FERMENTABILITAS DAN KECERNAAN IN VITRO BULU AYAM DAN LIMBAH UDANG YANG DIOLAH DENGAN BEBERAPA
TEKNOLOGI PENGOLAHAN BAHAN PAKAN
SKRIPSI
MILHUD A. NASUTION 050306005
DEPARTEMEN PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
FERMENTABILITAS DAN KECERNAAN IN VITRO BULU AYAM DAN LIMBAH UDANG YANG DIOLAH DENGAN BEBERAPA
TEKNOLOGI PENGOLAHAN BAHAN PAKAN
SKRIPSI
MILHUD A. NASUTION 050306005
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
DEPARTEMEN PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul : Fermentabilitas dan Kecernaan In Vitro Bulu Ayam dan Limbah Udang yang Diolah dengan Beberapa Teknologi Pengolahan Bahan Pakan
Nama : Milhud A. Nasution
Nim : 050306005
Departemen : Peternakan
Progam studi : Produksi Ternak
Disetujui Oleh Komisi Pembimbing
Ir. Edhy Mirwandhono, M.Si Dr. Ir. Philipus Sembiring, MS
Ketua Anggota
Mengetahui,
Prof. Dr. Ir. Zulfikar Siregar, MP
Ketua Departemen Peternakan
ABSTRAK
MILHUD A. NASUTION: Fermentabilitas dan Kecernaan In Vitro Bulu Ayam dan Limbah Udang yang Diolah dengan Beberapa Teknologi Pengolahan Bahan Pakan. Dibimbing oleh EDHY MIRWANDHONO dan PHILIPUS SEMBIRING.
Pakan ruminansia umumnya terdiri dari hijauan dan konsentrat. Sulitnya menyediakan hijauan dikarenakan semakin sempitnya lahan pertanian mengharuskan penyediaan pakan alternatif dari berbagai hasil samping seperti bulu ayam dan limbah udang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh teknologi pengolahan terhadap nilai kecernaan dan fermentabilitas bulu ayam dan limbah udang dalam rumen sapi secara in vitro. Penelitian dibagi menjadi dua tahapan, pertama, pengolahan terhadap bahan pakan perlakuan dan kedua pengujian terhadap parameter penelitian yaitu fermentabilitas (konsentrasi NH3
dan Volatile Fatty Acid (VFA)) dan kecernaan (bahan kering dan bahan organik) secara in vitro dengan menggunakan metode Tilley dan Terry. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok non faktorial dengan delapan perlakuan. Perlakuan yang diuji meliputi: A (tepung bulu ayam tanpa pengolahan); B (bulu ayam + hidrolisis + giling); C (bulu ayam + presto + hidrolisis + giling); D (C + fermentasi); E (tepung limbah udang tanpa pengolahan); F (limbah udang + hidrolisis + giling); G (limbah udang + presto + hidolisis + giling); H (G + fermentasi).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan teknologi pengolahan perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap nilai koefisien cerna bahan kering (KCBK) dan koefisien cerna bahan organik (KCBO) bahan pakan perlakuan, sedangkan terhadap konsentrasi NH3 dan VFAnya memberi pengaruh yang
berbeda tidak nyata. Penggunaan teknologi pengolahan bahan pakan terhadap bulu ayam dalam penelitian ini mampu meningkatkan nilai KCBK dan KCBO secara signifikan, sedangkan terhadap limbah udang, teknologi pengolahan yang sama tidak mampu meningkatkan nilai KCBK dan KCBOnya.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Binjai pada tanggal 27 April 1986 dari ayah Abdul
Latif Nasution dan ibu Cipta Ningsih. Penulis merupakan putra keempat dari lima
bersaudara.
Tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri II, Binjai dan pada tahun yang
sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur ujian tertulis Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih program studi Produksi Ternak,
Departemen Peternakan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan
Mahasiswa Departemen Peternakan dan Himpunan Mahasiswa Muslim
Peternakan (HIMMIP), sebagai asisten praktikum di Laboratorium Anatomi dan
Fisiologi Ternak dan Laboratorium Bahan Pakan Ternak dan Formulasi Ransum.
Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di kecamatan Ujung
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat
rahmat dan karunia–Nya sehingga penuis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul ”Fermentabilitas dan Kecernaan In Vitro Bulu Ayam dan Limbah Udang
yang Diolah dengan Beberapa Teknologi Pengolahan Bahan Pakan”.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Ir. Edhy Mirwandhono, M. Si. selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak
Dr. Ir. Philippus Sembiring, MS. selaku anggota komisi pembimbing yang telah
membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dari
mulai menetapkan judul, melakukan penelitian, sampai pada ujian akhir. Khusus
untuk Ibu Dian Anggraeni di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB, Bogor, penulis
menyampaikan banyak terima kasih atas bantuannya selama penulis
mengumpulkan data.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar dan
pegawai di Departemen Peternakan, USU, Medan, dan kepada civitas akademik
Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan, IPB, Bogor, serta rekan-rekan mahasiswa yang tidak dapat disebutkan satu
per satu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga
skripsi ini bermanfaat.
Medan, Maret 2010
DAFTAR ISI Metabolisme Rumen ... 6 Produksi Volatile Fatty Acid (VFA) dalam Rumen ... 6 Teknik Pengolahan Bulu Ayam ... 13 Hirdolisis Bulu Ayam ... 14 Teknik Pengolahan Limbah Udang ... 16 Hidrolisis Limbah Udang ... 18 Proses Fermentasi ... 19 BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 21
Bahan ... 21
Alat ... 21
Metode Penelitian ... 22
Parameter Penelitian ... 23
Pelaksaan Penelitian ... 24
HASIL DAN PEMBAHASAN Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) ... 26
Koefisien Cerna Bahan Organik ... 30
Kadar Nitrogen Amonia (N-NH3) ... 34
Kadar Volatile Fatty Acid (VFA) ... 37
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 41
Saran ... 41
DAFTAR TABEL
1. Kandungan nutrisi tepung bulu ... 11
2. Kandungan nutrisi limbah udang tanpa dan dengan pengolahan ... 12
3. Rataan Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) ... 26
4. Sidik ragam Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) ... 27
5. Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) teknologi pengolahan perlakuan terhadap Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) ... 27
6. Sidik ragam Ortogonal Kontras KCBK ... 29
7. Rataan Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO) ... 31
8. Sidik ragam Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO) ... 31
9. Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) teknologi pengolahan perlakuan terhadap Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO) ... 32
10.Sidik ragam Ortogonal Kontras KCBO ... 33
11.Rataan Konsentrasi NH3 ... 34
12.Sidik ragam Konsentrasi NH3 ... 35
13.Sidik ragam Ortogonal Kontras Konsentrasi NH3 ... 36
15.Sidik ragam Konsentrasi VFA ... 38
16.Sidik ragam Ortogonal Kontras Konsentrasi VFA ... 39
17.Rekapitulasi hasil penelitian ... 40
DAFTAR GAMBAR
1. Struktur kimia keratin ... 14
ABSTRAK
MILHUD A. NASUTION: Fermentabilitas dan Kecernaan In Vitro Bulu Ayam dan Limbah Udang yang Diolah dengan Beberapa Teknologi Pengolahan Bahan Pakan. Dibimbing oleh EDHY MIRWANDHONO dan PHILIPUS SEMBIRING.
Pakan ruminansia umumnya terdiri dari hijauan dan konsentrat. Sulitnya menyediakan hijauan dikarenakan semakin sempitnya lahan pertanian mengharuskan penyediaan pakan alternatif dari berbagai hasil samping seperti bulu ayam dan limbah udang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh teknologi pengolahan terhadap nilai kecernaan dan fermentabilitas bulu ayam dan limbah udang dalam rumen sapi secara in vitro. Penelitian dibagi menjadi dua tahapan, pertama, pengolahan terhadap bahan pakan perlakuan dan kedua pengujian terhadap parameter penelitian yaitu fermentabilitas (konsentrasi NH3
dan Volatile Fatty Acid (VFA)) dan kecernaan (bahan kering dan bahan organik) secara in vitro dengan menggunakan metode Tilley dan Terry. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok non faktorial dengan delapan perlakuan. Perlakuan yang diuji meliputi: A (tepung bulu ayam tanpa pengolahan); B (bulu ayam + hidrolisis + giling); C (bulu ayam + presto + hidrolisis + giling); D (C + fermentasi); E (tepung limbah udang tanpa pengolahan); F (limbah udang + hidrolisis + giling); G (limbah udang + presto + hidolisis + giling); H (G + fermentasi).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan teknologi pengolahan perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap nilai koefisien cerna bahan kering (KCBK) dan koefisien cerna bahan organik (KCBO) bahan pakan perlakuan, sedangkan terhadap konsentrasi NH3 dan VFAnya memberi pengaruh yang
berbeda tidak nyata. Penggunaan teknologi pengolahan bahan pakan terhadap bulu ayam dalam penelitian ini mampu meningkatkan nilai KCBK dan KCBO secara signifikan, sedangkan terhadap limbah udang, teknologi pengolahan yang sama tidak mampu meningkatkan nilai KCBK dan KCBOnya.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan populasi ternak secara umum harus diimbangi dengan
penyediaan dan pemberian pakan yang memadai baik dalam kuantitas, kualitas
maupun kontinuitas. Pakan ruminansia umumnya terdiri dari hijauan dan
konsentrat. Semakin sempitnya lahan pertanian sebagai akibat pesatnya
perkembangan pembangunan pemukiman dan industri, menyebabkan ketersediaan
lahan untuk tanaman hijauan pakan secara otomatis semakin berkurang. Di sisi
lain ketersediaan bahan baku pakan penyusun konsentrat bersaing dengan
kebutuhan untuk pangan. Konsekuensinya produktivitas ternak, khususnya ternak
ruminansia belum optimal.
Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah di atas adalah upaya
pemanfaatan berbagai macam produk samping pertanian dan agroindustri. Namun
demikian Jetana et al., (1998) dan Winugroho (1999) melaporkan bahwa
bermacam produk samping pertanian mempunyai kualitas yang cukup rendah.
Oleh karena itu, jika ransum ternak tersusun hanya berasal dari produk samping
rendah. Hal ini disebabkan kebutuhan ternak akan nutrien tidak terpenuhi
(Jetana et al., 1998; Kanjanapruthipong et al., 2001). Sebagai solusinya, untuk
dapat memenuhi kebutuhan ternak akan nutrien agar dapat berproduksi secara
optimal, pakan ekstra atau tambahan perlu diberikan (Garg, 1998).
Beberapa produk samping pertanian dan agroindustri tertentu diketahui
mengandung nutrien yang cukup tinggi, serta belum dimanfaatkan secara optimal
sebagai bahan baku pakan. Hal ini disebabkan, selain kurangnya informasi
ketersediaan dan manfaat produk tersebut, juga disebabkan produk tersebut
memiliki nilai biologis yang rendah.
Begitu juga halnya dengan bahan pakan yang berasal dari limbah
perkebunan mempunyai kandungan serat kasar yang tinggi. Kadar serat kasar
yang tinggi dapat mengganggu pencernaan zat-zat lain akibatnya tingkat
kecernaan menjadi menurun. Pemberian pakan dari limbah ini sebagai pakan
ternak dirasa perlu untuk mengetahui sampai sejauh mana peranan hasil samping
produk pertanian dan agroindustri terhadap fermentabilitas dan kecernaan in vitro
sehingga menjadi pakan yang nantinya diharapkan dapat meningkat nilai
kecernaannya.
Produk samping yang dimaksud adalah produk samping dari pemotongan
ayam seperti bulu dan juga dari pengolahan udang seperti limbah udang. Karena
diketahui bahwa kedua hasil samping ini masih mempunyai kandungan nutrisi
yang bahkan lebih baik dari hasil samping pertanian dan agroindustri lainnya.
Adiati dan Puastuti (2004) menjelaskan bulu ayam merupakan limbah yang masih
punya potensi untuk dimanfaatkan, karena masih memiliki kandungan nutrisi
sebesar 80-91% dari bahan kering, melebihi kandungan protein kasar bungkil
kedelai (42,5%) dan tepung ikan (66,2%). Menurut Shahidi dan Synowiecki
(1992), limbah udang mengandung protein 41,9%, khitin 17,0%, abu 29,2% dan
lemak 4,5% dari bahan kering.
Akan tetapi, kedua hasil samping produk pertanian dan agroindustri ini
memiliki kelemahan yaitu tingkat kecernaannya yang rendah dimana pada bulu
ayam terdapat kandungan keratin sebanyak 8,8% dari kandungan proteinnya
(Scott et al., 1982), sedangkan pada limbah udang terdapat kandungan khitin
sebanyak 23-30% (Hartadi et al., 1997), sehingga dalam penggunaannya sebagai
bahan pakan ternak perlu sentuhan teknologi untuk meningkatkan nilai gizinya.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk menelaah sejauh
mana peluang pemanfaatan bulu ayam dan limbah udang dapat dipergunakan
sebagai bahan pakan tambahan untuk ternak ruminansia dengan merombak pakan
yang berkualitas baik tersebut dengan pengolahan secara mekanik, kimia, dan
biologis menjadi pakan yang lebih baik lagi sehingga bermanfaat untuk memenuhi
kebutuhan gizi ternak ruminansia.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh teknologi pengolahan terhadap nilai
kecernaan dan fermentabilitas bulu ayam dan limbah udang dalam rumen sapi
secara in vitro.
Hipotesis Penelitian
Penggunaan bulu ayam dan limbah udang yang diolah secara mekanik,
organik) dan nilai fermentabilitas (konsentrasi amonia (NH3) dan Volatile Fatty
Acid (VFA) dalam rumen sapi secara in vitro.
Kegunaan Penelitian
1. Sebagai salah satu syarat untuk dapat meraih gelar sarjana pada
Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,
Medan.
2. Sebagai bahan informasi bagi para peneliti dan kalangan akademisi atau
instansi yang berhubungan dengan peternakan, serta masyarakat peternak
umumnya mengenai nilai kecernaan bulu ayam dan limbah udang dalam
TINJAUAN PUSTAKA
Rumen
Rumen merupakan tabung besar dengan berbagai kantong yang
menyimpan dan mencampur ingesta bagi fermentasi mikroba. Kerja ekstansif
bakteri dan mikroba terhadap zat-zat makanan menghasilkan pelepasan produk
akhir yang dapat diasimilasi. Papila berkembang dengan baik sehingga luas
permukaan rumen bertambah 7 kalinya. Dari keseluruhan asam lemak terbang
yang diproduksi, 85% diabsorbsi melalui epitelium yang berada pada dinding
retikulo-rumen (Blakely and Bade,1982).
Kondisi dalam rumen adalah anaerobik dan mikroorganisme yang paling
sesuai dan dapat hidup dapat ditemukan didalamnya. Tekanan osmos pada rumen
mirip dengan tekanan aliran darah. Temperatur dalam rumen adalah 38–42oC, pH
dipertahankan dengan adanya absorbsi asam lemak dan amonia. Saliva yang
masuk kedalam rumen berfungsi sebagai buffer dan membantu mempertahankan
pH tetap pada 6,8. Hal ini disebabkan oleh tingginya kadar ion HCO3 dan PO4
(Arora, 1995).
Pencernaan secara fermentatif dilakukan oleh mikroorganisme rumen
sedangkan secara hidrolisis dilakukan oleh jasad renik dengan cara penguraian
dalam rumen (Tillman et al, 1991).
Cairan rumen segar didapat dengan memeras isi rumen. Cairan
ditempatkan ke dalam termos yang telah dipanaskan terlebih dahulu dengan suhu
39oC. Cairan rumen disaring dengan kain kasa dan ditampung kedalam wadah
ditambahkan gas CO2 supaya kondisi anaerob sampai dilakukan inokulasi
(Afdal dan Erwan, 2008).
Metabolisme Rumen
Sistem pencernaan pada ruminansia melibatkan interaksi dinamis antara
bahan pakan, populasi mikroba dan ternak itu sendiri. Pakan yang masuk ke mulut
akan mengalami proses pengunyahan atau pemotongan secara mekanis sehingga
membentuk bolus. Pada proses ini, pakan bercampur dengan saliva kemudian
masuk ke rumen melalui esofagus untuk selanjutnya mengalami proses
fermentatif. Bolus di dalam rumen akan dicerna oleh enzim mikroba. Partikel
pakan yang tidak dicerna di rumen dialirkan ke abomasum dan dicerna secara
hidrolitik oleh enzim pencernaan. Hasil pencernan tersebut akan diserap oleh usus
halus dan selanjutnya masuk ke dalam darah (Sutardi, 1977). Proses fermentasi
pakan di dalam rumen menghasilkan VFA dan NH3, serta gas-gas (CO2, H2, dan
CH4) yang dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Arora, 1995).
Produksi Volatil Fatty Acid (VFA) dalam Rumen
VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan merupakan
sumber energi utama ruminansia asal rumen. Peningkatan jumlah VFA
menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut difermentasi oleh mikroba
rumen. Produksi VFA di dalam cairan rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur
fermentabilitas pakan (Hartati, 1998). McDonald et al., (2002) menyatakan bahwa
pakan yang masuk ke dalam rumen difermentasi untuk menghasilkan produk
berupa VFA, sel-sel mikroba, serta gas metan dan CO2. Karbohidrat pakan di
oleh mikroba rumen. Pada tahap pertama mikroba rumen mengalami hidrolisis
menjadi monosakarida, seperti glukosa, fruktosa dan pentosa. Hasil pencernaan
tahap pertama masuk ke jalur glikolisis Embden-Meyerhoff untuk mengalami
pencernaan tahap kedua yang menghasilkan piruvat. Piruvat selanjutnya akan
dirubah menjadi VFA yang umumnya terdiri dari asetat, butirat, dan propionat
(Arora, 1995).
Kisaran produk VFA cairan rumen normal yang mendukung pertumbuhan
mikroba adalah 80 sampai 160 mM (Sutardi, 1980), sedangkan konsentrasi VFA
yang dihasilkan oleh ternak sapi rata-rata 111 mM (Hungate, 1966).
McDonald et al., (2002) menjelaskan konsentrasi VFA sangat dipengaruhi oleh
jenis pakan, VFA yang tinggi menunjukkan peningkatan kandungan protein dan
karbohidrat mudah larut dari pakan.
