• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Derajat Pemijahan

Berdasarkan tingkat keberhasilan ikan lele Sangkuriang memijah, maka dalam penelitian ini dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok perlakuan yang tidak menyebabkan ikan lele Sangkuriang memijah, sebagian memijah dan perlakuan yang berhasil semua ikan lele Sangkuriang memijah (Lampiran 1). Penyuntikan NaCl fisiologis 0,9% (kontrol) setiap periode penelitian tidak merespon ikan lele Sangkuriang memijah. Selanjutnya hasil yang sama ditunjukkan pada hasil penelitian September 2010 yaitu perlakuan dosis 750 mg otak patin/kg bobot induk. Kemudian dosis 100 mg/kg, 150 mg/kg dan 200 mg/kg pada penelitian Oktober serta dosis 100 mg/kg (Januari 2011).

Perlakuan yang menunjukkan keberhasilan ovulasi atau memijah sebagian terjadi pada dosis 500 mg/kg yaitu 66% (September 2010) dan hasil penelitian pada bulan Januari 2011 yaitu dosis 150 mg/kg (33%), 200 mg/kg, 250 mg/kg dan 300 mg/kg yaitu masing-masing 66%. Untuk perlakuan dengan derajat pemijahan 100% ditunjukkan pada perlakuan dosis 250 mg/kg dan ovaprim (September 2010) serta hipofisa ikan patin (Januari 2011). Dengan demikian maka keberhasilan ovulasi sangat ditentukan oleh dosis otak ikan patin. Dosis rendah atau dosis yang tinggi (750 mg/kg) tidak dapat merangsang ikan lele Sangkuriang memijah.

Fekunditas Pemijahan

Berdasarkan hasil pengamatan fekunditas pemijahan ikan lele Sangkuriang, maka dalam penelitian ini dibagi kedalam dua kelompok. Pertama perlakuan yang menghasilkan telur yaitu perlakuan dosis otak ikan patin 150 mg/kg, 200 mg/kg, 250 mg/kg, 300 mg, 500 mg/kg dan ovaprim 0,3 ml/kg dan kedua perlakuan yang tidak menghasilkan telur yaitu pada penyuntikan dosis otak ikan patin 100 mg/kg, 750 mg/kg dan penyuntikan NaCl fisiologis 0,9% (kontrol negatif).

Rataan prosentase telur yang dihasilkan dalam penelitian ini jumlahnya berbeda untuk setiap perlakuan. Penyuntikan ekstrak otak ikan patin dengan dosis 500 mg/kg induk ikan menghasilkan telur berkisar antara 8,13 – 8,75 atau rata- rata 8,44 ± 0,44% dari bobot induk ikan, sedangkan perlakuan penyuntikan ekstrak otak ikan patin dengan dosis 250 mg/kg menghasilkan telur berkisar antara 10 – 11,56 atau rata-rata 10,73 ± 0,77% dari bobot induk dan perlakuan penyuntikan ovaprim berkisar antara 10 – 11,25 atau rata-rata 10,64 ± 0,67%. Pada penelitian selanjutnya nilai fekunditas relatif dosis 200 mg/kg, 250 mg/kg dan 300 mg/kg serta perlakuan kontrol (hipofisa ikan patin dan ovaprim) berkisar antara 9,17 – 12,22% (Lampiran 1).

Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan yang sangat nyata (P≤0,01) antara perlakuan penyuntikan ekstrak otak ikan patin dosis 500 mg/kg dengan perlakuan penyuntikan ekstrak otak ikan patin dengan dosis 250 mg/kg dan penyuntikan ovaprim 0,3 ml/kg. Sedangkan antara perlakuan dosis otak ikan patin 250 mg/kg dan pemberian ovaprim 0,3 ml/kg tidak berbeda nyata (Gambar 8 dan Lampiran 3). Kemudian pada penelitian berikutnya menunjukkan bahwa dosis 250 mg/kg tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan dosis 200 mg/kg, 300 mg/kg, hipofisa ikan patin dan ovaprim (Lampiran 8). Ini menunjukkan bahwa dosis 200 mg/kg merupakan dosis terendah otak ikan patin yang memberikan nilai fekunditas pemijahan ikan lele Sangkuriang tertinggi yaitu 11,38 ± 0,87%.

