• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum

Produk Domestik Bruto atau GDP merupakan ukuran terbaik dari kinerja perekonomian suatu negara, yaitu dengan melihat pendapatan total dari setiap orang dan pengeluaran total terhadap output barang dan jasa dalam perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 4 berikut yang menunjukkan GDP riil per kapita negara asal impor dan Indonesia yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Pendapatan per kapita paling besar adalah Jepang dan USA yang merupakan negara industri maju, sementara yang terendah adalah Indonesia yang merupakan negara sedang berkembang. Pendapatan per kapita Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, hal ini mengindikasikan bahwa perekonomian di Indonesia terus mengalami pertumbuhan. Meningkatnya pendapatan per kapita di Indonesia menyebabkan daya beli masyarakat juga meningkat, maka konsumsi daging sapi di Indonesia tentu akan meningkat. Tetapi karena produksi daging sapi di Indonesia belum dapat mencukupi konsumsi daging sapi, maka Indonesia mengimpor daging sapi. Sementara di negara maju seperti Amerika dan Jepang, dengan pendapatan per kapita yang tinggi dan meningkat setiap tahunnya maka negara-negara tersebut tidak bergantung pada perdagangan luar negeri. Negara-negara tersebut lebih cenderung untuk memenuhi konsumsi daging sapi dalam negeri yang semakin meningkat setiap tahunnya. Namun untuk Australia dan New Zealand yang merupakan negara pengekspor daging sapi terbesar di dunia, maka ekspor daging sapi adalah salah satu pendapatan utama di negara tersebut. Karena itu dengan terus meningkatnya pendapatan per kapita setiap tahun, ekspor daging sapi ke Indonesia juga meningkat.

Tabel 4 GDP riil per kapita Indonesia dan negara asal impor tahun 2000-2011

Tahun GDP riil per kapita (juta USD)

Australia New Zealand USA Singapura Jepang 2000 21 708.04 13 375.78 35 081.92 23 814.56 37 291.71 2001 21 824.09 13 774.32 35 116.22 22 913.32 37 342.14 2002 22 402.99 14 202.16 35 427.91 23 658.87 37 363.29 2003 22 825.57 14 529.67 36 021.31 25 110.50 37 911.69 2004 23 498.26 14 853.27 36 931.39 27 068.97 38 793.62 2005 23 929.16 15 171.59 37 718.01 28 388.87 39 295.31

21

Tahun GDP riil per kapita (juta USD)

Australia New Zealand USA Singapura Jepang 2006 24 295.08 15 103.23 38 349.40 29 925.50 39 965.86 2007 24 765.55 15 392.50 38 710.89 31 247.00 40 837.27 2008 25 190.72 15 011.18 38 208.76 30 131.62 40 433.00 2009 25 007.70 14 778.16 36 539.23 28 949.86 38 242.02 2010 25 190.84 14 629.22 37 329.62 32 640.68 39 971.79 2011 25 306.82 14 646.42 37 691.03 33 529.83 39 578.07 Sumber: Worldbank (2013).

Perbedaan tingkat inflasi di Indonesia akan mempengaruhi nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing, karena pada dasarnya mata uang suatu negara mencerminkan daya belinya. Tabel 5 menunjukkan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang lima negara asal impor. Nilai mata uang tertinggi adalah Dolar Amerika atau USD, namun berfluktuasi. Nilai Rupiah terhadap USD terdepresiasi pada tahun 2009 setelah adanya krisis ekonomi global pada tahun 2008 tapi kembali terapresiasi pada tahun 2010 hingga 2011. Sementara nilai mata uang terhadap Dolar Australia, New Zealand, Singapura dan Jepang cenderung terdepresiasi karena menguatnya nilai mata uang keempat negara tersebut. Pergerakan nilai tukar tidak dapat hanya ditentukan oleh variabel ekonomi tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non ekonomi seperti perkembangan politik, peperangan dan faktor-faktor sosial lainnya (Basri dan Munandar 2010).

