• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSANG

Insang ikan rentan terhadap parasit, bakteri, fungi serta sensitif terhadap perubahan fisik dan kimiawi pada air. Menurut Robert (2001), ada hubungan yang erat antara perubahan-perubahan morfologi insang, stres (Barton 2002) dan beberapa agen infeksius yang dapat dihubungkan dengan proliferasi dan nekrosis sel-sel insang. Morfologi insang dapat menjadi suatu indikator yang baik terhadap kualitas air dan kondisi kesehatan umum ikan yang dibudidayakan. Hasil pengamatan perubahan histopatologi pada insang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perubahan Histopatologi Insang pada Ikan Mujair

No Keterangan Gambaran Histopatologi

1 Ikan Mujair 1 Teleangiektasis, proliferasi sel goblet, hiperplasia, fusi dan desquamasi epitel lamela, kongesti kapiler, hemoragi, infiltrasi sel radang (netrofil) akibat cacing parasit.

2 Ikan Mujair 2 Kongesti kapiler, edema lamela primer, hiperplasia dan fusi epitel lamela.

3 Ikan Mujair 3 Edema lamela sekunder dan lamela primer, hiperplasia dan fusi epitel lamela, kongesti kapiler, hemoragi, teleangiektasis, desquamasi epitel lamela 4 Ikan Mujair 4 Kongesti kapiler, hiperplasia dan fusi epitel lamela,

edema lamela, proliferasi sel goblet, atropi lamela sekunder.

5 Ikan Mujair 5 Hemoragi, hiperplasia, fusi dan desquamasi epitel lamela, edema lamela, proliferasi sel goblet, dan kongesti kapiler.

6 Ikan Mujair 6 Hipertropi sel epitel, hiperplasia dan fusi epitel lamela, proliferasi sel goblet, edema lamela, kongesti dan nekosis sel epitel lamela.

7 Ikan Mujair 7 Kongesti kapiler, proliferasi sel goblet, edema lamela, hiperplasia dan fusi epitel lamela.

8 Ikan Mujair 8 Hiperplasia dan fusi lamela, proliferasi sel goblet, edema lamela dan infeksi parasit cacing.

Lanjutan Tabel 1. Perubahan Histopatologi Insang pada Ikan Mujair

No Keterangan Gambaran Histopatologi

9 Ikan Mujair 9 Proliferasi sel goblet, hiperplasia dan fusi epitel lamela, edema lamela, kongesti kapiler, dan atropi lamela sekunder.

10 Ikan Mujair 10 Proliferasi sel goblet, hiperplasia dan fusi epitel lamela, edema lamela, hemoragi dan infeksi parasit cacing.

11 Ikan Mujair 11 Proliferasi sel goblet, hiperplasia dan fusi epitel lamela, kongesti kapiler, edema lamela, hemoragi, infeksi cacing.

12 Ikan Mujair 12 Hemoragi, infiltrasi sel radang (netrofil), proliferasi sel mukus, edema

Perubahan histopatologi yang paling umum terjadi pada insang ikan mujair dalam penelitian ini adalah hiperplasia dan fusi sel-sel epitel lamela insang lamela seperti gambar 7. Menurut Robert 2001, hiperplasia terjadi pada tingkat iritasi yang lebih rendah dan biasanya disertai peningkatan jumlah sel-sel mukus di dasar lamela dan mengakibatkan fusi dari lamela. Ruang interlamela yang merupakan saluran air dan ruang produksi mukus dapat tersumbat akibat hiperplasia sel epitel yang berasal dari filemen primer. Pada akhirnya, seluruh ruang interlamela diisi oleh sel-sel yang baru. Hiperplasia mengakibatkan penebalan jaringan epitel di ujung filamen yang memperlihatkan bentuk seperti pemukul bisbol (clubbing distal) atau penebalan jaringan epitelium yang terletak di dekat dasar lamela (basal hiperplasia).

Lesio-lesio penting lainnya yang terjadi pada insang ikan mujair berupa gangguan-gangguan aliran darah, termasuk kongesti pembuluh darah, teleangiectasis dan konstriksi dari sinus-sinus pembuluh darah. Perubahan-perubahan akut pada jaringan insang berupa fusi (peleburan) lamela

dan piknosis sel-sel. Pada kasus kronis akan terjadi nekrosis, deskuamasi sel, edema dan ditandai oleh infiltrasi sel-sel granuler eosinofilik (EGCs). Kondisi-kondisi ini dapat mengurangi efisiensi difusi gas (Hoole et al. 2001).

