut terlindungi (Hoeve,W.V., 1996).

Rodman (1987) menyatakan bahwa dalam populasi orangutan, dikenal tiga unit populasi yang terdiri atas jantan dewasa yang bersifat soliter, betina dewasa dengan seekor anak dan jantan pradewasa yang juga besifat soliter. Diantara ketiga unit orangutan ini kadang-kadang mereka terlihat bersama dalam suatu kumpulan sementara (temporary association) di pohon-pohon pakan (feeding group) dan dalam penjelajahan atau bergerak (travel group) serta dalam hidup berpasangan dengan seekor betina (consortship).

Orangutan betina memerlukan waktu kurang lebih 6 tahun untuk membawa dan membesarkan anaknya. Selama waktu tersebut, induk akan bertoleransi terhadap anaknya yang dinyatakan dengan bentuk perlakuan induk terhadap anak, yaitu induk akan memberikan perhatian yang lebih besar terhadap anak yang lebih muda dibandingkan terhadap anak yang lebih dewasa. Orangutan jantan dewasa lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri bila dibandingkan dengan individu betina dewasa. Diantara orangutan jantan dewasa terjadi persaingan untuk menjadi dominan. Predikat dominan sangat menguntungkan individu jantan dewasa. Mereka akan lebih leluasa untuk menguasai betina-betina dan sumber makanan (Asfi, 2001).

(22)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

makanan, tempat beristirahat, dan lain sebagainya) cukup tersedia, maka aktivitas hidupnya akan berlangsung dengan baik, dengan kata lain daya dukung untuk kehidupannya ditentukan oleh ketersediaan (Meijaard, 2001).

2.4.2 Kepadatan Orangutan

Van Schaik & Azwar (1991) melaporkan sensus populasi orangutan di Taman Nasional Gunung Leuser berdasarkan perhitungan sarang yang diduga berkisar 5000 -7400 ekor yang terbagi menjadi dua tempat dan dipisahkan oleh sungai Alas. Populasi di daerah Barat sungai berkisar antara 3000 – 4500 ekor, dan di daerah Timur sungai berkisar antara 2000 – 2800 ekor.

Faust et al., (1994), disitasi oleh Syukur (2000) menyatakan bahwa kepadatan orangutan dipengaruhi oleh ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl), tipe hutan dan tingkat gangguan yang ada. Kepadatan orangutan diketahui terus menurun dengan meningkatnya suatu tempat di atas permukaan laut (dpl). Mulai kepadatan 5 individu/km2 pada hutan rawa (± 30 m dpl), sekitar 2,5 individu/km2 pada ketinggian < 500 m dpl, kurang lebih 1,8 individu/km2 pada ketinggian 500-1000 m dpl, hingga akhirnya tidak didapatkan sama sekali pada ketinggian >1800 m dpl.

(23)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

Metode "line transect" hingga saat ini masih merupakan metode yang cukup akurat untuk menghitung kepadatan populasi orangutan. Metode ini terus dikembangkan, hingga sekarang sangat memungkinkan untuk menghitung kepadatan populasi orangutan pada suatu area yang didasarkan atas penghitungan sarang (Van Schaik et al.,1994).

Van Schaik et al. ,(1995) melaporkan bahwa kepadatan populasi orangutan dapat diperkirakan dengan melakukan sensus sarang. Di Suaq Balimbing ditemukan 33,5 sarang/km2, di Ketambe Taman Nasional Gunung Leuser jumlah sarang adalah 24,4 sarang/km2 atau kepadatan orangutan pada kawasan tersebut adalah 5 individu/km2, sedangkan di Tanjung Puting kepadatan orangutan adalah 4 individu/km2 (Galdikas, 1984).

2.4.3 Perilaku Bersarang pada Orangutan

Perilaku membuat sarang merupakan salah satu perilaku harian orangutan. Sarang yang dimaksud adalah tempat peristirahatan orangutan setelah melakukan aktivitas hariannya. Tidak seperti para monyet dan siamang, kera-kera besar tidak memiliki potongan-potongan belulang dibokongnya yang memudahkan mereka untuk duduk. Dalam hal seperti itu, berbaring di atas tempat tidur pasti akan terasa jauh lebih menyenangkan. Aktivitas harian ialah seluruh aktivitas orangutan yang berlangsung sejak meninggalkan sarang tidur pada pagi hari dan berakhir hingga masuk kembali kedalam sarang untuk bermalam (Van Schaik, 2006).

(24)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

nyaman ditengah-tengah lingkungan pepohonan yang tinggi, dan menjaga diri baik-baik agar jangan sampai jatuh (Flaegle, 1999; Van Schaik, 2006).

Berdasarkan penelitian Asfi (2001), ada beberapa posisi sarang orangutan (Lampiran E), antara lain berada di puncak pohon. Menurut Sugardjito (1983), posisi ini mempunyai keuntungan bagi orangutan, yaitu tidak terhalangnya pandangan dan jangkauan yang dapat mencakup sebagian besar dari penjuru hutan. Selain itu, posisi ini juga memudahkan orangutan dalam melakukan pergerakan sewaktu keluar dari sarang dan dari segi keamanan, posisi ini menghindarkan orangutan dari ancaman predator.

Semua kera besar termasuk orangutan membangun sarang yang biasa dipergunakannya baik untuk beristirahat pada siang maupun tidur pada malam hari (Van Schaik et al.,1994). Sarang bagi orangutan juga dapat berfungsi sebagai tempat bermain bagi orang orangutan muda, tempat berlindung, melahirkan, melakukan kopulasi, dan aktivitas makan (Rijksen, 1978).

Orangutan akan membangun sarang pada posisi yang sesuai dalam suatu pohon. Orangutan menggunakan batang-batang pohon kecil di sekitarnya, memilin, melengkungkan atau melipatnya ke bagian cabang yang lentur. Kemudian merapatkan sarang dengan mendorong dahan-dahan tersebut kebawah untuk membentuk suatu bidang datar. Pembuatan sebuah sarang biasanya membutuhkan waktu 2-3 menit, namun dapat dilanjutkan dengan perbaikan-perbaikan ringan (Mac Kinnon, 1974). Selanjutnya Rijksen (1978) menyatakan bahwa konstruksi sebuah sarang orangutan dapat bervariasi dari suatu bidang datar kecil yang sederhana sampai sebuah sarang yang besar dan kokoh, yang bahkan mampu untuk menahan seorang manusia dewasa dan sangat nyaman.

