• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Histopatologi Lambung dan Duodenum Tikus Pasca Pemberian Daun Lamtoro Merah (Acacia villosa)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Histopatologi Lambung dan Duodenum Tikus Pasca Pemberian Daun Lamtoro Merah (Acacia villosa)"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI

LAMBUNG DAN DUODENUM TIKUS PASCA PEMBERIAN

DAUN LAMTORO MERAH (Acacia villosa)

WIWIK WULANSARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRAK

WIWIK WULANSARI. Gambaran Histopatologi Lambung dan Duodenum Tikus Pasca Pemberian Daun Lamtoro Merah (Acacia villosa). Dibimbing oleh EVA HARLINA dan HERNOMOADI HUMINTO.

Acacia villosa merupakan jenis leguminosa potensial sebagai pakan ternak karena mengandung kadar protein yang cukup tinggi (26-28%). Kendala utama dalam pemanfaatannya yaitu adanya kandungan senyawa sekunder asam amino non-protein dan tanin yang bersifat toksik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan histopatologi organ lambung dan duodenum tikus akibat pemberian 21% daun A. villosa yang dikukus dan tidak dikukus selama 4 minggu. Hasil pemberian 21% daun A. villosa menyebabkan perbedaan rasio lapis sel Chief dan mukosa, peningkatan jumlah sel radang netrofil dan deskuamasi epitel mukosa lambung. Perubahan pada duodenum berupa proliferasi sel goblet, hiperplasia enterosit dan deskuamasi enterosit. Pemberian A. villosa tidak dikukus menunjukkan perubahan yang lebih parah dibandingkan pemberian A. villosa

dikukus. Pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus menyebabkan demielinasi pleksus Auerbach’s dan pleksus Meissner’s pada duodenum.

(3)

ABSTRACT

(4)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI

LAMBUNG DAN DUODENUM TIKUS PASCA PEMBERIAN

DAUN LAMTORO MERAH (Acacia villosa)

WIWIK WULANSARI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Gambaran Histopatologi Lambung dan Duodenum Tikus Pasca Pemberian Daun Lamtoro Merah (Acacia villosa)

Nama : Wiwik Wulansari NRP : B04103136

Disetujui,

Dr. Drh. Eva Harlina, MSi Drh. Hernomoadi Huminto, MVS Pembimbing 1 Pembimbing 2

Diketahui Wakil Dekan FKH IPB

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS NIP. 131 129 090

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah lamtoro merah (Acacia villosa), dengan judul Gambaran Histopatologi Lambung dan Duodenum Tikus Pasca Pemberian Daun Lamtoro Merah (Acacia villosa).

Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Drh. Eva Harlina, MSi dan Bapak Drh. Hernomoadi Huminto, MVS selaku pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan arahan, saran dan motivasi hingga penyusunan skripsi ini diselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada ibu Drh. Ekowati Handharyani, MS, Ph.D selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini. Disamping itu, penghargaan juga penulis sampaikan kepada Drh. Adi Winarto, Ph.D yang telah membantu dalam pengambilan foto sediaan dan Drh. Rochman Na’im, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan akademik serta dukungan moril. Terima kasih kepada ayah, ibu dan seluruh keluarga atas segala doa, kasih sayang dan dukungannya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada laboran Bagian Patologi, teman-teman Gymnolaemata 40, villosa team angkatan 36-39, rekan sepenelitian (Faiq, Lia dan Lilis), Tri regina (Arum, Dattu, Dewi, Dyah, Ira, Indri dan INMT’ers) dan sahabat smunsa (Ayu, Dara dan Indrayana) atas segala bantuan, dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, September 2007

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 28 September 1985. Penulis merupakan anak ketujuh dari tujuh bersaudara pasangan Bapak Saadi Arsan dan Ibu Suwarni.

Pada tahun 2003, penulis lulus dari SMU Negeri I Bogor dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL...vii

DAFTAR GAMBAR ...viii

DAFTAR LAMPIRAN...ix

PENDAHULUAN ...1

Latar Belakang ...1

Tujuan ...2

Hipotesis ...2

TINJAUAN PUSTAKA ...3

Lambung ...3

Duodenum ...4

Lamtoro merah (Acacia villosa) ...6

Asam Amino Non-protein (AANP) ...8

Tanin ...9

Detoksifikasi Senyawa Sekunder ...11

BAHAN DAN METODE ...12

Waktu dan Tempat...12

Bahan dan Alat ...12

Metode ...12

HASIL DAN PEMBAHASAN...15

Pengaruh Pemberian Daun A. villosa Dikukus dan Tidak Dikukus terhadap Perubahan Histopatologi Lambung Tikus...15

Pengaruh Pemberian Daun A. villosa Dikukus dan Tidak Dikukus terhadap Perubahan Histopatologi Duodenum Tikus ...19

SIMPULAN DAN SARAN ...25

DAFTAR PUSTAKA ...26

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi kimia A. villosa dan beberapa jenis leguminosa ...7

2 Kandungan senyawa sekunder A. villosa...7

3 Pengaruh pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus terhadap rasio lapis sel Chief dan mukosa, infiltrasi sel radang

netrofil dan derajat deskuamasi epitel mukosa lambung ...15

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Gambaran histologi lambung bagian fundus, abomasum kambing.

Sel Chief (a); sel parietal (b) ...4

2 Gambaran histologi duodenum manusia. Kelenjar Brunner’s (a), mukosa (b), plika sirkularis (c), submukosa (d),

muskularis eksterna (e) ...5

3 Bunga dan Daun A. villosa...6

4 Lapis sel Chief pada lambung tikus kelompok K (a), KS (b) dan TKS (c) pasca pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus. Pewarnaan HE, bar 50µm ...16

5 Infiltrasi sel radang netrofil pada mukosa lambung tikus kelompok TKS pasca pemberian A. villosa tidak dikukus.

Pewarnaan HE, bar 50 μm (a) dan bar 20 μm (b) ...18

6 Deskuamasi epitel mukosa lambung dengan derajat keparahan ringan (a) pasca pemberian daun A. villosa dikukus dan berat (b) pasca pemberian daun A. villosa tidak dikukus.

Pewarnaan HE, bar 20 µm ...19

7 Hiperplasia enterosit usus halus tikus kelompok TKS pasca pemberian daun A. villosa tidak dikukus.

Pewarnaan HE, bar 50 µm (a) dan bar 20 µm (b) ...21

8 Deskuamasi enterosit dengan derajat keparahan ringan (a) pasca pemberian daun A. villosa dikukus dan berat (b) pasca pemberian daun A. villosa tidak dikukus. Pewarnaan HE, bar 20 µm...23

9 Demielinasi (panah) pada pleksus Auerbach’s mesenterik (a) dan demielinasi pleksus Meissner’s (b) pasca pemberian daun

(11)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI

LAMBUNG DAN DUODENUM TIKUS PASCA PEMBERIAN

DAUN LAMTORO MERAH (Acacia villosa)

WIWIK WULANSARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(12)

ABSTRAK

WIWIK WULANSARI. Gambaran Histopatologi Lambung dan Duodenum Tikus Pasca Pemberian Daun Lamtoro Merah (Acacia villosa). Dibimbing oleh EVA HARLINA dan HERNOMOADI HUMINTO.

