• Tidak ada hasil yang ditemukan

Koefesien Cerna Bahan Kering (KCBK)

Kecernaan zat-zat makanan merupakan salah satu ukuran dalam menentukan kualitas dari pakan. Semakin tinggi kecernaan bahan kering maka semakin tinggi juga peluang nutrisi yang dapat dimanfaatkan ternak untuk pertumbuhannya. Kecernaan pakan dipengaruhi oleh pencampuran pakan, cairan rumen dan inokulasi, pH kondisi fermentasi, pengaturan suhu fermentasi, lama waktu inkubasi, ukuran sampel, dan larutan penyangga (Selly, 1994). Koefisien cerna bahan kering berdasarkan hasil analisa in vitro dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan Koefisien Cerna Bahan Kering KCBK)

Perlakuan Kelompok Rataan (%)

I II III A 13,68 20,25 25,12 19,68 B 23,72 25,00 29,97 26,23 C 48,89 54,66 58,80 54,12 D 53,13 53,80 66,63 57,85 E 47,61 54,48 55,43 52,51 F 48,91 52,35 55,71 52,32 G 47,77 51,10 54,63 51,17 H 46,01 51,15 55,60 50,92 Rataan 41,22 45,35 50,24 45,60

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa rataan persentase koefisien cerna bahan kering bulu ayam tertinggi diperoleh pada perlakuan D sebesar 57,85% (bulu ayam yang dipresto, dihidrolisis, digiling, dan difermentasi), dan yang terendah pada perlakuan A sebesar 19,68% (tepung bulu ayam tanpa pengolahan), sedangkan rataan koefisien cerna bahan kering limbah udang tertinggi diperoleh

pada perlakuan E sebesar 52,51% (tepung limbah udang tanpa pengolahan), dan terendah pada perlakuan H sebesar 50,92% (limbah udang yang dipresto, dihidrolisis, digiling, dan difermentasi).

Untuk mengetahui pengaruh teknologi pengolahan yang digunakan terhadap koefisien cerna bahan kering (KCBK) bahan pakan perlakuan, maka dilakukan analisis keragaman yang dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Sidik ragam Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK)

SK dB JK KT F hitung F5% F1% Kelompok 2 326,29 163,14 40,87 3,74 6,51 Perlakuan 7 4265,23 609,32 152,66** 2,77 4,28 Galat 14 55,88 3,99 Total 23 4647,40 Keterangan : KK = 0,55%

** = berbeda sangat nyata

Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa teknologi pengolahan yang digunakan memberi pengaruh yang sangat nyata (P<1) terhadap koefisien cerna bahan kering (KCBK) bahan pakan perlakuan.

Untuk mengetahui perbedaan antarperlakuan pengaruh teknologi pengolahan terhadap koefisien cerna bahan kering (KCBK) bahan pakan perlakuan, maka dilakukan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) yang dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini :

Tabel 5. Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) terhadap berbagai teknologi pengolahan pada bulu ayam dan limbah udang. Perlakuan Rataan BNJ 5% BNJ 1% A 19,68 a A B 26,23 b A C 54,12 c B D 57,85 d B E 52,51 c B F 52,32 c B

G 51,17 c B

H 50,92 c B

Keterangan : Notasi yang sama pada perlakuan yang berbeda menunjukkan hasil yang tidak nyata.

Berdasarkan uji BNJ diketahui bahwa perlakuan A berbeda tidak nyata (P<0,01) terhadap B, dan berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap C dan D, sedangkan perlakuan E berbeda tidak nyata (P<0,01) terhadap F, G, dan H.

Dari Tabel 5, dapat dilihat bahwa rataan nilai KCBK dari bahan pakan A yang hanya diolah secara mekanik memiliki nilai kecernaan yang sangat rendah yaitu 19,68%. Penggunaan teknologi pengolahan perlakuan terhadap bahan pakan bulu ayam tersebut ternyata dapat meningkatkan secara signifikan nilai KCBKnya. Dapat dilihat pada perlakuan B, terutama pada perlakuan C dan D yang meningkat hingga mencapai batas normal nilai kecernaan bahan kering yang berkisar antara 50-60% (Sutardi, 1979).

