• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Daging Sapi di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Daging Sapi di Indonesia"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI IMPOR

DAGING SAPI DI INDONESIA

GRADISNY QALIFFA MARAYA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Daging Sapi di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

GRADISNY QALIFFA MARAYA. Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Daging Sapi di Indonesia. Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI.

Pesatnya laju peningkatan penduduk serta perubahan selera konsumen menyebabkan perubahan pola konsumsi kearah protein hewani, termasuk daging sapi. Laju produksi daging sapi di Indonesia saat ini tidak dapat mengimbangi permintaan daging sapi, sehingga dilakukan impor. Hal ini ditunjukkan dengan laju peningkatan impor daging sapi yang semakin tinggi. Kondisi demikian perlu langkah proteksi untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap negara-negara pengekspor daging sapi. Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi impor daging sapi di Indonesia dengan menggunakan data sekunder tahun 2000 hingga tahun 2011 berupa panel data dengan model estimasi terbaik yaitu model efek tetap (fixed effect model). Berdasarkan hasil estimasi, variabel yang berpengaruh terhadap impor daging sapi di Indonesia yaitu GDP riil per kapita negara asal impor, GDP riil per kapita Indonesia, nilai tukar riil, harga riil daging sapi internasional dan harga riil daging sapi di Indonesia, sedangkan produksi daging sapi di Indonesia dan produksi daging sapi di negara asal impor tidak mempengaruhi impor daging sapi di Indonesia.

Kata kunci: Daging sapi, GDP, harga, impor, panel data.

ABSTRACT

GRADISNY QALIFFA MARAYA. Factors Affecting Imports of Beef in Indonesia. Supervised by RINA OKTAVIANI.

The rapid increase in population and changes in consumer preference cause the changes in consumption patterns towards animal protein, including beef. Beef production rate in Indonesia can not fulfill the demand rate, therefore import is necessary. This is indicated by the increase of beef imports. In this condition, barriers of trade is needed to reduce Indonesia’s dependency from beef exporter countries. The objectives of this research is to analyze the factors that affect beef imports in Indonesia by using secondary data from 2000 to 2011 in the form of panel data with a model that best estimated with fixed effect model. Based on the estimation, the variables that affect the beef imports in Indonesia are real GDP per

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI IMPOR

DAGING SAPI DI INDONESIA

GRADISNY QALIFFA MARAYA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Daging Sapi di Indonesia Nama : Gradisny Qaliffa Maraya

NIM : H14090109

Disetujui oleh

Diketahui oleh

Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah impor daging sapi, dengan judul Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Daging Sapi di Indonesia.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, masukan dan motivasi yang baik. Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc, selaku dosen penguji utama yang telah memberikan saran dan kritik demi perbaikan penulisan skripsi ini dan Dewi Ulfah Wardani, MSi, selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah memberikan masukan demi perbaikan penulisan skripsi ini. Selain itu ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua penulis yang selalu mendoakan dan memberikan motivasi kepada penulis, teman-teman terbaik penulis, Bella Herwanda, Marsha Dewi Putri, Tiara Natalia, Achmad Rivano, Febriana Rangkuti dan Charra Rosemarry atas persahabatan, doa, semangat dan motivasi selama kuliah di Institut Pertanian Bogor. Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada teman satu bimbingan, Nyimas Tyah Nadhilah, Marsela Dwi Tamisari dan Indah Rizki Anugrah yang selalu mendukung dan berjuang bersama penulis, teman-teman Ilmu Ekonomi 46, serta pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

Hipotesis 6

TINJAUAN PUSTAKA 6

Landasan Teori 6

Penelitian Terdahulu 11

Kerangka Pemikiran 13

METODE 15

Jenis dan Sumber Data 15

Metode Analisis dan Pengolahan Data 15

Model Penelitian 18

Pengujian Model 18

HASIL DAN PEMBAHASAN 20

Gambaran Umum 20

Kondisi dan Kecenderungan Impor Daging Sapi di Indonesia 25 Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Daging Sapi 28

SIMPULAN DAN SARAN 31

Simpulan 31

Saran 31

DAFTAR PUSTAKA 32

LAMPIRAN 34

(10)

DAFTAR TABEL

1 Konsumsi produk peternakan per kapita tahun 2007-2011 1 2 Produksi produk peternakan tahun 2007-2011 (000 ton) 2

3 Ekspor dan impor daging sapi tahun 2009-2011 3

4 GDP riil per kapita Indonesia dan negara asal impor tahun 2000-2011 20 5 Nilai tukar Rupiah terhadap mata uang negara asal impor tahun 2000- 21 6 Harga daging sapi di Indonesia dan internasional tahun 2000-2011 22 7 Produksi daging nasional non unggas tahun 2000-2011 23 8 Produksi daging sapi di negara asal impor tahun 2000-2011 23 9 Volume impor daging sapi (HS0202) ke Indonesia tahun 2000-2011 24 10 Hasil pendugaan parameter faktor-faktor yang memengaruhi impor

daging sapi Indonesia periode tahun 2000-2011 28

11 Hasil uji normalitas 29

DAFTAR GAMBAR

1 Kurva permintaan 8

2 Kurva penawaran 9

3 Kurva perdagangan internasional 11

4 Kerangka pemikiran 14

5 Nilai impor daging sapi (HS0202) Indonesia tahun 2000-2011 26 6 Volume impor daging sapi (HS0202) Indonesia tahun 2000 -2011 27 7 Volume impor daging sapi (HS0202) Indonesia berdasarkan negara asal

impor tahun 2000-2011 27

DAFTAR LAMPIRAN

1 PLS 34

2 LSDV 35

3 Uji chow 36

4 Uji normalitas 37

5 Uji homoskedastisitas 38

6 Uji multikolinearitas 39

7 Variabel-variabel dalam model faktor-faktor yang memengaruhi impor

(11)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam beberapa tahun terakhir ini permintaan akan pangan hewani di Indonesia cenderung meningkat, seiring dengan perkembangan ekonomi, perbaikan tingkat pendidikan, dan perubahan gaya hidup yang terjadi dalam masyarakat yang disebabkan arus urbanisasi dan globalisasi. Semakin meningkatnya populasi penduduk dan perbaikan taraf hidup masyarakat Indonesia tentu akan mendorong perubahan kebutuhan pangan, dan konsumsi menu makanan rumah tangga secara bertahap akan mengalami perubahan kearah konsumsi protein hewani (termasuk produk peternakan). Komoditas seperti daging, telur dan susu merupakan komoditas pangan yang berprotein tinggi dan memiliki harga yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya. Hal tersebut menyebabkan tingginya volume impor bakalan sapi hidup maupun daging sapi di Indonesia, karena harga daging sapi impor cenderung lebih murah. Selama ini kebutuhan daging sapi di Indonesia diperoleh dari tiga sumber, yaitu sapi lokal, sapi impor, dan daging impor.

Tabel 1 Konsumsi produk peternakan per kapita tahun 2007-2011

Kelompok bahan makanan 2007 2008 2009 2010 2011

Daging sapi (kg) 0.42 0.36 0.31 0.36 0.47

Telur (kg) 6.20 2.87 5.91 6.80 6.62 Susu (liter) 0.21 0.21 0.10 0.10 0.15

Sumber: Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011).

(12)

2

Tabel 2 Produksi produk peternakan tahun 2007-2011 (000 ton)

Jenis Produk Tahun (Ton)

2007 2008 2009 2010 2011

Daging sapi 339.5 392.5 409.3 436.5 485.3

Telur 1 382.1 1 323.6 1 306.9 1 366.2 1 456.3

Susu 567.7 647.0 827.2 909.5 974.7

Sumber: Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012).

Pada tahun 2011 total produksi daging sebanyak 2 554.20 ribu ton yang terdiri dari daging sapi dan kerbau, kambing dan domba, babi, ayam buras, ayam ras pedaging, ayam ras petelur dan ternak lainnya (Statistik peternakan 2012). Bila dibandingkan tahun sebelumnya (2010) produksi daging sapi mengalami peningkatan dari 436.5 ribu ton menjadi 485.3 ribu ton. Tingginya protein dalam daging sapi membuat konsumen meningkatkan konsumsi mereka terhadap daging sapi, sehingga produksi juga meningkat.