Acacia villosa merupakan jenis leguminosa potensial sebagai pakan ternak karena mengandung kadar protein yang cukup tinggi (26-28%). Kendala utama dalam pemanfaatannya yaitu adanya kandungan senyawa sekunder asam amino non-protein dan tanin yang bersifat toksik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan histopatologi organ lambung dan duodenum tikus akibat pemberian 21% daun A. villosa yang dikukus dan tidak dikukus selama 4 minggu. Hasil pemberian 21% daun A. villosa menyebabkan perbedaan rasio lapis sel Chief dan mukosa, peningkatan jumlah sel radang netrofil dan deskuamasi epitel mukosa lambung. Perubahan pada duodenum berupa proliferasi sel goblet, hiperplasia enterosit dan deskuamasi enterosit. Pemberian A. villosa tidak dikukus menunjukkan perubahan yang lebih parah dibandingkan pemberian A. villosa

dikukus. Pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus menyebabkan demielinasi pleksus Auerbach’s dan pleksus Meissner’s pada duodenum.

(13)

ABSTRACT

(14)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI

LAMBUNG DAN DUODENUM TIKUS PASCA PEMBERIAN

DAUN LAMTORO MERAH (Acacia villosa)

WIWIK WULANSARI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(15)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Gambaran Histopatologi Lambung dan Duodenum Tikus Pasca Pemberian Daun Lamtoro Merah (Acacia villosa)

Nama : Wiwik Wulansari NRP : B04103136

Disetujui,

Dr. Drh. Eva Harlina, MSi Drh. Hernomoadi Huminto, MVS Pembimbing 1 Pembimbing 2

Diketahui Wakil Dekan FKH IPB

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS NIP. 131 129 090

(16)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah lamtoro merah (Acacia villosa), dengan judul Gambaran Histopatologi Lambung dan Duodenum Tikus Pasca Pemberian Daun Lamtoro Merah (Acacia villosa).

Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Drh. Eva Harlina, MSi dan Bapak Drh. Hernomoadi Huminto, MVS selaku pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan arahan, saran dan motivasi hingga penyusunan skripsi ini diselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada ibu Drh. Ekowati Handharyani, MS, Ph.D selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini. Disamping itu, penghargaan juga penulis sampaikan kepada Drh. Adi Winarto, Ph.D yang telah membantu dalam pengambilan foto sediaan dan Drh. Rochman Na’im, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan akademik serta dukungan moril. Terima kasih kepada ayah, ibu dan seluruh keluarga atas segala doa, kasih sayang dan dukungannya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada laboran Bagian Patologi, teman-teman Gymnolaemata 40, villosa team angkatan 36-39, rekan sepenelitian (Faiq, Lia dan Lilis), Tri regina (Arum, Dattu, Dewi, Dyah, Ira, Indri dan INMT’ers) dan sahabat smunsa (Ayu, Dara dan Indrayana) atas segala bantuan, dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, September 2007

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 28 September 1985. Penulis merupakan anak ketujuh dari tujuh bersaudara pasangan Bapak Saadi Arsan dan Ibu Suwarni.

Pada tahun 2003, penulis lulus dari SMU Negeri I Bogor dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan.

(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL...vii

DAFTAR GAMBAR ...viii

DAFTAR LAMPIRAN...ix

PENDAHULUAN ...1

Latar Belakang ...1

Tujuan ...2

Hipotesis ...2

TINJAUAN PUSTAKA ...3

Lambung ...3

Duodenum ...4

Lamtoro merah (Acacia villosa) ...6

Asam Amino Non-protein (AANP) ...8

Tanin ...9

Detoksifikasi Senyawa Sekunder ...11

BAHAN DAN METODE ...12

Waktu dan Tempat...12

Bahan dan Alat ...12

Metode ...12

HASIL DAN PEMBAHASAN...15

Pengaruh Pemberian Daun A. villosa Dikukus dan Tidak Dikukus terhadap Perubahan Histopatologi Lambung Tikus...15

Pengaruh Pemberian Daun A. villosa Dikukus dan Tidak Dikukus terhadap Perubahan Histopatologi Duodenum Tikus ...19

SIMPULAN DAN SARAN ...25

DAFTAR PUSTAKA ...26

(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi kimia A. villosa dan beberapa jenis leguminosa ...7

2 Kandungan senyawa sekunder A. villosa...7

3 Pengaruh pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus terhadap rasio lapis sel Chief dan mukosa, infiltrasi sel radang

netrofil dan derajat deskuamasi epitel mukosa lambung ...15

(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Gambaran histologi lambung bagian fundus, abomasum kambing.

Sel Chief (a); sel parietal (b) ...4

2 Gambaran histologi duodenum manusia. Kelenjar Brunner’s (a), mukosa (b), plika sirkularis (c), submukosa (d),

muskularis eksterna (e) ...5

3 Bunga dan Daun A. villosa...6

4 Lapis sel Chief pada lambung tikus kelompok K (a), KS (b) dan TKS (c) pasca pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus. Pewarnaan HE, bar 50µm ...16

5 Infiltrasi sel radang netrofil pada mukosa lambung tikus kelompok TKS pasca pemberian A. villosa tidak dikukus.

Pewarnaan HE, bar 50 μm (a) dan bar 20 μm (b) ...18

6 Deskuamasi epitel mukosa lambung dengan derajat keparahan ringan (a) pasca pemberian daun A. villosa dikukus dan berat (b) pasca pemberian daun A. villosa tidak dikukus.

Pewarnaan HE, bar 20 µm ...19

7 Hiperplasia enterosit usus halus tikus kelompok TKS pasca pemberian daun A. villosa tidak dikukus.

Pewarnaan HE, bar 50 µm (a) dan bar 20 µm (b) ...21

8 Deskuamasi enterosit dengan derajat keparahan ringan (a) pasca pemberian daun A. villosa dikukus dan berat (b) pasca pemberian daun A. villosa tidak dikukus. Pewarnaan HE, bar 20 µm...23

9 Demielinasi (panah) pada pleksus Auerbach’s mesenterik (a) dan demielinasi pleksus Meissner’s (b) pasca pemberian daun

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Bagan pembuatan sediaan histopatologi ...32

2 Bagan proses pewarnaan Hematoksilin eosin (HE) ...33

3 Bagan proses pembuatan tepung daun A. villosa...34

4 Hasil analisis statistik ANOVA dan uji Duncan ...35

(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ternak ruminansia memerlukan hijauan dalam jumlah besar untuk pertumbuhan dan peningkatan produksinya. Ketersediaan hijauan sepanjang tahun merupakan faktor pendukung untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Penggunaan leguminosa pohon sebagai sumber protein ransum mempunyai beberapa keuntungan, antara lain dapat menyediakan protein yang cukup tinggi, murah, mudah didapat dan pasokan terjamin sepanjang tahun (Manurung 1995). Leguminosa yang sudah banyak dimanfaatkan untuk pakan ternak diantaranya yaitu Leucaena leucocephala, Calliandra tetragona, Acacia angustissima, Acacia villosa, dll.

Acacia villosa (lamtoro merah) merupakan jenis leguminosa yang memiliki ketahanan yang baik terhadap tanah yang kurang subur, serangan hama kutu loncat serta kondisi kekeringan. A. villosa mengandung protein kasar 26-28% sehingga dapat digunakan sebagai hijauan sumber protein untuk pakan ternak. Kendala utama dalam pemanfaatannya yaitu adanya kandungan senyawa sekunder asam amino non-protein dan tanin yang bersifat toksik. Asam amino non-protein yang terkandung dalam A. villosa yaitu 4-N-acetyl-2,4-diaminobutyric acid

(ADAB) akan dikonversikan menjadi DL-2,4-diamino-n-butyric acid (DABA) di saluran pencernaan ruminansia yang bersifat toksik. Selain AANP, A. villosa juga mengandung tanin yang dapat mempresipitasi protein sehingga mengganggu proses penyerapan nutrien.

(23)

mengurangi sifat hepatotoksisitas senyawa sekundernya dan tidak mengganggu fungsi hati.

