UNIVERSITAS UDAYANA
IMPLEMENTASI PERATURAN KAWASAN TANPA
ROKOK DI UNIVERSITAS UDAYANA
NI MADE UTARI DEWI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
UNIVERSITAS UDAYANA
IMPLEMENTASI PERATURAN KAWASAN TANPA
ROKOK DI UNIVERSITAS UDAYANA
NI MADE UTARI DEWI
1420015009
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
UNIVERSITAS UDAYANA
IMPLEMENTASI PERATURAN KAWASAN TANPA
ROKOK DI UNIVERSITAS UDAYANA
Skripsi ini diajukan sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT
NI MADE UTARI DEWI
1420015009
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya peneliti dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul
“Implementasi Peraturan Kawasan Tanpa Rokok di Universitas Udayana”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menyelesaikan Pendidikan S1 di Universitas Udayana, Fakultas Kedokteran,
Program Studi Kesehatan Masyarakat. Dalam pembuatan skripsi ini, peneliti
mendapat banyak masukan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini peneliti menyampaikan terimakasih kepada:
1. Dr. I Made Ady Wirawan, MPH., Ph.D., selaku Ketua Program Studi Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.
2. Ibu Putu Ayu Indrayathi, SE., MPH., selaku Kepala Bagian Peminatan
Administrasi dan Kebijakan Kesehatan (AKK) yang telah memberikan arahan
serta masukan dalam penyusunan skripsi ini
3. Bapak I Made Kerta Duana, S.KM., MPH., selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu dalam memberikan masukan dan bimbingan selama proses
penyusunan skripsi ini.
4. Responden penelitian yang telah banyak membantu dalam proses pengumpulan
data untuk penyusunan skripsi ini.
5. Keluarga tercinta (ayah, ibu, kakak, dan adik) atas dukungan yang telah diberikan
v
6. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, yang telah
membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Skripsi ini jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan pengetahuan yang
dimiliki peneliti. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan saran atau kritik yang
membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Harapan peneliti semoga skripsi ini
dapat digunakan sebagai bahan tambahan pengetahuan.
Denpasar, Juni 2016
vi
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
PEMINATAN ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN (AKK) Skripsi, Juni 2016
IMPLEMENTASI PERATURAN KAWASAN TANPA ROKOK DI UNIVERSITAS UDAYANA
ABSTRAK
Kualitas udara dalam ruangan merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian karena berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Asap rokok merupakan penyebab terbanyak pencemaran udara dalam ruangan. Sampai saat ini tidak ada batas aman bagi paparan asap rokok. Lebih dari 600.000 kematian akibat terpapar Asap Rokok Orang Lain (AROL). Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) merupakan upaya perlindungan terhadap asap rokok. Salah satu kawasan yang termasuk KTR adalah Universitas. Universitas Udayana sudah memiliki peraturan tentang KTR Unud. Namun peraturan ini belum diterapkan secara optimal karena pada pengamatan awal masih terlihat beberapa pelanggaran.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan campuran. Penelitian dilakukan di Universitas Udayana bulan Januari-Juni 2016. Populasi kuantitatif yaitu seluruh kawasan Unud yang berjumlah 13 fakultas dan populasi kualitatif yaitu seluruh pegawai dan mahasiswa. Pengumpulan data kuantitatif menggunakan teknik sampling jenuh yaitu seluruh kawasan di 13 fakultas dan pengumpulan data kualitatif dengan purposive sampling yaitu 14 sampel (7 pegawai dan 7 mahasiswa). Pengolahan dan analisis data kualitatif yaitu data coding, data entering, data cleaning, data output, dan data analyzing, sedangkan kualitatif dengan analisis tematik.
Secara keseluruhan kepatuhan Universitas Udayana yaitu 4,9%. Kepatuhan berdasarkan lokasi kampus yaitu di Sudirman 11,76%, Nias 11,11%, dan Bukit 2%. Kepatuhan tertinggi di Fakultas Kedokteran sebesar 50% dan sebagian besar tidak patuh. Pelanggaran terbanyak pada indikator ketersediaan tanda KTR yaitu 86,01% dan terendah pada indikator adanya tempat khusus merokok yaitu 0,7%. Secara umum pengetahuan responden mengenai kawasan tanpa rokok masih kurang, sebagian besar responden mendukung peraturan KTR hanya diterapkan didalam ruangan dan menyediakan tempat khusus merokok. Hambatan penerapan peraturan KTR berasal dari kurangnya kesadaran kelompok sasaran dan keberadaan satgas.
