• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 8 Perbandingan jumlah penumpang KRL Commuter Line dan KRL Ekonomi Jabodetabek di Stasiun Bogor, Juli 2011-Desember 2012 Sumber: P. T. KCJ, 2013 (diolah).

Stasiun Bogor terletak di Jalan Nyi Raja Permas No. 1 Bogor. Stasiun ini dibangun pada tahun 1881 dan terletak pada ketinggian +246 m. Bangunan stasiun ini merupakan salahsatu peninggalan bersejarah di Kota Bogor.

Terdapat dua relasi KRL Jabodetabek yang terdapat pada Stasiun Bogor. Kedua relasi tersebut yaitu Bogor-Jakarta dan Bogor-Jatinegara. Sejak 2 Juli 2011,

200.000 400.000 600.000 800.000 1.000.000 1.200.000 Jul -11 A gt -11 S ep-11 O kt -11 N ov-11 D es -1 1 Ja n-12 F eb-12 M ar -1 2 A pr -12 M ei -1 2 Jun-12 Jul -12 A gt -11 S ep-12 O kt -12 N ov-12 D es -1 2 Jum la h P enum pa ng Bulan KRL Commuter Line KRL Ekonomi Total

20

jenis KRL yang melayani kedua relasi tersebut adalah KRL Commuter Line dan KRL Ekonomi. Jumlah penumpang KRL Commuter Line lebih banyak dibandingkan KRL Ekonomi karena penumpang KRL jenis ini merupakan gabungan dari KRL Ekspres dan KRL Eknomi AC.

Tarif KRL Commuter Line sama untuk kedua relasi yang berada di Stasiun Bogor, Bogor-Jakarta dan Bogor-Jatinegara, yaitu Rp9 000 dan tarif KRL Ekonomi tarifnya sebesar Rp2 000. Penetapan tarif KRL Commuter Line ini berdasarkan kebijakan perubahan tarif yang telah dilakukan oleh P.T. KCJ sejak tanggal 1 Oktober 2012 lalu yang semula sebesar Rp7 000.

Karakteristik Penumpang KRL Commuter Line Jabodetabek Kalangan Pekerja di Stasiun Bogor

Penentuan karakteristik penumpang KRL Commuter Line Jabodetabek di Stasiun Bogor diperoleh berdasarkan hasil wawancara dan penyebaran kuesioner terhadap 105 responden. Responden yang dipilih adalah kalangan pekerja atau responden yang sudah memiliki pendapatan per bulan.

1. Pendapatan Penumpang

Gambar 9 Sebaran pendapatan responden penumpang KRL Commuter Line

kalangan pekerja di Stasiun Bogor

Penumpang KRL Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor yang memiliki pendapatan antara Rp2 500 000 hingga Rp5 000 000 per bulan jumlahnya 69%, penumpang dengan pendapatan kurang dari Rp2 500 000 per bulan sebanyak 10% dan pendapatan lebih dari Rp5 000 000 per bulan sebanyak 21%. Teori permintaan menyatakan bahwa salahsatu faktor yang memengaruhi permintaan adalah pendapatan. Jika pendapatan meningkat,

10% 69% 21% < Rp2 500 000 Rp2 500 000 - Rp5 000 000 > Rp5 000 000

21 maka permintaan akan meningkat. Pendapatan dapat memengaruhi permintaan penumpang dalam menggunakan KRL Commuter Line. Penumpang dengan pendapatan di atas Rp2 500 000 per bulan lebih memertimbangkan aspek kenyamanan dan keamanan sehingga lebih memilih KRL Commuter Line

dibandingkan dengan KRL Ekonomi.

Kebutuhan akan jasa KRL Commuter Line menunjukkan bahwa penumpang dengan pendapatan di bawah Rp2 500 000 pun menggunakan transportasi tersebut. Ketersediaan jadwal yang lebih banyak dibandingkan KRL Ekonomi menjadikan timbulnya rasa kebutuhan bagi mereka terhadap KRL Commuter Line sehingga mengakibatkan mereka mengalokasikan pendapatannya lebih besar untuk transportasi.

2. Jenis Pekerjaan Penumpang

Gambar 10 Sebaran jenis pekerjaan responden penumpang KRL Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor

Jenis pekerjaan ini hanya digunakan untuk menunjukkan bahwa penumpang KRL Commuter Line sudah memiliki pendapatan sendiri atau status pekerja, terlepas alasan mereka untuk menggunakan KRL ini adalah untuk menunjang pekerjaannya atau tidak. 40% Penumpang KRL Commuter Line di Stasiun Bogor adalah pegawai /swasta. Jumlah terbanyak selanjutnya adalah pegawai negeri sebesar 25%, wiraswasta 19%, dan lainnya sebesar 16%.

