Kerjasama ASEAN+3 telah berlangsung sejak tahun 1997, yang bertujuan memperkuat proses konsultasi politik dan ekonomi tingkat tinggi di wilayah Asia Timur. Kerja sama ini mencakup kerja sama di bidang ekonomi, keuangan, pembangunan sosial, Sumber Daya Manusia (SDM), ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan dan informasi, pembangunan serta keamanan dan kerja sama transnasional lainnya.
Krisis keuangan dan moneter kawasan Asia pada tahun 1997 diawali dengan gejolak finansial yang melanda Thailand yang kemudian berdampak ke seluruh wilayah ASEAN. Masalah krisis keuangan yang dialami oleh negara-negara Asia ini memberikan kesadaran pentingnya memperkuat kerjasama ekonomi dan keuangan dalam suatu kawasan sehingga diharapkan dapat mencegah dan menanggulangi krisis yang mungkin terjadi serta untuk menjaga kelangsungan
22
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik masing-masing negara di Asia ketika terjadi krisis keuangan.
Alasan lain yang mendorong negara-negara Asia Timur untuk bersatu dalam suatu kerja sama ekonomi adalah kecenderungan tumbuhnya perdagangan dan arus investasi serta integrasi ekonomi baik antar negara dalam suatu kawasan maupun dengan negara lain di dunia. Kerja sama ini diharapkan dapat menjadi kekuatan bagi negara-negara di Asia terutama negara-negara berkembang untuk menghadapi persaingan dengan negara maju. Seiring dengan globalisasi di pasar uang dan modal dunia, hampir di semua negara ASEAN aliran masuk dan keluar modal menjadi semakin terbuka. Keberhasilan kerjasama ekonomi yang dibentuk negara-negara eropa yang menjadi kekuatan bagi masing-masing negara anggota untuk menghadapi keterbukaan dan globalisasi terutama di bidang ekonomi. Peluncuran Euro di 12 negara European Union yang dapat melindungi mata uang mereka dari serangan spekulasi yang berasal dari pasar keuangan telah membuat negara-negara ASEAN+3 berpikir untuk melakukan hal yang sama terhadap mata uang mereka.
Kerja sama ASEAN+3 memiliki anggota yang terdiri dari negara berkembang dan terbelakang dengan negara maju. Negara maju dan negara berkembang memiliki perbedaan karakteristik yang mendasar dan tidak dapat diterapkan perlakuan yang sama antara keduanya. Karena akan memperoleh hasil yang belum tentu sama bagi keadaan ekonomi suatu negara jika diberi perlakuan yang sama. Integrasi ekonomi dan keuangan regional seperti pada negara-negara ASEAN, Jepang, China, dan Korea Selatan yang lebih dikenal dengan nama ASEAN+3 dilakukan dengan berbagai tujuan. Namun tujuan utamanya adalah meningkatkan kekuatan ekonomi masing-masing negara anggota di dunia internasional. Negara-negara ASEAN+3 merasa perlu untuk membentuk suatu region atau suatu kawasan kerjasama yang dapat dijadikan sebagai pendorong dan penguat bagi negara-negara anggota untuk menghadapi persaingan dengan negara-negara maju di kawasan Amerika dan Eropa. Besar harapan dengan terbentuknya integrasi ekonomi dan keuangan ini akan mengantar ASEAN menjadi kawasan yang tumbuh tinggi sekaligus stabil. Dengan meningkatkan perdagangan dan investasi intra ASEAN dan memperkuat kerja sama ekonomi ASEAN+3 secara paralel. Harapan bagi terciptanya iklim pertumbuhan ekonomi yang sehat dapat segera terpenuhi.
China merupakan negara yang sangat penting sebagai tempat pelarian modal, dan FDI (Foreign Direct Investment) dari negara-negara ASEAN. China dianggap sebagai investor yang tangguh untuk mengalir ke dalam negeri. Sedangkan hubungan ASEAN dengan Korea Selatan lebih banyak dititik beratkan pada bidang perluasan kerja sama mengenai globalisasi, liberalisasi perdagangan, pembangunan informasi dan teknologi komunikasi. Korea Selatan dapat membantu ASEAN guna mengatasi kesenjangan ekonomi di antara anggotanya dengan meningkatkan kerja sama di bidang ekonomi agar dapat meningkatkan pendapatan masing-masing negara.
