• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberian Daun Lamtoro Merah (Acacia villosa) Dikukus dan Tidak Dikukus Terhadap Gambaran Histopatologi Hati Tikus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pemberian Daun Lamtoro Merah (Acacia villosa) Dikukus dan Tidak Dikukus Terhadap Gambaran Histopatologi Hati Tikus"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN DAUN LAMTORO MERAH (Acacia villosa) DIKUKUS DAN TIDAK DIKUKUS TERHADAP

GAMBARAN HISTOPATOLOGI HATI TIKUS

DJUHARTI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PENGARUH PEMBERIAN DAUN LAMTORO MERAH (Acacia villosa) DIKUKUS DAN TIDAK DIKUKUS TERHADAP

GAMBARAN HISTOPATOLOGI HATI TIKUS

DJUHARTI

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Judul skripsi : Pengaruh Pemberian Daun Lamtoro Merah (A.villosa) Dikukus dan Tidak Dikukus Terhadap Gambaran Histopatologi Hati Tikus Nama : Djuharti

NRP : B04102171

Disetujui,

Dr. drh. Eva Harlina, MSi. drh. HernomoadiHuminto,MVS Dosen Pembimbing I DosenPembimbingII

Diketahui,

Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS

Wakil Dekan FKH IPB

(4)

ABSTRAK

DJUHARTI. Pengaruh Pemberian Daun Lamtoro Merah (A.villosa) Dikukus dan Tidak Dikukus Terhadap Gambaran Histopatologi Hati Tikus. Dibimbing oleh EVA HARLINA dan HERNOMOADI HUMINTO.

A.villosa adalah leguminosa yang potensial sebagai pakan ternak karena mengandung protein tinggi (22-28%). Namun pemanfaatan A.villosa terkendala karena mengandung senyawa sekunder yang bersifat toksik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengukusan terhadap senyawa sekunder daun A.villosa yang diamati melalui performa, nilai fungsi dan gambaran histopatologi hati serta gambaran darah tikus setelah percobaan selama 4 minggu. Sebanyak 18 ekor tikus (Rattus rattus) dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok kontrol yang diberi pakan kontrol, kelompok KS yang diberi pakan yang dicampur dengan tepung daun A.villosa dikukus, dan kelompok TKS yang diberi pakan yang mengandung daun A.villosa tidak dikukus.

(5)

ABSTRACT

Acacia villosa is a leguminous tree that potential as ruminant feedstuff caused it’s highly protein content (22-28%). However, the usage is hindered by its content of toxic secondary compounds. The aim of this research is to find out the effect of steaming of A. villosa leaf on its toxic secondary compounds by evaluation of performance, liver serum profile and histopathological changes, and hematological profile of rats (Rattus rattus) after treated for 4 weeks. Eighteen rats were divided into 3 groups; K group was control that given control feed, KS group was given feed which mixed with steamed A. villosa leaf and TKS group which was given un-steamed Acacia villosa leaf.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, 16 Mei 1982 dari Ayah Alm. E. Djumanta dan Ibu Warnati. Penulis merupakan putri ke-9 dari sembilan bersaudara. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SDN Cipayung Depok pada tahun 1994, kemudian melanjutkan pendidikan di SLTPN 3 Depok, dan lulus pada tahun 1997.

Pada tahun 2000 penulis menyelesaikan pendidikan di SMUN 2 Depok, dan melanjutkan pendidikan ke Universitas Muhamadiyah PROF.DR.HAMKA Jakarta pada tahun yang sama. Pada tahun 2002, penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

(7)

KATA PENGANTAR

Syukur Allhamdulillah penulis sampaikan kepada ALLAH SWT atas segala karunia dan kasih sayangNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. drh. Eva Harlina, MSi., selaku dosen pembimbing pertama dan Bapak drh. Hernomoadi Huminto, MVS., selaku dosen pembimbing kedua yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan nasihat kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian hingga penyusunan skripsi.

Penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. drh. Wiwin Winarsih MSi., selaku dosen penguji yang sudah memberikan banyak saran dan masukan untuk kesempurnaan dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih yang tulus kepada Dr. drh. Tuty L. Yusuf, MS., selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan nasihat selama ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf dan pegawai Bagian Patologi Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi FKH IPB, terutama Pak Kasnadi, Pak Endang dan Pak Soleh atas bantuannya selama penelitian.

Kepada Diyah Kuswarini sebagai rekan sepenelitian, Villosa Team (Kak jaka, Kak Ato, Au, Rahma, Lona, Asri, Nita, Putri, Erda dan Efal), Angga, Isti, Afrida, Budi, Teguh, Insa, Nila, Wayan, Mela, Dina, Joana, Ferdi, Jimmy, Dinda, Nalia, Dely, Kris dan Karen, terima kasih atas bantuan dan keceriaan yang telah merubah dan memberikan warna dalam hidup penulis.

(8)

bantuan, dukungan, semangat, kerja sama, dan kebersamaan yang telah terjalin selama ini.

Kepada Ayah dan Ibu tercinta yang selalu memanjatkan doa dan memberikan kepercayaan, serta seluruh Kakak-kakak yang selalu memberikan semangat dan dukungan materil hingga saat ini, penulis menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang tak terhingga.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini belum sempurna, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Februari 2007

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Manfaat ... 2

TINJAUAN PUSTAKA A.villosa ... 3

Tanin ... 4

Asam Amino Non-Protein ... 6

Hati ... 8

Detoksifikasi Senyawa Sekunder ... 11

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ... 13

Bahan dan Alat ... 13

Metode ... 13

Evaluasi Histopatologi ... 14

Analisis Data ... 14

(10)

Pengaruh Pemberian Daun A.villosa Dikukus dan

Tidak Dikukus Terhadap Gambaran Histopatologi Hati Tikus... 17

Pengaruh Pemberian Daun A.villosa Dikukus dan Tidak Dikukus Terhadap Fungsi Hati Tikus ... 23

Pengaruh Pemberian Daun A.villosa Dikukus dan Tidak Dikukus Terhadap Gambaran Darah Tikus ... 25

Pengaruh Pengukusan dan Pengeringan Terhadap Senyawa Sekunder A.villosa ... 28

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 29

Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30

(11)

PENGARUH PEMBERIAN DAUN LAMTORO MERAH (Acacia villosa) DIKUKUS DAN TIDAK DIKUKUS TERHADAP

GAMBARAN HISTOPATOLOGI HATI TIKUS

DJUHARTI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

PENGARUH PEMBERIAN DAUN LAMTORO MERAH (Acacia villosa) DIKUKUS DAN TIDAK DIKUKUS TERHADAP

GAMBARAN HISTOPATOLOGI HATI TIKUS

DJUHARTI

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(13)

Judul skripsi : Pengaruh Pemberian Daun Lamtoro Merah (A.villosa) Dikukus dan Tidak Dikukus Terhadap Gambaran Histopatologi Hati Tikus Nama : Djuharti

NRP : B04102171

Disetujui,

Dr. drh. Eva Harlina, MSi. drh. HernomoadiHuminto,MVS Dosen Pembimbing I DosenPembimbingII

Diketahui,

Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS

Wakil Dekan FKH IPB

(14)

ABSTRAK

DJUHARTI. Pengaruh Pemberian Daun Lamtoro Merah (A.villosa) Dikukus dan Tidak Dikukus Terhadap Gambaran Histopatologi Hati Tikus. Dibimbing oleh EVA HARLINA dan HERNOMOADI HUMINTO.

A.villosa adalah leguminosa yang potensial sebagai pakan ternak karena mengandung protein tinggi (22-28%). Namun pemanfaatan A.villosa terkendala karena mengandung senyawa sekunder yang bersifat toksik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengukusan terhadap senyawa sekunder daun A.villosa yang diamati melalui performa, nilai fungsi dan gambaran histopatologi hati serta gambaran darah tikus setelah percobaan selama 4 minggu. Sebanyak 18 ekor tikus (Rattus rattus) dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok kontrol yang diberi pakan kontrol, kelompok KS yang diberi pakan yang dicampur dengan tepung daun A.villosa dikukus, dan kelompok TKS yang diberi pakan yang mengandung daun A.villosa tidak dikukus.

(15)

ABSTRACT

Acacia villosa is a leguminous tree that potential as ruminant feedstuff caused it’s highly protein content (22-28%). However, the usage is hindered by its content of toxic secondary compounds. The aim of this research is to find out the effect of steaming of A. villosa leaf on its toxic secondary compounds by evaluation of performance, liver serum profile and histopathological changes, and hematological profile of rats (Rattus rattus) after treated for 4 weeks. Eighteen rats were divided into 3 groups; K group was control that given control feed, KS group was given feed which mixed with steamed A. villosa leaf and TKS group which was given un-steamed Acacia villosa leaf.

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, 16 Mei 1982 dari Ayah Alm. E. Djumanta dan Ibu Warnati. Penulis merupakan putri ke-9 dari sembilan bersaudara. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SDN Cipayung Depok pada tahun 1994, kemudian melanjutkan pendidikan di SLTPN 3 Depok, dan lulus pada tahun 1997.

