• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formulasi Flakes

Bahan yang digunakan dalam formulasi flakes terdiri atas bahan utama dan bahan pendukung. Bahan utama berupa pati garut, isolat protein kedelai dan tepung tapioka, sedangkan bahan pendukung berupa gula, garam dan air. Formulasi flakes dilakukan dalam dua tahap. Formulasi flakes tahap pertama memperhitungkan kebutuhan protein remaja putri untuk makanan selingan, sedangkan tahap kedua merupakan pembuatan flakes dengan fortifikasi zat besi yang berasal dari taburia dengan dua taraf fortifikasi (25% dan 50% AKG zat besi. Formulasi flakes mengacu pada penelitian Amalia (2013) dalam pembuatan flakes berbasis pati garut dan tepung ikan lele dumbo.

Formulasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan mengganti tepung kepala dan badan ikan lele dumbo dengan isolat protein kedelai dengan berbagai taraf subsitusi. Penambahan gula, garam dan air mengacu pada penelitian Sianturi (2013). Jumlah gula yang ditambahkan adalah 16.66% dari total adonan tepung, sedangkan jumlah garam dan air masing-masing 0.6% dan 52.7% dari total adonan tepung (pati garut, isolat protein kedelai dan tepung tapioka).

Penetapan formula juga dilakukan dengan trial-error. Faktor perlakuan yang digunakan pada rancangan formula tahap pertama adalah perbedaan subsitusi isolat protein kedelai pada setiap formula. Kebutuhan protein remaja putri dalam sehari adalah 59 gram. Isolat protein kedelai yang menggantikan tepung ikan lele dumbo, sehingga vegetarian dapat menikmati produk ini. Produk ini diharapkan dapat mencukupi kebutuhan protein remaja putri untuk makanan selingan. Kecukupan protein yang diperoleh dari makanan selingan berada pada kisaran 15% dari kebutuhan protein dalam sehari.

Banyaknya isolat protein kedelai yang disubsitusi adalah 10% (F1), 20% (F2) dan 30% (F3) dari jumlah pati garut. Perhitungan estimasi kandungan protein pada setiap formula dilakukan dengan manggunakan data kandungan gizi dari Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) untuk bahan tepung tapioka, gula, garam dan air. Kandungan protein pati garut diperoleh dari hasil penelitian Gustiar (2009), sedangkan kandungan protein isolat protein kedelai diperoleh dari Astawan (2009). Formulasi tahap pertama ini bertujuan untuk mendapatkan formula flakes yang dapat diterima panelis. Formula yang paling disukai panelis ditentukan melalui uji hedonik kepada panelis semi terlatih. Pada tahap ini dipertimbangkan kandungan energi dan protein dari produk. Oleh karena itu, diperlukan bahan yang mengandung protein tinggi seperti isolat protein kedelai. Taraf subsitusi isolat protein kedelai sebanyak 10 % merupakan batas bawah untuk mencukupi angka kebutuhan protein remaja putri yang berasal dari makanan selingan.

Tahap kedua merupakan pembuatan flakes dengan penambahan multivitamin dan mineral berupa taburia dengan dua taraf fortifikasi, yaitu 25% dan 50% AKG zat besi (Fe) remaja putri. Kebutuhan besi (Fe) untuk remaja putri adalah 26 mg dalam sehari. Flakes yang dibuat menggunakan formula flakes yang terpilih berdasarkan uji organoleptik pada tahap pertama.

Pembuatan Flakes

Pembuatan flakes dilakukan sebanyak dua kali. Proses pembuatan flakes terdiri dari beberapa tahapan, yaitu pencampuran kering (dry mixing), pencampuran basah (wet mixing), pengukusan, pemipilan (dibentuk bulatan kecil) adonan secara manual, pemipihan adonan serta pemanggangan adonan menggunakan oven.