Untuk mengetahui toksisitas A. villosa terhadap lambung dan duodenum tikus, maka dilakukan studi histopatologi lambung dan duodenum tikus.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi organ lambung dan duodenum tikus akibat pemberian daun Acacia villosa dikukus dan tidak dikukus.

Hipotesa

H0 : Pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus tidak menyebabkan perubahan histologi pada lambung dan duodenum tikus.

(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Lambung

Secara histologi, lambung terdiri dari beberapa bagian, yaitu mukosa, kelenjar lambung dan tunika muskularis. Membran mukosa lambung membentuk lipatan longitudinal yang disebut rugae dan terdiri dari tiga komponen yaitu epitelium, lamina propria dan muskularis mukosa. Kelenjar lambung berbentuk sederhana dan bertipe tubular, serta mengandung berbagai jenis sel, yaitu sel parietal, sel utama (Chief cell) dan sel lendir leher (mucous neck cells). Sel parietal dapat ditemukan di daerah mukosa yang mengelompok di area proksimal kelenjar dan menghasilkan sekreta asam hidroklorat (HCl). Sel utama (Chief cell) melapisi bagian bawah kelenjar lambung dan mengeluarkan sekreta pepsinogen yang merupakan prekursor dari enzim pencernaan pepsin. Sel lendir leher (mucous neck cells) terletak menyebar diantara sel-sel parietal pada bagian leher kelenjar dan berfungsi mensekresi mukus yang encer dengan viskositas yang lebih rendah dari sel-sel pada mukus di permukaan. Tunika muskularis terdiri dari tiga lapisan otot. Lapisan dalam berupa lapisan otot miring, lapisan tengah berupa lapisan otot sirkuler dan lapisan luar berupa lapis otot longitudinal (Gartner & Hiatt 2001). Gambaran histologi lambung serta bagian-bagiannya disajikan pada Gambar 1.

(25)

Gambar 1 Gambaran histologi lambung bagian fundus, abomasum kambing. Sel Chief (a); sel parietal (b). Sumber: (Bacha & Bacha 2000).

Duodenum

Duodenum merupakan salah satu bagian dari usus halus. Fungsi usus halus yaitu mencerna material makanan dan mengabsorpsi produk akhir dari proses pencernaan. Permukaannya meluas oleh bentuk plika sirkuler, vili, mikrovili dan kripta Liberkuhn (Banks 1993). Gambaran histologi duodenum disajikan pada Gambar 2.

(26)

Gambar 2 Gambaran histologi duodenum manusia. Kelenjar Brunner’s (a), mukosa (b), plika sirkularis (c), submukosa (d), tunika muskularis (e). Sumber: (Anonim 2001).

Pada bagian lamina propria duodenum terdapat kripta Liberkuhn. Kripta Liberkuhn terdiri dari sel regeneratif yang merupakan sel stem yang secara ekstensif berproliferasi untuk repopulasi epitel kripta dan epitel permukaan mukosa. Selain itu terdapat juga sel paneth yang mensekresikan lisozim sebagai agen antibakterial (Gartner & Hiatt2001), akan tetapi menurut Banks (1993) tidak ada fakta yang mendukung keterlibatannya dalam proses pencernaan.

Submukosa duodenum terdiri dari kelenjar Brunner’s yang mensekresikan lendir. Selain itu, ditemukan pula serabut-serabut saraf dan sel ganglion yang biasa disebut pleksus submukosa atau pleksus Meissner’s (Elwell & McConnell 1990). Pleksus Meissner’s berperan dalam pengaturan sekresi dan aliran darah serta membantu beberapa fungsi sensorik. Fungsi sensorik dari pleksus Meissner’s diantaranya menerima sinyal-sinyal terutama dari epitel usus dan dari reseptor regangan di dalam dinding usus (Guyton & Hall 1997).

(27)

sehingga menyebabkan pergerakan gelombang peristaltik lebih cepat (Guyton & Hall 1997).

Serosa merupakan suatu lapisan jaringan penyambung yang tertutup mesotel. Susunan otot ini menunjang kontraksi usus dalam proses mencerna makanan (Gartner & Hiatt2001).

Lamtoro Merah (Acacia villosa)

Acacia villosa diperkenalkan di pulau Jawa pada tahun 1920. Acacia

merupakan semak atau pohon kecil yang tidak berduri dengan tinggi hingga 5 meter. Tanaman ini mempunyai daun majemuk bersirip ganda, dengan sirip terdiri atas 20-40 helai daun, berkelamin ganda, dengan bunga warna putih kemudian berubah menjadi kekuningan. Mahkota bunga terbuka dan batang serta dahan yang berwarna merah gelap. Buahnya berbentuk polong, pipih dan berwarna cokelat mengkilap. Tiap polong berisi 1-8 buah biji yang berbentuk bulat telur dan berwarna cokelat (Jukema & Danamihardja 1997). Bentuk bunga dan daun A. villosa disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Bunga dan daun A. villosa. Sumber: (Perez et al. 1999).

(28)

Menurut Perez et al. (1999), taksonomi A. villosa adalah sebagai berikut: filum: Magnoliophyta, kelas: Magnoliopsida, ordo: Fabales, famili: Leguminosa, subfamili: Mimosidae, genus: Acacia, spesies: villosa.

Hasil analisis proksimat A. villosa dan beberapa jenis leguminosa lainnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia A. villosa dan beberapa jenis leguminosa

Spesies PK EA F Na TP T

A. auriculiformis 15 3.9 45 - 10.8 1.1

A. villosa 27 4.8 24 0.01 12.6 6.0

Calliandra calothyrsus

24 4.1 24 0.00 11.3 6.8

Leucaena diversifolia 22 8.4 26 0.01 - -

Mimosa pigra 22 4.3 40 9.3 8.1 Keterangan P: Protein kasar; EA: Ekstrak eter; F: Serat Detergen Netral; TP: Total Fenol;

T: Tanin. Sumber: (Tangendjaja & Lowry 1984).

Berdasarkan kandungan protein yang tinggi, A. villosa merupakan leguminosa yang dapat dijadikan sumber protein pakan ternak. Namun ada faktor pembatas dalam penggunaannya yaitu adanya kandungan senyawa sekunder asam amino non-protein dan tanin (Wina & Tangendjaja 2000). Adanya senyawa sekunder dalam pakan akan berdampak pada nilai nutrisi pakan dan menyebabkan kematian pada ternak secara langsung maupun tidak langsung (Odenyo et al.

1997). Kandungan senyawa sekunder pada A. villosa disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan senyawa sekunder A. villosa

%

Total Fenol 15.24

AANP 5.64

Tanin Terkondensasi 12.51

(29)

Asam Amino Non-Protein (AANP)

Lebih dari 250 jenis asam amino non-protein telah ditemukan terkandung dalam tanaman. Pada umumnya ditemukan pada tanaman leguminosa yang terakumulasi dalam biji dan daun. Beberapa jenis leguminosa yang mengandung senyawa asam amino non-protein diantaranya adalah Acacia villosa, Indigovera spicata, Leucaena pulverulenta, Mimosa sp, Pithecellobium jiringa dan Sesbania grandiflora. Senyawa AANP pada tanaman berfungsi sebagai agen pertahanan bagi tanaman. Mekanisme kerja AANP di dalam tubuh analog dengan mekanisme asam amino esensial. AANP sering mengganggu fungsi dari asam amino penyusun protein karena strukturnya yang analog (Wina & Tangendjaja 2000).