Pada tahun 2000 penulis menyelesaikan pendidikan di SMUN 2 Depok, dan melanjutkan pendidikan ke Universitas Muhamadiyah PROF.DR.HAMKA Jakarta pada tahun yang sama. Pada tahun 2002, penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

(17)

KATA PENGANTAR

Syukur Allhamdulillah penulis sampaikan kepada ALLAH SWT atas segala karunia dan kasih sayangNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. drh. Eva Harlina, MSi., selaku dosen pembimbing pertama dan Bapak drh. Hernomoadi Huminto, MVS., selaku dosen pembimbing kedua yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan nasihat kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian hingga penyusunan skripsi.

Penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. drh. Wiwin Winarsih MSi., selaku dosen penguji yang sudah memberikan banyak saran dan masukan untuk kesempurnaan dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih yang tulus kepada Dr. drh. Tuty L. Yusuf, MS., selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan nasihat selama ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf dan pegawai Bagian Patologi Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi FKH IPB, terutama Pak Kasnadi, Pak Endang dan Pak Soleh atas bantuannya selama penelitian.

Kepada Diyah Kuswarini sebagai rekan sepenelitian, Villosa Team (Kak jaka, Kak Ato, Au, Rahma, Lona, Asri, Nita, Putri, Erda dan Efal), Angga, Isti, Afrida, Budi, Teguh, Insa, Nila, Wayan, Mela, Dina, Joana, Ferdi, Jimmy, Dinda, Nalia, Dely, Kris dan Karen, terima kasih atas bantuan dan keceriaan yang telah merubah dan memberikan warna dalam hidup penulis.

(18)

bantuan, dukungan, semangat, kerja sama, dan kebersamaan yang telah terjalin selama ini.

Kepada Ayah dan Ibu tercinta yang selalu memanjatkan doa dan memberikan kepercayaan, serta seluruh Kakak-kakak yang selalu memberikan semangat dan dukungan materil hingga saat ini, penulis menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang tak terhingga.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini belum sempurna, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Februari 2007

(19)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Manfaat ... 2

TINJAUAN PUSTAKA A.villosa ... 3

Tanin ... 4

Asam Amino Non-Protein ... 6

Hati ... 8

Detoksifikasi Senyawa Sekunder ... 11

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ... 13

Bahan dan Alat ... 13

Metode ... 13

Evaluasi Histopatologi ... 14

Analisis Data ... 14

(20)

Pengaruh Pemberian Daun A.villosa Dikukus dan

Tidak Dikukus Terhadap Gambaran Histopatologi Hati Tikus... 17

Pengaruh Pemberian Daun A.villosa Dikukus dan Tidak Dikukus Terhadap Fungsi Hati Tikus ... 23

Pengaruh Pemberian Daun A.villosa Dikukus dan Tidak Dikukus Terhadap Gambaran Darah Tikus ... 25

Pengaruh Pengukusan dan Pengeringan Terhadap Senyawa Sekunder A.villosa ... 28

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 29

Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30

(21)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Komposisi kimia A.villosa ... 4 2. Distribusi dan efek merugikan dari beberapa AANP ... 7 3. Pengaruh pemberian daun A.villosa dikukus dan tidak dikukus

selama 4 minggu terhadap konsumsi pakan, bobot badan dan nilai konversi pakan tikus ... 15

4. Pengaruh pemberian daun A.villosa dikukus dan tidak dikukus selama 4 minggu terhadap persentase perubahan histpatologi hati tikus ... 18

5. Pengaruh pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus selama 4 minggu terhadap fungsi hati tikus... 23

6. Pengaruh pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus selama 4 minggu terhadap gambaran darah tikus... 26

(22)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Gafik rata-rata konsumsi pakan tikus yang diberi daun

A.villosa dikukus dan tidak dikukus selama

4 minggu ... 16

2. Grafik rata-rata bobot badan tikus yang diberi daun A. villosa

dikukus dan tidak dikukus selama 4 minggu... 16

3. Grafik perubahan histopatologi hati tikus berdasarkan jenis kerusakan hepatosit yang diberi daun A. villosa dikukus dan

tidak dikukus selama 4 minggu... 19

4. Hati tikus yang mengalami degenerasi berbutir pada

kelompok kontrol... 22

5. Hati tikus yang mengalami degenerasi hidropis pasca pemberian daun A. villosa dikukus selama 4 minggu... ... 22

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Tabel komposisi pakan tikus ... 34 2. Uji ANOVA terhadap konsumsi pakan tikus pasca pemberian

daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus ... 35

3. Uji ANOVA terhadap bobot badan tikus pasca pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus ... 37

4. a. Kerusakan hepatosit pasca pemberian daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus ... 39 b. Kerusakan hepatosit daerah sentrolobuler

dan segitiga Kiernan ... 39

5. Uji ANOVA terhadap gambaran kerusakan hati tikus

pasca pemberiandaun A. villosa dikukus dan tidak dikukus ... 40

6. Uji ANOVA terhadap fungsi hati tikus pasca pemberian daun

A. villosa dikukus dan tidak dikukus ... 41

7. Uji ANOVA terhadap gambaran darah tikus pasca pemberian

daun A. villosa dikukus dan tidak dikukus ... 43

(24)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Makanan pokok ruminansia adalah rumput yang mengandung bahan kering

15-20%, protein 2% dan energi 4.300 kal/g bahan kering. Disamping kadar

proteinnya yang rendah, rumput juga mengandung lignin dan silika yang tinggi.

Tingginya lignin dan silika mengakibatkan rendahnya tingkat konsumsi ternak dan

kualitas hasil ternak (Wiradarya 1991).

Dalam usaha peternakan sebagian besar biaya produksi ditentukan oleh biaya

pakan. Oleh karena itu, faktor keuntungan yang besar dapat diperoleh apabila ransum

dapat dimanipulasi secara efektif dan efisien, terutama dalam hal penggunaan bahan

pakan yang kaya akan protein. Hijauan leguminosa adalah salah satu contoh tanaman

yang mengandung protein tinggi karena kaya akan nitrogen dan tidak tergantung pada

kondisi nitrogen dalam tanah. Penggunaan hijauan leguminosa sebagai sumber

protein ransum mempunyai beberapa keuntungan, antara lain : 1) dapat menyediakan

protein yang cukup tinggi, murah, mudah didapat dan pasokan terjamin sepanjang

tahun; 2) mengandung sejumlah tanin sehingga dapat mencegah kembung dan

melindungi degradasi protein yang berlebihan oleh mikroba rumen; 3) beradaptasi

baik pada berbagai jenis lahan (Manurung 1995).

Acacia villosa merupakan jenis leguminosa yang sangat potensial digunakan

sebagai pakan karena mengandung protein yang tinggi. Tumbuhan ini mudah

diperoleh karena banyak ditemukan di daerah penyangga hutan. Pemanfaatan

A.villosa mempunyai banyak kendala karena adanya senyawa sekunder yaitu tanin

dan asam amino non-protein (AANP) (Wina dan Tangendjaja 2000).

Pengaruh negatif dari senyawa sekunder yang terkandung pada tanaman

leguminosa dapat dikurangi dengan perlakuan fisik atau kimia (Odenyo et al. 2003),

diantaranya adalah dengan perendaman dan pencucian daun, penambahan

polyethilenaglycol (PEG) untuk mengurangi efek tanin (Wina et al. 1994),

pengeringan yang berpengaruh terhadap penurunan kecernaan tanin (Hove et al.

(25)

2

amino non-protein (Widiyastuti 2001). Pada tanaman Leucaena leucephala, asam

amino non-protein mimosin yang bersifat toksik dapat berubah menjadi

3-hydroxi-4(1H)-pyridone (DHP) yang kurang toksik melalui proses pemanasan pada suhu 70oC

selama 10 menit. Pada ruminansia, pemberian A.villosa dalam dosis tinggi dan tanpa

masa adaptasi menyebabkan kematian, sedangkan dengan masa adaptasi tidak

menyebabkan kematian. Hal ini dikarenakan mikroflora rumen mampu mendegradasi

senyawa toksin (Widiyastuti 2001).

Penelitian dilakukan pada hewan coba tikus putih (Rattus rattus). Tikus putih

digunakan sebagai hewan model karena selain dapat menghemat waktu, juga lebih

sensitif terhadap toksin tanaman daripada ruminansia (Smith et al. 2001).

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan histopatologi hati

tikus putih (Rattus rattus) yang diberi daun A.villosa dikukus dan tidak dikukus

melalui penghitungan jumlah kerusakan hepatosit.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh

(26)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Acacia villosa

Acacia merupakan salah satu jenis leguminosa yang dapat tumbuh di daerah

tropis dan subtropis, mempunyai nilai nutrisi tinggi, tahan terhadap kekeringan,

mudah tumbuh dan ekonomis (Subagyo 2002).

A.villosa atau lamtoro merah termasuk leguminosa pohon atau semak dari

keluarga Mimosoidea. Tanaman ini masuk ke Indonesia tahun 1920 dari Curacao

(West Indies) dan sekarang secara luas dapat ditemukan di hutan-hutan di Pulau Jawa

dan Sumatra. Lamtoro merah sangat cocok digunakan untuk reboisasi karena

pertumbuhannya yang cepat. Selain itu semak ini juga sebagai tanaman penghasil

kayu yang berguna bagi masyarakat sekitar hutan (Wina dan Tangendjaja 2000).

