• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberian Daun A. villosa Dikukus dan Tidak Dikukus terhadap Perubahan Histopatologi Lambung Tikus

Pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus berpengaruh terhadap gambaran histopatologi lambung tikus yaitu pada lapis sel Chief dengan mukosa, adanya infiltrasi sel radang netrofil dan deskuamasi epitel (Tabel 3).

Tabel 3 Pengaruh pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus terhadap rasio lapis sel Chief dengan mukosa, infiltrasi sel radang netrofil dan

derajat deskuamasi epitel mukosa lambung Kelompok Lapis sel Chief

dengan mukosa

Jumlah sel radang netrofil Derajat deskuamasi K 0.340±0.033a 94.167±20.683a Ringan KS 0.426±0.042b 77.667±20.633a Ringan TKS 0.157±0.048c 121.000±22.830b Berat

Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

Kelompok KS memiliki rasio lapis sel Chief dengan mukosa lambung yang paling tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan kelompok K dan TKS, dan kelompok TKS memperlihatkan hasil yang paling rendah (p<0.05).

Di dalam lambung, bahan makanan yang mengandung protein tinggi seperti protein A. villosa dipecah menjadi molekul sederhana oleh enzim proteolitik yang dihasilkan sel Chief dalam bentuk inaktif yaitu pepsinogen (Herdt 1997). Tingginya rasio sel Chief dengan mukosa pada kelompok KS disebabkan oleh aktivitas enzim proteolitik yang tinggi karena banyaknya protein yang harus dicerna. Banyaknya jumlah protein tersebut diakibatkan oleh berkurangnya potensi tanin yang mengikat protein akibat pengukusan daun A. villosa. Thomas et al. (1982) dan Waghorn et al. (1987) diacu dalamFirdus et al. (2004) melaporkan bahwa perlakuan fisik dengan cara pengeringan dan pengukusan dapat mengurangi daya ikat komplek tanin-protein kaliandra. Berkurangnya daya ikat komplek tanin-protein menyebabkan protein dapat dicerna lebih baik oleh tubuh hewan.

Kelompok TKS memiliki rasio lapis sel Chief dengan mukosa yang paling rendah diantara ketiga kelompok tersebut (Tabel 3). Rendahnya rasio lapis sel Chief dengan mukosa pada kelompok TKS diakibatkan oleh pemberian A. villosa

segar (tidak dikukus). A. villosa segar masih mengandung senyawa sekunder tanin yang cukup tinggi sehingga ikatan tanin-protein tinggi. Tingginya kadar protein yang terikat tanin menyebabkan berkurangnya jumlah protein yang dapat didegradasi oleh enzim proteolitik, sehingga menyebabkan sel-sel Chief menjadi kurang aktif untuk mensekresi enzim. Dengan kata lain, aktivitas enzim proteolitik pada kelompok TKS rendah. Pada domba, adanya tanin dalam pakan merupakan penyebab utama menurunnya kecernaan protein melalui mekanisme penghambatan degradasi protein (Norton 2000; Norton dan Ahn 1997) dan penghambatan enzim proteolitik di dalam rumen (Jones et al. 1994, diacu dalam Acamovic dan Stewart 2000). Bansi (2001) melaporkan bahwa jenis tanin terbesar yang terkandung dalam A. villosa adalah tanin terkondensasi. Brooker (2000) menyatakan bahwa pakan yang mengandung tanin terkondensasi menyebabkan terbuangnya protein endogenus dan menghambat aktivitas enzim gastrointestinal pada bebek.

Perbedaan rasio lapis lapis sel Chief dengan mukosa pada kelompok K, KS dan TKS disajikan pada Gambar 4.

(a) (b) (c)

Gambar 4 Lapis sel Chief pada lambung tikus kelompok K (a), KS (b) dan TKS (c) pasca pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus Pewarnaan HE, bar 50µm.

Berdasarkan hasil uji ANOVA diperoleh nilai R2= 89.79%, yang berarti pengaruh pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus terhadap rasio lapis sel Chief dengan mukosa sebesar 89.79%, sedangkan sisanya merupakan pengaruh faktor yang lain. Tingginya rasio lapis sel Chief dengan mukosa kelompok KS diduga disebabkan oleh berkurangnya potensi ikatan tanin-protein, sehingga protein bebas yang lebih banyak dalam lambung akan merangsang aktivitas sel Chief yang lebih tinggi.

