• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Asrama TPB IPB

Setiap tahun tidak kurang dari 3000 mahasiswa dari seluruh wilayah di Indonesia masuk menjadi mahasiswa baru IPB melalui berbagai jalur seleksi. Jalur seleksi mahasiswa baru IPB antara lain Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), Ujian Talenta Mandiri (UTMI), Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Beasiswa Utusan Daerah (BUD), serta Beasiswa Prestasi Olahraga dan Seni. Dengan berbagai jalur seleksi tersebut, mahasiswa baru yang tersaring masuk IPB sangat plural, berasal dari berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai latar belakang keilmuan dan budaya yang beragam.

Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun pertama diwajibkan menjalani kegiatan perkuliahan dasar yang dinamakan Tingkat Persiapan bersama (TPB) selama dua semester atau satu tahun. Jumlah satuan kredit semester (SKS) yang diambil selama masa TPB adalah 36 SKS. Khusus mahasiswa dari jalur masuk USMI, UTMI, dan BUD (sebagian) diwajibkan juga menjalani perkuliahan matrikulasi yang diselenggarakan satu bulan lebih awal, sebelum perkuliahan reguler berlangsung. Selain menjalani perkuliahan, mahasiswa TPB juga diwajibkan menjalani Program Pengembangan Akademik dan Multibudaya (PPAMB) dan tinggal di asrama. Program tersebut memberikan kesempatan berinteraksi dengan berbagai latar belakang bidang ilmu, budaya, agama, dan suku bangsa.

Asrama mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB IPB) terdiri atas asrama putra dan asrama putri. Asrama putra terdiri atas empat gedung, yaitu gedung C1, C2, C3 dan C4 (Asrama Sylvalestari). Adapun asrama putri terdiri dari lima gedung, yaitu A1, A2, A3, A4 (Rusunawa), dan A5 (Asrama Sylvasari). Setiap gedung asrama berbentuk hampir sama (kecuali Rusunawa, Sylvasari, dan Sylvalestari yang merupakan gedung tambahan). Setiap gedung terbagi atas beberapa lorong yang dikepalai oleh seorang Senior Residence (SR) untuk mempermudah pengawasan dan pengelolaan. Satu lorong terdiri sekurang-kurangnya 40 orang (10 kamar, masing-masing kamar diisi oleh empat orang).

Fasilititas kamar tidur asrama TPB IPB memiliki ukuran 16m2 (4mx4m). Dalam setiap kamar tersedia dua ranjang tidur bertingkat, empat buah lemari, empat buah meja belajar (lengkap dengan lampu), kapstok, tempat sampah, dan lain-lain. Satu kamar diisi oleh empat orang (kecuali Asrama Sylvalestari dan

Sylvalestari, satu kamar diisi oleh tiga orang). Di setiap lorong disediakan toilet, ruang setrika, dan pantry. Tempat cuci tidak terdapat di setiap lorong. Toilet yang disediakan di setiap lorong asrama, terdiri atas enam unit kamar mandi dan empat unit WC. Disediakan satu buah dispenser di pantry yang letaknya satu ruangan dengan ruang setrika. Air yang digunakan di toilet asrama adalah air tanah yang telah melalui proses penjernihan terlebih dahulu.

Kantin asrama putra berada di dalam masing-masing gedung, sedangkan kantin asrama putri berada di luar gedung. Di dalam lingkungan asrama juga terdapat toko koperasi dan jasa fotokopi (asrama putri) yang menginduk kepada Koperasi Mahasiswa IPB. Di luar gedung, tidak jauh dari asrama putri, terdapat minimarket (Agrimart IPB). Dengan adanya toko dan minimarket tersebut, mahasiswa TPB akan lebih mudah untuk mendapatkan barang-barang yang dibutuhkan tanpa harus keluar terlalu jauh dari lingkungan asrama.

Mahasiswa TPB menjalani perkuliahan di berbagai gedung fakultas yang terdapat di berbagai wilayah kampus Dramaga (terdapat sembilan fakultas di IPB, dengan lokasi yang berbeda-beda). Untuk mempermudah akses ke lokasi perkuliahan, diberikan fasilitas bus IPB yang akan menjemput dan mengantarkan mahasiswa ke halte-halte terdekat dengan lokasi kuliah. Bus kampus ini tidak memungut biaya dari mahasiswa. Selain bus kampus, disediakan juga sepeda sebagai alternatif alat transportasi di dalm kampus. Fasilitas lainnya adalah ambulance asrama yang selalu siap selama 24 jam.