Hal ini berarti, teknologi pengolahan perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini ternyata mampu meningkatkan nilai KCBK dari bulu ayam yang diketahui memiliki kendala utama penggunaan dalam ransum yaitu rendahnya daya cerna protein yang disebabkan karena sebagian besar kandungan protein kasar berbentuk keratin (Indah, 1993). Tillman et al. (1982) juga menjelaskan protein kasar bulu ayam termasuk dalam jenis protein serat, yaitu keratin yang sulit dicerna baik oleh mikroorganisme rumen maupun oleh enzim- enzim pencernaan pascarumen. Agar dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan, bulu ayam harus diberi perlakuan, dengan memecahkan ikatan sulfur dari sistin dalam bulu ayam tersebut (Indah, 1993). Dengan teknologi perlakuan tersebut ternyata mampu memecah ikatan tersebut.

Pada perlakuan E, F, G, dan H dapat dilihat pada Tabel 5, rataan nilai KCBKnya telah berada pada kisaran normal kecernaan bahan kering, hanya saja mengalami penurunan dan ini berarti bahwa teknologi perlakuan yang digunakan tidak mampu meningkatkan nilai KCBK bahan yang berupa limbah udang tersebut. Seperti halnya dengan bulu ayam, limbah udang ini pula memiliki keterbatasan dalam penggunaannya, karena mengandung khitin. Oleh karena itu, kualitasnya dapat diperbaiki dengan melakukan pengolahan secara fisik, biologi, maupun kimia. Tujuan dari pengolahan tersebut adalah untuk meningkatkan nilai kecernaan dan laju degradasi dalam rumen dan pascarumen, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ternak ruminansia (Qisthon dan Adhianto, 2007). Namun demikian, dari hasil yang diperoleh tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata.

Adanya penurunan nilai KCBK pada perlakuan limbah udang ini diduga dikarenakan kandungan khitin dari bahan tersebut memiliki ketahanan degradasi yang tinggi. Soebarinoto (1986) menyatakan kandungan zat anti nutrisi yang terdapat pada bahan pakan akan menurunkan kecernaan pakan. Sutardi (1980) juga menjelaskan bahwa kecernaan bahan kering juga dapat dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda.

Untuk melihat perbandingan kemampuan teknologi pengolahan yang digunakan terhadap perlakuan yang satu dengan yang lain, maka dilakukan perbandingan dengan pembanding ortogonal kontras yang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6. Sidik Ragam Ortogonal Kontras KCBK

Kelompok 2 326,29 163,15 Perlakuan 1. ABCD vs EFGH 7 1 4265,23 901,60 609,32 901,60 225,96** 4,60 8,86 2. A vs BCD 1 1566,18 1566,18 392,53** 4,60 8,86 3. B vs CD 1 1770,72 1770,72 443,79** 4,60 8,86 4. C vs D 1 20,94 20,94 5,25* 4,60 8,86 5. E vs FGH 1 2,42 2,42 0,61tn 4,60 8,86 6. F vs GH 1 3,28 3,28 0,82tn 4,60 8,86 7. G vs H 1 0,09 0,09 0,02tn 4,60 8,86 Galat 14 55,88 3,99 Total 23

Keterangan : ** = berbeda sangat nyata * = berbeda nyata tn = berbeda tidak nyata

Hasil sidik ragam ortogonal kontras di atas menunjukkan bahwa teknologi pengolahan yang digunakan mampu memberikan perbedaan yang sangat nyata (P<1) terhadap nilai KCBK pada perlakuan bulu ayam dengan limbah udang (ABCD vs EFGH). Hal yang sama juga dapat dilihat pada perlakuan antarbulu ayam dimana perlakuan A berbeda sangat nyata (P<1) terhadap perlakuan B, C, dan D, dan perlakuan B berbeda sangat nyata (P<1) terhadap perlakuan C dan D, dan perlakuan C berbeda nyata (P<5) terhadap perlakuan D. Sebaliknya, teknologi pengolahan yang digunakan tidak mampu memberikan pengaruh yang nyata (P<1) terhadap perlakuan antarlimbah udang dalam meningkatkan nilai KCBKnya.

Dari hasil sidik ragam di atas menunjukkan bahwa teknologi perlakuan yang digunakan lebih berpengaruh terhadap bulu ayam dibanding terhadap limbah udang.

Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO)

Kecernaan bahan organik, sama halnya dengan kecernaan bahan kering, juga dapat dijadikan tolak ukur dalam menilai kualitas ransum. Nilai kecernaan

bahan organik suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan (Sutardi, 1980). Rahmawati (2001) menambahkan bahwa bahan organik menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan perkembangan ternak. Rataan nilai kecernaan bahan organik (KCBO) hasil penelitian dapat dilihat dalam Tabel 7.

