LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Harga Daging Sapi, Produksi Daging Sapi, Impor Sapi,
Lampiran 2. Descriptive Statistics
Descriptive Statistics
Mean
Std.
Deviation N
Harga Daging Sapi 5.8750E4 7114.38028 60
Produksi Daging Sapi 1.1502E6 2.70455E5 60
Impor Sapi 6.5830E5 5.52294E5 60
Konsumsi Daging Sapi .0180 .00423 60
Harga Daging Sapi
Bulan Sebelumnya 5.8417E4 7046.55624 60
Lampiran 3. Correlation Harga Daging Sapi Bulan
Sebelumnya .916 .731 .030 .597 1.000 Harga Daging Sapi Bulan
Sebelumnya .000 .000 .409 .000 .
N Harga Daging Sapi 60 60 60 60 60
Produksi Daging Sapi 60 60 60 60 60
Impor Sapi 60 60 60 60 60
Konsumsi Daging Sapi 60 60 60 60 60
Harga Daging Sapi Bulan
Lampiran 4. Variabels Entered/Removed
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: Harga Daging Sapi
Lampiran 5. Model Summary
a. Predictors: (Constant), Harga Daging Sapi Bulan Sebelumnya, Impor Sapi, Konsumsi Daging Sapi, Produksi Daging Sapi
b. Dependent Variable: Harga Daging Sapi
Lampiran 6. ANOVA
a. Predictors: (Constant), Harga Daging Sapi Bulan Sebelumnya, Impor Sapi, Konsumsi Daging Sapi, Produksi Daging Sapi
Lampiran 7. Coefficients a. Dependent Variable: Harga Daging Sapi
Lampiran 8. Coefficient Correlations
Coefficient Correlationsa
Model
Harga Daging Sapi
Bulan Sebelumnya Impor Sapi
Konsumsi Daging Sapi
Produksi Daging Sapi 1 Correlations Harga Daging Sapi Bulan
Sebelumnya 1.000 .004 -.306 -.583
Impor Sapi .004 1.000 .148 -.136
Konsumsi Daging Sapi -.306 .148 1.000 -.279 Produksi Daging Sapi -.583 -.136 -.279 1.000 Covariances Harga Daging Sapi Bulan
Lampiran 9. Collinearity Diagnostics
Collinearity Diagnosticsa
Model Dimension Eigenvalue
Condition
a. Dependent Variable: Harga Daging Sapi
Lampiran 10. Residuals Statistics
Residuals Statisticsa
Minimum Maximum Mean Std. Deviation N Predicted Value 4.7739E4 7.2213E4 5.8750E4 6611.81028 60
Std. Predicted Value -1.665 2.036 .000 1.000 60
Standard Error of Predicted
Value 405.931 1495.506 758.802 203.923 60
Adjusted Predicted Value 4.7449E4 7.2693E4 5.8776E4 6661.87845 60 Residual -1.10148E4 5.87516E3 .00000 2626.47514 60
Std. Residual -4.049 2.160 .000 .966 60
Stud. Residual -4.413 2.229 -.004 1.020 60
Deleted Residual -1.30812E4 6.25586E3 -2.57125E1 2934.60606 60 Stud. Deleted Residual -5.440 2.315 -.018 1.109 60
Mahal. Distance .330 16.848 3.933 2.835 60
Cook's Distance .000 .731 .024 .095 60
Centered Leverage Value .006 .286 .067 .048 60
Lampiran 11. Histogram
Lampiran 14. One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Harga Daging Sapi
Produksi
Daging Sapi Impor Sapi
Konsumsi Daging Sapi
Harga Daging Sapi
Bulan Sebelumnya
N 60 60 60 60 60
Normal Parametersa Mean 58750.0000 1.1502E6 6.5830E5 .0180 58416.6667 Std.
Deviation 7114.38028 2.70455E5 5.52294E5 .00423 7046.55624 Most Extreme
Differences
Absolute .160 .111 .117 .380 .162
Positive .154 .087 .100 .380 .162
Negative -.160 -.111 -.117 -.220 -.158 Kolmogorov-Smirnov Z 1.241 .862 .904 2.945 1.256
Asymp. Sig. (2-tailed) .092 .448 .388 .000 .085
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus 1. 2010. Aspek Pemasaran Usaha sapi Potong-Pengusaha Peternakan
Sapi Potong
pukul 15.00 WIB.
Anonimus 2. 2012. Butuh 120 Ekor Sapi-Sumut Masih Butuh Sapi Impor.
15.30 WIB.
Anonimus 3. 2010. Jenis-Jenis Sapi Potong Indonesia. (Epetani.deptan.go.id). Diakses pada tanggal 24 Februari 2013, pukul 20.00 WIB.
Anonimus 4. 2012. Ketergantungan Sapi Impor di Medan Masih Tinggi.
20.00 WIB.
Anonimus 5. 2009. Penyuluhan manfaat daging sapi bagi tubuh manusia.
14.00 WIB.
Anonimus 6. 2012. Stadium General Peluang dan Tantangan Swasembada
Daging 2014
2013, pukul 21.25 WIB.
Anonimus Maret 2013, pukul 20.00 WIB.
Aziz,N. 2003. Pengantar Mikro Ekonomi. Bayumedia Publishing. Malang Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Indonesia. Sumatera Utara.
Bangun,W. 2007. Teori Ekonomi Mikro. PT Refika Aditama. Bandung
Budiono,H. 2010. Analisis Neraca Perdagangan Peternakan Swasembada Daging Sapi 2014. Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah Vol. 1 No.2.
Darmono. 1998. Tatalaksana Usaha api Kereman. Kanisius. Yogyakarta.
Dwiyanto,K. 2006. Kecukupan Daging 2010 Tantangan Sekaligus Peluang. Majalah Trubus
Fikar, S dan Dadi. 2010. Beternak dan Bisnis Sapi Potong. AgroMedia Pustaka. Jakarta
Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. PT Bumi Aksara. Jakarta
Gujarati, D. 1995. Ekonometrika Dasar. PT. Glora Aksara Pratama. Bandung
Hadiwijoyo. 2009. Analisis Permintaan dan Penawaran Domestik Daging Sapi Indonesia. IPB. Bogor.
Harmini, dkk. 2011. Model Dinamis Sistem Ketersediaan Daging Sapi Nasional. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Volume 12 Nomor 1. IPB. Bogor.
Ilham,N. 2009.Kebijakan Pengendalian Harga Daging Sapi Nasional. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 7 No.3
Kariyasa, K. 2010. Analisis Penawaran dan Permintaan Daging Sapi di Indonesia
Sebelum dan Saat Krisis Ekonomi: Satu Analisis Proyeksi Swasembada Daging Sapi 2005. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Lipsey, R dkk. 1995. Pengantar Mikroekonomi Edisi Kesepuluh. Binarupa Aksara. Jakarta
Nugroho, SA. 2008. Analisis Permintaan Impor Daging Sapi Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Pindyck, R dan Daniel. 2003. Mikro Ekonomi. Edisi 5. PT. Indeks. Jakarta Santosa, U. 1997. Prospek Agribisnis Penggemukan Pedet. Penebar swadaya.
Jakarta
Sudarmono, A.S dan Y. Bambang. 2008. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta Sugeng, Y. 2000. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta
Sugiarto, dkk. 2000. Ekonomi Mikro Suatu Pendekatan Praktis. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta
Yogyakarta
Sukirno.2002. Pengantar Ilmu Ekonomi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Supranto da, L. 2007. Perilaku Konsumen dan Strategi Pemasaran. Ghalia
Indonesia. Bogor.
Talib, C dan Yudi. 2008. Penyediaan Daging Sapi Nasional Dalam Ketahanan Pangan Indonesia. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteran.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian
Daerah penelitian ditentukan secara purposive (sengaja) berdasarkan
tujuan penelitian dilakukan di Sumatera Utara. Dengan pertimbangan berdasarkan tabel 6, produksi daging sapi di Indonesia tahun 2012, Sumatera Utara merupakan
wilayah yang produksinya terbesar keenam setelah Jawa timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat dan Banten sebesar 14.936 ton.
Tabel 6. Produksi Daging Sapi di Indonesia 2012
Provinsi Produksi (Ton)
Aceh 8.324
Sumatera Utara 14.936
Sumatera Barat 22.641
Riau 11.107
Kepulauan Riau 459
Jambi 10.418
Sumatera Selatan 12.940
Kepulauan Bangka Belitung 4.563
Bengkulu 2.994
Lampung 10.356
DKI Jakarta 6.077
Jawa Barat 82.073
Banten 21.814
Jawa Tengah 53.424
DI Yogyakarta 5.747
Jawa Timur 109.487
Bali 6.325
Nusa Tenggara Barat 10.418
Nusa Tenggara Timur 4.595
Kalimantan Barat 7.216
Kalimantan Tengah 10.645
Kalimantan Selatan 7.336
Kalimantan Timur 7.906
Sulawesi Utara 4.054
Gorontalo 3.926
Sulawesi Tengah 3.704
Sulawesi Selatan 9.147
Sulawesi Barat 1.991
Sulawesi Tenggara 4.143
Maluku 1.503
Maluku Utara 265
Papua 3.106
Papua Barat 2.184
3.2 Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder. Data runtut waktu (time series) berupa data bulanan dari tahun 2007-2011.