Masing-masing negara memiliki sektor dominan yang menyumbangkan nilai tambah terbesar bagi pendapatannya, seperti terlihat pada Tabel 3 berikut.
23 Tabel 3 Nilai Tambah Sektor Jasa, Industri, dan Pertanian Terhadap PDB Negara
ASEAN+3 Tahun 2010 (Juta USD)
Negara Nilai Tambah
Jasa Nilai Tambah Industri Nilai Tambah Pertanian Brunei Darussalam 3 184 3 611 69 Kamboja 3 077 2 099 2 839 Indonesia 125 539 113 022 41 212 Laos 1 299 972 1 137 Malaysia 75 763 60 266 14 679 Filipina 71 944 42 078 15 482 Singapura 104 648 51 124 57 Thailand 87 014 86 524 22 499 Vietnam 24 532 27 331 13 195 China 1 346 288 1 518 174 272 882 Jepang 3 506 022 1 626 839 57 266 Korea Selatan 392 469 306 153 25 207 Sumber: World Bank, 2013
Sebagian besar negara-negara ASEAN+3 memeroleh nilai tambah terbesar dari sektor jasa, kemudian industri dan nilai tambah terkecil berasal dari sektor pertanian. Namun hal ini tidak terjadi pada negara Vietnam. Brunei dan China dengan nilai tambah terbesar berasal dari sektor industri. Tidak satupun dari negara-negara ASEAN+3 yang menjadikan sektor pertanian sebagai sektor dominannya. Hal ini karena semakin berkembang dan maju suatu negara maka sektor-sektor tersier akan semakin berkembang, ditambah dengan adanya peningkatan keterbukaan akibat adanya globalisasi.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terjadi proses konvergensi pendapatan diantara negara-negara yang tergabung di dalam ASEAN+3. Adapun negara-negara yang tergabung di dalamnya antara lain adalah semua negara yang terdapat di kawasan ASEAN ditambah dengan negara China, Jepang, dan Korea Selatan. Penelitian ini dilakukan karena dalam perkembangannya, kehidupan perekonomian setiap negara semakin terbuka dan tidak dapat terlepas dari negara lain. Hal ini merupakan salah satu akibat yang timbul dari adanya globalisasi khususnya globalisasi ekonomi. Setiap negara harus mempersiapkan diri sebaik mungkin agar mampu menghadapi arus globalisasi yang terus meningkat. Jika suatu negara dapat memanfaatkan peluang dari adanya globalisasi, maka negara tersebut akan memperoleh manfaat positif berupa peningkatan pertumbuhan ekonomi. Namun sebaliknya jika tidak mampu memanfaatkan dengan baik, maka perekonomian negara tersebut justru akan semakin buruk karena terus tertinggal dari negara-negara maju.
24
Melalui berbagai kerja sama ekonomi ini masing-masing negara dapat saling menguatkan perekonomian satu sama lain. Negara-negara yang tergabung dalam suatu kerjasama ekonomi tentunya tidak hanya terdiri dari negara-negara maju saja atau negara-negara terbelakang saja, namun berbagai negara maju, berkembang, maupun terbelakang. Iklim investasi tentunya juga akan semakin membaik di masing-masing negara karena adanya penguatan dari negara anggota lainnya sehingga akan meningkatkan kredibilitas suatu negara di mata internasional, sekalipun masih tergolong negara berkembang ataupun terbelakang. Selain itu, aktivitas ekonomi diantara negara anggota juga diharapkan akan semakin terbuka luas dan menjadi lebih mudah, sehingga akan terjadi peningkatan ekonomi di masing-masing negara. Investasi antar negara diharapkan menjadi semakin lancar dan mudah sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masing-maisng negara terutama negara berkembang.