Tumbuhan ini merupakan perdu atau tanaman kecil, tegak dengan tinggi 1-3

m bahkan mencapai 5 m dengan batang dan cabang berwarna merah tua. Mempunyai

cabang yang banyak dan sistem perakaran yang dangkal serta kuat. Daun dicirikan

dengan bentuk majemuk dan bersirip ganda yang terdiri atas 2-10 pasang, panjang

4-9 cm, perbungaan pendek, terdiri atas 20-40 butir bunga. Bunga berkelamin dua,

berwarna putih, yang kemudian menjadi kekuningan. Buah A.villosa berbentuk

polong, pipih, dan berwarna cokelat mengkilap. Tiap polong berisi 1-8 buah biji yang

berbentuk bulat telur dan berwarna cokelat (Jukema dan Danimihardja 1997).

A.villosa tersebar dari dataran rendah hingga ± 1200 m di atas permukaan

laut, dan tumbuh cepat pada curah hujan 200-520 mm/tahun dengan kelembaban

55-70% (Bansi 2001). Di Kupang, A.villosa dikenal dengan nama lamtoro merah karena

tangkai dan batangnya berwarna merah, tetapi bentuk dan rupanya mirip dengan

lamtoro (Wina dan Tangendjaja 2000). Di daerah Timor Barat tanaman ini digunakan

sebagai pakan ternak, sedangkan di daerah Karibia, A.villosa digunakan sebagai

bahan obat untuk menyembuhkan radang mulut dan tenggorokan serta sebagai bahan

(27)

4

Salah satu jenis acacia yang menyerupai A.villosa adalah Acacia

angustissima. Keduanya mempunyai ciri fisik yang hampir sama, hanya saja jika

diperhatikan dengan seksama batang A.angustissima mempunyai warna lebih gelap

dibanding dengan batang A.villosa (ILCA 1991 dalam Bansi 2001). Komposisi kimia

A.villosa disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia A.villosa

Komposisi %

Protein Kasar Ekstrak Eter

Serat Detergen Netral Serat Detergen Asam Selulosa

Seperti tanaman leguminosa lainnya, A.villosa mempunyai kandungan protein

yang tinggi (Tabel 1) sehingga sangat berpotensi menjadi sumber protein bagi

ruminansia. Namun demikian, ada keterbatasan dalam penggunannya, karena

tanaman ini mengandung beberapa senyawa sekunder seperti tanin, AANP, oksalat,

cyanoglikosid, selenium, fluoroacetat, dan saponin (ILCA 1991 dalam Bansi 2001).

Wina dan Tangendjaja (2000) juga memaparkan zat antinutrisi yang sama, tetapi

tidak mendeteksi adanya asam sianida (HCN).

Tanin

Tanin adalah senyawa organik yang termasuk kedalam kelompok polifenol

kompleks dengan bobot molekul lebih besar dari 2.000 (Aryetti 2003). Sifat utama

(28)

5

hemiselulosa, dan pektin untuk membentuk suatu kompleks yang stabil. Hal ini

dikarenakan tanin mempunyai sejumlah besar senyawa bebas hydroxylphenol yang

membentuk ikatan hidrogen kuat dengan protein dan karbohidrat (Reed 1995).

Kemampuan tanin untuk membentuk senyawa kompleks dengan protein

merupakan aspek penting pada nilai gizi dan efek toksikologinya. Kekuatan senyawa

kompleks ini tergantung pada karakteristik tanin dan protein seperti berat molekul,

struktur tersier, nilai isoelektrik, dan kemampuan sisi perlekatan (Reed 1995). Tanin

dapat diikat oleh polyvinylpyrollidone (PVP) dan polyethilenaglycol (PEG) serta oleh

senyawa pendenaturasi protein seperti fenol (Makkar 2003).

Tanin dengan konsentrasi tinggi dapat mengurangi asupan pakan, kecernaan

protein dan karbohidrat, sehingga mempengaruhi penampilan fisik hewan. Tanin

mengurangi asupan pakan dengan menurunkan palatabilitas (selera makan), tetapi

tanin dalam konsentrasi sedang sampai rendah dapat mencegah kembung, dan

mempunyai efek anthelmintik (Makkar 2003). Selain itu tanin juga dapat membentuk

ikatan kompleks dengan protein pada pH rumen serta melindungi protein dari enzim

mikroba rumen. Kompleks protein tersebut tidak stabil, tetapi pada pH abomasum

menjadi stabil sehingga dapat dicerna (Reed 1995).

Berdasarkan sifat dan struktur kimianya, tanin diklasifikasikan kedalam tanin

terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin terhidrolisis merupakan asam gallat dan

asam ester ellagat yang terdiri dari rantai panjang senyawa gula dan fenol. Senyawa

ini sangat mudah dihidrolisis oleh asam, basa, atau enzim dan lebih mudah larut

dalam air (Reed 1995). Tanin terhidrolisis sangat toksik bagi ruminansia karena asam

gallat dapat dimetabolisme oleh mikroba menjadi pyrogallol dan senyawa fenol lain

dengan berat molekul rendah, sehingga mudah diabsorbsi. Senyawa fenol

dimetabolisme menjadi asam glukuronat setelah diabsorbsi (Murdiati et al. 1992

dalam Reed 1995). Kerusakan terbanyak yang disebabkan tanin terhidrolisis adalah

hemoragi gastrointestinal, nekrosa sel-sel hati dan kerusakan ginjal pada tubulus

proksimal (Dollahite et al. 1962 dalam Reed 1995).

Tanin terkondensasi adalah polimer yang terdiri atas unit-unit monomer

(29)

6

ikatan karbon yang tidak mudah untuk dihidrolisis (Reed 1995). Tanin terkondensasi

sering juga disebut proanthocyanidin. Tanin ini tidak dapat diabsorbsi tetapi

memberikan efek negatif pada mukosa saluran pencernaan dan menurunkan absorbsi

nutrisi. Proanthocyanidin dapat menurunkan absorbsi asam amino esensial metionin

dan lisin jika terdapat dalam konsentrasi tinggi. Menurunnya ketersediaan metionin

dapat meningkatkan toksisitas dari senyawa tumbuhan lain seperti glikosida

cyanogenik, sebab metionin terlibat dalam detoksifikasi cyanida (Reed 1995). Tanin

A.villosa termasuk dalam kelompok tanin terkondensasi (Odenyo et al. 2003).

Asam Amino Non-Protein

Asam amino non-protein (AANP) merupakan asam amino yang bukan

pembangun protein. Hampir 300 jenis asam amino non-protein telah diisolasi dari

tumbuhan dan umumnya terakumulasi pada biji dan daun. Asam amino non-protein

mempunyai struktur kimia yang analog dengan asam amino pembentuk protein

(Cheeke 1989).

Asam amino non-protein yang terkandung dalam A.angustissima antara lain

ADAB (2-amino-4-acetylaminobutyric acid), DABA (2,4-diamynobutyric acid) dan

oxalylabizine. Diantara ketiga asam amino non-protein tersebut jumlah yang paling

mendominasi adalah ADAB, yang diduga diperoleh dari degradasi β

-(isoxazolin-5-on-2-yl)-homoalanine (BIHA) menjadi DABA lalu melalui asetilasi oleh enzim

sintesis acetyl-coA diubah menjadi ADAB (Evans et al. 1993).

Odenyo et al. (1997) melaporkan bahwa domba yang mengkonsumsi

A.angustissima mengalami gejala keracunan yang mirip akibat pemberian Lathyrus

spp, diantaranya sindrom sistem saraf pusat akut yang diikuti oleh kematian lebih dari

50%. Gejala fisik lain yang bisa ditemukan antara lain kolaps, mabuk, mulut berbusa,

gigi gemeretak, dan kejang. Perubahan histopatologi yang ditemui antara lain

kerusakan hati berupa degenerasi lemak di daerah sentrolobuler, kongesti dan edema

(30)

7

Penelitian yang dilakukan oleh McSweeney et al. (2001) menemukan adanya

asam amino non-protein lain yaitu oxalyl diaminopropionic (ODAP) dan oxalyl

diaminobutyric (ODAB) yang diketahui berefek neurotoksin dalam konsentrasi

sangat rendah. Juga ditemukan asam beta acetyl diaminopropionic (ADAP) dan dua

asam amino non-protein yang belum teridentifikasi pada daun A.angustissima dengan

konsentrasi antara 1-4.4 g/kg berat kering.

DABA (2,4-diamynobutyric acid) merupakan asam amino non-protein yang

homolog dengan ornitin dan bersifat neurotoksik. Cara kerja AANP ini adalah dengan

menghambat ornithine-carbamoyl transferase di hati, sehingga mengganggu siklus

pembentukan urea yang dapat menginduksi toksisitas amonia. Pemberian DABA

(2,4-diamynobutyric acid) pada tikus menimbulkan gejala kelemahan, tremor, dan

kejang-kejang (Cheeke 1989).

Beberapa asam amino non-protein tanaman leguminosa yang bersifat

merugikan hewan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Distribusi dan efek merugikan dari beberapa asam amino non-protein

AANP Spesies tumbuhan Efek merugikan

Mimosin Leucaena leucephala Efek teratogenik, kerusakan organ, bulu

rontok, kematian.