Salah satu contoh mekanisme kerja AANP yang menyerupai asam amino protein adalah mimosin. Mimosin terdapat pada lamtorogung dan memiliki struktur yang mirip dengan tirosin dan fenilalanin. Mimosin dapat menggantikan asam amino tersebut tetapi menyebabkan hilangnya enzim dan aktivitas fungsional protein (Widiyastuti 2001). Hammond (1995) melaporkan bahwa pada ruminansia, mimosin difermentasi oleh mikroba rumen menjadi 3,4 DHP yang bersifat goitrogen. D’Mello (2003) melaporkan bahwa mimosin merupakan asam amino yang memiliki struktur aromatik dan mempunyai kontribusi sebagai racun pada hewan. AANP ini memiliki struktur yang analog dengan tirosin dan turunan neurotransmiternya yaitu dopamin dan noradrenalin. Senyawa ini dapat menyebabkan gangguan fungsi reproduksi, teratogenik, kebotakan bahkan kematian.

Tangendjaja dan Lowry (1984) melaporkan bahwa mengkonsumsi lamtorogung segar dalam waktu yang lama dapat menyebabkan penyakit gondok. Bray et al. (1984) menyatakan pula bahwa 3,4 DHP merupakan agen potensial penyebab gondok dan pembesaran kelenjar tiroid pada ternak yang berasosiasi dengan rendahnya level serum tiroksin. Efek kumulatif dari 3,4 DHP yaitu penurunan bobot badan dengan gejala klinis seperti kerontokan rambut, kehilangan nafsu makan, hipotiroidisme dan ulserasi esofagus.

(30)

menjadi DABA (2,4 diaminobutyric acid) yang merupakan senyawa beracun bagi ternak. Di dalam tubuh, DABA akan menghambat sintesa protein dalam hati dan menyebabkan gejala yang serupa dengan keracunan amonia. ODAP diketahui dapat menyebabkan gejala keracunan saraf (Smith et al. 2001). Selain itu, penggunaan tanaman yang mengandung senyawa ODAP dapat mengganggu kecernaan pakan (Peng et al. 2005).

Pemberian DABA secara intraperitonial pada tikus menghambat ornithin carbamoyltransferase di hati. Reaksi tersebut diduga sebagai awal terjadinya toksisitas DABA. Hal ini disebabkan sintesis urea di hati dihambat oleh DABA sehingga terjadi peningkatan konsentrasi amonia (O’Neal et al. 1968). McSweeney et al. (2005) melaporkan bahwa DABA diduga bersifat neurotoksik dan hepatotoksik pada ternak ruminansia.

Berdasarkan hasil penelitian Dewa (2005) dan Sulistiyo (2006), pemberian sediaan DABA murni (Sigma®) dengan konsentrasi 2.5%, 5% dan 7.5% selama 6 minggu tidak menimbulkan gejala keracunan, tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi pakan, bobot badan dan nilai konversi pakan tikus namun bersifat hepatotoksik dan nefrotoksik ringan.

Tanin

Tanin adalah senyawa bahan alam yang terdiri dari sejumlah besar gugus hidroksifenol. Tanin pada tanaman berperan dalam mekanisme pertahanan terhadap patogen maupun terhadap kondisi yang tidak menguntungkan lainnya. Banyaknya tanin yang terkandung dalam tanaman dipengaruhi oleh spesies tanaman, genetik dan tingkat pertumbuhan serta faktor lingkungan, yaitu temperatur, curah hujan, pemotongan dan defoliasi (Wiryawan et al. 1998).

(31)

Tanin pada tanaman merupakan golongan polimer polifenol yang memiliki berat molekul (BM) yang relatif tinggi (BM= 1000-20 000). Hal tersebut menyebabkan tanin memiliki kapasitas untuk membentuk komplek dengan karbohidrat dan protein. Berdasarkan struktur dan reaktivitasnya, tanin dikategorikan menjadi tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin terhidrolisis atau hydrolyzable tannin (HT) relatif jarang ditemukan di alam dan memiliki berat molekul yang rendah (500-3000). HT dapat terpecah menjadi monosakarida dan jenis asam galat (gallotanin) maupun asam egallat (ellagitanin) dalam kondisi asam maupun karena proses enzimatis. Tanin terkondensasi atau

condensed tannin (CT) tidak memiliki inti karbohidrat dan polimernya tersusun atas unit flavanoid (polyhydroxyflavan-3-ol) dari komposisi yang bermacam-macam dan berat molekul 1900-28 000 (Foo et al. 1982, diacu dalam Norton 2000).

Tanin terhidrolisis dan terkondensasi memiliki bentuk reversibel komplek dengan protein yang tidak mudah larut. CT lebih tersebar luas dalam tanaman, stabil dan kurang peka terhadap hidrolisis dibandingkan dengan HT. HT biasanya lebih toksik pada hewan non-ruminansia dibandingkan dengan hewan ruminansia. Pada ruminansia, HT didegradasi oleh senyawa asam atau dihidrolisis secara enzimatis di dalam rumen. Fenol yang diabsorpsi kemudian diekskresikan melalui urin sebagai asam glukuronida. Toksisitas HT biasanya berkaitan erat dengan jumlah yang dicerna. Hal tersebut ditentukan berdasarkan kapasitas rumen untuk mendegradasinya. Apabila jumlahnya berlebih, maka HT akan diabsorpsi oleh tubuh dan menyebabkan nekrosa hati dan ginjal, kekuningan (jaundice), fotosensitisasi dan kematian pada beberapa kasus. Efek toksik CT sangat sedikit diketahui. Secara umum, CT dapat berikatan dengan protein tanaman dan dinding sel karbohidrat (Van Soest et al. 1986, diacu dalam Norton 2000). CT memiliki efek positif sebagai anthelmintik sehingga meningkatkan resistensi terhadap infeksi nematoda (Brooker 2000).

(32)

mulut yang dapat menimbulkan rasa sepat, sehingga dapat mempengaruhi konsumsi dan palatabilitas pakan (Susanti 2002). Tanin dapat melindungi protein dari proses perombakan oleh mikroba rumen dan proses enzimatis dalam usus, sehingga dapat menurunkan pemanfaatan nutrien oleh ternak (Firdus et al. 2004).

Detoksifikasi Senyawa Sekunder

Berbagai macam teknik telah digunakan untuk memperbaiki efek tanin pada legume, sorghum dan kacang polong. Teknik yang telah berhasil dilakukan diantaranya dengan pemanasan; pengeringan; perendaman dalam air, asam, alkali (sodium hidroksida), urea atau larutan formaldehida dan aplikasi dari agen pengikat spesifik seperti polivinil pirolidin (PVP), polietilen glikol (PEG) dan garam besi (Norton 2000). Perendaman A. villosa di dalam larutan kalsium hidroksida, asam hidroklorat atau air dapat menghilangkan tanin dan total fenol dari daun sebesar 41-76% (Wina et al. 2005).

Pengeringan secara tradisional dilakukan dengan meletakkan bahan perlakuan di bawah sinar matahari. Cara ini juga dipakai untuk mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme maupun untuk menghilangkan air. Salah satu contoh proses pengeringan adalah proses dehidrasi, yaitu proses penghilangan air menggunakan panas dengan aliran udara terkendali. Hal yang penting adalah bahwa suhu yang dipergunakan jangan terlalu tinggi karena dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki pada bagian perlakuan (Gardjito et al. 1992).

(33)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-April 2007 bertempat di Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan penelitian yang digunakan adalah sediaan histopatologi organ lambung bagian fundus dan duodenum tikus dengan pemotongan transversal yang telah digunakan pada uji pengaruh pengukusan A. villosa terhadap gambaran histopatologi hati dan ginjal tikus (Kuswarini 2007; Djuharti 2007). Tikus yang digunakan adalah tikus putih (Rattus rattus) betina dari strain Sprague Dawley berumur 4 minggu. Alat yang digunakan adalah mikroskop cahaya binokuler dan mikroskop video mikrometer.