Karakteristik Contoh

Mahasiswa yang dijadikan contoh dalam penelitian ini adalah yang sudah tinggal di asrama sekurang-kurangnya satu bulan dan pernah menjalani perkuliahan matrikulasi. Contoh pada penelitian ini terbagi atas dua kelompok, yaitu kelompok kasus (contoh yang sedang atau pernah mengalami gangguan lambung) dan kelompok kontrol (contoh tanpa gangguan lambung). Karakteristik contoh diidentifikasi untuk mengetahui sebaran umur dan jenis kelamin contoh. Karakteristik Hasil sebaran masing-masing variabel dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran contoh menurut karakteristik contoh

Variabel Kasus Kontrol Total

n % n % n %

Jenis Kelamin

Putra 24 40 24 40 48 40

Putri 36 60 36 60 72 60

Umur (Tahun)

Remaja madya (15-18 tahun) 17 28,3 17 28,3 34 28,3

Remaja akhir (18-19 tahun) 43 71,7 43 71,7 86 71,7

Lebih dari separuh contoh (60%) berjenis kelamin perempuan (putri), sedangkan 40% sisanya laki-laki (putra). Jenis kelamin merupakan salah satu variabel yang digunakan sebagai acuan dalam pemilihan contoh. Pemilihan contoh untuk kelompok kasus dan kontrol menggunakan cara berpasangan, contoh pada kelompok kontrol adalah pasangan yang berjenis kelamin sama dengan contoh yang terdapat pada kelompok kasus. Proporsi contoh berdasarkan jenis kelamin disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Sebanyak 40,2% mahasiswa TPB IPB angkatan 2010/2011 berjenis kelamin laki-laki, sedangkan 59,8% sisanya berjenis kelamin perempuan.

Monks (1999) mengklasifikasikan remaja dalam tiga kelompok umur, yaitu: remaja awal (12-15 tahun), remaja pertengahan atau madya (15-18 tahun), dan remaja akhir (18-21 tahun). Penelitian ini membatasi usia contoh pada rentang 12-19 tahun untuk memudahkan pengolahan data. Contoh yang didapatkan untuk penelitian ini berada dalam kisaran umur 15-19 tahun atau remaja madya dan remaja akhir. Baik pada kelompok kasus maupun kontrol, sebagian besar contoh (71,7%) terdapat pada kelompok umur remaja akhir (18-19) tahun. Rata-rata umur contoh pada kelompok kasus adalah 17,73±0,48 tahun. Adapun rata-rata umur contoh pada kelompok kontrol adalah 17, 68±0,50 tahun. Umur merupakan salah satu variabel yang digunakan sebagai acuan dalam pemilihan contoh. Pemilihan contoh untuk kelompok kasus dan kontrol menggunakan cara berpasangan (matching), contoh pada kelompok kasus dicarikan pasangan yang umurnya relatif sama untuk kontrolnya.

Karakteristik Sosial-Ekonomi

Karakteristik sosial-ekonomi dapat digolongkan dalam unsur lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap kejadian gastritis dan tukak peptik (Riccardi dan Rotter 2004). Karakteristik sosial ekonomi yang dianalisis dalam penelitian ini adalah jumlah uang saku, suku/etnis, dan wilayah domisili contoh sebelum

tinggal di asrama. Hasil sebaran jumlah uang saku dapat dilihat pada Tabel 6, sebaran suku/etnis pada Tabel 7, dan sebaran wilayah domisili pada Tabel 8. Tabel 6 Sebaran contoh menurut jumlah uang saku

Jumlah Uang Saku Kasus Kontrol Total

n % n % n %

Rendah 13 21,7 18 30,0 31 25,8

Sedang 34 56,7 32 53,3 65 54,2

Tinggi 13 21,7 10 16,7 24 20,0

Variabel jumlah uang saku dapat menggambarkan keadaan ekonomi contoh. Lebih dari separuh contoh (56,7% pada kelompok kasus dan 53,3% pada kelompok kontrol) berada pada kategori sedang. Jumlah contoh yang berada pada kategori rendah, lebih banyak yang berasal dari kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok kasus. Rata-rata jumlah uang saku contoh pada kelompok kasus adalah Rp 647.166±256.390 , sedangkan pada kelompok kontrol adalah Rp 640.000± 307.091. Analisis uji Independent-T menunjukkan bahwa p>0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata jumlah uang saku contoh antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol (Lampiran 3).