Canavanine Canavalia ensiformis

Gliricidia sepium Robinia pseudoacacia

Mengurangi pertumbuhan dan retensi nitrogen

Indospicine Indigofera spicata Efek teratogenik dan kerusakan hati.

Homoarginine Lathyrus cicera Menghambat pertumbuhan dan

mengurangi asupan pakan

Sumber : D’Mello (2003)

Mimosin adalah asam amino aromatik yang mempunyai kontribusi sebagai

racun pada hewan. Mimosin mempunyai struktur yang analog dengan tirosin dan

(31)

8

menyebabkan gangguan fungsi reproduksi, teratogenik, kebotakan bahkan kematian

(D’Mello 2003).

Toksisitas mimosin dipengaruhi oleh mikroba rumen dan keberadaan bakteri

pemecah mimosin. Mimosin didegradasi menjadi 3,4-dihydroxypyridone (3,4-DHP)

oleh enzim ketika daun dikunyah dalam mulut ternak. Mimosin atau DHP

mempengaruhi kehilangan citarasa (apetite), penurunan kadar tiroksin dalam darah,

kondisi goitrogenik, berat badan menurun, kelemahan bahkan kematian (Rosenthal

1982). Selain itu, 3,4-DHP diketahui ada pada daun legum sebagai aktivitas enzim

pasca panen atau pasca pemotongan (Widiyastuti 2001).

Rosenthal (1982) menyatakan bahwa ruminansia lebih tahan terhadap

mimosin dibanding ternak berlambung tunggal, sebab bakteri rumen mampu

mengubah mimosin menjadi 3-hydroksi-4(1H)-pyridone (DHP) yang kurang beracun.

Hati

Hati merupakan organ yang mempunyai peranan penting dalam metabolisme

dan memiliki beberapa fungsi dalam tubuh termasuk penyimpanan glikogen, sintesis

protein plasma dan penetralan racun.

Struktur histologi dan komponen sel hati tikus pada dasarnya sama dengan

semua spesies mamalia. Hati terdiri dari beberapa hepatosit (sel parenkim), sel-sel

sinusoid (sel endotel, sel Kuppfer), sel hematopoietik, sel saraf, sel pembuluh darah,

dan limfatik (Harada et al.1999).

Permukaan hati ditutupi oleh kapsula fibrosa yang padat, yang sebagian

berhubungan langsung dengan diafragma dan dinding abdominal sebelah posterior,

lalu dilapisi lagi dengan peritoneum. Unit fungsional hati adalah lobulus hati, yang

merupakan struktur silindris di sekeliling vena sentralis, terdiri dari banyak

lempengan sel hepatika yang tersebar secara sentrifugal dari vena sentralis. Tiap

lempengan hepatika mempunyai tebal dua sel dan antara sel yang berdekatan terletak

(32)

9

Menurut struktur dan fungsinya, lobulus hati dibagi menjadi tiga zona atau

daerah yaitu daerah sentrolobuler, daerah tengah (midzonal) dan daerah periportal.

Daerah sentrolobuler merupakan akhir dari mikrosirkulasi yang menerima darah dari

pertukaran gas dan metabolit dengan sel-sel dari daerah tengah dan periportal. Hal ini

menyebabkan daerah sentrolobuler lebih sensitif terhadap gangguan sirkulasi

(iskemia, anoksia, kongesti) dan defisiensi nutrisi. Sebaliknya, daerah periportal dekat

dengan pembuluh darah, menerima darah yang kaya O2 dan nutrisi. Akan tetapi,

apabila ada senyawa yang bersifat toksik dalam darah, maka daerah ini akan terpapar

terlebih dahulu. Hepatosit di daerah periportal mempunyai lebih banyak mitokondria

sedangkan di daerah sentrolobuler mempunyai jumlah sitokrom P450 yang lebih

banyak (Harada et al. 1999).

Hati mempunyai suplai darah ganda yaitu dari arteri hepatika dan vena porta.

Arteri hepatika mempunyai fungsi utama sebagai pembawa nutrisi, sedangkan vena

porta membawa darah dari traktus gastrointestinalis, limpa, dan pankreas. Arteri

hepatika dan vena porta memasuki hati pada porta hepatika, akhirnya membentuk

cabang arteri dan vena yang terlihat dalam segitiga porta (portal triad), yang

bergabung dengan pembuluh limfatik. Cabang-cabang arteri hepatika membentuk

kapiler-kapiler yang berpenetrasi di tepi-tepi sinusoid, atau ke arah lebih dalam ke

daerah parenkim. Sejumlah kecil darah masuk ke sinusoid secara langsung dari

cabang-cabang arteri hepatika. Sebagian besar sinusoid mengosongkan isinya ke

dalam vena sentralis. Semua vena sentralis dalam lobulus bergabung menjadi vena

hepatika besar yang mengalirkan darahnya ke vena kava (Harada et al. 1999).

Beberapa fungsi hati antara lain merupakan tempat sekresikan empedu,

metabolisme protein, lemak dan karbohidrat, detoksifikasi berbagai senyawa dan

pembentukan protein. Hati merupakan organ yang sering terpapar oleh bahan toksik.

Perjalanan toksikan di dalam tubuh mengalami beberapa tahap yang dimulai dari

proses absorbsi, distribusi, biotransformasi atau metabolisme (aktivasi dan

detoksifikasi) dan eliminasi. Penyerapan toksikan merupakan proses masuknya bahan

(33)

10

difusi sederhana, filtrasi, melalui media pembawa dan endositosis (pencaplokan oleh

sel) (Lu 1995).

Setelah toksikan mengalami penyerapan maka akan diedarkan melalui

peredaran darah ke seluruh jaringan atau organ tubuh sesuai dengan organ sasaran

masing-masing, misalnya otot, tulang, sistem saraf pusat, hati dan ginjal. Hati dan

ginjal dapat menyimpan lebih dari satu zat toksikan. Toksikan akan mengalami

proses metabolisme atau biotransformasi di dalam hati. Proses biotransformasi

toksikan terjadi dalam dua fase, yakni fase I yang melibatkan reaksi oksidasi, reduksi

dan hidrolisis, dan fase II yang melibatkan reaksi konjugasi atau reaksi sintetik.

Biotransformasi melibatkan banyak enzim seperti sitokrom P450, glutathione

transferase, epoksida hidrolase dan flavin terikat monoksidase (Harada et al. 1999).

Toksikan setelah diserap akan dibawa vena porta ke hati, oleh karena itu kadar

enzim (terutama sitokrom P450) akan meningkat. Oksidasi toksikan oleh sitokrom

P450 menghasilkan senyawa yang sangat reaktif, yang dalam keadaan normal segera

dirubah menjadi metabolit yang lebih stabil. Metabolit yang diperoleh dari fase

oksidasi tersebut akan dikonjugasi dengan substrat endogen yang akan menghasilkan

senyawa yang lebih polar dan mudah terionisasi sehingga mudah diekskresikan. Bila

kadar toksikan sangat tinggi, maka metabolit antara yang terbentuk juga tinggi.

Apabila inaktivasi tidak cukup cepat, maka senyawa metabolit tersebut akan bereaksi

dengan komponen sel dan menyebabkan kerusakan jaringan (Ganiswara et al. 1995).

Berbagai macam kerusakan yang terjadi di hati dapat diakibatkan oleh

berbagai sebab, salah satunya adalah racun tanaman. Selain merusak hati, racun

tanaman juga dapat merusak ginjal dan epitel saluran pencernaan (Reed 1995).

Kerusakan yang terjadi pada hati akan meningkatkan kadar enzim-enzim

transaminase karena enzim ini akan dilepaskan ke dalam serum ketika sel hati

mengalami kerusakan. Enzim-enzim transaminase tersebut adalah Serum Glutamat

Pyruvat Transaminase (SGPT) dan Serum Glutamat Oxaloacetat Transaminase

(SGOT). SGPT terdapat dalam jumlah besar pada sel hati manusia, primata, anjing

dan tikus, tetapi terdapat dalam jumlah kecil pada sel hati babi, domba, sapi dan kuda.

(34)

11

jantung, pankreas, ginjal, tulang dan otot sehingga tidak bisa dijadikan sebagai

ukuran kerusakan hati (Girindra 1988).

Detoksifikasi Senyawa Sekunder

Berbagai usaha yang dilakukan untuk mengurangi kadar senyawa sekunder

daun A.villosa adalah dengan perendaman, pencucian daun, penambahan

polyethilenaglycol (PEG) (Wina et al. 1994), pengeringan dan pemanasan untuk

menurunkan kecernaan tanin (Hove et al. 2003).

Pengukusan adalah proses pemanasan yang sering diterapkan dalam sistem

jaringan sebelum dilakukan pembekuan dan pengeringan. Adapun tujuannya adalah

untuk menonaktifkan enzim yang akan merubah warna, cita rasa maupun nilai gizi.

Pada proses pengukusan terjadi pengurangan zat gizi namun tidak sebesar pada

perebusan. Pengukusan dilakukan dengan suhu air lebih tinggi dari 66oC tetapi

kurang dari 82oC. Pada pengukusan tradisional, partikel pada bagian tepi mengalami

pengukusan lebih banyak sedangkan di bagian tengah lebih sedikit (Khotimah 2002).