Kebutuhan daging dunia terus meningkat setiap tahunnya walaupun angka konsumsi daging di beberapa negara maju mengalami penurunan. Padahal angka konsumsi daging negara maju sekarang ini jauh di atas konsumsi daging negara berkembang. Namun,seiring dengan perkembangan perekonomian negara berkembang, kebutuhan daging pun semakin meningkat. Dengan keadaan ini sangat besar peluang negara produsen untuk memasok daging ke negara-negara berkembang. Kemampuan Indonesia memproduksi daging hanya sebesar 1.1 juta ton setiap tahunnya. Dengan kemampuan ini sebenarnya Indonesia sudah memiliki modal untuk mengekspor daging ke luar negeri. Akan tetapi, sebagian besar produksi daging ini hanya dikonsumsi dalam negeri. Umumnya daging yang dihasilkan kurang bermutu kendatipun ada juga perusahaan besar yang sudah mampu mengekspor daging (Nazaruddin 1993).

Perbedaan harga merupakan salah satu penyebab terjadinya perdagangan antar negara (lokasi), dimana suatu produk cenderung bergerak dari daerah surplus ke daerah defisit, sampai perbedaan harga mendekati biaya transfer (Purcell, 1979; Tomek and Robinson, 1990 dalam Ilham 2001). Indonesia merupakan negara net importer daging sapi. Permintaan impor daging sapi merupakan kekurangan produksi tersebut atas konsumsi dalam negeri. Disamping itu, paritas harga yang tinggi antara harga domestik dengan harga impor, juga merupakan faktor pendorong terjadinya kegiatan impor. Perbedaan harga tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan penawaran dan permintaan pada sentra produsen dan sentra konsumen, dapat juga disebabkan oleh perubahan nilai tukar mata uang negara eksportir dan importir. Kualitas komoditas yang diperdagangkan juga menyebabkanperbedaan harga tersebut (Ilham 2001).

(13)

3 49 671 209 kg. Hal ini disebabkan karena kebijakan penetapan aturan non-tarif komoditas peternakan impor, yaitu pengurangan pembatasan kuota impor daging sapi sesuai dengan RENSTRA KEMENTAN 2010-2014.

Tabel 3 Ekspor dan impor daging sapi tahun 2009-2011 Tahun

Sumber: Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012).

Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS-2014) merupakan salah satu program prioritas pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan asal ternak berbasis sumberdaya lokal. Pencapaian swasembada daging sapi merupakan tantangan yang tidak ringan, karena pada tahun 2009 impor daging mencapai 70 ribu ton dan sapi bakalan setara dengan 250.8 ribu ton daging (Ditjenak 2010). Angka ini kira-kira meliputi 30% dari kebutuhan daging nasional. Bahkan ada kecenderungan volume impor terus meningkat menjadi sekitar 720 ribu ekor sapi pada tahun-tahun mendatang. Hal ini dapat menyebabkan kemandirian dan kedaulatan pangan hewani, khususnya daging sapi, semakin jauh dari harapan dan menyebabkan Indonesia masuk dalam perangkap pangan negara eksportir (Strategi dan Kebijakan Dalam Percepatan Pencapaian PSDS 2014 2010).

Impor daging dan sapi bakalan yang pada awalnya bertujuan untuk mendukung dan mencukupi kebutuhan daging sapi malah terus meningkat dan menganggu usaha agribisnis sapi potong lokal. Harga daging, jeroan dan sapi bakalan impor relatif lebih murah karena manajemen budidaya dan pengelolaan sumber daya produksi sapi di negara pengekspor sangat efisien dibandingkan dengan Indonesia. Kegiatan agroindustri sapi potong skala besar semakin bergeser dari kegiatan feedloting menjadi kegiatan yang lebih ke hilir, yaitu impor sapi siap potong dan menjurus pada perdagangan daging. Hal ini dapat merugikan perekonomian negara dan masyarakat, mengingat kegiatan impor bakalan dan daging yang begitu pesat sehingga mengurangi insentif masyarakat untuk membudidayakan sapi potong dalam negeri. Kebutuhan daging yang meningkat menyebabkan pemotongan terhadap sapi betina lokal produktif juga meningkat mencapai 200 ribu ekor per tahun. Hal ini menyebabkan stok bibit nasional semakin berkurang dan menghambat pertambahan populasi sapi lokal.

(14)

4

didalamnya terkait perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barrier to Trade (TBT) seperti yang tertuang dalam UU No 7 Tahun 2004. Prinsip perjanjian tersebut pada intinya adalah bahwa produk dan jasa yang dihasilkan dari kegiatan sub sector peternakan dan kesehatan hewan harus memenuhi persyaratan keamanan (safety), standard mutu (quality), kesejahteraan hewan (animal walfare), ramah lingkungan dan berkelanjutan (Renstra Ditjen PKH 2010-2014).

Berdasarkan gambaran kondisi produksi, konsumsi, dan impor daging sapi di Indonesia, maka diperlukan suatu kajian atau penelitian yang membahas mengenai faktor-faktor yang memengaruhi impor daging sapi di Indonesia sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang berperan penting dalam impor daging sapi sekaligus menganalisis tindakan yang seharusnya dilakukan untuk meningkatkan produksi domestik dan mengurangi impor daging sapi ke Indonesia.

Perumusan Masalah

Daging sapi yang bersifat demand driven tersebut, masih bermasalah dalam pemenuhannya. Kesenjangan antara kebutuhan konsumsi dengan produksi daging sapi lokal terjadi tiap tahun, yang diduga karena adanya peningkatan jumlah masyarakat yang berpendapatan menengah ke atas. Peningkatan jumlah tersebut tercermin dari peningkatan konsumsi daging sapi dari sebesar 1.95 kg per kapita pada tahun 2007 menjadi 2 kg per kapita pada tahun 2008 dan meningkat menjadi 2.24 kg per kapita pada tahun 2009. Peningkatan konsumsi ini berdampak pada meningkatnya kebutuhan daging sapi dan jeroan dari 455 755 ton pada tahun 2008 menjadi 516 603 ton pada tahun 2009 (BPS dan Statistik Peternakan 2009). Kebutuhan daging tersebut setara dengan jumlah sapi sebanyak 2.432 juta ekor sapi pada tahun 2008 dan 2.746 juta ekor sapi pada tahun 2009. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka impor daging sapi dan jeroan juga meningkat menjadi sebesar 110 246 ton serta untuk sapi bakalan sebanyak 768 133 ekor pada tahun 2009. Hal ini karena sapi lokal hanya dapat mensuplai kebutuhan daging sebesar 49% dari kebutuhan daging nasional pada tahun 2009 (BPS dan Statistik Peternakan 2009).

Kebijakan izin impor sapi bakalan dan daging sapi yang dikeluarkan pemerintah tahun 1980an semula untuk menyediakan daging murah, sehingga konsumsi daging masyarakat meningkat. Namun, pada saat ini proporsi daging sapi impor telah mencapai 30% dari kebutuhan daging sapi nasional, sehingga mengkhawatirkan bagi kedaulatan dan ketahanan pangan.

Swasembada daging yang dilakukan pemerintah merupakan upaya yang sangat relevan untuk ketahanan pangan, dengan mengurangi ketergantungan impor sampai pada batas 10% dari kebutuhan. Impor daging yang selama ini dilakukan tidak lain untuk mengisi excess demand agar konsumsi daging sapi dapat dipenuhi. Oleh karena itu perlu ada target produksi dari sisi penawaran dan target konsumsi dari sisi permintaan yang seimbang, agar swasembada daging sapi bisa terwujud.

(15)

5 seiring dengan pertambahan populasi juga dapat memberikan kesempatan yang luas bagi produsen domestik untuk meningkatkan produksinya. Namun upaya untuk mewujudkannya tidak mudah, karena input produksi sebagian besar masih tergantung pada pasokan impor. Untuk itu penelitan ini dimaksudkan untuk memberikan solusi yang tepat dalam mengatasi ketergantungan Indonesia terhadap negara-negara pengekspor daging sapi.

Berdasarkan uraian tersebut maka perumusan masalah yang dapat dikaji dan dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kondisi dan kecenderungan impor daging sapi di Indonesia? 2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi impor daging sapi di Indonesia?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang dijelaskan, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan kondisi dan kecenderungan impor daging sapi di Indonesia . 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor daging sapi di

Indonesia.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat tidak hanya bagi penulis tetapi juga bagi pemerintah Indonesia dan instansi yang terkait dalam melakukan impor, khususnya komoditas yang dijelaskan dalam penelitian ini. Manfaat yang diharapkan antara lain:

1. Sebagai tambahan informasi, masukan dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan yang terkait dengan kegiatan impor daging sapi agara mengurangi ketergantungan impor daging sapi.

2. Bagi peneliti-peneliti lainnya diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dan pertimbangan atau perbandingan dalam penelitian selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian

(16)

6

Hipotesis

Dalam penelitian ini, hipotesis sementara yang digunakan dalam menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi impor daging sapi adalah:

1. GDP riil per kapita Indonesia mempunyai hubungan yang positif terhadap volume impor daging sapi di Indonesia. Apabila GDP per kapita meningkat maka akan meningkatkan tingkat pendapatan sehingga daya beli masyarakat meningkat, oleh karena itu permintaan daging sapi akan meningkat pula dengan asumsi daging sapi adalah barang normal.