(25)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

cabang pohon. Kebanyakan disesuaikan dengan strategi dan pohon makanan terakhir yang dikunjunginya. Sarang dibuat dari ranting yang daunnya masih segar, biasanya pada ketinggian 15 meter sampai 20 meter dari permukaan tanah (Walkers, 1983).

Menurut Sugardjito (1983), di Ketambe Taman Nasional Gunung Leuser orangutan jantan dewasa dan betina dewasa tanpa anak memiliki perbedaan dengan orangutan remaja (adolescent) dan betina dewasa dengan anak dalam hal pemilihan tempat bersarang. Orangutan jantan dewasa dan betina dewasa tanpa anak lebih sering memilih membuat sarang pada pohon makanan yang terakhir dikunjunginya, sedangkan orangutan remaja dan betina dewasa dengan anak lebih banyak membuat sarang pada pohon yang dianggap nyaman bagi dirinya. Hal ini merupakan strategi hewan untuk menghindari dari predator atau hewan-hewan lain yang memakan buah yang sama pada malam hari yang dapat mengganggu tidur orangutan.

Sarang orangutan tidak permanen sifatnya (Sugardjito, 1983). Lebih lanjut Rijksen (1978), menyatakan bahwa orangutan seringkali membuat sarang baru di lokasi yang berbeda atau dengan memperbaiki sebuah sarang lama. Sarang-sarang tersebut dapat digunakan selama dua malam atau lebih, sedangkan ketahanan sarang orangutan dapat bervariasi dari dua minggu sampai lebih dari satu tahun.

Menurut Van Schaik et al.,(1994), hancur dan hilangnya sarang orangutan ditentukan oleh faktor ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl), tipe hutan, begitu juga faktor-faktor lain yang mempengaruhinya seperti temperatur, kelembaban, dan curah hujan.

(26)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

menjadi satu (Gambar 2.2.). Menurut Mac Kinnon (1974), orangutan lebih sering membangun sarangnya di dekat batang utama dari pada di posisi lain. Namun, pemilihan posisi sarang ini sepertinya juga ditentukan oleh banyak faktor, seperti keuntungan dari tidak terhalangnya pandangan mata yang dapat menjangkau sebagian besar dari penjuru hutan.

Gambar 2.2. Posisi Sarang orangutan, a)posisi 1, b)posisi 2, c) posisi 3, d) posisi 4

(27)
(28)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1 Deskripsi Area 3.1.1 Letak dan Luas

Secara geografis lokasi penelitian terletak pada 30 30’ - 30 45’ Lintang Utara dan 980 00 – 980 15’ Bujur Timur. Sedangkan secara administratif, lokasi penelitian termasuk dalam kawasan Desa Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Kawasan tersebut berjarak 90 km dari Medan, Sumatera Utara.

Kawasan penelitian ini memiliki luas 200 ha dari luas wilayah Kawasan Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat Sumatera Utara yang memiliki luas sekitar 75.175 ha. Kawasan hutan di sekitar lokasi penelitian berada pada ketinggian 100-400 m dpl, mempunyai topografi berbukit-bukit hingga curam, sedangkan topografi datar dapat dikatakan tidak ada. Jenis tanah yang ditemukan pada kawasan hutan terdiri dari jenis tanah Kompleks Podsolik Merah Kuning yaitu batuan alluvial, batuan endapan, bahan endapan dan batuan beku, Latosol, Litosol dan Kompleks Podsolit Coklat.

3.1.2 Potensi Kawasan 3.1.2.1 Flora

(29)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

kuadran diketahui bahwa tingkatan sapihan didominasi oleh jenis asam kandis (Garcinia sp), semantuk (Shorea sp), baja berinau (Rhodamnia sp), kayu merah (Eugenia sp) dengan masing-masing 20,41%; 19,36%; 12,60%; 12,11%; 11,79%. Sedangkan untuk tingkatan tiang didominasi oleh jenis: kayu merah (Eugenia sp), kayu minyak (Dipterocarpus sp), kayu kuning (Eugenia sp), kandis (Garcinia sp) dengan masing-masing 14,59%; 13,25%; 11,83%; 10,05%. Untuk tingkatan pohon didomonasi oleh jenis: damar laut (Shorea materalis), meranti bakau (Shorea macroptera) dan durian hutan (Durio sp) dengan masing-masing 30,26%; 20,15% dan 16,25%.

3.1.2.2 Fauna

Kawasan hutan di sekitar Stasiun pengamatan Orangutan Sumatera di Bukit Lawang juga merupakan habitat beberapa jenis hewan seperti: Orangutan (Pongo abelii), siamang (Hylobates sindactylus), kedih (Presbytis thomasii), owa (Hylobates lar), monyet ekor panjang (Macaca

fascicularis), jelarang (Ratufa bicolor), beruang madu (Helarctos malayanus), burung rangkong

(Buceros bicolor) dan beberapa jenis ular.

3.1.2.3 Wisata

Kawasan hutan disekitar stasiun rehabilitasi Bahorok memiliki daya tarik wisata antara

lain :

a. Sungai Bahorok

b. Hutan Lindung Tropis

c. Stasiun pengamatan & pemberian makan (feeding) Orangutan

d. Gua-gua Alam

(30)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

3.2 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan selama satu bulan yang dimulai bulan Agustus sampai September 2009, di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Lokasi tersebut merupakan bekas Stasiun Rehabilitasi Orangutan yang sudah ditutup sejak tahun 1995 (SK Mentri Kehutanan 280/ kpts II/ 1995).