Suku/etnis dan wilayah domisili contoh sebelum tinggal di asrama diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai latar belakang budaya dan kebiasaan contoh. Suku/etnis contoh diidentifikasi berdasarkan suku/etnis ayah dan ibu contoh. Wilayah domisili contoh adalah wilayah atau provinsi yang paling lama ditinggali oleh contoh, sebelum contoh menjalani perkuliahan dan tinggal di asrama. Pengelompokan suku/etnis dan wilayah domisili contoh didasarkan pada suku/etnis yang banyak muncul pada data.

Sebaran contoh berdasarkan suku/etnis ayah dan ibu contoh dapat dilihat pada Tabel 7. Suku/etnis contoh dibagi menjadi kategori Sunda, Jawa, Betawi, Batak, Sulawesi, Melayu, dan Bali. Secara umum, sebagian besar contoh pada kelompok kasus dan kontrol, berasal dari suku Jawa, baik ayah maupun ibu contoh. Persentase terbesar setelah suku Jawa adalah suku Sunda. Analisis uji Chi Square menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata suku/etnis ayah dan ibu contoh pada kelompok kasus dan kontrol (p>0,05) (Lampiran 3).

Tabel 7 Sebaran suku/etnis menurut ayah dan ibu contoh

Suku

Ayah Ibu

Kasus Kontrol Kasus Kontrol

n % n % n % n % Sunda 20 33,3 20 33,3 19 31,7 20 33,3 Jawa 25 41,7 26 43,3 25 41,7 28 46,7 Betawi 1 1,7 2 3,3 0 0,0 2 3,3 Batak 5 8,3 5 8,3 6 10,0 4 6,7 Sulawesi 2 3,3 2 3,3 2 3,3 1 1,7 Melayu 6 10,0 4 6,7 6 10,0 4 6,7 Bali 1 1,7 1 1,7 2 3,3 1 1,7

Sebaran contoh berdasarkan wilayah domisili dapat dilihat pada Tabel 8. Wilayah domisili contoh dibagi menjadi delapan kategori, yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jakarta, Banten, Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Secara umum, contoh banyak berasal dari Pulau Jawa. Sebagian besar contoh (kasus maupun kontrol) berasal dari wilayah Jawa Barat (wilayah dengan persentase sebaran contoh terbesar). Persentase sebaran contoh berikutnya adalah Sumatera, yang terdiri atas Provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Analisis uji Chi Square menunjukkan nilai p<0,05, artinya tidak ada perbedaan yang nyata wilayah domisili pada kelompok kasus dan kontrol (Lampiran 3).

Tabel 8 Sebaran wilayah domisili contoh

Wilayah Domisili

Kasus Kontrol Total

n % n % n % Jawa Barat 27 45,0 22 36,7 49 40,8 Jawa Tengah 7 11,7 8 13,3 15 12,5 Jawa Timur 6 10,0 6 10,0 12 10,0 Jakarta 2 3,3 5 8,3 7 5,8 Banten 2 3,3 4 6,7 6 5,0 Bali 1 1,7 2 3,3 3 2,5 Sumatera 12 20,0 12 20,0 24 20,0 Sulawesi 3 5,0 1 1,7 4 3,3 Total 60 100,0 60 100,0 120 100 Gangguan Lambung

Penyakit pencernaan yang sering dikeluhkan adalah gangguan lambung. Lambung adalah reservoir pertama makanan dalam tubuh dan di organ tersebut makanan melalui proses pencernaan dan penyerapan sebagian zat gizi. Gangguan lambung yang umum terjadi antara lain gastritis dan tukak peptik.