Tabel 7. Rataan Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO)

Perlakuan Kelompok Rataan (%)

I II III A 13,88 20,22 24,03 19,38 B 22,84 23,56 29,00 25,13 C 49,47 54,53 58,36 54,12 D 53,66 53,73 66,31 57,90 E 24,92 37,45 45,84 36,07 F 28,32 34,45 37,52 33,43 G 23,70 29,32 38,61 30,54 H 23,86 34,17 42,43 33,49 Rataan 30,08 35,93 42,76 36,26

Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa rataan nilai KCBO adalah 36,26% dengan rataan terendah pada perlakuan A yaitu 19,38% dan tertinggi pada perlakuan D yaitu 57,90%.

Untuk mengetahui pengaruh teknologi pengolahan yang digunakan terhadap nilai KCBO bahan pakan perlakuan, maka dilakukan analisis keragaman yang dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8. Sidik Ragam Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO)

SK dB JK KT F hitung F0,05 F0,01 Kelompok 2 644,55 322,28 35,07 3,74 6,51 Perlakuan 7 3733,61 533,37 58,04** 2,77 4,28 Galat 14 128,66 9,19 Total 23 4506,82 Keterangan : KK = 1,05%

** = berbeda sangat nyata

Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa teknologi pengolahan yang digunakan memberi pengaruh yang sangat nyata (P<1) terhadap koefisien cerna bahan organik (KCBO) bahan pakan perlakuan.

Untuk mengetahui perbedaan antarperlakuan pengaruh teknologi pengolahan terhadap nilai KCBO bahan pakan perlakuan, maka dilakukan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) yang dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini :

Tabel 9. Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO)

Peralakuan Rataan BNJ 5% BNJ 1% A 19,38 a A B 25,13 a A C 54,12 c D D 57,90 c D E 36,07 b C F 33,43 b B G 30,54 b B H 33.49 b B

Berdasarkan uji BNJ di atas diketahui bahwa perlakuan A dan B berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap perlakuan C dan D, begitu juga perlakuan E berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap F, G, dan H.

Dari data di atas diketahui bahwa hasil yang diperoleh hampir sama dengan hasil pada KCBK di mana pada perlakuan bulu ayam (perlakuan A, B, C, dan D), nilai rataan KCBOnya mengalami peningkatan yang signifikan, sedangkan pada perlakuan limbah udang (perlakuan E, F, G, dan H) mengalami penurunan nilai, akan tetapi kembali meningkat pada perlakuan H meskipun masih lebih rendah dari perlakuan awalnya yaitu perlakuan E. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutardi (1980) bahwa nilai KCBK akan sesuai nilai KCBO karena sebagian bahan kering ransum terdiri dari bahan organik.

Seperti halnya pada KCBK, terjadinya penurunan nilai KCBO pada perlakuan limbah udang ini pula diduga karena tingginya kandungan zat anti nutrisi di dalamnya sehingga mengakibatkan penurunan nilai kecernaan bahan pakan tersebut dan teknologi pengolahan yang digunakan dalam penelitian ini belum mampu mendegradasi zat tersebut untuk meningkatkan nilai kecernaan bahan organiknya.

Adanya perbedaan tingkat degradasi antarperlakuan terutama pada bahan pakan bulu ayam dan limbah udang ini, di mana pada perlakuan bulu ayam terjadi peningkatan baik pada nilai KCBK maupun KCBOnya, sedangkan pada perlakuan limbah udang mengalami penurunan, Sutardi (1979) menjelaskan dalam literaturnya bahwa perbedaan ini terjadi karena setiap sumber protein mempunyai kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda, sehingga mempengaruhi

perombakan sumber protein dalam rumen mengakibatkan perbedaan kecernaan dalam rumen dan organ pascarumen.

