• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Reproduksi Orangutan

2.4.1 Habitat Orangutan

Hewan ini hidup di hutan-hutan tropik yang basah dalam batas-batas alam yang tidak dapat dilampaui seperti sungai atau gunung yang tingginya lebih dari 2.000 m. Hewan ini dapat hidup pada berbagai tipe hutan, mulai dari hutan dipterokarpus perbukitan dan dataran rendah, daerah aliran sungai, hutan rawa air tawar, rawa gambut, tanah kering di atas rawa bakau dan nipah, sampai ke hutan pegunungan. Di Borneo orangutan dapat ditemukan pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut (dpl), sedangkan kerabatnya di Sumatera dilaporkan dapat mencapai hutan pegunungan pada 1.000 m dpl (Hoeve,W.V., 1996).

Kehidupan soliter pada orangutan adalah sesuatu yang khas dan berbeda dari jenis kera besar lainnya dari suku Pongidae (Napier & Napier, 1976). Walaupun demikian menurut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

Schurmann (1982), orangutan bukan berarti tidak melakukan kontak sosial. Kemudian Galdikas (1978) menambahkan bahwa orangutan tetap melakukan interaksi dengan individu lain, terutama hubungan yang terjadi antara anak dan induk yang terlibat dalam berbagai kebersamaan dengan jenis-jenis satuan lain secara luas. Selain itu, melimpahnya sumber pangan, juga membuat orangutan Sumatera lebih sosial seperti yang terjadi di rawa Singkil (Van Schaik, 2004).

Pemenuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh orangutan tersebut tergantung pada keberadaan hutan hujan tropis, orangutan dianggap sebagai wakil terbaik dari struktur keanekaragaman hayati, karena memilki daerah jelajah dan persyaratan habitat yang luas. Sehingga apabila dijadikan fokus pengelolaan perlindungan, maka seluruh keanakaragaman hayati asli di dalam area jajahan orangutan akan ikut terlindungi (Hoeve,W.V., 1996).

Rodman (1987) menyatakan bahwa dalam populasi orangutan, dikenal tiga unit populasi yang terdiri atas jantan dewasa yang bersifat soliter, betina dewasa dengan seekor anak dan jantan pradewasa yang juga besifat soliter. Diantara ketiga unit orangutan ini kadang-kadang mereka terlihat bersama dalam suatu kumpulan sementara (temporary association) di pohon- pohon pakan (feeding group) dan dalam penjelajahan atau bergerak (travel group) serta dalam hidup berpasangan dengan seekor betina (consortship).

Orangutan betina memerlukan waktu kurang lebih 6 tahun untuk membawa dan membesarkan anaknya. Selama waktu tersebut, induk akan bertoleransi terhadap anaknya yang dinyatakan dengan bentuk perlakuan induk terhadap anak, yaitu induk akan memberikan perhatian yang lebih besar terhadap anak yang lebih muda dibandingkan terhadap anak yang lebih dewasa. Orangutan jantan dewasa lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri bila dibandingkan dengan individu betina dewasa. Diantara orangutan jantan dewasa terjadi persaingan untuk menjadi dominan. Predikat dominan sangat menguntungkan individu jantan dewasa. Mereka akan lebih leluasa untuk menguasai betina-betina dan sumber makanan (Asfi, 2001).

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

Bagi orangutan, daya dukung habitat ini ditentukan oleh produktivitas tumbuhan yang menghasilkan makanan pada waktu yang tepat dan sebagai tempat beristirahat yang aman. Kekurangan makanan akan menyebabkan terjadinya persaingan, dan anggota yang posisinya lebih rendah harus mencari sumber-sumber makanan di tempat lain, atau menerima sumber- sumber makanan alternatif. Jika tidak, mereka akan mati. Jadi, jika kebutuhan dasar lainnya (air, makanan, tempat beristirahat, dan lain sebagainya) cukup tersedia, maka aktivitas hidupnya akan berlangsung dengan baik, dengan kata lain daya dukung untuk kehidupannya ditentukan oleh ketersediaan (Meijaard, 2001).

