• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Histopatologi Hati Tikus Pasca Pemberian Fraksi Asam Amino Non-Protein Acacia villosa

Hasil pengamatan histopatologi hati kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan ditemukan adanya perubahan pada interstitium maupun parenkim. Kongesti merupakan perubahan yang ditemukan pada interstitium hati, sedangkan pada parenkim ditemukan adanya degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan apoptosis di seluruh bagian hati. Rataan peringkat Kruskal-Wallis skor histopatologi hati disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Rataan peringkat Kruskal-Wallis skor histopatologi hati pasca pemberian fraksi asam amino non-protein A. villosa pada uji toksisitas akut

Keterangan :

K : Kontrol; 3.2 : Dosis 3.2 g/kg BB; 8 : Dosis 8 g/kg BB; 20 : Dosis 20 g/kg BB;

Huruf superskrif yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (p<0.05).

Dari Tabel 4 terlihat bahwa rataan Kruskal-Wallis degenerasi hidropis kelompok dosis 3.2 dan 8.0 g/kg BB tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan kelompok kontrol, namun berbeda nyata (p<0.05) dengan kelompok dosis 20 g/kg. Rataan degenerasi hidropis kelompok dosis 20 g/kg BB lebih sedikit karena sebagian besar mengalami degenerasi lemak dan apoptosis. Degenerasi hidropis merupakan perubahan lanjutan dari degenerasi berbutir namun lebih ringan dibandingkan degenerasi lemak maupun apoptosis.

Seluruh kelompok perlakuan maupun kontrol mengalami degenerasi hidropis. Degenerasi hidropis disebabkan oleh adanya gangguan metabolisme pada organ hati. Selain degenerasi, pada kontrol juga ditemukan adanya kongesti.

Kelompok Perubahan Histopatologi

Degenerasi Hidropis Degenerasi lemak Apoptosis

K 6.00.b 1.00a 1.50.a

3.2 5.50.b 4.33.b 2.83.a

8 7.67.b 4.67.b 6.00.b

darah maupun euthanasia, karena eter merupakan anastetik kuat yang dapat menyebabkan vaodilatasi pada pembuluh darah.

Pemberian senyawa asam amino non-protein yang bersifat toksik menyebabkan reaksi adaptasi berupa degenerasi. Degenerasi hidropis merupakan suatu keadaan dimana sitoplasma sel mengandung air. Secara mikroskopis pada sel-sel yang mengalami degenerasi hidropis terlihat adanya ruangan-ruangan jernih di sitoplasma tetapi tidak sejernih kolagen maupun lemak (Carlton dan McGavine 1995). Degenerasi hidropis adalah perubahan yang bersifat reversible, sehingga apabila paparan bahan toksik dihentikan, sel yang mengalami kerusakan akan kembali normal. Apabila keracunan terus berlanjut maka akan menyebabkan sel mati (irreversibble). Pada Gambar 3 disajikan degenerasi hidropis hati pasca pemberian fraksi asam amino non-protein A. villosa.

Gambar 3 Hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis pasca pemberian fraksi asam amino non-protein A. villosa, dosis 8 g/kg BB. Pewarnaan HE, bar 20 µm.

Penyebab degenerasi sel biasanya adalah akibat tidak cukup makanan, ketuaan umur jaringan, kekurangan oksigen dalam jaringan serta adanya intoksikasi. Sel menggunakan oksigen untuk mentransport natrium ke dalam sitoplasma. Pada saat kekurangan oksigen, air dan natrium akan masuk berlebihan melalui membran sel, dan menyebabkan hilangnya jumlah kalium yang melampaui batas. Pada keadaan ini retikulum endoplasma mengambil cairan dalam volume yang besar. Oleh karena itu pada sitoplasma sel yang mengalami degenerasi hidropis akan terlihat ruang kosong yang jernih dan mendorong sitoplasma yang berwarna suram ke daerah tepi dari sel (Corwin 2001). Degenerasi hidropis pada sel-sel hati dan ginjal juga ditemui pada hewan yang mengalami keracunan akibat mengkonsumsi Lupinus sp dan Lantana camara.