Gambar 8. Fekunditas pemijahan ikan lele Sangkuriang yang disuntik otak ikan patin dengan dosis 250 mg/kg, 500 mg/kg induk ikan

dan ovaprim 0,3 ml/kg induk ikan. a

b

Derajat Pembuahan

Hasil pengamatan derajat pembuahan telur ikan lele Sangkuriang pada September 2010 dan Januari 2011 menunjukkan perbedaan hasil. Secara statistik, hasil penelitian pada September 2010 terjadi perbedaan yang sangat nyata terhadap derajat pembuahan dari setiap perlakuan (P<0,01). Penyuntikan ekstrak otak ikan patin dengan dosis 250 mg/kg memiliki rata-rata derajat pembuahan lebih tinggi yaitu 83,3±2,95% dari pada perlakuan kontrol positif (ovaprim) yaitu 63,93±0,25% dan rata-rata derajat pembuahan terendah ada pada perlakuan penyuntikan ekstrak otak ikan patin dengan dosis 500 mg/kg yaitu 43,34 ± 3,53% (Gambar 9; Lampiran 4).

Gambar 9. Derajat pembuahan telur ikan lele Sangkuriang yang disuntik otak ikan patin dengan dosis 250 mg/kg, 500 mg/kg induk

dan ovaprim 0,3 ml/kg induk.

Pada penelitian Januari 2011, pemberian dosis otak ikan patin sebesar 150 mg/kg induk gagal mengalami derajat pembuahan. Telur ikan lele Sangkuriang yang didapatkan berwarna putih pada jam keenam dari proses pembuahan (Gambar 10). Sedangkan untuk perlakuan lainnya tidak memberikan perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap derajat pembuahan (Tabel 7). Dosis otak ikan patin sebesar 200 mg/kg induk merupakan dosis terendah dari otak ikan patin yang masih memberikan pengaruh yang tinggi terhadap derajat pembuahan ikan lele Sangkuriang yaitu 90,63 ± 9,50%.

a

c

Gambar 10. Telur ikan lele Sangkuriang yang dibuahi berwarna kekuningan (a) dan yang tidak dibuahi berwarna putih keruh (b).

Derajat Penetasan

Hasil derajat penetasan telur ikan lele Sangkuriang pada September 2010 menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) pada setiap perlakuan. Penyuntikan ekstrak otak ikan patin dengan dosis 250 mg/kg memiliki derajat penetasan telur ikan lele Sangkuriang yang tinggi yaitu 78,45 ± 2,80%, kemudian kontrol positif (ovaprim) yaitu 56,11 ± 0,12% dan derajat penetasan terendah ada pada penyuntikan ekstrak otak ikan patin dengan dosis 500 mg/kg yaitu 14,49 ± 1,01% (Gambar 11).

Gambar 11. Derajat penetasan telur ikan lele Sangkuriang yang disuntik otak ikan patin dengan dosis 250 mg/kg, 500 mg/kg induk ikan

dan ovaprim 0,3 ml/kg induk ikan.

Pengujian dosis otak ikan patin pada Januari 2011 menunjukkan bahwa dosis terendah yang menyebabkan kegagalan penetasan telur ikan lele Sangkuriang ditunjukkan pada penyuntikan dosis 150 mg/kg, sedangkan untuk penyuntikan 200 mg/kg, 250 mg/kg, hipofisa ikan patin (3:1) dan ovaprim 0,3 ml/kg memberikan nilai derajat penetasan yang tidak berbeda nyata (P>0,05) yaitu masing-masing 76,3 ± 6,14%, 76,75 ± 4,1%, 75,01 ± 10,69% dan 76,73 ± 15,56%.

