• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Peta Garis Pantai Pesisir Kota Medan Tahun 2003

Hasil pengolahan citera satelit Landsat 7 ETM tahun 2003 dengan lokasi perekaman di sekitar pesisir kota Medan yaitu Sicanang Belawan, setelah dilakukan proses komposit warna (RGB = 542) untuk memisahkan daerah lautan dan daratan sehingga dapat diketahui garis pantainya. Setelah proses komposit band tersebut selesai dilakukan, berikutnya dilakukan proses digitasi dengan menggunakan fitur “line” untuk mendigitasi garis pantai pada citera satelit tersebut menggunakan sofware ER Mapper 7.1. Maka hasil dari digitasi garis pantai pesisir kota Medan tahun 2003 dapat dilihat pada Gambar 3.

Peta Garis Pantai Pesisir Kota Medan Tahun 2009

Hasil pengolahan citera satelit Landsat 7 ETM tahun 2009 dengan lokasi perekaman landsat di sekitar pesisir kota Medan yaitu Sicanang Belawan, setelah dilakukan proses komposit warna (RGB = 542) untuk memisahkan daerah lautan dan daratan sehingga dapat diketahui garis pantainya. Setelah proses komposit band tersebut selesai dilakukan, berikutnya dilakukan proses digitasi dengan menggunakan fitur “line” untuk mendigitasi garis pantai pada citera satelit tersebut menggunakan sofware ER Mapper 7.1. Maka hasil dari digitasi garis pantai pesisir kota Medan tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Peta Garis Pantai Pesisir Kota Medan Tahun 2009

Peta Garis Pantai Pesisir Kota Medan Tahun 2014

Hasil pengolahan citera satelit Landsat 7 ETM tahun 2014 dengan lokasi perekaman citra landsat di sekitar pesisir kota Medan yaitu Sicanang Belawan,

setelah dilakukan proses komposit warna (RGB = 542) untuk memisahkan daerah lautan dan daratan sehingga dapat diketahui garis pantainya. Setelah proses komposit band tersebut selesai dilakukan, berikutnya dilakukan proses digitasi dengan menggunakan fitur “line” untuk mendigitasi garis pantai pada citera satelit tersebut menggunakan sofware ER Mapper 7.1. Maka hasil dari digitasi garis pantai pesisir kota Medan tahun 2014 dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Peta Garis Pantai Pesisir Kota Medan Tahun 2014

Peta Perubahan Garis Pantai Pesisir Kota Medan Tahun 2003 – 2014

Berdasarkan tahap pengolahan data citra landsat yang telah didigitasi sebelumnya maka tahap selanjutnya adalah menggabungkan digitasi garis pantai tersebut dalam satu layer peta. Hasil dari penggabungan yang didapat akan menunjukkan perubahan garis pantai yang terjadi di pesisir kota Medan sejak Tahun 2003 sampai Tahun 2014. Penggabungan digitasi garis pantai dilakukan dengan menggunakan metode tumpang-tindih (Overlay). Setelah melalui tahap

overlay seperti pada Gambar 6, dapat dilihat bahwa perubahan yang terjadi pada lokasi observasi cenderung mengalami proses abrasi.

Citra satelit yang telah diolah selanjutnya di ukur panjang garis pantainya untuk mengetahui perubahan garis pantai mulai tahun 2003 – 2014. Panjang garis pantai mulai tahun 2003, tahun 2009, dan tahun 2014 yang telah diukur menggunakan software arcGIS dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perubahan Panjang Garis Pantai (Meter)

Tahun Panjang Garis Pantai (Meter)

2003 8.889

2009 8.989

2014 8.946

Parameter Kualitas Air Perairan pada Setiap Titik Pengambilan Sampel Penelitian

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, nilai parameter fisika kimia yang diperoleh dari setiap titik pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai Parameter Fisika – Kimia Perairan Sicanang pada Setiap Titik