Metode

1. Disain Penelitian

Sebanyak 18 ekor tikus dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok kontrol (K) yang diberi pakan kontrol (pakan tanpa daun), kelompok yang diberi daun A. villosa dikukus (KS) dan kelompok yang diberi pakan daun A. villosa

tidak dikukus (TKS). Penambahan daun sebanyak 21% selama 4 minggu, dan daun dikukus selama 10 menit pada suhu 60-70 0C. Masing-masing kelompok perlakuan terdiri atas enam ulangan yang dibandingkan dengan kelompok kontrol.

2. Evaluasi Histopatologi

Evaluasi histopatologi organ lambung bagian fundus dan duodenum tikus dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif.

(34)

Evaluasi kualitatif organ lambung yaitu melalui pengamatan deskuamasi epitel dengan skoring sebagai berikut:

• Skor 1: jika terdapat deskuamasi pada sebagian epitel mukosa.

• Skor 2: jika deskuamasi terjadi pada hampir seluruh bagian epitel mukosa. Hasil skoring dari tiap-tiap kelompok selanjutnya dirata-rata dan ditentukan derajat keparahannya sebagai berikut:

• Jika rata-rata nilai skor 1.0 ≤ x ≤ 1.4, maka derajat keparahan ringan.

• Jika rata-rata nilai skor 1.5 ≤ x ≤ 2.0, maka derajat keparahan berat.

(a) (b) (c)

Keterangan: (a) Sel Chief lambung; (b) Sel radang netrofil; (c) Deskuamasi epitel lambung.

(a) (b) (c) (d) (e)

Keterangan: (a) Sel goblet kripta; (b) Hiperplasia enterosit; (c) Deskuamasi enterosit; (d) Demielinasi pleksus Auerbach’s; (e) Demielinasi pleksus Meissner’s.

(35)

dengan metode skoring yang sama dengan yang digunakan di lambung, ada/tidaknya hiperplasia enterosit, serta demielinasi pleksus Auerbach’s dan pleksus Meissner’s.

3. Analisis Data

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Pemberian Daun A. villosa Dikukus dan Tidak Dikukus terhadap Perubahan Histopatologi Lambung Tikus

[image:36.612.132.511.305.372.2]

Pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus berpengaruh terhadap gambaran histopatologi lambung tikus yaitu pada lapis sel Chief dengan mukosa, adanya infiltrasi sel radang netrofil dan deskuamasi epitel (Tabel 3).

Tabel 3 Pengaruh pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus terhadap rasio lapis sel Chief dengan mukosa, infiltrasi sel radang netrofil dan

derajat deskuamasi epitel mukosa lambung

Kelompok Lapis sel Chief dengan mukosa

Jumlah sel radang netrofil

Derajat deskuamasi

K 0.340±0.033a 94.167±20.683a Ringan KS 0.426±0.042b 77.667±20.633a Ringan TKS 0.157±0.048c 121.000±22.830b Berat

Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

Kelompok KS memiliki rasio lapis sel Chief dengan mukosa lambung yang paling tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan kelompok K dan TKS, dan kelompok TKS memperlihatkan hasil yang paling rendah (p<0.05).

(37)

Kelompok TKS memiliki rasio lapis sel Chief dengan mukosa yang paling rendah diantara ketiga kelompok tersebut (Tabel 3). Rendahnya rasio lapis sel Chief dengan mukosa pada kelompok TKS diakibatkan oleh pemberian A. villosa

segar (tidak dikukus). A. villosa segar masih mengandung senyawa sekunder tanin yang cukup tinggi sehingga ikatan tanin-protein tinggi. Tingginya kadar protein yang terikat tanin menyebabkan berkurangnya jumlah protein yang dapat didegradasi oleh enzim proteolitik, sehingga menyebabkan sel-sel Chief menjadi kurang aktif untuk mensekresi enzim. Dengan kata lain, aktivitas enzim proteolitik pada kelompok TKS rendah. Pada domba, adanya tanin dalam pakan merupakan penyebab utama menurunnya kecernaan protein melalui mekanisme penghambatan degradasi protein (Norton 2000; Norton dan Ahn 1997) dan penghambatan enzim proteolitik di dalam rumen (Jones et al. 1994, diacu dalam Acamovic dan Stewart 2000). Bansi (2001) melaporkan bahwa jenis tanin terbesar yang terkandung dalam A. villosa adalah tanin terkondensasi. Brooker (2000) menyatakan bahwa pakan yang mengandung tanin terkondensasi menyebabkan terbuangnya protein endogenus dan menghambat aktivitas enzim gastrointestinal pada bebek.

Perbedaan rasio lapis lapis sel Chief dengan mukosa pada kelompok K, KS dan TKS disajikan pada Gambar 4.

[image:37.612.133.519.468.606.2]

(a) (b) (c)

(38)

Berdasarkan hasil uji ANOVA diperoleh nilai R2= 89.79%, yang berarti pengaruh pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus terhadap rasio lapis sel Chief dengan mukosa sebesar 89.79%, sedangkan sisanya merupakan pengaruh faktor yang lain. Tingginya rasio lapis sel Chief dengan mukosa kelompok KS diduga disebabkan oleh berkurangnya potensi ikatan tanin-protein, sehingga protein bebas yang lebih banyak dalam lambung akan merangsang aktivitas sel Chief yang lebih tinggi.

Hasil penghitungan sel radang netrofil lambung tikus kelompok K tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan kelompok KS, namun berbeda nyata (p<0.05) dengan kelompok TKS (Tabel 3). Berdasarkan hasil uji ANOVA diperoleh nilai R2= 45.51%, yang berarti pengaruh pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus terhadap jumlah sel radang netrofil sebesar 45.51%, sedangkan sisanya merupakan pengaruh faktor lain seperti pakan maupun kebersihan individu. Keberadaan sel radang dapat bersifat fisiologis maupun patologis. Brown dan Hardisty (1990) melaporkan bahwa secara fisiologis sel limfosit, plasma, netrofil dan sel mast ditemukan pada lamina propria lambung tikus. Ardyanti (2006) melaporkan bahwa kambing yang diberi pakan A. villosa dengan pola adaptasi selama sebulan menunjukkan adanya akumulasi sel radang pada rumen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemberian A. villosa dapat menginduksi akumulasi sel radang di lambung dan pemberian daun tidak dikukus menginduksi akumulasi netrofil.

(39)
[image:39.612.132.505.273.497.2]

berfungsi sebagai fagosit partikel-partikel kecil, memangsa bahan asing seperti karbon, pigmen, reruntuhan sel dan kuman (Smith et al. 1974). Gambaran histopatologi infiltrasi sel radang netrofil pada kelompok TKS disajikan pada Gambar 5.

Lebih ringannya infiltrasi netrofil pada kelompok KS disebabkan oleh berkurangnya potensi toksin A. villosa akibat pengukusan. Berkurangnya potensi toksin menurunkan kemampuannya merusak sel sehingga kerusakan mukosa lambung bersifat ringan. Dengan demikian, stimulan untuk mendatangkan netrofil menjadi lebih rendah.

(a) (b)

Gambar 5 Infiltrasi sel radang netrofil pada mukosa lambung tikus kelompok TKS pasca pemberian A. villosa tidak dikukus. Pewarnaan HE, bar 50

μm (a) dan bar 20 μm (b).

(40)
[image:40.612.127.538.193.472.2]

Kelompok TKS memperlihatkan derajat deskuamasi epitel yang paling berat, sedangkan kelompok KS memperlihatkan derajat deskuamasi epitel mukosa lambung ringan. Hal tersebut disebabkan oleh pengukusan daun A. villosa yang dapat mengurangi potensi toksikan sehingga mengurangi kejadian peradangan. Gambaran histopatologi deskuamasi epitel lambung disajikan pada Gambar 6.