Untuk melihat perbandingan kemampuan teknologi pengolahan yang digunakan terhadap perlakuan yang satu dengan yang lain, maka dilakukan perbandingan dengan pembanding ortogonal kontras yang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 10. Sidik Ragam Ortogonal Kontras KCBO

SK Db JK KT Fhitung F0.05 F0.01 Kelompok 2 644.55 322.28 Perlakuan 7 3726.83 532.40 1. ABCD vs EFGH 1 197.28 197.28 21.47** 4.6 8.86 2. A vs BCD 1 1558.67 1558.67 169.61** 4.6 8.86 3. B vs CD 4. C vs D 1 1 1902.83 22.16 1902.83 22.16 207.06** 2.41tn 4.6 4.6 8.86 8.86 5. E vs FGH 1 28.89 28.89 3.14tn 4.6 8.86 6. F vs GH 1 4.00 4.00 0.44tn 4.6 8.86 7. G vs H 1 12.99 12.99 1.41tn 4.6 8.86 Galat 14 128.66 9.19 Total 23

Keterangan : ** = berbeda sangat nyata tn = berbeda tidak nyata

Hasil sidik ragam ortogonal kontras di atas menunjukkan bahwa teknologi pengolahan yang digunakan mampu memberikan perbedaan yang sangat nyata (P<1) terhadap nilai KCBO pada perlakuan bulu ayam dengan limbah udang (ABCD vs EFGH). Hal yang sama juga dapat dilihat pada perlakuan antarbulu ayam dimana perlakuan A berbeda sangat nyata (P<1) terhadap perlakuan B, C, dan D, dan perlakuan B berbeda sangat nyata (P<1) terhadap perlakuan C dan D, akan tetapi perlakuan C tidak mampu memberikan perbedaan yang nyata (P<1) terhadap perlakuan D, begitu juga pada perlakuan antarlimbah udang, teknologi pengolahan yang digunakan tidak mampu memberikan pengaruh yang nyata (P<1) terhadap perlakuan dalam meningkatkan nilai KCBOnya.

Dari sidik ragam di atas menunjukkan bahwa teknologi pengolahan perlakuan yang digunakan lebih berpengaruh terhadap bulu ayam dibanding terhadap limbah udang.

Kadar Nitrogen Amonia (N-NH3)

Produksi amonia dipengaruhi oleh pH rumen, kelarutan bahan makanan (Sutardi, 1980), jumlah protein ransum dan lamanya bahan makanan dalam rumen (Ranjhan, 1977). Untuk melihat rataan konsentrasi amonia, dapat dilihat pada Tabel.11.

Tabel 11. Rataan Konsentrasi N-NH3

Perlakuan Kelompok Rataan (mM)

I II III A 6,72 5,34 28,94 13,67 B 6,41 14,83 15,90 12,38 C 13,40 15,43 25,18 18,00 D 8,18 24,04 27,16 19,79 E 5,74 8,93 10,05 8,24 F 16,16 17,64 20,60 18,13 G 8,96 12,83 18,58 13,46 H 9,59 16,18 13,87 13,21 Total 75,16 115,22 160,28 116,89

Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa rataan konsentrasi amonia adalah 116,89 mM dengan rataan terendah pada perlakuan E yaitu 8,24 mM dan tertinggi pada perlakuan D yaitu 19,79 mM.

Untuk mengetahui pengaruh teknologi pengolahan yang digunakan terhadap konsentrasi amonia bahan pakan perlakuan, maka dilakukan sidik ragam

Tabel 12. Sidik Ragam Konsentrasi N-NH3 SK dB JK KT F hitung F0,05 F0,01 Kelompok 2 453,36 226,68 9,69 3,74 6,51 Perlakuan 7 301,55 43,08 1,84tn 2,77 4,28 Galat 14 327,47 23,39 Total 23 1082,38 Keterangan : KK = 4,14%

tn = berbeda tidak nyata

Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa teknologi pengolahan yang digunakan memberi pengaruh yang tidak berbeda nyata (P<1) terhadap konsentrasi amonia bahan pakan perlakuan.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa rataan konsentrasi amonia yang dihasilkan dari semua perlakuan berkisar antara 8,24-19,79 mM. Nilai tersebut masih optimal untuk pertumbuhan mikroba rumen. McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa konsentrasi NH3 yang optimum untuk menunjang sintesis

protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 6-21 mM. Pada perlakuan dengan bahan pakan bulu ayam, rataan konsentrasi amonianya mengalami sedikit penurunan pada perlakuan B, akan tetapi kembali meningkat secara signifikan pada perlakuan C dan D. Hal ini berarti, teknologi pengolahan yang digunakan pada perlakuan C dan D telah mampu menjadikan bahan pakan tersebut, terutama proteinnya mudah didegradasi oleh mikroba rumen. McDonald et al. (2002) menjelaskan bahwa konsentrasi NH3 yang tinggi

dapat menunjukkan proses degradasi protein pakan lebih cepat daripada proses pembentukan protein mikroba, sehingga amonia yang dihasilkan terakumulasi dalam rumen.