Tabel 5 Nilai tukar Rupiah terhadap mata uang negara asal impor tahun 2000- 2011

Tahun Nilai tukar Rupiah terhadap LCU (Rp/LCU)

Australia New Zealand USA Singapura Jepang 2000 4 882.68 3 826.08 8 421.78 4 885.12 78.15 2001 5 307.04 4 313.55 10 260.85 5 726.81 84.43 2002 5 058.88 4 306.37 9 311.19 5 200.07 74.26 2003 5 562.65 4 980.63 8 577.13 4 923.21 73.98 2004 6 573.88 5 924.94 8 938.85 5 288.55 82.62 2006 6 897.21 5 939.68 9 159.32 5 764.44 78.76 2007 7 648.91 6 717.99 9 141.00 6 065.28 77.63 2008 8 135.50 6 817.16 9 698.96 6 855.06 93.84 2009 8 103.28 6 493.08 10 389.94 7 143.23 111.04 2010 8 338.63 6 551.99 9 090.43 6 666.94 103.56 2011 9 046.69 6 928.50 8 770.43 6 972.97 109.90 Sumber: Worldbank (2013).

22

Harga daging sapi di Indonesia dan harga daging sapi internasional menjadi faktor penting terhadap impor daging sapi di Indonesia. Apabila harga daging sapi di Indonesia meningkat, tentu impor akan meningkat karena harga daging sapi impor cenderung lebih murah sehingga masyarakat lebih memilih untuk mengkonsumsi daging sapi impor. Sebaliknya, apabila harga daging sapi internasional meningkat, masyarakat lebih memilih untuk mengkonsumsi daging sapi domestik karena harganya cenderung lebih rendah. Berdasarkan Tabel 6 berikut menunjukkan peningkatan harga daging sapi di Indonesia yang terus meningkat secara signifikan setiap tahunnya dengan rata-rata sebesar Rp 46 253.83 per kilogram dan rata-rata peningkatan sebesar Rp 4 027.18. Sementara harga daging sapi internasional cenderung berfluktuasi dan lebih rendah dibandingkan harga daging sapi di Indonesia dengan rata-rata sebesar 263.28 cents/kg.

Tabel 6 Harga daging sapi di Indonesia dan internasional tahun 2000-2011 Tahun Domestik (Rp/kg) Internasional (cents/kg)

2000 25 426.00 216.29 2001 29 791.00 251.00 2002 34 212.00 249.66 2003 34 704.00 219.50 2004 37 346.00 258.69 2005 39 988.00 261.69 2006 45 952.00 249.31 2007 50 023.00 239.74 2008 57 259.00 268.01 2009 64 291.00 241.16 2010 66 329.00 296.77 2011 69 725.00 328.60

Sumber : Kementrian Perdagangan (2013).

Daging sapi merupakan sumber protein hewani yang memiliki nilai gizi relatif besar dan seimbang. Tabel 7 menunjukkan produksi daging sapi menduduki peringkat pertama dalam perkembangan produksi daging non unggas di Indonesia, dengan rata- rata produksi sebesar 386 983 ton. Tahun 2000 hingga tahun 2008 produksi daging sapi di Indonesia sangat berfluktuatif. Penurunan produksi yang paling tinggi sebesar 56 300 ton, dari 395 800 ton pada tahun 2006 menjadi 339 500 ton pada tahun 392 500 ton pada tahun 2007. Sementara peningkatan produksi daging sapi meningkat drastis sebesar 53 000 ton, dari 339 500 ton pada tahun 2007 menjadi 392 500 ton pada tahun 2008. Produksi terendah terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 330 300 ton. Produksi daging sapi tertinggi dicapai pada tahun 2011 sebesar 485 300 ton. Sepanjang tahun 2007 hingga 2011 produksi daging sapi terus meningkat, rata-rata sebesar 36 450 ton. Pada tahun 2011 total produksi daging sebanyak 2 554.20 ribu ton dengan produksi daging sapi menyumbang sebesar 20.38%.