Tahap pertama pembuatan flakes adalah pencampuran kering bahan utama berupa pati garut, isolat protein kedelai dan tepung tapioka serta bahan pendukung berupa gula dan garam. Setelah rata pencampurannya, kemudian ditambahkan air sedikit demi sedikit sambil mengocok adonan dengan menggunakan mixer sampai adonan menyatu dan menjadi kalis. Penggunaan tepung tapioka bertujuan untuk meningkatkan penampilan produk akhir flakes dan mengembangkan produk, sehingga produk tidak mudah menjadi keras serta dapat meningkatkan daya rekat oleh adanya pati yang tinggi sehingga produk akhir memiliki tekstur yang baik sesuai dengan pernyataan Chaunier et al. (2005).

Tahap selanjutnya adalah pengukusan adonan dengan menggunakan suhu rendah dan waktu singkat. Pengukusan dilakukan menggunakan jacket steam-cattle pada suhu 700C selama 3 menit. Tujuan dari pengukusan ini adalah agar pati yang ada menjadi setengah matang sehingga mempermudah pencetakan adonan atau palleting pada grinder. Menurut Astawan (2004), pengukusan tepung yang terlalu lama akan menyebabkan tepung terlalu matang. Hal tersebut dapat menyebabkan adonan sulit dibentuk karena tektur tepung yang terlalu lunak yang akan menyebabkan flakes mudah patah. Tepung yang masih terlalu mentah akan mengakibatkan adonan yang dihasilkan lebih mudah patah dan akan menghasilkan flakes yang memiliki tekstur yang tidak kompak.

Setelah pengukusan, pembuatan adonan dilakukan dengan menggunakan grinder, penggunaan alat grinder tidak dapat dilakukan disebabkan karena penggunaan tepung tapioka dalam pembuatan flakes yang memiliki kadar

amilopektin lebih besar dibandingkan kadar amilosanya. Menurut Helmi (2001), kadar amilopektin tepung tapioka adalah sebesar 82.13%, sedangkan kadar amilosanya sebesar 17.41%. Pemipilan dilakukan secara manual dengan cara adonan dipipil menjadi bulatan kecil kira-kira seukuran biji jagung. Selain itu, penambahan isolat protein kedelai diatas 10% akan menyebabkan adonan menjadi lengket dan sulit dicetak (Mervina 2009)

Adonan yang telah dipipil, kemudian dipipihkan dengan ketebalan sekitar 0.5 mm, dengan menggunakan noodle-maker sampai membentuk flakes sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Flakes basah yang telah dipipihkan kemudian disusun diatas tray, dan diusahakan tidak ada flakes yang tumpang tindih (menumpuk). Hal ini bertujuan agar flakes tidak saling menempel setelah proses pemanggangan. Flakes basah yang telah disusun di tray kemudian dipanggang sampai flakes menjadi keras dan berwarna kuning keemasan di dalam oven dengan suhu 1500C selama kurang lebih 30 menit. Bobot adonan (bahan utama dan bahan pendukung) sebanyak 76.5 gram menghasilkan flakes sebanyak 51 gram atau rendemennya adalah 66.67%. Hal ini terjadi karena banyaknya air yang menguap selama proses pemanggangan, sehingga rendemen flakes adalah sekitar dua pertiga bobot adonan. Proses pembuatan flakes kedua pada prinsipnya sama dengan pembuatan flakes tahap pertama. Pada proses pencampuran kering terdapat bahan tambahan berupa taburia dengan dua taraf fortifikasi yaitu 25% dan 50% AKG zat besi remaja putri. Penentuan batas atas taraf fortifikasi hanya sampai 50% AKG. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa 50% zat besi sisanya diperoleh dari sumber pangan lainnya. Hal ini dilandasi oleh penelitian Briawan et al. (2012), bahwa rata-rata asupan zat gizi besi siswi remaja putri SMK Pelita Ciampea Kabupaten Bogor adalah 10.8 mg dengan tingkat kecukupan zat besi sebesar 41.7%. Dengan demikian, produk flakes yang difortifikasi dapat mencukupi sisa kebutuhan besi remaja putri dari makanan yang dikonsumsi. Jumlah taburia yang ditambahkan pada produk per serving size disajikan pada Tabel 3 dan rincian perhitungannya disajikan pada Lampiran 2.