Produksi N-Amonia (NH3) dalam Rumen
Di dalam rumen, protein pakan akan mengalami proses degradasi menjadi
peptida-peptida dan akhirnya menjadi asam-asam amino. NH3 berasal dari protein
pakan yang didegradasi oleh enzim proteolitik. Di dalam rumen, protein
dihidrolisis pertama kali oleh mikroba rumen (Arora, 1989).
Beberapa asam amino langsung digunakan oleh bakteri untuk sintesis
protein tubuhnya sendiri, tetapi sebagian besar mikroba rumen tidak dapat
memanfaatkan asam amino secara langsung karena diduga mikroba tersebut tidak
memiliki sistem transpor untuk mengangkut asam amino ke dalam tubuhnya.
Mikroba tersebut lebih suka merombak asam amino menjadi amonia. Lebih
Pengukuran N-NH3 in vitro dapat digunakan untuk mengestimasi
degradasi protein dan kegunaannya oleh mikroba. Produksi amonia dipengaruhi
oleh waktu setelah makan dan umumnya produksi maksimum dicapai pada 2-4
jam setelah pemberian pakan yang bergantung kepada sumber protein yang
digunakan dan mudah tidaknya protein tersebut didegradasi (Wohlt et al, 1976).
Jika pakan defisien protein atau tinggi kandungan protein yang lolos degradasi,
maka konsentrasi N-NH3 rumen akan rendah (lebih rendah dari 50 mg/1 atau 3,57
mM) dan pertumbuhan organisme rumen akan lambat (Satter dan Slyter, 1974).
Sebaliknya, jika degradasi protein lebih cepat daripada sintesis protein mikroba
maka NH3 akan terakumulasi dan melebihi konsentrasi optimumnya. Kisaran
optmum NH3 dalam rumen berkisar antara 85 – 300 mg/l 1 atau 6-21 mM
(McDonald et al., 2002).
McDonald et al. (2002) menjelaskan bahwa konsentrasi NH3 yang tinggi
dapat menunjukkan proses degradasi protein pakan lebih cepat daripada proses
pembentukan protein mikroba, sehingga amonia yang dihasilkan terakumulasi
dalam rumen.
Adanya mikroba dan aktifitas fermentasi di dalam rumen merupakan salah
satu karakteristik yang membedakan sistem pencernaan ternak ruminansia dengan
ternak lain. Mikroba tersebut sangat berperan dalam mendegradasi pakan yang
masuk ke dalam rumen menjadi produk-produk sederhana yang dapat
dimanfaatkan oleh mikroba maupun induk semang dimana aktifitas mikroba
tersebut sangat tergantung pada ketersediaan nitrogen dan energi
pencernaan tersebut terdiri dari bakteri, protozoa dan jamur yang jumlah dan
komposisinya bervariasi tergantung pada pakan yang dikonsumsi ternak
(Preston dan Leng, 1987).
Mikroba rumen membantu ternak ruminansia dalam mencerna pakan yang
mengandung serat tinggi menjadi asam lemak terbang (Volatile Fatty Acids =
VFA’s) yaitu asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam valerat serta asam
isobutirat dan asam isovalerat. VFA’s diserap melalui dinding rumen dan
dimanfaatkan sebagai sumber energi oleh ternak. Sedangkan produk metabolis
yang tidak dimanfaatkan oleh ternak yang pada umumnya berupa gas akan
dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Barry et al., 1977). Namun yang
lebih penting ialah mikroba rumen itu sendiri, karena biomas mikroba yang
meninggalkan rumen merupakan pasokan protein bagi ternak ruminansia.
Sauvant et al. (1995) menyebutkan bahwa 2/3 – 3/4 bagian dari protein yang
diabsorbsi oleh ternak ruminansia berasal dari protein mikroba.
Kualitas pakan yang rendah seperti yang umum terjadi di daerah tropis
menyebabkan kebutuhan protein untuk ternak ruminansia sebagian besar dipasok
oleh protein mikroba rumen. Soetanto (1994) menyebutkan hampir sekitar 70 %
kebutuhan protein dapat dicukupi oleh mikroba rumen.
Produk akhir fermentasi protein akan digunakan untuk pertumbuhan
mikroba itu sendiri dan digunakan untuk mensintesis protein sel mikroba rumen
sebagai pasokan utama protein bagi ternak ruminansia. Menurut Aurora (1995)
sekitar 47% sampai 71% dari nitrogen yang ada di dalam rumen berada dalam
Teknik In Vitro
Teknik fermentasi rumen secara in vitro adalah teknik yang mencoba
untuk meniru fermentasi struktur komponen karbohidrat menjadi komponen yang
larut oleh enzim mikrobia rumen dalam keadaan anaerob dan temperatur serta pH
yang terkontrol.
Metode kecernaan in vitro mula-mula dikembangkan oleh Tilley dan Terry
pada tahun 1963 di Grassland Research Institute, Hurley, England. Metode ini
terdiri dari dua fase, dimana kedua fase tersebut masing-masing menyerupai atau
meniru pencernaan bahan pakan yang terjadi di alat pencernaan ternak
ruminansia, yaitu fase I seperti yang terjadi di dalam rumen dan fase II seperti
yang terjadi di dalam usus, sedang pengerjaannya dilakukan dengan
tabung-tabung reaksi, khemikalia, dan alat-alat tertentu di laboratorium.
Suhu fermentasi diusahakan sama dengan suhu fermentasi dalam rumen
yaitu berkisar 40-420C. Suhu tersebut harus stabil selama proses fermentasi
berlangsung, hal ini dimaksud agar mikroba dapat berkembang sesuai dengan
kondisi asal. Aktifitas mikroba rumen tetap berlangsung normal bila pH rumen
berkisar antara 6,7 – 7,0. Perubahan pH yang besar dapat dicegah dengan
penambahan larutan buffer bikarbonat dan fosfat (Johnson, 1996).
Sumber inokulum in vitro berupa cairan rumen. Perbedaaan hasil
fermentasi secara in vitro dapat disebabkan oleh sumber inokulum
(Johnson, 1996). Untuk fermentasi jenis tersebut digunakan tabung fermentor
sebagai bejana fermentasi sehingga pada akhir fermentasi tidak perlu
memindahkan ke dalam tabung lain. Pada akhir fermentasi tabung disentrifuge
bersamaan dengan pengadukan secara mekanik dilakukan dalam fermentasi
in vitro dengan meniru prinsip pengadukan dalam rumen sesungguhnya yang
selalu bergerak secara teratur. Gerakan rumen juga ditiru dengan penempatan
bejana fermentasi dalam shakerbat.
Potensi Bulu Ayam
Keunggulan penggunaan tepung bulu ayam untuk ternak ruminansia
adalah sejumlah protein yang tahan terhadap perombakan oleh mikroorganisme
rumen (rumen undegranable/RUP), dan mampu diurai secara enzimatis pada
saluran pencernaan pasca rumen. Nilai RUP tersebut berkisar antara 53-88%,
sementara nilai kecernaan dalam rumen berkisar 12-46% (Adiati et al., 2002).
Tabel 1. Kandungan nutrisi tepung bulu
Zat Nutrisi Kandungan (%)
Protein Kasar 79,80
Serat Kasar 0,32
Lemak Kasar 3,77
Bahan Kering 91,37
Methionine 0,50
Sumber : Rasyaf (1994)
Menurut Indah (1993) asam amino bersulfur (sistin, sistein, methionine)
merupakan asam amino pembatas yang perlu ditambahkan sebagai prekursor
untuk pertumbuhan bahan optimum mikroba rumen. Salah satu sumber asam
amino bersulfur yang alami adalah tepung bulu ayam.
Kandungan protein kasar bulu ayam lebih tinggi dari kandungan protein
kasar bungkil kedelai (42,5 %) dan tepung ikan yang hanya mencapai 66,2%,
yang umumnya dipergunakan sebagai komponen utama sumber protein dalam
tersebut belum disertai dengan nilai biologis yang tinggi. Tingkat kecernaan bahan
kering dan bahan organik bulu ayam secara in vitro masing-masing hanya sebesar
5,8% dan 0,7%. Rendahnya nilai kecernaan tersebut disebabkan bulu ayam
tergolong dalam protein fibrous/serat. Oleh karena itu, diperlukan sentuhan
teknologi, agar kualitas protein tercerna bulu ayam dapat ditingkatkan
(Adiati et al., 2002).
Potensi Limbah Udang
Udang di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, selama ini
potensi udang Indonesia rata-rata meningkat sebesar 7,4% per tahun (pada tahun
2001), potensi udang nasional mencapai 633.681 ton. Dengan asumsi laju
peningkatan tersebut tetap, maka pada tahun 2004 potensi udang diperkirakan
sebesar 785.025 ton. Dari proses pembekuan udang untuk eksport, 60-70% berat
udang menjadi limbah (bagian kulit, kepala dan ekor) sehingga diperkirakan akan
dihasilkan limbah udang sebesar 510.266 ton (Prasetyo, 2004).