Kelanjutan dari degenerasi hidropis sebelum mengalami kerusakan yang bersifat irreversible adalah degenerasi lemak. Pada Tabel 4, rataan Kruskal-Wallis degenerasi lemak kelompok dosis 3.2 tidak berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan dengan dosis 8.0 g/kg BB namun kedua kelompok tersebut terlihat berbeda nyata (p<0.05) dibandingkan dengan kelompok kontrol dan kelompok dosis 20 g/kg BB. Semakin tinggi dosis fraksi AANP, semakin berat derajat keparahan degenerasi lemak hati. Hasil pengamatan histopatologi ini mengindikasikan bahwa fraksi AANP bersifat hepatotoksik. Hal ini sesuai dengan pendapat Donatus (2001), bahwa degenerasi lemak dapat terjadi pada kondisi iskemia, anemia dan gangguan bahan toksik. Degenerasi lemak hepatosit disajikan pada Gambar 4.

Degenerasi yang berlangsung terus-menerus akan menyebabkan kematian sel. Kematian sel merupakan kerusakan yang bersifat irreversible (menetap), sehingga hepatosit tidak dapat kembali kebentuk normal. Kematian sel dapat terjadi melalui proses apoptosis dan nekrosa sel. Apoptosis merupakan proses kematian sel yang terencana atau terprogram yang dipicu oleh fragmen DNA, sedangkan nekrosa sel dicirikan dengan adanya sel radang. Nekrosa dapat bersifat lokal atau difus, yang disebabkan oleh keadaan iskemia, anemia, kekurangan oksigen, bahan-bahan radikal bebas, gangguan sintetis DNA dan peptida (Lu 1995).

Gambar 4 Hati tikus yang mengalami degenerasi lemak (panah ungu) dan apoptosis (panah hitam) pasca pemberian fraksi asam amino non-protein A. villosa, dosis 20 g/kg BB. Pewarnaan HE, bar 20 µm. Pada Tabel 4 memperlihatkan rataan Kruskal Wallis apoptosis kelompok dosis 3.2 g/kg BB tidak berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan kedua kelompok tersebut berbeda nyata (p<0.05) dibandingkan dengan kelompok dosis 8.0 dan 20 g/kg BB. Rataan apoptosis kelompok dosis 8 g/kg BB tidak berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan dengan kelompok dosis 20 g/kg BB. Semakin tinggi dosis fraksi AANP A. villosa yang diberikan, maka semakin banyak sel hati yang mengalami apoptosis. Hal ini mengindikasikan bahwa fraksi AANP A. villosa bersifat hepatotoksik. Penelitian Raharjo (2002), Santoso (2002) dan Herdiana (2004), memperlihatkan adanya nekrosa hepatosit ringan pada pemberian pakan tikus yang mengandung 15% A. villosa. Perbedaan kerusakan ini erat hubungannya dengan efektifitas toksin yang sangat bergantung pada tiga faktor yaitu jenis bahan kimia, konsentrasi dan jaringan yang terlibat. Sel-sel hepatosit yang mengalami apoptosis disajikan pada Gambar 4.

Apoptosis dapat terjadi bila sel mengalami kerusakan yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Keputusan untuk melakukan apoptosis berasal dari sel itu

sendiri, dari jaringan yang mengelilinginya, atau dari sel yang berasal dari sistem imun. Apoptosis pada umumnya berlangsung seumur hidup dan bersifat menguntungkan bagi tubuh (Anonim 2006). Apoptosis terjadi pada dua kondisi, yaitu kondisi normal (fisiologis) atau abnormal (patologis). Apoptosis fisiologis terjadi pada proses pertumbuhan dan involusi organ pada pertumbuhan embrional, proses hormonal pada organ reproduksi betina, sentra germinal dan folikel limfoid. Apoptosis patologis biasanya terjadi pada kerusakan akibat agen infeksius atau toksin. Apoptosis tidak melibatkan sel radang, tetapi badan apoptosis akan difagosit oleh makrofag Penyebab terjadinya apoptosis antara lain: kekurangan suplai oksigen (biasanya pada penyakit respiratori, kardiovaskular dan anemia), agen fisik, terjadi pada trauma mekanik dan radiasi, agen kimia (biasanya berkaitan dengan hasil proses suatu industri), toksin (bakteria, tanaman, dan hewan), virus, kelainan reaksi immunologi (hipersensitifitas, glomerulonefritis), kekurangan nutrisi (kekurangan vitamin dan sindrom malabsorbsi), serta kelainan genetik (MacFarlen et al. 2000).

Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Pasca Pemberian Fraksi Asam AminoNon-Protein Acacia villosa

Pemberian fraksi asam amino non-protein A. villosa mengakibatkan perubahan histopatologi baik pada parenkim maupun interstitial. Secara umum perubahan yang ditemukan pada interstitial adalah adanya pembendungan (kongesti) baik pada kontrol maupun pada kelompok perlakuan. Kongesti pada kelompok control disebabkan oleh penggunaan sediaan ether sewaktu anesthesia dan euthanasia.