Gastritis adalah peradangan pada mukosa lambung, sedangkan tukak peptik adalah ulserasi (perlukaan) pada saluran pencernaan bagian atas, terutama pada lambung dan duodenum. Patogenesis tukak peptik berkaitan dengan asam lambung dan pepsin. Terdapat banyak faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya gastritis dan tukak peptik maupun yang menimbulkan gejala-gejala dispepsia yang menyertai penyakit tersebut. Faktor risiko yang mempengaruhinya antara lain kebiasaan makan atau diet, merokok, alkohol, stres (fisik dan psikologis), herediter atau genetik atau bawaan, konsumsi obat-obatan (obat anti inflamasi non sterodi, beberapa antibiotik, suplemen besi, dll), lingkungan (sosial-ekonomi), dan infeksi bakteri Helicobacter pylori.

Yanti (2009) menyatakan dalam penelitiannya bahwa insiden gastritis di Indonesia sebesar 115/100.000 penduduk. Prevalensi tukak peptik ditemukan antara 6-15%. Dalam penelitian, data riwayat penyakit gangguan lambung (gastritis dan tukak peptik), pertama-tama digunakan sebagai acuan untuk menentukan kelompok kasus dan kontrol. Jumlah contoh untuk kedua kelompok (kasus dan kontrol) sama besar, yaitu 60 orang, yang terdiri atas 24 putra (40%) dan 36 putri (60%). Riwayat muncul atau kambuhnya gejala gangguan lambung diteliti menggunakan metode retrospektif dengan referensi waktu sejak contoh tinggal di asrama hingga sebelum contoh menjalani ibadah puasa (sebelum tanggal 11 Agustus 2010). Dalam rentang waktu tersebut, contoh sekurang-kurangnya telah tinggal di asrama selama satu bulan (contoh tinggal asrama sejak tanggal 26 Juni 2010) dan telah menjalani perkuliahan (kuliah matrikulasi dan reguler).

Gejala-gejala gastritis dan tukak peptik, yang lebih dikenal dengan sindrom dispepsia (sekumpulan gejala berupa ketidaknyamanan pada perut bagian atas) dirasakan cukup mengganggu penderitanya. Sekitar 30% penderita dispepsia tidak masuk kerja atau sekolah ketika gejala dispepsia menyerang. Hal tersebut mengganggu produktivitas penderitanya dan menimbulkan kerugian. Penyakit tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan makan dan gaya hidup sehari-hari sehingga apabila kebiasaan makan dan gaya hidup yang dijalani penderitanya kurang baik, penderita rawan mengalami frekuensi munculnya gejala. Perubahan lingkungan dan kebiasaan sehari-hari bagi mahasiswa baru seringkali menimbulkan stres. Kondisi lingkungan asrama, padatnya jadwal kegiatan, dan berkurangnya pengawasan keluarga dapat menyebabkan perubahan pola makan dan gaya hidup menjadi lebih buruk. Seseorang yang

telah mengalami masalah pencernaan sebelumnya akan rentan mengalami gejala dispepsia karena perubahan kebiasaan yang tidak sehat. Bagi orang yang tidak memiliki riwayat gangguan lambung, perilaku hidup yang kurang baik akan memicu munculnya gangguan lambung yang diawali dengan sindrom dispepsia.

Gejala-gejala khas dari gangguan lambung (gastritis maupun tukak peptik) adalah sakit/nyeri/rasa tidak enak di daerah epigastrum (ulu hati) atau perut di bagian atas, rasa panas terbakar/tidak nyaman di bagian dada/bawah tulang dada, kembung (bloating) setelah makan, perut penuh dan cepat kenyang, mual (nausea), muntah (vomitting), dan sering bersendawa. Sekumpulan gejala tersebut sering disebut dengan sindrom dispepsia.