2. GDP riil per kapita negara asal impor mempunyai hubungan yang negatif terhadap volume impor daging sapi di Indonesia. Semakin tinggi GDP per kapita negara asal impor maka akan menurunkan volume ekspornya ke Indonesia karena permintaan daging sapi di negara tersebut akan meningkat, dengan asumsi daging sapi adalah barang normal.

3. Faktor nilai tukar (Official Exchange Rate) Rupiah terhadap mata uang negara asal impor mempunyai hubungan yang positif terhadap volume impor daging sapi di Indonesia. Apresiasi Rupiah terhadap nilai mata uang negara asal impor menyebabkan harga daging sapi di negara asal impor menjadi rendah, sehingga dengan menguatnya nilai Rupiah maka volume impor daging sapi akan meningkat.

4. Faktor harga daging sapi Indonesia mempunyai hubungan yang positif terhadap volume impor daging sapi. Kenaikan harga daging sapi domestik akan menurunkan permintaan daging sapi domestik sehingga menyebabkan peningkatan impor daging sapi karena harga daging sapi impor cenderung lebih murah.

5. Faktor harga daging sapi internasional mempunyai hubungan yang negatif terhadap volume impor daging sapi. Kenaikan harga internasional akan menyebabkan penurunan volume impor daging sapi.

6. Produksi daging sapi Indonesia mempunyai hubungan yang negatif terhadap volume impor daging sapi Indonesia. Semakin tinggi produksi daging sapi domestik maka kebutuhan daging sapi domestik akan terpenuhi sehingga volume impor daging sapi akan berkurang.

7. Produksi daging sapi di negara asal impor mempunyai hubungan yang positif terhadap volume impor daging sapi di Indonesia. Semakin tinggi produksi daging sapi di negara asal impor maka insentif negara tersebut untuk mengekspor daging sapi akan meningkat sehingga volume impor daging sapi di Indonesia akan bertambah.

TINJAUAN PUSTAKA

Landasan Teori

(17)

7 1. Harga barang yang bersangkutan

Keadaan harga suatu barang mempengaruhi jumlah permintaan terhadap barang tersebut. Bila harga naik maka permintaan akan barang tersebut akan turun. Sebaliknya, bila harga turun maka permintaan akan barang tersebut akan naik. Hubungan harga dengan permintaan adalah hubungan yang negatif dengan catatan faktor lain yang mempengaruhi jumlah permintaan dianggap tetap.

2. Harga barang lain

Terjadinya perubahan harga pada suatu barang akan berpengaruh pada permintaan barang lain. Keadaan ini bisa terjadi bila kedua barang tersebut mempunyai hubungan, apakah saling menggantikan (substitusi) atau saling melengkapi (komplemen). Bila tidak berhubungan, maka tidak akan saling berpengaruh.

3. Selera

Selera merupakan variabel yang mempengaruhi besar kecilnya permintaan. Selera dan pilihan konsumen terhadap suatu barang bukan saja dipengaruhi oleh struktur umur konsumen, tetapi juga karena faktor adat dan kebiasaan setempat, tingkat pendidikan, atau lainnya.

4. Jumlah penduduk

Semakin banyak jumlah penduduk makin besar pula barang yang dikonsumsi dan semakin besar pula jumlah permintaan akan barang tersebut.

5. Tingkat pendapatan

Perubahan tingkat pendapatan akan mempengaruhi banyaknya barang yang dikonsumsi. Secara teoritis, peningkatan pendapatan akan meningkatkan konsumsi.

6. Rata-rata pendapatan rumah tangga

Jika rumah tangga menerima rata-rata pendapatan yang lebih besar, maka mereka akan membeli lebih banyak suatu komoditi, walaupun harga komoditi itu tetap sama. Kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga akan menggeser kurva permintaan kekanan yang menunjukkan peningkatan permintaan komoditi tersebut pada setiap tingkat harga yang mungkin.

(18)

8

Sumber: Lipsey (1995).

Gambar 1 Kurva permintaan

Menurut Nicholson (2002), penawaran adalah jumlah suatu barang atau jasa yang rela dan mampu dijual oleh para produsen dalam jangka waktu tertentu dan kondisi tertentu. Jumlah produksi yang ditawarkan di pasaran berasal dari produksi pada waktu tertentu dan persediaan (inventory) dari periode-periode sebelumnya. Perubahan pada penawaran dapat terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :

1. Harga komoditi itu sendiri

Harga komoditi itu sendiri mempunyai hubungan yang positif dengan jumlah yang ditawarkan, ceteris paribus. Semakin tinggi harga suatu komoditi, maka semakin banyak jumlah komoditi yang akan ditawarkan oleh produsen. Sebaliknya, semakin rendah rendah harga suatu komoditi maka semakin sedikit jumlah komoditi yang ditawarkan oleh produsen.

2. Harga komoditi lain

Berbagai komoditi dapat disubstitusi atau saling komplemen dalam produksi maupun dalam konsumsi. Jika harga komoditi substitusi meningkat, maka penawaran komoditi yang bersangkutan akan menurun. Sebaliknya, penurunan harga komoditi substitusi akan meningkatkan penawaran komoditi yang bersangkutan. Sementara untuk barang komplementer, kenaikan harga komoditi tersebut akan menyebabkan peningkatan penawaran komoditi yang bersangkutan. Demikian juga sebaliknya, penurunan harga barang komplementer akan menyebabkan turunnya penawaran komoditi yang bersangkutan.

3. Teknologi

Bila terjadi perubahan atau peningkatan pada teknologi dalam proses produksi maka akan terjadi perubahan pada produksi yang cenderung meningkat. Bila produksi meningkat karena perubahan teknologi berarti penawaran pun akan meningkat.

4. Harga input (faktor-faktor produksi)

(19)

9

Jika jumlah produsen bertambah, maka produksi yang ditawarkan akan meningkat.

6. Tujuan perusahaan

Dalam teori ekonomi, perusahaan diasumsikan bertujuan untuk mencapai laba yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, terdapat juga perusahaan yang tidak berorientasi kepada maksimisasi laba sehingga perusahaan tersebut dapat meningkatkan ataupun menurunkan produksinya tanpa terlalu memperhitungkan laba atau rugi yang akan diperoleh perusahaan.

7. Pajak dan subsidi

Adanya pajak seperti pajak penjualan atau pajak penghasilan akan mengakibatkan kenaikan pada ongkos produksi sehingga mengurangi insentif untuk berproduksi. Dengan demikian, penawaran komoditi tersebut akan berkurang. Sebaliknya, pemberian subsidi akan mengurangi ongkos produksi dan meningkatkan keuntungan sehingga penawaran komoditi tersebut akan meningkat.

Sumber: Nicholson (2002).

Gambar 2 Kurva penawaran

Harga dibentuk oleh pasar yang mempunyai dua sisi, yaitu penawaran dan permintaan. Harga merupakan sinyal kelangkaan (scarcity) suatu sumberdaya yang mengarahkan pelaku ekonomi untuk mengalokasikan sumber dayanya. Perpotongan kurva permintaan dan penawaran suatu komoditi menentukan harga pasar komoditi tersebut, dimana jumlah komoditi yang diminta sama dengan jumlah komoditi yang ditawarkan. Dengan kata lain, keseimbangan harga pasar merupakan hasil interaksi kekuatan penawaran dan permintaan komoditi di pasar (Nicholson 2002).

Harga pasar mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai: (1) pemberi informasi tentang jumlah komoditi yang sebaiknya dipasok oleh produsen untuk memperoleh laba maksimum; (2) penentu tingkat permintaan bagi konsumen yang menginginkan kepuasan maksimum (Nicholson 2002).

(20)

10

komoditi yang ada lebih besar daripada yang diinginkan konsumen (Nicholson 2002).

Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Perdagangan internasional yang tercermin dari kegiatan ekspor dan impor suatu negara menjadi salah satu komponen dalam pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto) dari sisi pengeluaran suatu negara (Oktaviani dan Novianti 2009). Krugman dalam Oktaviani dan Novianti (2009) mengungkapkan bahwa alasan utama terjadinya perdagangan internasional:

1. Negara-negara berdagang karena mereka berbeda satu sama lain.

2. Negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi (economic of scale)

Berdasarkan teori keunggulan absolut Adam Smith, perdagangan internasional hanya dapat terjadi pada negara yang memiliki keunggulan absolut. Diasumsikan ada dua negara yang melakukan perdagangan. Jika suatu negara lebih efisien dari pada negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut akan mendapatkan keuntungan masing-masing dengan melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditi yang memiliki keuntungan absolut dan menukarnya dengan komoditi yang memiliki kerugian absolut.