vii
Tetapi proses implementasi peraturan tersebut belum ada. Kesadaran kelompok sasaran masih kurang dan keberadaan satgas. Seluruh mahasiswa dan pegawai dapat berpartisipasi aktif dalam penegakan aturan. Pengelola Unud agar melakukan sosialisasi secara maksimal, membentuk satgas, dan mengutamakan intervensi pada indikator ketersediaan tanda KTR dan adanya puntung atau kemasan rokok. Pemerintah dan Dinas Kesehatan dapat bekerjasama dengan pihak Unud dan melakukan pengawasan eksternal.
viii
IMPLEMENTATION OF NO SMOKING AREA REGULATION AT UDAYANA UNIVERSITY
ABSTRACT
Indoor air quality is an issue that needs attention because it can affect human
health. Cigarette smoke is the cause of air pollution in room.1 Until now there is no
safe limit for exposure to smoke.2 More than 600,000 deaths due to exposure to
smoke (AROL).3 The application of No Smoking Areas (KTR) is a safeguard against
cigarette smoke. One area that includes KTR is University.4 University of Udayana
own rules about KTR Unud. However, this rule has not been applied optimally because the initial observations are still visible some offense.
This research is a descriptive study with a mixed method approach. Research conducted at the University of Udayana in January-June 2016. The population of the entire region Unud quantitative totaling 13 faculties and qualitative population of all employees and students. Quantitative data collection using sampling techniques are saturated throughout the region in 13 faculties and qualitative data collection with purposive sampling 14 samples (7 staff and 7 student). Processing and analysis of qualitative data is data coding, entering the data, data cleaning, data is output, and analyzing the data, whereas qualitative thematic analysis.
Overall compliance Udayana University is 4.9%. Compliance is based on the location of the campus that is in the Sudirman 11.76%, 11.11% Nias, and Bukit Jimbaran 2%. The highest compliance at the Faculty of Medicine is 50% and mostly not in compliance. Most violations at KTR sign availability indicator is 86.01% and the lowest in the indicators of the smoking area is 0.7%. In general, respondents' knowledge of the non smoking area is still low, the majority of respondents supported KTR regulations applied only in the room and provides a smoking areas. Regulatory barriers to the application of KTR stems from a lack of awareness of the target group and the existence of the task force.
Compliance in the implementation of KTR is low, understanding the target group is still lacking, with most supporting the regulation. But the process of implementation of these regulations yet. Awareness of the target group is still lacking and the existence of the task force. All students and employees can actively participate in the enforcement of the rules. Manager of Unud in order to disseminate the fullest, form a task force, and to prioritize interventions on availability indicator KTR sign and their cigarette butts or packaging. The Government and the Health Service may be joined by Unud and external oversight.
ix
DAFTAR ISI
Halaman judul ... i
Halaman judul dengan spesifikasi... ii
Pernyataan persetujuan ... iii
Kata Pengantar ... iv
Abstrak ... vi
Daftar Isi ... ix
Daftar Tabel ... xii
Daftar Gambar... xiii
Daftar Lampiran ... xiv
Daftar Singkatan ... xv
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 6
1.3 Pertanyaan Penelitian ... 7
1.4 Tujuan Penelitian ... 7
1.5 Manfaat Penelitian ... 8
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 9
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 10
x
2.2 Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 tentang Kawasan
Tanpa Rokok ... 15
2.3 Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ... 16
2.4 Perilaku Merokok ... 23
2.5 Keaslian Penelitian ... 26
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 28
3.1 Kerangka Konsep ... 28
3.2 Variabel dan Definisi Operasional ... 30
BAB 4 METODELOGI PENELITIAN ... 32
4.1 Desain Penelitian ... 32
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 32
4.3 Responden Penelitian ... 32
4.4 Strategi Pengumpulan Data ... 34
4.5 Pengolahan dan Analisis Data ... 35
4.6 Strategi Validasi Data ... 38
BAB 5 HASIL PENELITIAN ... 39
5.1 Gambaran Umum ... 39
5.2 Riwayat Penelitian ... 40
5.3 Hasil observasi... 41
xi
BAB 6 PEMBAHASAN ... 57
BAB 7 PENUTUP ... 67
7.1 Kesimpulan ... 67
7.2 Saran ... 71
DAFTAR PUSTAKA ... 83