23 Tabel 7 Produksi daging nasional non unggas tahun 2000-2011

Tahun Daging (000 ton)

Sapi Kuda Kerbau Kambing Domba Babi

2000 339.9 0.9 45.9 44.9 33.4 162.4 2001 338.7 1.1 43.6 48.7 44.8 160.2 2002 330.3 1.1 42.3 58.2 68.7 164.5 2003 369.7 1.6 40.6 63.9 80.6 177.1 2004 447.6 1.6 40.2 57.1 66.1 194.7 2005 358.7 1.6 38.1 50.6 47.3 173.7 2006 395.8 2.3 43.9 65.0 75.2 196.0 2007 339.5 2.0 41.8 61.6 56.9 225.9 2008 392.5 1.8 39.0 66.0 47.0 209.8 2009 409.3 1.8 34.6 73.8 54.3 200.1 2010 436.5 2.0 35.9 68.8 44.9 212.0 2011 485.3 2.2 35.3 66.3 46.8 224.8

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2013).

Produksi daging sapi terbesar di negara asal impor adalah Amerika Serikat atau USA dengan rata-rata sebesar 11 717 266.7 ton, hal ini dapat dilihat pada Tabel 8. Produksi tertinggi di Amerika adalah tahun 2000, yaitu sebesar 12 298 000 ton, sementara produksi terendahnya tahun 2004, yaitu sebesar 11 134 800 ton. Produksi daging sapi di Australia cenderung stabil dengan rata-rata sebesar 2 098 353.33 ton, dengan produksi tertinggi dicapai pada tahun 2007 sebesar 2 226 290 ton dan produksi terendah pada tahun 2000 sebesar 1 987 900 ton. Rata-rata produksi daging sapi di New Zealand sebesar 630 373.67 ton sementara rata-rata produksi daging sapi di Jepang sebesar 507 325 ton. Dari kelima negara asal impor, Singapura memiliki jumlah produksi daging sapi terendah sebesar 41.75 ton. Akan tetapi Indonesia masih mengimpor daging sapi dari Singapura.

Tabel 8 Produksi daging sapi di negara asal impor tahun 2000-2011 Tahun Produksi di negara asal impor (ton)

Australia New Zealand USA Singapura Jepang

2000 1 987 900 571 783 12 298 000 37 530 438 2001 2 119 000 590 435 11 982 000 39 458 600 2002 2 028 000 576 318 12 427 000 42 536 600 2003 2 073 000 660 280 12 039 000 40 496 000 2004 2 033 000 709 077 11 134 800 44 513 600 2005 2 161 960 651 772 11 196 000 41 499 470 2006 2 077 070 642 888 11 862 800 42 496 992 2007 2 226 290 632 378 11 979 400 42 503 902

24

Tahun Produksi di negara asal impor (ton)

Australia New Zealand USA Singapura Jepang

2008 2 131 910 634 558 12 163 000 42 519 879

2009 2 123 960 637 030 11 891 100 42 517 020

2010 2 108 290 635 289 12 045 800 45 514 959

2011 2 109 860 622 676 11 988 300 45 500 440

Sumber: UNComtrade (2013).

