• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Keparahan Penyakit

Hasil analisis sidik ragam untuk mengevaluasi ketahanan pada berbagai perlakuan dosis radiasi mutan dan jenis patogen menunjukan bahwa perlakuan patogen berpengaruh nyata terhadap tingkat keparahan penyakit. Setelah dilakuakan uji lanjut Duncan hasilnya seperti pada tabel 1.

Tabel 1 Pengaruh iradiasi terhadap persen keparahan penyakit pada hari ke enam setelah inokulasi P. citrophthora dan B. theobromae

Perlakuan Iradiasi Persen keparahan1)

P. citrophthora B. theobromae JC 68.75a 81.25a J1000 75.00 a 93.75a J2000 50.00 b 93.75a J3000 62.50 ab 87.50a 1)

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf α 0.05

Persen keparahan penyakit merupakan proporsi ekspresi area tanaman yang mengalami infeksi penyakit karena serangan patogen dalam satu tanaman. Persen keparahan penyakit menentukan tingkat serangan pertanaman dalam populasi (Sinaga 2010). Pada tabel 1 terlihat bahwa dosis iradiasi sebesar 2000 rad terhadap P. citrophthora memiliki nilai persen keparahan yang nyata lebih rendah jika dibandingkan dengan planlet jeruk tanpa radiasi yaitu masing-masing sebesar 50% dan 68.75%. Sedangkan persen keparahan planlet dengan iradiasi 1000 dan 3000 rad masing- masing sebesar 75% dan 62.50%. Tampak bahwa dengan dosis iradiasi 1000 rad planlet mutan memiliki tingkat keparahan tertinggi hal ini tidak sesuai dengan evaluasi pada penelitian sebelumnya terhadap cekaman kekeringan. Diduga hal ini disebabkan karena terjadinya recovery (mutasi dapat kembali normal) dari sel-sel yang dapat mengalami mutasi (Nur 2010).

Pengaruh dosis radiasi terhadap tingkat keparahan penyakit dengan inokulasi B. theobromae menunjukan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan inokulasi P. citrophthora. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh B. theobromae menyebabkan persen keparahan hampir mencapai 100%. Dengan teknik uji ketahanan yang dilakukan menunjukan dosis iradiasi tidak berpengaruh

16

nyata terhadap persen ketahanan penyakit. Tingkat keparahan yang tinggi dipengaruhi oleh sifat patogen yang virulen serta jumlah populasi dari patogen yang banyak, hal ini dapat dilihat bahwa dalam kurun waktu tiga hari B. theobromae sudah dapat menutupi seluruh permukaan media uji, dan dengan jumlah yang banyak dapat menimbulkan keparahan yang lebih tinggi.

Planlet mutan hasil inokulasi jeruk JC dengan patogen P. citrophthora dan B. theobromae diketahui tidak ada planlet mutan yang tahan. Hasil parameter pengamatan persen keparahan penyakit menunjukan bahwa dengan teknik pengujian ketahanan penempelan inokulum pada pangkal batang tidak ada planlet yang tahan terhadap patogen. Hal ini tidak sesuai yang diharapkan bahwa akibat penggunaan radiasi sinar gama dapat terjadi perubahan pada planlet jeruk yang dapat meningkatkan keragaman genetik yang tahan terhadap faktor abiotik maupun biotik, salah satunya tahan terhadap penyakit. Kondisi ini dimungkinkan karena adanya kerusakan pada sel meristem yang sangat sensitive terhadap peningkatan dosis iradiasi yang cenderung menghambat pertumbuhan sel-sel tunas bahkan dapat mematikan. Menurut Duncan (1997) iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan ketidak seimbangan fisiologis tanaman. Semakin tinggi dosis iradiasi sinar gamma, semakin meningkatkan efek kerusakan pada DNA, dosis tertentu dapat mengakibatkan perubahan struktur kromosom (Harten 1998). Lemahnya kondisi planlet dapat meningkatkan keparahan planlet semakin meningkat.

Metode evaluasi in vitro telah dimanfaatkan pada berbagai tanaman untuk menghasilkan varietas baru dengan sifat yang baru dan diwariskan pada turunanya (Husni dan Kosmiatin 2005). Hal ini untuk menyeimbangi perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada patogen yang dapat meningkatkan sifat patogenisitasnya atau terbentuknya suatu ras baru yang lebih virulen. Salah satunya dengan induksi iradiasi dapat menyebabkan mutasi pada planlet karena sel yang diiradiasi dibebani oleh tenaga kinetik yang tinggi sehingga dapat mempengaruhi atau mengubah reaksi kimia yang ada dalam jaringan tanaman, yang pada akhirnya menyebabkan perubahan susunan kromosom (Poespodarsono 1998). Menurut Das et al (2000) mutasi yang dihasilkan melalui mutagen fisik telah intensif digunakan untuk memperbaiki sifat tanaman.