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Keaslian Penelitian………..27 Tabel 3.1 Definisi operasional variabel kuantitatif……….31 Tabel 3.2 Definisi operasional variabel kualitatif………...32 Tabel5.1 Kepatuhan Implementasi Peraturan Kawasan Tanpa Rokok di
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1Kerangka konsep……….29 Gambar 5.1 Kepatuhan Implementasi Peraturan Kawasan Tanpa Rokok
di Universitas Udayana ……….41 Gambar 5.2 Kepatuhan Implementasi Peraturan Kawasan Tanpa Rokok
di Universitas Udayana Berdasarkan Lokasi Kampus………..42 Gambar 5.3 Kepatuhan Implementasi Peraturan Kawasan Tanpa Rokok
di Universitas Udayana Berdasarkan Fakultas………..43 Gambar 5.4 Kepatuhan Implementasi Peraturan Kawasan Tanpa Rokok
di Universitas Udayana Berdasarkan Jenis Gedung………..44 Gambar 5.5 Pelanggaran Implementasi Peraturan Kawasan Tanpa Rokok
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Ethical Clearance………..73
2. Surat ijijn penelitian………..74
3. Jadwal penelitian………...75
4. Lembar informasi penelitian……….76
5. Pernyataan bersedia menjadi responden penelitian………..79
6. Pedoman observasi implementasi peraturan kawasan tanpa rokok di Univeritas Udayana...80
7. Pedoman wawancara implementasi peraturan kawasan tanpa rokok di Univeritas Udayana..………...82
8. Hasil analisis………...88
xv
DAFTAR SINGKATAN
AROL : Asap Rokok Orang Lain
BTCI : Bali Tobacco Control Initiative
Kemenhum dan HAM : Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Kemenkes RI : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
KLB : Kejadian Luar Biasa
KTR : Kawasan Tanpa Rokok
MPOWER : Monitor penggunaan tembakau dan pencegahannya,
Perlindungan terhadap asap tembakau, Optimalkan
dukungan untuk berhenti merokok, Waspadakan
masyarakat akan bahaya tembakau, Eliminasi iklan,
promosi, dan sponsor terkait tembakau, dan Raih
kenaikan cukai tembakau
PTM : Penyakit Tidak Menular
SMA : Sekolah Menengah Atas
SMP : Sekolah Menengah Pertama
SOP : Standar Operational Procedure
TCSC-IAKMI : Tobacco Control Support Centre-Ikatan Ahli
Kesehatan Masyarakat Indonesia
UU : Undang-undang
UUD 1945 : Undang-undang Dasar 1945
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir menghadapi masalah triple
burden diseases. Di satu sisi, penyakit menular masih menjadi masalah ditandai
dengan masih sering terjadi KLB beberapa penyakit menular tertentu, munculnya
kembali beberapa penyakit menular lama, serta munculnya penyakit-penyakit
menular baru. Di sisi lain, Penyakit Tidak Menular (PTM) menunjukkan adanya
kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu (Kemenkes RI,
2012a). Di dunia, PTM merupakan penyebab utama kematian, laporan dari WHO
menunjukkan penyakit tidak menular membunuh 38 juta orang setiap tahun, dimana
sekitar 28 juta dari kematian tersebut terjadi di negara berpenghasilan rendah dan
menengah (WHO, 2015a). Sedangkan di Indonesia, pada tahun 2008 terdapat
582.300 laki-laki dan 481.700 perempuan yang meninggal karena PTM. Selama
tahun 1995 hingga 2007 di Indonesia proporsi penyakit menular telah menurun
sepertiganya, akan tetapi proporsi penyakit tidak menular telah meningkat
setengahnya (Kemenkes RI, 2012a). Ada 4 faktor resiko yang meningkatkan
terjadinya kematian akibat penyakit tidak menular yang bisa dicegah, yaitu
mengonsumsi rokok, kurang aktivitas fisik, diet yang tidak sehat, dan penggunaan
alkohol. Dari keempat faktor tersebut, konsumsi rokok merupakan faktor yang paling
tinggi yang dapat meningkatkan terjadinya kematian akibat penyakit tidak menular
2
Epidemi tembakau adalah salah satu ancaman terbesar kesehatan masyarakat
dunia yang pernah dihadapi, dimana permasalahan terkait rokok belum bisa
terselesaikan hingga saat ini. Mengonsumsi rokok adalah pembunuh nomor satu yang
dapat dicegah didunia. Mengonsumsi rokok dapat membunuh sekitar 6 juta orang per
tahun, dimana lebih dari 5 juta kematian tersebut adalah akibat dari mengonsumsi
rokok secara langsung, sementara lebih dari 600.000 kematian terjadi pada orang
yang bukan perokok akibat terpapar Asap Rokok Orang Lain (AROL) (WHO,
2015b). Di Indonesia sendiri total kematian akibat konsumsi rokok mencapai
190.260 (100.680 laki-laki dan 50.520 wanita) atau 12,7% dari total kematian pada
tahun 2010. 50% dari orang yang terkena penyakit terkait rokok mengalami kematian
dini. Penyebab kematian terbanyak adalah penyakit stroke, jantung koroner, serta
kanker trakhea, bronkhus, dan paru (TCSC-IAKMI, 2013).