Tabel 2. Kandungan nutrisi limbah udang tanpa dan dengan pengolahan
Nutrisi (%) L.udang Hidrolisat
* Lab. Ilmu Makanan Ternak, Departemen Peternakan USU (2009)
Salah satu pilihan sumber protein adalah tepung limbah udang. Tepung
kepala dan kulit udang. Proporsi kepala dan kulit udang diperkirakan antara
30%-40% dari bobot udang segar. Faktor positif bagi tepung limbah udang karena
produk ini limbah maka berkesinambungan penyediaannya terjamin sehingga
harganya cukup stabil dan kandungan nutrisinya bersaing dengan bahan baku
lainnya (Widjaya, 1993).
Menurut Shahidi dan Synowiecki (1992), limbah udang mengandung
protein 41,9%, khitin 17,0%, abu 29,2% dan lemak 4,5% dari bahan kering. Dari
kandungan protein yang cukup tingi, limbah kepala udang juga mengandung
semua asam amino esensial terutama methionine yang sering menjadi faktor
pembatas pada protein nabati.
Teknik Pengolahan Bulu Ayam
Kendala utama penggunaan tepung bulu ayam dalam ransum untuk ternak
adalah rendahnya daya cerna protein bulu. Hal tersebut disebabkan karena
sebagian besar kandungan protein kasar berbentuk keratin (Indah, 1993). Dalam
saluran pencernaan, keratin tidak dapat dirombak menjadi protein tercerna
sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh ternak. Bulu ayam yang merupakan
produk sampingan dari pemotongan ayam sampai saat ini belum banyak
dimanfaatkan secara optimal. Hal ini disebabkan karena protein yang terkandung
di dalamnya sulit dicerna. Protein kasar bulu ayam termasuk dalam jenis protein
serat, yaitu keratin yang sulit dicerna baik oleh mikroorganisme rumen maupun
oleh enzim-enzim pencernaan pascarumen (Tillman et al., 1982). Agar dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pakan, bulu ayam harus diberi perlakuan, dengan
Menurut Adiati et al. (2002), pengolahan tepung bulu ayam dapat
dilakukan dengan empat cara, yaitu perlakuan fisik dengan temperatur dan
tekanan (autoclave), perlakuan kimia dengan asam dan basa (NaOH, HCI),
perlakuan enzim (Papadopoulos et al., 1985) dan fermentasi dengan
mikroorganisme (Williams et al., 1991). Pengolahan secara kimia dapat dilakukan
secara hidrolisis dengan menggunakan HCl 6%, NaOH 3% dan H2O2 5%
(Titgemeyer et al., 2002).
Gambar 1. Struktur kimia keratin
NH─CHR─CO─NH─CH─CO─NH─CHR─CO
Sumber : Haurowitz (1984) disitasi Ketaren (2008)
Hidrolisis Bulu Ayam
Teknik hidrolisis bulu ayam yang telah banyak dilakukan yaitu dengan
asam alkali. Selain itu penggunaan tekanan dan suhu tinggi juga telah digunakan,
khususnya pada skala industri yaitu menggunakan tekanan sebesar 3 Bar, suhu
105°C selama 8 jam dengan kelembaban 8-10%, kadar air 40%, dan ini akan
menghasilkan tepung bulu ayam dengan kadar protein ±76%, akan tetapi teknik
ini membutuhkan biaya mahal dan kualitas protein bulu ayam menurun karena
Tepung bulu ayam dalam bentuk alami tanpa pengolahan mempunyai nilai
nutrisi yang rendah. Oleh sebab itu, bulu ayam sebelum digunakan sebagai pakan
ternak terlebih dahulu dilakukan pengolahan. Hidrolisat bulu ayam dengan HCl
12% merupakan salah satu cara pengolahan bulu ayam. Hidrolisat bulu ayam
dengan HCl 12% memberikan hasil tepung bulu ayam yang lebih alami dan asam
amino yang rusak dapat dikurangi. Bulu ayam yang dihidrolisat terlebih dahulu
dikeringkan sampai kadar air 15%. Selanjutnya, bahan tersebut dicampur dengan
larutan HCl 12%. Perbandingan berat bulu ayam dengan volume HCl 12% dalam
pencampuran adalah 2:1 (100 kg bulu ayam dicampur dengan 50 liter HCl 12%).
Bulu ayam dan HCl 12% dicampur merata, setelah itu dilakukan pemeraman
selama 3 hari. Setelah pemeraman, hidrolisat bulu ayam dikeringkan dengan
panas matahari atau oven 60oC sampai kadar air 13-15%. Selanjutnya, hidrolisat
bulu ayam digiling dan diberikan pada ternak dalam bentuk halus
(Muhtarudin et al., 2002).
Muhtarudin et al. (2002) juga menjelaskan protein bulu ayam terikat oleh
ikatan keratin, sehingga perlu pengolahan terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan
oleh ternak. Pengolahan secara kimiawi dapat dilakukan dengan hidrolisis
memakai HCl 12% atau NaOH 3-6%. Secara fisik dapat dilakukan dengan
tekanan 3 bar dan suhu 150oC. Pengolahan yang dipilih adalah dengan hidrolisis
memakai HCl 12%, dengan pertimbangan bahwa produksi NH3 yang diperoleh
tertinggi dan kerusakan asam amino seminimal mungkin.
Asam amino bersulfur (sistin, sistein, dan mehtionine) merupakan asam
amino pembatas yang perlu ditambahkan sebagai prekursor untuk pertumbuhan
adalah tepung bulu ayam. Hidrolisat bulu ayam (hasil hidrolisis bulu ayam dengan
NaOH atau HCl) mengandung asam amino sistein (3.6g/16g N) yang tinggi serta
sedikit methionine (0.7g/16g N) (Cunningham et al., 1994) dan total proteinnya
mencapai 81.0%. Hidrolisat bulu ayam merupakan sumber asam amino pembatas
lainnya pada ternak ruminansia, hidrolisat bulu ayam juga dapat merupakan
sumber asam amino rantai cabang (valin, isoleusin, dan leusin) dan lisin
(Muhtarudin, 2002). Asam amino lisin merupakan asam amino pembatas karena
ketersediaannya di alam bahan pakan kurang, sehingga diperlukan penambahan
atau bahan pakan sumber lisin. Hidrolisat bulu ayam merupakan sumber lisin dan
ketersediaannya tinggi (Klemesrud et al., 1998 ; Muhtarudin, 2002).
Teknik Pengolahan Limbah Udang
Limbah kepala udang sebagai sumber asam amino pembatas mempunyaii
keterbatasan dalam penggunaannya, karena mengandung khitin. Oleh karena itu,
kualitas kepala udang dapat diperbaiki dengan cam fisik, biologi, maupun kimia.
Pengolahan secara kimia dapat dilakukan secara hidrolisis dengan menggunakan
HCI 6%, NaOH 3% dan H202 5%. Tujuan dari pengolahan tersebut adalah untuk
meningkatkan nilai kecernaan dan laju degradasi dalam rumen dan pascarumen,
sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ternak ruminansia
(Qisthon dan Adhianto, 2007).
Khitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10 (Hirano, 1986),
merupakan zat padat yang tak berbentuk (amorphous), tak larut dalam air, asam
anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol, dan pelarut organik lainnya
dibandingkan dengan selulosa dan merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi
sedikit, sedangkan khitosan adalah khitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin.
Proses isolasi khitin dari kulit udang secara garis besar dapat dibagi
menjadi dua, demineralisasi (penghilangan mineral) dan deproteinasi
(penghilangan protein). Jika khitin diproses selanjutnya menggunakan larutan
basa pekat maka akan dihasilkan produk baru yaitu kitosan.Secara kimia, khitin
dan kitosan dapat dianggap sebagai turunan selulosa dengan gugus hidroksil pada
atom C-2 selulosa digantikan oleh gugus asetamida dan amina bebas. Jika gugus
hidroksi pada atom C-2 selulosa digantikan oleh gugus asetamida, maka senyawa
yang terbentuk adalah khitin. Tetapi jika gugus hidroksi pada atom C-2 selulosa
digantikan oleh gugus amina bebas maka senyawa yang terbentuk adalah kitosan
(Ledyastuti, 2007).
Gambar 2. Struktur kimia Khitin
Sumber : Ledyastuti (2007)
Penggunaan limbah udang sebagai bahan pakan ternak perlu sentuhan
teknologi untuk meningkatkan nilai gizinya, karena bahan ini mempunyai
beberapa kelemahan yaitu serat kasar tinggi, dan memiliki kecernaan protein yang
rendah karena mengandung zat anti nutrisi khitin sebanyak 23-30%
(Hartadi et al., 1997). Zat ini merupakan suatu polisakarida yang bergabung
yang merupakan faktor pembatas penggunaan limbah kepala udang
(Wanasuria, 1990).
Khitin terdiri dari unit-unit N-asetilglukosamin dengan ikatan beta 1,4.
Modifikasi khitin banyak digunakan pada produk-produk yang membutuhkan
perlakuan kemikalia. Modifikasi khitin memerlukan pemecahan dengan enzim
khitinase. Banyak bakteri yang menghasilkan khitinase dan salah satu di antaranya
adalah Serratia marcescens. Khitinase memiliki peran penting dalam
pengendalian biologis terhadap jamur-jamur patogen pada tanaman dan degradasi
khitin yang terkandung pada limbah. Pemurnian khitinase dari Serratia
marcescens relatif sulit karena terdapat lima jenis enzim kihtinase yang berbeda.