3.3 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah: Peta areal penelitian, Alat tulis, Tabulasi data, tali, Kamera digital, Meteran, Parang, Sarung tangan, Plastik packing ukuran 10 kg, Teropong binokuler, Global Positioning System (GPS), Kompas, Counter, tali plastik berwarna.

3.4Metoda Penelitian

(31)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

3.5 Prosedur Kerja

Mula-mula dilakukan pembuatan jalur (trail) sepanjang 1 km sampai 2 km dengan lebar 25 m pada masing-masing sisi kanan dan kiri trail pada daerah yang telah ditentukan. Lebar trail diterapkan atas dasar keyakinan bahwa jarak pandang mata masih dapat menjangkau sasaran (target) dengan baik untuk mendeteksi keberadaan sebuah sarang orangutan. Pengukuran terhadap lebar jalur (jarak sarang dari trail) tidak diperlukan apabila sarang diyakini masih berada dalam jarak/lebar yang ditetapkan yaitu ≤ 25 m (misalnya hanya beberapa meter dari tepi trail).

Sensus sarang dilakukan di setiap transek dengan lima kali ulangan transek dengan jarak antara transek yang satu dan yang lain adalah 150 m. Cara kerja dari sensus sarang dilakukan dengan jalan menyusuri trail secara perlahan-lahan, untuk mengamati kemungkinan adanya sebuah sarang orangutan baik disisi kanan maupun kiri trail yang dijadikan trail. Apabila sarang orangutan ditemukan, catat jarak antara lokasi sarang dengan pengamat, dalam hal ini penghitungan sarang berdasarkan kelas sarang I, II, III agar tidak terjadi bias dalam penghitungan. Untuk mencegah penghitungan sarang berulang, maka ditentukan letak sarang dengan kategori sebagai berikut :

a. Meter di rintis (jarak tertentu yang memungkinkan sarang dapat diamati) b. Derajat arah sarang

c. jarak sarang dari rintis (jarak sarang dari titik pengamat) d. kelas sarang dengan kategori sebagai berikut:

- kelas 1 = sarang baru yang berumur kurang dari 15 hari - kelas 2 = sarang yang berumur sekitar 2 bulan

- kelas 3 = sarang yang berumur sekitar 4 bulan e. ketinggian sarang

(32)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

- Posisi I : posisi sarang yang terletak dekat batang utama

- Posisi II : sarang berada di pertengahan atau di pinggir percabangan tanpa menggunakan pohon atau percabangan dari pohon lainnya.

- Posisi III : posisi sarang terdapat di puncak pohon

- Posisi IV : posisi sarang yang terletak diantara dua pohon yang berbeda

Menurut IUCN (2007) sarang-sarang tersebut dibagi menjadi 5 kelas berdasarkan kondisi dan umur sarang tersebut dibuat, berikut klasifikasinya :

a. Sarang Kelas Satu merupakan sarang paling baru dengan daunnya masih hijau semua dan umurnya baru seminggu

b. Sarang Kelas Dua, daunnya sebagian hijau dan sebagian sudah kecoklatan c. Sarang Kelas Tiga semua daunnya sudah coklat

d. Sarang Kelas Empat alas sarangnya sudah berlubang dan bentuknya kurang utuh

e. Sarang Kelas Lima biasanya sudah tinggal kerangka, namun masih kelihatan bentuk sarangnya.

Selanjutnya pohon yang ditemukan sarang orangutan, dicatat jenisnya jika memungkinkan. Pohon yang tidak dapat diidentifikasi langsung, diambil bagian daun serta alat generatifnya seperti bunga dan buah untuk diidentifikasi di laboratorium.

3.6Analisis Data

Untuk menghitung kepadatan orangutan di Bukit Lawang, digunakan rumus yang diberikan oleh Van Schaik et al., (1994), yang khusus dimodifikasi untuk menghitung kepadatan orangutan dalam suatu areal berdasarkan perhitungan sarang. Rumus tersebut adalah :

(33)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

di mana: D = kepadatan populasi orang utan (individu/km²) L = panjang jalur/transect (km)

W = rata-rata jarak antara sarang dengan transect (m) P = proporsi jumlah sarang yang dibangun dalam populasi r = tingkat produksi sarang

t = ketahanan sarang

N = jumlah sarang yang tercatat /ditemukan di sepanjang jalur transect

(34)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xxxiv

BAB 1

PENDAHULUAN

1.4 Latar Belakang

Indonesia termasuk negara yang kaya akan keanekaragaman hayati satwa liar primata, dari sekitar 195 jenis primata yang ada di dunia, 37 jenis diantaranya terdapat hidup di Indonesia, dan 20 jenis diantaranya, merupakan primata endemik Indonesia. Primata tersebut banyak yang termasuk jenis terancam punah diantaranya adalah orangutan (kera

besar). Keadaan ini disebabkan karena semakin berkurangnya habitat dan masih berlangsungnya penangkapan liar untuk diperdagangkan. Jenis primata besar ini di dunia

hanya ditemukan di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Orangutan yang terdapat di pulau Sumatera disebut Pongo abelii dan Kalimantan disebut Pongo pygmaeus (Groves, 2001).

Menurut International Union Concervation of Nature (IUCN) sekitar 80% habitat orangutan telah hilang atau musnah, bila keadaan ini dibiarkan, maka dalam 10–20 tahun

ke depan orangután akan punah. Sehingga IUCN mengkategorikan orangután sebagai critically endangered species atau sebagai satwa yang terancam punah (IUNC, 2007).

(35)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

kehidupannya, yang meliputi tempat mencari makan, minum, berlindung, bermain, dan berkembangbiak. Semua kera besar membuat sarang, salah satu fungsi sarang adalah sebagai tempat beristirahat setelah seharian melakukan aktivitas hariannya. Selain itu sarang juga berfungsi sebagai tempat berlindung dari cuaca yang ekstrim. Perilaku sarang

ini ditemukan pada kera besar karena kera besar memiliki perkembangan otak yang lebih baik. Sehingga kera besar dapat berfikir bahwa ada cara yang paling nyaman untuk beristirahat. Untuk Orangutan sendiri, sarang adalah sarat mutlak yang dilakukan setiap

harinya di akhir aktivitas jelajahnya (Meijaard et al, 2001).