DPNLIPI (2009: 55), Jenis pekerjaan merupakan salahsatu faktor yang mempengaruhi permintaan KRL. Akan tetapi, hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara variabel jenis pekerjaan dengan jenis KRL yang digunakan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai pearson chi square sebesar 0.581 (lebih besar dari nilai level signifikan sebesar 0.025; dengan kata lain Ho ditolak). Dapat ditarik kesimpulan bahwa jenis pekerjaan

40% 25% 19% 16% Pegawai Swasta Pegawai Negeri Wiraswasta Lain

22

tidak menentukan jenis KRL yang digunakan. Bisa saja responden dengan jenis pekerjaan karyawan swasta akan memilih menggunakan KRL ekonomi. Sebaliknya PNS akan memilih menggunakan KRL AC Ekonomi ataupun Eksekutif.

3. Tujuan Penggunaan bagi Penumpang

Gambar 11 Sebaran tujuan penggunaan responden penumpang KRL

Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor

Tujuan penggunaan KRL Commuter Line per bulan oleh penumpang kalangan pekerja di Stasiun Bogor dibagi menjadi dua jenis, yakni bekerja dan bukan bekerja. Penumpang dengan tujuan bekerja sebesar 69%, sisanya sebesar 31% penumpang yang menggunakan KRL Commuter Line bukan dengan tujuan untuk bekerja.

Penumpang kalangan pekerja dengan tujuan bekerja memiliki frekuensi lebih banyak dalam menggunakan KRL Commuter Line setiap bulannya. Jumlah perjalanan yang dilakukan penumpang dengan tujuan bekerja kira-kira sekitar 40 kali per bulan. Tingginya permintaan terhadap KRL ini terjadi pada pagi dan sore selama hari Senin hingga Jumat. Lebih singkatnya waktu yang dibutuhkan untuk sampai tempat tujuan dan biaya lebih murah dibandingkan dengan alat transportasi lain, seperti bus, menjadi alasan bagi penumpang dengan tujuan bekerja memilih KRL Jabodetabek untuk menunjang rutinitas pekerjaanya. Beberapa penumpang memiliki alasan lain karena kedekatan lokasi bekerjanya dengan stasiun tujuan. Pemilihan jenis KRL Commuter Line

selanjutnya dilakukan oleh penumpang tersebut karena ketersediaan jadwal yang lebih banyak dan sarana yang lebih baik bila dibandingkan dengan KRL Ekonomi.

Penumpang kalangan pekerja dengan tujuan penggunaan bukan untuk bekerja biasanya hanya sesekali menggunakan KRL Commuter Line. Mereka

69% 31%

Kerja

23 biasanya menggunakan KRL hanya untuk menunjang kegiatan yang bukan rutinitasnya. Contoh kegiatan yang dimaksud adalah mengunjungi lokasi wisata, keluarga, teman, tempat ibadah, dan keperluan lain. Penumpang dengan tujuan bukan bekerja biasanya menggunakan KRL di luar jam permintaan tertinggi untuk memeroleh kenyamanan dari tingginya kepadatan penumpang dengan tujuan bekerja.

4. Usia Penumpang

Gambar 12 Sebaran usia responden penumpang KRL Commuter Line

kalangan pekerja di Stasiun Bogor

Penumpang KRL Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor 41% berusia antara 21 tahun hingga 30 tahun. Penumpang yang berusia antara 31 tahun hingga 40 tahun sekitar 29% dan sisanya sebesar 30% adalah penumpang dengan usia antara 41 tahun hingga 40 tahun. Hal ini mempresentasikan keadaan di lapangan bahwa penumpang KRL Commuter Line adalah penumpang berusia produktif di bawah 40 tahun tahun.

Penumpang yang berusia di atas 40 tahun totalnya 32 responden, di mana 31 responden memiliki pendapatan Rp2 500 000 ke atas dan 1 responden memiliki pendapatan kurang dari Rp2 500 000. Semakin bertambah usia dan pendapatan seseorang, mereka akan lebih memertimbangkan aspek kenyamanan dan keamanan dalam memilih moda transportasi. Kondisi KRL

Commuter Line lebih baik dibandingkan dengan kondisi pada KRL Ekonomi sebagai substitusinya. Inilah yang mendasari penumpang di atas 40 tahun juga memilih KRL Commuter Line.