Melalui penelitan ini akan dilihat apakah terjadi proses konvergensi pada Produk Domestik Bruto dari negara-negara yang termasuk dalam ASEAN+3. Penilaian ini dimaksudkan karena Indonesia merupakan salah satu negara anggota dalam kerjasama ASEAN+3 dan keberadaan kerjasama ini sangat berpengaruh terhadap perekonomian di Indonesia. Penelitian mengenai proses konvergensi diperlukan agar dapat dilihat apakah kerjasama yang dilakukan antara negara-negara yang memiliki tingkat perekonomian yang berbeda tetap dapat memberikan efek positif bagi seluruh anggota, ataukah hanya menguntungkan bagi sebagian anggota saja terutama negara anggota yang sudah lebih maju.
Analisis Deskriptif dengan Pemetaan Berdasarkan Pertumbuhan PDB riil dan Besaran Pendapatan per Kapita
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa terdapat perubahan posisi negara pada awal dan akhir periode yang diteliti. Pada tahun 2002 diperoleh bahwa rata-rata pertumbuhan PDB riil (ṝ) adalah sebesar 5.3% dan rata-rata pendapatan per kapitanya adalah 8 539.2 ribu rupiah. Terdapat beberapa negara yang masih berada di atas rata-rata pertumbuhan secara keseluruhan adalah Kamboja, Laos, Malaysia, Vietnam, China, dan Korea Selatan. Sedangkan negara yang memiliki pendapatan per kapita di atas rata-rata adalah Brunei, Singapura, Jepang, dan Korea Selatan. Korea Selatan pada tahun 2002 berada pada kondisi perekonomian yang sangat baik dengan pendapatan per kapita yang tinggi dan pertumbuhan PDB yang juga tinggi sehingga berada pada kuadran I. Sedangkan negara dengan pendapatan per kapita tinggi cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan rata-ratanya, sehingga berada pada kuadran II. Adapun negara-negara yang berada pada kuadran II merupakan negara-negara yang tergolong high income seperti Jepang, Brunei, dan Singapura. Sebaliknya Kamboja, Laos, Malaysia,Vietnam, Thailand, dan China dengan pertumbuhan ekonomi tinggi cenderung masih memiliki pendapatan kapita yang rendah sehingga berada pada kuadran IV. Kuadran III terdiri dari negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita rendah seperti Indonesia, dan Filipina. Pemetaan negara berdasarkan pertumbuhan PDB riil dan pendapatan per kapita tahun 2002 dan 2010 terlihat pada Gambar 4 dan Gambar 5 berikut ini.
25
Sumber: World Bank, 2013 (diolah) Keterangan:
Kuadran I Kuadran II Kuadran III Kuadran IV
● KorSel ● Singapura ● Indonesia ● Vietnam ▲Laos ■ Brunei ■ Filipina ■ Kamboja ►Malaysia
Jepang China ◄Thailand
Gambar 4 Pemetaan Negara Berdasarkan Pertumbuhan PDB Riil dan Besaran Pendapatan per Kapita Tahun 2002
Sumber: World Bank, 2013 (diolah) Keterangan:
Kuadran I Kuadran II Kuadran III Kuadran IV
● Singapura ● Jepang ● Kamboja ● China ■ KorSel ■ Vietnam ■ Laos
Brunei Indonesia Thailand ▲Malaysia ▲Filipina
Gambar 5 Pemetaan Negara Berdasarkan Pertumbuhan PDB Riil dan Besaran PDB per Kapita Tahun 2010
PDB Gr ow th 40 30 20 10 0 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 ȳ=8.54(Rb) ṝ=5.3(%) PDBKap Gr ow th 40 30 20 10 0 16 14 12 10 8 6 4 2 ȳ=10.06(Rb) ṝ=7.4(%) PDBKap 2002 2010
26
Pada tahun 2010 terjadi perubahan posisi masing-masing negara yang dilihat dari pertumbuhan PDB riil dan PDB per kapita. Singapura menunjukkan kondisi emas pada perekonomiannya dengan pendapatan per kapita yang tinggi sekaligus pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih tinggi dari negara lainnya, sehingga berada pada kuadran I. Sedangkan Korea Selatan yang pada tahun 2002 berada pada kuadran I, menjadi berada pada kuadran II pada tahun 2010 bersama dengan Jepang, dan Brunei Darussalam pada tahun 2010. Kuadran II terdiri dari negara-negara dengan pendapatan per kapita tinggi namun pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-ratanya. Kuadran III terdiri dari Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, dan Vietnam yang memiliki pertumbuhan PDB riil dan pendapatan per kapita yang lebih rendah dibandingkan rata-rata. Negara Filipina, Thailand, dan China berada pada kuadran IV dengan pertumbuhan PDB riil tinggi namun pendapatan per kapita yang rendah.