Sebaliknya, pada perlakuan dengan bahan pakan limbah udang, konsentrasi amonia pada perlakuan E merupakan yang paling rendah yaitu 8,24%.

Rendahnya nilai ini dipengaruhi oleh masih tingginya kandungan protein fibrous pada perlakuan tersebut karena teknologi pengolahannya masih sederhana. Satter

dan Slyter (1974) menyatakan jika pakan defisien protein atau tinggi kandungan

protein yang lolos degradasi, maka konsentrasi N-NH3 rumen akan rendah dan

pertumbuhan organisme rumen akan lambat. Pada perlakuan F mengalami kenaikan konsentrasi amonia yang signifikan, dimana teknologi pengolahan yang digunakan sama dengan perlakuan B (kimiawi dan mekanik) yang justru menurunkan konsentrasi amonianya. Hal ini berarti teknologi pengolahan yang digunakan pada kedua perlakuan tersebut lebih mampu bekerja pada limbah udang dibanding pada bulu ayam.

Untuk melihat perbandingan kemampuan teknologi pengolahan yang digunakan terhadap perlakuan yang satu dengan yang lain, maka dilakukan perbandingan dengan pembanding ortogonal kontras yang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 13. Sidik Ragam Ortogonal Kontras Konsentrasi N-NH3

SK dB JK KT Fhitung F0.05 F0.01 Kelompok 2 453.36 226.68 Perlakuan 7 301.55 43.08 1. ABCD vs EFGH 1 43.74 43.74 1.8700tn 4.60 8.86 2. A vs BCD 1 21.05 21.05 0.9000tn 4.60 8.86 3. B vs CD 1 84.98 84.98 3.6329tn 4.60 8.86 4. C vs D 1 4.81 4.81 0.2055tn 4.60 8.86 5. E vs FGH 1 100.84 100.84 4.3109tn 4.60 8.86 6. F vs GH 1 46.05 46.05 1.9686tn 4.60 8.86 7. G vs H 1 0.09 0.09 0.0038tn 4.60 8.86 Galat 14 327.47 23.39 Total 23

Keterangan : tn = berbeda tidak nyata

Dari tabel sidik ragam ortogonal kontras di atas, dapat dilihat bahwa teknologi pengolahan yang digunakan memberi pengaruh yang tidak nyata (P<1)

terhadap nilai konsentrasi amonia antarperlakuan. Hal ini berarti kemampuan teknologi pengolahan yang digunakan tersebut dalam meningkatkan konsentrasi amonia, tidak memberi perbedaan yang nyata pada semua perlakuan.

Kadar Volatile Fatty Acid (VFA)

Komposisi VFA di dalam rumen berubah dengan adanya perbedaan bentuk fisik komposisi pakan, taraf dan frekuensi pemberian pakan, serta pengolahan. Produksi VFA yang tinggi merupakan kecukupan energi bagi ternak (Sakinah, 2005). Rataan nilai konsentrasi VFA hasil penelitian dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 14. Rataan Konsentrasi VFA

Perlakuan Kelompok Rataan (mM)

I II III A 83,93 99,09 167,90 116,97 B 147,35 179,37 156,73 161,15 C 149,39 142,15 171,32 154,29 D 165,68 163,20 181,00 169,96 E 146,91 96,69 135,61 126,40 F 146,08 144,95 147,71 146,25 G 156,37 119,53 143,05 139,65 H 150,46 153,09 108,14 137,23 Rataan 143,27 137,26 151,43 143,99

Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa rataan konsentrasi amonia adalah 143,99 mM dengan rataan terendah pada perlakuan A yaitu 116,97 mM dan tertinggi pada perlakuan D yaitu 169,96 mM.

Untuk mengetahui pengaruh teknologi pengolahan yang digunakan terhadap konsentrasi VFA bahan pakan perlakuan, maka dilakukan analisis keragaman yang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 15. Sidik Ragam Konsentrasi VFA SK dB JK KT F hitung F5% F1% Kelompok 2 809.74 404.87 0.73 3.74 6.51 Perlakuan 7 6551.23 935.89 1.69tn 2.77 4.28 Galat 14 7745.47 553.25 Total 23 15106.44 Keterangan : KK = 2,04%

tn = berbeda tidak nyata

Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa teknologi pengolahan yang digunakan memberi pengaruh yang tidak berbeda nyata (P<1) terhadap konsentrasi VFA bahan pakan perlakuan.