Sumber data yang diperoleh berasal dari berbagai sumber seperti Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, Dinas Peternakan Sumatera Utara, serta instansi-instansi yang menyediakan data terkait dengan penelitian ini.
3.3 Metode Analisis Data
Sesuai dengan identifikasi masalah dan tujuan penelitian, maka model analisis yang digunakan untuk menduga faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
harga daging sapi yaitu dengan menggunakan analisis regresi linier berganda. Analisis regresi linier berganda (multiple regression model), yaitu suatu model dimana variabel tak bebas bergantung pada dua atau lebih variabel bebas.
Model matematis dalam regresi linier berganda adalah:
Y= a+b1X1+b2X2 +b3X3+b4Yt-1 +e
Keterangan:
Y = Harga Daging Sapi (Rp/Kg)
a = Koefisien Intersep
b1-b4 = Koefisien Regresi
X1 = Produksi Daging Sapi (Kg)
X2 = Impor Sapi (Kg)
X3 = Konsumsi Daging Sapi (Kg)
Yt-1 = Harga Daging Sapi Bulan Sebelumnya (Rp/Kg)
Hipotesis yang digunakan adalah:
H0 : Produksi daging sapi, impor sapi, konsumsi daging sapi dan harga daging
sapi bulan sebelumnya, tidak berpengaruh terhadap harga daging sapi di Sumatera Utara.
H1 : Produksi daging sapi, impor sapi, konsumsi daging sapi dan harga daging sapi
bulan sebelumnya, berpengaruh terhadap harga daging sapi di Sumatera
Utara.
3.3.1 Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi digunakan untuk mengukur tingkat ketepatan.
Besarnya koefisien determinasi merupakan besaran yang paling baik digunakan untuk mengukur kesesuaian (goodness of fit) garis regresi. R2 terletak antara 0 dan 1. Jika R2 sama dengan 1, berarti bahwa semakin cocok menjelaskan 100 persen
variasi dalam Y. Sebaliknya, jika R2 sama dengan 0, model tersebut tidak menjelaskan sedikitpun variasi dalam Y. Kecocokan model dikatakan lebih baik
jika R2 semakin dekat dengan 1(Gujarati, 1995).
3.3.2 Nilai t hitung
Analisis untuk menguji signifikan nilai koefisien regresi secara parsial
yang diperoleh dengan metode OLS adalah statistik uji t (t test). Kriteria pengujian:
Jiika Sig. t > 0,1 maka H0 diterima dan H1 ditolak
3.3.3 Nilai F hitung
Nilai F hitung digunakan untuk menguji pengaruh secara simultan variabel bebas terhadap variabel tergantungnya. Jika variabel bebas memiliki pengaruh secara simultan terhadap variabel tergantung maka model persamaan regresi
masuk dalam kriteria cocok atau fit. Kriteria pengujian:
Jika sig F > 0,1 maka H0 diterima dan H1 ditolak Jika sig F ≤ 0,1 maka H0 ditolak dan H1 diterima
3.3.4 Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah variabel pengganggu (e) berdistribusi normal atau tidak. Dimana pada variabel pengganggu tidak mempunyai nilai yang diharapkan (rata-rata) nol, tidak berkorelasi dan
mempunyai varians yang konstan (Gujarati, 2995).
Salah satu cara mendeteksi normalitas adalah dengan plot probabilitas
normal. Melalui plot ini masing-masing nilai pengamatan dipasangkan dengan nilai harapan dan distribusi normal, maka nilai-nilai data (titik-titik dalam grafik) akan terletak disekitar garis diagonal (Hadiwijoyo, 2009).
3.3.5 Autokorelasi
Autokorelasi adalah keadaan dimana variabel gangguan pada periode tertentu berkorelasi dengan variabel gangguan pada periode lain. Asumsi tidak
Untuk mengetahui adanya gejala autokorelasi pada suatu model regresi
yaitu dengan menggunakan uji Durbin Watson (DW). Penentuan daerah nilai DW meggunakan nilai kritis dU (nilai batas atas) dan dL (nilai batas bawah) berdasarkan jumlah sampel dan banyaknya variabel bebas. Terdapat beberapa
standar dalam menentukan keputusan ada atau tidaknya autokorelasi serta menentukan dimana nilai DW berada adalah sebagai berikut:
a. Jika DW < dL : Terdapat autokorelasi positif b. dL < DW < dU : Tidak dapat disimpulkan c. dU > DW > 4-dU : Tidak terdapat autokorelasi
d. 4-dU<DW< 4-dL : Tidak dapat disimpulkan e. DW > 4-dL : Terdapat autokorelasi negatif
3.3.6 Multikolinearitas
Multikolinearitas adalah suatu keadaan dimana terjadi hubungan linear sempurna di antara beberapa atau semua variabel bebas yang menjelaskan dari
model regresi. Konsekuensi dari multikolinearitas yaitu jika ada kolinearitas sempurna di antara variabel bebas maka koefisien regresinya tidak tertentu dan kesalahan standarnya tak terhingga. Jika kolinearitasnya tingkat tinggi tetapi tidak
sempurna, penaksiran koefisien regresi adalah mungkin dan hasilnya koefisien tidak dapat ditaksir dengan tepat (Gujarati, 1995).
Uji multikorelasi bertujuan untuk mengetahui adanya masalah multikorelasi (gejala multikolinearitas) atau tidak. Multikorelasi adalah korelasi yang sangat tinggi atau sangat rendah yang terjadi pada hubungan di antara
Ada beberapa cara mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas, sebagai
berikut:
1. Nilai R2 yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris yang sangat tinggi, tetapi secara individual variabel bebas banyak yang tidak
signifikan mempengaruhi variabel terikat.
2. Menganalisis korelasi di antara variabel bebas. Jika di antara variabel bebas
ada korelasi yang cukup tinggi (lebih besar dari 0,90), hal ini merupakan indikasi adanya multikolinearitas.
3. Multikolinearitas dapat juga dilihat dari nilai VIF (variance-inflating factor).
Jika VIF < 10, tingkat kolinearitas dapat ditoleransi (Firdaus, 2004).
3.4 Defenisi dan Batasan Operasional
Untuk menghindari kesalahapahaman dan kekeliruan dalam penelitian ini
maka dibuat defenisi dan batasan operasional sebagai berikut:
3.4.1 Defenisi
1. Daging sapi adalah bagian dari tubuh sapi yang dimanfaatkan sebagai bahan
makanan.
2. Produksi daging adalah jumlah ketersediaan daging sapi pada suatu wilayah yang diperoleh dalam kurun waktu tertentu dari peternakan lokal (Kg).
3. Impor sapi adalah kegiatan perdagangan sapi dari luar negeri yang masuk ke Indonesia dengan ketentuan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak
dengan tujuan memenuhi kebutuhan daging sapi lokal (Kg).
5. Harga daging sapi domestik adalah harga daging sapi lokal yang berlaku di
Sumatera Utara (Rp/kg).
6. Sapi bakalan adalah bibit sapi yang akan dipelihara baik dilakukan oleh perusahaan penggemukan sapi dalam waktu beberapa bulan hingga mencapai
bobot sapi siap untuk di produksi dagingnya.
7. Harga daging sapi bulan sebelumnya adalah harga daging sapi yang
menggunakan harga daging bulan sebelumnya untuk menentukan harga daging sapi pada saat ini (Rp/Kg).
3.4.2 Batasan Operasional
1. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2013.
2. Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga daging sapi di Sumatera Utara yaitu produksi daging sapi, impor sapi, konsumsi
daging sapi dan harga daging sapi bulan sebelumnya.
BAB IV
DESKRIPSI PENELITIAN
4.1 Deskripsi Wilayah
4.1.1 Kondisi Geografis Provinsi Sumatera Utara
Provinsi Sumatera Utara berada di bagian Barat Indonesia, terletak pada
garis 1˚- 4˚ Lintang Utara dan 98 ˚- 100 ˚ Bujur Timur. Luas daratan Provinsi Sumatera Utara adalah 71.680,68 km2. Secara administratif, Provinsi Sumatera
Utara terdiri dari 25 kabupaten dan 8 kota dan memiliki batas wilayah sebagai berikut:
• Utara : Provinsi Aceh
• Selatan : Provinsi Riau dan Sumatera Barat
• Barat : Samudera Hindia
• Timur : Negara Malaysia di Selat Malaka
Berdasarkan topografi wilayah Sumatera Utara dibagi atas 3 daerah yaitu: 1. Pantai Barat terdiri dari Kabupaten: Nias, Nias Selatan, Mandailing Natal,
Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah dan Kota Padang Sidempuan.
2. Dataran Tinggi terdiri dari Kabupaten: Tapanuli Utara, Toba Samosir, Simalungun, Dairi, Karo, Humbang Hasundutan, dan Pakpak Bharat.
3. Pantai Timur terdiri dari Kabupaten: Labuhan Batu, Asahan, Deli Serdang, Langkat dan Kota: Medan dan Binjai.
Karena terletak dekat garis Khatulistiwa, Provinsi Sumatera Utara
meter di atas permukaan laut, beriklim cukup panas bisa mencapai 34,2˚C
sebagian daerah berbukit dengan kemiringan yng landai, beriklim sedang dan sebagian lagi berada di dearah ketinggian yang suhunya minimal bisa mencapai 20˚C.