Kelebihan dari teori Absolute advantage yaitu terjadinya perdagangan bebas antara dua negara yang saling memiliki keunggulan absolut yang berbeda, dimana terjadi interaksi ekspor dan impor hal ini akan meningkatkan kemakmuran negara. Kelemahannya yaitu apabila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak akan terjadi karena tidak ada keuntungan. Kelemahan teori Adam Smith ini kemudian disempurnakan oleh David Ricardo dengan teori keunggulan komparatif baik secara cost comparative (labor efficiency) maupun production comparative (labor productivity). Apabila suatu negara tersebut melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat berproduksi relatif lebih produktif serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak produktif. Salvatore (1997) merumuskan model sederhana terjadinya perdagangan internasional sebagai berikut:

(21)

11

Sumber: Salvatore (1997)

Gambar 3 Kurva perdagangan internasional

Perbedaan harga merupakan salah satu penyebab terjadinya perdagangan antar negara (lokasi), dimana suatu produk cenderung dari daerah surplus ke daerah defisit, sampai harga mendekati biaya transfer. Indonesia merupakan negara net importer daging sapi. Permintaan impor daging sapi merupakan kekurangan produksi tersebut dalam konsumsi dalam negeri. Disamping itu, paritas harga yang tinggi antara harga domestik dengan harga impor juga merupakan faktor pendorong terjadinya kegiatan impor. Perbedaan harga tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan penawaran dan permintaan pada produsen dan konsumen, dapat juga disebabkan oleh perubahan nilai tukar mata uang negara eksportir dan importir. Kualitas komoditas yang diperdagangkan juga menyebabkan perbedaan harga tersebut (Ilham 2001).

Kuota merupakan bentuk hambatan perdagangan non tarif. Kuota adalah pembatasan secara langsung terhadap jumlah impor atau ekspor. Kuota bisa berupa pembatsan kuantitas pasokan, misalkan sekian ton per tahun atau sekian unit per tahun, atau bisa juga berupa pembatasan nilai, misalkan ekspor produk ke suatu negara tidak boleh lebih dari sekian juta dolar per tahun. Pembatasan ini biasanya diberlakukan dengan memberi lisensi kepada beberapa individu atau perusahaan domestik untuk mengimpor suatu produk yang jumlahnya langsung dibatasi. Kuota impor dapat digunakan untuk melindungi sektor industri tertentu, melindungi sektor pertanian, dan untuk melindungi neraca pembayaran suatu negara (Oktaviani dan Novianti 2009).

Penelitian Terdahulu

Manik (2012) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor mempengaruhi aliran perdagangan impor bawang merah dan kentang Indonesia. Data yang digunakan berupa data sekunder tahun 2006 sampai tahun 2010 yang dianalisis dengan menggunakan model gravitasi. Model estimasi yang digunakan untuk melakukan analisis komoditi bawang merah adalah dengan menggunakan fixed

(22)

12

effect model sementara komoditi kentang oleh pooled least square. Berdasarkan hasil estimasi dengan menggunakan model gravitasi diketahui variabel yang berpengaruh terhadap volume impor bawang merah dan kentang Indonesia yaitu populasi negara pengekspor, populasi Indonesia, harga impor, jarak ekonomi, GDP riil Indonesia dan GDP riil negara pengekspor. Sedangkan variabel yang tidak mempengaruhi volume impor bawang merah dan kentang Indonesia adalah nilai tukar.

Hutabalian (2009) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran daging sapi domestik tahun 1990-2007 menggunakan data sekunder time series dan cross section dengan model ekonometrika regresi data panel. Hasil dugaan model penawaran daging sapi domestik dengan menggunakan metode fixed effect, menunjukkan bahwa variabel-variabel yang berpengaruh nyata terhadap penawaran daging sapi domestik pada taraf nyata lima persen adalah populasi ternak sapi potong, harga daging sapi dan luas panen padi. Sedangkan peubah harga ternak sapi signifikan pada taraf nyata 20%.

Dalam tesis Nyak Ilham (1998) yang berjudul “Penawaran dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia : Suatu Analisis Simulasi” meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan harga daging sapi di Indonesia serta dampak kebijakan penurunan tarif impor, penurunan tingkat suku bunga, depresiasi rupiah, penghapusan kuota perdagangan antar daerah, dan perubahan faktor-faktor eksternal terhadap penawaran, permintaan, dan harga daging sapi di Indonesia, serta bagaimana pengaruhnya terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen. Penelitian ini menggunakan data sekunder time series dari triwulan kesatu 1990 sampai triwulan kedua 1997 yang dianalisis dalam bentuk persamaan simultan dengan metode 3SLS (Three Stage Least Squares). Model penawaran dan permintaan daging sapi terdiri dari tujuh persamaan struktural dan tujuh persamaan identitas.

Alternatif kebijakan yang diperoleh dari hasil analisis simulasi yaitu penurunan tarif impor, penghapusan kuota perdagangan antar daerah, depresiasi rupiah, penurunan tingkat suku bunga. Sedangkan alternatif perubahan faktor eksternal yaitu peningkatan ekspor Selandia Baru, peningkatan ekspor Australia, peningkatan impor Amerika Serikat, peningkatan impor Jepang, dan gabungan peningkatan ekspor Selandia Baru dan impor Amerika Serikat

Studi oleh Tseuoa et al (2012) yang berjudul ”The Impact of The ASEAN Australia and New Zealand and Free Trade Agreement (AANZFTA) on The Beef Industry in Indonesia” bertujuan untuk mengevaluasi dampak penghapusan tarif terhadap produksi, konsumsi, harga domestik dan impor daging sapi di Indonesia, menganalisis dampak free trade agreement terhadap produsen daging sapi dan surplus konsumen, dan merumuskan alternatif kebijakan untuk meningkatkan produksi daging sapi domestik dan mengurangi impor daging sapi. Studi dianalisis dengan persamaan simultan yang terdiri dari tujuh persamaan struktural dan dua persamaan identitas dan diestimasi dengan metode 2SLS (Two Stage Least Squares) dengan data sekunder time series tahun 1990 sampai 2008.

(23)

13 menurunkan produksi daging sapi domestik secara drastis. Adanya AANZFTA akan mengurangi surplus produsen dan meningkatkan surplus konsumen.

Kerangka Pemikiran

(24)

14

Gambar 4 Kerangka pemikiran

Analisis deskriptif Impor daging sapi di Indonesia tinggi

Ketergantungan Indonesia terhadap negara pengekspor

daging sapi Produksi daging sapi

domestik rendah

Faktor-faktor yang mempengaruhi impor daging sapi di Indonesia

Kecenderungan volume impor daging sapi di

Indonesia

Analisis regresi data panel impor daging sapi

Rekomendasi Kebijakan - GDP riil per kapita Indonesia dan negara asal

impor

- Nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara asal impor

- Harga riil daging sapi domestik Indonesia - Harga riil daging sapi internasional

(25)

15

METODE

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data yang diamati merupakan data gabungan time series dan cross section atau panel data (pooled data). Adapun tahun pengamatan sebanyak 12 tahun, mulai dari tahun 2000 sampai tahun 2011 dengan data penampang lintangnya sebanyak lima negara pengekspor daging sapi terbesar ke Indonesia yaitu Australia, New Zealand, USA, Singapura dan Jepang.

Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa sumber, yaitu Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Worldbank, United Nation Commodity Trade (UNComtrade), Food and Agriculture Organization (FAO) serta penelusuran internet dan literatur terkait. Jenis data meliputi data GDP riil per kapita Indonesia dan GDP riil per kapita negara asal impor, nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara asal impor, harga riil daging sapi di Indonesia, harga riil daging sapi internasional, serta produksi daging sapi di Indonesia dan produksi daging sapi negara asal impor.

Metode Analisis dan Pengolahan Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan metode kuantitatif.Metode deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk menjelaskan informasi-informasi yang terkandung dalam data hasil analisis dan kecenderungan volume impor daging sapi di Indonesia. Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor daging sapi di Indonesia dengan menggunakan analisis regresi data panel dengan yang diolah dengan program Eviews6.