Ada lebih dari 4000 zat kimia dalam rokok, dimana sedikitnya 250 dari zat
tersebut diketahui berbahaya dan lebih dari 50 zat diketahui dapat menyebabkan
kanker. Pada orang dewasa, terpapar asap rokok akan menyebabkan penyakit
kardiovaskuler dan pernapasan serius, termasuk penyakit jantung koroner dan kanker
paru. Pada bayi dapat menyebabkan kematian tiba-tiba dan pada ibu hamil
menyebabkan bayi lahir rendah (WHO, 2015b). Pada tahun 2010, diperkirakan
384.058 orang (237.167 laki-laki dan 146.881 wanita) di Indonesia menderita
penyakit terkait konsumsi tembakau. (TCSC-IAKMI, 2013).
Merokok saat ini sudah melanda berbagai kalangan, dari orang tua sampai
anak-anak, laki-laki maupun perempuan. Menurut Global Adult Tobacco Survey, dari
22 negara yang disurvey, ada 879 juta orang dewasa yang merokok (721 juta
laki-laki dan 158 juta perempuan), dimana Indonesia menempati urutan pertama
3
57% diantaranya mengonsumsi rokok setiap hari. Sedangkan untuk prevalensi
perokok pada perempuan di Indonesia sebesar 4% atau sekitar 3,8 juta perempuan
dan 3% diantaranya mengonsumsi rokok setiap hari (WHO, 2015c).
Usia pertama kali mulai merokok terutama pada kalangan remaja cenderung
mengalami peningkatan. Menurut Global Youth Tobacco Survey, selama kurun
waktu 3 tahun yaitu tahun 2006-2009 terjadi peningkatan dua kali lipat remaja yang
merokok (Kemenkes RI, 2011a). Pada tahun 2013, usia pertama kali merokok setiap
hari di Indonesia terbanyak berada pada usia SMP dan SMA pada kelompok umur
15-19 tahun yaitu sebesar 50% dan terbanyak kedua pada usia Perguruan Tinggi
pada kelompok umur 20-24 tahun yaitu 27%. Sedangkan proporsi perokok aktif
setiap hari pada umur 15-19 tahun yaitu sebesar 11,2% dan pada umur 20-24 tahun
sebesar 27,7% di Indonesia (Kemenkes RI, 2013a). Sementara di Bali sendiri
proporsi umur mulai merokok terbanyak juga berada pada usia SMP dan SMA pada
kelompok umur 15-19 tahun sebesar 48,6% dan terbanyak kedua juga pada usia
Perguruan Tinggi pada kelompok umur 20-24 tahun yaitu sebesar 30% (Kemenkes
RI, 2013b).
Guna menghadapi permasalahan epidemi tembakau tersebut, WHO
menyarankan 6 langkah-langkah pengendalian tembakau dan kematian yang disebut
dengan strategi MPOWER, yaitu Monitor penggunaan tembakau dan
pencegahannya, Perlindungan terhadap asap tembakau, Optimalkan dukungan untuk
berhenti merokok, Waspadakan masyarakat akan bahaya tembakau, Eliminasi iklan,
promosi, dan sponsor terkait tembakau, dan Raih kenaikan cukai tembakau
(TCSC-IAKMI, 2012). Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk dapat menerapkan
peraturan dan perundangan pengendalian tembakau yang terintegrasi yang tercakup
4
penanggulangan masalah yang ditimbulkan terkait perilaku merokok dan jumlah
perokok yang semakin meningkat, Kemenkes RI mengharapkan setiap daerah
mengembangkan kebijakan kawasan tanpa rokok sesuai dengan yang terdapat dalam
UU nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan yaitu pada pasal 113 mengenai
pengamanan zat adiktif, dimana rokok termasuk kedalam zat adiktif (Kemenkes RI,
2009). Penetapan kawasan tanpa rokok ini sebagai perwujudan dari penerapan
bentuk perlindungan terhadap asap rokok, eliminasi iklan, promosi, dan sponsor
terkait tembakau yang termasuk dalam strategi pengendalian tembakau dan kematian
yang direkomendasikan oleh WHO.
Mengacu kepada undang-undang tersebut, pemerintah Provinsi Bali telah
menetapkan Peraturan Daerah no. 10 tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan
Peraturan Daerah Kota Denpasar no. 7 tahun 2013 tentang Kawasan Tanpa Rokok .