17

Perlakuan iradiasi dengan dosis 2000 rad dapat menunda terjadinya kematian pada planlet. Perlakuan dosis iradiasi 2000 rad (J2000) memiliki laju infeksi paling rendah yaitu sebesar 0.091. Sedangkan laju infeksi JC sebesar 0.116 berbeda nyata dengan J1000 dengan laju infeksinya sebesar 0.115, hal ini menunjukan bahwa planlet J1000 tidak berpengaruh dalam ketahanan jika dibandingkan dengan JC. Sedangkan laju infeksi perlakuan dengan dosis iradiasi 3000 rad tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan JC dan J1000, yaitu sebesar 0.107. Tingkat laju infeksi menunjukan semakin besar nilai laju infeksi maka infeksi yang terjadi semakin cepat, semakin cepatnya infeksi maka patogen lebih mudah untuk menimbulkan penyakit. Perlakuan iradiasi 2000 rad pada kalus memiliki tingkat laju infeksi paling rendah, hal ini menunjukan planlet jeruk 200 rad relative lebih tahan terhadap P. citrophthora.

Gambar 8 Persen keparahan penyakit pada mutan JC yang mendapat iradiasi sinar gama (0, 1000, 2000, 3000 rad) dengan inokulasi P. citrophthora 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 K e p ar ah an Pen yaki t (% )

18

Gambar 9 Persen keparahan penyakit pada mutan JC yang mendapat iradiasi sinar gama (0, 1000, 2000, 3000 rad) dengan inokulasi B. theobromae

Laju infeksi dengan perlakuan iradiasi 2000 rad pada patogen B. theobromae sebesar 0,142. Sedangkan laju infeksi perlakuan iradiasi 1000 dan 3000 rad serta tanpa iradiasi pada planlet jeruk, berturut-turut sebesar 0,156; 0,164 dan 0,131. Dilihat dari selisih nilai laju infeksi setiap perlakuan tidak berbeda. Hal ini menunjukan bahwa iradiasi planlet mutan jeruk tidak menunjukan ketahanan planlet terhadap B. theobromae.

Gejala Penyakit Busuk Pangkal Batang

Gejala penyakit busuk pangkal batang tampak pada planlet jeruk yang diberi perlakuan dosis iradiasi 0, 1000, 2000, dan 3000 rad dan diinokulasi P. citrophthora dan B. theobromae. Pada hari pertama dan kedua setelah inokulasi (HSI) P.citrophthora dan B. theobromae gejala pada planlet jeruk belum muncul, namun inokulum patogen sudah mulai berkembang. Periode inkubasi pada semua planlet jeruk yaitu tiga HSI, dengan munculnya gejala awal berupa klorosis. Menurut Agrios (1996) klorosis merupakan gejala awal yang ditunjukan dengan gejala berupa menguningnya jaringan tanaman akibat nekrotik jaringan kloroplas. Kloropas pada daun muncul dari ujung daun planlet bagian atas, ujung daun tersebut berwarna hijau kekuningan (Gambar 1). Klorosis yang terjadi pada

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 K e p ar ah an Pen yaki t (% )

Waktu pengamatan (hari)

JC J1000 J2000 J3000

19

planlet selain disebabkan karena perkembangan patogen juga dapat terjadi karena adanya persaingan dalam memperoleh unsur hara pada media.

Gambar 1 Gejala awal klorosis dengan (A) inokulum P. citrophthora (B) inokulum B. theobromae

Nekrosis merupakan gejala penyakit yang ditandai dengan degenerasi protoplas lalu diikuti dengan matinya sel-sel jaringan, organ, dan seluruh tumbuhan (Sinaga 2000). Menurut Umezurike (1979) nekrosis terjadi karena adanya aktifitas patogen yang menghasilkan enzim selulitik untuk mendegradasi selulosa dan hemiselulosa pada jaringan kayu bibit jeruk sehingga menjadi senyawa dengan rantai yang lebih pendek dan dapat diabsorb oleh patogen, namun dapat berakibat matinya jaringan tanaman. Agrios (1996) menyatakan bahwa penyakit BPB dapat terjadi oleh gangguan inokulum patogen terhadap translokasi air pada tanaman pembuluh xylem dan floem. Nekrosis yang lebih lanjut dapat menyebabkan daun berwarna coklat dan mati (Gambar 2). Pada inokulum P. citrophthora daun berubah warna menjadi coklat dan pada daun dengan inokulum B. theobromae daun berubah warna menjadi hitam. Peneliti lain Maryono (2010) melaporkan gejala penyakit BPB dengan inokulasi buatan isolat B. theobromae yang sama pada bibit JC menyebabkan gejala nekrosis pada kambium dan pembuluh, namun perkembangannya sangat lambat (Gambar 3).