Data panel merupakan salah satu jenis data yang dapat digunakan dalam analisis model regresi data panel (Panel Data Regression Models), atau disebut juga dengan pooled data (pooling dari pengamatan times series dan cross-section) kombinasi dari time series dan cross-section data. Data cross section merupakan data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu, perusahaan, negara dan lain-lain. Data time series adalah data yang dikumpulkan dari waktu kewaktu terhadap suatu individu. Menggunakan data panel memiliki beberapa keuntungan. Menurut Firdaus (2011) beberapa kelebihan menggunakan data panel disebutkan sebagai berikut:

1. Dengan mengkombinasikan data time series dan cross section membuat jumlah observasi menjadi lebih besar sehingga parameter yang diestimasi akan lebih akurat,

2. Memberikan data yang lebih informatif, lebih bervariasi, derajat kebebasanyang lebih efisien, serta mengurangi kolinieritas antar variabel, 3. Data panel lebih baik dalam hal untuk studi mengenai dynamics of adjustment,

(26)

16

4. Mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur pengaruh yang secara sederhana tidak dapat dideteksi oleh data cross section ataupun time series saja dan mampu mengontrol heterogenitas individu.

Pada analisis model panel data dikenal tiga metode pendekatan estimasiyang ditawarkan yaitu metode kuadrat terkecil (Pooled Least Square), metode efek tetap (Fixed Effect) dan metode efek acak (Random Effect). Pendekatan pertama secara sederhana menggabungkan (pooled) seluruh data time-series dan cross section dan kemudian mengestimasi model dengan menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square). Pendekatan kedua memperhitungkan kemungkinan bahwa kita menghadapi masalah omitted variables, yaitu kemungkinan adanya perubahan pada intercept time-series atau cross-section. Metode dengan Fixed Effect menambahkan dummy variables untuk mengizinkan adanya perubahan pada intercept. Pendekatan ketiga memperbaiki efisiensi proses least square dengan memperhitungkan error dari cross-section dan time series. Metode Random Effect adalah variasi dari estimasi Generalized Least Squares (GLS).

Data panel merupakan gabungan dari data cross section dan time series,

Pendekatan Kuadrat Terkecil (Pooled Least Square)

Pendekatan pertama adalah pendekatan kuadrat terkecil, pada metode ini penggunaan data panel dengan mengumpulkan semua data cross section dan time series lalu melakukan pendugaan (pooling). Di setiap observasi terdapat regresi sehingga datanya berdimensi tunggal. Dari data panel akan diketahui N adalah jumlah unit cross section dan T adalah jumlah periode waktu. Dengan melakukan pooling seluruh observasi sebanyak N x T, maka dapat ditulis fungsi dari model kuadrat terkecil,yaitu:

= Peubah respon pada unit cross section ke-i dan waktu ke-t = Peubah bebas ke-k pada unit cross section ke-i dan waktu ke-i

β = Intercept

it = Peubah galat pada unit cross section ke-i dan waktu ke-t

(27)

17 mengasumsikan bahwa slope koefisien dari dua variabel adalah identik untuk semua unit cross section. Ini merupakan asumsi yang harus dipenuhi, sehingga walaupun metode Pooled Least Square (PLS) cenderung lebih mudah, namun model mungkin mendistorsi gambaran yang sebenarnya dari hubungan antara Y dan X antar unit cross section.

Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect)

Kesulitan terbesar dalam pendekatan metode kuadrat terecil biasa adalah asumsi intercept dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan baik antar daerah maupun antar waktu yang mungkin tidak beralasan. Generelasi secara umum yang sering dilakukan adalah dengan memasukkan variabel boneka (dummy variable) untuk mengizinkan terjadinya perbedaan nilai parameter yang berbeda-beda baik lintas unit cross section maupun time series.

Pendekatan dengan memasukkan variabel dummy ini dikenal dengan sebutan model efek tetap (fixed effect) atau Least Square Dummy Variabel (LSDV) atau disebut juga Covariance Model. Pendekatan tersebut dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut:

Dimana :

Yit = Variabel terikat diwaktu t untuk unit cross section i

αi = intercept yang berubah-ubah antar cross section unit

= Variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i

βj = Parameter untuk variabel ke j

it = Peubah galat pada unit cross section ke-i dan waktu ke-t

Penggunaan Least Square Dummy Variable Model dapat dilakukan jika persamaan regresi memiliki sedikit unitcross section, namun jika unit cross sectionnya banyak maka penggunaan Least Square Dummy Variable Model akan mengurangi derajat kebebasan yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi

Pendekatan Efek Acak (Random Effect)

(28)

18

Dalam model ini, diasumsikan bahwa error secara individual tidak saling berkorelasi begitu juga dengan error kombinasinya. Penggunaan model efek acak ini dapat menghemat pemakaian derajat kebebasan dan tidak mengurangi jumlahnya seperti yang akan dilakukan pada model efek tetap. Hal ini berimplikasi pada parameter yang merupakan hasil estimasi akan menjadi semakin efisien. Keputusan penggunaan model efek tetap ataupun efek acak ditentukan dengan menggunakan uji Hausmann. Spesifikasi ini akan memberikan penilaian dengan menggunakan chi square statistic sehingga keputusan pemilihan model akan dilakukan secara statistik.

Model Penelitian

Variabel yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor daging sapi di Indonesia antara lain: GDP riil perkapita Indonesia dan negara asal impor, nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara asal impor, harga riil daging sapi di Indonesia, harga riil daging sapi internasional, produksi daging sapi di Indonesia dan negara asal impor.

IMPit = β0 + β1 GDPIt + β2 GDPJit + β3 EXRATEit + β4 PIDNt + β5 PINTt + β6 PROD_IDNt + β7 PRODJit + it

Dimana:

β0 = Intersep

IMPit = Volume impor daging sapi dari negara asal i tahun t (kg) GDPIt = GDP riil perkapita Indonesia pada tahun t (juta USD) GDPJit = GDP riil perkapita negara i pada tahun t (juta USD) EXRATEit = Nilai Rupiah terhadap mata uang negara i pada tahun t

(Rp/LCU)

PIDNt = Harga riil daging sapi Indonesia pada tahun t (Rp) PINTt = Harga riil daging sapi internasional tahun t (cents/kg) PROD_IDNt = Produksi daging sapi Indonesia tahun t (ton)

PRODJit = Produksi daging sapi negara i pada tahun t (ton)

it = random error

Pengujian Model

Pada analisis model dengan menggunakan data panel, dikenal tiga macam pendekatan yang terdiri dari Pendekatan Kuadrat Terkecil (Pooled Least Squared), Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect Model), dan Pendekatan Efek Acak (Random Effect). Pemilihan model terbaik yang digunakan untuk pengolahan data panel menggunakan beberapa pengujian. Pengujian yang dilakukan antara lain:

1. Pemilihan model dalam pengolahan data panel a) Chow Test

Chow Test atau Uji-F digunakan untuk memilih kedua model diantara Pooled Least Squared dan Fixed Effect Model dengan hipotesis :

(29)

19 Jika nilai PLS, p-value lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan, maka sudah cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model LSDV akan terpilih, dan sebaliknya.

b)Haussman Test

Haussman Test digunakan untuk memilih model Fixed Effect Model atau Random Effect Model, dengan hipotesis :

H0 : REM H1 : LSDV

Jika pada REM, p-value lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan, maka sudah cukup bukti untuk melakukan penolakan H0, sehingga model LSDV yang akan dipilih, dan sebaliknya.

c) LM Test

Uji ini dilakukan jika Chow Test cukup bukti untuk menolak H0 dan Haussman Test belum cukup bukti untuk menolak H0, atau sebaliknya. Sehingga model harus diuji kembali dengan LM Test untuk memilih Random Effect Model atau Pooled Least Square dengan hipotesis :

H0 : PLS H1 : REM

Jika LM lebih besar dari chi-square table maka sudah cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model REM yang dipilih, dan sebaliknya.