Dalam perda tersebut ada 7 kawasan yang termasuk dalam KTR, meliputi sarana
kesehatan, tempat belajar mengajar, area bermain anak, tempat umum, tempat kerja,
tempat ibadah, dan angkutan umum. Tempat proses belajar mengajar yang dimaksud
meliputi sekolah, perguruan tinggi, balai pendidikan dan pelatihan, balai latihan
kerja, bimbingan belajar, dan tempat kursus (Pemprov Bali, 2011). Penelitian yang
dilakukan oleh Bali Tobacco Control Initiative (BTCI), dari 7 kawasan yang telah
ditetapkan dalam perda KTR angka kepatuhannya yang terendah berada pada
kawasan tempat umum dan kepatuhan tertinggi berada pada kawasan tempat anak
bermain. Kepatuhan di tempat proses belajar mengajar sebesar 83,2% sudah
mencapai target yang telah ditetapkan (BTCI, 2015).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prabandari, dkk (2009),
penerapan kampus bebas rokok terbukti sebagai salah satu metode yang efektif untuk
5
dilakukan Nasyuruddin (2013), implementasi kawasan tanpa rokok di sekolah belum
berjalan optimal. Hal ini dibuktikan dengan masih ditemukannya pelanggaran,
pengetahuan yang kurang, sumber daya yang kurang mendukung, proses sosialisasi
yang tidak optimal, belum ada SOP, komitmen sekolah yang kurang dan tidak
adanya bimbingan dan pengawasan yang menyebabkan implementasi kawasan tanpa
rokok menjadi tidak berjalan efektif. Selain itu, dalam penelitian yang dilakukan oleh
Efraldo (2014), mengenai implementasi peraturan daerah tentang kawasan tanpa
rokok, didapatkan hasil bahwa pimpinan (dekan) belum mengetahui aturan mengenai
kewajiban yang harus dilakukan olehnya, belum ada tanda larangan merokok,
kurangnya peran aktif dari masyarakat yang ada di kampus untuk menegur atau
mengingatkan orang yang merokok di dalam lingkungan kampus, masih ada dosen
dan mahasiswa yang kurang mendukung penerapan kawasan tanpa rokok, serta
kantin di lingkungan kampus yang masih menjual rokok. Dari hasil-hasil penelitian
tersebut, dapat dilihat bahwa proses implementasi perda kawasan tanpa rokok ini
masih belum optimal.
Universitas Udayana merupakan salah satu perguruan tinggi negeri di Bali,
Universitas Udayana juga telah memiliki peraturan yang dikeluarkan oleh Rektor no.
01/UN.14/HK/2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok Universitas Udayana yang mulai
berlaku sejak 8 Mei 2015, dimana seharusnya sudah dapat menerapkan peraturan ini
dengan baik. Namun, pada kenyataannya, peraturan ini belum dapat diterapkan
secara optimal. Dari hasil pengamatan awal ditemukan masih terlihat beberapa
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, seperti pengamatan yang dilakukan di
Fakultas Kedokteran masih terlihat pegawai yang merokok di bale dekat tempat
6
yang merokok. Mobil distributor rokok juga dengan bebas masuk ke dalam kampus
dan di koperasi juga masih menjual rokok.
Selain itu, perguruan tinggi merupakan garda terdepan yang salah satu
tujuannya untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak para generasi
muda dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Kemenhum dan HAM, 2012).
Oleh karena itu, pentingnya bagi semua tempat proses belajar mengajar agar dapat
menerapkan dan melaksanakan KTR ini dengan baik. Berdasarkan hal tersebut,
dilakukan penelitian terhadap implementasi perda KTR di Universitas Udayana.
1.2 Rumusan Masalah
Saat ini permasalahan terkait tembakau seperti perilaku merokok sudah
menjadi epidemi yang harus mendapat perhatian serius dan segera dicari upaya
penanggulangannya. Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) merupakan salah satu
upaya pemerintah dalam menanggulangi permasalahan tersebut. Salah satu tempat
yang penting perlu mendapat perhatian adalah perguruan tinggi yang merupakan
garda terdepan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak para
generasi muda. Perguruan tinggi juga merupakan kombinasi antara tempat kerja bagi
pegawai dan dosen serta sebagai tempat proses belajar mengajar, dimana antara
tempat kerja dan tempat proses belajar mengajar pemberlakuan perda KTR ini
terdapat perbedaan. Pada tempat kerja tidak diwajibkan memberlakukan 100% KTR
seperti di tempat proses belajar mengajar, sehingga masih ada ketimpangan dalam
penerapannya. Selain itu, mobilisasi mahasiswa yang cukup tinggi dan latar belakang
perilaku merokok pada mahasiswa yang dibawa sejak SMA tentu saja berbeda yang
tentunya akan berdampak pada proses implementasi KTR ini. Apalagi perda KTR ini
7
banyak pelanggaran dalam implementasinya seperti masih adanya pegawai dan
mahasiswa yang merokok di dalam lingkungan kampus serta kesadaran yang kurang
untuk menegur dan melaporkan pelanggaran yang terjadi. Sehingga penting bagi
perguruan tinggi untuk menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
1.3 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat dibuat
pertanyaan penelitiannya yaitu bagaimana implementasi Peraturan Daerah Provinsi
Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Universitas
Udayana Tahun 2016?