Rodman (1979) menyatakan bahwa aktivitas utama orangutan dipenuhi oleh kegiatan makan kemudian aktivitas istirahat, bermain, berjalan-jalan di antara pepohonan dan membuat sarang merupakan kegiatan yang dilakukan dalam persentase waktu yang relatif sedikit. Menurut Fakhrurradhi (1998), di Suaq Balimbing rata-rata dalam satu hari orangutan menggunakan waktu 65% untuk melakukan aktivitas makan, 16% untuk bergerak pindah, 17% untuk beristirahat, 1% untuk membuat sarang dan 0,5% untuk aktivitas sosial.

Keberadaan dan kepadatan orangutan pada suatu daerah dari tahun ke tahun diketahui terus mengalami penurunan yang disebabkan karena terganggu, rusak dan berkurangnya kawasan hutan sebagai habitatnya, disamping adanya perburuan terhadap satwa ini. Untuk menghitung kepadatan, banyak peneliti yang telah mencoba mengestimasikan kepadatan orangutan melalui perhitungan sarang sepanjang transek tertentu. Hal ini dimungkinkan karena semua jenis kera besar termasuk orangutan, umumnya membangun sarang ketika akan beristirahat pada siang dan terutama malam hari (Rijksen, 1978).

(36)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

1.5 Permasalahan

Orangutan Sumatera adalah jenis orangutan yang paling terancam diantara dua spesies orangutan yang ada di Indonesia, hal ini disebabkan karena kehilangan habitat alaminya dengan cepat oleh berbagai aktivitas manusia yang melakukan pembukaan hutan untuk pertanian, perkebunan, dan pemukiman, serta pembalakan liar dan perburuan. Namun demikian sampai saat ini belum diketahui berapakah jumlah individu atau kepadatan orangutan Sumatera (Pongo abelii) berdasarkan jumlah sarang yang masih terdapat di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

1.6 Tujuan penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah

c. Mengetahui kepadatan orangutan Sumatera (Pongo abelii) berdasarkan jumlah sarang di sekitar kawasan Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

d. Mengetahui posisi, kelas, tinggi sarang dan vegetasi dominan sarang di sekitar kawasan Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

1.5Manfaat Penelitian

(37)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

konservasi sumber daya alam hutan berupa satwa secara optimal dan diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan kepada peneliti selanjutnya.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Klasifikasi Orangutan

Menurut Groves (2001), orangutan termasuk ordo Primata dan famili Homonidae, dengan klasifikasi sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrae

Kelas : Mamalia

Ordo : Primata

Family : Homonidae

Subfamily : Pongonidae

Genus : Pongo

Species : Pongo abelii (Orangutan Sumatera)

(38)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

2.2 Morfologi Orangutan

Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang merupakan hewan arboreal yang soliter dan mempunyai ciri-ciri yaitu bertubuh besar, rambut berwarna coklat kemerahan, tidak berekor dan secara genetik orangutan memiliki kemiripan dengan manusia (97,4 %). Orangutan Sumatera (Pongo abelli) memiliki ciri fisik badan yang lebih besar, berwarna gelap atau coklat kemerah-merahan, rambut jarang dan pendek, dan pada bayi terlihat ada bercak-bercak berwarna kemerahan atau kehijau-hijauan (Gambar 2.1.a), sedangkan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus ) ciri fisik badannya terlihat lebih kecil, berwarna terang atau oranye, dan tulang

tangan lebih panjang (Gambar 2.1.b). Secara umum, orangutan jantan dewasa bercheekpad (mengembang) pada kedua pipinya (Gambar 2.1.c) dan ukuran tubuhnya dua kali lebih besar dari betina, dengan berat tubuh di alam berkisar antara 50-90 kg (Galdikas, 1978).

a) Pongo abelii b) Pongo pygmeus c) P.abelii jantan dewasa

Gambar 2.1. Foto orangutan dari jenis a) Pongo abelii (sumber: foto penelitian lapangan, 2009), b) Pongo pygmeus (sumber: sumatera indonesia.com), c) Pongo abelii

(39)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

Secara sepintas morfologi orangutan Sumatera dan Kalimantan terlihat serupa, akan tetapi, bila diperhatikan akan terlihat adanya perbedaan (Gambar 2.1.b) orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), khususnya bila telah dewasa mengarah kepada warna coklat kemerah-merahan. Sedang rambutnya terlihat kasar dan jarang-jarang. (Gambar 2.1.a) pada orangutan Sumatera (Pongo abelii), biasanya berwarna lebih pucat, khasnya “ginger” (jahe), dan rambutnya lebih lembut dan lemas. Kadang-kadang orangutan Sumatera mempunyai bulu putih pada mukanya, sedangkan pada orangutan Kalimantan tidak ditemukan hal tersebut (Galdikas, 1986), selanjutnya dijelaskan bahwa Perbedaan ini bukan merupakan sifat yang mantap, tetapi dapat digunakan sebagai penuntun kasar.

2.5Reproduksi Orangutan

Tahapan perkembangan kehidupan orangutan di alam dapat dibedakan dalam beberapa kategori, morfologi dan tingkah laku. Menurut Mac Kinnon (1974), Rikjsen (1978), dan Galdikas (1984) tahapan perkembangannya adalah:

f. Bayi (infant); Kisaran umur 0-2,5 tahun, dengan berat badan 2-6 kg. Warna tubuh umumnya jauh lebih pucat dari pada individu dewasa dengan bercak-bercak putih di seluruh tubuhnya. Mempunyai rambut panjang-panjang dan berdiri di sekitar muka, kulit di sekitar mata berwarna pucat. Seluruh tingkah lakunya masih tergantung induk dan tidur bersama-sama induk dalam sarang.