Negara-negara yang berada pada kuadran I dan III masih mungkin mengalami peningkatan ekonomi dengan meningkatkan pendapatannya. Sedangkan negara pada kuadran III yang memiliki pendapatan per kapita yang rendah, namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi masih memberikan kemungkinan negara-negara tersebut untuk menjadi lebih maju dengan meningkatkan penggunaan sumber daya secara penuh. Pemanfaatan sumber daya secara full employment memungkinkan negara-negara tersebut untuk mengejar ketertinggalannya dari negara anggota lainnya yang sudah maju. Sedangkan negara-negara pada kuadran IV yang memiliki pertumbuhan dan besaran pendapatan per kapita yang rendah akan lebih sulit untuk meningkatkan kondisi perekonomiannya dan mengejar ketertinggalan dari negara maju. Oleh karena itu, negara-negara dengan kondisi perekonomian tersebut seharusnya mendapatkan perlindungan dan bantuan dari negara maju untuk manghadapi liberalisasi dan meningkatkan aktivitas ekonominya melalui adanya kerja sama ASEAN+3 yang dilakukan. Sehingga diharapkan kerja sama yang telah dilakukan akan memberikan efek spill over positif pada negara-negara berkembang dan tidak mematikan negara berkembang tetapi menagalami kemajuan bersama.
Perhitungan yang dilakukan dengan memetakan negara-negara berdasarkan pertumbuhan dan pendapatan per kapitanya ini sangat dipengaruhi oleh adanya outlier (pencilan) berupa negara-negara yang memeroleh pencapaian yang jauh lebih tinggi atau rendah dibandingkan negara lainnya, karena menggunakan nilai rataan. Seperti perhitungan yang dilakukan pada tahun 2010 dimana Singapura mencapai tingkat pertumbuhan PDB riil yang sangat tinggi, sehingga rataan yang diguanakan juga menjadi sangat tinggi.
Analisis Deskriptif dengan Indeks Williamson
Analisis deskriptif pertama dilakukan dengan menggunakan Indeks Williamson. Analisis deskriptif dilakukan dengan menggunakan Indeks Williamson (IW). Tingkat ketimpangan yang terjadi dalam metode ini tercermin dalam sebuah angka indeks antara 0 sampai 1 (0 < IW < 1). Hasil perhitungan Indeks Williamson terlihat pada Gambar 6 berikut.
27
Sumber: World Bank, 2013 (diolah)
Gambar 6 Indeks Williamson (IW)
Berdasarkan gambar 4 terlihat bahwa Indeks Williamson yang dihasilkan dari perhitungan sebesar 0.98 sangat mendekati angka 1. Menurut Williamson, nilai IW yang sangat mendekati 1 berarti terjadi ketimpangan pendapatan per kapita yang sangat tinggi antar negara anggota ASEAN+3 untuk setiap tahun yang diukur. Indeks Williamson mengukur tingkat ketimpangan pada setiap tahunnya sehingga dapat dikatakan bahwa perhitungan ini bersifat statis dan tidak dapat menunjukkan proses yang terjdi dalam satu tahun yang dihitung tersebut. Sifat statis ini kemudian diatasi dengan menghitung Indeks Williamson untuk beberapa tahun yaitu tahun 2002 hingga 2010, sehingga walaupun tidak dapat dilihat pergerakannya dalam satu tahun, namun akan tetap dapat dilihat pergerakannya dari tahun ke tahun selama periode yang dihitung. Pergerakan dari tahu ke tahun ini dapat menunjukkan apakah terjadi proses konvergensi pendapatan per kapita negara-negara anggota ASEAN+3.