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa
8
1.4.2 Tujuan Khusus
1.4.2.1Mengetahui kepatuhan dalam implementasi peraturanKawasan Tanpa Rokok
(KTR) di Universitas Udayana.
1.4.2.2Mengetahui gambaran pengetahuan kelompok sasaran terkait Kawasan Tanpa
Rokok (KTR) di Universitas Udayana.
1.4.2.3Mengetahui dukungan kelompok sasaran dalam implementasi peraturan
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Universitas Udayana.
1.4.2.4Mengetahui hambatan dalam implementasi peraturanKawasan Tanpa Rokok
(KTR) di Universitas Udayana.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pembuat
kebijakan mengenai proses pelaksanaan, pengawasan serta evaluasi dari kebijakan
sehingga kebijakan dapat berjalan optimal dan memberi manfaat sesuai tujuan
pembentukannya. Sebagai masukan untuk Universitas Udayana mengenai
pengembangan strategi dalam proses implementasi suatu kebijakan. Selain itu bagi
masyarakat dapat dijadikan bahan masukan dan pengetahuan sebagai tindakan
pencegahan dan pengawasan terhadap perilaku merokok di lingkungan sekitarnya
yang dapat membahayakan kesehatan dan juga penerapan perda KTR.
1.5.2 Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang implementasi
penerapan perda KTR di perguruan tinggi. Selain itu, hasil penelitian ini dapat
9
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang keilmuan Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan khususnya mengenai implementasi Peraturan Daerah Provinsi
Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Universitas Udayana
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebijakan Publik
2.1.1 Pengertian kebijakan publik
Kebijakan publik merupakan rangkaian keputusan yang mengandung
konsekuensi moral yang didalamnya adanya keterikatan akan kepentingan rakyat
banyak dan keterikatan terhadap tanah air atau tempat dimana yang bersangkutan
berada (Tachjan, 2006). Kebijakan publik merupakan keputusan politik yang
dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah (Agustino, 2014).
Tujuan kebijakan publik adalah dapat dicapainya kesejahteraan masyarakat
melalui produk kebijakan yang dibuat oleh pemerintah (Tahir, 2011). Kebijakan
publik dapat ditetapkan secara jelas dalam bentuk peraturan perundangan,
pidato-pidato pejabat pemerintah ataupun dalam bentuk program-program, proyek-proyek
dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah. Tujuan penting dari kebijakan
tersebut dibuat pada umumnya untuk memelihara ketertiban umum, melancarkan
perkembangan masyarakat dalam berbagai hal, menyesuaikan berbagai aktivitas,
memperuntukkan dan membagi materi (Tachjan, 2006).
Kebijakan publik terbagi kedalam lingkup nasional dan kedalam lingkup
wilayah atau daerah. Di setiap lingkup kebijakan tersebut terdapat kebijakan umum,
kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis. Level-level dan isi kebijakan tersebut
akan mempengaruhi terhadap efektivitas implementasi kebijakan, yang nantinya juga
11
menjadi sasaran kebijakannya serta hasil yang diinginkan oleh kebijakan tersebut
(Tachjan, 2006).
Pelaksanaan kebijakan akan selalu dipengaruhi oleh konflik-konflik intra dan
inter organisasinal yang umum terjadi dalam proses kebijakan publik. Pelaksanaan
kebijakan juga dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi, teknologi, dan politik dari
kebijakan tersebut. Efektivitas suatu kebijakan publik akan dipengaruhi oleh pelaku
kebijakan, kebijakan publiknya itu sendiri, dan lingkungan kebijakan. Keberhasilan
suatu kebijakan publik dipengaruhi juga oleh proses kebijakan itu sendiri. Proses
kebijakan yang dimaksud adalah rangkaian kegiatan di dalam menyiapkan,
menentukan, melaksanakan, dan mengendalikan suatu kebijakan (Tachjan, 2006).
2.1.2 Proses implementasi kebijakan publik 2.1.2.1Pengertian implementasi kebijakan
Implementasi adalah suatu aktivitas yang berkaitan dengan penyelesaian
suatu pekerjaan dengan penggunaan sarana (alat) untuk memperoleh hasil.
Implementasi kebijakan publik diartikan sebagai aktivitas penyelesaian atau
pelaksanaan suatu kebijakan publik yang telah ditetapkan atau disetujui dengan
penggunaan sarana (alat) untuk mencapai tujuan kebijakan (Tahcjan, 2006).