Pengukusan juga dipakai sebagai perlakuan pendahuluan untuk mempercepat

pengeringan (Krisdianto 2004).

Pembekuan adalah suatu upaya agar bahan perlakuan melewati kisaran suhu

pembentukan kristal es maksimum (0-4oC) dalam waktu sependek mungkin (30 menit

atau kurang), karena pembentukan kristal es yang besar menyebabkan perubahan

yang tidak diinginkan terhadap tekstur jaringan. Pada proses pembekuan terjadi

penghilangan air yang menyebabkan naiknya konsentrasi garam. Salah satu metode

utama pembekuan adalah immersion freezing, yaitu dengan meletakkan bahan

langsung ke dalam cairan pembeku. Salah satu cairan pembeku adalah nitrogen cair,

yang digunakan pada proses pembekuan modern (Gardjito et al. 1992).

Pengeringan secara tradisional dilakukan hanya dengan meletakkan bahan

perlakuan di bawah sinar matahari. Cara ini dipakai untuk mengendalikan

pertumbuhan mikroorganisme maupun untuk menghilangkan air. Salah satu contoh

proses pengeringan adalah proses dehidrasi, yaitu proses penghilangan air

(35)

12

suhu yang dipergunakan jangan terlalu tinggi, karena dapat menyebabkan

perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki pada bahan perlakuan. Salah satu metode yang

dipakai untuk pengeringan adalah freeze drying (pengeringan beku) (Gardjito et al.

1992).

Pada freeze drying (pengeringan beku), semua bahan pada awalnya dibekukan

kemudian dilakukan suatu proses pemanasan ringan dalam suatu lemari hampa udara.

Kristal-kristal es yang terbentuk selama tahapan pembekuan, menyublim jika

dipanaskan pada tekanan hampa, yaitu berubah secara langsung dari es menjadi uap

air tanpa melewati fase cair. Hal ini menghasilkan produk yang bersifat porous

(keropos) dengan perubahan yang sangat kecil terhadap ukuran dan bentuk bahan

aslinya. Karena panas yang dipergunakan sangat rendah, maka kerusakan akibat

panas juga kecil (Gardjito et al. 1992). Lowry et al. (1982) dalam Widiyastuti (2001)

menyatakan bahwa aktivitas enzim mimosinase yang merombak mimosin menjadi

(36)

13

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan

Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan Balai Penelitian

Ternak Ciawi, dimulai dari bulan Februari 2005 hingga Juli 2006.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah daun A.villosa, nitrogen cair, aquades steril,

bahan-bahan untuk pakan tikus dengan formula khusus, bahan-bahan untuk

pembuatan sediaan histopatologi (buffer neutral formaline 10%, alkohol bertingkat

70-100%, xylol, paraffin, alkohol absolut, pewarna Haematoxylin-Eosin, perekat

untuk mounting), serta diethyl eter untuk anastesi hewan coba.

Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih (Rattus rattus) betina

dari jenis Sprague Dawley (SD) berumur empat minggu, dengan bobot badan berkisar

antara 50-80 g.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang individu dari

bak plastik, timbangan elektronik Precisa 3000D, freeze dryer, panci untuk

mengukus, alat-alat nekropsi, tissue cassette, tissue processor, rotary microtome,

lemari es, gelas objek, serta mikroskop cahaya dan video micrometer.

Metode

Daun A.villosa segar dikukus selama sepuluh menit, kemudian direndam

dalam nitrogen cair, lalu dikeringkan dalam tabung freeze dryer selama satu minggu.

Sebagai pembanding, daun A.villosa segar langsung direndam dalam nitrogen cair

dan dikeringkan dalam freeze dryer. Daun yang telah kering kemudian digiling

menjadi tepung daun, dan sebanyak 21% dicampurkan dengan bahan pakan lain

(37)

14

Sebanyak 18 ekor tikus dibagi menjadi 3 kelompok, satu kelompok kontrol

yang hanya diberi pakan kontrol, sisanya adalah kelompok perlakuan, yaitu kelompok

yang diberi pakan mengandung 21% A.villosa dikukus (kelompok KS), dan

kelompok yang diberi pakan mengandung 21% A.villosa tanpa dikukus (kelompok

TKS).

Sebelum perlakuan, hewan coba diadaptasikan terlebih dahulu terhadap pakan

dan lingkungan selama dua minggu. Pakan dan minum diberikan ad libitum.

Percobaan dilaksanakan selama satu bulan dan selama penelitian berlangsung diukur

konsumsi pakan dan bobot badan perminggu untuk mengetahui jumlah konsumsi

pakan, pertambahan bobot badan dan konversi pakan.

Pada tahap akhir penelitian, hewan coba dianastesi terlebih dahulu

menggunakan eter untuk pengambilan darah jantung guna pemeriksaan darah (benda

darah merah, hemoglobin, benda darah putih dan hematokrit) dan fungsi hati (SGPT,

SGOT, total protein, albumin dan globulin). Selanjutnya dilakukan nekropsi pada

semua hewan coba untuk pengambilan organ hati.

Organ hati difiksasi dengan BNF (Buffer Neutral Formaline) 10%, dibuat

sediaan histopatologi dan diwarnai dengan Haematoxylin-Eosin.

Evaluasi Histopatologi

Evaluasi histopatologi dilakukan pada hepatosit yang mengalami degenerasi

berbutir (cloudy swelling), degenerasi hidropis, dan nekrosa pada 20 lapang pandang,

10 buah di sekitar vena sentralis dan 10 buah di sekitar vena porta. Persentase

kerusakan hepatosit diperoleh dengan cara menghitung jumlah yang mengalami

perubahan dalam satu lapang pandang dengan luas 176 µm2 (lensa objektif 40 X).

Analisis Data

Nilai konsumsi pakan, bobot badan, nilai konversi pakan dan evaluasi

histopatologi diolah menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA). Jika berbeda

(38)

15

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Pemberian Daun A.villosa Dikukus dan Tidak Dikukus Terhadap Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Nilai Konversi Pakan Tikus

Pengamatan yang dilakukan terhadap kondisi fisik tikus selama percobaan

tidak memperlihatkan tanda-tanda keracunan. Konsumsi pakan, bobot badan dan nilai

konversi pakan tikus pada pemberian daun A.villosa dikukus dan tidak dikukus

disajikan pada Tabel 3 serta Gambar 1 dan 2.

Pada Tabel 3 terlihat bahwa hasil pemberian pakan yang dicampur dengan

daun A.villosa hanya mempengaruhi konsumsi pakan di minggu pertama dan kedua

saja. Pada minggu pertama dan kedua, konsumsi pakan kelompok dikukus (KS) dan

tidak dikukus (TKS) cenderung lebih rendah dari kelompok kontrol. Hal ini

disebabkan adanya proses adaptasi hewan coba terhadap pakan baru yang

mengandung daun.

Tabel 3 Pengaruh pemberian daun A.villosa dikukus dan tidak dikukus selama 4 minggu terhadap konsumsi pakan, bobot badan dan konversi pakan tikus

Perlakuan Rata-Rata Konsumsi Pakan (gram)

M1 M2 M3 M4 Rata-Rata Bobot Badan (gram)

Kontrol

(39)

16

Berbeda dengan minggu sebelumnya, pada minggu ke-3 dan ke-4 terlihat ada

peningkatan konsumsi pakan kelompok KS dan TKS sehingga tidak berbeda nyata

dengan kelompok kontrol (p>0.05) (Gambar 1). Konsumsi pakan yang baik pada

kelompok perlakuan disebabkan oleh hewan coba telah beradaptasi dengan jenis

pakan yang diberikan yaitu pakan yang mengandung daun A.villosa.

Gambar 1 Pengaruh pemberian daun A.villosa dikukus dan tidak dikukus terhadap konsumsi pakan tikus selama 4 minggu.

Gambar 2 Pengaruh pemberian daun A.villosa dikukus dan tidak dikukus terhadap bobot badan tikus selama 4 minggu.

(40)

17

Pada Tabel 3 tampak bahwa bobot badan hewan coba memperlihatkan

peningkatan setiap minggunya (Gambar 2). Bobot badan kelompok KS tidak berbeda

nyata dengan kelompok TKS, namun bobot badan kelompok perlakuan lebih rendah

dan berbeda nyata dengan kelompok kontrol (p<0.05). Hal ini dikarenakan daun

A.villosa pada kelompok KS dan TKS mengandung serat kasar yang tinggi sehingga

menurunkan kecernaan nutrisi pakan. Adanya kemampuan tanin yang dapat mengikat

karbohidrat, protein dan enzim-enzim pencernaan (Reed 1995 dan Makkar 2003)

menyebabkan kecernaan pakan rendah sehingga mengurangi sumber energi untuk

pertumbuhan.

Konversi pakan adalah hasil pembagian total konsumsi pakan dengan

perolehan pertambahan bobot badan. Semakin kecil nilai konversi pakan

memperlihatkan semakin efisien penggunaan pakan. Pada Tabel 3 terlihat nilai

konversi pakan kelompok KS tidak berbeda nyata dengan kelompok TKS maupun

kontrol (p>0.05). Hal ini mengindikasikan pakan yang dikonsumsi dapat

dikonversikan menjadi pertambahan bobot badan.