Melalui perhitungan Indeks Williamson yang dilakukan pada periode 2002 hingga 2010 dihasilkan bahwa masih terdapat ketimpangan yang tinggi antar negara anggota ASEAN+3. Hal ini berarti kerja sama ASEAN+3 ini masih belum dapat memberikan efek spill over positif terutama bagi negara-negara anggota yang masih berkembang. Keuntungan dan manfaat dari adanya kerja sama belum dapat diterima secara merata bagi semua negara anggotanya. Sebagian negara mengalami peningkatan pendapatan per kapita sedangkan sebagian lainnya belum mengalami peningkatan, sehingga pada akhirnya yang dihasilkan adalah kondisi perekonomian dengan pendapatan yang timpang.
Berdasarkan perhitungan juga diketahui bahwa pada periode tahun 2002 hingga 2010, nilai IW semakin menurun dari tahun ke tahun, walaupun dengan tingkat penurunan yang rendah. Penurunan nilai IW ini dapat diartikan bahwa dengan terjadinya proses konvergensi antar negara anggota ASEAN+3. Nilai IW yang cenderung menjadi semakin kecil menunjukkan bahwa ketimpangan semakin menurun sehingga pergerakan pendapatan per kapita menuju proses yang konvergen ke satu titik yang merata. Proses konvergensi yang terjadi masih sangat lambat karena penurunan ketimpangan yang dihitung berdasarkan Indeks Williamson juga sangat kecil, namun tidak menutup kemungkinan bahwa suatu
0.981 0.9815 0.982 0.9825 0.983 0.9835 0.984 0.9845 0.985 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Tahun IW
28
saat akan tercapai suatu perekonomian yang benar-benar merata dengan tingkat ketimpangan yang rendah.
Model Konvergensi Pertumbuhan Ekonomi Negara Anggota ASEAN+3
Nilai statistik pada uji Chow pada Tabel 5 sebesar 1.76 lebih kecil dari F-tabel(1,107) sebesar 6.85 sehingga model terbaik untuk menggambarkan kondisi konvergensi tak bersyarat pada penelitian ini adalah Pooled Least Square (PLS). Hal ini berarti bahwa tanpa diikuti dengan adanya faktor kondisi tertentu dari masing negara yang diestimasi, pola pertumbuhan ekonomi masing-masing negara cenderung tidak memiliki perbedaan dengan αi konstan untuk semua observasi. Hasil estimasi uji Chow dan hasil estimasi model Pooled Least Square pada konvergensi tak bersyarat terlihat pada tabel 4 dan 5 berikut.
Tabel 4 Hasil Estimasi Uji Chow Pendekatan: LSDV
Effects Test Statistik d.f. Probabilitas Cross-section F 1.76184 (11.95) 0.0717
Tabel 5 Hasil estimasi Model Pooled Least Square (PLS)
Variabel Pooled Least Square
Ln yi,t-1 0.98792 (probabilitas) (0.0000) Konstanta 0.13593 (probabilitas) (0.0000) R-squared 0.99899 Adjusted R-squared 0.99898 F-statistic 105114 Prob(F-statistic) 0.00000 Durbin-Watson stat 1.98143 Sumber: World Bank, 2013 (diolah)
Berdasarkan uji Klein, nilai koefisien korelasi masing-masing variabel independen yang lebih kecil dari nilai Adjusted R-squared sebesar 0.99 menunjukkan tidak terdapat masalah multikolinieritas pada model. Sedangkan uji autokorelasi dilakukan dengan statistik uji h karena model menggunakan lag variabel dependen sebagai salah satu variabel independennya. Nilai statistik h model sebesar -0.104 lebih kecil dari nilai Z0.025 tabel sebesar |1.96| sehingga terima H0 dan dapat diputuskan tidak terdapat masalah autokorelasi. Nilai statistik-F sebesar 105114 yang lebih besar dari F(1,107) berarti bahwa variabel
29 independennya sudah mampu menggambarkan keragaman variabel dependen di dalam model sebesar 99.9 %.