41% 29% 30% 21 - 30 tahun 31 - 40 tahun 41 - 50 tahun

24

5. Tingkat Pendidikan Terakhir Penumpang

Gambar 13 Sebaran pendidikan terakhir responden penumpang KRL

Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor

Penumpang KRL Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor terdiri dari berbagai jenis tingkat pendidikan akhir. Tingkat pendidikan terakhir dari penumpang KRL Commuter Line di Stasiun Bogor dengan permintaan tertinggi adalah sarjana sebesar 38%. Penumpang dengan tingkat pendidikan terakhir SMA 20%, Diploma 26%, dan pascasarjana 16%. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka mereka akan lebih memertimbangkan aspek kenyamanan dan keamanan dalam memilih moda transportasi. Kondisi KRL Commuter Line lebih baik dibandingkan dengan KRL Ekonomi sebagai substitusinya. Inilah yang mendasari penumpang dengan tingkat pendidikan akhir pascasarjana dan sarjana milih KRL

Commuter Line.

Penumpang dengan tingkat pendidikan akhir di bawah sarjana menggunakan KRL Commuter Line. Kegiatan penumpang KRL Commuter Line yang beragam di tempat tujuan dan kebutuhan akan transportasi tersebut sebagai penunjangnya menjadikan penumpang KRL Commuter Line tidak saja berasal dari latar belakang pendidikan akhir sarjana, tetapi juga di bawahnya. Ketersediaan jadwal yang lebih banyak dibandingkan KRL Ekonomi menjadikan timbulnya rasa kebutuhan bagi penumpang dengan pendidikan di bawah sarjana pun menggunakan jenis transportasi ini.

20% 26% 38% 16% SMA Diploma Sarjana Pascasarjana

25 6. Jumlah Permintaan KRL Commuter Line

Gambar 14 Sebaran jumlah permintaan (frakuensi) responden penumpang KRL Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor

Jumlah permintaan penumpang kalangan pekerja terhadap KRL

Commuter Line bervariasi dalam waktu satu bulan. Pengklasifikasian terhadapnya dibagi menjadi dua, yaitu kurang dari 40 kali (< 40 kali) dan lebih dari sama dengan 40 kali (≥ 40 kali). Hal ini berdasarkan jumlah permintaan tertinggi dari KRL Commuter Line. Jumlah permintaan tertinggi terjadi setiap hari Senin hingga Jumat. Bila diasumsikan penumpang menggunakan KRL pulang-pergi, berarti penumpang menggunakan KRL 10 kali selama lima hari tersebut. Penumpang dengan frekuensi tersebut dalam satu bulan akan menggunakan KRL Commuter Line sebanyak 40 kali.

Sebanyak 64% penumpang KRL Commuter Line di Stasiun Bogor

menggunakan jasa transportasi tersebut lebih dari sama dengan 40 kali (≥ 40

kali) dalam satu bulan, sedangkan 36% lainnya menggunakannya kurang dari 40 (< 40 kali) dalam satu bulan. Jumlah tersebut diluar anggapan bahwan penumpang dengan jumlah kurang dari 40 kali bukan dengan tujuan untuk bekerja karena terdapat pula penumpang dengan tujuan bekerja yang jumlah penggunaan KRL Commuter Line kurang dari 40 kali tergantung dari jenis pekerjaannya.

36%

64%

< 40 kali

26

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Permintaan Penumpang KRL Commuter

Line Jabodetabek Kalangan Pekerja di Stasiun Bogor

Tabel 3 Hasil estimasi regresi faktor-faktor yang memengaruhi permintaan KRL

Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 2.623689 1.629527 1.610092 0.1105

LNPEN 0.012475 0.123420 0.101075 0.9197

TUJ 2.256733 0.083851 26.91372 0.0000

LNUS -0.391460 0.170732 -2.292838 0.0240

TPT 0.009108 0.093169 0.097753 0.9223

R-squared 0.885522 Mean dependent var 3.001504 Adjusted R-squared 0.880942 S.D. dependent var 1.118696 S.E. of regression 0.386003 Akaike info criterion 0.980504 Sum squared resid 14.89982 Schwarz criterion 1.106883 Log likelihood -46.47647 Hannan-Quinn criter. 1.031715 F-statistic 193.3819 Durbin-Watson stat 1.750069 Prob(F-statistic) 0.000000

Keterangan: *Signifikan pada taraf nyata 5% (�=5%)