Hiperplasia ini dapat terjadi akibat berbagai polutan kimia dan logam berat terutama Cadmium, Cuprum dan Zinc. Ikan yang terpapar oleh logam berat, deterjen, amoniak, pestisida, dan nitrofenol memperlihatkan pemisahan antara sel epitelium dan sistim yang mendasari sel tiang yang dapat mengarah kepada

runtuhnya keutuhan dari struktur lamela sekunder (Olurin et al. 2006) dan dapat menyebabkan peningkatan jumlah sel-sel klorid.

Chacko (1984) menyatakan bahwa defisiensi nutrisi dapat juga mengakibatkan kondisi-kondisi patologi khusus, misalnya penyakit-penyakit insang yang disebabkan oleh defisiensi asam pantotenat. Defisiensi asam pantotenat dapat menyebabkan pertumbuhan yang buruk, hemoragi, kematian yang tinggi, anemia, hiperplasia dari sel-sel epitel insang, penebalan lamela dan terjadi fusi. Penyakit akibat defisiensi asam pantotenat dapat meningkat menjadi penyakit bakteri jika defisiensi tersebut tidak dapat segera ditangani dan kondisi lingkungan kurang baik. Pada kasus-kasus yang ekstrim, infeksi bakteri mengakibatkan proliferasi epitelium insang dan fusi filamen insang. Salah satu gejala-gejala yang konstan adalah peningkatan sekresi mukus oleh insang (Schachte 2008). Insang membengkak dan terjadi kongesti yang mengakibatkan insang terlihat lebih merah dari biasanya. Kasus utama pada lamela, yaitu "Clubbing" dan peleburan (fusi) dari lamela akibat hiperplasia epitelium insang (Gambar 8). Tabel 2 memperlihatkan perbedaan perubahan histopatologi akibat Gambar 7. Hiperplasia dan fusi epitel lamela. Pewarnaan HE (Bar = 100 μm).

bakteri dan defisiensi asam pantotenat menurut Wood dan Yasutake (1957) dalam Shiau (2002).

Tabel 2. Perbedaan Histopatologi antara Penyakit Insang akibat Bakteri dan Penyakit Insang akibat Defisiensi Asam Pantotenat

No Pembeda Penyakit Insang

akibat Bakteri Penyakit Insang Perihal Nutrisi 1 2 3 4 5 6 Hiperplasia lamela

Hiperplasia di dasar lamela Hiperplasia di ujung lamela

Lesio bermula di akhir distal filamen Lamela memendek

Lamela memanjang dan bengkok

Ya Tidak Ya Kadang-kadang Tidak Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak

Sumber: Wood dan Yasutake (1957) dalam Shiau (2002).

Gambar 8. Clubbing dan fusi lamela sekunder pada ujung filamen insang. Lamela memanjang dan bengkok serta hemoragi (a). Pewarnaan HE (Bar = 100 μm).

Perubahan lain yang ditemukan pada insang ikan mujair dalam penelitian ini adalah edema, desquamasi lamela, yaitu pemisahan epitel pernapasan pada lamela primer dan lamela sekunder yang disertai nekrosis sel epitel lamela serta akumumlasi mukus (Gambar 9). Robert (2001) menyatakan bahwa pembengkakan pada lamela sekunder dapat dihubungkan dengan edema lamela, hipertropi sel epitel dan perubahan pada dasar arsitektur sel tiang. Edema sering terjadi akibat pemaparan polutan-polutan yang berasal dari bahan kimia, seperti logam-logam berat, metaloid, pestisida, dan penggunaan bahan-bahan terapeutik (formalin dan H2O2) yang berlebihan. Hal ini sesuai dengan penelitian Crespo et al. (1988) yang menyatakan bahwa beberapa kasus berat akibat polutan kimia dan logam berat pada ikan budi daya Salmo trutta fario terjadi akumulasi mukus, hiperplasia epitel, yang diikuti oleh kematian sel epitel, embolisme, infiltrasi sel radang berupa pengerahan EGCs dan limfosit ke lamela sekunder. Menurut Nilsson1 (2005), pembengkakan, deskuamasi epitel dan fusi lamela pada insang ikan mas dapat disebabkan oleh panas dan polusi (asam, amonia, logam berat, pestisida) yang menyebabkan berubahnya struktur sel klorid.