Tabel 3 Jumlah taburia yang ditambahkan per serving size pada setiap taraf

% AKG Taburia (g)

25 0.6

50 1.2

Uji Organoleptik Flakes

Tahap - 1

Produk flakes yang dihasilkan diuji penerimaannya melalui uji organoleptik. Uji organoleptik dilakukan pada panelis semi terlatih sebanyak 30 orang dengan 2 kali pengulangan. Uji organoleptik ini dilakukan untuk mendapatkan formula flakes yang disukai oleh panelis. Terdapat beberapa atribut yang digunakan dalam penilaian uji organoleptik diantaranya adalah warna, rasa, aroma dan tekstur. Warna menentukan kesan pertama terhadap produk flakes, sehingga warna memengaruhi penerimaan panelis. Isolat protein kedelai merupakan bahan yang digunakan dalam pembuatan produk flakes. Warna produk yang dihasilkan adalah putih kekuningan. Semakin tinggi tingkat substitusi isolat protein kedelai semakin

kuning warna flakes yang dihasilkan. Hasil modus uji hedonik tahap pertama disajikan pada Tabel 4, sedangkan hasil sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 5 Tabel 4 Nilai modus hasil uji hedonik tahap pertama

Keterangan :

F1 = 10% isolat protein kedelai, F2 = 20% isolat protein kedelai, dan F3 = 30% isolat protein kedelai. Huruf yang beda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

a. Warna

Warna merupakan atribut sensori pertama yang dapat diterima/dilihat langsung oleh panelis (Winarno 2008). Berdasarkan hasil uji hedonik, rata-rata modus penilaian panelis berada pada nilai 6 (suka) untuk F1 dan F3. Modus penilaian untuk F2 adalah 3 (agak tidak suka). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan substitusi isolat protein kedelai memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap penerimaan panelis pada warna flakes. b. Rasa

Rasa merupakan atribut penilaian makanan yang melibatkan panca indra lidah. Rasa makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup cecap yang terletak pada papila (Mervina 2009). Berdasarkan atribut rasa, rata-rata modus penilaian panelis berada pada nilai 6 (suka) pada F1 dan nilai 4 (biasa) pada F2 dan F3. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan substitusi isolat protein kedelai tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap penerimaan panelis pada rasa flakes.

c. Aroma

Aroma merupakan atribut organoleptik yang dapat dinilai melalui indra penciuman (Meilgaard et al. 1999). Menurut Mervina (2009), atribut aroma ikut

menentukan penerimaan sebuah produk. Berdasarkan atribut aroma, rata-rata modus

penilaian untuk F1, F2 dan F3 adalah 4 (biasa). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan substitusi isolat protein kedelai tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap penerimaan panelis pada aroma flakes. d. Tekstur

Tekstur bersifat kompleks dan terkait dengan struktur bahan yang terdiri dari tiga elemen yaitu mekanik (kekerasan, kekenyalan), geometrik (berpasir, beremah), dan mouthfeel (berminyak, berair) (Setyaningsih et al. 2010). Berdasarkan atribut tekstur, rata-rata modus penilaian untuk F1 dan F2 adalah 6 (suka) sementara untuk F3 bernilai 2 (tidak suka). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan substitusi isolat protein kedelai memberikan pengaruh yang nyata(p<0.05) terhadap penerimaan panelis pada tekstur flakes.