Perubahan yang terjadi pada glomerulus adalah edema yang dicirikan oleh adanya endapan protein pada mesangium hingga ke ruang Bowman, dan adanya perluasan ruang Bowman, sedangkan perubahan pada tubulus adalah berupa degenerasi hidropis, apoptosis dan adanya endapan protein di lumen. Perubahan histopatologi ini disebabkan oleh senyawa asam amino non-protein A. villosa yang bersifat nefrotoksik. Hasil evaluasi histopatologi tubulus dan glomerulus disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Rataan peringkat Kruskal-Wallis skor histopatologi ginjal tikus pasca pemberian fraksi asam amino non-protein A. villosa pada uji toksisitas akut

Keterangan :

K : Kontrol; 3.2 : Dosis 3.2 g/kg BB; 8 : Dosis 8 g/kg BB; 20 : Dosis 20 g/kg BB;

Huruf superskrif yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (p<0.05).

Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa kerusakan pada tubulus berupa degenerasi hidropis, terjadi baik pada kelompok kontrol maupun perlakuan. Rataan Kruskal-Wallis degenerasi hidropis kelompok dosis 3.2 g/kg BB tidak berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan kedua kelompok tersebut berbeda nyata (p<0.05) dibandingkan dengan kelompok dosis 8 dan 20 g/kg BB. Rataan Kruskal-Wallis kelompok dosis 8 g/kg BB tidak berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan dengan kelompok dosis 20 g/kgBB. Hal ini memperlihatkan bahwa semakin tinggi dosis fraksi AANP yang diberikan maka menyebabkan degenerasi hidropis yang semakin berat. Degenerasi hidropis pada kelompok kontrol kemungkinan disebabkan adanya gangguan metabolisme pada organ ginjal yang disebabkan oleh hal lain. Hal ini mungkin saja terjadi karena tikus yang digunakan bukan dari kelompok SPF (Specific Pathogen Free).

Degenerasi hidropis ginjal diakibatkan oleh senyawa sekunder AANP A.

villosa yang bersifat toksik. Akibat paparan zat toksik tersebut menyebabkan

hilangnya pengaturan volume pada bagian-bagian sel. Agar kestabilan lingkungan internal terjaga, sel harus mengeluarkan energi metabolik untuk memompa ion natrium keluar dari membran dan ion kalium masuk ke dalam membran. Hal yang dapat mengganggu metabolisme energi dalam sel atau sedikit saja melukai membran sel menyebabkan sel tidak mampu memompa natrium dengan baik. Hal

Kelompok Perubahan Histopatologi

Tubulus Glomerulus Degenerasi Hidropis Apoptosis Endapan Protein Edema K 1.50 a 6.50b 2.00a 3.50 a 3.2 2.83 a 2.17a 4.00a 3.50 a 8 6.00 b 5.00b 4.83a 4.67 a 20 9.00 b 9.00c 8.83b 9.00 b

ini menyebabkan kenaikan konsentrasi natrium dan influks air ke dalam sel. Mekanisme ini menyebabkan perubahan yang disebut pembengkakan sel. Perubahan ini menjelaskan bahwa sewaktu air terakumulasi dalam sitoplasma, organel sitoplasma juga menyerapnya sehingga menyebabkan pembengkakan di mitokondria dan pembesaran retikulum endoplasma (Cheville 1999). Menurut Confer dan Panciera (1995), degenerasi hidropis merupakan gambaran utama dari perubahan sel akut dimana sel kehilangan kontrol terhadap air sehingga menyebabkan sel bengkak. Kerusakan akut terjadi akibat gangguan pada epitel tubulus oleh infeksi, efek toksin secara langsung atau iskhemia. Respon kerusakan setelah degenerasi hidropis diikuti oleh nekrosa dan deskuamasi sel epitel tubulus. Degenerasi hidropis tubuli ginjal disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Tubulus ginjal tikus yang mengalami apoptosis (panah) yang dikelilingi tubuli yang mengalami degenerasi hidropis pasca pemberian fraksi asam amino non-protein A. villosa, dosis 20 g/kg BB. Pewarnaan HE, bar 20 µm.

Panciera 1995). Degenerasi juga dapat diartikan sebagai gangguan mekanisme pemompaan natrium sehingga terjadi penimbunan cairan intraseluler. Degenerasi menunjukkan gangguan biokimiawi sel yang dapat disebabkan oleh iskhemi, metabolisme abnormal, zat kimia.