Model panel pada Tabel 5 diatas menunjukkan nilai (1+ ) sebesar 0.98.
Tingkat konvergensi dapat dilihat dari besarnya nilai yang dihasilkan dari
estimasi yang dilakukan. Jika nilai (1+ ) adalah 0.98, maka besarnya nilai adalah -0.01 (1-0.99). Nilai yang berada diantara 0 dan -1 menunjukkan adanya proses konvergensi pertumbuhan ekonomi yang dihitung dari besaran pendapatan per kapita antar negara-negara ASEAN, Jepang, China, dan Korea Selatan. Analisis data panel tersebut menunjukkan adanya kecenderungan pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN+3 bergerak menuju ke satu titik yang semakin konvergen, namun proses yang terjasi sangat lambat. Model PLS menunjukkan bahwa pola pertumbuhan ekonomi masing-masing negara cenderung tidak memiliki perbedaan dengan αi konstan untuk semua observasi. Hal ini karena perhitungan pertumbuhan ekonomi tidak memasukkan berbagai faktor lain yang sebenarnya dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi masing-masing negara. Namun model PLS yang terpilih tidak menangkap adanya perbedaan tersebut di masing-masing negara yang diestimasi, sehingga dihasilkan efek yang sama di setiap negara. Misalnya model ini tidak memperhitungkan adanya investasi dan perdagangan yang dilakukan antara negara ASEAN+3 yang dapat meningkatkan dan mempercepat proses konvergensi.
Perhitungan konvergensi bersyarat menambahkan variabel Foreign Direct Investment (FDI), government expenditure, industry value added, service value added, agricultural value added, net ekspor (ekspor-impor), dan labour. Berdasarkan uji Chow dan uji Hausman dihasilkan model terbaik adalah fixed effects dengan weighted statistic. Model ini berarti bahwa masing-masing negara memiliki pola pertumbuhan ekonomi yang berbeda seperti ditunjukkan pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6 Crossection Effects Negara ASEAN+3
No Negara Effect No Negara Effect
1 Brunei -0.001990 8 Thailand -0.001022
2 Kamboja 0.003759 9 Vietnam -0.005374
3 Indonesia -0.004067 10 Jepang 0.003723
4 Laos 0.002489 11 China 0.000530
5 Malaysia 0.002230 12 Korea Selatan 0.001963 6 Filipina -0.003270
7 Singapura 0.001029
Tabel 7 dan 8 berikut menunjukkan hasil estimasi pemilihan model terbaik berdasarkan uji Chow dan Hausman berikut:
Tabel 7 Hasil estimasi uji Chow
Hasil Statistik d.f. Probabilitas
30
Nilai probabilitas Cross-section F sebesar 0.0000 lebih kecil dari alpha 5 % sehingga tolak H0 dan diputuskan model terbaik adalah FEM. Kemudian dilakukan pemilihan model dengan pendekatan FEM dan REM melalui uji Hausman.
Tabel 8 Hasil Estimasi Uji Hausman
Hasil uji Statistik Chi-Sq. Chi-Sq. d.f. Probabilitas
Cross-section random 17.282185 8 0.0273
Nilai probabilitas cross-section random 0.027 lebih kecil dari alpha 5 % sehingga tolak H0 dan model terbaik adalah FEM. Hasil estimasi model FEM dengan weighted statistic adalah sebagai berikut.