Atribut Modus F1 F2 F3 Warna 6(41.67%)a 3(23.33%)b 6(36.67%)c Rasa 6(33.33%)a 4(30%)a 4(28.33%)a Aroma 4(70%)a 4(65%)a 4(56.67%)a Tekstur 6(45%)a 6(45%)b 2(33.33%)c

Berdasarkan sebaran hasil uji hedonik dapat diketahui persentase penerimaan panelis terhadap produk. Persentase penerimaan panelis merupakan perbandingan jumlah panelis yang memilih nilai skala 4 (biasa), 5 (agak suka), 6 (suka) dan 7 (sangat suka) terhadap total panelis. Persentase penerimaan panelis terhadap produk flakes disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Persentase penerimaan panelis terhadap produk flakes

Formula Persentase penerimaan (%)

Warna Rasa Aroma Tekstur

F1 75a 75a 98.33a 80a

F2 55a 73.33a 93.33a 80a

F3 63.33b 75a 93.33a 50a

Keterangan :

F1 = 10% isolat protein kedelai, F2 = 20% isolat protein kedelai, dan F3 = 30% isolat protein kedelai. Huruf yang beda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata(p<0.05)

Secara umum persentase penerimaan panelis terhadap warna yaitu pada kisaran 63.33% - 75%. Warna flakes yang paling tinggi persentase penerimaannya adalah F1. Warna flakes pati garut adalah putih kekuningan, dengan tingkat kekuningan dipengaruhi oleh isolat protein kedelai. Persentase penerimaan dari segi rasa berada pada kisaran 73.33% - 75% dengan F1 dan F3 sebagai formula dengan persentase penerimaan yang paling tinggi. Formula yang paling diterima oleh panelis dari segi aroma adalah F1, sedangkan dari atribut tekstur F1 dan F2 merupakan formula yang paling diterima oleh panelis.

Berdasarkan hasil sidik ragam diketahui bahwa subsitusi isolat protein kedelai memberikan pengaruh nyata pada persentase penerimaan panelis terhadap atribut warna flakes (p<0.05) antar formula dan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap atribut rasa, aroma dan tekstur flakes. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa persentase penerimaan panelis terhadap warna flakes tidak berbeda nyata (p>0.05) untuk FI dan F2. Namun, F3 berbeda nyata (p<0.05) dengan F1 dan F2.

Hasil uji organoleptik pada tahap pertama dijadikan sebagai pertimbangan untuk menentukan formula terpilih. Secara keseluruhan formula yang paling disukai oleh panelis melalui hasil uji hedonik adalah F1 dengan substitusi isolat protein kedelai sebanyak 10%. Gambar 3 merupakan produk terpilih dalam uji organoleptik pada tahap pertama.

Tahap - 2

Uji organoleptik tahap kedua dilakukan untuk melihat formula yang disukai oleh panelis terhadap flakes yang telah di fortifikasi zat besi sebanyak 25% dan 50% AKG remaja putri. Uji organoleptik tahap kedua ini dilakukan oleh 30 orang panelis semi terlatih dengan melakukan penilaian uji hedonik dan mutu hedonik. Hasil modus hasil uji hedonik tahap kedua disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Nilai modus hasil uji hedonik tahap kedua

Keterangan:

F1 = Fe 25% AKG, F2 = Fe 50% AKG.Huruf yang beda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata(p<0.05)

a. Warna

Berdasarkan atribut warna, rata-rata modus penilaian panelis berada pada nilai 6 (suka) untuk kedua formula. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan taraf fortifikasi zat besi (Fe) memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap penerimaan panelis pada warna flakes.

b. Rasa

Berdasarkan atribut rasa, rata-rata modus penilaian panelis berada pada nilai 6 (suka) pada kedua formula. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan taraf fortifikasi zat besi (Fe) tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap penerimaan panelis pada rasa flakes.

c. Aroma

Berdasarkan atribut aroma, rata-rata modus penilaian untuk kedua formula berada pada nilai 4 (biasa). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan taraf fortifikasi zat besi (Fe) tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap penerimaan panelis pada aroma flakes.

d. Tekstur

Berdasarkan atribut tekstur, rata-rata modus penilaian untuk kedua formula adalah 6 (suka). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan taraf fortifikasi zat besi (Fe) tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap penerimaan panelis pada tekstur flakes.