2.4.2 Kepadatan Orangutan

Van Schaik & Azwar (1991) melaporkan sensus populasi orangutan di Taman Nasional Gunung Leuser berdasarkan perhitungan sarang yang diduga berkisar 5000 -7400 ekor yang terbagi menjadi dua tempat dan dipisahkan oleh sungai Alas. Populasi di daerah Barat sungai berkisar antara 3000 – 4500 ekor, dan di daerah Timur sungai berkisar antara 2000 – 2800 ekor.

Faust et al., (1994), disitasi oleh Syukur (2000) menyatakan bahwa kepadatan orangutan dipengaruhi oleh ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl), tipe hutan dan tingkat gangguan yang ada. Kepadatan orangutan diketahui terus menurun dengan meningkatnya suatu tempat di atas permukaan laut (dpl). Mulai kepadatan 5 individu/km2 pada hutan rawa (± 30 m dpl), sekitar 2,5 individu/km2 pada ketinggian < 500 m dpl, kurang lebih 1,8 individu/km2 pada ketinggian 500-1000 m dpl, hingga akhirnya tidak didapatkan sama sekali pada ketinggian >1800 m dpl.

Populasi Orangutan Sumatera saat ini diperkirakan hanya berkisar 6.624 ekor, yang tersebar di 18 blok habitat (Wich et al, 2008). Dengan penurunan jumlah populasi yang drastis

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

ini, orangutan sumatera bisa punah dalam kurun waktu 10 tahun apabila tidak ada upaya konservasi. Penyebab utama kepunahan orangutan adalah karena kehilangan tempat hidup (rusaknya habitat) akibat penebangan hutan, pengembangan lahan untuk pertanian, perkebunan, pertambangan maupun permukiman. Di sisi lain, perburuan, perdagangan satwa masih tetap berlangsung, menambah tingginya angka penurunan populasi orangutan (Wich et al, 2008).

Metode "line transect" hingga saat ini masih merupakan metode yang cukup akurat untuk menghitung kepadatan populasi orangutan. Metode ini terus dikembangkan, hingga sekarang sangat memungkinkan untuk menghitung kepadatan populasi orangutan pada suatu area yang didasarkan atas penghitungan sarang (Van Schaik et al.,1994).

Van Schaik et al. ,(1995) melaporkan bahwa kepadatan populasi orangutan dapat diperkirakan dengan melakukan sensus sarang. Di Suaq Balimbing ditemukan 33,5 sarang/km2, di Ketambe Taman Nasional Gunung Leuser jumlah sarang adalah 24,4 sarang/km2 atau kepadatan orangutan pada kawasan tersebut adalah 5 individu/km2, sedangkan di Tanjung Puting kepadatan orangutan adalah 4 individu/km2 (Galdikas, 1984).

2.4.3 Perilaku Bersarang pada Orangutan

Perilaku membuat sarang merupakan salah satu perilaku harian orangutan. Sarang yang dimaksud adalah tempat peristirahatan orangutan setelah melakukan aktivitas hariannya. Tidak seperti para monyet dan siamang, kera-kera besar tidak memiliki potongan-potongan belulang dibokongnya yang memudahkan mereka untuk duduk. Dalam hal seperti itu, berbaring di atas tempat tidur pasti akan terasa jauh lebih menyenangkan. Aktivitas harian ialah seluruh aktivitas

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

orangutan yang berlangsung sejak meninggalkan sarang tidur pada pagi hari dan berakhir hingga masuk kembali kedalam sarang untuk bermalam (Van Schaik, 2006).

Perilaku sarang orangutan dapat membuktikan bahwa orangutan menjalankan kehidupan arboreal. Mamalia arboreal, terutama yang besar dan suka menyendiri, mempunyai musuh alamiah yang jumlahnya jauh lebih sedikit, baik yang berupa predator ataupun yang berupa parasit dengan mengambil asumsi, tentunya, bahwa mereka benar-benar merasa aman dan nyaman ditengah-tengah lingkungan pepohonan yang tinggi, dan menjaga diri baik-baik agar jangan sampai jatuh (Flaegle, 1999; Van Schaik, 2006).