Gambar 9. Edema filamen (a) dan lamela sekunder (b), serta desquamasi lamela (c) yang mungkin terjadi akibat zat-zat kimia dan logam-logam berat. Pewarnaan HE (Bar = 60 μm).

b

Ada beberapa permasalahan yang dapat mempengaruhi struktur dan fungsi insang. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh agen-agen seperti parasit cacing. Monogenea dapat dikategorikan sebagai salah satu dari cacing parasit yang sering mempengaruhi insang sehingga dapat menyebabkan iritasi dan nekrosis insang menuju ke arah perusakan pernapasan (Snieszko dan Axelord 1971). Gambar 11 kemungkinannya merupakan Monogenea Dactylogyridae.

Dactylogyridae merupakan cacing parasit insang yang paling umum ditemukan pada ikan air tawar khususnya ikan muda (Robert 2001). Ikan muda dari tilapia lebih peka terhadap monogeniasis (sebagian besar Dactylogyrus dan Gyrodactylus) dibandingkan ikan dewasa (Diab et al. ). Faktor predisposisi akibat investasi berat monogenea dapat berupa buruknya sanitasi dan kepadatan lingkungan ikan. Cacing menempel pada kulit, sirip dan insang dengan bantuan organ khusus (opisthohaptors). Organ ini biasanya terdiri atas kait-kait ganda atau alat penghisap seperti cakram. Jumlah parasit yang sedikit pada insang biasanya dapat ditoleransi, apabila parasit dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan kematian ikan. Monogenea hidup pada lapisan-lapisan superfisial kulit dan insang yang mengakibatkan iritasi fokal, hemoragi, dan penampilan seperti awan akibat akumulasi mukus yang berlebihan. Sel-sel goblet membebaskan material mukusnya ke permukaan epitelial untuk melindungi jaringan insang.

Terdapat dua jenis cacing parasit monogenea yang sering menyerang ikan mujair dan menyebabkan perubahan patologi pada insang, yaitu:

1) Gyrodactylusspp. : Parasit pada kulit dan insang; pipih dan seperti daun, tanpa bintik mata, ujung kepala berbentuk V; organ untuk menempel (opisthohaptor) memiliki dua alat penempel yang besar dengan 16 kait tipis.

2) Dactylogyrus spp.: Parasit insang; pipih dan seperti daun, memiliki dua atau empat bintik mata anterior; ujung kepala seperti kulit kerang; terdapat telur; organ menempel (opisthohaptor) memiliki jangkar-jangkar.

Kedua monogenea tersebut memiliki siklus hidup langsung. Gyrodactylus spp. bersifat vivipar, larva dilepaskan dan langsung menempel pada inang. Dactylogyrus spp. bersifat ovipar dan menghasilkan telur dengan filamen panjang yang biasanya menempel pada insang. Telur Dactylogyrus spp. yang berkembang menjadi oncomirasidium yang kemudian menempel pada insang ikan.

Perubahan-perubahan histopatologi yang terjadi pada ikan mujair dalam penelitian ini akibat cacing parasit sebagian besar berupa hiperplasia, desquamasi lamela insang sekunder, kongesti pembuluh darah yang berdekatan yang disertai oleh peningkatan jumlah sel-sel granul eosinofil (EGCs)(Gambar 10).

Gambar 10. Hemoragi (a), edema (b), proliferasi sel epitel (c) dan infiltrasi sel-sel granul eosinofil (d). Pewarnaan HE (Bar = 20 μm).

a

d

d

b

Gambar 11. Monogenea (a) pada insang. Terjadi edema lamela sekunder (b) dan primer (c), hemoragi (d) dan proliferasi sel goblet (e). Pewarnaan HE (A. Bar = 60 μm, B. Bar = 40 μ m).

a

b

d

c

e

e

A

B

Robert (2001) menyatakan bahwa myxospora merupakan parasit kulit dan insang yang paling umum menginfeksi ikan air laut dan ikan air tawar. Banyak spesies dari myxospora telah teridentifikasi, tetapi hanya beberapa spesies yang bersifat patogen. Beberapa jenis myxospora pada umumnya membentuk plasmodia di dalam lamela insang dan lainnya di filamen insang (Molnar 2002). Pada insang infeksi tipe ini (Gambar 12) kemungkinannya disebabkan oleh protozoa myxospora. Plasmodia berkembang di dalam epitel banyak lapis lamela insang, yaitu diantara 2 lamela yang bersebelahan. Plasmodia mengisi ruang interlamela.