a b

a

c

Waktu Laten Pemijahan

Hasil pengamatan waktu laten pemijahan ikan lele Sangkuriang pada September 2010 menunjukkan bahwa pemberian dosis otak ikan patin 500 mg/kg (16 ± 1,50 jam) memberikan pengaruh yang signifikan (P<0,05) dengan dosis otak ikan patin 250 mg/kg 11,33 ± 1,15 jam dan ovaprim 0,3 ml/kg 8 ± 0,0 jam, sedangkan antara dosis otak ikan patin 250 mg/kg dan ovaprim 0,3 ml/kg tidak berbeda nyata (P>0,05) (Gambar 12).

Gambar 12.Waktu laten pemijahan ikan lele Sangkuriang yang disuntik otak ikan patin dengan dosis 250 mg/kg, 500 mg/kg induk

dan ovaprim 0,3 ml/kg induk.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa waktu laten pemijahan ikan lele Sangkuriang pada Januari 2011 tidak berbeda nyata (P>0,05). Penyuntikan otak ikan patin sebanyak 200 mg/kg merupakan dosis terendah yang memberikan waktu laten pemijahan yang sama dengan penyuntikan ovaprim 0,3 ml/kg dan hipofisa ikan patin sebanyak 3 dosis (3:1)( Lampiran 8).

Perkembangan Diameter Telur

Berdasarkan pengukuran diameter telur hasil pemijahan ikan lele Sangkuriang menunjukkan bahwa perlakuan pemberian dosis otak ikan patin dan ovaprim terjadi perbedaan yang sangat nyata (P≤0,01) (Gambar 13 dan Lampiran 7). Pemberian ovaprim dengan dosis 0,3 ml/kg bobot induk ikan mempunyai nilai rataan diameter tertinggi yaitu 1,69 ± 0,01 mm, sedangkan untuk perlakuan dosis otak ikan patin sebanyak 250 mg/kg dan 500 mg/kg masing-

a

b

masing adalah 1,67 ± 0,006 dan 1,63 ± 0,006 mm. Tetapi bila dilihat dari distribusi ukuran diameter telur, pemberian dosis ovaprim memperlihatkan diameter yang tidak merata, hal ini terlihat dari standar deviasi yang tinggi yaitu 0,01 mm, sedangkan perlakuan dosis otak ikan patin 250 dan 500 mg/kg mempunyai nilai standar deviasi yang sama dan nilainya lebih kecil yaitu 0,06 mm. Hal ini mengindikasikan bahwa distribusi ukuran diameter relatif merata.

Gambar 13. Perkembangan diameter telur ikan lele Sangkuriang yang disuntik otak ikan patin dengan dosis 250 mg/kg, 500 mg/kg induk ikan

dan ovaprim 0,3 ml/kg induk ikan.

Selanjutnya pada penelitian Januari 2011 menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05) dari setiap perlakuan terhadap diameter telur ikan lele Sangkuriang (Lampiran 8). Dari hasil tersebut diperoleh bahwa dosis 200 mg/kg merupakan dosis terendah otak ikan patin yang masih memberikan pengaruh perkembangan diameter telur yaitu sebesar 1,51±0,09 mm. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan antara pengaruh hormon dengan waktu atau bulan penyuntikan. Perbedaan waktu penyuntikan berkaitan erat dengan siklus reproduksi atau musim pemijahan ikan lele Sangkuriang.

Berdasarkan uraian hasil penelitian tersebut diatas, data lengkap hasil penelitian disajikan pada Tabel 5 dan 6.