Pemurnian satu tahap dengan fraksionasi enzim merupakan teknik yang canggih
dan sulit dilakukan. Metode yang lebih sederhana adalah filtrasi gel
(Nawani and Kapadnia, 2001).
Hidrolisis Limbah Udang
Pengolahan secara kimia dapat dilakukan secara hidrolisis dengan
menggunakan HCl 6%, NaOH 3% dan H2O2 5% (Titgemeyer et al., 2002).
Hidrolisis ditujukan untuk mendegradasi khitin yang terdapat dalam
protein limbah udang (Batubara, 2000). Pada hidrolisis dalam suasana asam,
asam–asam amino akan rusak karena mengalami deaminasi (perenggangan ikatan
secara selektif). Pada hidrolisis dalam suasana basa, asam–asam amino akan
mengalami rasemasi (kehilangan kegiatan optik) (Schumm, 1992). Hidrolisis
dapat menyebabkan perubahan sifat suatu senyawa kimia akibat dari
substrat atau senyawa yang akan dihidrolisis, bahan pelarut hidrolisis, dan kondisi
sekeliling (Mulyono, 2001).
Cara hidrolisis limbah udang yang dilakukan oleh Bastaman (1989),
sebagai berikut:
1. Mengambil sampel limbah udang, kemudian masing-masing dicampur dengan
larutan (NaOH 3%, HCl 6%, dan H2O2 5%).
2. Memberikan perlakuan dengan perbandingan berat limbah udang dan volume
masing-masing 1: 1 ( 100 g limbah tepung udang dalam 100 ml larutan).
3. Mencampur limbah udang dengan larutan tersebut secara merata, selanjutnya
dilakukan pemeraman selama 6 hari untuk hidrolisis dengan NaOH 3% dan HCl
6%, sedangkan untuk H2O2 selama 6 jam.
4. Setelah pemeraman, segera mengeringkan hidrolisat limbah udang dipanas
matahari atau oven 80–85oC selama 30 menit.
Proses Fermentasi
Fermentasi adalah segala macam proses metabolik dengan bantuan enzim
dari mikroba untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa, dan reaksi kimia
lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan
menghasilkan produk tertentu (Saono, 1976) dan menyebabkan terjadinya
perubahan sifat bahan tersebut (Winarno, et al., 1980).
Menurut jenis mediumnya, proses fermentasi dibagi 2 yaitu fermentasi
medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi medium padat merupakan
proses fermentasi di mana medium yang digunakan tidak larut tapi cukup
mengandung air untuk keperluan mikroorganisme, sedangkan fermentasi medium
Keuntungan menggunakan medium padat antara lain: (1). Tidak memerlukan
tambahan lain kecuali air. (2). Persiapan inokulum lebih sederhana. (3). Dapat
menghasilkan produk dengan kecepatan tinggi. (4). Kontrol terhadap kontaminan
lebih mudah. (5). Kondisi medium mendekati keadaan tempat tumbuh alamiah.
(6). Produktivitas tinggi. (7). Aerasi optimum. (8). Tidak diperlukan kontrol pH
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Bahan Pakan Ternak dan
Formulasi Ransum Departemen Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara, Medan dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Fakultas
Peternakan, IPB, Bogor. Penelitian ini dimulai pada bulan Januari 2010 dan
berlangsung selama satu bulan.
Bahan dan Alat Penelitian Bahan
Bulu ayam, limbah udang, larutan MC Dougall, cairan rumen segar, gas CO2,
larutan pepsin HCl 0.2%, aquadest, larutan HgCl2 jenuh, larutan NaCO3 jenuh,
larutan H2SO4 0.005 N, asam borat berindikator, larutan HCl 0.5 N, larutan H2SO4
15%, larutan NaOH 0.5N, larutan Indikator PP (Phenol Phtalein 0.1%).
Alat
Timbangan analitik, tabung kaca pyrex volume 100 ml, tutup karet
berventilasi, shaker bath dengan suhu air 39 – 400 C, pipet serologi volume 25
ml, sentrifuge, vortex, cawan porselin, pompa vakum, kertas saring whatman no.
41, gegep, eksikator, oven 105⁰C, tanur listrik, cawan Conway, pipet automatic
10-1000µl, finnpippet 1ml, mikroburet 10 ml, stirrer, seperangkat alat destilasi,
Erlenmeyer, kompor gas, panci press cooker, bulp, pipet volumetrik 5 ml, pipet
Metode Penelitian
Adapun rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan
Acak Kelompok (RAK) dengan 8 perlakuan.
Perlakuan yang akan diteliti adalah :
A = Tepung bulu tanpa pengolahan
B = Bulu ayam + hidrolisis + giling
C = Bulu ayam + presto + hidrolisis +giling
D = C + fermentasi
E = Tepung limbah udang tanpa pengolahan
F = Limbah udang + hidrolisis + giling
G = Limbah udang + presto + hidrolisis + giling
H = G + fermentasi
Sedangkan jumlah ulangan diperoleh dengan menggunakan rumus
perhitungan di bawah ini :
t (n – 1) ≥ 15
8 (n – 1) ≥ 15
8n – 8 ≥ 15
8n ≥ 23
n = 2,875 n ≈ 3 (dibulatkan)
Metode linear yang digunakan :
Yij = µ + Ti + Bj + Σij
Dimana :
i = 1,2,3,…,t (perlakuan)
Yij = Nilai pengamatan yang diperoleh dari satuan perlakuan ke-I dan
ulangan ke-j
µ = Efek dari nilai tengah
Ti = Efek perlakuan pada taraf ke-i
Bj = Efek blok ke-j
Σij = Pengaruh galat percobaan taraf ke-i pada ulangan ke-j
(Hanafiah, 2002)
Parameter Penelitian
1. Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK)
Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) hasil in vitro didapat dengan
menggunakan rumus :
KCBK (%) = BK sampel – (BK residu – BK residu blanko) x 100% BK sampel
2. Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO)
Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO) hasil in vitro didapat dengan
menggunakan rumus :
KCBO (%) = BO sampel – (BO residu – BO residu blanko) x 100% BO sampel
3. Konsentrasi Amonia (N-NH3)
Konsentrasi Amonia (NH3) hasil in vitro didapat dengan menggunakan
rumus :
N-NH3 ( mM ) = ml H2SO4 x N H2SO4 x 1000 gr sample x BK sample
4. Konsentrasi VFA
mM VFA total = ( a – b ) mL x N HCl x 1000 / 5mL
gr sample x BK sample
dimana : a = volume HCl blanko pereaksi ( hanya H2SO4 dan NaOH
saja, tanpa sampel)
b = volume HCl sampel
Pelaksanaan Penelitian
A. Pembuatan Tepung Bulu Ayam dan Tepung Limbah Udang
Bulu ayam dan limbah udang dicuci dan dibersihkan terlebih dahulu dari
kotoran, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari atau dengan alat hingga
kandungan air pada kedua bahan tersebut berkisar 10-15%. Setelah itu, digiling
sampai halus sehingga menjadi tepung bulu dan tepung limbah udang.
B. Pengempukan Bulu Ayam dan Limbah Udang
Bulu ayam dan limbah udang yang telah dicuci bersih kemudian
diempukkan dengan menggunakan press cooker selama 1-2 jam. Selanjutnya
dikeringkan hingga kandungan airnya menjadi 10-15%.
C. Hidrolisis Bulu Ayam dan Limbah Udang
Bulu ayam dan limbah udang dicuci dan dibersihkan terlebih dahulu dari
kotoran, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari atau dengan alat hingga
kandungan air pada kedua bahan tersebut berkisar 10-15%.
Untuk bulu ayam, bahan tersebut dicampur dengan larutan HCl 12%.
Perbandingan berat bulu ayam dengan volume HCl 12% dalam pencampuran
adalah 2:1 (100 kg bulu ayam dicampur dengan 50 liter HCl 12%). Bulu ayam
dan HCl 12% dicampur merata, setelah itu dilakukan pemeraman selama 3 hari.
oven 60oC sampai kadar air 13-15%. Selanjutnya, hidrolisat bulu ayam digiling
hingga halus.
Untuk limbah udang, bahan tersebut digiling terlebih dahulu, kemudian
dicampur dengan larutan HCl 6%. Memberikan perlakuan dengan perbandingan
berat limbah tepung udang dan volume masing-masing 1: 1 (100 g limbah tepung
udang dalam 100 ml larutan). Mencampur limbah udang dengan larutan tersebut
secara merata, selanjutnya dilakukan pemeraman selama 6 hari. Setelah
pemeraman, segera mengeringkan hidrolisat limbah udang dipanas matahari atau
oven 80 – 85oC selama 30 menit.
D. Fermentasi Tepung Bulu dan Tepung Limbah Udang
Tepung bulu dan limbah udang yang telah dihidrolisis kemudian
difermentasi dengan mikroba proteolitik untuk mendegradasi kandungan keratin
dan khitin dalam kedua bahan tersebut.
E. Evaluasi In Vitro
Teknik in vitro dilakukan dengan simulasi kondisi rumen yang
sebenarnya. Teknik ini dilakukan berdasarkan metode Tilley dan Terry (1963).