Pengambilan Sampel No. Parameter Titik Pengambilan I Titik Pengambilan II Titik Pengambilan III Satuan 1 Suhu 29 29 28 °C 2 pH 6.8 6.9 6.8 - 3 Salinitas 28 29 28 ppt Keterangan :

Titik I : Jenis mangrove yang dominan menahan abrasi adalah Nypa fruticans

Titik II : Jenis mangrove yang dominan menahan abrasi adalah Rhizophora mucronata

Titik III : Jenis mangrove yang dominan menahan abrasi adalah Bruguiera gymnorrhiza

Faktor Fisik Lingkungan Penyebab Kerusakan Kawasan Mangrove

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Perairan Sicanang, maka diperoleh hasil seperti pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai Skoring Hasil Pengamatan Faktor Fisik Lingkungan Penyebab Kerusakan Kawasan Mangrove

No. Peubah Bobot Skor

1. Pencemaran Air (pa)

20 1 : Air tidak atau tercemar ringan 2. Abrasi (a) 45 2 : Tingkat abrasi 3 – 5 m/tahun 3. Stress lingkungan

(sl)

35 1 : Perubahan salinitas berkisar 0 – 30 % dari salinitas optimal untuk mangrove (0 – 30 0

00

� ) dan atau tidak terjadi cat clay.

Maka TNS yang diperoleh dari perhitungan yang telah dilakukan adalah sebesar 145 dapat disimpulkan bahwa faktor fisik lingkungan kurang berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove. Data hasil perhitungan faktor fisik lingkungan dapat dilihat pada Lampiran 3.

Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat Penyebab Kerusakan Kawasan Mangrove

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Perairan Sicanang, maka diperoleh hasil seperti pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai Skoring Hasil Pengamatan Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat Penyebab Kerusakan Kawasan Mangrove

No. Peubah Bobot Skor

1. Mata Pencaharian Utama (mp)

40 3. Tambak

2. Lokasi Lahan Usaha (llu) 30 1. Berjarak > 1 km (tidak memiliki)

3. Pemanfaatan lahan (pl) 20 2. Perkebunan / Kebun Campuran, Tambak

4. Persepsi terhadap Hutan Mangrove (phm)

Maka TNS yang diperoleh adalah sebesar 220 yaitu bahwa faktor sosial ekonomi sangat berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove. Hasil nilai TNS tersebut di dapat berdasarkan hasil dari wawancara yang di lakukan kepada masyarakat pesisir Sicanang Belawan, Kuisioner Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Mangrove Sicanang Belawan dapat dilihat pada Lampiran 4.

Pembahasan

Berdasarkan pengamatan dan wawancara langsung kepada masyarakat yang tinggal di sekitar pesisir sicanang, maka total nilai skoring yang di dapat untuk faktor fungsi fisik adalah sebesar 145 yang dapat di lihat pada Lampiran 3. Total Nilai Skoring (TNS) ini menunjukkan bahwa faktor fisik lingkungan kurang berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove. Sedangkan Total Nilai Skoring untuk faktor sosial dan ekonomi adalah sebesar 220. Total Nilai Skoring (TNS) ini menunjukkan bahwa faktor sosial ekonomi sangat berpengaruh terhadap kerusakan kawasan mangrove. Maka dapat disimpulkan bahwa faktor sosial dan ekonomi masyarakat pesisir yang lebih dominan mempengaruhi tingkat kerusakan

mangrove dibanding dengan faktor fisik lingkungan. Dari hasil pengamatan langsung ke lapangan, dapat dilihat bahwa

terjadinya pembalakan liar atau ahli fungsi lahan mangrove yang dijadikan areal tambak. Semakin banyaknya pohon mangrove yang ditebang menyebabkan juga semakin besarnya tingkat abrasi yang terjadi. Karena pentingnya mangrove sebagai penahan abrasi, oleh karena itu peran mangrove sangat penting. Berdasarkan literatur Salam dan Rachman (1994) yang menyatakan bahwa daerah mangrove berfungsi sebagai penyangga fisik yang kuat untuk melindungi dan

mengurangi terpaan angin, gelombang dan mencegah terjadinya abrasi pantai. Disamping itu hutan mangrove dapat juga mencegah meluasnya penyebaran sedimen kearah laut, sehingga dapat mempertahankan keutuhan ekosistem terumbu karang dan ekosisitem lainnya.