Tabel 5. Kinerja pemijahan ikan lele Sangkuriang yang disuntik otak ikan patin berbagai dosis pada September 2010.

a

b

Parameter

Dosis otak ikan patin (mg/kg bobot ikan lele Sangkuriang)

250 500 750 Ovaprim 0 Derajat Pemijahan (%) 100 66 - 100 - Waktu Laten Pemijahan (Jam) 11,33 ± 1,15 a 16 ± 1,50b - 8 ± 0,00a - Perkembangan Diameter Telur (mm) 1,67±0,01 a 1,63±0,006b - 1,69±0,01c - Fekunditas Pemijahan (%) 10,73±0,77 a 8,44 ± 0,44b - 10,64 ±0,65a - Derajat Pembuahan (%) 83,3±2,95a 43,34±3,53b - 63,93±0,25c - Derajat Penetasan (%) 78,45±2,80a 14,49±1,01b - 56,11±0,12c -

Keterangan: Angka pada baris yang diikuti huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).

Tabel 6. Kinerja pemijahan ikan lele Sangkuriang yang disuntik otak ikan patin pada Januari 2011

Parameter

Dosis otak ikan patin (mg/kg bobot ikan lele Sangkuriang)

100 150 200 250 300 Hipofisa Ovaprim 0 Derajat Pemijahan (%) - 33,33 66,66 66,66 66,66 100 100 - Waktu Laten pemijahan (Jam) - 8,47 ±0a 9.25 ±1,06a 10,5 ±0,58a 9,99 ±1,96a 10, ±1,48a 8.08 ±0,22a - Perkembangan diameter telur (mm) - 1,55 ±0.04a 1,51 ±0,09a 1,56 ±0,05 1,55 ±0 1,52 ±0,07 1,61 ±0,04 - Fekunditas pemijahan (%) - 11,76 11,38 ±0,87 11,85 ±3,44a 11,93 ±1,97a 9,17 ±1,44a 12,22 ±4,01a - Derajat Pembuahan (%) - - 90,63 ±9,50a 90 ±6,88a 90,23 ±10,88a 82,37 ±10,12a 84,03 ±12,11a - Derajat Penetasan (%) - - 76,3 ±6,14a 76,75 ±4,1a - 75,01 ±10,69a 76,73 ±15,56a -

Keterangan: Angka pada baris yang diikuti hurup superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).

Kualitas air media pemeliharaan selama penelitian dalam keadaan terkontrol untuk pemijahan ikan lele Sangkuriang. Kisaran suhu rata-rata pada awal penelitian dan akhir penelitian adalah 23,5-25,50C, dengan rata-rata pH 6,8 - 7,2 dan kadar amonia 0,003-0,06 mg/L serta kandungan oksigen 4,17 – 5,6 ppm. Hasil pengukuran kualitas air yang diperoleh selama penelitian menunjukkan nilai yang berbeda untuk pengamatan suhu, pH dan oksigen. Sedangkan nilai yang sama untuk pengamatan ammonia pada setiap perlakuannya, namun masih berada dalam kisaran yang optimum untuk kelangsungan hidup ikan lele pada beberapa perlakuan ( Tabel 7).

Tabel 7. Fisik-Kimia air dalam wadah pemeliharaan ikan lele Sangkuriang pada September 2010.

Dosis otak ikan patin (mg/kg bobot ikan lele

Sangkuriang) Fisik-Kimia Air DO (mg/l) Suhu (0C) pH Amonia (mg/l) 250 4,17 - 5,38 23,5-25,5 6,8 - 7,2 0,003-0,06 500 4,31 - 5,33 24-25,5 6,8 – 7,0 0,003-0,06 750 4,05 - 5,52 23,5-25,5 6,8- 7,0 0,003-0,06 Ovaprim 4,56 - 5,67 24-25,5 6,9,- 7,2 0,003-0,06 NaCl fisiologis 4,12 - 5,24 23,5-25,5 6,8-7,1 0,003-0,06 Optimal > 3b 20-28a 6,5 – 9b < 0,1b Keterangan : a Huet 1971 ; b Boyd 1982

Pada Tabel 3 terlihat bahwa suhu media pemeliharaan berada pada kisaran 23,5-25,50C untuk semua perlakuan, dan masih berada dalam kisaran optimal untuk kelangsungan hidup benih ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Huet (1971) bahwa suhu perairan yang optimum yang dapat mendukung kelangsungan hidup ikan berada pada kisaran 20 - 280C.