Hasil penghitungan sel radang netrofil lambung tikus kelompok K tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan kelompok KS, namun berbeda nyata (p<0.05) dengan kelompok TKS (Tabel 3). Berdasarkan hasil uji ANOVA diperoleh nilai R2= 45.51%, yang berarti pengaruh pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus terhadap jumlah sel radang netrofil sebesar 45.51%, sedangkan sisanya merupakan pengaruh faktor lain seperti pakan maupun kebersihan individu. Keberadaan sel radang dapat bersifat fisiologis maupun patologis. Brown dan Hardisty (1990) melaporkan bahwa secara fisiologis sel limfosit, plasma, netrofil dan sel mast ditemukan pada lamina propria lambung tikus. Ardyanti (2006) melaporkan bahwa kambing yang diberi pakan A. villosa dengan pola adaptasi selama sebulan menunjukkan adanya akumulasi sel radang pada rumen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemberian A. villosa dapat menginduksi akumulasi sel radang di lambung dan pemberian daun tidak dikukus menginduksi akumulasi netrofil.

Lebih banyaknya infiltrasi sel radang netrofil pada kelompok TKS kemungkinan disebabkan oleh toksin A. villosa yang berpotensi merusak sel. Menurut Pell et al. (2000) tanin diduga memiliki peran bersifat toksin terhadap sel walaupun fakta mengenai efeknya terhadap organel intraseluler sedikit diketahui. Oritz et al. (1994), diacu dalam Farrel dan Perez-Maldonado (2000) melaporkan bahwa tanin dapat merusak mukosa traktus gastrointestinal ayam, namun tingkat kerusakannya pada tikus percobaan lebih sedikit. Kerusakan mukosa lambung pada kelompok TKS seperti deskuamasi epitel lambung yang berat (Gambar 6b) dapat menjadi stimulan untuk datangnya netrofil. Infiltrasi netrofil menunjukkan adanya peradangan karena netrofil merupakan leukosit yang paling aktif dalam peristiwa peradangan akut yang distimulasi oleh sel-sel nekrosa. Netrofil

berfungsi sebagai fagosit partikel-partikel kecil, memangsa bahan asing seperti karbon, pigmen, reruntuhan sel dan kuman (Smith et al. 1974). Gambaran histopatologi infiltrasi sel radang netrofil pada kelompok TKS disajikan pada Gambar 5.

Lebih ringannya infiltrasi netrofil pada kelompok KS disebabkan oleh berkurangnya potensi toksin A. villosa akibat pengukusan. Berkurangnya potensi toksin menurunkan kemampuannya merusak sel sehingga kerusakan mukosa lambung bersifat ringan. Dengan demikian, stimulan untuk mendatangkan netrofil menjadi lebih rendah.

(a) (b)

Gambar 5 Infiltrasi sel radang netrofil pada mukosa lambung tikus kelompok TKS pasca pemberian A. villosa tidak dikukus. Pewarnaan HE, bar 50

μm (a) dan bar 20 μm (b).

Deskuamasi merupakan kejadian lepasnya sel epitel dari permukaan jaringan (Anonim 2006). Pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus menyebabkan deskuamasi epitel mukosa lambung dengan derajat keparahan yang berbeda pada ketiga kelompok. Terjadinya deskuamasi epitel lambung merupakan respon pertahanan jaringan terhadap suatu gertakan (iritan) (Smith et al. 1974). Hal tersebut mengindikasikan bahwa toksin A. villosa bersifat iritan pada lambung tikus sehingga menyebabkan terjadinya deskuamasi.

Kelompok TKS memperlihatkan derajat deskuamasi epitel yang paling berat, sedangkan kelompok KS memperlihatkan derajat deskuamasi epitel mukosa lambung ringan. Hal tersebut disebabkan oleh pengukusan daun A. villosa yang dapat mengurangi potensi toksikan sehingga mengurangi kejadian peradangan. Gambaran histopatologi deskuamasi epitel lambung disajikan pada Gambar 6.

(a) (b)

Gambar 6 Deskuamasi epitel mukosa lambung dengan derajat keparahan ringan (a) pasca pemberian daun A. villosa dikukus dan berat (b) pasca pemberian daun A. villosa tidak dikukus. Pewarnaan HE, bar 20 µm.