(a) (b)

Gambar 6 Deskuamasi epitel mukosa lambung dengan derajat keparahan ringan (a) pasca pemberian daun A. villosa dikukus dan berat (b) pasca pemberian daun A. villosa tidak dikukus. Pewarnaan HE, bar 20 µm.

Pengaruh Pemberian Daun A. villosa Dikukus dan Tidak Dikukus terhadap Perubahan Histopatologi Duodenum Tikus

(41)
[image:41.612.132.512.138.259.2]

Tabel 4 Pengaruh pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus terhadap jumlah sel goblet, hiperplasia enterosit, deskuamasi enterosit serta

demielinasi pleksus Auerbach’s dan Meissner’s

Kelompok Jumlah sel goblet kripta Persentase individu yang mengalami hiperplasia enterosit Derajat deskuamasi enterosit Demielinasi pleksus Auerbach’s dan Meissner’s

K 121,500±27,199a 0% Ringan

Tidak ada demielinasi KS 178,250±5,912b 16.67% Ringan Demielinasi TKS 217,833±31,971c 100% Berat Demielinasi

Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

Hasil penghitungan jumlah sel goblet kripta duodenum tikus menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) antara ketiga kelompok. Berdasarkan hasil uji ANOVA diperoleh nilai R2= 75.80%, yang berarti pengaruh pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus terhadap jumlah sel goblet kripta sebesar 75.80%, sedangkan sisanya merupakan pengaruh faktor lain. Ardyanti (2006) melaporkan bahwa pada kambing yang diberi A. villosa dengan pola adaptasi selama sebulan menunjukkan proliferasi sel goblet. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemberian A. villosa dapat menginduksi terjadinya proliferasi sel goblet

(42)

diketahui hipersekresi tersebut merupakan efek langsung dari kerja tanin atau efek tidak langsung akibat menurunnya kecernaan. Jumlah sel goblet kripta kelompok KS lebih rendah dan berbeda nyata (p<0.05) dibandingkan kelompok TKS. Hal tersebut disebabkan menurunnya stimulan yang bersifat iritan berupa menurunnya potensi zat toksik A. villosa pengukusan.

Hiperplasia adalah peningkatan jumlah sel yang terjadi pada suatu organ akibat peningkatan mitosis (Corwin 2001). Hiperplasia enterosit dapat disebabkan oleh perubahan pakan dan hormonal. Selain itu dapat juga disebabkan oleh ulserasi atau toksisitas (Shackelford dan Elwell 1999). Kejadian hiperplasia enterosit pada duodenum disajikan pada Gambar 7.

[image:42.612.131.519.289.571.2]

(a) (b)

Gambar 7 Hiperplasia enterosit duodenum tikus kelompok TKS pasca pemberian daun A. villosa tidak dikukus. Pewarnaan HE, bar 50 µm (a) dan bar 20 µm (b).

(43)

et al. (2000) melaporkan bahwa tanin memiliki kemampuan menginduksi perubahan mukosa usus, seperti abnormalitas struktur vili. Ardyanti (2006) melaporkan pada kambing yang diberi A. villosa dengan pola adaptasi selama sebulan menunjukkan hiperplasia pada epitel rumen. Smith et al. (1974) menyatakan bahwa iritasi kronis dapat menginduksi hiperplasia seperti pada kasus hiperplasia saluran empedu kelinci akibat koksidiosis.

Rendahnya kejadian hiperplasia enterosit pada kelompok KS disebabkan oleh potensi toksin A. villosa sudah terkurangi akibat pengukusan. Pada hewan yang sensitif, sejumlah kecil toksin yang tersisa dapat menginduksi kejadian hiperplasia enterosit. Toksin A. villosa dapat menstimulasi hiperplasia enterosit dengan tujuan agar daya serap protein dan produksi enzim meningkat. Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa kelompok TKS mengalami kejadian deskuamasi enterosit yang berat. Hal tersebut mengindikasikan bahwa toksin A. villosa dapat mengiritasi enterosit sehingga menyebabkan deskuamasi. Ringannya deskuamasi enterosit kelompok KS disebabkan oleh pengukusan A. villosa yang dapat mengurangi potensi toksinnya sehingga penyebab iritan tidak sebanyak pada kelompok TKS. Kejadian deskuamasi enterosit dapat bersifat fisiologis maupun patologis. Pada keadaan fisiologis, sel-sel enterosit baru yang berasal dari kripta Liberkuhn akan bermigrasi menuju ujung vili menggantikan sel-sel enterosit yang rusak setiap 4-7 hari (Herdt 1997).

(44)
[image:44.612.133.537.86.365.2]

(a) (b)

Gambar 8 Deskuamasi enterosit (panah) dengan derajat keparahan ringan (a) pasca pemberian A. villosa dikukus dan berat (b) pasca pemberian A. villosa tidak dikukus. Pewarnaan HE, bar 20 µm.

Pada pengamatan histopatologi duodenum, ditemukan adanya demielinasi pleksus Auerbach’s dan pleksus Meissner’s baik pada kelompok KS maupun TKS. Demielinasi pada kasus ini diduga disebabkan oleh zat toksik A. villosa

(45)

pencernaan. Berkurangnya fungsi pleksus tersebut menimbulkan gangguan peristaltik gastrointestinal, sekresi kelenjar saluran pencernaan serta gangguan aliran darah. Demielinasi pleksus Auerbach’s dan pleksus Meissner’s disajikan pada Gambar 9.

[image:45.612.134.526.169.426.2]

(a) (b)

(46)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Pemberian daun A. villosa dikukus menyebabkan peningkatan ketebalan lapis sel Chief serta infiltrasi sel radang netrofil dan deskuamasi epitel mukosa lambung yang lebih ringan dibanding A. villosa tidak dikukus. 2. Pemberian daun A. villosa dikukus menyebabkan proliferasi sel goblet,

hiperplasia enterosit dan deskuamasi enterosit yang lebih ringan dibanding

A. villosa tidak dikukus.

3. Pemberian daun A. villosa dikukus maupun tidak dikukus menyebabkan demielinasi pleksus Auerbach’s dan pleksus Meissner’s pada duodenum. 4. Pengukusan dapat mengurangi toksisitas A. villosa.

Saran

1. Perlu dilakukan pengukuran kadar kandungan senyawa sekunder yang bersifat toksik pada A. villosa baik pada daun dikukus maupun tidak dikukus.

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Acamovic T, Stewart CS. 2000. Plant phenolic compounds and gastrointestinal microorganism. Di dalam: Brooker JD, editor. Tannins in Livestock and Human Nutrition. Proceedings of an International Workshop; Adelaide 31 Mei-2 Juni 1999. Canberra: ACIAR. hlm1127-128.

[Anonim]. 2001. Histology of Digestive System. http://www.bu.edu/histology/p/ 1601oca.htm. [22 Januari 2007].

---. 2006. Definition of Desquamation. http://ptcl.chem.ox.ac.uk/ MSDS /glossary/desquamation.html. [29 Agustus 2007].

Ardyanti FJ. 2006. Perbandingan gambaran histopatologi, gambaran darah dan kimia darah kambing pasca pemberian daun lamtoro merah (Acacia villosa) dan kaliandra (Calliandra calothyrsus). [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bacha WJ, Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology. Ed ke-2. Philadelphia: lippincott Williams & Wilkins.

Banks WJ. 1993. Applied Veterinary Histology. Ed ke-3. St. Louis: Mosby.