Pengaruh Pemberian Daun A.villosa Dikukus dan Tidak Dikukus Terhadap Gambaran Histopatologi Hati Tikus

Hasil pemeriksaan histopatologi hati kelompok kontrol maupun perlakuan

ditemukan adanya perubahan-perubahan pada parenkim dan interstisium. Kongesti

dan dilatasi sinusoid merupakan perubahan yang ditemukan pada interstisium hati,

dan terjadi pada semua kelompok tikus. Kongesti yang terjadi pada vena sentralis dan

sinusoid disebabkan penggunaan eter pada saat euthanasia. Menurut Ganiswara

(1995), eter adalah anaestetikum yang sangat kuat yang dapat menyebabkan

vasodilatasi pembuluh darah di berbagai organ. Oleh sebab itu kongesti dan dilatasi

sinusoid tidak dijadikan parameter kerusakan hati pada penelitian ini. Pada parenkim

hati ditemukan degenerasi berbutir, degenerasi hidropis dan nekrosa sel-sel hati.

Persentase berbagai perubahan pada sel-sel hati disajikan pada Tabel 4 serta Gambar

(41)

18

Tabel 4 Pengaruh pemberian daun A.villosa dikukus dan tidak dikukus selama 4 minggu terhadap persentase perubahan histopatologi hati tikus

Perlakuan Degenerasi Berbutir

Degenerasi Hidropis

Nekrosa

Kontrol 0.15±0.18b 86.26±5.02c 13.57±5.10a

KS 0.01±0.04a 80.42±4.45b 20.06±3.84b

TKS 0.00±0.00a 71.75±2.81a 28.00±2.81c

Keterangan : KS = Dikukus, TKS = Tidak Dikukus

Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

Hasil pengamatan histopatologi menunjukkan bahwa degenerasi berbutir

kelompok KS tidak berbeda nyata dengan kelompok TKS, namun kelompok

perlakuan berbeda nyata dengan kontrol (p<0.05). Degenerasi berbutir adalah

langkah pertama perubahan sel yang dapat mengarah pada nekrosa. Hal ini dapat

terjadi apabila sel-sel terpapar oleh senyawa yang bersifat toksik dalam konsentrasi

besar dan jangka waktu yang lama.

Degenerasi merupakan perubahan morfologi dan penurunan fungsi sel yang

bersifat sementara yang disebabkan oleh adanya gangguan metabolisme, anoksia,

iskemia dan senyawa-senyawa toksik. Berbagai kondisi tersebut menyebabkan

berkurangnya energi sel sehingga merusak sel secara tidak langsung (Jubb et al.

1993). Degenerasi dapat meluas sampai ke inti dan menyebabkan kehilangan

kromatin sehingga berlanjut menjadi nekrosa sel.

Degenerasi berbutir pada sel hati tampak sebagai sitoplasma yang berisi

butiran keruh atau bergranulasi yang tersusun mengitari inti (Jubb et al. 1993).

Keadaan tersebut disebabkan oleh terjadinya kebengkakan mitokondria, penambahan

jumlah protein tertentu dalam sitoplasma, imbibisi cairan ekstraseluler dan hidrasi ion

natrium akibat permeabilitas dinding sel hati terganggu sehingga sel hati

membengkak dan berbutir keruh (Harada et al.1999). Hepatosit yang mengalami

(42)

19

Gambar 3 Pengaruh pemberian daun A.villosa dikukus dan tidak dikukus terhadap persentase perubahan histopatologi hati tikus.

Persentase degenerasi hidropis kelompok KS berbeda nyata (p<0.05) dengan

kelompok TKS, dan persentase kelompok perlakuan berbeda nyata dengan kontrol

(p<0.05). Tingginya persentase hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis pada

kelompok perlakuan disebabkan oleh adanya gangguan metabolisme hati yang

diakibatkan oleh pakan atau lingkungan. Daun A.villosa yang ditambahkan ke dalam

pakan mengandung senyawa sekunder yang bersifat hepatotoksik, sehingga

menyebabkan kerusakan hepatosit. Odenyo et al. (1997) melaporkan bahwa domba

yang mengkonsumsi A.angustissima mengalami kerusakan hati berupa degenerasi

lemak di daerah sentrolobuler.

Degenerasi hidropis merupakan kelanjutan dari degenerasi berbutir yang

masih bersifat reversible. Sitoplasma sel hati bervakuol dengan inti di tengah dan

batas sel yang jelas. Setelah membran sel mengalami kerusakan, maka kerusakan

akan menyebar ke organel-organel sel. Cheville (1999) menjelaskan bahwa salah satu

penyebab terjadinya degenerasi hidropis adalah karena anoksia, dimana oksigen

dalam sel digunakan untuk mengatur pemasukan ion natrium dan air. Apabila

(43)

20

ketersediaan oksigen dalam jaringan rendah, maka terjadi imbibisi cairan interstisium

yang memasuki sel menyertai ion natrium. Akibatnya, ion kalium banyak keluar dari

sel sehingga sel membengkak dan mengalami edema intraseluler.

Dalam kondisi normal, 2 molekul ion K+ dipompa keluar sel untuk setiap 3

molekul ion Na+ yang dipompa ke dalam sel. Pompa ion natrium tersebut

mempertahankan keseimbangan jumlah cairan sel dan interstisium. Kerusakan

membran dan pompa natrium dapat menyebabkan ion Na+ banyak tinggal dalam sel.

Kondisi ini menyebabkan cairan disekitar sel akan merembes masuk ke dalam sel dan

menyebabkan kebengkakan pada organel-organel sel (Cheville 1999). Hepatosit yang

mengalami degenerasi hidropis disajikan pada Gambar 5.

Kerusakan sel berupa degenerasi hidropis banyak ditemukan di daerah

sentrolobuler, sedangkan di daerah periportal banyak ditemukan sel nekrosa. Hal ini

disebabkan daerah periportal dekat dengan pembuluh darah, menerima darah yang

kaya O2 dan nutrisi, akan tetapi apabila ada toksikan dalam darah, maka daerah ini

akan terpapar terlebih dahulu. Di daerah sentrolobuler banyak terdapat enzim

sitokrom P450 yang dapat membuat sebagian besar zat toksik menjadi kurang toksik,

sehingga lebih mudah larut dalam air dan mudah diekskresikan.

Akumulasi metabolit yang kurang toksik dapat merusak sel hati dalam bentuk

yang lebih ringan seperti degenerasi berbutir atau hidropis. Apabila kadar toksikan

tersebut melebihi kemampuan detoksifikasi hati, maka toksikan tersebut akan sampai

ke daerah sentrolobuler dan menyebabkan kerusakan hepatosit.

Persentase kematian sel (nekrosa) kelompok TKS lebih tinggi dan berbeda

nyata (p<0.05) dibandingkan dengan kelompok KS maupun kontrol. Hal ini

menunjukkan bahwa pengukusan daun dapat mengurangi jumlah hepatosit yang

mengalami nekrosa. Nekrosa merupakan kerusakan sel yang permanen atau

irreversible. Apabila sejumlah besar hepatosit mengalami nekrosa dan penggantian

atau regenerasi tidak mencukupi, maka sebagian fokus nekrosa akan diisi oleh

jaringan ikat.

Kematian sel atau nekrosa merupakan kerusakan sel yang bersifat irreversible

(44)

21

terlihat lebih asidofilik (merah). Perubahan warna ini disebabkan oleh denaturasi

protein sitoplasma dan kerusakan ribosom. Pada kondisi normal, ribosom

bertanggung jawab terhadap warna basofil sitoplasma. Kromatin inti sel yang nekrosa

menggumpal, inti mengecil dan berwarna biru (piknosis). Inti piknosis dapat pecah

menjadi bagian-bagian kecil (karyorhexis) atau menghilang (karyolisis) (Harada et al.

1999). Hepatosit yang mengalami nekrosa disajikan pada Gambar 6.

Nekrosa pada penelitian ini banyak ditemukan di daerah perilobuler

(Kelompok KS= 20.34%, TKS= 28.78%) dan sentrolobuler (Kelompok KS= 19.47%,

TKS= 27.71%), tetapi jumlah terbanyak adalah di daerah perilobuler. Mekanisme

terjadinya nekrosa perilobuler berkaitan dengan vaskularisasi hati. Seperti diketahui

bahwa hati mendapat suplai darah yang berasal dari saluran pencernaan melalui vena

porta. Perjalanan darah yang mengandung toksin yang berasal dari usus, masuk ke

hati melalui vena porta, melewati sinusoid-sinusoid yang akhirnya sampai di vena

sentralis. Hepatosit yang terletak di bagian perifer lobulus adalah hepatosit yang

bersinggungan terlebih dahulu dengan bahan-bahan bersifat toksik dibandingkan

dengan hepatosit yang berada di tengah lobulus atau yang di sekitar vena sentralis,

sehingga hepatosit di daerah perilobuler terlebih dahulu mengalami degenerasi.

Apabila daerah tersebut terus menerus terpapar bahan-bahan toksik, maka degenerasi

akan meluas menjadi nekrosa.