Tabel 9 Hasil Estimasi Fixed Effects Model dengan Weighted Statistic Variabel Koefisien t-statistik Probabilitas
yi,t-1 0.781028 19.96562 0.0000 FDI 0.003731 1.972446 0.0517 NetEks 0.001763 0.982243 0.3287 Agval -0.053264 -1.150889 0.2529 Inval 0.069898 5.126465 0.0000 Serval 0.168138 5.233755 0.0000 Govex -0.054436 -6.027697 0.0000 Labour -0.000231 -0.510917 0.6107 R-squared 0.9999 Adjusted R-squared 0.9998 F-statistic 35286 Prob(F-statistic) 0.0000 Durbin-Watson stat 1.7743 (*) siginifikan pada taraf nyata 10%
Masalah multikolinearitas dapat dilihat berdasarkan korelasi parsial diantara masing-masing variabel bebas. Menurut uji Klein, masalah multikolinearitas dalam model yang digunakan dapat diabaikan karena korelasi parsial masing-masing variabel independen lebih kecil dari nilai adjusted R-squared model sebesar 99.98%. Perlakuan cross section weights dan coefficient covariance white: cross section method pada model menyebabkan masalah heteroskedastisitas dapat diabaikan. Sedangkan masalah heteroskedastisitas dapat dilihat dari statistik uji h karena model menggunakan lag variabel dependen sebagai variabel independennya. Berdasarkan perhitungan diperoleh bahwa nilai statistik h adalah
31 sebesar 1.14 lebih kecil dari nilai z0.025 tabel sebesar |1.96| sehingga diputuskan terima H0 dan tidak terdapat pelanggaran autokorelasi dalam model.
Pengujian selanjutnya dilakukan dengan uji secara statistik seperti uji-F, uji determinasi, dan uji-t. Model FEM menunjukkan nilai F-statistik sebesar 35286 yang lebih besar dari F-tabel(8,100) 2.66 maka diputuskan tolak H0. Hal ini berarti bahwa variabel independen yang digunakan sudah mampu menjelaskan keragaman variabel dependen. Model yang sudah fit dapat digunakan untuk mengukur konvergensi yang terjadi diantara negara ASEAN+3 serta menentukan faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara signifikan melalui uji-t.
Berdasarkan hasil estimasi diperoleh bahwa nilai (1+ ) yang berasal dari koefisien yi,t-1 adalah sebesar 0.78. Berdasarkan hasil tersebut diperoleh nilai sebesar -0.22 (0.78-1) yang berada diantara -1 dan 0, sehingga dapat diputuskan terjadi proses konvergensi bersyarat pada pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN+3 yang dihitung berdasarkan besaran pendapatan per kapita. Namun proses konvergensi yang terjadi masih berada pada tingkat yang rendah dan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat mencapai keadaan ekonomi yang benar-benar merata. Model konvergensi bersyarat memiliki tingkat kecepatan yang lebih tinggi yaitu sebesar 22% dibandingkan konvergensi tak bersyarat yaitu sebesar 10%. Hal ini berarti bahwa konvergensi bersyarat akan lebih cepat terjadi dibandingkan dengan konvergensi tak bersyarat. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan adanya bantuan dan dukungan berbagai faktor seperti investasi baik di sektor industri maupun jasa, ekspor, dan faktor lainnya maka proses konvergensi akan menjadi semakin cepat.
Berdasarkan uji-t pada model diperoleh bahwa terdapat beberapa variabel yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan sebagian lainnya tidak berpengaruh. Variabel Foreign Direct investment (FDI) menunjukkan probabilitas sebesar 0.0517 < alpha 10% sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 0.004%. Artinya jika investasi riil langsung suatu negara meningkat sebesar satu%, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.04%. Berdasarkan model Solow, investasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Peningkatan investasi menurut Solow akan menambah jumlah kapital baru yang kemudian dapat digunakan untuk meningkatkan proses produksi. Peningkatan produksi tersebut kemudian akan dapat meningkatkan pendapatan negara dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara tersebut. oleh karena itu, investasi dapat dikatakan sebagai salah satu kunci untuk dapat meningkatkan pendapatan