Australia dan New Zealand merupakan dua negara utama asal daging sapi impor Indonesia, hal ini dikarenakan jarak yang cukup dekat. Berdasarkan Tabel 9, volume impor tertinggi ke Indonesia berasal dari Australia dengan rata-rata sebesar 19 513 044.25 kg dan mengalami peningkatan drastis dari tahun 2008 ke 2009 sebesar 20 581 936 kg. Volume impor dari New Zealand cenderung meningkat dari tahun 2003 sampai 2010 dengan rata-rata volume impor dari New Zealand sebesar 13 138 340 kg. Rata-rata volume impor dari USA adalah sebesar 838 339.08 kg. Volume impor dari USA mengalami penurunan drastis dari tahun 2005 sebesar 357 266 kg menjadi hanya 548 kg pada tahun 2006, namun kembali mengalami peningkatan pada tahun 2008 menjadi 349 549 kg dan meningkat drastis sebesar 3 331 851 kg dari tahun 2009 ke tahun 2010. Sementara volume impor dari Singapura cenderung berfluktuasi dengan impor tertinggi tahun 2010 sebesar 1 707 247 kg, akan tetapi tahun 2006 dan tahun 2008 Indonesia tidak mengimpor daging sapi dari Singapura. Jepang merupakan negara pengekspor daging sapi ke Indonesia paling rendah dengan rata-rata sebesar 697.58 kg, bahkan tahun 2005, 2006 dan tahun 2008 sampai 2011 Indonesia tidak mengimpor daging sapi dari Jepang sama sekali. Hal ini disebabkan karena daging sapi asal Jepang mempunyai harga yang cukup mahal berkisar Rp.380 000 (Ilham 1998).

Tabel 9 Volume impor daging sapi (HS0202) ke Indonesia tahun 2000-2011

Tahun Volume impor ke Indonesia (kg)

Australia New Zealand USA Singapura Jepang

2000 11 691 761 4 513 129 689 349 151 173 1 295 2001 6 708 919 4 543 195 773 168 28 925 54 2002 7 047 223 3 240 785 587 151 824 2 112 2003 6 840 094 2 689 868 563 772 103 716 528 2004 3 276 161 7 465813 349 304 2 852 3 202 2005 7 439 308 11 358 517 357 266 39 889 0 2006 10 041 082 13 790 782 548 0 0 2007 22 634 079 16 249 069 96 464 1 180 2008 25 517 767 18 792 950 349 549 0 0 2009 46 099 703 19 388 188 133 248 164 204 0

25

Tahun Volume impor ke Indonesia (kg)

Australia New Zealand USA Singapura Jepang 2010 47 989 579 35 168 388 3 465 099 1 707 247 0

2011 38 870 855 20 459 396 2 791 519 40 676 0

Sumber : UNComtrade (2013).

Tingginya volume impor daging sapi yang masuk ke Indonesia memang menjadi masalah yang harus diatasi oleh pemerintah. Kondisi ini pada akhirnya menuntut pemerintah khususnya Kementrian Perdagangan dan Kementrian Pertanian untuk menetapkan regulasi yang tepat dalam mengatur impor produk peternakan khususnya daging sapi Indonesia.

Pertama-tama untuk mengatasi impor daging sapi, Kementrian Pertanian khususnya Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan merancang rencana strategis (RENSTRA) dengan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2010-2014. Untuk mencapai swasembada daging sapi pada tahun 2014, maka sasaran produksi daging sapi atau kerbau ditargetkan sebesar 0.66 juta ton dengan peningkatan rata-rata pertahun sebesar 7.13%. Sejalan dengan rencana swasembada tersebut, pemerintah juga menetapkan kebijakan pengurangan kuota daging sapi impor sebanyak 12% per tahunnya. Langkah operasional untuk mencapai swasembada daging dan peningkatan produksi peternakan diupayakan melalui lima kegiatan pokok, antara lain; penyediaan bakalan atau daging sapi lokal, peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi lokal, pencegahan pemotongan sapi betina produktif, penyediaan bibit sapi dan pengaturan stok daging sapi dalam negeri. Untuk medukung berjalannya PSDS 2014, maka Kementrian Perdagangan mencanangkan :

1. Kebijakan penetapan aturan non-tarif komoditas peternakan impor. 2. Menjamin efisiensi distribusi pangan dan sarana produksi.

3. Penataan kerjasama pemasaran internasional di negara tujuan ekspor.

4. Penyederhanaan prosedur ekspor-impor yang mendukung peningkatan harga produk segar dan produk olahan hasil peternakan.