Tingginya persentase kerusakan hepatosit kelompok perlakuan kemungkinan

disebabkan oleh adanya senyawa AANP di daun, terutama DABA (

2,4-diamynobutyric acid). DABA adalah AANP yang homolog dengan ornitin, bekerja

dengan menghambat ornitine-carbamoyl transferase di hati, sehingga mengganggu

siklus pembentukan urea. Hal ini mengakibatkan kadar amonia dalam darah

meningkat sehingga memicu terjadinya toksisitas amonia. Hal ini mempengaruhi

(45)

22

Gambar 4 Hati tikus yang mengalami degenerasi berbutir (panah) pada kelompok kontrol. Pewarnaan HE, bar 20 µm.

(46)

23

Gambar 6 Hati tikus yang mengalami nekrosa pasca pemberian daun A.villosa tidak dikukus selama 4 minggu. Pewarnaan HE, bar 20 µm.

Pengaruh Pemberian Daun A.villosa Dikukus dan Tidak Dikukus terhadap Fungsi Hati Tikus

Hasil pemeriksaan fungsi hati yang meliputi kadar SGPT, SGOT, total

protein, albumin, dan globulin pasca pemberian daun A.villosa dikukus dan tidak

dikukus selama 4 minggu disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Pengaruh pemberian daun A.villosa dikukus dan tidak dikukus selama 4 minggu terhadap fungsi hati tikus

Perlakuan SGPT (IU/L)

SGOT (IU/L)

Total Protein (g/dl)

Albumin (g/dl)

Globulin (g/dl)

Kontrol 49.50±8.09a 173.33±49.54a 8.10±0.36b 4.13±0.37b 4.07±0.45a

KS 80.50±6.44b 152.00±30.44a 7.18±0.44a 3.33±0.46ab 3.85±0.55a

TKS 75.67±12.09b 291.17±18.86a 6.98±0.31a 2.80±0.35a 3.68±0.48a

Keterangan : KS = Dikukus, TKS = Tidak Dikukus

(47)

24

Tabel 5 menunjukkan perbedaan nilai SGPT dan total protein yang nyata

antara kelompok perlakuan dengan kontrol (p<0.05), namun tidak berbeda nyata

antara kelompok KS dengan TKS (p>0.05). Nilai SGOT tidak berbeda nyata antara

kelompok perlakuan dengan kontrol maupun antara perlakuan (p>0.05).

SGPT merupakan enzim yang spesifik dihasilkan oleh sitoplasma hepatosit.

Oleh karena itu kadar SGPT yang lebih tinggi pada kelompok perlakuan

menunjukkan jumlah kerusakan hepatosit yang lebih banyak dibandingkan kelompok

kontrol. Hal ini sesuai dengan presentase degenerasi dan nekrosa hepatosit kelompok

perlakuan yang lebih besar dibandingkan kelompok kontrol. Kerusakan hepatosit

diduga disebabkan oleh senyawa sekunder tanin dan AANP A.villosa. Penyebab

lainnya adalah kemungkinan adanya senyawa lain yang bersifat toksik dalam

A.villosa yang tahan oleh pengukusan sehingga merusak hepatosit.

Apabila terjadi kerusakan sel, maka enzim SGPT akan dilepaskan ke dalam

cairan ekstraseluler karena terjadi perubahan permeabilitas membran plasma.

Perubahan permeabilitas membran plasma tersebut disebabkan oleh perbedaan

konsentrasi antara lingkungan dalam dan luar sel (Girindra 1988). Dengan demikian

pengukusan daun tidak mengurangi aktivitas senyawa yang bersifat hepatotoksik

pada A.villosa.

Kadar albumin kelompok TKS cenderung lebih rendah dari kelompok KS dan

berbeda nyata (p<0.05) dengan kelompok kontrol. Hasil ini sesuai dengan presentase

nekrosa hepatosit kelompok TKS yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok

KS. Meningkatnya jumlah sel hati yang mengalami nekrosa menyebabkan penurunan

kemampuan hati untuk mensintesis albumin. Girindra (1988) menyatakan bahwa,

kasus hipoalbuminemia banyak ditemui pada hewan yang menderita

glomerulonefritis amiloidosis, diare karena parasit, nekrosa hati, fibrosa hati dan

hepatitis.

Albumin dan globulin darah disintesis di hati, kecuali beberapa jenis globulin.

Apabila terjadi kerusakan pada sel-sel hati, maka sintesis albumin dan globulin

terganggu. Gangguan sintesis albumin juga ditemui bila persediaan asam amino

(48)

25

dimana ketersediaan asam amino berkurang karena protein banyak terikat oleh tanin.

Pengukuran kadar globulin seluruh hewan coba tidak memperlihatkan perbedaan

yang nyata. Hal ini terjadi karena tidak semua jenis globulin disintesis oleh sel-sel

hati, sehingga kerusakan sel-sel hati hanya sedikit mempengaruhi nilai globulin

darah.

Kadar SGOT seluruh hewan coba tidak berbeda nyata, namun kelompok TKS

mempunyai nilai paling tinggi dibandingkan dengan kelompok lain, walaupun secara

statistik tidak berbeda nyata. Tingginya kadar SGOT tidak hanya berasal dari

kerusakan hepatosit, tetapi dapat diperoleh dari sumber lain yaitu jantung, ginjal,

pankreas, tulang dan otot (Girindra 1988). Oleh karena itu pengukuran kadar SGOT

tidak spesifik untuk mengetahui keadaan fungsi hati, walaupun tetap dapat digunakan

untuk menilai keadaan hati dan organ lainnya. Pada penelitian ini, tingginya kadar

SGOT kelompok TKS selain disebabkan oleh kerusakan hati kemungkinan

disebabkan adanya kerusakan di organ lain.

Pengaruh Pemberian Daun A.villosa Dikukus dan Tidak Dikukus Terhadap Gambaran Darah Tikus

Hasil pemeriksaan darah seluruh hewan coba disajikan pada Tabel 6. Pada

tabel tersebut dapat diketahui bahwa jumlah BDM dan BDP kelompok kontrol tidak

memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan kelompok perlakuan. Pada

pemeriksaan hematokrit terlihat bahwa kelompok TKS lebih rendah dan berbeda

nyata (p<0.05) dengan kelompok KS dan kontrol. Begitu pula dengan pemeriksaan

kadar hemoglobin (Hb), kelompok TKS cenderung lebih rendah dibandingkan

dengan kelompok KS, namun sangat berbeda nyata dengan kontrol (p<0.05).

Fungsi utama BDM adalah pembawa hemoglobin yang selanjutnya membawa

oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan. Penurunan jumlah BDM menyebabkan

penurunan jumlah hemoglobin, dan salah satu penyebabnya adalah keadaan anemia

(49)

26

Tabel 6 Pengaruh pemberian daun A.villosa dikukus dan tidak dikukus selama 4 minggu terhadap gambaran darah tikus

Perlakuan BDM PCV Hb BDP

Keterangan : KS= Dikukus, TKS= Tidak Dikukus, BDM= Benda Darah Merah, BDP= Benda Darah Putih, PCV= Packed Cell Volume (Hematokrit), Hb= Hemoglobin

Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

Hemoglobin merupakan pigmen eritrosit (pemberi warna merah pada eritrosit)

yang terdiri dari protein kompleks terkonjugasi yang mengandung besi. Sintesis

hemoglobin, sebagian besar terjadi di dalam mitokondria sel hati. Apabila terjadi

defisiensi dari salah satu materi penyusunnya seperti ion Fe, maka hemoglobin tidak

akan terbentuk sempurna sehingga menyebabkan terbentuknya sel darah merah yang

lebih kecil dengan kandungan hemoglobin yang rendah. Apabila kejadian tersebut

berlangsung lama dapat menyebabkan anemia mikrositik hipokromik (Guyton 1992).

Anemia dapat ditentukan dengan melihat morfologi eritrosit seperti ukuran dan

intensitas warna eritrosit, atau dengan menghitung indeks eritrosit. Hasil perhitungan

indeks eritrosit disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil Perhitungan Indeks Eritrosit

Perlakuan MCV (fl) MCHC (g/dl)

Keterangan : KS = Dikukus, TKS = Tidak Dikukus, MCV = Mean Corpuscular Volume, MCHC = Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration

Tabel 7 menunjukkan bahwa nilai MCV maupun MCHC kelompok KS dan

(50)

27

menunjukkan bahwa kelompok perlakuan mengalami anemia mikrositik hipokromik

yang disebabkan oleh defisiensi besi sehingga sintesis hemoglobin terganggu (Doxey

1983).

Menurut Makkar (2003), rendahnya kadar hemoglobin pada seluruh

kelompok perlakuan disebabkan adanya tanin yang memiliki kemampuan mengikat

zat besi. Hal yang sama juga disampaikan oleh Robbins dan Kumar (1995), bahwa

tanin yang terkandung dalam teh dapat menurunkan absorbsi zat besi. Kadar

hemoglobin kelompok TKS cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kelompok

KS juga lebih rendah dan berbeda nyata dibandingkan dengan kelompok kontrol

(p<0.05). Hal ini disebabkan efek negatif tanin yang dapat mengikat zat besi.

Peningkatan nilai PCV dalam darah dapat ditemukan pada hewan bunting,

keadaan splenomegali, polisitemia primer dan sekunder dan pada individu yang

berada di daerah ketinggian. Sedangkan pada kondisi anemia, kongesti akibat

kegagalan jantung, dan kejadian retensi cairan ekstravaskuler terjadi penurunan nilai

PCV (Eastham 1984).