Teknik ini menggunakan rumen tiruan yang berupa tabung fermentor 100 mL,
larutan McDougall sebagai pengganti cairan saliva dan cairan rumen segar sapi
berfistula rumen sebagai inokulum
F. Analisis Data
Data pengamatan hasil uji in vitro dianalisis. Hasil analisis setiap
perlakuan dengan menggunakan rumus daya cerna secara in vitro dilakukan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Koefesien Cerna Bahan Kering (KCBK)
Kecernaan zat-zat makanan merupakan salah satu ukuran dalam
menentukan kualitas dari pakan. Semakin tinggi kecernaan bahan kering maka
semakin tinggi juga peluang nutrisi yang dapat dimanfaatkan ternak untuk
pertumbuhannya. Kecernaan pakan dipengaruhi oleh pencampuran pakan, cairan
rumen dan inokulasi, pH kondisi fermentasi, pengaturan suhu fermentasi, lama
waktu inkubasi, ukuran sampel, dan larutan penyangga (Selly, 1994). Koefisien
cerna bahan kering berdasarkan hasil analisa in vitro dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan Koefisien Cerna Bahan Kering KCBK)
Perlakuan Kelompok Rataan (%)
I II III
A 13,68 20,25 25,12 19,68
B 23,72 25,00 29,97 26,23
C 48,89 54,66 58,80 54,12
D 53,13 53,80 66,63 57,85
E 47,61 54,48 55,43 52,51
F 48,91 52,35 55,71 52,32
G 47,77 51,10 54,63 51,17
H 46,01 51,15 55,60 50,92
Rataan 41,22 45,35 50,24 45,60
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa rataan persentase koefisien cerna
bahan kering bulu ayam tertinggi diperoleh pada perlakuan D sebesar 57,85%
(bulu ayam yang dipresto, dihidrolisis, digiling, dan difermentasi), dan yang
terendah pada perlakuan A sebesar 19,68% (tepung bulu ayam tanpa pengolahan),
pada perlakuan E sebesar 52,51% (tepung limbah udang tanpa pengolahan), dan
terendah pada perlakuan H sebesar 50,92% (limbah udang yang dipresto,
dihidrolisis, digiling, dan difermentasi).
Untuk mengetahui pengaruh teknologi pengolahan yang digunakan
terhadap koefisien cerna bahan kering (KCBK) bahan pakan perlakuan, maka
dilakukan analisis keragaman yang dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Sidik ragam Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK)
SK dB JK KT F hitung F5% F1%
** = berbeda sangat nyata
Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa teknologi
pengolahan yang digunakan memberi pengaruh yang sangat nyata (P<1) terhadap
koefisien cerna bahan kering (KCBK) bahan pakan perlakuan.
Untuk mengetahui perbedaan antarperlakuan pengaruh teknologi
pengolahan terhadap koefisien cerna bahan kering (KCBK) bahan pakan
perlakuan, maka dilakukan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) yang dapat dilihat pada
Tabel 5 di bawah ini :
G 51,17 c B
H 50,92 c B
Keterangan : Notasi yang sama pada perlakuan yang berbeda menunjukkan hasil yang tidak nyata.
Berdasarkan uji BNJ diketahui bahwa perlakuan A berbeda tidak nyata
(P<0,01) terhadap B, dan berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap C dan D,
sedangkan perlakuan E berbeda tidak nyata (P<0,01) terhadap F, G, dan H.
Dari Tabel 5, dapat dilihat bahwa rataan nilai KCBK dari bahan pakan A
yang hanya diolah secara mekanik memiliki nilai kecernaan yang sangat rendah
yaitu 19,68%. Penggunaan teknologi pengolahan perlakuan terhadap bahan pakan
bulu ayam tersebut ternyata dapat meningkatkan secara signifikan nilai
KCBKnya. Dapat dilihat pada perlakuan B, terutama pada perlakuan C dan D
yang meningkat hingga mencapai batas normal nilai kecernaan bahan kering yang
berkisar antara 50-60% (Sutardi, 1979).
Hal ini berarti, teknologi pengolahan perlakuan yang digunakan dalam
penelitian ini ternyata mampu meningkatkan nilai KCBK dari bulu ayam yang
diketahui memiliki kendala utama penggunaan dalam ransum yaitu rendahnya
daya cerna protein yang disebabkan karena sebagian besar kandungan protein
kasar berbentuk keratin (Indah, 1993). Tillman et al. (1982) juga
menjelaskan protein kasar bulu ayam termasuk dalam jenis protein serat, yaitu
keratin yang sulit dicerna baik oleh mikroorganisme rumen maupun oleh
enzim-enzim pencernaan pascarumen. Agar dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan,
bulu ayam harus diberi perlakuan, dengan memecahkan ikatan sulfur dari sistin
dalam bulu ayam tersebut (Indah, 1993). Dengan teknologi perlakuan tersebut
Pada perlakuan E, F, G, dan H dapat dilihat pada Tabel 5, rataan nilai
KCBKnya telah berada pada kisaran normal kecernaan bahan kering, hanya saja
mengalami penurunan dan ini berarti bahwa teknologi perlakuan yang digunakan
tidak mampu meningkatkan nilai KCBK bahan yang berupa limbah udang
tersebut. Seperti halnya dengan bulu ayam, limbah udang ini pula memiliki
keterbatasan dalam penggunaannya, karena mengandung khitin. Oleh karena itu,
kualitasnya dapat diperbaiki dengan melakukan pengolahan secara fisik, biologi,
maupun kimia. Tujuan dari pengolahan tersebut adalah untuk meningkatkan nilai
kecernaan dan laju degradasi dalam rumen dan pascarumen, sehingga dapat
meningkatkan pertumbuhan ternak ruminansia (Qisthon dan Adhianto, 2007).
Namun demikian, dari hasil yang diperoleh tidak memberikan pengaruh yang
berbeda nyata.
Adanya penurunan nilai KCBK pada perlakuan limbah udang ini diduga
dikarenakan kandungan khitin dari bahan tersebut memiliki ketahanan degradasi
yang tinggi. Soebarinoto (1986) menyatakan kandungan zat anti nutrisi yang
terdapat pada bahan pakan akan menurunkan kecernaan pakan. Sutardi (1980)
juga menjelaskan bahwa kecernaan bahan kering juga dapat dipengaruhi oleh
kandungan protein pakan, karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan
ketahanan degradasi yang berbeda-beda.
Untuk melihat perbandingan kemampuan teknologi pengolahan yang
digunakan terhadap perlakuan yang satu dengan yang lain, maka dilakukan
perbandingan dengan pembanding ortogonal kontras yang dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 6. Sidik Ragam Ortogonal Kontras KCBK
Kelompok 2 326,29 163,15
Keterangan : ** = berbeda sangat nyata * = berbeda nyata tn = berbeda tidak nyata
Hasil sidik ragam ortogonal kontras di atas menunjukkan bahwa teknologi
pengolahan yang digunakan mampu memberikan perbedaan yang sangat nyata
(P<1) terhadap nilai KCBK pada perlakuan bulu ayam dengan limbah udang
(ABCD vs EFGH). Hal yang sama juga dapat dilihat pada perlakuan antarbulu
ayam dimana perlakuan A berbeda sangat nyata (P<1) terhadap perlakuan B, C,
dan D, dan perlakuan B berbeda sangat nyata (P<1) terhadap perlakuan C dan D,
dan perlakuan C berbeda nyata (P<5) terhadap perlakuan D. Sebaliknya, teknologi
pengolahan yang digunakan tidak mampu memberikan pengaruh yang nyata
(P<1) terhadap perlakuan antarlimbah udang dalam meningkatkan nilai
KCBKnya.
Dari hasil sidik ragam di atas menunjukkan bahwa teknologi perlakuan
yang digunakan lebih berpengaruh terhadap bulu ayam dibanding terhadap limbah
udang.
Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO)
Kecernaan bahan organik, sama halnya dengan kecernaan bahan kering,
bahan organik suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan (Sutardi, 1980).
Rahmawati (2001) menambahkan bahwa bahan organik menghasilkan energi
untuk pertumbuhan dan perkembangan ternak. Rataan nilai kecernaan bahan
organik (KCBO) hasil penelitian dapat dilihat dalam Tabel 7.
Tabel 7. Rataan Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO)
Perlakuan Kelompok Rataan (%)
I II III
A 13,88 20,22 24,03 19,38
B 22,84 23,56 29,00 25,13
C 49,47 54,53 58,36 54,12
D 53,66 53,73 66,31 57,90
E 24,92 37,45 45,84 36,07
F 28,32 34,45 37,52 33,43
G 23,70 29,32 38,61 30,54
H 23,86 34,17 42,43 33,49
Rataan 30,08 35,93 42,76 36,26
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa rataan nilai KCBO adalah
36,26% dengan rataan terendah pada perlakuan A yaitu 19,38% dan tertinggi pada
Untuk mengetahui pengaruh teknologi pengolahan yang digunakan
terhadap nilai KCBO bahan pakan perlakuan, maka dilakukan analisis keragaman
yang dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8. Sidik Ragam Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO)
SK dB JK KT F hitung F0,05 F0,01
** = berbeda sangat nyata
Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa teknologi
pengolahan yang digunakan memberi pengaruh yang sangat nyata (P<1) terhadap
koefisien cerna bahan organik (KCBO) bahan pakan perlakuan.