5. Mengantisipasi gejolak harga pangan menjelang musim kemarau dan hari-hari besar.

6. Pengawasan perdagangan illegal.

7. Pengendalian efektifitas pemberlakuan regulasi pemasukan ternak dan produk ternak.

8. Penyebaran informasi perkembangan harga-harga komoditas peternakan di tingkat usaha peternakan dan pusat-pusat pemasaran.

Kondisi dan Kecenderungan Impor Daging Sapi di Indonesia

Impor adalah bentuk perdagangan internasional dengan memasukkan komoditi dari negara lain ke dalam negeri. Impor dilakukan jika suatu negara tidak dapat memenuhi permintaan masyarakat terhadap suatu komoditi atau produksi dalam negeri kurang, oleh karena itu negara itu akan mengimpor

26

komoditi yang kurang tersebut. Selain itu, impor juga bisa dilakukan jika biaya yang dibutuhkan untuk mengimpor relatif lebih kecil dibandingkan memproduksi komoditi tersebut di dalam negeri. Daging sapi di Indonesia berasal dari dua sumber yaitu impor dan domestik. Daging sapi impor berasal dari negara-negara produsen seperti Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat. Produksi daging sapi di Indonesia yang berfluktuatif dan volume impor daging sapi di Indonesia yang cenderung meningkat sepanjang tahun 2000-2011 menyebabkan defisit pada neraca perdagangan, dimana impor lebih besar daripada ekspor.

Sumber: UNComtrade (2013).

Gambar 5 Nilai impor daging sapi (HS0202) Indonesia tahun 2000-2011 Berbeda dengan produksi daging sapi di Indonesia yang berfluktuatif, nilai impor daging sapi cenderung meningkat (Gambar 5). Akan tetapi terjadi penurunan nilai impor pada tahun 2000 hingga 2003, dengan rata-rata penurunan nilai impor sebesar 7 235.80 USD. Tahun 2004 nilai impor daging sapi di Indonesia meningkat dari 17 682.86 USD menjadi 25 528.52 USD. Tahun 2004 hingga tahun 2010 nilai impor daging sapi terus mengalami peningkatan rata-rata sebesar 27 767.08 USD. Namun pada tahun 2011 nilai impor daging sapi di Indonesia kembali mengalami penurunan dari 281 986.35 USD menjadi 219 898.11 USD. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pengurangan jumlah kuota impor daging sapi pada tahun 2011 yang cukup signifikan, yaitu dari 139.5 ribu ton pada tahun 2010 menjadi 102.9 ribu ton pada tahun 2011. Rata-rata nilai impor daging sapi tahun 2000-2011 adalah sebesar 92 301.14 USD.

0 50000 100000 150000 200000 250000 300000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 N il ia Im po r ( U SD ) Tahun

27

Sumber: UNComtrade (2013).

Gambar 6 Volume impor daging sapi (HS0202) Indonesia tahun 2000 -2011 Sama seperti nilai impor, volume impor daging sapi di Indonesia juga mengalami penurunan pada tahun 2000 hingga tahun 2003 dengan rata-rata penurunan sebesar 5 227 522 kg (Gambar 6). Tahun 2004 hingga tahun 2010 volume impor daging sapi cenderung meningkat dengan volume impor tertinggi dicapai pada tahun 2010 sebesar 88 828 788 kg, dan tahun 2011 volume impor daging sapi kembali menurun menjadi 62 175 767 kg karena adanya pengurangan kuota impor daging sapi. Rata-rata volume impor daging tahun 2000-2011 adalah sebesar 34 873 676.7 kg.

Sumber: UNComtrade (2013).