Kadar PCV pada kelompok TKS lebih rendah dan berbeda nyata (p<0.05)

dibandingkan kelompok KS maupun kontrol. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh

adanya retensi cairan ekstravaskuler pada tubuh hewan coba kelompok TKS karena

ditemukan juga kerusakan pada ginjal (Kuswarini, komunikasi personal).

Benda darah putih merupakan salah satu sistem khusus dalam tubuh untuk

melawan agen infeksius. Jenis-jenis sel darah putih adalah netrofil, limfosit, monosit,

basofil dan eosinofil. Sel-sel tersebut bekerja dengan cara menghancurkan agen

penyerang dengan proses fagositosis dan membentuk antibodi (Guyton 1992).

Peningkatan jumlah sel darah putih (lekositosis) dihubungkan dengan

tingginya aktivitas pertahanan tubuh dalam melawan agen infeksius. Lekositosis

terutama netrofil akan terlihat meningkat pada infeksi bakteri. Jumlah limfosit yang

tinggi ditemui pada kasus limfosarkoma sedangkan jumlah monosit yang tinggi

ditemukan pada kasus brucellosis. Jumlah eosinofil ditemukan sangat tinggi pada

(51)

28

ditemukan pada kasus sirosis hati, anemia hemolitik kronis, splenomegali dan

polisitemia (Eastham 1984).

Penurunan lekosit (lekopenia) dapat ditemukan apabila terjadi apoplasia atau

hipoplasia sum-sum tulang dan stress, sehingga menurunkan jumlah limfosit dan

eosinofil, infeksi virus seperti feline enteritis (panleukopenia), swine fever, rinderpest

dan infeksi parvovirus yang menyebabkan neutropenia (Eastham 1984). Kadar BDP

pada seluruh hewan coba tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata antar

masing-masing kelompok (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada proses peradangan

akibat pemberian daun A.villosa yang telah dikukus maupun tidak dikukus.

Pengaruh Pengukusan terhadap Senyawa Sekunder A.villosa

Berdasarkan pengamatan pada konsumsi pakan, bobot badan dan konversi

pakan yang tidak berbeda antara pemberian daun dikukus maupun tidak dikukus

menunjukkan bahwa pengukusan tidak mempengaruhi senyawa sekunder A.villosa

kecuali kelompok polifenol. Pengukusan tidak mengurangi aktivitas maupun

konsentrasi senyawa sekunder A.villosa yang bersifat hepatotoksik.

Bila dianalogkan dengan adanya perubahan mimosin menjadi DHP akibat

pemanasan, maka pada A.villosa kemungkinan terjadi perubahan senyawaan ADAB

menjadi DABA yang bersifat toksik. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya

degenerasi hidropis hepatosit dan kadar SGPT kelompok KS. Peningkatan jumlah

nekrosa hepatosit pada kelompok TKS disebabkan hepatosit yang tidak bertahan

akibat pengaruh hepatotoksik senyawa sekunder A.villosa. Dilain pihak, pengukusan

dapat menurunkan kadar tanin, sehingga meningkatkan kadar hemoglobin kelompok

(52)

29

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pemberian daun A.villosa yang dikukus dan tidak dikukus tidak mempengaruhi

performa hewan coba.

2. Pengukusan daun A.villosa tidak mengurangi sifat hepatotoksisitas senyawa

sekunder A.villosa.

3. Pengukusan daun kemungkinan mengurangi daya ikat tanin terhadap zat besi.

4. Pemberian daun A.villosa tidak dikukus mengganggu fungsi hati dengan

menurunkan kadar albumin serum.

5. Pengukusan daun A.villosa mempengaruhi senyawa sekundernya.

Saran

1. Perlu dilakukan pengukuran kandungan senyawa AANP A.villosa pada daun

sebelum dikukus dan setelah dikukus.

2. Perlu dilakukan uji lanjut untuk mengetahui metabolisme senyawa AANP

(53)

30

DAFTAR PUSTAKA

Aryetti. 2003. Senyawa-senyawa Halogen Organik. Di dalam : Anwar NHM et al.,editor. Diktat Kuliah Kimia Organik. Bogor : IPB.

Bansi H. 2001. Potensi lamtoro merah (Acacia villosa) dan kaliandra putih (Caliandra tetragona) sebagai sumber protein baru bagi ternak ruminansia [skripsi]. Bogor : Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Cheeke PR. 1989. Toxicants of Plant Origin. Volume ke-3, Protein and Amino Acid. Boca Raton, Florida : CRC Press.

Cheville NF. 1999. Introduction Veterinary Pathology. Edisi ke-2. USA : Lowa State University Press.

Corwin EJ. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Pendit BU, Penerjemah; Prakaryaningsih E, editor. Terjemahan dari : Handbook Of Pathophysiology New Mexico Albuquerque.

D’Mello JPF. 2003. Food Safety Contaminations and Toxin. UK : CABI Publishing.

Doxey DL. 1983. Clinical Pathology and Diagnostic Procedures. London : Bailliere Tindall.

Eastham RD. 1984. Clinical Haematology. Edisi ke-6. Bristol : Wright.

Evans CS, Shah AJ, Adlard MW and Arce MLR. 1993. Non-protein amino acid in seed of neotropical species of acacia. Phytochemistry 32: 123-126.

Finco DR. 1980. Clinical Biochemistry of Domestic Animal. Edisi ke-3. New York : Academic Press.

Ganiswara SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Nafrialdi, editor. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-4. Jakarta : Gaya Baru.

(54)

31

Girindra A. 1988. Biokimia Patologi Hewan. Bogor : Pusat Antar Universitas IPB.

Guyton AC. 1992. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi ke-3. Petrus Andrianto, penerjemah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari : Human Physiology and Mechanism of Disease.

Harada T, Enomoto A, Boorman GA, and Maronpot RR. 1999. Liver and Gallblader. Di dalam : Maronpot RR. Pathology of The Mouse. Edisi ke-1. Vienna, USA : Cache River Press.

Hove L, Ndlovu LR, Sibanda S. 2003. The effects of drying temperature on chemical compotition and nutritive value of some tropical fooder shrubs. Animal Feed Science and Technology 59 : 231-241.

Jubb KVP, Kennedy PC, Palmer N. 1993. Pathology of Domestic Animals. Edisi ke-4. New York : Academic Press.

Jukema J dan Danimihardja S. 1997. Acacia. In: Hanum IF dan LJG Van der Maeser, (eds). Auxiliary Plants. Plant resources of south east asia. Prosea Bogor PP : 58-60.

Khotimah K. 2002. Pengaruh ekstrak jeruk nipis (Citrus aurantifolia) dan metode pengolahan pada kualitas daging broiler. http://digilib.itb.ac.id. [22 September 2006].

Krisdianto. 2004. Pengaruh perlakuan pendahuluan terhadap kecepatan pengeringan kayu mangium. http://www.dephut.go.id/informasi/ LITBANG/penelitian_ 04htm [22 September 2006].

Lowry JB, Petheram RJ, Tangendjaya B. 1992. Plants feed in village ruminant in Indonesia. ACIAR. Techincal Reports no. 22. Canberra.

Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar. Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko. Edisi ke-2. Jakarta : UI Press.

Gambar

Tabel 1 Komposisi kimia A.villosa
Tabel 2 Distribusi dan efek merugikan dari beberapa asam amino non-protein
Tabel 3   Pengaruh pemberian daun A.villosa dikukus dan tidak dikukus selama 4 minggu terhadap konsumsi pakan, bobot badan dan konversi pakan tikus
Gambar 1   Pengaruh pemberian daun A.villosa dikukus dan tidak dikukus terhadap konsumsi pakan tikus selama 4 minggu
+6

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum pengetahuan responden mengenai kawasan tanpa rokok masih kurang, sebagian besar responden mendukung peraturan KTR hanya diterapkan didalam ruangan dan

x 3HQJXMLDQ SHQJDUXK YDULDEHO PRGDO VRVLDO GLPHQVL UHODVLRQDO ; PRGDO VRVLDO GLPHQVL VWUXNWXUDO ; GDQ PRWLYDVL ; WHUKDGDS YDULDEHO NLQHUMD ex-role .DU\DZDQ $QJNDVD 3XUD , .RNDSXUD

1) Indikator keberhasilan program KKU ini dapat dilihat dari adanya kemampuan peserta untuk membuat produk cetak sablon dari desain yang bervariatif, sehingga

Sehubungan dengan telah dilakukannya evaluasi administrasi, teknis dan kewajaran harga serta formulir isian Dokumen Kualifikasi untuk penawaran paket pekerjaan tersebut diatas,

Lokasi penelitian adalah Bursa Efek Indonesia, karena data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, maka selain dengan mengumpulkan data pada Bursa Efek

pada penelitian kualitatif ini adalah penerapan bagi hasil revenue sharing.. di BMT Amanah Ummah Suoharjo

Dalam pembelajaran guru belum optimal, masih terpaku pada majalah, tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan sosial emosional anak kelompok B4 di TK Al

Bila hubungan interpersonal antara ibu tunggal dengan anaknya kurang baik misalnya ketidaktepatan ibu tunggal dalam memilih pola komunikasi maka akan sikap atau perilaku anak