Nilai pH selama penelitian berkisar antara 6,8 - 7,2 , nilai tersebut masih berada dalam kisaran normal. Nilai pH yang normal bagi kehidupan ikan adalah berkisar 6,5 - 9 (Boyd 1982).

Nilai Ammonia selama penelitian berkisar antara 0,003 - 0,06 ppm, nilai ini masih cukup baik dan berada dalam kisaran normal. Konsentrasi ammonia yang masih bisa ditolelir oleh ikan adalah tidak boleh melebihi 1 ppm, karena jika konsentrasinya berlebih maka akan menghambat daya serap haemoglobin dalam

darah. Batas konsentrasi kandungan ammonia yang dapat mematikan ikan lele adalah lebih besar dari 0,1 ppm (Boyd 1982).

Pembahasan

Keberhasilan pemijahan ikan dicirikan dari tingkat pemijahan ikan. Indikator tersebut sangat penting untuk mengetahui derajat pemijahan yaitu perbandingan antara jumlah ikan yang memijah dengan jumlah ikan yang dipijahkan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian otak ikan patin berpengaruh terhadap derajat pemijahan ikan lele Sangkuriang. Penyuntikan tanpa menggunakan otak ikan patin (penyuntikan NaCl fisiologis 0,9%), dosis otak ikan patin dosis rendah (100 mg/kg induk) dan dosis otak ikan patin yang terlalu tinggi (750 mg/kg induk) tidak berhasil merangsang ikan lele Sangkuriang berovulasi atau memijah. Menurut Head et al. (1995) kemampuan ikan untuk berovulasi sangat dipengaruhi oleh pemberian atau penggunaan hormon yang efektif. Penggunaan dosis yang tepat akan membuat kontraksi otot ovari terpacu terus menerus dan bukaan saluran telur membesar sehingga telur yang dikeluarkan lebih banyak.

Ketidakberhasilan ikan lele Sangkuriang memijah yang disuntik dengan dosis otak ikan patin yang rendah diduga disebabkan kandungan GnRH yang terdapat pada otak tidak berpotensi atau tidak cukup kuat untuk merangsang kelenjar hipofisa mensekresikan hormon LH (luteinizing hormone) secara sempurna. Menurut Muhammad et al. (2003) rendahnya hormon gonadotropin yang masuk dalam darah dapat menyebabkan kemampuan hormon gonadotropin untuk mengovulasikan telur sangat terbatas. Selanjutnya Matty (1985) menjelaskan bahwa hormon LH berfungsi merangsang proses ovulasi dan pemijahan induk ikan betina, sedangkan yang menyebabkan kegagalan ovulasi pada pemberian dosis yang tinggi yaitu perlakuan 750 mg/kg adalah karena kelebihan hormon GnRH. Pada kondisi ini reseptor yang berfungsi sebagai pembawa hormon GnRH menuju organ target (kelenjar hipofisa) kelebihan muatan, sehingga hormon GnRH tidak dapat merangsang kelenjar hipofisa untuk mensekresikan hormon LH yang bertugas untuk merangsang ovulasi. Selain itu diduga kelebihan pemberian otak akan diikuti terjadinya akumulasi dopamin, sehingga kerja LH untuk merangsang ovulasi terhalangi atau terjadi pemblokiran

oleh dopamine (Zohar et al. 1989). Menurut Sahoo et al. (2004), jika hormon yang masuk kedalam tubuh terlalu banyak maka akan terjadi mekanisme umpan balik negatif yang menghambat kontraksi otot ovari dengan ditandai dengan mengecilnya saluran telur (oviduct).