Adanya gangguan lambung yang dialami dicirikan oleh seberapa sering (frekuensi) gejala gangguan lambung yang dialami oleh contoh. Frekuensi munculnya gejala dispepsia ditentukan berdasarkan data subyektif contoh, bukan data pemeriksaan. Data frekuensi dispepsia pada awalnya dikategorikan berdasarkan informasi dari contoh mengenai berapa kali munculnya masing-masing gejala dispepsia dalam seminggu. Gejala-gejala yang dialami contoh tersebut kemudian diskor dan ditotal untuk menentukan kategori frekuensi dispepsia. Terdapat dua kategori frekuensi dispepsia, dengan pengklasifikasian sebagai berikut: frekuensi dispepsia termasuk kategori “jarang” apabila skor frekuensi munculnya gejala yang diperoleh kurang dari sama dengan tujuh koma lima (≤7,5) dan frekuensi dispepsia termasuk kategori “sering” apabila skor frekuensi munculnya gejala yang diperoleh lebih dari tujuh koma lima (>7,5). Sebaran contoh berdasarkan frekuensi dispepsia yang dialami selama tinggal di asrama dapat dilihat pada Tabel 9. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi gejala gangguan lambung yang dialami selama tinggal di asrama dapat dilihat pada Gambar 3.

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi dispepsia

Frekuensi Gejala*

Kasus Kontrol Total

n % n % n %

Jarang 49 81,7 60 100 109 90,8

Sering 11 18,3 0 0,0 11 9,2

* signifikan/nyata pada p<0,05 dengan uji beda Mann Whitney

Secara umum, sebagian besar contoh berada pada kategori frekuensi jarang (90,8%). Seluruh contoh pada kelompok kontrol berada pada kategori jarang, sedangkan pada kelompok kasus sebanyak 18,3% contoh termasuk kategori sering. Analisis perbedaan kedua kelompok contoh menggunakan uji

beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata frekuensi dispepsia pada kelompok kasus dan kontrol (p>0,05) (Lampiran 3)..

Riwayat penyakit atau gangguan lambung contoh berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh (p<0,05). Contoh yang memiliki riwayat gangguan lambung (gastritis dan tukak peptik) cenderung lebih sering mengalami dispepsia dibandingkan contoh tanpa riwayat gangguan lambung (OR: 1,224; 95% CI: 0,086-1,380). Contoh dengan riwayat gangguan lambung sebelumnya (kasus) memiliki peluang lebih sering mengalami dispepsia sebesar 1,224 kali dibandingkan contoh tanpa riwayat gangguan lambung (kontrol).

Gambar 3 Sebaran contoh pada kelompok kasus berdasarkan frekuensi dispepsia lambung yang dialami

Sebagian contoh yang tidak memiliki riwayat gangguan lambung (kontrol), tidak seratus persen bebas dari dispepsia yang gejala-gejala khas gangguan lambung. Beberapa gejala dispepsia juga dialami oleh contoh pada kelompok kontrol, tetapi frekuensinya tidak sesering contoh pada kelompok kasus. Dispepsia dapat timbul bukan hanya disebabkan oleh kelainan organik (gastritis atau tukak peptik), melainkan karena sebab-sebab yang lain seperti kebiasaan dan faktor psikologis (stres). Gejala-gejala gangguan lambung atau sering disebut sindrom dispepsia (sekumpulan gejala gangguan lambung berupa

0% 20% 40% 60% 80% 100% 120% Nyeri epigastrum

Rasa panas terbakar di dada Kembung setelah makan Perut penuh, cepat kenyang Mual Muntah Sering bersendawa Kontrol ">4 kali/minggu" Kontrol "3-4 kali/minggu" Kontrol "1-2 kali/minggu" Kontrol "Tidak Pernah" Kasus ">4 kali/minggu" Kasus "3-4 kali/minggu" Kasus "1-2 kali/minggu" Kasus "Tidak Pernah"

ketidaknyamanan perut bagian atas) dapat timbul bukan hanya karena kelainan organik, melainkan dapat pula bersifat fungsional.

Status Gizi

Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, absorpsi, dan penggunaan zat makanan. Status gizi dapat diketahui dengan menggunakan metode antropometri (Gibson 2005). WHO merekomendasikan penggunaan z-score untuk mengevaluasi data antropometri anak dan remaja. Dengan z-score, anak atau remaja yang berada jauh di bawah persentil data acuan dapat diklasifikasikan secara akurat. Indeks yang digunakan dalam menentukan status gizi pada contoh adalah IMT/U (indeks massa tubuh terhadap umur). Sebaran contoh berdasarkan status gizi dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan status gizi