Gambar 7 Volume impor daging sapi (HS0202) Indonesia berdasarkan negara asal impor tahun 2000-2011

Gambar 7 menunjukkan volume impor daging sapi Indonesia berdasarkan negara asal impor.Gambar tersebut menunjukkan volume impor daging sapi tertinggi berasal dari Australia dan New Zealand. Tahun 2000 hingga tahun 2011 volume impor daging sapi dari Australia dan New Zealand cenderung meningkat stabil. Sementara, volume impor dari USA tahun 2000 hingga tahun 2005 cenderung menurun stabil dan menurun drastis pada tahun 2006 dan 2007. Tahun 2008 volume impor daging sapi USA kembali meningkat dan kembali menurun pada tahun 2009. Volume impor dari Jepang selama tahun 2000 hingga 2011

0 10000000 20000000 30000000 40000000 50000000 60000000 Vo lum e Im po r (k g ) Tahun Australia New Zealand USA Singapura Japan 0 20000000 40000000 60000000 80000000 100000000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Vo lu m e Im p o r (k g ) Tahun

28

sangat berfluktuatif, sementara volume impor dari Singapura cenderung meningkat stabil.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Daging Sapi

Pemilihan kesesuaian model dilakukan dengan beberapa tahap. Tahap pertama dengan melakukan uji Chow. Hasil pengujian dengan menggunakan uji Chow adalah p-value (0.0000) lebih kecil dari taraf nyata 5%. Hal ini berarti sudah cukup bukti untuk menolak H0 dimana H0 merupakan model PLS. Uji Haussman tidak dilakukan karena objek data cross section lebih sedikit dari jumlah koefisien yang ada. Oleh karena itu model estimasi terbaik untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi impor daging sapi di Indonesia adalah dengan menggunakan LSDV atau fixed effect model.

Tabel 10 Hasil pendugaan parameter faktor-faktor yang memengaruhi impor daging sapi Indonesia periode tahun 2000-2011

Variabel Koefisien Std. Error t-statistik Prob.

GDPJ -656.5941 114.3873 -5.740096 0.0000* GDPI 42173.34 3962.459 10.64322 0.0000* EXRATE 1654.552 346.0256 4.781588 0.0000* P_IDN 66775.83 14699.92 4.542597 0.0000* P_INT -57462.01 11225.74 -5.118772 0.0000* PROD_IDN -4.892000 5.660842 -0.864182 0.3918 PROD_J 0.038217 0.457615 0.083513 0.9338 C -35765744 5648319. -6.332104 0.0000* Weighted Statistic

R-squared 0.825786 Sum squared resid 46.42183

Prob (Fstat) 0.000000 Durbin Watsonstat 1.718049 Unweighted Statistics

R-squared 0.701458

Sum squared resid 2.37E+15 Durbin Watsonstat 0.634355

Catatan: *) signifikan pada taraf nyata 5%

Berdasarkan hasil estimasi diketahui nilai koefisien determinasi (R-squared) yang diperoleh sebesar 82.5% menunjukkan bahwa sebesar 82.5% keragaman volume impor daging sapi dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya, sedangkan sisanya 17.5% dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar model.

Setelah terpilihnya LSDV sebagai model terbaik maka selanjutnya dilakukan uji asumsi klasik untuk mendapatkan model persamaan yang terbebas dari masalah dalam analisis regresi seperti multikolinearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi. Dari tujuh variabel independen yang dianalisis dengan

R-29 squared sebesar 82.5%, tidak terdapat variabel yang saling berkorelasi. Selanjutnya adalah uji heteroskedastisitas, yaitu nilai sum squared resid weighted (46.42183) lebih kecil dari nilai sum squared resid unweighted (2.37E+15) maka artinya model terindikasi terdapat heteroskedastisitas, tetapi karena model sudah diboboti dengan cross section SUR dan white cross section maka masalah heteroskedastisitas dapat diabaikan. Dalam uji autokorelasi, nilai Durbin Watsonstat adalah sebesar 1.71. Hal ini berarti nilai Durbin Watsonstat mendekati 2 atau berada diantara 1.55-2.46, maka model telah terbebas dari masalah autokorelasi. Pengujian terakhir yaitu uji normalitas (Tabel 11) probabilitas Jarque Bera lebih besar dari taraf nyata 5% (0.119931 > 0.05), maka residual dalam model ini sudah menyebar normal.