(40)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

h. Remaja (adolescent); Kisaran umur 7-10 tahun dengan berat badan 15-30 kg. Warna tubuh lebih pucat dari individu dewasa dengan ukuran tubuh yang lebih kecil. Rambut di sekitar muka masih panjang dan berdiri.

i. Betina pra-dewasa; Kisaran umur 10-12 tahun dengan berat badan 30-40 kg. Warna tubuh agak gelap.

j. Betina dewasa; Kisaran umur 12-35 tahun dengan berat badan 30-50 kg. Warna tubuh sangat gelap kadang-kadang berjengot.

Orangutan betina rata-rata mencapai dewasa kelamin pada umur 15 tahun dan beranak tiap 8 tahun sekali, karena anak orangutan akan tinggal bersama dan tergantung pada induknya sampai ia berumur 7-8 tahun (Popowati et al, 1997). Selanjutnya dijelaskan bahwa, seekor induk orangutan tidak akan pernah memberikan bayinya kepada siapapun, sehingga untuk mendapatkan satu ekor anak orangutan minimal harus membunuh induknya lebih dahulu.

2.6 Ekologi

2.4.1 Habitat Orangutan

Hewan ini hidup di hutan-hutan tropik yang basah dalam batas-batas alam yang tidak dapat dilampaui seperti sungai atau gunung yang tingginya lebih dari 2.000 m. Hewan ini dapat hidup pada berbagai tipe hutan, mulai dari hutan dipterokarpus perbukitan dan dataran rendah, daerah aliran sungai, hutan rawa air tawar, rawa gambut, tanah kering di atas rawa bakau dan nipah, sampai ke hutan pegunungan. Di Borneo orangutan dapat ditemukan pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut (dpl), sedangkan kerabatnya di Sumatera dilaporkan dapat mencapai hutan pegunungan pada 1.000 m dpl (Hoeve,W.V., 1996).

(41)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

Schurmann (1982), orangutan bukan berarti tidak melakukan kontak sosial. Kemudian Galdikas (1978) menambahkan bahwa orangutan tetap melakukan interaksi dengan individu lain, terutama hubungan yang terjadi antara anak dan induk yang terlibat dalam berbagai kebersamaan dengan jenis-jenis satuan lain secara luas. Selain itu, melimpahnya sumber pangan, juga membuat orangutan Sumatera lebih sosial seperti yang terjadi di rawa Singkil (Van Schaik, 2004).

Pemenuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh orangutan tersebut tergantung pada keberadaan hutan hujan tropis, orangutan dianggap sebagai wakil terbaik dari struktur keanekaragaman hayati, karena memilki daerah jelajah dan persyaratan habitat yang luas. Sehingga apabila dijadikan fokus pengelolaan perlindungan, maka seluruh keanakaragaman hayati asli di dalam area jajahan orangutan akan ikut terlindungi (Hoeve,W.V., 1996).

Rodman (1987) menyatakan bahwa dalam populasi orangutan, dikenal tiga unit populasi yang terdiri atas jantan dewasa yang bersifat soliter, betina dewasa dengan seekor anak dan jantan pradewasa yang juga besifat soliter. Diantara ketiga unit orangutan ini kadang-kadang mereka terlihat bersama dalam suatu kumpulan sementara (temporary association) di pohon-pohon pakan (feeding group) dan dalam penjelajahan atau bergerak (travel group) serta dalam hidup berpasangan dengan seekor betina (consortship).

(42)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

Bagi orangutan, daya dukung habitat ini ditentukan oleh produktivitas tumbuhan yang menghasilkan makanan pada waktu yang tepat dan sebagai tempat beristirahat yang aman. Kekurangan makanan akan menyebabkan terjadinya persaingan, dan anggota yang posisinya lebih rendah harus mencari sumber makanan di tempat lain, atau menerima sumber-sumber makanan alternatif. Jika tidak, mereka akan mati. Jadi, jika kebutuhan dasar lainnya (air, makanan, tempat beristirahat, dan lain sebagainya) cukup tersedia, maka aktivitas hidupnya akan berlangsung dengan baik, dengan kata lain daya dukung untuk kehidupannya ditentukan oleh ketersediaan (Meijaard, 2001).

2.4.2 Kepadatan Orangutan

Van Schaik & Azwar (1991) melaporkan sensus populasi orangutan di Taman Nasional Gunung Leuser berdasarkan perhitungan sarang yang diduga berkisar 5000 -7400 ekor yang terbagi menjadi dua tempat dan dipisahkan oleh sungai Alas. Populasi di daerah Barat sungai berkisar antara 3000 – 4500 ekor, dan di daerah Timur sungai berkisar antara 2000 – 2800 ekor.

Faust et al., (1994), disitasi oleh Syukur (2000) menyatakan bahwa kepadatan orangutan dipengaruhi oleh ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl), tipe hutan dan tingkat gangguan yang ada. Kepadatan orangutan diketahui terus menurun dengan meningkatnya suatu tempat di atas permukaan laut (dpl). Mulai kepadatan 5 individu/km2 pada hutan rawa (± 30 m dpl), sekitar 2,5 individu/km2 pada ketinggian < 500 m dpl, kurang lebih 1,8 individu/km2 pada ketinggian 500-1000 m dpl, hingga akhirnya tidak didapatkan sama sekali pada ketinggian >1800 m dpl.

(43)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

ini, orangutan sumatera bisa punah dalam kurun waktu 10 tahun apabila tidak ada upaya konservasi. Penyebab utama kepunahan orangutan adalah karena kehilangan tempat hidup (rusaknya habitat) akibat penebangan hutan, pengembangan lahan untuk pertanian, perkebunan, pertambangan maupun permukiman. Di sisi lain, perburuan, perdagangan satwa masih tetap berlangsung, menambah tingginya angka penurunan populasi orangutan (Wich et al, 2008).

Metode "line transect" hingga saat ini masih merupakan metode yang cukup akurat untuk menghitung kepadatan populasi orangutan. Metode ini terus dikembangkan, hingga sekarang sangat memungkinkan untuk menghitung kepadatan populasi orangutan pada suatu area yang didasarkan atas penghitungan sarang (Van Schaik et al.,1994).