2. Pengujian asumsi klasik a) Uji Normalitas

Uji normalitas data diperlukan untuk mengetahui apakah error term mendekati distribusi normal atau tidak. Uji normalitas diaplikasikan dengan melakukan tes Jarque Bera, jika nilai probabilitas lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka error term dalam model sudah menyebar normal.

b) Uji Homoskedastisitas

Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas, dalam hasil olahan data panel dengan Eviews dengan menggunakan metode General Least Squared (Cross Section Weight), caranya adalah dengan membandingkan nilai sum squared resid pada weighted statistic dengan sum squared resid pada unweighted statistic. Jika sum squared resid pada weighted statistic lebih kecil daripada sum squared resid pada unweighted statistic maka model sudah homoskedastisitas. Langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah heterosedastisitas adalah dengan mengestimasi General Least Squared (GLS) dengan white heterocedasticity. Selain itu dapat juga dilakukan dengan pembobotan Cross Section SUR.

c) Uji Autokorelasi

Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi adalah dengan melihat nilai dari Durbin – Watson (DW) statistiknya. Jika nilai DW lebih dari 1,55 atau kurang dari 2,46 maka dapat dikatakan tidak dapat terdapat autokorelasi pada model.

d) Uji Multikolinearitas

(30)

20

cara berikut ini: adanya informasi apriori; penggabungan data cross section dengan time series; mengeluarkan suatu variabel atau lebih dan kesalahan spesifikasi; transformasi variabel-variabel, dan penambahan data baru.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum

Produk Domestik Bruto atau GDP merupakan ukuran terbaik dari kinerja perekonomian suatu negara, yaitu dengan melihat pendapatan total dari setiap orang dan pengeluaran total terhadap output barang dan jasa dalam perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 4 berikut yang menunjukkan GDP riil per kapita negara asal impor dan Indonesia yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Pendapatan per kapita paling besar adalah Jepang dan USA yang merupakan negara industri maju, sementara yang terendah adalah Indonesia yang merupakan negara sedang berkembang. Pendapatan per kapita Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, hal ini mengindikasikan bahwa perekonomian di Indonesia terus mengalami pertumbuhan. Meningkatnya pendapatan per kapita di Indonesia menyebabkan daya beli masyarakat juga meningkat, maka konsumsi daging sapi di Indonesia tentu akan meningkat. Tetapi karena produksi daging sapi di Indonesia belum dapat mencukupi konsumsi daging sapi, maka Indonesia mengimpor daging sapi. Sementara di negara maju seperti Amerika dan Jepang, dengan pendapatan per kapita yang tinggi dan meningkat setiap tahunnya maka negara-negara tersebut tidak bergantung pada perdagangan luar negeri. Negara-negara tersebut lebih cenderung untuk memenuhi konsumsi daging sapi dalam negeri yang semakin meningkat setiap tahunnya. Namun untuk Australia dan New Zealand yang merupakan negara pengekspor daging sapi terbesar di dunia, maka ekspor daging sapi adalah salah satu pendapatan utama di negara tersebut. Karena itu dengan terus meningkatnya pendapatan per kapita setiap tahun, ekspor daging sapi ke Indonesia juga meningkat.

Tabel 4 GDP riil per kapita Indonesia dan negara asal impor tahun 2000-2011

Tahun GDP riil per kapita (juta USD)

(31)

21

Tahun GDP riil per kapita (juta USD)

Australia New Zealand USA Singapura Jepang 2006 24 295.08 15 103.23 38 349.40 29 925.50 39 965.86 2007 24 765.55 15 392.50 38 710.89 31 247.00 40 837.27 2008 25 190.72 15 011.18 38 208.76 30 131.62 40 433.00 2009 25 007.70 14 778.16 36 539.23 28 949.86 38 242.02 2010 25 190.84 14 629.22 37 329.62 32 640.68 39 971.79 2011 25 306.82 14 646.42 37 691.03 33 529.83 39 578.07 Sumber: Worldbank (2013).

Perbedaan tingkat inflasi di Indonesia akan mempengaruhi nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing, karena pada dasarnya mata uang suatu negara mencerminkan daya belinya. Tabel 5 menunjukkan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang lima negara asal impor. Nilai mata uang tertinggi adalah Dolar Amerika atau USD, namun berfluktuasi. Nilai Rupiah terhadap USD terdepresiasi pada tahun 2009 setelah adanya krisis ekonomi global pada tahun 2008 tapi kembali terapresiasi pada tahun 2010 hingga 2011. Sementara nilai mata uang terhadap Dolar Australia, New Zealand, Singapura dan Jepang cenderung terdepresiasi karena menguatnya nilai mata uang keempat negara tersebut. Pergerakan nilai tukar tidak dapat hanya ditentukan oleh variabel ekonomi tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non ekonomi seperti perkembangan politik, peperangan dan faktor-faktor sosial lainnya (Basri dan Munandar 2010).

Tabel 5 Nilai tukar Rupiah terhadap mata uang negara asal impor tahun 2000- 2011

Tahun Nilai tukar Rupiah terhadap LCU (Rp/LCU)

(32)

22

Harga daging sapi di Indonesia dan harga daging sapi internasional menjadi faktor penting terhadap impor daging sapi di Indonesia. Apabila harga daging sapi di Indonesia meningkat, tentu impor akan meningkat karena harga daging sapi impor cenderung lebih murah sehingga masyarakat lebih memilih untuk mengkonsumsi daging sapi impor. Sebaliknya, apabila harga daging sapi internasional meningkat, masyarakat lebih memilih untuk mengkonsumsi daging sapi domestik karena harganya cenderung lebih rendah. Berdasarkan Tabel 6 berikut menunjukkan peningkatan harga daging sapi di Indonesia yang terus meningkat secara signifikan setiap tahunnya dengan rata-rata sebesar Rp 46 253.83 per kilogram dan rata-rata peningkatan sebesar Rp 4 027.18. Sementara harga daging sapi internasional cenderung berfluktuasi dan lebih rendah dibandingkan harga daging sapi di Indonesia dengan rata-rata sebesar 263.28 cents/kg.

Tabel 6 Harga daging sapi di Indonesia dan internasional tahun 2000-2011 Tahun Domestik (Rp/kg) Internasional (cents/kg)

(33)

23 Tabel 7 Produksi daging nasional non unggas tahun 2000-2011

Tahun Daging (000 ton)

Sapi Kuda Kerbau Kambing Domba Babi

2000 339.9 0.9 45.9 44.9 33.4 162.4

2001 338.7 1.1 43.6 48.7 44.8 160.2

2002 330.3 1.1 42.3 58.2 68.7 164.5

2003 369.7 1.6 40.6 63.9 80.6 177.1

2004 447.6 1.6 40.2 57.1 66.1 194.7

2005 358.7 1.6 38.1 50.6 47.3 173.7

2006 395.8 2.3 43.9 65.0 75.2 196.0

2007 339.5 2.0 41.8 61.6 56.9 225.9

2008 392.5 1.8 39.0 66.0 47.0 209.8

2009 409.3 1.8 34.6 73.8 54.3 200.1

2010 436.5 2.0 35.9 68.8 44.9 212.0

2011 485.3 2.2 35.3 66.3 46.8 224.8

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2013).

Produksi daging sapi terbesar di negara asal impor adalah Amerika Serikat atau USA dengan rata-rata sebesar 11 717 266.7 ton, hal ini dapat dilihat pada Tabel 8. Produksi tertinggi di Amerika adalah tahun 2000, yaitu sebesar 12 298 000 ton, sementara produksi terendahnya tahun 2004, yaitu sebesar 11 134 800 ton. Produksi daging sapi di Australia cenderung stabil dengan rata-rata sebesar 2 098 353.33 ton, dengan produksi tertinggi dicapai pada tahun 2007 sebesar 2 226 290 ton dan produksi terendah pada tahun 2000 sebesar 1 987 900 ton. Rata-rata produksi daging sapi di New Zealand sebesar 630 373.67 ton sementara rata-rata produksi daging sapi di Jepang sebesar 507 325 ton. Dari kelima negara asal impor, Singapura memiliki jumlah produksi daging sapi terendah sebesar 41.75 ton. Akan tetapi Indonesia masih mengimpor daging sapi dari Singapura.

Tabel 8 Produksi daging sapi di negara asal impor tahun 2000-2011 Tahun Produksi di negara asal impor (ton)

Australia New Zealand USA Singapura Jepang

2000 1 987 900 571 783 12 298 000 37 530 438

2001 2 119 000 590 435 11 982 000 39 458 600

2002 2 028 000 576 318 12 427 000 42 536 600

2003 2 073 000 660 280 12 039 000 40 496 000

2004 2 033 000 709 077 11 134 800 44 513 600

2005 2 161 960 651 772 11 196 000 41 499 470

2006 2 077 070 642 888 11 862 800 42 496 992

(34)

24

Tahun Produksi di negara asal impor (ton)

Australia New Zealand USA Singapura Jepang

2008 2 131 910 634 558 12 163 000 42 519 879

2009 2 123 960 637 030 11 891 100 42 517 020

2010 2 108 290 635 289 12 045 800 45 514 959

2011 2 109 860 622 676 11 988 300 45 500 440

Sumber: UNComtrade (2013).