Tabel 11 Hasil uji normalitas

Model Jarque-Bera Prob.

Impor Daging Sapi 4.241674 0.119931

Hasil estimasi yang diperoleh terdapat dua variabel yang tidak signifikan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi volume impor daging sapi di Indonesia selama 12 tahun dari tahun 2000 hingga tahun 2011, yaitu produksi daging sapi negara asal impor dan produksi daging sapi di Indonesia.

Variabel GDP riil per kapita masing-masing negara asal impor memiliki hubungan negatif dan memiliki nilai koefisien sebesar -656.5941, hal ini sesuai dengan hipotesis awal. Variabel ini menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0000 yang berarti lebih kecil dari taraf nyata 5%, maka GDP riil per kapita negara asal impor berpengaruh nyata terhadap impor daging sapi di Indonesia. Artinya jika terjadi peningkatan 1 juta USD terhadap GDP riil per kapita negara asal impor maka akan menurunkan volume impor daging sapi di Indonesia sebesar 656.5941 kg. Hal ini karena meningkatnya GDP di negara asal impor maka akan meningkatkan konsumsi daging sapi di negara tersebut, karena itu negara tersebut akan mengurangi volume ekspornya karena lebih cenderung untuk memenuhi konsumsi dalam negeri dengan asumsi daging sapi adalah barang normal.

Variabel GDP riil per kapita Indonesia memiliki hubungan positif dan memiliki nilai koefisien sebesar 42173.34, hal ini sesuai dengan hipotesis awal. Variabel ini menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0000 yang berarti lebih kecil dari taraf nyata 5%, maka GDP riil per kapita Indonesia berpengaruh nyata terhadap volume impor daging sapi di Indonesia. Artinya jika terjadi peningkatan 1 juta USD terhadap GDP riil per kapita Indonesia maka akan meningkatkan volume impor daging sapi di Indonesia sebesar 42173.34 kg. Dengan meningkatnya pendapatan per kapita di Indonesia maka daya beli masyarakat juga akan meningkat, sehingga konsumsi daging sapi di Indonesia akan meningkat. Tetapi karena produksi daging sapi di Indonesia belum dapat memenuhi permintaan domestik, maka Indonesia mengimpor daging sapi.

Variabel nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara asal impor memiliki hubungan positif dan memiliki nilai koefisisen sebesar 1654.552, hasil estimasi ini sudah sesuai dengan hipotesis awal. Variabel ini menunjukkan nilai

30

probabilitas sebesar 0.0000 yang berarti lebih kecil dari taraf nyata 5%, maka nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara asal impor berpengaruh nyata terhadap volume impor daging sapi di Indonesia. Artinya jika nilai tukar meningkat 1 Rp/LCU maka akan meningkatkan volume impor daging sapi di Indonesia sebesar 1654.552 kg.

Variabel harga riil daging sapi di Indonesia memiliki hubungan positif dan memiliki nilai koefisien sebesar 66775.83, hasil estimasi ini sesuai dengan hipotesis awal. Variabel ini menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0000 yang berarti lebih kecil dari taraf nyata 5%, maka harga riil daging sapi di Indonesia berpengaruh nyata terhadap impor daging sapi di Indonesia. Artinya jika terjadi peningkatan sebesar 1 Rupiah terhadap harga riil daging sapi di Indonesia maka volume impor daging sapi akan meningkat sebesar 66775.83 kg.

Variabel harga riil daging sapi internasional memiliki hubungan negatif dan memiliki nilai koefisien sebesar -57462.01, hasil estimasi ini sesuai dengan hipotesis awal.Variabel ini menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0000 yang berarti lebih kecil dari taraf nyata 5%, maka harga riil daging sapi internasional berpengaruh nyata terhadap impor daging sapi di Indonesia. Artinya jika terjadi peningkatan 1 cents/kg terhadap harga riil daging sapi internasional maka volume impor daging sapi di Indonesia akan berkurang sebesar 57462.01 kg.