Berdasarkan hasil regresi tersebut, didapatkan persamaan permintaan penumpang KRL Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor sebagai berikut:

lnPCL = 2.624 + ln0.012PEN + 2.257TUJ - ln0.391US + 0.009TPT Variabel pendapatan berpengaruh positif yang tidak signifikan pada taraf

nyata (α=5%) terhadap permintaan KRL Commuter Line per bulan dengan koefisien 0.012. Artinya, bila pendapatan penumpang meningkat 1%, maka permintaan terhadap KRL Commuter Line akan meningkat 0.012% saat variabel yang lain dianggap konstan. Temuan ini sesuai dengan hipotesis bahwa pendapatan penumpang berpengaruh positif terhadap permintaan KRL Commuter Line. Tanda yang dimiliki koefien adalah positif, hal ini menunjukkan bahwa KRL Commuter Line merupakan barang normal. Kebutuhan akan jasa KRL

Commuter Line, menunjukkan bahwa penumpang dengan pendapatan rendah pun menggunakan transportasi tersebut. Ketersediaan jadwal yang lebih banyak dibandingkan KRL Ekonomi menjadikan timbulnya rasa kebutuhan bagi mereka terhadap KRL Commuter Line. Hal inilah yang menimbulkan ketidaksignifikanan variabel pendapatan terhadap permintaan KRL Commuter Line.

Variabel tujuan penggunaan berpengaruh positif yang signifikan pada taraf

nyata (α=5%) terhadap permintaan KRL Commuter Line per bulan dengan

koefisien 2.257. Artinya, selisih permintaan terhadap KRL Commuter Line antara yang penumpang tujuan bekerja dengan yang bukan tujan bekerja adalah sebesar

27 2.257 kali per bulan saat variabel yang lain dianggap konstan. Temuan ini sesuai dengan hipotesis bahwa tujuan berpengaruh positif terhadap permintaan KRL

Commuter Line.

Variabel usia penumpang berpengaruh negatif yang signifikan pada taraf

nyata (α=5%) terhadap permintaan KRL Commuter Line per bulan dengan koefisien 0.391. Artinya, bila usia penumpang bertambah 1%, maka permintaan terhadap KRL Commuter Line akan berkurang 0.391% saat variabel yang lain dianggap konstan. Temuan ini sesuai dengan hipotesis bahwa usia berpengaruh negatif terhadap permintaan KRL Commuter Line.

Variabel tingkat pendidikan terakhir berpengaruh positif yang tidak

signifikan pada taraf nyata (α=5%) terhadap permintaan KRL Commuter Line per bulan dengan koefisien 0.009. Artinya, selisih permintaan terhadap KRL

Commuter Line antara penumpang yang memiliki tingkat pendidikan terakhir sarjana ke atas dengan tingkat pendidikan terakhir di bawah sarjana adalah sebesar 0.009 kali per bulan saat variabel yang lain dianggap konstan. Temuan ini sesuai dengan hipotesis bahwa tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap permintaan KRL Commuter Line. Kegiatan penumpang KRL Commuter Line

yang beragam di tempat tujuan dan kebutuhan akan transportasi tersebut sebagai penunjangnya menjadikan penumpang KRL Commuter Line tidak saja berasal dari latar belakang pendidikan akhir sarjana, tetapi juga di bawahnya. Ketersediaan jadwal yang lebih banyak dibandingkan KRL Ekonomi menjadikan timbulnya rasa kebutuhan bagi penumpang dengan pendidikan di bawah sarjana pun menggunakan jenis transportasi tersebut. Hal inilah yang menimbulkan ketidaksignifikanan variabel tingkat pendidikan akhir terhadap permintaan KRL

Commuter Line.

Hasil pengujian parameter persamaan regresi dijelaskan sebagai berikut: 1. Uji Koefisien Determinasi (�2)

Berdasarkan hasil estimasi model penelitian pada Tabel 3 diperoleh nilai koefisien determinasi (�2) sebesar 0.885522. Ini berarti 88.55% variasi dari

permintaan KRL Commuter Line kalangan pekerja di Stasiun Bogor diterangkan oleh keempat variabel yang digunakan, yaitu pendapatan, tujuan penggunaan, usia, dan tingkat pendidikan terakhir. Sisanya 11.55% diterangkan oleh variabel lain di luar model.

2. Uji t-Statistik

Uji t-statistik dilakukan dengan melihat probabilitas masing-masing variabel bebas. Jika nilai probabilitas variabel bebas kurang dari taraf nyata (�=5%), maka variabel bebas signifikan memengaruhi variabel tak bebasnya. Jika probabilitas variabel bebas lebih besar taraf nyata (�=5%), maka variabel bebas tidak signifikan berpengaruh terhadap variabel tak bebasnya.