Implementasi juga merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana
kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan
mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri
(Agustino, 2014). Implementasi suatu kebijakan juga sangat berkaitan erat dengan
faktor manusia, dengan berbagai latarbelakang aspek sosial, budaya, politik, dan
12
Dalam proses kebijakan publik, implementasi kebijakan merupakan tahapan
yang bersifat praktis dan dibedakan dari formulasi kebijakan yang dapat dipandang
sebagai tahapan yang bersifat teoritis. Fungsi dan tujuan implementasi ini adalah
untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun
sasaran-sasaran kebijakan publik (politik) dapat diwujudkan sebagai hasil akhir dari
kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah (Tahcjan, 2006). Implementasi kebijakan
menyangkut tiga hal yaitu adanya tujuan atau sasaran kebijakan, adanya aktivitas
atau kegiatan pencapaian tujuan, dan adanya hasil kegiatan (Agustino, 2014).
2.1.2.2Unsur-unsur implementasi kebijakan
Sebagai suatu sistem, implementasi terdiri dari unsur-unsur dan
kegiatan-kegiatan yang terarah menuju tercapainya tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang
dikehendaki. Unsur-unsur implementasi kebijakan yang mutlak harus ada yaitu unsur
pelaksana (implementor), program yang akan dilaksanakan, dan kelompok sasaran
(target groups) (Tahcjan, 2006).
Unsur pelaksana berkewajiban dalam penentuan tujuan dan sasaran
organisasional, analisis serta perumusan kebijakan dan strategi organisasi,
pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program, pengorganisasian,
penggerakan manusia, pelaksanaan kegiatan operasional, pengawasan, dan penilaian.
Sedangkan program yang dimaksud disini berisi kejelasan tujuan atau sasaran yang
ingin dicapai oleh pemerintah, menggambarkan alokasi sumber daya yang
diperlukan, kejelasan metode dan prosedur kerja yang harus ditempuh, dan kejelasan
standar yang harus dipedomani. Target groups (kelompok sasaran) yaitu sekelompok
13
yang akan dipengaruhi perilakunya oleh kebijakan. Karakteristik yang dimiliki
kelompok sasaran akan mempengaruhi efektivitas implementasi kebijakan ini
(Tahcjan, 2006).
2.1.2.3Model implementasi kebijakan publik
Komponen-komponen model sistem implementasi kebijakan publik, terdiri
dari program (kebijakan) yang dilaksanakan, target groups (kelompok masyarakat
yang menjadi sasaran dan diharapkan akan menerima manfaat dari program tersebut,
perubahan atau peningkatan), unsur pelaksana/implementor (baik organisasi ataupun
perorangan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan, pelaksanaan dan
pengawasan dari proses implementasi), dan faktor lingkungan (lingkungan fisik,
sosial, budaya, dan politik) (Tahcjan, 2006).
Model yang paling klasik digunakan yaitu model proses atau alur Smith
(1973). Dalam model ini ada empat variabel yang merupakan satu kesatuan yang
saling mempengaruhi dan berinteraksi secara timbal balik, oleh karena itu terjadi
ketegangan-ketegangan yang bisa menyebabkan timbulnya protes-protes, bahkan
aksi fisik, dimana hal ini menghendaki penegakan institusi-institusi baru untuk
mewujudkan sasaran kebijakan tersebut. Ketegangan-ketegangan itu bisa juga
menyebabkan perubahan-perubahan dalam institusi ini (Tahcjan, 2006).
Keempat variabel dalam implementasi kebijakan publik tersebut adalah
kebijakan yang diidealkan (idealized policy) yaitu pola-pola interaksi ideal yang
telah merak definisikan dalam kebijakan yang berusaha untuk diinduksikan,
kelompok sasaran (target groups) yaitu mereka (orang-orang) yang paling langsung
14
sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan, implementing organization
yaitu badan-badan pelaksana atau unit-unit birokrasi pemerintah yang bertanggung
jawab dalam implementasi kebijakan, environmental factor yakni unsur-unsur dalam
lingkungan yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh implementasi kebijakan,
seperti aspek budaya, sosial, ekonomi, dan politik (Tahcjan, 2006).
Dilihat dari perspektif perilaku, kepatuhan kelompok sasaran merupakan
faktor penting yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan dan sebagai
hasil langsung dari implementasi kebijakan yang menentukan efeknya terhadap
masyarakat. Selain itu, penciptaan situasi dan kondisi lingkungan kebijakan
diperlukan agar dapat memberikan pengaruh, meskipun pengaruhnya seringkali
bersifat positif atau negatif (Akib, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Efraldo (2014) terkait implementasi Perda
Kota Pontianak Nomor 10 Tahun 2010 tentang Kawasan Tanpa Rokok di kampus
ada 4 faktor yang berpengaruh dalam implementasi. Pertama, kebijakan yang
diidealkan (idealized policy) dimana peraturan walikota terkait Kawasan Tanpa
Rokok diubah menjadi perda KTR. Kedua, kelompot sasaran (target groups), dalam
hal ini dekan belum mengetahui tentang tugas dan tanggung jawabnya dalam KTR
karena belum pernah ada sosialisasi, dosen yang kurang setuju jika penerapan KTR
di seluruh lingkungan kampus, mahasiswa yang tidak setuju penerapan KTR di
kampus, dan masih ada kelompok sasaran yang belum mengetahui tentang perda
KTR ini. Ketiga, organisasi pelaksana (implementing organization), yang dimaksud
disini adalah dinas kesehatan dan satpol PP. Dimana sudah melakukan sosialisasi,
pembinaan, pengawasan, evaluasi, membentuk pengawas internal, dan pemberian
15
sosial dengan adanya perasaan tidak enak untuk menegur bila terjadi pelanggaran,
lingkungan fisik yang kurang memadai di setiap ruang kelas, dan lingkungan
ekonomi yang membuat masih adanya kegiatan penjualan rokok.