Dari hasil penelitian didapat bahwa rataan konsentrasi VFA yang dihasilkan dari semua perlakuan berkisar antara 116,97-169,96 mM. Hasil ini dapat dikatakan tinggi dan masih dalam kisaran normal yang mendukung pertumbuhan mikroba. Sutardi (1980) menyatakan kisaran produk VFA cairan rumen normal yang mendukung pertumbuhan mikroba adalah 80 sampai 160 mM, sedangkan konsentrasi VFA yang dihasilkan oleh ternak sapi rata-rata 111 mM (Hungate, 1966).

Apabila konsentrasi VFA yang dihasilkan tinggi, akan mengindikasikan bahwa energi yang tersedia bagi mikroba rumen juga semakin tinggi, sehingga aktivitas fermentasi mikroba rumen juga meningkat. Mc Donald et al., (2002) menjelaskan konsentrasi VFA sangat dipengaruhi oleh jenis pakan, VFA yang tinggi menunjukkan peningkatan kandungan protein dan karbohidrat mudah larut dari pakan.

Pada perlakuan menggunakan bahan bulu ayam, konsentrasi VFA meningkat pada perlakuan B, sedikit menurun pada perlakuan C, dan kembali meningkat pada perlakuan D hingga melebihi batas normal tertinggi yang mencapai 169,96 mM. Dari hasil ini, dapat diketahui bahwa penggunaan teknologi pengolahan ternyata dapat memberi pengaruh positif terhadap peningkatan konsentrasi VFA meskipun hasilnya tidak menunjukkan pengaruh yang nyata pada sidik ragam. Hal ini berarti penggunaan teknologi pengolahan bahan pakan mampu mendegradasi komponen dalam bulu ayam tersebut sehingga mudah difermentasi oleh mikroba rumen. Hartati (1998) menyatakan peningkatan jumlah VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut difermentasi oleh mikroba rumen.

Begitu juga halnya pada perlakuan menggunakan bahan limbah udang. Meskipun peningkatannya tidak menunjukkan hasil yang nyata pada sidik ragam namun tetap berpengaruh pada peningkatan yang diakibatkan oleh teknologi pengolahan yang digunakan tersebut.

Untuk melihat perbandingan kemampuan teknologi pengolahan yang digunakan terhadap perlakuan yang satu dengan yang lain, maka dilakukan perbandingan dengan pembanding ortogonal kontras yang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 16. Sidik Ragam Ortogonal Kontras Konsentrasi VFA

SK Db JK KT Fhitung F0.05 F0.01 Klpk 2 809.74 404.87 Perlk 7 6551.23 935.89 1. ABCD vs EFGH 1 1047.02 1047.02 1.8925tn 4.60 8.86 2. A vs BCD 1 4520.99 4520.99 8.1717* 4.60 8.86 3. B vs CD 1 1.89 1.89 0.0034tn 4.60 8.86 4. C vs D 1 368.48 368.48 0.6660tn 4.60 8.86

5. E vs FGH 1 482.17 482.17 0.8715tn 4.60 8.86

6. F vs GH 1 121.89 121.89 0.2203tn 4.60 8.86

7. G vs H 1 8.78 8.78 0.0159tn 4.60 8.86

Galat 14 7745.47 553.25

Total 23

Keterangan : * = berbeda nyata tn = berbeda tidak nyata

Dari tabel sidik ragam ortogonal kontras di atas, dapat dilihat bahwa teknologi pengolahan yang digunakan memberi pengaruh yang tidak nyata (P<1) terhadap nilai konsentrasi VFA antara perlakuan bulu ayam dengan limbah udang (ABCD vs EFGH). Hal ini berarti kemampuan teknologi pengolahan yang digunakan tersebut dalam meningkatkan konsentrasi VFA, tidak memberi perbedaan yang nyata di antara kedua perlakuan tersebut. Begitu juga dengan perlakuan lainnya kecuali pada perlakuan antarbulu ayam yang menunjukkan hasil yang nyata (P<5) pada perlakuan A terhadap perlakuan B, C, dan D. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan teknologi pengolahan pada perlakuan B, C, dan D, secara signifikan mampu meningkatkan konsentrasi VFA bahan tersebut sehingga dibandingkan dengan perlakuan A, ketiga perlakuan tersebut dengan teknologi pengolahan pada masing-masingnya mampu merubah komponen dalam bulu ayam tersebut menjadi mudah difermentasi oleh mikroba rumen.

Dokumen terkait