Berdasarkan penelitian Asfi (2001), ada beberapa posisi sarang orangutan (Lampiran E), antara lain berada di puncak pohon. Menurut Sugardjito (1983), posisi ini mempunyai keuntungan bagi orangutan, yaitu tidak terhalangnya pandangan dan jangkauan yang dapat mencakup sebagian besar dari penjuru hutan. Selain itu, posisi ini juga memudahkan orangutan dalam melakukan pergerakan sewaktu keluar dari sarang dan dari segi keamanan, posisi ini menghindarkan orangutan dari ancaman predator.

Semua kera besar termasuk orangutan membangun sarang yang biasa dipergunakannya baik untuk beristirahat pada siang maupun tidur pada malam hari (Van Schaik et al.,1994). Sarang bagi orangutan juga dapat berfungsi sebagai tempat bermain bagi orang orangutan muda, tempat berlindung, melahirkan, melakukan kopulasi, dan aktivitas makan (Rijksen, 1978).

Orangutan akan membangun sarang pada posisi yang sesuai dalam suatu pohon. Orangutan menggunakan batang-batang pohon kecil di sekitarnya, memilin, melengkungkan atau melipatnya ke bagian cabang yang lentur. Kemudian merapatkan sarang dengan mendorong dahan-dahan tersebut kebawah untuk membentuk suatu bidang datar. Pembuatan sebuah sarang biasanya membutuhkan waktu 2-3 menit, namun dapat dilanjutkan dengan perbaikan-perbaikan ringan (Mac Kinnon, 1974). Selanjutnya Rijksen (1978) menyatakan bahwa konstruksi sebuah

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

sarang orangutan dapat bervariasi dari suatu bidang datar kecil yang sederhana sampai sebuah sarang yang besar dan kokoh, yang bahkan mampu untuk menahan seorang manusia dewasa dan sangat nyaman.

Orangutan sering berpindah-pindah, maka tiap harinya pula ia membuat sarang-sarang baru (Wardaningsih, 1992). Tiap malam orangutan dewasa dan pradewasa umumnya tidur sendiri dalam sarang yang terbuat dari dahan dan daun-daun yang ditempatkan pada ketiak cabang pohon. Kebanyakan disesuaikan dengan strategi dan pohon makanan terakhir yang dikunjunginya. Sarang dibuat dari ranting yang daunnya masih segar, biasanya pada ketinggian 15 meter sampai 20 meter dari permukaan tanah (Walkers, 1983).

Menurut Sugardjito (1983), di Ketambe Taman Nasional Gunung Leuser orangutan jantan dewasa dan betina dewasa tanpa anak memiliki perbedaan dengan orangutan remaja (adolescent) dan betina dewasa dengan anak dalam hal pemilihan tempat bersarang. Orangutan jantan dewasa dan betina dewasa tanpa anak lebih sering memilih membuat sarang pada pohon makanan yang terakhir dikunjunginya, sedangkan orangutan remaja dan betina dewasa dengan anak lebih banyak membuat sarang pada pohon yang dianggap nyaman bagi dirinya. Hal ini merupakan strategi hewan untuk menghindari dari predator atau hewan-hewan lain yang memakan buah yang sama pada malam hari yang dapat mengganggu tidur orangutan.

Sarang orangutan tidak permanen sifatnya (Sugardjito, 1983). Lebih lanjut Rijksen (1978), menyatakan bahwa orangutan seringkali membuat sarang baru di lokasi yang berbeda atau dengan memperbaiki sebuah sarang lama. Sarang-sarang tersebut dapat digunakan selama dua malam atau lebih, sedangkan ketahanan sarang orangutan dapat bervariasi dari dua minggu sampai lebih dari satu tahun.

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

Menurut Van Schaik et al.,(1994), hancur dan hilangnya sarang orangutan ditentukan oleh faktor ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl), tipe hutan, begitu juga faktor-faktor lain yang mempengaruhinya seperti temperatur, kelembaban, dan curah hujan.