Sebagaimana Provinsi lainnya di Indonesia, Provinsi Sumatera Utara mempunyai musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau biasanya
terjadi pada bulan Juni sampai dengan September dan musim penghujan biasanya terjadi pada bulan November sampai dengan bulan Maret, diantara kedua musim itu diselingi dengan musim pancaroba. Kelembaban udara rata-rata 78%-91%
dengan curah hujan (800-4000) mm/tahun dan penyinaran matahari 43%.
4.1.2 Rasio Kepadatan Penduduk
Provinsi Sumatera Utara memiliki luas wilayah 71.680,68 km2. Pada tahun
2012 jumlah penduduk untuk wilayah Sumatera Utara mencapai 13.103.596 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 183 jiwa/km2. Berdasarkan tabel 7, wilayah
terluas di Provinsi Sumatera Utara berada di Kota Medan sebesar 265,10 km2, dengan jumlah penduduk 2.117.224 jiwa. Kepadatan penduduk di Kota Medan mencapai 7.987 jiwa/km2. Sedangkan wilayah terkecil untuk Provinsi Sumatera
Utara dimiliki oleh Kabupaten Pakpak Bharat dengan luas wilayah 1.218,30 km2 dengan jumlah penduduk 40.884 jiwa. Kepadatan penduduk untuk Kabupaten
Tabel 7 : Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Provinsi Sumatera Utara 2011
Kabupaten/Kota Luas Wilayah (Km2)
Mandailing Natal 6.620,70 408.731 62
Tapanuli Selatan 4.352,86 266.282 61
Tapanuli Tengah 2.158,00 314.142 146
Tapanuli Utara 3.764,65 281.868 75
Toba Samosir 2.352,35 174.748 74
Labuhanbatu 2.561,38 418.992 164
Asahan 3.675,79 674.521 184
Simalungun 4.386,60 825.366 189
Dairi 1.927,80 272.578 141
Karo 2.127,25 354.242 167
Deli Serdang 2.486,14 1.807.173 727
Langkat 6.263,29 976.582 156
Nias Selatan 1.625,91 292.417 180
Humbang Hasundutan 2.297,20 173.255 75
Pakpak Bharat 1.218,30 40.884 34
Samosir 2.433,50 120.772 50
Serdang Bedagai 1.913,33 599.941 314
Batu bara 904,96 379.400 419
Padang Lawas Utara 3.918,50 225.621 58
Padang Lawas 3.892,74 227.365 58
Labuhanbatu Selatan 3.116,00 280.269 90
Labuhanbatu Utara 3.545,80 333.793 94
Nias Utara 1.501,63 128.434 86
Nias Barat 544,09 82.572 152
Kota
Sibolga 10,77 85.271 7.917
Tanjungbalai 61,52 155.889 2.534
Pematangsiantar 79,97 236.893 2.962
Tebing Tinggi 38,44 146.606 3.814
Medan 265,10 2.117.224 7.987
Binjai 90,24 248.456 2.753
Padangsidempuan 114,65 193.322 1.686
Gunungsitoli 469,36 127.382 271
Sumatera Utara 71.680,68 13.103.596 183
Perkembangan penduduk untuk wilayah Sumatera Utara dapat dilihat dari
jumlah penduduk menurut golongan umur dan jenis kelamin. Berdasarkan tabel 8, dapat dilihat bahwa jumlah penduduk tertinggi untuk wilayah Sumatera Utara terdapat pada jenis kelamin perempuan sebesar 6.5559.504 jiwa, sedangkan
jumlah laki-laki sebesar 6.544.092 jiwa. Jumlah penduduk tertinggi berada pada golongan umur 5-9 tahun sebesar 1.458.801 jiwa dengan jumlah laki-laki sebesar
752.129 jiwa dan perempuan 706.672 jiwa. Sedangkan untuk jumlah penduduk terendah terdapat pada golongan umur 60-64 tahun sebesar 285.150 dengan jumlah laki-laki 132.909 jiwa dan perempuan 152.241 jiwa.
Tabel 8. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Golongan Umur
Jumlah/Total 6.544.092 6.559.504 13.103.596
Sumber: Sumatera Utara Dalam Angka 2012, Badan Pusat Statsitik Provinsi Sumatera Utara, 2013
4.1.3 Provinsi Sumatera Secara Ekonomi
Pembangunan ekonomi daerah adalah serangkaian usaha dan kebijakan yang bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan kerja
dalam menciptakan nilai tambah dan menggambarkan kemampuan produksi
barang dan jasa dari masing-masing sektor ekonomi. Untuk mengetahui struktur ekonomi Provinsi Sumatera Utara maka dapat dilihat kontribusi dari setiap sektor dalam pembentukan PDRB menurut lapangan usaha atas dasar harga yang
berlaku.
Tabel 9: Struktur Perekonomian Provinsi Sumatera Utara 2007-2011 (persen)
Lapangan usaha 2007 2008 2009 2010 2011
1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
41.010 48.872 54.431 63.182 70.636
2. Pertambangan dan
Penggalian
2.405 2.981 3.230 3.790 4.341
3. Industri Pengolahan 45.531 51.641 55.051 63.293 70.672 4. Listrik, Gas, Air Bersih 1.898 2.073 2.325 2.610 2.966 8. Keuangan, Real Estat dan
Jasa Perusahaan
11.588 14.410 15.729 18.204 21.888
9. Jasa-Jasa 17.630 21.342 24.705 29.810 34.615
Produk Domestik Regional Bruto
181.820 213.932 236.354 275.700 314.157
Sumber: Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2013
Berdasarkan tabel 9, menyatakan kondisi Sumatera Utara dari segi ekonomi pada tahun 2007-2011 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) setiap
tahun terus meningkat. Provinsi Sumatera Utara mampu menghasilkan PDRB sebesar 181.820 persen pada tahun 2007 dan meningkat menjadi 314.157 persen pada tahun 2011. Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan merupakan
pemberi kontribusi terbesar kedua terhadap PDRB Sumatera Utara sebesar 41.010 persen di tahun 2007 dan meningkat menjadi 70.636 persen pada tahun 2011.
dibandingkan dengan lapangan usaha lainnya yaitu mencapai 45.531 persen pada
tahun 2007 dan terus meningkat hingga tahun 2011 menjadi 70.672 persen. Sedangkan untuk kontribusi terendah diberikan oleh listrik, air dan gas sebesar 1.898 persen pada tahun 2007 dan meningkat menjadi 2.966 pada tahun 2011.
4.2 Deskripsi Variabel
Berdasarkan judul penelitian yang akan diteliti, ada beberapa faktor yang mempengaruhi harga daging sapi di Sumatera Utara yaitu produksi daging sapi,
impor sapi, konsumsi daging sapi dan harga daging sapi bulan sebelumnya. Adapun perkembangan dari setiap faktor-faktor yang digunakan yaitu :
4.2.1 Harga Daging Sapi
Harga daging sapi di Sumatera Utara dari tahun ke tahun terus meningkat. Hal ini dikarenakan tingkat konsumsi yang terus meningkat sedangkan pasokan daging sapi masih rendah sehingga belum mampu memenuhi kebutuhan daging
sapi bagi masyarakat. Peningkatan harga daging sapi dari tahun ke tahun dapat dilihat pada tabel harga daging sapi di Sumatera Utara tahun 2007-2011.
Tabel 10. Harga Daging Sapi di Provinsi Sumatera Utara 2007-2011
Tahun Harga Daging Sapi
(Rp/Kg)
Sumber: Dinas Peternakan Sumatera Utara, 2013
Perkembangan harga daging sapi juga dapat dilihat pada gambar 3, dimana
terjadinya peningkatan harga daging sapi di Sumatera Utara dari tahun 2007 sampai tahun 2011.
Gambar 3. Perkembangan Harga Daging Sapi di Sumatera Utara 2007-2011
Perkembangan harga daging sapi juga dapat dilihat dari kurva perkembangan harga daging sapi di Sumatera Utara pada gambar 3. Dimana harga daging sapi di Sumatera Utara terus meningkat dari tahun 2007 hingga tahun
2011, walaupun terjadi penurunan harga daging sapi pada tahun 2009. Puncak harga daging sapi terjadi pada tahun 2011 sebesar Rp. 67.687 kg.
4.2.2 Produksi Daging Sapi
Menurut Sugeng (2000), produktivitas ternak sapi potong di Indonesia sebagai salah satu sumber daging belum memenuhi kebutuhan karena jumlahnya masih jauh dibawah target yang diperlukan konsumen. Faktor penentu
yang skala usahanya hanya 1-5 ekor dan dilakukan hanya sebagai usaha
sampingan.
Tabel 11. Produksi Daging Sapi di Sumatera Utara dari 2007-2010
Tahun Produksi Daging Sapi
(Ton/Tahun)
Sumber: Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2013
Produksi daging sapi yang meningkat setiap tahunnya dipengaruhi oleh jumlah penduduk serta tingkat konsumsi daging sapi di suatu wilayah. Untuk di
Sumatera Utara produksi tertinggi berada di kota Medan dengan jumlah sebesar
3.233,36 ton pada tahun 2011. Berdasarkan tabel 11, produksi daging sapi tertinggi untuk wilayah Sumatera Utara terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 18.299,35 ton. Sedangkan untuk produksi terendah terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 9.596,07 ton.