Van Schaik et al. ,(1995) melaporkan bahwa kepadatan populasi orangutan dapat diperkirakan dengan melakukan sensus sarang. Di Suaq Balimbing ditemukan 33,5 sarang/km2, di Ketambe Taman Nasional Gunung Leuser jumlah sarang adalah 24,4 sarang/km2 atau kepadatan orangutan pada kawasan tersebut adalah 5 individu/km2, sedangkan di Tanjung Puting kepadatan orangutan adalah 4 individu/km2 (Galdikas, 1984).

2.4.3 Perilaku Bersarang pada Orangutan

(44)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

orangutan yang berlangsung sejak meninggalkan sarang tidur pada pagi hari dan berakhir hingga masuk kembali kedalam sarang untuk bermalam (Van Schaik, 2006).

Perilaku sarang orangutan dapat membuktikan bahwa orangutan menjalankan kehidupan arboreal. Mamalia arboreal, terutama yang besar dan suka menyendiri, mempunyai musuh alamiah yang jumlahnya jauh lebih sedikit, baik yang berupa predator ataupun yang berupa parasit dengan mengambil asumsi, tentunya, bahwa mereka benar-benar merasa aman dan nyaman ditengah-tengah lingkungan pepohonan yang tinggi, dan menjaga diri baik-baik agar jangan sampai jatuh (Flaegle, 1999; Van Schaik, 2006).

Berdasarkan penelitian Asfi (2001), ada beberapa posisi sarang orangutan (Lampiran E), antara lain berada di puncak pohon. Menurut Sugardjito (1983), posisi ini mempunyai keuntungan bagi orangutan, yaitu tidak terhalangnya pandangan dan jangkauan yang dapat mencakup sebagian besar dari penjuru hutan. Selain itu, posisi ini juga memudahkan orangutan dalam melakukan pergerakan sewaktu keluar dari sarang dan dari segi keamanan, posisi ini menghindarkan orangutan dari ancaman predator.

Semua kera besar termasuk orangutan membangun sarang yang biasa dipergunakannya baik untuk beristirahat pada siang maupun tidur pada malam hari (Van Schaik et al.,1994). Sarang bagi orangutan juga dapat berfungsi sebagai tempat bermain bagi orang orangutan muda, tempat berlindung, melahirkan, melakukan kopulasi, dan aktivitas makan (Rijksen, 1978).

(45)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

sarang orangutan dapat bervariasi dari suatu bidang datar kecil yang sederhana sampai sebuah sarang yang besar dan kokoh, yang bahkan mampu untuk menahan seorang manusia dewasa dan sangat nyaman.

Orangutan sering berpindah-pindah, maka tiap harinya pula ia membuat sarang-sarang baru (Wardaningsih, 1992). Tiap malam orangutan dewasa dan pradewasa umumnya tidur sendiri dalam sarang yang terbuat dari dahan dan daun-daun yang ditempatkan pada ketiak cabang pohon. Kebanyakan disesuaikan dengan strategi dan pohon makanan terakhir yang dikunjunginya. Sarang dibuat dari ranting yang daunnya masih segar, biasanya pada ketinggian 15 meter sampai 20 meter dari permukaan tanah (Walkers, 1983).

Menurut Sugardjito (1983), di Ketambe Taman Nasional Gunung Leuser orangutan jantan dewasa dan betina dewasa tanpa anak memiliki perbedaan dengan orangutan remaja (adolescent) dan betina dewasa dengan anak dalam hal pemilihan tempat bersarang. Orangutan jantan dewasa dan betina dewasa tanpa anak lebih sering memilih membuat sarang pada pohon makanan yang terakhir dikunjunginya, sedangkan orangutan remaja dan betina dewasa dengan anak lebih banyak membuat sarang pada pohon yang dianggap nyaman bagi dirinya. Hal ini merupakan strategi hewan untuk menghindari dari predator atau hewan-hewan lain yang memakan buah yang sama pada malam hari yang dapat mengganggu tidur orangutan.

(46)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

Menurut Van Schaik et al.,(1994), hancur dan hilangnya sarang orangutan ditentukan oleh faktor ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl), tipe hutan, begitu juga faktor-faktor lain yang mempengaruhinya seperti temperatur, kelembaban, dan curah hujan.

Menurut Schaik & Idrusman (1996), dalam suatu pohon ada beberapa posisi sarang yang biasa digunakan oleh orangutan yaitu posisi sarang yang terletak di dekat batang utama, posisi sarang yang terletak di tengah atau pinggir cabang utama, dan posisi sarang yang terletak di puncak pohon atau di antara dua tepi pohon atau lebih yang saling bersinggungan yang dijalin menjadi satu (Gambar 2.2.). Menurut Mac Kinnon (1974), orangutan lebih sering membangun sarangnya di dekat batang utama dari pada di posisi lain. Namun, pemilihan posisi sarang ini sepertinya juga ditentukan oleh banyak faktor, seperti keuntungan dari tidak terhalangnya pandangan mata yang dapat menjangkau sebagian besar dari penjuru hutan.

Gambar 2.2. Posisi Sarang orangutan, a)posisi 1, b)posisi 2, c) posisi 3, d) posisi 4

(47)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1 Deskripsi Area 3.1.1 Letak dan Luas

Secara geografis lokasi penelitian terletak pada 30 30’ - 30 45’ Lintang Utara dan 980 00 – 980 15’ Bujur Timur. Sedangkan secara administratif, lokasi penelitian termasuk dalam kawasan Desa Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Kawasan tersebut berjarak 90 km dari Medan, Sumatera Utara.

(48)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

mempunyai topografi berbukit-bukit hingga curam, sedangkan topografi datar dapat dikatakan tidak ada. Jenis tanah yang ditemukan pada kawasan hutan terdiri dari jenis tanah Kompleks Podsolik Merah Kuning yaitu batuan alluvial, batuan endapan, bahan endapan dan batuan beku, Latosol, Litosol dan Kompleks Podsolit Coklat.