Kandungan hormon GnRH dalam otak dipengaruhi oleh kondisi dari dari kematangan gonad ikan donor (ikan patin). Hal ini dibuktikan pada perlakuan dosis 250 mg/kg yang menggunakan ikan patin ukuran 500 g dan dosis 200 mg/kg yang menggunakan ikan patin betina belum matang gonad. Hasilnya menunjukkan ikan lele Sangkuriang tidak ovulasi. Sedangkan pada penyuntikan ikan lele Sangkuriang dengan menggunakan otak ikan patin yang berasal dari ikan patin yang sudah matang gonad pada dosis yang sama berhasil merangsang ikan lele Sangkuriang mijah dengan derajat pemijahan 66%. Selain itu, keberhasilan pemijahan lele Sangkuriang juga harus memperhatikan kesiapan induk baik betina maupun jantan. Selama pengamatan dalam penelitian, pemeriksaan telur induk dengan cara kanulasi harus dikerjakan sebaik mungkin supaya ikan tidak mengalami stress, karena berdampak pada kegagalan pemijahan ikan lele Sangkuriang yang disuntik dengan otak ikan patin. Berbeda dengan penyuntikan dengan hipofisa atau ovaprim, meskipun kondisi induk ikan kematangannya kurang dan agak stress tetapi induk ikan tersebut tetap mengalami ovulasi.

Ikan lele Sangkuriang yang berhasil memijah akan ditentukan oleh fekunditas pemijahan atau prosentase bobot telur yang berhasil dikeluarkan dengan bobot induk ikan sebelum memijah. Ikan lele Sangkuriang yang disuntik NaCl fisiologis 0,9% tidak berpengaruh terhadap fekunditas pemijahan, hal ini karena pada larutan tersebut tidak terdapat hormon gonadotropin, sehingga kemampuan hormon dalam mengovulasikan telur sangat terbatas. Menurut Nagahama (1987) menyatakan bahwa keberhasilan ovulasi tergantung pada proses pematangan tahap akhir oosit. Kemudian Selman dan Wallace (1989) melaporkan bahwa oosit yang sudah menjadi telur dan telah siap diovulasikan akan terjadi apabila telah mendapat rangsangan hormonal yang sesuai.

Hal ini mengindikasikan bahwa dosis otak patin sebanyak 250 mg/kg bobot induk ikan lele Sangkuriang mempunyai kemampuan yang sama dengan penyuntikan menggunakan ovaprim dalam merangsang jumlah telur yang

diovulasikan. Tingginya nilai fekunditas pemijahan yang dihasilkan oleh kedua perlakuan tersebut menunjukkan bahwa rangsangan hormonal yang diberikan sesuai. Pada penyuntikan dosis otak patin 500 mg/kg, meskipun dosisnya lebih tinggi tetapi nilai fekunditas pemijahannya lebih rendah. Hal ini dikarenakan telur yang mengalami ovulasi hanya sebagian (ovulasi parsial) yang disebabkan kurangnya rangsangan LH. Sahoo et al. (2004) menjelaskan bahwa dosis yang terlalu tinggi kemungkinan akan membuat telur yang telah matang gonad akan berlebih menerima hormon, sehingga proses ovulasi akan ditekan dan menyebabkan telur yang keluar lebih sedikit dibandingkan dengan telur yang disuntikkan dengan dosis yang tepat.

Berhasilnya ikan mengeluarkan telur tidak terlepas dari proses pematangan akhir oosit oleh maturation inducing hormone (MIH). Seperti yang telah dikemukakan oleh Goetz (1983) dan Stacey (1984) bahwa hormon gonadotropin yaitu luteinizing hormone (LH) menyebabkan telur mengalami proses pematangan dengan merangsang sintesa maturation inducing steroid (MIS) dari sel-sel theca folikel. Tingginya kadar hormon estrogen akan memacu produksi LH semakin banyak, maka saat pematangan folikel telah mencapai titik maksimalnya akan diikuti pelepasan LH yang membanjir (LH surge) yang mampu menggertak dinding folikel untuk melepaskan ovum.