4.2.3 Impor Sapi di Sumatera Utara
Kebutuhan daging sapi di setiap daerah khusunya Sumatera Utara setiap tahunnya terus meningkat. Kebutuhan ini tidak hanya mengandalkan peternakan
sapi lokal. Jadi untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pemerintah melakukan kebijakan dengan mengimpor sapi bakalan. Sapi-sapi ini kemudian akan dipelihara oleh beberapa industri penggemukan sapi potong beberapa bulan
hingga mencapai bobot sapi siap untuk di produksi. Sapi-sapi ini di impor dari Australia, dimana daerah ini sudah terbebas dari penyakit PMK (Penyakit Mulut
Tabel 12. Impor Sapi di Sumatera Utara dari 2007-2011
Tahun Impor Sapi
(ton)
2007 5.366,00
2008 7.803,00
2009 7.459,00
2010 10.678,00
2011 7.049,00
Sumber: Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2013
Berdasarkan tabel 12, adapun jumlah pasokan impor sapi bakalan tertinggi
untuk wilayah Sumatera Utara terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 10.678.000 kg/tahun. Sedangkan untuk jumlah pasokan impor terendah terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 5.366.000 kg.
4.2.4 Konsumsi Daging Sapi
Daging sapi merupakan bahan makanan yang mengandung banyak mineral serta bermanfaat sebagai zat pengatur tumbuh. Daging sapi memiliki citarasa yang
khas yang tidak dimiliki jenis daging lainnya. Konsumsinya meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya jumlah konsumsi dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk serta pendapatan seseorang. Hal ini juga didukung dengan kesadaran
konsumen terhadap pentingnya kandungan protein yang dimiliki oleh daging sapi yang penting bagi tubuh.
Berdasarkan tabel 13, dapat dilihat bahwa jumlah konsumsi daging sapi tertinggi pada Provinsi Sumatera Utara terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 0,309 kg/kapita/tahun Sedangkan untuk konsumsi terendah terjadi pada tahun
Tabel 13. Konsumsi Daging Sapi di Provinsi Sumatera Utara dari 2007-2011
Tahun Konsumsi Daging Sapi
(Kg/Kapita/Tahun)
2007 0.206
2008 0.206
2009 0.154
2010 0.206
2011 0.309
Sumber: Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2013
4.2.5 Harga Daging Sapi Bulan Sebelumnya
Adanya peningkatan harga daging sapi setiap bulannya di Sumatera Utara. Penggunaan harga daging pada bulan sebelumnya bertujuan untuk menghilangkan terjadinya autokorelasi pada variabel. Dimana autokorelasi terjadi karena adanya
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Analisis Fakytor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Daging Sapi di Sumatera Utara
Penelitian ini mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi harga daging
sapi di Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan dengan mengumpulkan data bulanan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi harga daging
sapi di Sumatera Utara dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Adapun yang akan diteliti adalah apakah produksi daging sapi, impor sapi, konsumsi daging sapi dan harga daging sapi bulan sebelumnya mempengaruhi harga daging sapi di
Sumatera Utara.
5.1.1 Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah variabel pengganggu (e)
memiliki distribusi normal atau tidak. Uji normalitas dapat dilihat dari posisi normal sebaran data dengan menggunakan standard deviasi dari histogram dan menggunakan One-Sample Kolmogorof –Smirnov test.
Berdasarkan gambar 4, dapat dilihat bahwa histogram memiliki kurva
yang simetris, berarti dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi normal. Kemudian berdasarkan lampiran 14, One Sample Kolmogorov Smirnov Test diperoleh bahwa data berdistribusi normal.
5.1.2 Uji Autokorelasi
Uji autokorelais adalah keadaan dimana variabel gangguan pada periode tertentu berkorelasi dengan variabel gangguan pada waktu lain. Uji autokorelasi
dapat dilihat dari nilai Durbin Watson (DW). Berdasarkan hasil regresi maka diperoleh nilai DW (DurbinWatson) sebesar 2,216. Untuk melihat apakah dalam
model regresi tersebut terjadi gejala autokorelasi atau tidak dengan cara membandingkan antara nilai DW dengan nilai dU (nilai batas atas) dan dL (nilai batas bawah). Penentuan nilai dL dan dU berdasarkan jumlah sampel dan jumlah
variabel bebas yang digunakan dalam model regresi. Dalam model regresi terdapat 60 sampel data dan 4 variabel bebas.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka diperoleh nilai d
5.1.3 Uji Multikolinearitas
Gambar 5. Daerah Uji Durbin Watson
Berdasarkan gambar 5, nilai DW yang diperoleh berada pada daerah tidak ada autokorelasi karena nilai dU>DW>4dU.
5.1.3 Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas dapat dilihat dari nilai Tolerance dan VIF dari masing-masing variabel dibawah ini:
Tabel 14. Nilai Coefficient dan VIF
Variabel Tolerance VIF
Produksi Daging Sapi 0,425 2.352
Impor Sapi 0,968 1.033
Konsumsi Daging Sapi 0,585 1.708
Harga Daging Sapi Bulan Sebelumnya 0,421 2.376
Sumber: Lampiran 7
Berdasarkan 14, nilai Tolerance dari masing-masing variabel besar dari 0,1 dan korelasi antara variabel independen (bebas) juga dapat dilihat dari nilai VIF (variance-inflating factor) yaitu < 10. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
variabel yang digunakan dalam persamaan tidak terjadi multikolinearitas.
5.2 Pembahasan
Sapi merupakan salah satu jenis ternak yang sampai saat ini masih dimanfaatkan sebagai penyedia kebutuhan pangan hewani bagi masyarakat.
Menurut Sujarwo (2012), Sapi adalah salah satu hewan pemakan rumput yang berperan sebagai pengumpul bahan bergizi rendah yang kemudian diubah menjadi
bahan bergizi tinggi dan diteruskan kepada manusia dalam bentuk daging. Akhir dari suatu peternakan untuk sapi potong adalah menghasilkan karkas berkuantitas tinggi. Seekor ternak sapi dianggap baik apabila mampu menghasilkan karkas
sebesar 59 persen dari berat badan sehingga diperoleh 46,50 persen rencahan daging yang dapat dikonsumsi. Tidak semua bagian dari tubuh sapi bisa menjadi
meliputi bagian tulang dan daging yang telah dipisahkan dari bagian kepala, kaki,
kulit dan jeroan.
Ketersediaan daging sapi dipengaruhi oleh populasi ternak di suatu daerah. Populasi sapi potong yang ada belum mampu memenuhi permintaan
daging sapi, sehingga pemerintah membuat kebijakan dengan mengimpor sapi bakalan untuk meningkatkan jumlah populasi sapi potong dalam negeri. Saat ini
pemerintah sedang melakukan swasembada daging sapi dengan tujuan meningkatkan ketahanan pangan nasional dengan strategi penyediaan bahan pangan daging sesuai dengan kebutuhan konsumsi masyarakat.
Harga daging sapi di berbagai daerah terus meningkat. Ini dikarenakan ketersediaannya belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi bagi
masyarakat. Kebutuhan untuk daging sapi baru terpenuhi sekitar 70% dari peternakan lokal. Adapun factor-faktor lainnya yang mempengaruhi harga daging sapi di Sumatera Utara, namun karena adanya keterbatasan data yang diperoleh
maka data yang digunakan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi harga daging sapi di Sumatera Utara adalah produksi daging sapi, impor sapi, konsumsi
daging sapi dan harga daging sapi bulan sebelumnya.
Berdasarkan persamaan pada metode analisis data yang digunakan sebagai variabel bebas terdiri dari produksi daging sapi (X1), impor sapi (X2), konsumsi
daging sapi (X3), dan harga daging sapi bulan sebelumnya (Yt-1). Dari
variabel-variabel independen (bebas) tersebut aka dilihat seberapa besar pengaruhnya
5.2.1 Interpretasi Hasil
Tabel 15. Analisis Regresi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Daging Sapi
Constant 3599,102 0,255
X1 = Produksi Daging
Sumber: Diperoleh dari hasil analisis regresi Lampiran 6 dan 7.
Berdasarkan tabel diatas maka dapat diperoleh persamaan sebagai berikut:
Y = 3599,102 - 0,001 X1 + 0,002 X2 + 183230,32 X3 + 0,894Yt-1 + e
Dari persamaan tersebut dapat diperoleh konstanta sebesar 3599,102, nilai
ini menunjukkan bahwa harga daging sapi di Sumatera Utara sebesar Rp. 3.599,102/kg apabila tidak dipengaruhi oleh produksi daging sapi (X1), impor
sapi (X2), konsumsi daging sapi (X3), dan harga daging sapi bulan sebelumnya
(Yt-1).
5.2.2 Interpretasi Model
Dari persamaan tersebut, dapat diinterpretasikan pengaruh produksi daging
1. Produksi Daging Sapi (X1)
Untuk produksi daging sapi nilai koefisien regresi sebesar -0,001, artinya nilai ini menunjukkan ketika produksi daging sapi menurun sebesar 1.000 ton per bulan, maka harga daging sapi di Sumatera Utara akan meningkat sebesar
Rp. 1.000 per kg per bulan, dimana faktor lain dianggap tetap. 2. Impor Sapi (X2)
Pada impor sapi nilai koefisien regresi sebesar 0,002, artinya nilai ini menunjukkan ketika impor sapi naik sebesar 1.000 ton maka harga daging sapi di Sumatera Utara akan meningkat sebesar Rp. 2.000 per kg per bulan, dimana
faktor lain dianggap tetap. 3. Konsumsi Daging Sapi (X3)
Pada konsumsi daging sapi nilai koefisien regresi sebesar 183230,32 artinya nilai ini menunjukkan ketika konsumsi daging sapi meningkat sebesar 1 kg maka harga daging sapi akan meningkat sebesar Rp. 18.3230,32 per kg dimana
faktor lain dianggap konstan.