Pada gambar 13, plasmodia besar dibentuk di dalam epitel banyak lapis dari filamen (di daerah tanpa lamela sekunder). Infeksi jenis ini adakalanya teramati pada beberapa jenis plasmodia yang tidak teridentifikasi; akan tetapi, tidak ada dokumentasi yang sesuai untuk mendukung hal ini (Molnar 2002). Perubahan histopatologi pada insang ikan mujair dalam penelitian akibat protozoa ini sebagian besar berupa perusakan epitel lamela, edema, desquamasi epitel, Gambar 12. Myxospora plasmodia di epitel antara lamela insang (X). Terjadi hemoragi (a) dan infiltrasi sel radang (Z), desquamasi lamela (b), edema filamen (c) dan hipertropi sel (d). Pewrnaan HE (Bar = 20 μm).

x

d

a

c

b

z

hemoragi, hipertropi sel dan infiltrasi sel radang. Menurut Robert 2001, Protozoa ini dapat menyebabkan anemia dan kematian ikan.

Menurut Crespo et al. (1988), suatu karakteristik perubahan patologi pada insang ikan yang dihubungkan dengan trauma fisik atau kimia adalah kondisi yang dikenal sebagai teleangiektasis. Gambar 14 merupakan teleangiektasis yang ditemukan di lamela sekunder ikan mujair. Lesio ini menyebabkan rupturnya pilar penahan atau sel-sel tiang lamela sekunder ikan mujair, terjadi dilatasi kapiler, genangan darah, trombus dan pada akhirnya fibrosa, fusi dengan lamela yang bersebelahan. Robert (2001) menyatakan bahwa teleangiektasis ini dapat mengakibatkan dua atau tiga lamela melebur (fusi), dan biasanya terjadi edema maupun deskuamasi epitel.

Teleangiektasis biasanya ditemukan pada ikan yang dibudidayakan setelah pergantian air kolam, berasosiasi dengan kondisi parasit, sisa metabolisme dan polutan kimia. Jika banyak terjadi teleangiektasis lamela, maka fungsi pernapasan dapat terganggu, terutama pada temperatur-temperatur tinggi, tingkat oksigen terlarut yang rendah dan kebutuhan akan oksigen metabolik tinggi dari normal. Gambar 13. Myxospora plasmodia di epitel filamen insang (X). Terjadi infiltrasi sel radang (neutrofil) (a) dan proliferasi sel epitel (b). Pewarnaan HE. (Bar = 20 μm).

a

x

Hemoragi dapat terjadi jika pada ikan terjadi trauma yang berkelanjutan, ruptur dan fatal. Teleangiektasis (dilatasi lamela insang) dapat terjadi akibat pemaparan NH3, kerusakan mekanis, bahan toksik, virus, bakteri, toksin bakteri, parasit dan dalam beberapa kasus defisiensi nutrisi (Plumb 1994).

OTOT

Perubahan-perubahan patologi utama pada otot ikan mujair adalah gangguan-gangguan terhadap perkembangan dan pertumbuhan akibat suatu respon terhadap infeksi, bahan toksik, atau iritan lain. Perubahan-perubahan ini dapat melibatkan pertumbuhan berlebihan, pertumbuhan tidak sempurna, atau pola pertumbuhan abnormal pada jaringan atau organ. Hasil pengamatan perubahan histopatologi pada otot dapat dilihat pada Tabel 3.

Pada penelitian ini perubahan yang terjadi pada otot ikan mujair berupa atropi (Gambar 15). Atropi adalah suatu proses berkurangnya ukuran dari suatu bagian tubuh atau organ karena pengurangan ukuran atau jumlah dari sel-sel yang Gambar 14. Teleangiektasis lamela sekunder (a). Ruptur sel tiang lamela sekunder, edema filamen (b), desquamasi epitel lamela (c) dan proliferasi sel goblet (d). Pewarnaan HE (Bar = 40 μm).

b

a

c

ada dan biasanya berlangsung lambat. Pada otot ikan mujair yang atropi, sarkoplasma lebih tipis dan menghilang, lepas dari sarkolema dan endomisium. Atropi dapat disebabkan oleh kelaparan atau malnutrisi (penyebab paling umum), kekurangan suplai darah yang cukup atau infeksi kronis (Plumb 1994).