Pengaruh Pemberian Daun A. villosa Dikukus dan Tidak Dikukus terhadap Perubahan Histopatologi Duodenum Tikus

Pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus berpengaruh terhadap gambaran histopatologi duodenum tikus yaitu pada jumlah sel goblet kripta, hiperplasia enterosit, deskuamasi enterosit serta demielinasi pleksus Auerbach’s dan Meissner’s yang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Pengaruh pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus terhadap jumlah sel goblet, hiperplasia enterosit, deskuamasi enterosit serta

demielinasi pleksus Auerbach’s dan Meissner’s

Kelompok Jumlah sel goblet kripta Persentase individu yang mengalami hiperplasia enterosit Derajat deskuamasi enterosit Demielinasi pleksus Auerbach’s dan Meissner’s K 121,500±27,199a 0% Ringan Tidak ada demielinasi KS 178,250±5,912b 16.67% Ringan Demielinasi TKS 217,833±31,971c 100% Berat Demielinasi

Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

Hasil penghitungan jumlah sel goblet kripta duodenum tikus menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) antara ketiga kelompok. Berdasarkan hasil uji ANOVA diperoleh nilai R2= 75.80%, yang berarti pengaruh pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus terhadap jumlah sel goblet kripta sebesar 75.80%, sedangkan sisanya merupakan pengaruh faktor lain. Ardyanti (2006) melaporkan bahwa pada kambing yang diberi A. villosa dengan pola adaptasi selama sebulan menunjukkan proliferasi sel goblet. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemberian A. villosa dapat menginduksi terjadinya proliferasi sel goblet

Kelompok TKS memperlihatkan jumlah sel goblet kripta yang paling tinggi. Tingginya jumlah sel goblet kripta tersebut mengindikasikan bahwa kandungan toksin daun A. villosa bersifat iritan sehingga menyebabkan proliferasi sel goblet. Sel goblet mensekresi mukus dan berfungsi melindungi dinding usus sebagai respon terhadap rangsangan yang bersifat iritasi (Guyton & Hall 1997). Menurut Smith et al. (1974), jumlah sel goblet pada mukosa bervariasi dan dapat bertambah apabila ada stimulan yang tepat seperti terpapar oleh senyawa kimia atau pakan yang bersifat iritan. Akibat stimulan tersebut, enterosit bermetaplasia menjadi sel goblet. Proliferasi sel goblet akibat metaplasia enterosit tidak hanya terjadi pada sel goblet kripta tetapi juga pada sel goblet permukaan mukosa duodenum (Gambar 7b). Berdasarkan hasil penelitian Sell et al. (1985), tikus yang mengkonsumsi 92% sorgum bertanin tinggi selama 3 hari menyebabkan hipersekresi musin pada mukosa lambung dan duodenum. Namun, belum

diketahui hipersekresi tersebut merupakan efek langsung dari kerja tanin atau efek tidak langsung akibat menurunnya kecernaan. Jumlah sel goblet kripta kelompok KS lebih rendah dan berbeda nyata (p<0.05) dibandingkan kelompok TKS. Hal tersebut disebabkan menurunnya stimulan yang bersifat iritan berupa menurunnya potensi zat toksik A. villosa pengukusan.

Hiperplasia adalah peningkatan jumlah sel yang terjadi pada suatu organ akibat peningkatan mitosis (Corwin 2001). Hiperplasia enterosit dapat disebabkan oleh perubahan pakan dan hormonal. Selain itu dapat juga disebabkan oleh ulserasi atau toksisitas (Shackelford dan Elwell 1999). Kejadian hiperplasia enterosit pada duodenum disajikan pada Gambar 7.

(a) (b)

Gambar 7 Hiperplasia enterosit duodenum tikus kelompok TKS pasca pemberian daun A. villosa tidak dikukus. Pewarnaan HE, bar 50 µm (a) dan bar 20 µm (b).

Berdasarkan Tabel 4, dapat diketahui bahwa seluruh tikus (100%) kelompok TKS mengalami hiperplasia enterosit, sedangkan pada kelompok KS hanya 16.67%. Tingginya kejadian hiperplasia enterosit pada kelompok TKS distimulasi oleh pengaruh toksin yang terkandung dalam daun A. villosa. Brooker

et al. (2000) melaporkan bahwa tanin memiliki kemampuan menginduksi perubahan mukosa usus, seperti abnormalitas struktur vili. Ardyanti (2006) melaporkan pada kambing yang diberi A. villosa dengan pola adaptasi selama sebulan menunjukkan hiperplasia pada epitel rumen. Smith et al. (1974) menyatakan bahwa iritasi kronis dapat menginduksi hiperplasia seperti pada kasus hiperplasia saluran empedu kelinci akibat koksidiosis.