4. Harga Daging Sapi Bulan Sebelumnya (Yt-1)
Pada harga daging sapi bulan sebelumnya nilai koefisien regresi sebesar 0,894 artinya nilai ini ketika harga daging sapi bulan sebelumnya meningkat sebesar Rp. 10.000 per kg maka harga daging sapi di Sumatera Utara juga akan
meningkat sebesar Rp. 8.940 per kg, dimana faktor lain dianggap tetap.
5.2.3 Uji Kesesuaian Model
Dari tabel (Lampiran) diperoleh nilai R-square (R2) sebesar 0,854. Hal ini
variabel terikat (harga daging sapi di Sumatera Utara) sebesar 85,4 %, sementara
14,6 % dipengaruhi oleh faktor lain di luar dari model persamaan.
5.2.4 Uji F (Uji Simultan)
Dari tabel (Lampiran 6) diperoleh nilai signifikan F sebesar 0,000 yaitu
lebih kecil dibandingkan dengan α sebesar 0,1 (10%). Dengan demikian H0
ditolak dan H1 diterima. Hal ini menunjukkan variabel bebas secara serempak
memiliki pengaruh secara nyata terhadap harga daging sapi di Sumatera Utara.
5.1.5 Uji t (Uji Parsial)
Dari tabel (Lampiran 7) diperoleh nilai signifikan t: 1. Produksi Daging Sapi
Sapi potong merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki peranan cukup penting dalam penyediaan kebutuhan pangan hewani. Saat ini produksi daging sapi lokal masih rendah sehingga belum mampu memenuhi permintaan
masyarakat. Menurut Direktorat Jendral Peternakan (2003) dalam Hadiwijoyo (2009), bahwa sebagian besar usaha ternak di Indonesia baru mampu memenuhi
kebutuhan daging sapi domestik sekitar 75 persen dari peternakan rakyat yang skala usahanya hanya 1-5 ekor sapi dan usaha tersebut dilaksanakan sebagai usaha sampingan.
Berdasarkan hasil penelitian uji parsial untuk variabel produksi daging sapi (X1) sebesar 0,488 yaitu lebih besar dibandingkan dengan α 0,1 (10%).
Dengan demikian H0 diterima dan H1 ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa
Kemudian berdasarkan koefisien regresi produksi daging sapi menurun
sebesar 1.000 ton per bulan, maka harga daging sapi di Sumatera Utara akan meningkat sebesar Rp. 1.000 per kg, dimana faktor lain dianggap tetap. Hal ini sesuai dengan teori bahwa ketika jumlah barang yang ditawarkan lebih rendah
dibandingkan dengan jumlah barang yang diminta maka harga barang tersebut meningkat.
2. Impor Sapi
Salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan daging sapi domestik khusunya Sumatera Utara adalah melakukan
impor sapi. Sapi-sapi tersebut diimpor dari Australia karena memiliki laju pertumbuhan yang tinggi, tahan panas dan tingkat kesuburannya yang tinggi.
Tujuan Indonesia melakukan impor sapi bakalan adalah untuk dipelihara dalam waktu beberapa bulan dengan pemberian pakan yang cukup hingga sapi mencapai bobot siap untuk diproduksi. Menurut Hadi (1999) dalam Kariyasa (2010)
mengatakan bahwa jika tidak ada perubahan teknologi secara signifikan dalam proses produksi daging sapi serta tidak adanya peningkatan populasi sapi, maka
senjang antara produksi daging sapi dengan jumlah permintaan akan semakin melebar, sehingga berdampak pada volume impor yang semakin membesar.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai impor sapi (X2) diperoleh
sebesar 0,006 yaitu lebih kecil dibandingkan dengan α 0,1 (10%). Dengan demikian H1 diterima dan H0 ditolak. Hal ini menunjukkan pengaruh impor sapi
daging sapi di Sumatera Utara akan meningkat sebesar Rp. 2.000 per kg, dimana
faktor lain dianggap tetap. 3. Konsumsi Daging Sapi
Menurut penelitian sebelumnya yang dilakukan Kariyasa (2010),
komoditas daging sapi bagi sebagian penduduk Indonesia masih merupakan barang mewah, sehingga meningkatnya jumlah penduduk tidak secara otomatis
meningkatkan jumlah permintaan daging sapi. Bagi sebagian masyarakat Indonesia konsumsi daging sapi hanya dilakukan pada hari-hari tertentu saja, misalnya hari besar keagamaan.
Berdasarkan hasil yang diperoleh konsumsi daging sapi (X3) diperoleh
sebesar 0,099 yaitu lebih kecil dibandingkan dengan α 0,1 (10%). Dengan
demikian H1 diterima dan H0 ditolak. Hal ini menunjukkan pengaruh konsumsi
daging sapi terhadap harga daging sapi di Sumatera Utara adalah nyata. Kemudian berdasarkan koefisien regresi, jika konsumsi daging sapi meningkat
sebesar 1 kg maka harga daging sapi juga akan meningkat sebesar Rp. 18.3230,32 per kg dimana faktor lain dianggap konstan.
4. Kemudian Harga daging sapi bulan sebelumnya
Berdasarkan hasil penelitian harga daging sapi bulan sebelumnya (Yt-1)
sebesar 0,000 yaitu lebih besar dibandingkan α 0,1 (10%). Dengan demikian H0
ditolak dan H1 diterima. Hal ini menunjukkan pengaruh harga daging sapi bulan
sebelumnya terhadap harga daging sapi di Sumatera Utara adalah nyata.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian mengenai Faktor-faktor yang mempengaruhi harga daging sapi di Sumatera Utara maka dapat disimpulkan bahwa secara secara
serempak produksi daging sapi, impor sapi, konsumsi daging sapi dan harga daging sapi bulan sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga daging sapi di Sumatera Utara. Sedangkan secara individu impor sapi, konsumsi daging sapi dan
harga daging sapi bulan sebelumya berpengaruh nyata terhadap harga daging sapi di Sumatera, sedangkan produksi daging sapi tidak berpengaruh nyata terhadap
harga daging sapi di Sumatera Utara.
6.2Saran
6.2.1 Pemerintah
1. Bagi pemerintah untuk mengendalikan harga daging sapi khususnya di
Sumatera Utara yaitu meningkatkan produksi daging sapi dengan memanfaatkan potensi usaha penggemukan yang dibantu oleh pemerintah
dengan memberikan bantuan modal atau sistem perkreditan yang mudah diakses dan tidak memberatkan peternak. Jika kebutuhannya belum juga terpenuhi pemerintah diharapkan dapat meningkatkan impor sapi untuk
memenuhi kebutuhan daging sapi domestik.
2. Adanya fasilitas seperti pusat informasi dengan tujuan agar peternak
dan mudah diakses oleh setiap peternak, sehingga jika terjadi kenaikkan
harga dapat dinikmati antara peternak dan pedagang sapi secara wajar.
6.2.2 Peneliti Selanjutnya
Diharapkan pada peneliti selanjutnya untuk menambah waktu pengamatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA
PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Daging Sapi
Jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia adalah sapi asli Indonesia dan Sapi Impor. Jenis-jenis sapi potong tersebut mempunyai sifat-sifat yang khas, baik ditinjau dari bentuk luarnya (ukuran tubuh, warna bulu) maupun
genetiknya (laju pertumbuhan) (Tim Karya Mandiri, 2009).
Ternak sapi mampu menghasilkan berbagai macam kebutuhan terutama
daging sapi. Menurut Sudarmono (2008), daging sapi sangat besar manfaatnya dalam memenuhi kebutuhan gizi berupa protein hewani. Karena sapi merupakan hewan pemakan rumput yang berperan sebagai pengumpul bahan bergizi rendah
yang kemudian diubah menjadi bahan bergizi tinggi dan diteruskan kepada manusia dalam bentuk daging.
Protein dari daging sapi sangat penting karena mengandung semua asam amino esensial termasuk yang mengandung mineral S yang tidak dimiliki oleh protein nabati dan sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan mudah dicerna.
Selain itu daging sapi juga merupakan sumber utama mineral Ca, P, Zinc, Fe serta vitamin B2, B6 dan B12 yang penting bagi tubuh manusia (Talib, 2008).
Daging sapi yang dijual umumnya dalam kondisi tua atau muda. Tekstur daging sapi yang diperoleh dari kedua jenis sapi pun berbeda. Daging sapi muda berwarna merah terang dengan serat-serat yang halus, konsistensinya lembek,
sapi tua berwarna merah pucat, berserabut halus dengan sedikit pucat, konsistensi
liat, serta bau dan rasa sangat beraroma (Fikar, 2010).
Daging sapi yang mutunya baik biasanya hanya diperoleh sekitar 40% dari berat hewan secara keseluruhan dan sekitar 70% dari berat karkas. Karkas
merupakan bagian tulang dan daging yang telah terpisah dari kepala, kulit, kaki dan jeroan (Darmono, 1998).