Berdasarkan pengamatan langsung ke lapangan yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa banyaknya lahan mangrove yang dikonversi menjadi lahan tambak untuk kepentingan kehidupan masyarakat yang dapat dilihat pada Lampiran 2. Kerusakan hutan mangrove yang semakin luas untuk dikonversi menjadi tambak akan berdampak pada hilangnya biodiversitas dan sumberdaya – sumberdaya lainnya serta fungsi ekologi dari ekosistem. Selain itu, konversi hutan mangrove untuk pengembangan kegiatan perikanan tambak akan berdampak pada kondisi ekonomi masyarakat di sekitarnya seperti penyerapan tenaga kerja lokal dan peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat. Noor dkk (1999) menyatakan bahwa sebagian besar kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh kegiatan manusia akibat penebangan liar dan juga pengkonversian untuk pembukaan lahan lain. Hal ini menyebabkan fungsi dari hutan mangrove berkurang. Dampak yang ditimbulkan antara lain berubahnya komposisi mangrove, erosi garis pantai, mengancam regenerasi stok sumberdaya ikan di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan mangrove, terjadinya pencemaran yang dihasilkan dari limbah masyarakat dan penyebab kerusakan lainnya. Penyebab kerusakan hutan mangrove pada umumnya ditimbulkan oleh berbagai macam faktor baik dari lingkungan, maupun oleh aktivitas manusia. Penyebab yang ditimbulkan oleh manusia seperti penebangan pohon-pohon pada hutan mangrove dapat mempercepat terjadinya abrasi.

Sumberdaya alam merupakan potensi yang dimiliki oleh alam yang dapat dimanfaaatkan oleh mahluk hidup untuk kelangsungan hidupnya. Namun apabila pemanfaatan sumberdaya alam tersebut tidak dilakukan sebaik mungkin maka akan menyebabkan kerusakan yang berdampak negatif bagi lingkungan. Menurut Sihombing (1995) yang menyatakan bahwa masalah - masalah yang timbul dalam konservasi alam antara lain : masalah habitat yang terdesak akibat bertambahnya penduduk yang mengakibatkan peningkatan dalam pemanfaatan sumberdaya alam karena memerlukan lahan untuk dikonversikan demi memenuhi kebutuhan. Serta kurangnya kesadaran masyarakat tentang konservasi itu sendiri. Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan mengancam regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nurseryground

larva atau stadium muda ikan dan udang. Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove.

Dampak lain yang ditimbulkan adalah kerusakan mangrove dan terumbu karang, serta kematian sumberdaya hayati akibat tidak adanya tempat hidup atau habitat bagi mereka untu tetap bertahan hidup. Heroldson (2012) menyatakan bahwa dampak dari kerusakan hutan mangrove akan menurunkan fungsi ekologis hutan mangrove, di mana fungsi terpenting hutan mangrove adalah sebagai peredam gelombang air laut badai, pelindung pantai, penghasil sejumlah besar detritus, dan daerah mencari makanan serta daerah beraktivitasnya berbagai macam biota laut baik yang hidup perairan pantai maupun lepas pantai. Kerusakan total hutan mangrove dapat menimbulkan hilangnya sumber mata pencarian

masyarakat yang berada di sekitar hutan mangrove serta menyebabkan keseimbangan lingkungan menjadi terganggu.

Suhu berperan penting dalam proses fisiologi yang dapat mempengaruhi proses-proses dalam suatu ekosistem mangrove seperti fotosintesis dan respirasi. Hasil pengukuran suhu di lapangan masih menunjukkan kisaran suhu yang ideal yaitu antara 28 – 29 °C. Berdasarkan literatur Setyawan, dkk (2002) yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya suhu pada habitat mangrove disebabkan oleh intensitas cahaya matahari yang diterima oleh badan air, banyak sedikitnya volume air yang tergenang pada habitat mangrove, keadaan cuaca, dan ada tidaknya naungan (penutupan) oleh tumbuhan. Kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan mangrove adalah 18 – 30 °C.