Menurut Schaik & Idrusman (1996), dalam suatu pohon ada beberapa posisi sarang yang biasa digunakan oleh orangutan yaitu posisi sarang yang terletak di dekat batang utama, posisi sarang yang terletak di tengah atau pinggir cabang utama, dan posisi sarang yang terletak di puncak pohon atau di antara dua tepi pohon atau lebih yang saling bersinggungan yang dijalin menjadi satu (Gambar 2.2.). Menurut Mac Kinnon (1974), orangutan lebih sering membangun sarangnya di dekat batang utama dari pada di posisi lain. Namun, pemilihan posisi sarang ini sepertinya juga ditentukan oleh banyak faktor, seperti keuntungan dari tidak terhalangnya pandangan mata yang dapat menjangkau sebagian besar dari penjuru hutan.

Gambar 2.2. Posisi Sarang orangutan, a)posisi 1, b)posisi 2, c) posisi 3, d) posisi 4

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1 Deskripsi Area 3.1.1 Letak dan Luas

Secara geografis lokasi penelitian terletak pada 30 30’ - 30 45’ Lintang Utara dan 980 00 – 980 15’ Bujur Timur. Sedangkan secara administratif, lokasi penelitian termasuk dalam kawasan Desa Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Kawasan tersebut berjarak 90 km dari Medan, Sumatera Utara.

Kawasan penelitian ini memiliki luas 200 ha dari luas wilayah Kawasan Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat Sumatera Utara yang memiliki luas sekitar 75.175 ha. Kawasan hutan di sekitar lokasi penelitian berada pada ketinggian 100-400 m dpl,

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

mempunyai topografi berbukit-bukit hingga curam, sedangkan topografi datar dapat dikatakan tidak ada. Jenis tanah yang ditemukan pada kawasan hutan terdiri dari jenis tanah Kompleks Podsolik Merah Kuning yaitu batuan alluvial, batuan endapan, bahan endapan dan batuan beku, Latosol, Litosol dan Kompleks Podsolit Coklat.

3.1.2 Potensi Kawasan 3.1.2.1 Flora

Hutan di sekitar Stasiun pengamatan Orangutan Sumatera, di Bukit Lawang termasuk kawasan hutan tropis basah. Berdasarkan analisis vegetasi yang dilakukan dengan metode kuadran diketahui bahwa tingkatan sapihan didominasi oleh jenis asam kandis (Garcinia sp), semantuk (Shorea sp), baja berinau (Rhodamnia sp), kayu merah (Eugenia sp) dengan masing- masing 20,41%; 19,36%; 12,60%; 12,11%; 11,79%. Sedangkan untuk tingkatan tiang didominasi oleh jenis: kayu merah (Eugenia sp), kayu minyak (Dipterocarpus sp), kayu kuning (Eugenia sp), kandis (Garcinia sp) dengan masing-masing 14,59%; 13,25%; 11,83%; 10,05%. Untuk tingkatan pohon didomonasi oleh jenis: damar laut (Shorea materalis), meranti bakau (Shorea macroptera) dan durian hutan (Durio sp) dengan masing-masing 30,26%; 20,15% dan 16,25%.

3.1.2.2 Fauna

Kawasan hutan di sekitar Stasiun pengamatan Orangutan Sumatera di Bukit Lawang juga merupakan habitat beberapa jenis hewan seperti: Orangutan (Pongo abelii), siamang (Hylobates sindactylus), kedih (Presbytis thomasii), owa (Hylobates lar), monyet ekor panjang (Macaca

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

fascicularis), jelarang (Ratufa bicolor), beruang madu (Helarctos malayanus), burung rangkong (Buceros bicolor) dan beberapa jenis ular.

3.1.2.3 Wisata

Kawasan hutan disekitar stasiun rehabilitasi Bahorok memiliki daya tarik wisata antara lain :

f. Sungai Bahorok

g. Hutan Lindung Tropis

h. Stasiun pengamatan & pemberian makan (feeding) Orangutan

i. Gua-gua Alam

j. Perkebunan Coklat, Karet, Sawit dan air terjun

Dokumen terkait