Bansi H. 2001. Potensi lamtoro merah (Acacia villosa) dan kaliandra putih (Calliandra tetragona) sebagai sumber protein baru bagi ternak ruminansia [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Bariata NC. 2001. Gambaran histopatologi toksisitas hijauan mlanding sebrang (Acacia villosa) dosis tinggi pada domba Garut. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bray RA, Jones RJ, Probert ME. 1984. Shurb legumes for forage in tropical Australia. Di dalam: Craswell ET, Tangendjaja B, editor. Shrub Legume in Indonesia and Australia. Proceedings of an International Workshop; BPT Ciawi Bogor, 2 Feb 1984. Canberra: ACIAR. hlm 33-37.

Brooker JD. 2000. Priority setting disscussion. Di dalam: Brooker JD, editor.

Tannins in Livestock and Human Nutrition. Proceedings of an International Workshop; Adelaide 31 Mei-2 Juni 1999. Canberra: ACIAR. hlm1-7.

(48)

International Workshop; Adelaide 31 Mei-2 Juni 1999. Canberra: ACIAR. hlm 117-122.

Brown HR, Hardisty JF. 1990. Oral Cavity, Esophagus and Stomach. Di dalam: Boorman, Euist, Elwell, Montgomery, MacKenzie, editor. Pathology of the Fischer Rat. Sandiego: Academic Press.

Corwin EJ. 2001. Buku Saku Patofisiologi.Pendit BU, penerjemah; Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Handbook of Pathophysiology.

Dewa, WJ. 2005. Gambaran histopatologi hati tikus akibat pemberian sediaan DL-2,4-diamino n-butyric acid (DABA). [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Dijk JEV, Gruys E, Mouwen JMVM. 2007. Color Atlas of Veterinary Pathology. Ed ke-2. Saunders Elsevier British Library.

Djuharti. 2007. Pengaruh pemberian daun Acacia villosa dikukus dan tidak dikukus terhadap gambaran histopatologi hati tikus. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

D’Mello JPF. 2003. Amino Acids in Animal Nutrition. Ed ke-2. UK: CABI Publishing.

Elwell MR, McConnell EE. 1990. Small and Large Intestine. Di dalam: Boorman, Euist, Elwell, Montgomery, MacKenzie, editor. Pathology of the Fischer Rat. Sandiego: Academic Press.

Farrel DJ, Perez-Maldonado RA. 2000. Tannins in feedstuff used in the diet of pigs and poultry in Australia. Di dalam: Brooker JD, editor. Tannins in Livestock and Human Nutrition. Proceedings of an International Workshop; Adelaide 31 Mei-2 Juni 1999. Canberra: ACIAR. hlm 111-115.

Firdus, Astuti DA, Wina E. 2004. Pengaruh kondisi fisik kaliandra dan campurannya dengan gamal segar terhadap konsumsi dan kecernaan nutrien pada domba. JITV 9(1): 12-16.

Foo LY, Jones WT, Porter LJ, William KM. 1982. Proanthocyanidin polymers of fodder legumes. Phytochemistry 21: 933-938.

Gardjito M, Murdiali A, Naruki S, Sardjono. 1992. Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Yogyakarta: UGM press.

(49)

Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Setiawan, Tengadi, Santoso, penerjemah; Setiawan, editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Phisiology.

Hammond AC. 1995. Leucaena toxicosis and its control in ruminants. J Anim Scie

73:1487-1292.

Herdt T. 1997. Gatrointestinal Phisiology and Metabolism. Di dalam: Cunningham JG. Textbook of Veterinary Physiology. Ed ke-2. Philadelphia: W.B Saunders Company.

Jones GA, McAllister TA, Muir AD, Cheng KJ. 1994. Effects of sainfoin (Onobrychis vicifolia Scop.) condensed tannins on growth and proteolysis by four strains of ruminal bacteria. Appl Environment Microbiol 60: 1374-137.

Jukema J dan Danamihardja S. 1997. Acacia. Di dalam: Hanum IF, Van der Maesen LJG, editor. Auxiliary Plants. Plants Resources of South East Asia. Bogor; Prosea. No 11. hlm 56-60.

Kuswarini D. 2007. Pengaruh pemberian daun Acacia villosa dikukus dan tidak dikukus terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Manurung, T. 1995. Penggunaan leguminosa pohon sebagai sumber protein ransum sapi potong. JITV 1 (3): 143-147.

McSweeny CS et al. 2005. Enrichment, isolation and characteristic of ruminal bacteria that degrade non-protein amino acids from the tropical legume Acacia angustissima. J Anim feed sci technol 121(1): 191.

Menge H, Robinson JW, Riecken EO. 1976. Adaptive changes in intestinal mucosa of the small intestine as a result of intraluminal stress. Z gastroenterol 14(3): 420-33.

Norton BW. 2000. The significance of tannins in tropical animal production. Di dalam: Brooker JD, editor. Tannins in Livestock and Human Nutrition.

Proceedings of an International Workshop; Adelaide 31 Mei-2 Juni 1999. Canberra: ACIAR. hlm 14-21.

Norton BW, Ahn JH. 1997. A comparison of fresh and dried Calliandra calothyrsus supplements for sheep given a basal diet of barley straw. J Agric Sci 129: 485-494.

.

Odenyo AA, Osuji PO, Karanfil O, Andinew. 1997. Microbiological evaluation of

(50)

Oritz LT, Alzueta C, Trevino J, Castano M. 1994. Effects of faba bean tannins on the growth and histological structures of the intestinal tract and liver of chicks and rats. Brit Poult Scie 35: 743-754.

O’Neal RM, Chen C, Reynolds CS, Meghal SK, Koeppe RE. 1968. The neurotoxicity of L-2,4-diaminobutyric acid. J Biochem 106(3):

699-706.

Pell AN, Woolston TK, Nelson KE, Schofield. 2000. Tannins: biological activity and bacterial tolerance. Di dalam: Brooker JD, editor. Tannins in Livestock and Human Nutrition. Proceedings of an International Workshop; Adelaide 31 Mei-2 Juni 1999. Canberra: ACIAR. hlm 111-115.

Peng H, Revell D, McSweenet, Brooker JD. 2005. Effects of different non-protein amino acids on in vitro dry matter digestibility of lucerne chaff. J Anim Feed Sci 12: 139-146.

Perez D, Chavarria F, Epinozo. 1999. Acacia villosa. http://www.acguanacaste. ac.cr/paginas_especie/plantae_online/magnoliophyta/fabaceae/indice_ mimosoideae.htm). [7 Juli 2007].

Sell DR, Reed WM, Chrisman CL, Rogler JC. 1985. Mucin excretion and morphology of the intestinal tract as influenced by sorghum tannins.

Nutr Rep Int 31(6): 1369-1374.

Shackelford CC, Elwell MR. 1999. Small and Large Intestine and Mesentery. Di dalam: Maronpot, editor. Pathology of the Mouse. Vienna: Cache River Press.

Smith AH et al. 2001. Evaluation of toxicity of Acacia angustissima in rat bioassay. Anim Feed Scie Technol 91:41-47.

Smith HA, Jones TC, Hunt RD. 1974. Veterinary Pathology. Ed ke-4. Philadelphia: Lea & Febiger.

Susanti F. 2002. Peningkatan manfaat akasia (Acacia sp.), kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan lamtoro (Leucaena leucocephala) dengan fermentasi kapang Aspergillus niger. [skripsi]. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Sulistiyo S. 2006. Gambaran histopatologi ginjal tikus pada pemberian sediaan DL-2,4-diamino n-butyric acid (DABA) selama 6 minggu. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

(51)

in Indonesia and Australia. Proceedings of an International Workshop Held; BPT Ciawi Bogor, 2 Feb 1984. Canberra: ACIAR. hlm 28-32.