Australia dan New Zealand merupakan dua negara utama asal daging sapi impor Indonesia, hal ini dikarenakan jarak yang cukup dekat. Berdasarkan Tabel 9, volume impor tertinggi ke Indonesia berasal dari Australia dengan rata-rata sebesar 19 513 044.25 kg dan mengalami peningkatan drastis dari tahun 2008 ke 2009 sebesar 20 581 936 kg. Volume impor dari New Zealand cenderung meningkat dari tahun 2003 sampai 2010 dengan rata-rata volume impor dari New Zealand sebesar 13 138 340 kg. Rata-rata volume impor dari USA adalah sebesar 838 339.08 kg. Volume impor dari USA mengalami penurunan drastis dari tahun 2005 sebesar 357 266 kg menjadi hanya 548 kg pada tahun 2006, namun kembali mengalami peningkatan pada tahun 2008 menjadi 349 549 kg dan meningkat drastis sebesar 3 331 851 kg dari tahun 2009 ke tahun 2010. Sementara volume impor dari Singapura cenderung berfluktuasi dengan impor tertinggi tahun 2010 sebesar 1 707 247 kg, akan tetapi tahun 2006 dan tahun 2008 Indonesia tidak mengimpor daging sapi dari Singapura. Jepang merupakan negara pengekspor daging sapi ke Indonesia paling rendah dengan rata-rata sebesar 697.58 kg, bahkan tahun 2005, 2006 dan tahun 2008 sampai 2011 Indonesia tidak mengimpor daging sapi dari Jepang sama sekali. Hal ini disebabkan karena daging sapi asal Jepang mempunyai harga yang cukup mahal berkisar Rp.380 000 (Ilham 1998).

Tabel 9 Volume impor daging sapi (HS0202) ke Indonesia tahun 2000-2011

Tahun Volume impor ke Indonesia (kg)

Australia New Zealand USA Singapura Jepang

2000 11 691 761 4 513 129 689 349 151 173 1 295

2001 6 708 919 4 543 195 773 168 28 925 54

2002 7 047 223 3 240 785 587 151 824 2 112

2003 6 840 094 2 689 868 563 772 103 716 528

2004 3 276 161 7 465813 349 304 2 852 3 202

2005 7 439 308 11 358 517 357 266 39 889 0

2006 10 041 082 13 790 782 548 0 0

2007 22 634 079 16 249 069 96 464 1 180

2008 25 517 767 18 792 950 349 549 0 0

(35)

25

Tahun Volume impor ke Indonesia (kg)

Australia New Zealand USA Singapura Jepang 2010 47 989 579 35 168 388 3 465 099 1 707 247 0

2011 38 870 855 20 459 396 2 791 519 40 676 0

Sumber : UNComtrade (2013).

Tingginya volume impor daging sapi yang masuk ke Indonesia memang menjadi masalah yang harus diatasi oleh pemerintah. Kondisi ini pada akhirnya menuntut pemerintah khususnya Kementrian Perdagangan dan Kementrian Pertanian untuk menetapkan regulasi yang tepat dalam mengatur impor produk peternakan khususnya daging sapi Indonesia.

Pertama-tama untuk mengatasi impor daging sapi, Kementrian Pertanian khususnya Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan merancang rencana strategis (RENSTRA) dengan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2010-2014. Untuk mencapai swasembada daging sapi pada tahun 2014, maka sasaran produksi daging sapi atau kerbau ditargetkan sebesar 0.66 juta ton dengan peningkatan rata-rata pertahun sebesar 7.13%. Sejalan dengan rencana swasembada tersebut, pemerintah juga menetapkan kebijakan pengurangan kuota daging sapi impor sebanyak 12% per tahunnya. Langkah operasional untuk mencapai swasembada daging dan peningkatan produksi peternakan diupayakan melalui lima kegiatan pokok, antara lain; penyediaan bakalan atau daging sapi lokal, peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi lokal, pencegahan pemotongan sapi betina produktif, penyediaan bibit sapi dan pengaturan stok daging sapi dalam negeri. Untuk medukung berjalannya PSDS 2014, maka Kementrian Perdagangan mencanangkan :

1. Kebijakan penetapan aturan non-tarif komoditas peternakan impor. 2. Menjamin efisiensi distribusi pangan dan sarana produksi.

3. Penataan kerjasama pemasaran internasional di negara tujuan ekspor.

4. Penyederhanaan prosedur ekspor-impor yang mendukung peningkatan harga produk segar dan produk olahan hasil peternakan.

5. Mengantisipasi gejolak harga pangan menjelang musim kemarau dan hari-hari besar.

6. Pengawasan perdagangan illegal.

7. Pengendalian efektifitas pemberlakuan regulasi pemasukan ternak dan produk ternak.

8. Penyebaran informasi perkembangan harga-harga komoditas peternakan di tingkat usaha peternakan dan pusat-pusat pemasaran.

Kondisi dan Kecenderungan Impor Daging Sapi di Indonesia

(36)

26

komoditi yang kurang tersebut. Selain itu, impor juga bisa dilakukan jika biaya yang dibutuhkan untuk mengimpor relatif lebih kecil dibandingkan memproduksi komoditi tersebut di dalam negeri. Daging sapi di Indonesia berasal dari dua sumber yaitu impor dan domestik. Daging sapi impor berasal dari negara-negara produsen seperti Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat. Produksi daging sapi di Indonesia yang berfluktuatif dan volume impor daging sapi di Indonesia yang cenderung meningkat sepanjang tahun 2000-2011 menyebabkan defisit pada neraca perdagangan, dimana impor lebih besar daripada ekspor.

Sumber: UNComtrade (2013).

Gambar 5 Nilai impor daging sapi (HS0202) Indonesia tahun 2000-2011 Berbeda dengan produksi daging sapi di Indonesia yang berfluktuatif, nilai impor daging sapi cenderung meningkat (Gambar 5). Akan tetapi terjadi penurunan nilai impor pada tahun 2000 hingga 2003, dengan rata-rata penurunan nilai impor sebesar 7 235.80 USD. Tahun 2004 nilai impor daging sapi di Indonesia meningkat dari 17 682.86 USD menjadi 25 528.52 USD. Tahun 2004 hingga tahun 2010 nilai impor daging sapi terus mengalami peningkatan rata-rata sebesar 27 767.08 USD. Namun pada tahun 2011 nilai impor daging sapi di Indonesia kembali mengalami penurunan dari 281 986.35 USD menjadi 219 898.11 USD. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pengurangan jumlah kuota impor daging sapi pada tahun 2011 yang cukup signifikan, yaitu dari 139.5 ribu ton pada tahun 2010 menjadi 102.9 ribu ton pada tahun 2011. Rata-rata nilai impor daging sapi tahun 2000-2011 adalah sebesar 92 301.14 USD.

0

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

(37)

27

Sumber: UNComtrade (2013).

Gambar 6 Volume impor daging sapi (HS0202) Indonesia tahun 2000 -2011 Sama seperti nilai impor, volume impor daging sapi di Indonesia juga mengalami penurunan pada tahun 2000 hingga tahun 2003 dengan rata-rata penurunan sebesar 5 227 522 kg (Gambar 6). Tahun 2004 hingga tahun 2010 volume impor daging sapi cenderung meningkat dengan volume impor tertinggi dicapai pada tahun 2010 sebesar 88 828 788 kg, dan tahun 2011 volume impor daging sapi kembali menurun menjadi 62 175 767 kg karena adanya pengurangan kuota impor daging sapi. Rata-rata volume impor daging tahun 2000-2011 adalah sebesar 34 873 676.7 kg.

Sumber: UNComtrade (2013).

Gambar 7 Volume impor daging sapi (HS0202) Indonesia berdasarkan negara asal impor tahun 2000-2011

Gambar 7 menunjukkan volume impor daging sapi Indonesia berdasarkan negara asal impor.Gambar tersebut menunjukkan volume impor daging sapi tertinggi berasal dari Australia dan New Zealand. Tahun 2000 hingga tahun 2011 volume impor daging sapi dari Australia dan New Zealand cenderung meningkat stabil. Sementara, volume impor dari USA tahun 2000 hingga tahun 2005 cenderung menurun stabil dan menurun drastis pada tahun 2006 dan 2007. Tahun 2008 volume impor daging sapi USA kembali meningkat dan kembali menurun

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

(38)

28

sangat berfluktuatif, sementara volume impor dari Singapura cenderung meningkat stabil.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Impor Daging Sapi

Pemilihan kesesuaian model dilakukan dengan beberapa tahap. Tahap pertama dengan melakukan uji Chow. Hasil pengujian dengan menggunakan uji Chow adalah p-value (0.0000) lebih kecil dari taraf nyata 5%. Hal ini berarti sudah cukup bukti untuk menolak H0 dimana H0 merupakan model PLS. Uji Haussman tidak dilakukan karena objek data cross section lebih sedikit dari jumlah koefisien yang ada. Oleh karena itu model estimasi terbaik untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi impor daging sapi di Indonesia adalah dengan menggunakan LSDV atau fixed effect model.