Hasil estimasi pada Tabel 3 menunjukkan bahwa variabel tujuan

penggunaan dan usia memiliki probabilitas kurang dari taraf nyata (α=5%)

sehingga dapat disimpulkan variabel-variabel tersebut berpengaruh signifikan terhadap permintaan KRL Commuter Line. Variabel pendapatan dan tingkat pendidikan terakhir penumpang memiliki probabilitas lebih besar dari taraf

nyata (α=5%) sehingga dapat disimpulkan kedua variabel tersebut tidak

28

3. Uji F-Statistik

Uji F-statistik dilakukan dengan melihat probabilitas F-statistik pada model. Jika nilai probabilitas F-statistik kurang dari taraf nyata (�=5%), maka disimpulkan minimal ada satu variabel bebas yang terdapat dalam model penelitian memengaruhi variabel tak bebasnya secara signifikan. Jika probabilitas F-statistik lebih besar dari taraf nyata (�=5%), maka disimpulkan tidak ada variabel bebas yang terdapat dalam model penelitian memengaruhi variabel tak bebasnya.

Nilai Probabilitas F-statistik yang diperoleh dari hasil regresi adalah sebesar 0.000000. Ini menunjukkan hasil yang baik karena nilai probabilitas F-hitung kurang dari taraf nyata (�=5%). Hal ini menunjukkan bahwa keabsahan model yang dibentuk dapat diterima, di mana minimal ada satu variabel bebas yang terdapat dalam model penelitian memengaruhi permintaan KRL Commuter Line secara signifikan.

Hasil uji pelanggaran asumsi terhadap model di atas dijelaskan sebagai berikut:

1. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas merupakan kondisi adanya hubungan linier antarvariabel independen. Jika coefficient matrix antar variabel bebas dalam persamaan regresi kurang dari |0.8| (rule of thumbs), maka dalam persamaan regresi tidak terjadi gejala multikolinearitas. Jika coefficient matrix

antarvariabel bebas dalam persamaan regresi lebih besar dari |0.8| (rule of thumbs), maka pada persamaan regresi terjadi gejala multikolinearitas.

Hasil pengujian (Lampiran 2) menunjukkan bahwa tidak ada coefficient matrix yang melebihi rule of thumbs sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa model tersebut tidak mengalami masalah multikolinearitas.

2. Uji Heteroskedastisitas

Model regresi yang baik memiliki variasi pengamatan yang tetap, jika berbeda artinya mengalami masalah heteroskedastisitas. Pengujian dilakukan dengan Uji White yang melihat nilai probalilitas Obs*R-squared terhadap taraf nyatanya. Jika nilai probabilitas Obs* R-squared lebih besar dari taraf

nyata (α = 5%), disimpulkan bahwa model homoskedastisitas. Jika nilai

probabilitas Obs* R-squared kurang dari taraf nyata (α = 5%), disimpulkan

bahwa model mengalami masalah heteroskedastisitas.

Hasil dari uji yang dilakukan pada model di atas menunjukkan bahwa nilai probailitas Obs* R-squared adalah sebesar 0.0000, maka dapat disimpulkan bahwa model mengalami masalah heteroskedastisitas. Masalah ini dapat dihilangkan dengan Metode White. Pemilihan metode ini berdasarkan pada nilai �2 yang tidak diketahui (Lampiran 3).

3. Uji Autokolerasi

Autokorelasi merupakan hubungan antara residual satu observasi dengan residual observasi lainnya. Pengujian autokoelasi dapat dilihat dari nilai probabilitas Obs*R-squared terhadap taraf nyatanya pada Uji Breusch-Godfrey. Jika nilai probabilitas Obs* R-squared lebih besar dari taraf nyata

(α=5%), maka disimpulkan bahwa model tidak mengalami masalah

autokolerasi. Jika nilai probabilitas Obs* R-squared kurang dari taraf nyata (α

29 Hasil dari uji yang dilakukan pada model di atas (Lampiran 4), nilai probailitasnya sebesar 0.2411, maka dapat disimpulkan bahwa model tidak mengalami masalah autokorelasi karena nilainya yang lebih besar dari taraf

nyata (α=5%).

4. Uji Normalitas

Uji normalitas memiliki dua kriteria, yaitu jika nilai Jarque-Bera kurang dari 2, maka data berdistribusi normal. Selanjutnya, jika probabilitas lebih

besar dari taraf nyata (α=5%), maka data berdistribusi normal. Hasil dari uji

(Lampiran 5) yang dilakukan pada model di atas, nilai Jarque-Bera sebesar 1.913535 dan probailitasnya sebesar 0.384133, maka dapat disimpulkan bahwa model berdistribusi normal.

Dokumen terkait