Berdasarkan sebaran hasil uji hedonik dapat diketahui persentase penerimaan panelis terhadap produk. Persentase penerimaan panelis merupakan perbandingan jumlah panelis yang memilih nilai skala 4 (biasa), 5 (suka agak), 6 (suka) dan 7 (sangat suka) terhadap total panelis. Persentase penerimaan panelis terhadap produk flakes disajikan pada Tabel 7.

Berdasarkan warna flakes persentase penerimaan panelis untuk F1 adalah sebesar 93.33% dan F2 sebesar 88.33%. Berdasarkan atribut rasa, F1 memiliki persentase penerimaan paling tinggi yaitu sebesar 88.33%, sedangkan F2 sebesar

Atribut Modus F1 F2 Warna 6(60%)a 6(45%)b Rasa 6(41.67%)a 6(45%)a Aroma 4(60%)a 4(53.33%)a Tekstur 6(50%)a 6(53.33%)a

85%. Berdasarkan aroma flakes yang dihasilkan persentase penerimaan panelis paling tinggi yaitu F2 sebesar 98.33% dan F1 sebesar 93.33%. Berdasarkan atribut tekstur, persentase penerimaan panelis yang paling tinggi yaitu F1 sebesar 93.33% sedangkan F2 sebesar 85%.

Tabel 7 Persentase penerimaan panelis terhadap produk flakes

Formula Persentase penerimaan (%)

Warna Rasa Aroma Tekstur

F1 93.33a 88.33a 93.33a 93.33a

F2 88.33a 85a 98.33a 85a

Keterangan :

F1 = Fe 25% AKG, F2 = Fe 50% AKG. Huruf yang beda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata(p<0.05)

Berdasarkan hasil sidik ragam diketahui bahwa taraf fortifikasi zat besi tidak memberikan pengaruh nyata pada persentase penerimaan panelis (p>0.05) terhadap atribut warna, rasa, aroma dan tekstur flakes.

Selain uji hedonik, dilakukan juga uji mutu hedonik oleh panelis. Terdapat beberapa atribut yang digunakan dalam penilaian uji mutu hedonik diantaranya adalah warna, rasa, aroma, tekstur, aroma obat dan after taste. Berdasarkan uji mutu hedonik diketahui modus penilaian panelis yang disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Nilai modus hasil uji mutu hedonik tahap kedua

Keterangan :

F1 = Fe 25% AKG, F2 = Fe 50% AKG. Huruf yang beda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata(p<0.05)

a. Warna

Berdasarkan atribut warna, rata-rata modus penilaian panelis untuk F1 dan F2 adalah 4 (coklat kekuningan). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan taraf fortifikasi zat besi (Fe) tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap penerimaan panelis pada warna flakes.

b. Rasa

Berdasarkan atribut rasa, rata-rata modus penilaian untuk F1 adalah 6 (gurih) dan F2 adalah 4 (sedang). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan taraf fortifikasi zat besi (Fe) tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap penerimaan panelis pada rasa flakes.

c. Aroma

Berdasarkan atribut aroma, rata-rata modus penilaian untuk F1 dan F2 adalah 4 (netral). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan taraf

Atribut Modus F1 F2 Warna 4(33.33%)a 4(30%)a Rasa 6(30%) a 4(25%) a Aroma 4(63.33%) a 4(58.33%) a Tekstur 6(46.67%) a 6(33.33%) a Aroma obat 6(66.67%) a 6(51.67%) a After Taste 6(33.33%) a 6(33.33%) a

fortifikasi zat besi (Fe) tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap penerimaan panelis pada aroma flakes.

d. Tekstur

Berdasarkan atribut tekstur, rata-rata modus penilaian F1dan F2 adalah 6 (renyah). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan taraf fortifikasi zat besi (Fe) tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap penerimaan panelis pada tekstur flakes.