Tabel 10 Hasil pendugaan parameter faktor-faktor yang memengaruhi impor daging sapi Indonesia periode tahun 2000-2011

Variabel Koefisien Std. Error t-statistik Prob.

GDPJ -656.5941 114.3873 -5.740096 0.0000*

GDPI 42173.34 3962.459 10.64322 0.0000*

EXRATE 1654.552 346.0256 4.781588 0.0000*

P_IDN 66775.83 14699.92 4.542597 0.0000*

P_INT -57462.01 11225.74 -5.118772 0.0000*

PROD_IDN -4.892000 5.660842 -0.864182 0.3918

PROD_J 0.038217 0.457615 0.083513 0.9338

C -35765744 5648319. -6.332104 0.0000*

Weighted Statistic

R-squared 0.825786 Sum squared resid 46.42183

Prob (Fstat) 0.000000 Durbin Watsonstat 1.718049 Unweighted Statistics

R-squared 0.701458

Sum squared resid 2.37E+15 Durbin Watsonstat 0.634355

Catatan: *) signifikan pada taraf nyata 5%

Berdasarkan hasil estimasi diketahui nilai koefisien determinasi (R-squared) yang diperoleh sebesar 82.5% menunjukkan bahwa sebesar 82.5% keragaman volume impor daging sapi dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya, sedangkan sisanya 17.5% dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar model.

(39)

R-29 squared sebesar 82.5%, tidak terdapat variabel yang saling berkorelasi. Selanjutnya adalah uji heteroskedastisitas, yaitu nilai sum squared resid weighted (46.42183) lebih kecil dari nilai sum squared resid unweighted (2.37E+15) maka artinya model terindikasi terdapat heteroskedastisitas, tetapi karena model sudah diboboti dengan cross section SUR dan white cross section maka masalah heteroskedastisitas dapat diabaikan. Dalam uji autokorelasi, nilai Durbin Watsonstat adalah sebesar 1.71. Hal ini berarti nilai Durbin Watsonstat mendekati 2 atau berada diantara 1.55-2.46, maka model telah terbebas dari masalah autokorelasi. Pengujian terakhir yaitu uji normalitas (Tabel 11) probabilitas Jarque Bera lebih besar dari taraf nyata 5% (0.119931 > 0.05), maka residual dalam model ini sudah menyebar normal.

Tabel 11 Hasil uji normalitas

Model Jarque-Bera Prob.

Impor Daging Sapi 4.241674 0.119931

Hasil estimasi yang diperoleh terdapat dua variabel yang tidak signifikan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi volume impor daging sapi di Indonesia selama 12 tahun dari tahun 2000 hingga tahun 2011, yaitu produksi daging sapi negara asal impor dan produksi daging sapi di Indonesia.

Variabel GDP riil per kapita masing-masing negara asal impor memiliki hubungan negatif dan memiliki nilai koefisien sebesar -656.5941, hal ini sesuai dengan hipotesis awal. Variabel ini menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0000 yang berarti lebih kecil dari taraf nyata 5%, maka GDP riil per kapita negara asal impor berpengaruh nyata terhadap impor daging sapi di Indonesia. Artinya jika terjadi peningkatan 1 juta USD terhadap GDP riil per kapita negara asal impor maka akan menurunkan volume impor daging sapi di Indonesia sebesar 656.5941 kg. Hal ini karena meningkatnya GDP di negara asal impor maka akan meningkatkan konsumsi daging sapi di negara tersebut, karena itu negara tersebut akan mengurangi volume ekspornya karena lebih cenderung untuk memenuhi konsumsi dalam negeri dengan asumsi daging sapi adalah barang normal.

Variabel GDP riil per kapita Indonesia memiliki hubungan positif dan memiliki nilai koefisien sebesar 42173.34, hal ini sesuai dengan hipotesis awal. Variabel ini menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0000 yang berarti lebih kecil dari taraf nyata 5%, maka GDP riil per kapita Indonesia berpengaruh nyata terhadap volume impor daging sapi di Indonesia. Artinya jika terjadi peningkatan 1 juta USD terhadap GDP riil per kapita Indonesia maka akan meningkatkan volume impor daging sapi di Indonesia sebesar 42173.34 kg. Dengan meningkatnya pendapatan per kapita di Indonesia maka daya beli masyarakat juga akan meningkat, sehingga konsumsi daging sapi di Indonesia akan meningkat. Tetapi karena produksi daging sapi di Indonesia belum dapat memenuhi permintaan domestik, maka Indonesia mengimpor daging sapi.

(40)

30

probabilitas sebesar 0.0000 yang berarti lebih kecil dari taraf nyata 5%, maka nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara asal impor berpengaruh nyata terhadap volume impor daging sapi di Indonesia. Artinya jika nilai tukar meningkat 1 Rp/LCU maka akan meningkatkan volume impor daging sapi di Indonesia sebesar 1654.552 kg.

Variabel harga riil daging sapi di Indonesia memiliki hubungan positif dan memiliki nilai koefisien sebesar 66775.83, hasil estimasi ini sesuai dengan hipotesis awal. Variabel ini menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0000 yang berarti lebih kecil dari taraf nyata 5%, maka harga riil daging sapi di Indonesia berpengaruh nyata terhadap impor daging sapi di Indonesia. Artinya jika terjadi peningkatan sebesar 1 Rupiah terhadap harga riil daging sapi di Indonesia maka volume impor daging sapi akan meningkat sebesar 66775.83 kg.

Variabel harga riil daging sapi internasional memiliki hubungan negatif dan memiliki nilai koefisien sebesar -57462.01, hasil estimasi ini sesuai dengan hipotesis awal.Variabel ini menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.0000 yang berarti lebih kecil dari taraf nyata 5%, maka harga riil daging sapi internasional berpengaruh nyata terhadap impor daging sapi di Indonesia. Artinya jika terjadi peningkatan 1 cents/kg terhadap harga riil daging sapi internasional maka volume impor daging sapi di Indonesia akan berkurang sebesar 57462.01 kg.

Variabel produksi daging sapi di Indonesia memiliki hubungan negatif terhadap impor daging sapi di Indonesia dan memiliki nilai koefisien sebesar -4.892000, hal ini sesuai dengan hipotesis awal. Variabel ini menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0.3918 yang berarti lebih besar dari taraf nyata 5%, maka variabel produksi daging sapi di Indonesia tidak berpengaruh nyata terhadap impor daging sapi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan produksi dan permintaan yang berdampak pada kenaikan harga. Khusus harga daging sapi tipikalnya setelah mengalami kenaikan tidak terjadi penurunan harga kembali ke posisi awal, meskipun harga turun masih tetap diatas harga awal. Perilaku ini disebabkan oleh perubahan harga yang cepat tetapi tidak diikuti oleh perubahan pada sisi produksi (Ilham 2009). Oleh karena itu harga daging sapi impor lebih murah dibandingkan dengan harga daging sapi domestik, sehingga masyarakat lebih memilih untuk mengkonsumsi daging sapi impor.Maka produksi daging sapi di Indonesia tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dalam mengurangi volume impor daging sapi.

Gambar

Tabel 1  Konsumsi produk peternakan per kapita tahun 2007-2011
Gambar 3  Kurva perdagangan internasional
Gambar 4  Kerangka pemikiran
Tabel 4  GDP riil per kapita Indonesia dan negara asal impor tahun 2000-2011
+7

Referensi

Dokumen terkait

Cirebon harus mulai memikirkan sarana atau wadah, seni dan kebudayan Cirebon, dengan begitu adanya Perancangan Eduwisata seni budaya Cirebon, agar dapat mewadahi seni budaya nya,

This study proposes an integrative framework to explain the impact of service attributes categorised as attractive quality (A) on customer emotional needs in services.. The

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kadar HbA1c tinggi sebagai Faktor Risiko Neuropati Diabetik Perifer pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUP Sanglah

Pengambilan Pengetahuan, dimana tahapan ini menjelaskan bagaimana memproses suatu dokumen mulai dari usulan sampai dapat tersimpan dengan rapi di Knowledge Management

Dalam penulisan ilmiah ini penulis akan mencoba menjelaskan cara pembuatan Website Fashion Dengan Menggunakan PHP dan MySQL. Dengan memanfaatkan fasilitas internet sehingga

Hospital/health post (Tools: secondary data review, transect walk) Infrastructure types Types of Health Centre Numbe rs of Health Center s Numb er of Health worke rs

Puji syukur kehadiran Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang berjudul “ Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi

Sedangkan pada tahun 2009 masih didominasi oleh Dana Perimbangan sebesar 97,5 % mengalami kenaikan yang sangat signifikan dibandingkan dengan tahun 2008 hal ini