3.1.2 Potensi Kawasan 3.1.2.1 Flora

Hutan di sekitar Stasiun pengamatan Orangutan Sumatera, di Bukit Lawang termasuk kawasan hutan tropis basah. Berdasarkan analisis vegetasi yang dilakukan dengan metode kuadran diketahui bahwa tingkatan sapihan didominasi oleh jenis asam kandis (Garcinia sp), semantuk (Shorea sp), baja berinau (Rhodamnia sp), kayu merah (Eugenia sp) dengan masing-masing 20,41%; 19,36%; 12,60%; 12,11%; 11,79%. Sedangkan untuk tingkatan tiang didominasi oleh jenis: kayu merah (Eugenia sp), kayu minyak (Dipterocarpus sp), kayu kuning (Eugenia sp), kandis (Garcinia sp) dengan masing-masing 14,59%; 13,25%; 11,83%; 10,05%. Untuk tingkatan pohon didomonasi oleh jenis: damar laut (Shorea materalis), meranti bakau (Shorea macroptera) dan durian hutan (Durio sp) dengan masing-masing 30,26%; 20,15% dan 16,25%.

3.1.2.2 Fauna

(49)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

fascicularis), jelarang (Ratufa bicolor), beruang madu (Helarctos malayanus), burung rangkong

(Buceros bicolor) dan beberapa jenis ular.

3.1.2.3 Wisata

Kawasan hutan disekitar stasiun rehabilitasi Bahorok memiliki daya tarik wisata antara

lain :

f. Sungai Bahorok

g. Hutan Lindung Tropis

h. Stasiun pengamatan & pemberian makan (feeding) Orangutan

i. Gua-gua Alam

j. Perkebunan Coklat, Karet, Sawit dan air terjun

3.2 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan selama satu bulan yang dimulai bulan Agustus sampai September 2009, di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Lokasi tersebut merupakan bekas Stasiun Rehabilitasi Orangutan yang sudah ditutup sejak tahun 1995 (SK Mentri Kehutanan 280/ kpts II/ 1995).

3.3 Alat dan Bahan

(50)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

ukuran 10 kg, Teropong binokuler, Global Positioning System (GPS), Kompas, Counter, tali plastik berwarna.

3.5Metoda Penelitian

Dalam penelitian ini, metoda yang digunakan dalam pengumpulan data mengenai kepadatan orangutan adalah metode line transect yang didasarkan atas sensus sarang secara random sampling, dengan jumlah transek sebanyak 5 transek. metode ini sangat efektif digunakan untuk estimasi kepadatan populasi orangutan yang telah dilakukan oleh Van Schaik et al., pada tahun 1994.

3.5 Prosedur Kerja

Mula-mula dilakukan pembuatan jalur (trail) sepanjang 1 km sampai 2 km dengan lebar 25 m pada masing-masing sisi kanan dan kiri trail pada daerah yang telah ditentukan. Lebar trail diterapkan atas dasar keyakinan bahwa jarak pandang mata masih dapat menjangkau sasaran (target) dengan baik untuk mendeteksi keberadaan sebuah sarang orangutan. Pengukuran terhadap lebar jalur (jarak sarang dari trail) tidak diperlukan apabila sarang diyakini masih berada dalam jarak/lebar yang ditetapkan yaitu ≤ 25 m (misalnya hanya beberapa meter dari tepi trail).

(51)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

orangutan ditemukan, catat jarak antara lokasi sarang dengan pengamat, dalam hal ini penghitungan sarang berdasarkan kelas sarang I, II, III agar tidak terjadi bias dalam penghitungan. Untuk mencegah penghitungan sarang berulang, maka ditentukan letak sarang dengan kategori sebagai berikut :

g. Meter di rintis (jarak tertentu yang memungkinkan sarang dapat diamati) h. Derajat arah sarang

i. jarak sarang dari rintis (jarak sarang dari titik pengamat) j. kelas sarang dengan kategori sebagai berikut:

- kelas 1 = sarang baru yang berumur kurang dari 15 hari - kelas 2 = sarang yang berumur sekitar 2 bulan

- kelas 3 = sarang yang berumur sekitar 4 bulan k. ketinggian sarang

l. posisi sarang dengan kategori sebagai berikut:

- Posisi I : posisi sarang yang terletak dekat batang utama

- Posisi II : sarang berada di pertengahan atau di pinggir percabangan tanpa menggunakan pohon atau percabangan dari pohon lainnya.

- Posisi III : posisi sarang terdapat di puncak pohon

- Posisi IV : posisi sarang yang terletak diantara dua pohon yang berbeda

Menurut IUCN (2007) sarang-sarang tersebut dibagi menjadi 5 kelas berdasarkan kondisi dan umur sarang tersebut dibuat, berikut klasifikasinya :

f. Sarang Kelas Satu merupakan sarang paling baru dengan daunnya masih hijau semua dan umurnya baru seminggu

g. Sarang Kelas Dua, daunnya sebagian hijau dan sebagian sudah kecoklatan h. Sarang Kelas Tiga semua daunnya sudah coklat

i. Sarang Kelas Empat alas sarangnya sudah berlubang dan bentuknya kurang utuh

(52)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

Selanjutnya pohon yang ditemukan sarang orangutan, dicatat jenisnya jika memungkinkan. Pohon yang tidak dapat diidentifikasi langsung, diambil bagian daun serta alat generatifnya seperti bunga dan buah untuk diidentifikasi di laboratorium.

3.7Analisis Data

Untuk menghitung kepadatan orangutan di Bukit Lawang, digunakan rumus yang diberikan oleh Van Schaik et al., (1994), yang khusus dimodifikasi untuk menghitung kepadatan orangutan dalam suatu areal berdasarkan perhitungan sarang. Rumus tersebut adalah :

N D = (L x 2w x p.r.t)

di mana: D = kepadatan populasi orang utan (individu/km²) L = panjang jalur/transect (km)

W = rata-rata jarak antara sarang dengan transect (m) P = proporsi jumlah sarang yang dibangun dalam populasi r = tingkat produksi sarang

t = ketahanan sarang

N = jumlah sarang yang tercatat /ditemukan di sepanjang jalur transect

(53)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

rata-rata jarak antara sarang dengan transek (w) yang masih dapat dilihat pada kanopi yang jarang adalah 32 m Dengan perbedaan kerapatan pohon dalam transek (80-330 pohon berdiameter >10 cm pada areal 0,4 ha dalam transek), lebar jalur efektif yang digunakan adalah 22,6 m seperti yang digunakan oleh Van Schaik et al. (1995).