B A

20

Gambar 2 Gejala lanjut Nekrosis dengan (A) Inokulum P.citrophthora (B) Inokulum B. theobromae

Gambar 3 Gejala nekrosis pada batang jeruk 2 bulan setelah inokulasi (foto: oleh Tri Maryono)

Nekrosis yang terus berkembang diikuti gejala gumosis, menurut Agrios (1996) gumosis atau sering disebut blendok merupakan gejala yang khas dalam penyakit BPB. Gumosis ini merupakan cairan yang dihasilkan tumbuhan sebagai respon inang terhadap serangan patogen atau adanya benda asing dalam jaringan tanaman. Planlet jeruk yang diinokulasi P. citrophthora menimbulkan gejala gumosis rata-rata 6 HSI, sedangkan pada B. theobromae perkembangan gejala gumosis lebih cepat yaitu rata-rata 4 HSI. Gambar 4 menunjukan perbandingan gejala gumosis penyakit BPB di lapangan dan in vitro. Pada inokulasi P. citrophthora gumosis berwarna kuning bening dan lebih cair atau encer seperti tampak pada gambar 4A. Hal ini sesuai dengan laporan Balitjestro (2006) bahwa kulit kayu yang terserang patogen Phytophthora spp. permukaannya cekung dan

21

tidak merata dan mengeluarkan gumosis encer. Pada gambar 4B gejala di lapangan, gumosis lebih encer dan mudah meluas. Sedangkan planlet yang diinokulasi B. theobromae gumosis berwarna kuning kecoklatan dan lebih kental (Gambar 4C) begitu juga gejala yang ditemukan di lapangan yang mana gumosis berwarna lebih gelap (Gambar 4D). Pada gambar 5 menunjukan gejala gumosis pada bibit JC yang terserang penyakit BPB, tampak gumosis keluar dari pangkal batang dekat titik penyambungan okulasi. Balai Penelitian Jeruk dan Buah Subtropika, Malang, Jawa Timur melaporkan bahwa pada pembibitan jeruk JC disana tidak sedikit bibit yang terserang penyakit BPB.

Gambar 4 Gejala Gumosis atau Blendok: (A) pada Planlet jeruk dengan inokulasi P. citrophthora, (B) pada batang jeruk di lapangan yang disebabkan oleh Phytophthora spp., (C) pada planlet jeruk dengan inokulasi B. theobromae, (D) pada batang jeruk di lapangan yang disebabkan oleh Bortydiplodia

Gambar 5 Gejala gumosis pada pembibitan JC (foto: Julinda Henuk) D

C B

22

Gambar 6 Sindrom gejala dengan inokulasi P. citrophthora (A) 3-4 HSI, (B) 5-6 HSI, (C) 7-9 HSI, (D) 10-11 HSI, (E) 11-12 HSI, (F) 13-14 HSI

Gambar 7 Sindrom gejala dengan inokulasi B. theobromae (A) 3-4 HSI, (B) 5-6 HSI, (C) 7-9 HSI, (D) 10-11 HSI, (E) 11-12 HSI, (F) 13-14 HIS

A B C

F

E

D

A B C

D E F

23

Gambar 6 dan 7 menunjukkan perkembangan pertumbuhan gejala dengan infeksi P. citrophthora lebih lambat dibandingkan dengan B. theobromae. Pada 13 HSI koloni P. citrophthora lebih sedikit dibandingkan dengan B. theobromae yang telah menutupi permukaan media dan planlet jeruk. Perlakuan inokulasi permukaan planlet dengan P. citrophthora telah terselimuti koloni patogen rata-rata 12 HSI, sedangkan pada inokulasi B. theobromae koloni miselium menutupi seluruh permuakaan planlet pada 7 HSI. B. theobromae mulai membentuk stroma berwarna hitam yang merupakan matriks hifa vegetatif dan bentuknya seperti sklerotium pada 13 HSI. Stroma terbentuk membentuk piknidia yang di dalamnya terdapat konidia. Pada suhu kamar, Phytophthora sp. yang dibiakkan pada media PDA dapat tumbuh memenuhi cawan petri dengan diameter 9 cm pada 21 HSI, sedangkan Botryodiplodia sp. mempunyai kemampuan tumbuh lebih cepat yaitu, 3 sampai 7 HSI (Henuk 2010).

Perkembangan kedua patogen ini dipengaruhi oleh karakter masing-masing patogen. P. citrophthora merupakan organisme hemibiotrop, dapat menyerang dan mendapatkan makanan dari jaringan hidup, tetapi masih mampu berkembang dan bersporulasi setelah jaringan inangnya mati (Sinaga 2000). Meskipun patogen ini lambat, namun patogen pasti akan mematikan, sedangkan B. theobromae memiliki siklus hidup yang lebih cepat dan juga dapat mematikan inangnya. Lain halnya di lapangan inokulasi patogen yang sama, B. theobromae pada bibit jeruk JC baru menunjukan gejala nekrosis ± 2 bulan setelah inokulasi buatan (Maryono 2010). Dibandingkan dengan inokulasi in vitro, waktu yang dibutuhkan untuk mengetahui terjadinya proses infeksi yang ditunjukan oleh penyakit BPB jauh lebih lama. Hal ini menunjukan bahwa perkembangan gejala berkorelasi positif dengan proses infeksi patogen. Berdasarkan perkembangan gejala penyakit yang terjadi dengan metode inokulasi patogen pada planlet jeruk dapat digunakan sebagai teknik uji ketahanan in vitro BPB jeruk. Keuntungan lain dari teknik ini ialah penghematan waktu evaluasi ketahanan BPB jeruk.

Dokumen terkait