Untuk mengetahui perbedaan antarperlakuan pengaruh teknologi
pengolahan terhadap nilai KCBO bahan pakan perlakuan, maka dilakukan Uji
Beda Nyata Jujur (BNJ) yang dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini :
Tabel 9. Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO)
Peralakuan Rataan BNJ 5% BNJ 1%
Berdasarkan uji BNJ di atas diketahui bahwa perlakuan A dan B berbeda
sangat nyata (P<0,01) terhadap perlakuan C dan D, begitu juga perlakuan E
berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap F, G, dan H.
Dari data di atas diketahui bahwa hasil yang diperoleh hampir sama
dengan hasil pada KCBK di mana pada perlakuan bulu ayam (perlakuan A, B, C,
dan D), nilai rataan KCBOnya mengalami peningkatan yang signifikan,
sedangkan pada perlakuan limbah udang (perlakuan E, F, G, dan H) mengalami
penurunan nilai, akan tetapi kembali meningkat pada perlakuan H meskipun
masih lebih rendah dari perlakuan awalnya yaitu perlakuan E. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Sutardi (1980) bahwa nilai KCBK akan sesuai nilai KCBO
karena sebagian bahan kering ransum terdiri dari bahan organik.
Seperti halnya pada KCBK, terjadinya penurunan nilai KCBO pada
perlakuan limbah udang ini pula diduga karena tingginya kandungan zat anti
nutrisi di dalamnya sehingga mengakibatkan penurunan nilai kecernaan bahan
pakan tersebut dan teknologi pengolahan yang digunakan dalam penelitian ini
belum mampu mendegradasi zat tersebut untuk meningkatkan nilai kecernaan
bahan organiknya.
Adanya perbedaan tingkat degradasi antarperlakuan terutama pada bahan
pakan bulu ayam dan limbah udang ini, di mana pada perlakuan bulu ayam terjadi
peningkatan baik pada nilai KCBK maupun KCBOnya, sedangkan pada perlakuan
limbah udang mengalami penurunan, Sutardi (1979) menjelaskan dalam
literaturnya bahwa perbedaan ini terjadi karena setiap sumber protein mempunyai
perombakan sumber protein dalam rumen mengakibatkan perbedaan kecernaan
dalam rumen dan organ pascarumen.
Untuk melihat perbandingan kemampuan teknologi pengolahan yang
digunakan terhadap perlakuan yang satu dengan yang lain, maka dilakukan
perbandingan dengan pembanding ortogonal kontras yang dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 10. Sidik Ragam Ortogonal Kontras KCBO
SK Db JK KT Fhitung F0.05 F0.01
Keterangan : ** = berbeda sangat nyata tn = berbeda tidak nyata
Hasil sidik ragam ortogonal kontras di atas menunjukkan bahwa teknologi
pengolahan yang digunakan mampu memberikan perbedaan yang sangat nyata
(P<1) terhadap nilai KCBO pada perlakuan bulu ayam dengan limbah udang
(ABCD vs EFGH). Hal yang sama juga dapat dilihat pada perlakuan antarbulu
ayam dimana perlakuan A berbeda sangat nyata (P<1) terhadap perlakuan B, C,
dan D, dan perlakuan B berbeda sangat nyata (P<1) terhadap perlakuan C dan D,
akan tetapi perlakuan C tidak mampu memberikan perbedaan yang nyata (P<1)
terhadap perlakuan D, begitu juga pada perlakuan antarlimbah udang, teknologi
pengolahan yang digunakan tidak mampu memberikan pengaruh yang nyata
Dari sidik ragam di atas menunjukkan bahwa teknologi pengolahan
perlakuan yang digunakan lebih berpengaruh terhadap bulu ayam dibanding
terhadap limbah udang.
Kadar Nitrogen Amonia (N-NH3)
Produksi amonia dipengaruhi oleh pH rumen, kelarutan bahan makanan
(Sutardi, 1980), jumlah protein ransum dan lamanya bahan makanan dalam rumen
(Ranjhan, 1977). Untuk melihat rataan konsentrasi amonia, dapat dilihat pada
Tabel.11.
Tabel 11. Rataan Konsentrasi N-NH3
Perlakuan Kelompok Rataan (mM)
I II III
A 6,72 5,34 28,94 13,67
B 6,41 14,83 15,90 12,38
C 13,40 15,43 25,18 18,00
D 8,18 24,04 27,16 19,79
E 5,74 8,93 10,05 8,24
F 16,16 17,64 20,60 18,13
G 8,96 12,83 18,58 13,46
H 9,59 16,18 13,87 13,21
Total 75,16 115,22 160,28 116,89
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa rataan konsentrasi amonia adalah
116,89 mM dengan rataan terendah pada perlakuan E yaitu 8,24 mM dan tertinggi
pada perlakuan D yaitu 19,79 mM.
Untuk mengetahui pengaruh teknologi pengolahan yang digunakan
Tabel 12. Sidik Ragam Konsentrasi N-NH3
SK dB JK KT F hitung F0,05 F0,01
Kelompok 2 453,36 226,68 9,69 3,74 6,51
Perlakuan 7 301,55 43,08 1,84tn 2,77 4,28
Galat 14 327,47 23,39
Total 23 1082,38
Keterangan : KK = 4,14%
tn = berbeda tidak nyata
Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa teknologi
pengolahan yang digunakan memberi pengaruh yang tidak berbeda nyata (P<1)
terhadap konsentrasi amonia bahan pakan perlakuan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa rataan konsentrasi amonia yang
dihasilkan dari semua perlakuan berkisar antara 8,24-19,79 mM. Nilai tersebut
masih optimal untuk pertumbuhan mikroba rumen. McDonald et al. (2002)
menyatakan bahwa konsentrasi NH3 yang optimum untuk menunjang sintesis
protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 6-21 mM.
Pada perlakuan dengan bahan pakan bulu ayam, rataan konsentrasi
amonianya mengalami sedikit penurunan pada perlakuan B, akan tetapi kembali
meningkat secara signifikan pada perlakuan C dan D. Hal ini berarti, teknologi
pengolahan yang digunakan pada perlakuan C dan D telah mampu menjadikan
bahan pakan tersebut, terutama proteinnya mudah didegradasi oleh mikroba
rumen. McDonald et al. (2002) menjelaskan bahwa konsentrasi NH3 yang tinggi
dapat menunjukkan proses degradasi protein pakan lebih cepat daripada proses
pembentukan protein mikroba, sehingga amonia yang dihasilkan terakumulasi
dalam rumen.
Sebaliknya, pada perlakuan dengan bahan pakan limbah udang,
Rendahnya nilai ini dipengaruhi oleh masih tingginya kandungan protein fibrous
pada perlakuan tersebut karena teknologi pengolahannya masih sederhana. Satter
dan Slyter (1974) menyatakan jika pakan defisien protein atau tinggi kandungan
protein yang lolos degradasi, maka konsentrasi N-NH3 rumen akan rendah dan
pertumbuhan organisme rumen akan lambat. Pada perlakuan F mengalami
kenaikan konsentrasi amonia yang signifikan, dimana teknologi pengolahan yang
digunakan sama dengan perlakuan B (kimiawi dan mekanik) yang justru
menurunkan konsentrasi amonianya. Hal ini berarti teknologi pengolahan yang
digunakan pada kedua perlakuan tersebut lebih mampu bekerja pada limbah
udang dibanding pada bulu ayam.
Untuk melihat perbandingan kemampuan teknologi pengolahan yang
digunakan terhadap perlakuan yang satu dengan yang lain, maka dilakukan
perbandingan dengan pembanding ortogonal kontras yang dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 13. Sidik Ragam Ortogonal Kontras Konsentrasi N-NH3
SK dB JK KT Fhitung F0.05 F0.01
Keterangan : tn = berbeda tidak nyata
Dari tabel sidik ragam ortogonal kontras di atas, dapat dilihat bahwa
terhadap nilai konsentrasi amonia antarperlakuan. Hal ini berarti kemampuan
teknologi pengolahan yang digunakan tersebut dalam meningkatkan konsentrasi
amonia, tidak memberi perbedaan yang nyata pada semua perlakuan.
Kadar Volatile Fatty Acid (VFA)
Komposisi VFA di dalam rumen berubah dengan adanya perbedaan
bentuk fisik komposisi pakan, taraf dan frekuensi pemberian pakan, serta
pengolahan. Produksi VFA yang tinggi merupakan kecukupan energi bagi ternak
(Sakinah, 2005). Rataan nilai konsentrasi VFA hasil penelitian dapat dilihat dalam
tabel berikut.
Tabel 14. Rataan Konsentrasi VFA
Perlakuan Kelompok Rataan (mM)
I II III
A 83,93 99,09 167,90 116,97
B 147,35 179,37 156,73 161,15
C 149,39 142,15 171,32 154,29
D 165,68 163,20 181,00 169,96
E 146,91 96,69 135,61 126,40
F 146,08 144,95 147,71 146,25
G 156,37 119,53 143,05 139,65
H 150,46 153,09 108,14 137,23
Rataan 143,27 137,26 151,43 143,99
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa rataan konsentrasi amonia adalah
143,99 mM dengan rataan terendah pada perlakuan A yaitu 116,97 mM dan
tertinggi pada perlakuan D yaitu 169,96 mM.