Thomas N, Barry TN, Forss DA.

1982. The condensed tannin

content of vegetative Lotus

pedunculatus its regulation by

fertilizer application and effect

upon protein solubility. J Sci

Food Agric 34: 1047-1056.

Van Soest PJ, Conklin NL, Horvath PJ. 1986. Tannins in food and feeds.

Proceedings of the Cornell Nutrition Conference for Feed Manufacturers. hlm 115-122.

Waghorn GC, Ulyatt MJ, John A,

Fisher MT. 1987. The effect of

condensed tannins on the site of

digestion of amino acids and

other nutrients in sheep fed on

Lotus corniculatus L. Brit J Nutr

57: 115-126.

Widiyastuti T. 2001. Detoksifikasi daun lamtoro (Leucaena leucocephala) secara fisik dan kimia serta pemanfaatannya sebagai sumber pigmentasi dalam ransum ayam broiler. [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Wina E, Tangendjaja B, Susana IWR. 2005. Effects of chopping, and soaking in water, hydrochloric acidic and calcium hydroxide solutions on the nutritional value of Acacia villosa for goats. Anim Feed Scie Technol

(52)

Wina E dan Tangendjaja B. 2000. The Possibility of Toxic Compound Present in

A. villosa. Bul Pet 23:34-42.

(53)
(54)

Lampiran 1 Bagan pembuatan sediaan histopatologi

Sampling organ dalam bentuk potongan setebal 0.5 cm

Fiksasi

BNF 10% selama 6-48 jam

Sayatan ulang (trimming) Dehidrasi

Alkohol 70%; 80%; 90%, alkohol absolut I dan II masing-masing 2 jam

Clearing

Xylol I dan II masing-masing 2 jam

Embedding

Penanaman jaringan dalam parafin, suhu 56 0C

Sectioning

Pemotongan jaringan dengan menggunakan mikrotom dengan tebal tidak lebih dari 5 μm

Mounting

Penempelan jaringan pada gelas objek

(55)

Lampiran 2 Bagan proses pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)

Xylol I selama 2 menit

Xylol II selama 2 menit

Alkohol absolut selama 2menit

Alkohol 95% selama 1menit

Alkohol 80% selama 1 menit

Cuci dengan air mengalir selama 1 menit

Mayer’s Hematoksilin selama 8 menit

Cuci dengan air mengalir selama 30 detik

Litium karbonat selama 15-30 detik

Cuci dengan air mengalir selama 1 menit

Eosin selama 2-3 menit

Cuci dengan air mengalir selama 30-60 detik

Alkohol 95% 10 celupan

Alkohol absolut I 10 celupan

Alkohol absolut II selama 2menit

Xylol I selama 1 menit

Xylol II selama 2 menit

Dikeringkan

(56)

Lampiran 3 Bagan proses pembuatan tepung daun A. villosa

Daun A. villosa segar

Dikukus (10 menit) Suhu 60-70 0C

Direndam dalam nitrogen cair

Direndam dalam nitrogen cair

Freeze dryer

(1 minggu)

Digiling

Tepung daun

Freeze dryer

(1 minggu)

(57)

Lampiran 4 Hasil analisis statistik ANOVA dan uji Duncan • One-way ANOVA: jml sel radang lambung

Source DF SS MS F P preparat 2 5740 2870 6,26 0,011 Error 15 6873 458

Total 17 12614

S = 21,41 R-Sq = 45,51% R-Sq(adj) = 38,24%

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev ---+---+---+---+--- k 6 94,17 20,68 (---*---)

ks 6 77,67 20,63 (---*---)

tks 6 121,00 22,83 (---*---)

---+---+---+---+--- 75 100 125 150

Pooled StDev = 21,41

jml sel radang

preparat_3 N Subset for alpha = .05

1 2

Duncan(a) ks 6 77,667

k 6 94,167

tks 6 121,000

Sig. 0,202 1,000

(58)

• One-way ANOVA: jml sel globet

Source DF SS MS F P preparat 2 28135 14068 23,49 0,000 Error 15 8985 599

Total 17 37120

S = 24,47 R-Sq = 75,80% R-Sq(adj) = 72,57%

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev -+---+---+---+--- k 6 121,50 27,20 (---*---)

ks 6 178,25 5,91 (---*---)

tks 6 217,83 31,97 (---*---) -+---+---+---+--- 105 140 175 210

Pooled StDev = 24,47

jml sel goblet

preparat_3 N Subset for alpha = .05

1 2 3

Duncan(a) ks 6 121,5

k 6 178,25

tks 6 217,8333333

Sig. 1 1 1

(59)

• One-way ANOVA: rasio lapis sel Chief dan mukosa

Source DF SS MS F P preparat 2 0,22645 0,11322 65,92 0,000 Error 15 0,02576 0,00172

Total 17 0,25221

S = 0,04144 R-Sq = 89,79% R-Sq(adj) = 88,42%

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Level N Mean StDev ---+---+---+---+- k 6 0,33750 0,03290 (---*--)

ks 6 0,42600 0,04226 (---*--) tks 6 0,15650 0,04779 (---*--)

---+---+---+---+- 0,20 0,30 0,40 0,50

Pooled StDev = 0,04144

Rasio lapis sel Chief

preparat_3 N Subset for alpha = .05

1 2 3

Duncan(a) ks 6 0,1565

k 6 0,33983

tks 6 0,426

Sig. 1 1 1

(60)

Lampiran 5 Hasil skoring lanjutan deskuamasi epitel mukosa lambung dan Deskuamasi epitel lambung

a. Skoring lanjutan lanjutan deskuamasi epitel mukosa lambung

Kelompok n Skor Akhir

K 6 1.30

KS 6 1.00

TKS 6 1.67

b. Skoring lanjutan lanjutan deskuamasi enterosit

Kelompok n Skor Akhir

K 6 1.10

KS 6 1.00

(61)

Gambar

Gambar 1  Gambaran histologi lambung bagian fundus, abomasum kambing.    Sel Chief (a);  sel parietal (b)
Gambar 2  Gambaran histologi duodenum manusia. Kelenjar Brunner’s (a), mukosa (b), plika sirkularis (c), submukosa (d), tunika muskularis (e)
Gambar 4  Bunga dan daun A. villosa. Sumber: (Perez et al. 1999).
Tabel 1  Komposisi kimia A. villosa dan beberapa jenis leguminosa
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Sebanyak 18 ekor tikus ( Rattus rattus ) dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok kontrol yang diberi pakan kontrol, kelompok KS yang diberi pakan yang dicampur dengan tepung daun

Gambaran Histopatologi Jantung Dan Otak Pasca Pemberian Ekstrak Etanol Daun Kembang Bulan ( Tithonia Diversifolia ) (Studi Pada Tikus Putih Galur Wistar); Bintoro Adi

Gambaran Histopatologi Jantung Dan Otak Pasca Pemberian Ekstrak Etanol Daun Kembang Bulan ( Tithonia Diversifolia ) (Studi Pada Tikus Putih Galur Wistar); Bintoro Adi

Tidak terdapat perubahan gambaran histopatologi sel tubulus ginjal tikus wistar setelah diberi metanol dengan dosis ¼LD100M dan ½LD100M sehingga pengaruh ranitidin

menyelesaikan skripsi yang berjudul Gambaran Histopatologi Duodenum Ayam Pedaging Yang Diinfeksi Ascaridia galli Dengan Terapi Daun Pare ( Momordica charantia

Pada kelompok perlakuan dengan pemberian metanol konsentrasi 60% selama 10 hari (kelompok D), gambaran mikroskopik tampak lapisan mukosa yang utuh dan terdapat sel-sel