Tabel 3. Perubahan Histopatologi Otot pada Ikan Mujair

No Keterangan Gambaran Histopatologi

1 Ikan Mujair 1 Atropi serabut otot, degenerasi dan nekrosis sel-sel otot, edema serta adanya infeksi protozoa.

2 Ikan Mujair 2 Hemoragi, infiltrasi sel radang (Limfosit) akibat infeksi protozoa, degenerasi dan nekrosis sel-sel otot, serta edema.

3 Ikan Mujair 3 Degenerasi hyalin dan zenkers, dan edema pada serabut otot.

4 Ikan Mujair 4 Degenerasi dan nekrosis serabut otot.

5 Ikan Mujair 5 Edema, degenerasi dan nekrosis serabut otot.

6 Ikan Mujair 6 Degenerasi dan nekrosis serabut otot, infeksi protozoa 7 Ikan Mujair 7 Degenerasi dan nekrosis serabut otot, infeksi protozoa 8 Ikan Mujair 8 Degenerasi dan nekrosis serabut otot serta infiltrasi sel

lemak.

9 Ikan Mujair 9 Degenerasi dan nekrosis serabut otot serta edema. 10 Ikan Mujair 10 Degenerasi dan nekrosis serabut otot, edema dan

infiltrasi sel lemak.

11 Ikan Mujair 11 Degenerasi dan nekrosis serabut otot, edema dan infiltrasi sel lemak.

12 Ikan Mujair 12 Degenerasi dan nekrosi serabut otot.

Perubahan lain yang terjadi pada otot ikan mujair dalam penelitian ini adalah degenerasi dan nekrosis sel-sel otot. Gambar 15, otot ikan mujair terlihat berlubang, terjadi migrasi nukleus, nekrosis sarkoplasma, edema yang terlokalisir dan inti sel otot mengalami karyopiknosis dan karyorhexis. Degenerasi dan nekosis sel otot dapat disebabkan oleh kekurangan dari material essensial (misalnya, oksigen atau asam pantotenat), kekurangan sumber energi yang menggangngu metabolisme, pemanasan mekanik atau luka akibat listrik, akumulasi subtansi yang abnormal di dalam sel-sel yang disebabkan oleh virus, bakteri, parasit, bahan kimia beracun, ketidakseimbangan nutrisi dan zat-zat iritan ringan (Feist 2003).

Menurut Smith dan Thomas (1961), Degenerasi lemak merupakan hasil dari suatu akumulasi lipid, terutama di dalam hati yang diikuti piknosis serta nekrosis. Degenerasi lemak dapat terjadi pada otot, tetapi sangat jarang misalnya pada gambar 16. Pada otot ikan mujair, lemak kelihatan sebagai ruang kosong, bersih atau hampir bersih, tidak bernoda atau tidak terwarnai, membulat di dalam jaringan otot. Perubahan ini biasanya disebabkan oleh suatu penyakit infeksi, ketidakseimbangan nutrisi, hipoksia, anemia, dan mungkin beberapa bahan toksik. Gambar 15. Atropi sel otot berwarna lebih merah (a), degenerasi dan nekrosis serabut otot (b). Pewarnaan HE (Bar = 20 μm).

a

b

b

Gambar 17 merupakan perubahan histopatologi yang ditemukan dalam otot ikan mujair penelitian berupa degenerasi hialin dan zenkers. Otot ikan mujair memperlihatkan serabut-serabut yang membengkak, homogen dan berwarna pink. Otot kelihatan pucat atau putih serta agak berkilauan, sarkoplasma asidofilik, miofibril-miofibril tidak dapat terlihat, nukleus gelap dan kecil pada daerah yang terjadi degenerasi zenkers. Smith dan Thomas (1961) menyatakan bahwa serabut-serabut otot yang mengalami zenkers biasanya mengalami nekrosis. Regenerasi serabut otot yang lain dapat terlihat disekitar serabut otot yang mengalami Zenkers, tetapi hal ini jarang terjadi. Zenkers biasanya diakibatkan oleh toksin atau mikroorganisme patogen yang muncul dalam hubungannya dengan infeksi lokal dan sistemik.