Untuk mengetahui pengaruh teknologi pengolahan yang digunakan
terhadap konsentrasi VFA bahan pakan perlakuan, maka dilakukan analisis
Tabel 15. Sidik Ragam Konsentrasi VFA
SK dB JK KT F hitung F5% F1%
Kelompok 2 809.74 404.87 0.73 3.74 6.51
Perlakuan 7 6551.23 935.89 1.69tn 2.77 4.28
Galat 14 7745.47 553.25
Total 23 15106.44
Keterangan : KK = 2,04%
tn = berbeda tidak nyata
Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa teknologi
pengolahan yang digunakan memberi pengaruh yang tidak berbeda nyata (P<1)
terhadap konsentrasi VFA bahan pakan perlakuan.
Dari hasil penelitian didapat bahwa rataan konsentrasi VFA yang
dihasilkan dari semua perlakuan berkisar antara 116,97-169,96 mM. Hasil ini
dapat dikatakan tinggi dan masih dalam kisaran normal yang mendukung
pertumbuhan mikroba. Sutardi (1980) menyatakan kisaran produk VFA cairan
rumen normal yang mendukung pertumbuhan mikroba adalah 80 sampai 160 mM,
sedangkan konsentrasi VFA yang dihasilkan oleh ternak sapi rata-rata 111 mM
(Hungate, 1966).
Apabila konsentrasi VFA yang dihasilkan tinggi, akan mengindikasikan
bahwa energi yang tersedia bagi mikroba rumen juga semakin tinggi, sehingga
aktivitas fermentasi mikroba rumen juga meningkat. Mc Donald et al., (2002)
menjelaskan konsentrasi VFA sangat dipengaruhi oleh jenis pakan, VFA yang
tinggi menunjukkan peningkatan kandungan protein dan karbohidrat mudah larut
Pada perlakuan menggunakan bahan bulu ayam, konsentrasi VFA
meningkat pada perlakuan B, sedikit menurun pada perlakuan C, dan kembali
meningkat pada perlakuan D hingga melebihi batas normal tertinggi yang
mencapai 169,96 mM. Dari hasil ini, dapat diketahui bahwa penggunaan
teknologi pengolahan ternyata dapat memberi pengaruh positif terhadap
peningkatan konsentrasi VFA meskipun hasilnya tidak menunjukkan pengaruh
yang nyata pada sidik ragam. Hal ini berarti penggunaan teknologi pengolahan
bahan pakan mampu mendegradasi komponen dalam bulu ayam tersebut sehingga
mudah difermentasi oleh mikroba rumen. Hartati (1998) menyatakan peningkatan
jumlah VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut difermentasi oleh
mikroba rumen.
Begitu juga halnya pada perlakuan menggunakan bahan limbah udang.
Meskipun peningkatannya tidak menunjukkan hasil yang nyata pada sidik ragam
namun tetap berpengaruh pada peningkatan yang diakibatkan oleh teknologi
pengolahan yang digunakan tersebut.
Untuk melihat perbandingan kemampuan teknologi pengolahan yang
digunakan terhadap perlakuan yang satu dengan yang lain, maka dilakukan
perbandingan dengan pembanding ortogonal kontras yang dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 16. Sidik Ragam Ortogonal Kontras Konsentrasi VFA
SK Db JK KT Fhitung F0.05 F0.01
Klpk 2 809.74 404.87
Perlk 7 6551.23 935.89
1. ABCD vs EFGH 1 1047.02 1047.02 1.8925tn 4.60 8.86
2. A vs BCD 1 4520.99 4520.99 8.1717* 4.60 8.86
3. B vs CD 1 1.89 1.89 0.0034tn 4.60 8.86
5. E vs FGH 1 482.17 482.17 0.8715tn 4.60 8.86
6. F vs GH 1 121.89 121.89 0.2203tn 4.60 8.86
7. G vs H 1 8.78 8.78 0.0159tn 4.60 8.86
Galat 14 7745.47 553.25
Total 23
Keterangan : * = berbeda nyata tn = berbeda tidak nyata
Dari tabel sidik ragam ortogonal kontras di atas, dapat dilihat bahwa
teknologi pengolahan yang digunakan memberi pengaruh yang tidak nyata (P<1)
terhadap nilai konsentrasi VFA antara perlakuan bulu ayam dengan limbah udang
(ABCD vs EFGH). Hal ini berarti kemampuan teknologi pengolahan yang
digunakan tersebut dalam meningkatkan konsentrasi VFA, tidak memberi
perbedaan yang nyata di antara kedua perlakuan tersebut. Begitu juga dengan
perlakuan lainnya kecuali pada perlakuan antarbulu ayam yang menunjukkan hasil
yang nyata (P<5) pada perlakuan A terhadap perlakuan B, C, dan D. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan teknologi pengolahan pada perlakuan B, C, dan
D, secara signifikan mampu meningkatkan konsentrasi VFA bahan tersebut
sehingga dibandingkan dengan perlakuan A, ketiga perlakuan tersebut dengan
teknologi pengolahan pada masing-masingnya mampu merubah komponen dalam
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penggunaan teknologi pengolahan bahan pakan terhadap bulu ayam dalam
penelitian ini mampu meningkatkan nilai KCBK dan KCBO secara signifikan,
sedangkan terhadap limbah udang, teknologi pengolahan yang sama tidak mampu
meningkatkan nilai KCBK dan KCBOnya.
Terhadap konsentrasi NH3, teknologi pengolahan yang digunakan terhadap
bulu ayam juga mampu meningkatkan konsentrasinya meskipun sedikit menurun
pada perlakuan B (pengolahan secara kimiawi dengan hidrolisis HCl 12%) namun
mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada perlakuan C (pengolahan
secara mekanik (presto) + kimiawi dengan HCl 12%) dan perlakuan D (perlakuan
C yang difermentasi dengan Penicillium sp.) Sedangkan terhadap limbah udang,
hasilnya berbanding terbalik dengan bulu ayam dimana peningkatan yang sangat
signifikan justru terjadi pada perlakuan F (pengolahan secara kimiawi dengan
hidrolisis HCl 6%), dan pada perlakuan G dan F juga mengalami peningkatan
hanya saja tidak sebesar pada perlakuan F.
Terhadap konsentrasi VFA, teknologi pengolahan yang digunakan
terhadap bulu ayam juga mampu meningkatkan konsentrasinya secara signifikan
terhadap limbah udang, peningkatan juga terjadi namun tidak signifikan, dan
peningkatan tertinggi diperoleh pada perlakuan F.
Saran
Disarankan penggunaan teknologi pengolahan sebaiknya dilakukan secara
kombinasi untuk lebih meningkatkan daya degradasi nutrisi bahan pakan yang
tidak mampu dicerna oleh mikroba rumen sehingga pemanfaatan nutrisi bahan
pakan terutama bulu ayam lebih optimal, sedangkan terhadap limbah udang,
teknologi pengolahan yang dilakukan sebaiknya secara kimiawi dengan HCl 6%.
Untuk mengetahui penggunaan bulu ayam dan limbah udang yang telah
diolah dengan beberapa teknologi pengolahan secara maksimal sebaiknya
dilakukan uji kecernaan secara in vivo sehingga dapat diketahui sejauh mana
DAFTAR PUSTAKA
Adiati, U. dan W. Puastuti. 2004. Bulu Unggas untuk Pakan Ternak Ruminansia. Balai Peternakan. Ciawi, Bogor.
Adiati, U., W. Puastuti dan I-W. Mathius. 2002. Peluang Pemanfaatan Tepung Bulu Ayam sebagai Bahan Pakan Ternak Ruminansia. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Afdal, M. dan Edi E. 2007. Penggunaan Feses sebagai Pengganti Cairan Rumen pada Teknik In Vitro : Estimasi Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Beberapa Jenis Rumput. Artikel ilmiah, Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Jambi.
Agrotek. 2004. Pakan ternak bergizi tinggi dari limbah sawit. Artikel.
Aurora, S. P. 1995. Pencernaan Mikrobiologi pada Ruminansia. UGM Press, Yogyakarta.
Barry, Thomson, and Amstrong. 1977. Peran Mikroba Rumen pada Ternak Ruminansia.
Bastaman, S. 1989. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prower Shells. The Qween’s of Belfast. England.
Batubara,Z. 2000. Limbah Udang sebagai Sumber Protein Pintas Rumen. Tesis Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Blakely, J. and Bade. 1982. Journal of Ruminan. London.
Cunningham, K.D.; M.J. Cecava; and T.R. Johnson. 1994. Flows of nitrogen and amino acids in dairy cows fed diets containing supplemental feather meal and blood meal. J. Dairy Sc. 77 : 3666-3675
Garg, M.R. 1998. Role of bypass protein in feeding ruminants on crop residue based diet . Review. Asian Aust. J. Anim. Sci . 11(2) : 107-116.
Hanafiah, K. A. 2002. Rancangan Percobaan. Raja Grafindo Persada, Jakarta.