2.1.2 Produksi Daging Sapi Lokal
Sapi pedaging secara umum terdiri dari dua jenis sapi utama yaitu Bos taurus dan Bos indicus. Jenis sapi lainnya di luar dari jenis sapi utama berasal dari
hasil perkawinan silang antara sapi dengan spesies lain seperti banteng, bison dan kerbau yang disebut dengan Bos bibos.Sedangkan untuk Indonesia jenis sapi yang dijadikan sebagai sumber daging adalah Sapi Bali, Sapi Ongole, Sapi PO
(Peranakan Ongole) dan Sapi Madura (Tim Karya Mandiri, 2009).
Ternak sapi potong sebagai salah sumber makanan berupa daging.
Produktivitas daging sapi saat ini masih sangat memprihatinkan karena volumenya masih jauh dari target yang dibutuhkan konsumen. Hal ini dikarenakan produksi daging sapi yang masih rendah dan dipengaruhi oleh tingkat
populasi ternak sapi yang masih jauh dari jangkauan. Sebagian besar ternak sapi potong masih diusahakan dalam skala kecil, dengan penggunaan lahan dan modal
yang masih terbatas (Sugeng, 2000).
Menurut Dwiyanto (2006), masalah produksi dan reproduksi sapi pedaging belum optimal. Waktu rata-rata umur sapi Indonesia untuk pertama
sehingga dapat mempercepat umur sapi melahirkan menjadi 3,5 tahun. Perawatan
yang baik, seekor sapi mampu menghasilkan 1 ekor anak dalam setahun. Sapi betina yang produktif jika dipelihara dengan baik, mampu menghasilkan anak 2-3 ekor sepanjang hidupnya.
Produksi daging sapi disetiap daerah umumnya berbeda-beda tergantung dari ketersediaan sapi lokal dan tingkat kebutuhan. Adapun jumlah produksi
daging sapi di beberapa daerah di Sumatera Utara. Tabel 4. Produksi Daging Sapi di Sumatera Utara 2011
Kabupaten/Kota Produksi (Ton)
Nias 69,10
Mandailing Natal 370,33
Tapanuli Selatan 217,22
Tapanuli Tengah 103,63
Tapanuli Utara 49,17
Toba Samosir 51,14
Labuhan Batu 341,35
Asahan 988,65
Simalungun 1.644,03
Dairi 60,46
Karo 2.064,15
Deli Serdang 2.678,79
Langkat 663,33
Nias Selatan 15,22
Humbang Hasundutan 6,73
Pakpak Bharat 15,90
Samosir 63,02
Serdang Bedagai 75,57
Batu Bara 1.722,01
Padang Lawas 187,60
Padang Lawas Utara 1.677,93
Labuhan Batu Utara 203,64
Labuhan Batu Selatan 23,45
Sibolga 19,08
Tanjung Balai 147,34
Pematang Siantar 112,49
Tebing Tinggi 151,20
Medan 3.233,36
Binjai 930,31
Padang Sidempuan 392,97
Nias Utara 11,06
Nias Barat 4,99
Gunung Sitoli 4,11
Berdasarkan tabel 4, Produksi daging sapi di Provinsi Sumatera Utara
mencapai 18.299,35 ton, dengan produksi terbanyak di Kota Medan mencapai 3.233,36 ton, sedangkan untuk produksi terendah berada pada daerah Gunung Sitoli sebesar 4,11 ton pada tahun 2011.
2.1.3 Impor Sapi
Dalam penyediaan daging sapi terdapat tiga pelaku utama yang perlu diperhatikan karena peranan ketiganya yang cukup signifikan dalam pencapaian
ketahanan pangan daging sapi. Ketiga pelaku tersebut adalah peternakan sapi rakyat yang mengusahakan sapi lokal, industri penggemukan sapi yang
mengandalkan sapi bakalan impor dan industri daging dan jeroan yang menggunakan produk daging sapi asal impor (Talib, 2008).
Rendahnya produksi sapi domestik menyebabkan rendahnya pula
memenuhi kebutuhan akan daging sapi. Usaha yang telah dilakukan untuk menangani kekurangan sapi potong diantaranya adalah mengimpor sapi bakalan
yang dilakukan sejak awal tahun 1990 dan terus meningkat hingga puncaknya tahun 1997, yaitu sebanyak 428 ribu ekor (Dwiyanto, 2006).
Awalnya pemenuhan permintaan daging dapat disediakan oleh peternakan
rakyat. Akan tetapi karena semakin tinggi populasi masyarakat Indonesia maka kemampuan peternakan rakyat dalam memenuhi permintaan daging makin
rendah. Hal ini mendorong pemerintah untuk melakukan impor sapi bakalan yang akan digemukkan di dalam negeri selama beberapa bula
Ada 7 negara yang menguasai hampir 70% sebagai produsen sapi tetapi
sapi potong dunia. Sedangkan Brasil, Australia, New Zealand, India dan Kanada
menguasai 75% ekspor sapi potong dunia (Talib, 2008).
Indonesia mengimpor sapi hidup dari Australia. Jenis sapi yang diimpor yaitu Sapi Bos indicus seperti jenis sapi Brahman atau jenis campuran silang
seperti sapi jenis Braford dan Droughtmaster. Sapi-sapi jenis ini sangat berhasil diternakkan di daerah tropis. Karena mempunyai ciri-ciri tahan panas, tahan
terhadap kekeringan, dan serangan kutu. Sapi tersebut juga mempunyai ciri-ciri sapi jenis Bos taurus, misalnya laju pertumbuhannya tinggi, produksi susunya banyak, dan tingkat kesuburannya tinggi (Anonimus 3, 2010).
Sapi bakalan impor diperoleh dari Australia, walaupun harga ketika tiba di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti musim, cuaca, jarak tetapi tetap
diminati oleh pihak industri penggemukan sebagai prioritas utama, karena harga beli oleh industri lebih menguntungkan daripada menggunakan sapi lokal (Talib, 2008).
Indonesia memilih mengimpor sapi dari Australia dan Selandia Baru selain lebih dekat juga berkaitan dengan kebijakan country based atau
mengimpor sapi berbasis keamanan dan kesehatan disatu negara. Sapi yang berasal dari negara lain seperti India dan Brazil belum bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Tujuan dari penolakan masuknya sapi dari negara tersebut
karena dikhawatirkan penyakit dapat menular pada ternak yang ada di Indonesia (Anonimus 4, 2012).
pangan bagi masyarakat masih jauh dari yang dibutuhkan. Adapun total impor
bahan pangan yang dilakukan pada tahun 2009.
Tabel 5. Total Nilai Impor Bahan Pangan Indonesia Periode Januari- Juli 2009
No Impor Bahan Pangan Indonesia Januari-Juli 2009
1 Susu 31,04%
11 Daging Kambing/Domba 0,23%
Sumber: Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah Vol1 No.2, 2013
Berdasarkan tabel 5, impor sapi bakalan merupakan impor terbanyak kedua setelah susu yaitu sebesar 25,53% sedangkan untuk impor daging sapi
terbanyak ketiga dari seluruh total impor bahan pangan di Indonesia pada Januari-Juli 2009 yaitu sebesar 9,86%.
2.1.4 Konsumsi Daging Sapi
Pangan yang dikonsumsi oleh penduduk terdiri dari pangan pokok dan
pangan hewani. Pangan pokok sebagai sumber karbohidrat sebagian besar dipenuhi dari konsumsi beras, sedangkan pangan hewani (protein) banyak diperoleh dari konsumsi daging, ikan, telur dan susu. Protein hewani ini berperan
dan berfungsi sebagai zat pembangun struktur tumbuh, zat pengatur (biokatalisator), sumber energi dan sebagai hormon (Nugroho, 2008).
kebutuhan daging sapi juga akan meningkat. Sebaliknya, semakin rendah jumlah
penduduk maka kebutuhan daging sapi juga akan berkurang (Supranto, 2007). Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan
kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani. Setiap bahan pangan mempunyai kandungan gizi yang berbeda-beda baik jumlah maupun jenisnya.
Bahkan sesama bahan pangan pun ada yang berbeda jumlahnya, untuk daging sapi mempunyai kandungan protein paling tinggi dibanding dengan daging hewan lainnya (Anonimus5, 2009).
2.1.5 Harga Daging Sapi
Laju permintaan daging sapi yang lebih tinggi dari laju pasokan domestik menyebabkan harga daging sapi domestik selalu meningkat, hingga pasokan
impor semakin membesar. Harga impor yang lebih murah justru menyesuaikan dengan harga domestik yang cenderung naik (Ilham, 2009).
Dari aspek konsumsi berdasarkan budaya dan rasa, posisi daging sapi tidak tergantikan dengan daging lain. Ketersediaan daging sapi selalu dibutuhkan baik pada kelompok kelas pendapatan tinggi, sedang maupun rendah. Perilaku
konsumen yang demikian menyebabkan harga daging sapi terus meningkat. Pemicu kenaikkan harga terutama pada saat menjelang hari besar keagamaan
seperti menjelang bulan puasa dan hari raya (Ilham, 2009).
Pada usaha sapi potong harga relatif stabil, namun cenderung terus meningkat. Jika terjadi peningkatan harga tidak akan turun kembali. Walaupun
umumnya kelas menengah ke atas. Pada konsumen ini, kenaikkan harga tidak
berpengaruh nyata terhadap permintaannya (Ilham, 2009).
Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan (Kemendag), rata-rata kenaikan harga komoditas daging sapi per tahun mencapai 9,0%. Dengan
kenaikan harga tertinggi terjadi pada tahun 2008 yang mencapai angka 14,4%
dibandingkan pada tahun sebelumnya, yaitu dari Rp 50.036/kg menjadi
Rp 57.259/kg. Harga daging sapi pada periode tahun 2003-2012 mengalami gejolak kenaikan harga sebesar 27,3%. Secara nasional, perkembangan harga daging sapi pada tahun 2012 (sampai dengan bulan September 2012)
berangsur-angsur mengalami kenaikan dari awal Januari dan mulai mengalami lonjakan harga pada bulan Juli (menjelang puasa), yaitu mencapai angka 3,36% dari
Rp 74.393/kg menjadi Rp 76.895/kg. Sedangkan tingkat harga pada bulan Agustus 2012 terus bergerak naik mencapai 3,78% dari Rp 76.895/kg menjadi Rp 79.800/kg (Anonimus 7, 2012).
2.1.6 Penelitian Sebelumnya
Penelitian yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan dan Penawaran Daging Sapi Di Sumatera Utara” oleh Ronald Siahaan
(2011). Hasil penelitian menyatakan bahwa usaha peternakan sapi potong di Sumatera Utara periode tahun 2001-2010 masih didominasi oleh peternakan
rakyat, dengan sistem pemeliharaan yang masih sederhana dan tradisional. Permintaan daging sapi dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga daging, pendapatan per kapita, harga telur dan harga ayam. Penawaran daging sapi
faktor paling besar mempengaruhi jumlah penawaran, sementara harga sapi hidup
mempengaruhi jumlah penawaran daging sapi. Elastisitas harga terhadap permintaan daging sapi adalah inelastis. Elastistas pendapatan terhadap permintaan daging sapi adalah inelastis. Elastisitas silang terhadap daging ayam
dan daging sapi adalah subsitusi. Elastistas harga terhadap penawaran daging sapi adalah inelastis.
Penelitian yang berjudul “Pengaruh impor daging sapi terhadap tingkat harga daging sapi domestik Indonesia tahun 1993-2009” oleh Kurniawan (2011). Penelitian ini menguji pengaruh produksi daging sapi domestik, konsumsi daging
sapi domestik, harga daging sapi dunia, nilai kurs dan volume impor daging sapi terhadap tingkat harga daging sapi domestik dunia tahun 1993-2009. Untuk
mengujinya peneliti menggunakan teknik estimasi Ordinary Least Squared (OLS). Hasil penelitiannya adalah bahwa produksi daging sapi domestik, konsumsi daging sapi domestik, haga daging sapi dunia, nilai kurs dan volume
impor daging sapi secara signifikan mempengaruhi tingkat harga daging sapi domestik Indonesia.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Teori Permintaan
Permintaan suatu barang berkaitan dengan jumlah permintaan atas suatu
barang pada tingkat harga tertentu. Konsumen dapat menentukan jumlah barang yang dikonsumsi tergantung pada harga tersebut. Pada umunya semakin tinggi harga suatu barang, maka semakin sedikit permintaan akan barang tersebut.
Menurut Bangun (2007), Permintaan seseorang atau masyarakat terhadap
suatu komoditi ditentukan oleh banyak faktor, seperti: 1. Harga komoditi itu sendiri
Jika harga semakin murah, permintaan terhadap suatu produk akan bertambah.
Hal ini berkaitan dengan hukum permintaan, jika harga suatu barang meningkat cateris paribus, jumlah suatu barang yang diminta akan berkurang,
dan begitu sebaliknya.
2. Harga komoditi lain yang berkaitan erat dengan komoditi tersebut
Pengaruh harga komoditas lain terhadap jumlah permintaan suatu barang
tergantung pada jenis barangnya. Jenis barang yang ditentukan yaitu barang subsitusi dan barang komplementer.
3. Pendapata rumah tangga dan pendapata masyarakat
Tingkat pendapatan mencerminkan daya beli. Semakin tinggi tingkat pendapatan, maka daya beli akan suatu barang juga akan meningkat.
4. Selera
Semakin tinggi minat dan keinginan konsumen terhadap suatu barang, maka
akan semakin tinggi pula tingkat permintaannya. Sebaliknya semakin berkurang keinginan konsumen akan suatu barang maka permintaanta juga akan berkurang.
5. Jumlah penduduk
Jumlah penduduk merupakan faktor yang mempengaruhi permintaan
6. Perkiraan harga di masa mendatang
Perkiraan harga suatu barang di masa yang akan datang akan mempengaruhi jumlah permintaan suatu barang. Apabila diramalkan terjadi kenaikkan harga suatu barang tertentu dimasa yang akan datang, maka permintaan barang
tersebut akan bertambah. Sebaliknya, apabila diramalkan harga suatu barang akan turun dimasa yang akan datang maka permintaan suatu barang akan
berkurang.
Perubahan permintaan dapat dibedakan menjadi: 1. Pergerakan sepanjang kurva permintaan
Perubahan permintaan sepanjang kurva permintaan terjadi bila harga komoditi yang diminta berubah (naik atau turun). Penurunan harga komoditi tersebut
akan menaikkan jumlah yang diminta dan kenaikkan harga komoditi mengurangi jumlah yang diminta.
2. Pergeseran kurva permintaan
Pergeseran kurva permintaan ke kanan atau ke kiri disebabkan oleh perubahan permintaan yang ditimbulkan oleh faktor-faktor selain harga komoditi tersebut.
2.2.2 Teori Penawaran
Penawaran menggambarkan hubungan antara harga dengan jumlah penawaran atas suatu barang. Apabila harga naik, maka jumlah penawaran akan
Menurut Bangun (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran:
1. Harga komoditi itu sendiri
Jika harga suatu barang menurun maka jumlah barang yang akan ditawarkan juga akan menurun. Hal ini berkaitan dengan hukum penawaran, jika harga
suatu barang meningkat cateris paribus, maka jumlah komoditi yang ditawarkan juga akan meningkat dan juga sebaliknya.
2. Harga komoditi lain
Adanya perubahan harga produk alternatif lain yang menyebabkan terjadinya jumlah peningkatan produksi atau semakin menurun.
3. Biaya produksi
Besar kecilnya biaya produksi yang dikeluarkan maka akan mempengaruhi
jumlah input yang di pakai. Jika harga dari input produksi menurun maka produsen akan cenderung membeli input dalam jumlah yang relatif besar. 4. Tingkat teknologi
Penggunaan teknologi baru sebagai pengganti teknologi lama akan mempengaruhi peningkatan jumlah produksi.
5. Jumlah lembaga pemasaran
Apabila jumlah lembaga pemasaran suatu produk semakin banyak, maka penawaran produk tersebut akan bertambah.
2.2.3 Teori Harga
Harga pasar suatu komoditi dan jumlah yang diperjualbelikan ditentukan oleh permintaan dan penawaran dari komoditi tersebut. Dengan harga pasar
Tanpa campur tangan pemerintah, permintaan dan penawaran dengan sendirinya
akan mencapai keseimbangan harga dan jumlah komoditi yang diperjualbelikan (Sugiarto, 2000).
Kurva penawaran menunjukkan jumlah barang yang bersedia dijual oleh
para produsen pada harga yang akan diterimanya di pasar, sambil mempertahankan agar setiap faktor yang mempengaruhi jumlah penawaran tetap.
Sedangkan kurva permintaan menyatakan berapa banyak konsumen bersedia membeli karena harga per unit berubah (Pyndick, 2003).
Harga suatu barang ditentukan dengan melihat keadaan keseimbangan
dalam suatu pasar. Keseimbangan pasar tersebut terjadi jika jumlah barang yang ditawarkan sama dengan jumlah barang yang diminta. Hukum harga menyatakan,
bahwa perubahan penawaran akan menyebabkan berubahnya harga dalam arah yang berlawanan dengan asumsi permintaan tetap. Apabila permintaan tetap, kenaikkan penawaran akan menyebabkan penurunan harga dan sebaliknya
penurunan penawaran akan menyebabkan naiknya harga (Sukirno, 2002).
Menurut Lipsey (1995), bahwa permintaan dan penawaran berinteraksi
dalam menentukan harga dalam suatu pasar. Kondisi keseimbangan akan tercapai jika jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan. Pada kondisi ini, kedua pihak baik produsen maupun konsumen sama-sama diuntungkan.
Gambar 1, pada kondisi harga di titik Pd, ketika jumlah yang ditawarkan produsen lebih kecil dibandingkan jumlah yang diminta konsumen, terjadi kelebihan
harga yang lebih tinggi. Produsen juga akan memanfaatkan kesempatan ini untuk
meningkatkan harga. Pada kondisi ini akan ada tekanan ke atas terhadap harga. Selanjutnya, jika harga berada pada Pu, ketika jumlah yang ditawarkan produsen lebih besar dibandingkan jumlah yang diminta konsumen, dalam hal ini
terjadi kelebihan penawaran atas permintaan (excess supply). Kondisi ini dimana produsen akan berusaha menurunkan harga agar kelebihan penawaran tersebut
bisa terjual. Jadi pada excess supply akan ada suatu tekanan ke bawah terhadap harga. Akhirnya kedua kondisi tersebut akan mengarahkan harga pada Pe, dimana jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan. Kedua pihak, baik
konsumen maupun produsen akan sama-sama diuntungkan. Kondisi inilah yang disebut sebagai kondisi keseimbangan, dimana jumlah dan harga yang terjadi
sama-sama disetujui oleh kedua pihak.