Rendahnya kejadian hiperplasia enterosit pada kelompok KS disebabkan oleh potensi toksin A. villosa sudah terkurangi akibat pengukusan. Pada hewan yang sensitif, sejumlah kecil toksin yang tersisa dapat menginduksi kejadian hiperplasia enterosit. Toksin A. villosa dapat menstimulasi hiperplasia enterosit dengan tujuan agar daya serap protein dan produksi enzim meningkat. Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa kelompok TKS mengalami kejadian deskuamasi enterosit yang berat. Hal tersebut mengindikasikan bahwa toksin A. villosa dapat mengiritasi enterosit sehingga menyebabkan deskuamasi. Ringannya deskuamasi enterosit kelompok KS disebabkan oleh pengukusan A. villosa yang dapat mengurangi potensi toksinnya sehingga penyebab iritan tidak sebanyak pada kelompok TKS. Kejadian deskuamasi enterosit dapat bersifat fisiologis maupun patologis. Pada keadaan fisiologis, sel-sel enterosit baru yang berasal dari kripta Liberkuhn akan bermigrasi menuju ujung vili menggantikan sel-sel enterosit yang rusak setiap 4-7 hari (Herdt 1997).

Deskuamasi enterosit yang bersifat patologis diantaranya dapat disebabkan oleh akumulasi asam empedu dan bakteri yang menyebabkan kerusakan enterosit serta akibat gangguan yang ditimbulkan oleh peptida berbahaya dalam diet (Menge et al. 1976). Brooker et al. (2000) melaporkan bahwa hewan yang mengkonsumsi Acacia aneura dalam waktu yang lama akan mengalami kerusakan struktur vili usus. Farrel dan Perez-Maldonado (2000) juga menyatakan bahwa konsumsi sorgum pada ternak ayam menyebabkan kerusakan mukosa traktus intestinal. Ardyanti (2006) melaporkan pula bahwa deskuamasi enterosit terjadi pada kambing yang diberi pakan A. villosa dengan pola adaptasi selama sebulan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemberian A. villosa dapat menjadi salah satu penyebab deskuamasi enterosit. Gambaran deskuamasi enterosit disajikan pada Gambar 8.

(a) (b) Gambar 8 Deskuamasi enterosit (panah) dengan derajat keparahan ringan (a)

pasca pemberian A. villosa dikukus dan berat (b) pasca pemberian A. villosa tidak dikukus. Pewarnaan HE, bar 20 µm.

Pada pengamatan histopatologi duodenum, ditemukan adanya demielinasi pleksus Auerbach’s dan pleksus Meissner’s baik pada kelompok KS maupun TKS. Demielinasi pada kasus ini diduga disebabkan oleh zat toksik A. villosa

yaitu AANP yang tidak hilang akibat pengukusan karena kejadian demielinasi ini ditemukan pada kedua kelompok perlakuan. Berdasarkan laporan McSweeney et al. (2005) DABA bersifat neurotoksik pada ternak ruminansia. Pemberian DABA pada tikus dengan dosis 4.4 mmol/kg berat badan menunjukkan kerusakan selular di seluruh bagian hipokampus setelah 20 jam perlakuan. Kerusakan tersebut berupa demielinasi yang tampak serupa dengan yang diakibatkan oleh neurotoksin atau anoksia akut (O’Neal et al. 1968). Diduga AANP yang menyebabkan lisisnya selubung mielin sehingga terbentuk vakuolisasi. Menurut Dijk et al. (2007), demielinasi ditunjukkan dengan adanya vakuolisasi mielin. Vakuolisasi mielin menyebabkan menurunnya fungsi mielin yaitu mempercepat hantaran gelombang. Hal ini berpengaruh pada fungsi pleksus secara umum terhadap sistem

pencernaan. Berkurangnya fungsi pleksus tersebut menimbulkan gangguan peristaltik gastrointestinal, sekresi kelenjar saluran pencernaan serta gangguan aliran darah. Demielinasi pleksus Auerbach’s dan pleksus Meissner’s disajikan pada Gambar 9.

(a) (b) Gambar 9 Demielinasi (panah) pada pleksus Auerbach’s (a) dan pleksus Meissner’s (b) pasca pemberian daun A. villosa tidak dikukus. Pewarnaan HE, bar 20 µm.

Dokumen terkait