Dampak dari penebangan oleh masyarakat secara perlahan akan membuat biota yang berasosiasi di dalam hutan mangrove ini menjadi terganggu dan berkurang. Misalnya burung yang dulunya tinggal dan memiliki sarang di sekitar hutan menjadi rusak, sehingga burung tersebut harus pindah ke daerah bagian tengah dari kawasan hutan mangrove tersebut atau daerah yang dianggapnya aman, namun pada daerah ini pastinya terdapat persaingan dengan hewan - hewan lainnya sehingga membuat satwa-satwa ini saling bersaing untuk dapat bertahan hidup. Berdasarkan literatur (Irwanto, 2006) yang menyatakan bahwa Selain menyediakan keanekaragaman hayati (biodiversity), ekosistem mangrove juga sebagai plasma nutfah (genetic pool) dan menunjang keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya. Habitat mangrove merupakan tempat mencari makan (feeding ground) bagi hewan-hewan tersebut dan sebagai tempat mengasuh dan membesarkan (nursery ground), tempat bertelur dan memijah (spawning ground)

dan tempat berlindung yang aman bagi berbagai juvenil dan larva ikan serta kerang (shellfish) dari predator.

Dampak terbesar yang mingkin terjadi adalah terancamnya masyarakat akibat alam misalnya badai yang dapat dilihat pada daerah pinggiran pantai yang telah mengakibatkan banyak pohon tumbang. Kerusakan ekosistem mangrove ini akan berdampak pada potensi manfaat ekonomi, sosial dan kemasyarakatan dari kawasan tersebut akan terus menurun atau bahkan hilang, baik pada tingkat spesies maupun tingkat ekosistem apabila tingkat realisasi dan sosial ekonomi yang dibangun antara ekosistem dan masyarakat sekitar tidak mengalami perubahan. Berdasarkan literatur Utina (2008) menyatakan bahwa diperlukan pemahaman masyarakat secara menyeluruh dari berbagai fungsi ekosistem mangrove ini sehingga ada upaya konservasi dan pemeliharannya. Selain peran dan fungsinya, umumnya ekosistem mangrove cukup tahan terhadap gangguan dan tekanan lingkungan, namun demikian sangat peka terhadap pengendapan dan sedimentasi, rata-rata tinggi permukaan air serta pencucian dan tumpahan minyak.

Dari observasi langsung yang dilakukan di lapangan, terdapat beberapa oknum yang menebang pohon mangrove untuk kepentingan pribadi, dan tidak sedikit dari mereka yang menjadikan lahan mangrove menjadi lahan tambak. Menurut Pariyono (2006) bahwa pemanfaatan hutan mangrove yang berlebihan seperti penebangan untuk diambil menjadi kayu bakar, penebangan / pengambilan untuk pembuatan bahan bangunan rumah, pengambilan kulit pohon mangrove untuk pembuatan bahan pengawet jaring dan untuk keperluan lainnya oleh nelayan secara berlebihan dan tidak teratur serta pengambilan oleh masyarakat tertentu secara tidak bertanggung jawab untuk dijual yang dilakukan secara

berlebihan, telah berdampak pada kondisi hutang mangrove yang semakin menurun kualitasnya dan mengecil arealnya (rusak) yang berdampak menurunnya kualitas sumberdaya pesisir secara umum termasuk habitatnya.