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jumlah Sarang Orangutan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh jumlah sarang orangutan di Kawasan Bukit Lawang yang cukup bervariasi, baik antara transek maupun pada masing-masing jarak di dalam transek, seperti terlihat pada Tabel berikut:

(54)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

D k 225 sarang, dimana jumlah sarang terbanyak ditemukan pada Transek IV (57 sarang) dan Transek III (54 sarang) dengan jarak Transek berkisar antara 0-1100 m. Banyaknya jumlah sarang ditemukan pada Transek IV dan III ini disebabkan karena kondisi vegetasi pohonnya lebih baik, dan terdapat pohon pakan yang lebih banyak dan bervariasi, serta dekat dengan sumber air. Sedangkan jumlah sarang yang paling sedikit ditemukan adalah pada Transek I (27 sarang), keadaan ini disebabkan karena pada areal ini jenis pohon pakan lebih sedikit variasinya dan agak jauh dari sumber air. Menurut Meijaard (2001), orangutan dalam melakukan aktifitas hidupnya, termasuk membuat sarang lebih menyukai daerah yang memiliki kondisi vegetasi pohon yang lebih baik, dan terdapat pohon pakan yang lebih banyak dan bervariasi, serta aman dari berbagai gangguan.

Berdasarkan jarak dalam transek, jumlah sarang yang banyak ditemukan adalah pada jarak 200-300 m, 300-400 m, masing-masing sebanyak 38 sarang, jarak transek 400-500 m sebanyak 30 sarang, jarak transek 100-200 m sebanyak 26 sarang dan jarak transek 800-900 m sebanyak 21 sarang, hal ini disebabkan karena pada daerah ini cendrung lebih aman dari gangguan/aktivitas manusia dan tersedianya pohon pakan yang cukup bervariasi, serta cukup dekat dengan feeding platform. Sedangkan jumlah sarang yang paling sedikit, bahkan tidak ditemukan sama sekali didapatkan pada jarak dari transek 700-800 m, dan 1000-1900 m,

(55)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

keadaan ini disebabkan karena sebagian daerah ini terjal, dan terbuka, serta sebagian besar kurang bervariasinya pohon pakan di daerah ini, disamping itu orangutan pada daerah ini merupakan orangutan semi liar. Van Schaik et al (1994) menyatakan bahwa orangutan dalam membuat sarang, terutama orangutan semi liar kurang menyukai daerah yang terjal dan terbuka dan kurangnya didapatkan pohon pakan yang tinggi dan kuat, seperti dari jenis Dipterocarpaceae, karena menimbulkan ketidaknyamanan orangutan untuk istirahat.

4.2 Kepadatan Populasi Orangutan

(56)

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

Tabel 4.2 Nilai Kepadatan Populasi Orangutan (ind/km2 atau ind/ha) pada Masing-Masing Transek Penelitian

Transek Jumlah

Sarang/transek

Kepadatan Populasi (Ind/km2 atau ind/ha) Individu/km2 Individu/ha

Dari Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa kepadatan populasi orangutan di Kawasan Bukit Lawang adalah 0,0349 individu/km2 atau 3,484 individu/ha dengan rata-rata jumlah sarang adalah 45 sarang/transek. Dimana untuk kepadatan populasi tertinggi didapatkan pada transek III yaitu 0,0599 individu/km2 atau 5,99 individu/ha dengan jumlah sarang sebanyak 54 sarang. Hal ini disebabkan karena kawasan ini sangat mendukung bagi orangutan dalam memperoleh makanan karena jaraknya tidak jauh dari feeding platform (tempat pemberian makan) dan vegetasi hutan yang beragam oleh jenis pohon-pohon pakan, serta adanya sumber air karena dekat dengan sungai. Sedangkan kepadatan populasi terendah didapatkan pada transek I yaitu 0,0139 individu/km2 atau 1,39 individu/ha dengan jumlah sarang 27 sarang/transek, keadaan ini menunjukkan tidak terlalu baik bagi kelangsungan hidup orangutan, karena lokasinya cukup jauh untuk memperoleh makanan dari feeding platform (tempat pemberian makanan) dan vegetasi hutan yang tidak beragam sehingga hanya sedikit terdapat pohon-pohon pakan.

Gambar

Tabel
Gambar
Gambar 2.1. Foto orangutan dari jenis a) Pongo abelii (sumber: foto penelitian lapangan, 2009), b) Pongo pygmeus (sumber: sumatera  indonesia.com), c) Pongo abelii jantan dewasa (sumber: orangutanfoundation.wildlife)
Gambar 2.2. Posisi  Sarang orangutan, a)posisi 1, b)posisi 2, c) posisi 3, d) posisi 4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Berita Acara Hasil Pelelangan (BAHP) Nomor:BA-127/ULPD/WI.2/2016 Tanggal 16 Juli 2016 dan Penetapan Pemenang oleh Kelompok Kerja (Pokja) ULPD Kementerian Keuangan

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan Bidang Jasa Periklanan dengan terlebih dahulu melakukan registrasi pada Layanan

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan Jasa Periklanan dan Rumah Produksi dengan terlebih dahulu melakukan registrasi pada

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur pemilihan kepala

Panitia ULP/ Panitia Pengadaan pada Satker Direktorat Advokasi dan KIE akan melaksanakan Pelelangan Sederhana dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan

Panitia ULP/ Panitia Pengadaan pada Satker Direktorat Advokasi dan KIE akan melaksanakan Pelelangan Umum dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan

Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa ketrampilan menyimak cerita pendek perlu ditingkatkan lagi, karena pada hasil yang dicapai pada pembelajaran yang telah

Windmill Water Flow Top benefited from the force of gravity to the ater entering the turbine blade, so that power is generated not only from the kinetic energy comes