Gambar 1. Penentuan Harga oleh Permintaan dan Penawaran
Penawaran
Permintaan
Jumlah Pu
Pe
2.3 Kerangka Pemikiran
Sapi merupakan salah satu jenis ternak sebagai penyedia kebutuhan pangan hewani. Penyediaan kebutuhan daging sapi di Sumatera Utara diperoleh dari peternakan sapi rakyat dan industri penggemukan sapi potong. Dimana
peternakan rakyat baru mampu memenuhi kebutuhan daging sapi sekitar 70% sedangkan sisanya 30% disediakan oleh industri penggemukan sapi potong.
Peternakan rakyat masih menggunakan sistem pemeliharaan yang tradisional. Dimana para peternak hanya memiliki lahan dan modal yang masih terbatas. Sehingga kemampuan peternak rakyat belum mampu memenuhi kebutuhan
daging sapi domestik.
Industri penggemukan sapi potong memperoleh sapi bakalan dari
Australia. Indonesia memilih Australia karenakan sapi potong yang ada di negara tersebut sudah terbebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK). Sapi yang diimpor berumur 1-2 tahun. Hal ini dikarenakan pada umur tersebut sapi sedang
mengalami masa pembentukan rangka dan pembentukan jaringan daging. Sistem penggemukan dilakukan yaitu dengan pemberian pakan yang cukup seperti
mineral, vitamin dan protein dalam waktu beberapa bulan hingga sapi mencapai bobot ideal untuk menghasilkan daging yang berkualitas.
Tingkat konsumsi masyarakat untuk daging sapi terus meningkat setiap
tahunnya. Menurut Aziz (2003), Sejumlah barang yang diminta konsumen tidak hanya dipengaruhi oleh harga barang tersebut, namun juga dipengaruhi oleh
umumnya dipengaruhi oleh meningkatnya pendapatan, taraf hidup seseorang, hari
besar keagamaan serta kesadaran akan pentingnya kebutuhan gizi protein hewani. Ketersediaan daging sapi belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Jumlah penawaran daging sapi masih rendah, sedangkan
permintaannya terus meningkat yang akhirnya menyebabkan harga daging sapi juga ikut meningkat. Berdasarkan penjelasan tersebut adapun beberapa faktor
yang mempengaruhi harga daging sapi lokal di Sumatera Utara yaitu produksi daging sapi, impor sapi, konsumsi daging sapi dan harga daging sapi bulan sebelumnya.
Adapun kerangka pemikiran berkaitan dengan faktor-faktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Daging Sapi di Sumatera Utara
2.4 Hipotesis
Berdasarkan identifikasi masalah, hipotesis penelitian adalah ada pengaruh dari produksi daging sapi, impor sapi, konsumsi daging sapi dan harga daging sapi bulan sebelumnya terhadap harga daging sapi di Sumatera Utara.
1. Produksi Daging Sapi 2. Impor Sapi
3. Konsumsi Daging Sapi 4. Harga Daging Sapi Bulan
Sebelumnya
Harga Daging Sapi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang melimpah terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian memiliki
peranan penting yaitu sebagai sektor yang dapat diandalkan dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Salah satunya adalah sektor peternakan yang merupakan bagian dari sektor pertanian yang menjadi sektor utama dalam
penyedia pangan hewani di Indonesia.
Ternak sapi khususnya sapi potong, merupakan salah satu sumber daya
penghasil daging yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan penting artinya bagi kehidupan masyarakat. Seekor ternak mampu menghasilkan berbagai macam kebutuhan, terutama sebagai bahan makanan berupa daging, susu dan hasil
ikutannya seperti pupuk kandang, kulit dan tulang (Sudarmono, 2008).
Kebutuhan daging sapi awalnya dilakukan oleh peternakan lokal. Namun
ketersediaan ternak sapi potong belum mampu memenuhi permintaan daging sapi. Meningkatnya jumlah konsumsi daging sapi menyebabkan ketersediaan daging sapi lokal tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumen. Ketersediaan daging
sapi dilihat dari tingkat populasi sapi potong pada suatu wilayah. Berdasarkan tabel 1, dapat dilihat perkembangan populasi sapi potong dan produksi daging
Tabel 1. Perkembangan Populasi Sapi Potong dan Produksi Daging Sapi di Sumatera Utara 2007-2011
Tahun Populasi Sapi Potong (Ekor)
Sumber: Dinas Peternakan Sumatera Utara, 2013
Berdasarkan tabel 1, produksi daging sapi tertinggi berada pada tahun 2011 yaitu sebesar 18.299,35 ton dengan populasi sapi potong sebesar 541.698
ekor. Sedangkan untuk produksi terendah terjadi pada tahun 2007 sebesar 9.569,07 ton dengan populasi sapi potong sebesar 382.902 ekor.
Menurut Ditjennak (2008) dalam Thalib (2008), untuk memenuhi
kebutuhan daging sapi nasional, Indonesia baru mampu menghasilkan 70% dari peternakan lokal, sedangkan 30% diperoleh melalui impor. Tingkat permintaan
daging sapi yang terus menerus meningkat dan tidak seimbang dengan pasokan daging sapi lokal, Akhirnya pemerintah melakukan kebijakan dengan mengimpor sapi bakalan. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk dipelihara kembali dalam
waktu beberapa bulan hingga sapi mencapai bobot yang ideal untuk diproduksi dagingnya.
Ketersediaan daging sapi sangat mempengaruhi harga daging sapi lokal. Kenaikkan harga daging sapi berdampak dari ketidakseimbangan antara jumlah produksi dengan tingginya tingkat permintaan masyarakat terhadap daging sapi.
Selain itu, kesulitan juga dialami saat melakukan distribusi sapi dari sentral produksi ke konsumen. Hal ini memicu terjadinya peningkatan harga daging sapi,
Salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya harga daging sapi
adalah tingkat konsumsi masyarakat terhadap daging sapi. Umumnya konsumsi ini meningkat pada hari-hari besar keagamaan, seperti menjelang bulan puasa, lebaran, natal dan tahun baru. Menurut Kementrian Pertanian Indonesia
menyatakan bahwa konsumsi daging sapi per kapita bangsa Indonesia mencapai 1,87 kg. Konsumsi daging sapi di Indonesia termasuk rendah jika
dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Meskipun rendah Indonesia memerlukan setidaknya 448.000 ton daging sapi setiap tahunnya (Anonimus 6, 2012).
Menurut Dwiyanto (2008) dalam Harmini (2011), kebutuhan daging sapi yang harus disediakan, ditentukan oleh tingkat konsumsi daging sapi nasional
berdasarkan jumlah penduduk dan konsumsi daging sapi per kapita masyarakat. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani, maka kebutuhan daging sapi
nasional juga akan semakin meningkat.
Saat ini kenaikan harga daging sapi masih merupakan masalah yang
sedang dialami oleh Indonesia. Namun masalah ini sedang diupayakan pemerintah agar harga daging sapi mudah dijangkau oleh masyarakat baik yang memiliki pendapatan tinggi maupun yang rendah. Adapun perbandingan harga daging sapi
Tabel 2. Perbandingan Harga Daging Sapi di Beberapa Negara 2012
Negara Harga Daging Sapi
(Dollar AS)
Berdasarkan tabel 2, menurut Bank Dunia harga daging sapi di Indonesia saat ini termasuk yang termahal di dunia dengan tingkat harga pada bulan Desember 2012 mencapai 9,76 dollar AS. Sedangkan untuk harga daging sapi
terendah dimiliki oleh negara Jepang yaitu mencapai 3,9 dollar AS.
Menurut Santosa (1997), beberapa provinsi di Indonesia, harga daging
sapi masih merupakan komoditas termahal dibandingkan dengan harga ternak lainnya. Hal ini dikarenakan kualitas daging sapi serta rasanya yang tidak dapat digantikan dengan daging lainnya. Adapun perbandingan harga daging sapi
dengan jenis daging lainnya di Provinsi Sumatera Utara.
Tabel 3. Harga Rata-Rata Daging di Provinsi Sumatera Utara 2011
Bulan Harga Daging (Rp/Kg)
Daging Ayam 22.750
Daging Sapi 67.687
Daging Kambing/Domba 55.083
Daging Babi 45.521
Sumber: Dinas Peternakan Sumatera Utara, 2013
Berdasarkan tabel 3, daging sapi merupakan komoditas yang memiliki
Sesuai dengan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melaksanakan
penelitian dengan judul “ Faktor-faktor yang mempengaruhi harga daging sapi di Sumatera Utara”.
1.2Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas dapat dirumuskan identifikasi masalah sebagai berikut: yaitu apakah faktor-faktor seperti produksi daging sapi, impor sapi, konsumsi daging sapi dan harga daging sapi bulan sebelumnya
berpengaruh terhadap harga daging sapi di Sumatera Utara?
1.3Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
Untuk menganalisis adanya pengaruh dari produksi daging sapi, impor sapi, konsumsi daging sapi dan harga daging sapi pada bulan sebelumnya terhadap harga daging sapi di Sumatera Utara.
1.4Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam melihat
perkembangan harga daging sapi di Sumatera Utara.
2. Sebagai bahan informasi bagi pemerintah untuk membuat kebijakan dalam
mengendalikan harga daging sapi di Sumatera Utara.