e. Aroma Obat

Aroma obat perlu dinilai karena flakes difortifikasi zat besi (Fe) berupa taburia. Pembuatan flakes mengalami serangkaian proses berupa pemanasan yang dikhawatirkan dapat menyebabkan interaksi antarmineral dalam taburia yang menghasilkan aroma spesifik yaitu aroma obat. Berdasarkan atribut aroma obat yang dihasilkan dari flakes, rata-rata modus penilaian untuk F1 dan F2 memiliki nilai 6 (lemah). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan taraf fortifikasi zat besi (Fe) tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap penerimaan panelis pada aroma obat yang dihasilkan dari flakes. Hal ini sejalan dengan informasi yang disampaikan oleh Kemenkes (2010) bahwa keunggulan taburia sebagai multivitamin mineral bagi anak adalah tidak menyebabkan perubahan rasa dan aroma pada produk.

f. After taste

Berdasarkan atribut after taste dari flakes, rata-rata modus penilaian untuk F1 dan F2 memiliki nilai 6 (lemah). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan taraf fortifikasi zat besi (Fe) tidak memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap penerimaan panelis pada after taste flakes.

Berdasarkan hasil uji organoleptik pada tahap kedua, formula yang paling disukai oleh panelis melalui uji hedonik dan mutu hedonik adalah F1 yaitu flakes dengan fortifikasi zat besi (Fe) sebanyak 25% AKG Fe. Namun, tidak berbeda nyata (p>0.05) antara kedua formula. Terdapat pertimbangan lain dalam menentukan formula terpilih yaitu melihat rata-rata supan zat besi remaja putri. Berdasarkan penelitian Briawan et al.(2012), bahwa rata-rata asupan zat gizi besi siswi remaja putri SMK Pelita Ciampea Kabupaten Bogor adalah 10.8 mg dengan tingkat kecukupan zat besi sebesar 41.7%. Oleh karena itu, flakes dengan fortifikasi zat besi sebanyak 50% AKG menjadi formula terpilih akhir. Gambar 4 merupakan produk terpilih akhir dalam uji organoleptik pada tahap kedua.

Tahap 3

Uji organoleptik tahap 3 dilakukan kepada konsumen sasaran yakni remaja putri siswi SMA. Pada uji organoleptik ini terdapat penambahan rasa untuk meningkatkan nilai penerimaan konsumen terhadap flakes. Varian rasa yang ditambahkan adalah coklat. Coklat digunakan sebagai pelapis (coating) yang tujuannya untuk mengurangi aroma langu pada flakes. Terdapat penambahan margarin agar tekstur coklat tidak terlalu kental dan melekat pada flakes ketika sudah kering. Perbandingan antara margarin dan coklat adalah 1:2. Flakes yang sudah matang dicampur dengan coklat yang sudah dilelehkan. Perbandingan antara coklat dengan flakes adalah 1:2. Gambar 5 merupakan produk flakes terpilih dengan penambahan rasa coklat untuk uji organoletik pada konsumen sasaran.

Secara keseluruhan modus penilaian panelis terhadap produk terpilih adalah agak suka untuk atribut warna dan tekstur, suka untuk atribut rasa dan aroma. Penerimaan panelis ditentukan berdasarkan persentase jumlah panelis yang memilih 5 (agak suka), 6 (suka) dan 7 (sangat suka) terhadap total panelis.

Hasil uji organoleptik flakes menunjukkan persentase penerimaan untuk atribut warna adalah sebesar 70%, untuk rasa 93.33%, aroma sebesar 86.67% dan atribut tekstur sebesar 70%. Adriano et al. (2010) menyatakan bahwa, suatu produk pangan dapat diterima oleh konsumen jika jumlah persentase konsumen yang menolak produk kurang dari 50%, dan konsumen dapat mengonsumsi produk tersebut. Gambar 6 merupakan proses uji organoleptik tahap 3 pada remaja putri.