Variabel produksi daging sapi di Indonesia memiliki hubungan negatif terhadap impor daging sapi di Indonesia dan memiliki nilai koefisien sebesar -4.892000, hal ini sesuai dengan hipotesis awal. Variabel ini menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.3918 yang berarti lebih besar dari taraf nyata 5%, maka variabel produksi daging sapi di Indonesia tidak berpengaruh nyata terhadap impor daging sapi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan produksi dan permintaan yang berdampak pada kenaikan harga. Khusus harga daging sapi tipikalnya setelah mengalami kenaikan tidak terjadi penurunan harga kembali ke posisi awal, meskipun harga turun masih tetap diatas harga awal. Perilaku ini disebabkan oleh perubahan harga yang cepat tetapi tidak diikuti oleh perubahan pada sisi produksi (Ilham 2009). Oleh karena itu harga daging sapi impor lebih murah dibandingkan dengan harga daging sapi domestik, sehingga masyarakat lebih memilih untuk mengkonsumsi daging sapi impor.Maka produksi daging sapi di Indonesia tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dalam mengurangi volume impor daging sapi.

Variabel produksi daging sapi pada masing-masing negara asal impor memiliki hubungan positif dan memiliki nilai koefisien sebesar 0.038217, hasil estimasi ini sesuai dengan hipotesis awal. Variabel ini menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.9338 yang berarti lebih besar dari taraf nyata 5%, maka variabel produksi daging sapi pada negara asal impor tidak berpengaruh nyata terhadap impor daging sapi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan Indonesia terhadap negara-negara pengekspor daging sapi karena produksi daging sapi domestik yang masih belum dapat mencukupi konsumsi domestik. Oleh karena itu, berapapun jumlah daging sapi yang di produksi oleh negara-negara pengekspor daging sapi Indonesia akan tetapi mengimpor daging sapi dari negara-negara tersebut agar kebutuhan daging sapi di Indonesia dapat terpenuhi.

31

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kecenderungan impor daging sapi di Indonesia selama tahun 2000 hingga 2011 cenderung meningkat. Pada tahun 2000 hingga tahun 2011 volume dan nilai impor daging sapi di Indonesia menurun dan meningkat kembali pada tahun 2004 hingga 2010. Kemudian pada tahun 2011 volume dan nilai impor daging sapi di Indonesia kembali mengalami penurunan dikarenakan telah diberlakukannya pembatasan kuota impor daging sapi. Sementara negara pengimpor daging sapi di Indonesia di dominasi oleh Australia dan New Zealand yang volumenya cenderung meningkat stabil. Sementara impor daging sapi dari USA cenderung mengalami penurunan, tahun 2006 dan 2007 penurunan volume impor dari USA sangat drastis tetapi tahun 2008 kembali meningkat. Dan volume impor daging sapi dari Jepang cenderung berfluktuatif sepanjang tahun 2000 hingga 2011, sementara Singapura cenderung stabil.

Berdasarkan hasil dari penelitian ini diketahui faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi volume impor daging sapi di Indonesia adalah GDP riil per kapita Indonesia dan GDP riil per kapita negara asal impor, nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara asal impor, harga riil daging sapi di Indonesia dan harga riil daging sapi internasional. Sedangkan variabel produksi daging sapi Indonesia dan produksi daging sapi negara asal impor tidak berpengaruh terhadap volume impor daging sapi di Indonesia. Variabel yang berpengaruh positif terhadap volume impor daging sapi di Indonesia adalah GDP riil per kapita Indonesia, nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara asal impor, harga daging sapi domestik, dan produksi daging sapi di negara asal impor. Sedangkan variabel yang berpengaruh negatif terhadap volume impor daging sapi di

Dokumen terkait