Nilai fekunditas pemijahan ikan lele Sangkuriang yang disuntik otak ikan patin dan ovaprim akan mempengaruhi keberhasilan derajat pembuahan telur. Pada penyuntikan ovaprim 0,3 ml/kg induk ikan, nilai fekunditas pemijahannya tinggi yaitu antara 10,64 ± 0,65% - 12,22 ± 4,01%. Tetapi nilai derajat pembuahannya rendah yaitu 63,93 ± 0,25% - 84,03 ± 12,11% dibandingkan penyuntikan dengan otak ikan patin sebanyak 200 mg/kg yaitu 90,63 ± 9,50%. Hal ini diduga ikan lele Sangkuriang yang disuntik ovaprim menghasilkan telur yang belum siap terbawa keluar, sehingga telur tersebut tidak terbuahi dan berdampak pada derajat penetasan telur yang rendah (Billard & Marcel, 1980). Sebaliknya, tingginya derajat pembuahan telur ikan lele Sangkuriang pada penyuntikan dosis 250 mg/kg pada Oktober 2010 dan 200 mg/kg pada Januari 2011, kemungkinan disebabkan terjadinya kesesuaian antara kerja hormon GnRH dalam otak untuk merangsang hipofisa mensekresikan LH. Penggunaan dosis

yang tepat merupakan salah satu faktor keberhasilan pemijahan dalam sistem pemijahan ikan dengan rangsangan hormonal. Hormon LH yang masuk ke dalam darah atau tubuh ikan merangsang proses pematangan telur sehingga mencapai proses pematangan tahap akhir. Dengan semakin banyaknya telur yang mencapai pematangan tahap akhir, maka akan semakin banyak pula telur yang dapat dibuahi oleh sperma, sehingga mengakibatkan prosentase pembuahan telur ikan lele Sangkuriang yang dihasilkan juga meningkat. Ini dikarenakan didalam proses fertilisasi, hanya telur-telur yang telah mencapai pematangan tahap akhir atau germinal vesicle break down (GVBD) yang dapat dibuahi oleh sperma. Kemudian pada dosis penyuntikan yang lebih tinggi yaitu 500 mg/kg induk, prosentase derajat pembuahan telur lele Sangkuriang menurun. Ini dikarenakan oleh menurunnya tingkat kematangan telur yang dihasilkan, akibat terganggunya keseimbangan dan kerja hormon-hormon reproduksi di dalam tubuh induk ikan lele Sangkuriang.

Telur yang dibuahi akan menetas bila proses embriogenesis berlangsung dengan baik dan kinerja dari enzim chorionase yang dapat memecahkan lapisan chorion telur. Proses embriogenesis dipengaruhi oleh kerja hormon yang dikeluarkan oleh embrio, volume kuning telur, suhu, oksigen terlarut, pH, salinitas dan intensitas cahaya. Pada saat penetasan, kadar pH pada akuarium adalah 6,8 dan kandungan oksigen terlarut adalah 4,2 - 5,6 mg/l, sedangkan suhu air mencapai 28 - 31.5oC. Sejalan dengan pendapat Lagler et al. (1977) bahwa faktor yang dapat mempengaruhi penetasan telur adalah kualitas perairan.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan derajat penetasan telur ikan lele Sangkuriang yang disuntik ekstrak otak ikan patin dipengaruhi oleh derajat pembuahan telur. Seperti yang dinyatakan oleh Oyen et al. (1991) bahwa prosentase daya tetas telur selalu ditentukan oleh prosentase fertilitas telur, dimana semakin tinggi prosentase fertilitas telur maka akan semakin tinggi pula prosentase daya tetas telur, kecuali bila ada faktor lingkungan yang mempengaruhi seperti perubahan suhu yang mendadak, oksigen dan pH.