Status Gizi Kasus Kontrol Total

n % n % n %

Normal 50 83,3 49 81,7 99 82,5

Tidak normal 10 16,7 11 18,3 21 17,5

Sebagian besar contoh (kelompok kasus dan kontrol) berada pada status gizi normal. Hanya sedikit contoh (total kasus dan kontrol) yang berada pada status gizi tidak normal (overweight atau underweight) yaitu sebesar 16,7% (kasus) dan18,3% (kontrol). Sebaran status gizi secara lebih rinci dapat dilihat pada gambar 4, terdapat 0,8-9,2% contoh yang status gizinya sangat kurus, kurus, dan overweight. Tidak ada contoh yang status gizinya obesitas. Rata-rata berat dan tinggi badan contoh pada kelompok kasus adalah 52,6±9,76 kg dan 161,3±6,7 cm, sedangkan pada kelompok kontrol 51,8±10,2 kg dan 160,0±8,9. Indeks Massa Tubuh (IMT) contoh memiliki rataan 20,14±2,9 kg/m2 untuk kelompok kasus dan 20,16±3,2 kg/m2 untuk kelompok kontrol.

Gambar 4 Sebaran contoh pada kelompok kasus (kiri) dan kontrol (kanan) berdasarkan status gizi

2% 8% 82% 8% 7% 83% 10% Sangat kurus Kurus

Analisis statistik menggunakan uji beda Independent T-test menyatakan bahwa status gizi antara kedua kelompok (kasus dan kontrol) tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menghubungkan status gizi dengan frekuensi dispepsiamenunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata. Hubungan antara status gizi dengan tingkat frekuensi dispepsia tidak signifikan pada taraf nyata 5% (p>0,05). Hal ini berarti semakin baik status gizi contoh maka tidak berhubungan dengan penurunan frekuensi dispepsia yang dialami contoh. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Carvalho et al. (2008), yang menyatakan status gizi tidak berpengaruh pada pederita dispepsia (gejala gastritis dan tukak peptik).

Kebiasaan Makan

Kebiasaan makan merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya gastritis dan tukak peptik dengan gejala khas dispepsia. Kebiasaan makan sangat erat kaitannya dengan sekresi asam lambung, yang merupakan faktor agresif pada lambung. Kebiasaan makan terdiri atas dua aspek, yaitu cara makan dan makanan itu sendiri. Kebiasan makan teratur akan membantu lambung beradaptasi terhadap waktu makan sehingga sekresi asam lambung terkontrol. Jenis-jenis makanan tertentu juga berperan dalam timbulnya gangguan lambung. Kebiasaan makan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah frekuensi makan, keteraturan makan, jeda waktu makan, kebiasaan sarapan (makan pagi), kebiasaan mengkonsumsi makanan selingan (snacking), kebiasaan melakukan diet, serta frekuensi konsumsi makanan dan minuman tertentu (kopi, teh, soda, makanan pedas, makanan asam, dan suplemen). Selain itu diperhitungkan juga tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, lemak, natrium, dan kalium. Tabel 11 dan 12 menjelaskan sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makannya. Adapun Tabel 14 menjelaskan sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A, C, lemak, natrium, dan kalium.

Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makan.

Variabel Kasus Kontrol Total

n % n % n %

Keteraturan Makan*

Teratur 25 41,7 37 61,7 62 51,7

Tidak teratur 35 58,3 23 38,3 58 48,3

Frekuensi Makan*

tidak tentu atau ≤2 kali per hari 14 23,3 5 8,3 19 15,8

tertentu dan > 2kali per hari 46 76,7 55 91,7 101 84,2

Jeda Waktu Makan

tidak tentu atau ≥ 6 jam 26 43,3 22 36,7 48 40,0

tertentu dan < 6 jam 34 56,7 38 63,3 72 60,0

Kebiasaan Sarapan

Ya 28 46,7 36 60,0 64 53,3

Tidak 32 53,3 24 40,0 56 46,7

Kebiasaan Mengkonsumsi Makanan Selingan

Ya 24 40,0 22 36,7 39 61,7

Tidak 36 60,0 38 63,3 81 38,3

Kebiasaan Membatasi Asupan Makanan

Ya 13 21,7 8 13,3 21 32,5

Tidak 47 78,3 52 86,7 99 67,5

*Signifikan atau nyata pada p<0,05 dengan uji beda Mann Whitney dan korelasi Chi Square