Sifat Fisik FlakesTerpilih

Produk flakes yang terpilih merupakan flakes yang difortifikasi zat besi sebesar 50% AKG. Uji sifat fisik ini dilakukan terhadap flakes dengan penambahan

Gambar 5 Produk flakes dengan penambahan coklat

coklat dan tanpa penambahan coklat. Hasil uji sifat fisik flakes terpilih dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Sifat fisik flakes dengan dan tanpa penambahan coklat

Sifat fisik Tanpa coklat Dengan coklat

Kekerasan (gf) 546.0a 259.7b

Daya serap air (%) 336.58 a 273.25 b

Densitas kamba (g/ml) 0.86 a 0.90 b

Keterangan: Huruf yang beda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

Kekerasan

Analisis kekerasan dilakukan terhadap flakes terpilih dengan penambahan coklat dan tanpa penambahan coklat. Analisis kekerasan dilakukan dengan menggunakan alat Texture Analyzer. Tingkat kekerasan produk flakes dinyatakan dalam gram gaya (gf) yang artinya seberapa besar gaya tekan yang dibutuhkan untuk deformasi produk hingga pecah. Semakin besar nilai kekerasan suatu produk maka produk tersebut semakin kurang renyah. Kekerasan atau hardness berkebalikan dengan kerenyahan (Amalia 2013).

Nilai kekerasan flakes tanpa penambahan coklat adalah nyata (p<0.05) lebih besar dibandingkan dengan flakes dengan penambahan coklat. Hal ini berarti flakes dengan penambahan coklat memiliki tekstur yang renyah dibandingkan flakes tanpa penambahan coklat. Hal ini dapat dikatakan bahwa penambahan coklat dapat meningkatkan kerenyahan flakes.

Daya serap air

Daya serap air merupakan kemampuan suatu bahan pangan dalam menyerap air yang ada di sekitarnya. Salah satu faktor yang memengaruhi daya serap air adalah porositas. Porositas bahan adalah jumlah rongga udara yang terdapat di antara partikel-partikel bahan. Bahan pangan dengan porositas yang besar akan lebih mudah menyerap air dibandingkan bahan pangan dengan porositas yang kecil (Anwar 1990).

Berdasarkan hasil uji daya serap air kedua produk flakes pati garut dapat dilihat bahwa flakes tanpa penambahan coklat memiliki nilai daya serap air nyata (p<0.05) lebih tinggi dibandingan flakes dengan penambahan coklat. Nilai rata-rata daya serap air flakes tanpa penambahan coklat adalah 336.58 % yang artinya setiap satu gram flakes dapat meyerap air sebanyak 336.58% atau setara dengan 3.36 ml air. Nilai rata-rata daya serap air produk flakes dengan penambahan coklat adalah 273.25% yang artinya setiap satu gram flakes dapat menyerap air sebanyak 273.35% atau setara dengan 2.73 ml air. Semakin tinggi nilai daya serap air maka semakin tinggi nilai kadar airnya. Kadar air dapat memengaruhi daya simpan flakes. Semakin rendah kadar air pada flakes maka akan memperpanjang umur simpan. Flakes dengan penambahan coklat memiliki daya serap air yang rendah dan umur simpan yang lebih lama.

Penambahan coklat memiliki nilai daya serap air menjadi rendah. Hal ini disebabkan karena kadar lemak yang tinggi pada coklat. Kadar protein dan lemak yang semakin tinggi pada suatu produk pangan akan menyebabkan rendahnya

absorpsi air, karena protein dan lemak akan menutupi partikel pati/tepung, sehingga penyerapan air akan terhambat (Permatasari 2007).

Densitas kamba

Densitas kamba digunakan untuk melihat seberapa besar produk memberikan rasa kenyang, selain itu juga densitas kamba digunakan untuk mengetahui seberapa besar ruang yang digunakan untuk pengemasan suatu produk. Produk yang bersifat kamba akan cepat memberikan rasa kenyang.

Berdasarkan hasil perhitungan, flakes tanpa penambahan coklat memiliki nilai densitas kamba sebesar 0.86 g/ml, sedangkan flakes dengan penambahan coklat memiliki nilai densitas kamba sebesar 0.90 g/ml. Nilai densitas kamba pada

Dokumen terkait