Pada Gambar 18 jaringan otot ikan mujair memperlihatkan suatu edema, ruang antara sel-sel dan serabut otot yang bersebelahan meluas, satu atau dua nukleus menempel di dalam serabut dan yang lainnya terdislokasi. Hibiya dan Fumio (1995) menyatakan bahwa nukleus biasanya terletak berdekatan dengan permukaan dalam sarkolema dan terlihat di perifer serabut otot apabila otot Gambar 16. Degenerasi lemak (b) dan edema (c). Pewarnaan HE (Bar = 40 μm).

b

c

dipotong secara melintang. Edema dapat disebabkan oleh kelebihan cairan (air) di dalam rongga antarsel, termasuk rongga-rongga tubuh yang biasanya terjadi akibat konsekuensi pasca kongesti.

x

a

b

a

a

a

Gambar 17. Degenerasi Hialin dan Zenkers (a) pada serabut otot. Pewarnaan HE (Bar = 40 μm).

Gambar 18 Edema pada otot berupa rongga antar serabut otot (x). Dislokasi nukleus (a) dan endomisium (c) pada serabut otot akibat edema. Pewarnaan HE (Bar = 40 μm).

Perubahan-perubahan patologi pada sel otot ikan mujair dapat juga disebabkan oleh parasit protozoa. Gambar 19 dan 20 kemungkinan adalah salah satu parasit protozoa mikrospora yang menyebabkan otot degenerasi, nekrosis, hemoragi dan adanya infiltrasi sel radang. Menurut Langdon et al. (1992), Mikrospora merupakan satu-satunya protozoa yang memiliki spora Gram-positif dan parasit intrasel yang banyak menginfeksi grup hewan, termasuk ikan air tawar yang dibudidayakan. Mikrospora muncul sebagai kista individu atau ganda yang dapat membesar (dengan diameter sampai beberapa mm). Kista-kista yang besar ini berisi spora-spora refraktil disebut xenomas yang berukuran antara 1 sampai 2 µm dan dapat menyebabkan myoliquefaksi. Kista parasit dapat menginduksi hipertropi sel yang terinfeksi (Glugea spp., Loma spp., Spraguea spp., dan Ichthyosporidium spp.) atau tidak menyebabkan hipertropi sel yang terinfeksi (Pleistophora spp.). Mikrospora dapat ditemukan pada sejumlah besar ikan air tawar dan ikan air laut. Beberapa mikrospora memenempati inang yang tepat dan jaringan yang spesifik, sedangkan beberapa lainnya memiliki kisaran inang yang luas.

Gambar 19. Gambaran histologi jaringan otot yang terinfeksi Mikrospora. Infiltrasi sel radang, degenerasi otot dan hemoragi . Pewarnaan HE (Bar = 20 μm).

Gambar 20. Gambaran histologi jaringan otot yang terinfeksi Mikrospora. Multifokal spora (Gambar B) dan nekrotik jaringan (Gambar A). Pewarnaan HE (A. Bar = 100 μm, B. Bar = 40 μm).

B

Dengan jelas, kerusakan yang signifikan pada otot akan merugikan karena mempengaruhi kinerja ikan untuk mencari makan, bermigrasi ke tempat bertelur dan menghindari pemangsa.

USUS

Usus adalah salah satu organ yang sering terpapar oleh agen-agen penyakit. Hasil pengamatan perubahan histopatologi pada usus dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perubahan Histopatologi Usus pada Ikan Mujair

No Keterangan Gambaran Histopatologi

1 Ikan Mujair 1 Proliferasi sel goblet dan infeksi protozoa.

2 Ikan Mujair 2 Desquamasi epitel, proliferasi sel goblet, edema submukosa dan infiltrasi melano-makrofag centers(MMCs).

3 Ikan Mujair 3 Proliferasi sel goblet, edema submukosa, nekrosis epitel, kongesti pembuluh darah dan desquamasi epitel usus.

4 Ikan Mujair 4 Proliferasi sel goblet, hemoragi, edema, degenerasi pada tunika muskularis, nekrosis sel, dan desquamasi lapisan epitel.