Keteraturan Makan

Keteraturan makan sangat berkaitan dengan produksi asam lambung, dimana asam lambung merupakan faktor agresif penyebab gastritis dan tukak peptik. Jadwal makan yang tidak teratur akan membuat lambung sulit beradaptasi sehingga produksi asam lambung menjadi tidak terkontrol kemudian menyebabkan timbulnya gejala dispepsia. Bagi orang yang memiliki riwayat gangguan lambung (gastritis atau tukak peptik), makan tidak teratur akan memicu kekambuhan gangguan lambung yang ditandai dengan munculnya gejala dispepsia. Adapun bagi orang yang tidak memiliki riwayat gangguan lambung, bila kebiasaan makan tidak teratur terus berlanjut, hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan organik pada lambung akibat meningkatnya faktor agresif terutama asam lambung.

Sebaran keteraturan makan contoh menunjukkan bahwa contoh pada kelompok kontrol cenderung makan lebih teratur dibandingkan kelompok kasus (Tabel 11). Lebih dari separuh contoh (58,3%) pada kelompok kasus makan tidak teratur setiap hari, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi sebaliknya (61,7% contoh makan teratur, 38,3% contoh makan tidak teratur). Secara keseluruhan, terdapat 48,3% contoh yang memiliki kebiasaan makan tidak teratur. Bila dibandingkan dengan data frekuensi makan, walaupun sebagian besar contoh menjawab frekuensi makannya dua sampai tiga kali sehari, tetapi dilihat dari

keteraturan makan, sebagian contoh tidak menunjukkan pola yang sesuai. Sebagian contoh hanya makan ketika sudah merasa lapar.

Contoh pada kelompok kontrol cenderung memiliki kebiasaan makan yang lebih teratur dibandingkan kelompok kasus. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada kelompok kasus dan kontrol (p<0,05) (Lampiran 3). Hasil uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara keteraturan makan dan frekuensi makan contoh dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh (p<0,05) (Lampiran 4). Keteraturan makan memiliki koefisien kontingensi sebesar 0,312 yang dinyatakan dengan tingkat hubungan rendah. Kebiasaan makan teratur dapat mengurangi risiko munculnya gejala dispepsia (OR: 0,810; 95% CI: 0,715-0,918). Contoh yang memiliki kebiasaan makan teratur memiliki risiko 0,810 kali (lebih rendah) untuk sering mengalami dispepsia dibandingkan dengan contoh yang tidak terbiasa makan teratur.

Frekuensi Makan

Frekuensi makan yang dilihat dalam penelitian adalah berapa kali contoh makan dengan menu makanan berat (meal), di luar snack atau cemilan sehari-hari. Frekuensi makan dapat dijadikan sebagai indikator keteraturan makan. Seseorang yang frekuensi makannya tidak tentu, dapat dikatakan bahwa pola makannya tidak teratur. Makan tidak teratur menyebabkan produksi asam lambung menjadi tidak terkontrol. Untuk mengurangi rasa mual atau tidak nyaman pada lambung sebaiknya makan dalam porsi kecil tetapi sering (small frequent meal). Makan dengan porsi kecil tetapi sering merupakan salah satu cara membantu dan meringankan kerja lambung dan produksi asam lambung juga tidak berlebihan karena harus mengakomodasi makanan yang masuk dalam jumlah terlalu banyak.

Data frekuensi makan contoh pada Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (kelompok kasus dan kontrol) memiliki kebiasaan makan dua sampai tiga kali sehari. Pada kelompok kasus, terdapat 23,3% contoh yang frekuensi makannya tidak tentu, dua kali sehari, atau kurang dari itu. Hampir seluruh contoh pada kelompok kontrol makan lebih dari dua kali sehari. Contoh yang frekuensi makannya tidak tentu, biasanya hanya makan ketika sudah merasa lapar.

Analisis statistik berdasarkan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata frekuensi makan contoh pada kelompok kasus

dan kelompok kontrol (p<0,05) (Lampiran 3). Contoh pada kelompok kasus lebih banyak yang frekuensi makannya kurang dari dua kali sehari. Dengan kata lain,

Dokumen terkait