Pemberian dosis ekstrak otak ikan berpengaruh terhadap waktu laten pemijahan. Pada penyuntikan dosis 500 mg/kg, waktu latennya lebih lambat dibandingkan dengan dosis 250 mg/kg, hal ini masih berkaitan dengan kerja dari

reseptor yang membawa hormon GnRH. Dalam kasus ini, reseptor masih dapat menghantarkan hormon GnRH mencapai organ target (kelenjar hipofisa) tetapi tidak maksimal karena hormon yang dibawanya terlalu banyak. Sejalan dengan hasil penelitian Masrizal dan Azhar (2002) bahwa pemberian dosis kelenjar hipofisa ayam sebanyak 800 mg/kg induk lele dumbo menyebabkan waktu laten pemijahannya menurun. Hal ini diduga karena terjadinya over dosis yang menyebabkan terganggunya sistem kerja hormon dalam proses ovulasi tersebut. Menurut Bardach et al. (1972) kelebihan dosis kelenjar hipofisa dalam teknik hipofisa dapat membuat ikan tidak memijah atau kembali sama seperti pada

tingkat gonad belum matang (premature). Berbeda dengan dosis otak patin 250 mg/kg mempunyai waktu laten lebih cepat. Hal ini kemungkinan reseptor

bekerja secara optimal sesuai dengan kapasitasnya untuk membawa GnRH pada organ target. Selanjutnya hormon GnRH bekerja merangsang kelenjar hipofisa untuk mensekresikan hormon LH sebagai hormon gonadotropin yang berfungsi untuk merangsang telur ovulasi. Begitu juga dengan ovaprim yang merupakan kontrol positif memiliki waktu laten lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan pemberian ekstrak otak ikan patin, karena ovaprim memiliki kandungan sGnRH dan domperidon yaitu sejenis antidopamin yang berfungsi menghambat hipothalamus dalam mengekresikan dopamin yang akan memerintahkan hipofisis untuk menghentikan sekresi GtH-I maupun GtH-II atau menghambat penyebaran gonadotropin. Pada penelitian Januari 2011, penyuntikan ekstrak otak ikan patin sebanyak 200 mg/kg induk ikan, mempunyai respon yang sama dengan penyuntikan ovaprim 0,3 ml/kg induk ikan dan hipofisa ikan patin 3 dosis terhadap waktu laten pemijahan ikan lele Sangkuriang.

Berdasarkan hasil penelitian September 2010, menunjukkan bahwa penyuntikan ekstrak otak ikan patin dan ovaprim 0,3 ml/kg berpengaruh terhadap diameter telur hasil pemijahan ikan lele Sangkuriang. Adanya perbedaan diameter telur antar perlakuan menunjukkan bahwa hormon dapat mempengaruhi ukuran diameter telur. Hal ini disebabkan terjadinya peningkatan diameter oosit yang diisi oleh masa kuning telur yang homogen pada saat waktu menjelang ovulasi, sebagai dampak peningkatan kadar estrogen dan vitelloginin (Tam et al., 1986) dan adanya penyerapan lumen ovari setelah ikan diberi suntikan hormon

(Selman dan Wallace, 1989). Sejalan dengan penelitian Mollah dan (1983) bahwa pemberian dosis HCG mampu meningkatkan diameter Clarias macrocephalus. Selanjutnya Pulungan (1992) menyatakan pemberian esktrak hipofisa sapi yang diawetkan dengan dosis yang berbeda memberikan pengaruh terhadap diameter telur Clarias batrachus. Selanjutnya pada penelitian Januari 2011, diperoleh bahwa dosis 200 mg/kg merupakan dosis terendah otak ikan patin yang masih memberikan pengaruh terhadap diameter telur yaitu sebesar 1,51±0,09 mm. Ini mengindikasikan adanya perbedaan antara pengaruh hormon dengan waktu penyuntikan. Perbedaan waktu penyuntikan berkaitan erat dengan siklus reproduksi atau musim pemijahan ikan lele Sangkuriang. Selain itu kondisi ikan donor (ikan patin) juga berpengaruh, selama pengamatan ada perbedaan kualitas kematangan gonad dari ikan donor yang digunakan. Pada September 2010, donor yang digunakan mengandung testis yang memenuhi isi perut. Ini merupakan indikator bahwa gonad ikan donor (ikan patin) dalam kondisi matang gonad.

Dokumen terkait