Dari Tabel 5, dapat dilihat bahwa rataan Kruskal-Wallis apoptosis kelompok dosis 3.2 berbeda nyata (p<0.05) dibandingkan dengan kelompok kontrol, 8 dan 20 g/kg BB, dan kelompok dosis 8 g/kg BB juga berbeda nyata (p<0.05) dibandingkan dengan kelompok dan 20 g/kg BB. Rataan Kruskal-Wallis apoptosis tertinggi terjadi pada kelompok dosis 20 g/kg BB. Hal ini semakin memperjelas bahwa fraksi AANP A. villosa bersifat nefrotoksik, dimana semakin tinggi dosis yang diberikan menyebabkan perubahan histopatologi yang semakin berat.

Kejadian apoptosis juga diikuti dengan adanya endapan protein di lumen tubulus. Dari Tabel 5 terlihat bahwa rataan Kruskal-Wallis endapan protein di tubulus seluruh kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan dengan kelompok control, kecuali kelompok dosis 20 g/kg BB. Hal ini juga memperlihatkan bahwa kerusakan terberat dialami kelompok dosis 20 g/kg BB. Keadaan ini kemungkinan disebabkan menurunnya kemampuan absorbsi tubulus atau terlalu banyaknya protein yang harus diserap kembali oleh tubulus. Menurunnya kemampuan absorbsi tubulus dikarenakan epitel tubulus telah mengalami degenerasi hingga apoptosis yang disebabkan oleh fraksi AANP A.

villosa yang bersifat toksik. Bahan toksik tersebut juga menyebabkan

berkurangnya jumlah tubuli yang sehat sehingga menurunkan daya absorbsinya. Adanya endapan protein dalam tubuli juga mengindikasikan fraksi AANP A.

villosa bersifat nefrotoksik.

Menurut Corwin (2001), adanya endapan protein di tubulus disebabkan peningkatan tekanan osmotik koloid cairan interstitium sehingga mengganggu filtrasi glomerulus dan reabsorbsi tubulus. Menurut Carlton dalam McGavine 1995, protein yang lolos dari glomerulus tidak dapat diserap dengan sempurna oleh epitel-epitel tubulus sehingga terjadi penumpukan protein di lumen tubulus. Endapan protein di lumen tubulus ginjal tikus pasca pemberian fraksi AANP A.

Gambar 6. Endapan protein di lumen tubulus ginjal tikus pasca pemberian fraksi asam amino non-protein A. villosa, dosis 20 g/kg BB. Pewarnaan HE, bar 20 µm.

Perubahan lain yang terlihat pada ginjal tikus adalah edema glomerulus. Dari Tabel 5 terlihat rataan Kruskal-Wallis edema glomerulus seluruh kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan dengan kelompok kontrol, kecuali kelompok dosis 20 g/kg BB. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi AANP A.

villosa tidak hanya bersifat toksik terhadap tubulus namun juga terhadap

glomerulus. Bahan toksik tersebut mengganggu permeabilitas kapiler mesangium sehingga menyebabkan edema glomerulus.

Edema glomerulus merupakan perubahan pertama yang terjadi pada toxic glomerular nephritis. Menurut Cunningham (1992), edema glomerulus terjadi karena adanya peningkatan permeabilitas kapiler mesangium sehingga kapiler glomerulus menjadi permeabel terhadap plasma protein. Proses selanjutnya menyebabkan terjadinya akumulasi massa atau endapan protein pada mesangium hingga ke ruang Bowman. Penyusun massa protein di mesangium maupun di

ruang Bowman adalah glikoprotein yang terlihat berwarna merah pada pewarnaan PAS dan berwarna merah muda pada pewarnaan HE (Maxie dan Prescott 1993).

Penyebab lain dari edema glomerulus adalah adanya kerusakan pada barrier filtrasi glomerulus yang dapat menyebabkan berbagai macam manifestasi klinis pada penyakit ginjal. Bentuk utama dari manifestasi itu adalah lolosnya protein berberat molekul kecil pada filtrat glomerulus di urin. Selain itu, aliran darah yang abnormal pada kapiler juga dapat menyebabkan edema ginjal (Confer dan Panciera 1995). Edema glomerulus pada ginjal tikus pasca pemberian fraksi AANP A. villosa pada uji toksisitas akut disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Edema glomerulus pada ginjal tikus yang dikelilingi oleh tubulus yang mengalami degenerasi hidropis pasca pemberian fraksi asam amino non-protein A. villosa, dosis 20 g/kg BB. Pewarnaan HE, bar 20 µm.

Dokumen terkait