5 Ikan Mujair 5

6 Ikan Mujair 6 Desquamasi lapisan epitel usus, proliferasi sel goblet, nekrosis sel, edema submukosa, infiltrasi sel-sel limfoid dan MMCs, serta atropi vili.

7 Ikan Mujair 7 Proliferasi sel goblet, kongesti pembuluh darah, edema dan hemoragi.

8 Ikan Mujair 8 Proliferasi sel goblet, edema submukosa, dan infeksi protozoa.

9 Ikan Mujair 9 Proliferasi sel goblet, edema, desquamasi lapisan epitel, degenerasi otot dan nekrosi sel.

10 Ikan Mujair 10 Proliferasi sel goblet, infiltrasi sel-sel limfoid, edema dan desquamasi lapisan epitel.

11 Ikan Mujair 11 Edema submukosa, nekrosis sel epitel, proliferasi sel gobletdan desquamasi lapisan epitel

Perubahan histopatologi yang terjadi pada usus halus ikan mujair dalam penelitian ini, yaitu proliferasi sel goblet, hemoragi, atropi vili usus, kongesti, desquamasi epitel dan edema. Gambar 21 dan 22 adalah perubahan yang berupa atropi vili dan nekrosis dari sel epitelium mukosa duodenum. Perubahan ini paling umum terjadi di dalam saluran pencernaan. Deskuamasi epitelium mukosa atau infiltrasi limfosit ke dalam lamina propia dan submukosa mengikuti perubahan tersebut. Lesio ini dapat menyebabkan saluran pencernaan berdilatasi, hilang keelastisannya, desquamasi epitelium atau darah yang bercampur eksudat dan lendir juga hadir di dalam lumen. Hiperplasia dan deskuamasi epitelium mukosa yang disertai haemoragi dari lamina propia merupakan suatu contoh akibat degenerasi progesif di dalam saluran pencernaan. Hiperplastik akibat penebalan epitelium mukosa dapat menyebabkan konstriksi lumen saluran pencernaan (Plumb 1994).

Menurut Robert (2001), pada kondisi toksik akut yang disebabkan oleh toksin bakteri, virus, parasit, zat kimia atau alga, mukosa usus dapat terangkat seluruhnya. Sel-sel epitel mukosa usus individu dapat menggulung yang disertai

a

c

b

Gambar 21. Kongesti pembuluh darah (a), edema submukosa (b), proliferasi sel goblet (c) dan degenerasi hyalin pada tunika muskularis . Pewarnaan HE (Bar = 100 μm).

penebalan kromatin dan sitoplasma eosinofil yang dapat terjadi akibat kelaparan dan kondisi kaheksia. Pada bentuk khusus terjadi pelepasan mukosa ke dalam lumen, kadang-kadang disertai hemoragi dan edema submukosa.

MMCs (Melano-makrofag centers) banyak ditemukan di dalam jaringan limfoid kebanyakan ikan dan juga pada lesio-lesio akibat peradangan, misalnya gambar 22. Menurut Ellis (1981b), melanin pada organ viscera dapat sebagai alat perlindungan dari kerusakan akibat radikal bebas.

Pada kondisi pembudidayaan yang intensif, peluang untuk terinfeksi berat oleh parasit ada dan perubahan patologi usus ikan dapat terjadi sebagai contoh penyakit protozoa seperti koksidiosis. Gambar 23 kemungkinan merupakan protozoa koksidia. Perubahan histopatologi yang terjadi pada usus ikan mujair dalam penelitian akibat protozoa koksidia yang terdapat pada mukosa epitel usus ini berupa proliferasi sel goblet, edema, hemoragi dan kerusakan sel epitel. Hal ini sesuai dengan penelitian Molnar (1989) yang menyatakan bahwa pada ikan cyprinid, protozoa koksidia ini berkembang di dalam epitelium dan adakalanya di dalam lamina propria dan menyebabkan atropi epitel usus (Kent 2002). Pengaruh Gambar 22. Infiltrasi sel-sel limfoid (a), edema submucosa (b), nekrosa dan atropi vili usus (x). Pewarnaan HE (Bar = 20 μm).

MMCs

a

b

patologi terbatas pada kehancuran sel-sel epitelia yang terinfeksi. Mukus dilepaskan dari sel epitel, melindungi usus dalam bentuk seperti tabung dan berisi massa ookista. Sampai kini, informasi mengenai koksidia ikan masih terbatas,

Dokumen terkait