Dari hasil pengamatan langsung ke lapangan, dapat dilihat bahwa jenis mangrove yang dominan terdapat dibarisan depan mangrove adalah dari jenis

Rhizophora spp. Jenis mangrove ini sangat sesuai sebagai penahan abrasi jika ditinjau dari karakteristiknya. Sesuai dengan literatur Satriono (2007) yang menyatakan bahwa mangrove dari jenis Rhizophora spp memiliki perakaran jenis tunjang. Perakaran tunjang merupakan jenis perakaran yang berada di atas permukaan tanah, pangkal akar berasal dari pangkal batang. Ujung akar menembus tanah dan kuat. Rhizophora spp memiliki struktur akar tunjang (stilt roots) yang mampu menangkap sedimen dan kokoh sehingga banyak ditanam dalam kegiatan restorasi hutan mangrove sebagai pelindung garis pantai dari gelombang air laut.

Kisaran pH pada setiap stasiun antara 6.8 – 6.9. Berdasarkan pengukuran kualitas air yang dilakukan tersebut dapat dilihat bahwa hasil pengukuran data langsung di lapangan masih sesuai dengan kisaran pH untuk hidup mangrove. Menurut Suwondo, dkk (2006) yang menyatakan bahwa kisaran pH 6,5 – 9 masih mendukung kehidupan perairan hutan mangrove. Disamping itu, jenis dan ketebalan substrat yang lempung berlumpur, dan lumpur sedikit berpasir dengan ketebalan antara 31 cm sampai dengan 55 cm.

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, menurut masyarakat sekitar pesisir Sicanang Belawan tersebut perubahan garis pantai ke daratan berkisar antara 3 - 4 meter pertahun. Perubahan ini semakin besar dengan banyaknya hutan

mangrove yang dikonversi menjadi lahan tambak. Tidak sedikit masyarakat yang memanfaatkan kayu mangrove untuk kepentingan pribadi mereka. Namun disisi lain pengawasan pemerintah terhadap kawasan mangrove juga masih minim mengingat masih banyaknya pembalakan liar dan perubahan status fungsi lahan mangrove di sekitar pemukiman. Sedangkan dari citra satelit yang telah di olah dan diukur panjang garis pantainya diperoleh bahwa pada tahun 2003 panjang garis pantai pesisir belawan sepanjang 8.889 meter, pada tahun 2009 sepanjang 8.989 meter, dan pada tahun 2014 panjang garis pantainya adalah 8.946 meter.

Hasil pengolahan citra satelit Landsat 7 ETM mulai dari tahun 2003 – 2014 dengan lokasi perekaman citra landsat di sekitar pesisir kota Medan yaitu Sicanang Belawan, setelah dilakukan proses komposit warna (RGB = 542) untuk memisahkan daerah lautan dan daratan sehingga dapat diketahui garis pantainya. Setelah proses komposit band tersebut selesai dilakukan, berikutnya dilakukan proses digitasi dengan menggunakan fitur “line” untuk mendigitasi garis pantai pada citera satelit tersebut menggunakan sofware ER Mapper 7.1. Digitasi dilakukan berdasarkan tahun citra. Berdasarkan tahap pengolahan data citra landsat yang telah didigitasi sebelumnya maka tahap selanjutnya adalah menggabungkan digitasi garis pantai tersebut dalam satu layer peta. Hasil dari penggabungan yang didapat akan menunjukkan perubahan garis pantai yang terjadi di pesisir kota Medan sejak Tahun 2003 sampai Tahun 2014. Penggabungan digitasi garis pantai dilakukan dengan menggunakan metode tumpang-tindih (Overlay).

Berdasarkan hasil pengukuran langsung ke lapangan, diperoleh bahwa kadar salinitas setiap titik pengambilan sampel berfluktuasi relatif kecil, pada setiap titik

pengambilan sampel I, II, dan III adalah 28 ‰, 29 ‰, dan 28 ‰. Menurut Setyawan (2002) yang menyatakan bahwa salinitas kawasan mangrove sangat bervariasi, berkisar 0,5-35 ppt, dengan demikian bahwa kadar salinitas perairan Sicanang - Belawan berada dalam kondisi ideal, hal ini karena adanya masukan air laut saat pasang dan air tawar dari sungai.

Dokumen terkait