2.1.2.4Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan
Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari
proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output) yaitu tercapai atau tidaknya
tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat
penting dalam keseluruhan struktur kebijakan, karena melalui prosedur ini proses
kebijakan secara keseluruhan dapat dipengaruhi tingkat keberhasilan atau tidaknya
pencapaian tujuan. Faktor penentu pemenuhan kebijakan yaitu respeknya anggota
masyarakat pada otoritas dan keputusan pemerintah, adanya kesadaran untuk
menerima kebijakan, adanya sanksi hukum, adanya kepentingan publik, adanya
kepentingan pribadi, dan masalah waktu. Sedangkan faktor penentu penolakan atau
penundaan kebijakan yaitu adanya kebijakan yang bertentangan dengan sistem nilai
yang mengada, tidak adanya kepastian hukum, adanya keanggotaan seseorang dalam
suatu organisasi, dan adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum
(Agustino, 2014).
2.2 Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok
Penetapan kawasan tanpa rokok di suatu wilayah pada dasarnya sebagai
bentuk perlindungan terhadap perokok pasif, anak, remaja, ibu hamil, dan kelompok
16
ruangan. Pertimbangan perlunya penerapan KTR karena beberapa hal, yaitu
kesehatan merupakan hak azazi manusia yang diamanatkan oleh UUD 1945, pekerja
dan karyawan mempunyai hak untuk bekerja dilingkungan kerja yang sehat dan tidak
membahayakan, anak-anak mempunyai hak khusus untuk tumbuh dan berkembang
dilingkungan yang sehat dengan mewujudkan kota dan kabupaten layak anak dimana
salah satunya harus bebas asap rokok, dan penetapan 100% KTR merupakan upaya
yang efektif untuk melindungi masyarakat karena tidak ada batas aman untuk setiap
paparan asap rokok orang lain (Kemenkes RI, 2011a). Penetapan kawasan tanpa
rokok ini perlu diselenggarakan di fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses
belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat
kerja, tempat umum, dan tempat lain yang ditetapkan. Tempat proses belajar
mengajar adalah sarana yang digunakan untuk kegiatan belajar, mengajar,
pendidikan dan/atau pelatihan (Kemenkes RI, 2011b).
2.3 Kawasan Tanpa Rokok (KTR) 2.3.1 Pengertian
Kawasan Tanpa Rokok yang selanjutnya disingkat KTR adalah ruangan atau
area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi,
menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. Sedangkan
rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar, dihisap,
dan/atau dihirup termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang
dihasilkan dari tanaman Nicotina Tabacum, Nicotina Rustica, dan spesies lainnya
atau sintesisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan
17
2.3.2 Tujuan
Tujuan penetapan kawasan tanpa rokok ini yaitu menurunkan angka
kesakitan dan/atau angka kematian dengan cara mengubah perilaku masyarakat
untuk hidup sehat, meningkatan produktivitas kerja yang optimal, mewujudkan
kualitas udara yang sehat dan bersih bebas dari asap rokok, menurunkan angka
perokok dan mencegah perokok pemula, dan mewujudkan generasi muda yang sehat
(Kemenkes RI, 2011b).
2.3.3 Penerapan KTR di tempat proses belajar mengajar
Tempat proses belajar mengajar merupakan salah satu tempat yang termasuk
dalam kawasan tanpa rokok. Salah satu tempat proses belajar mengajar yang
dimaksud adalah perguruan tinggi (Pemprov Bali, 2011). Perguruan Tinggi adalah
satuan pendidikan yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi. Pendidikan tinggi
adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program
diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi,
serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan
kebudayaan bangsa Indonesia (Kemenhum dan HAM, 2012).
Pendidikan tinggi berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif,
responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan
Tridharma, dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan
memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora. Pendidikan Tinggi juga bertujuan
18
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan
bangsa, dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang ilmu pengetahuan dan/atau
teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa,
dihasilkannya Ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penelitian yang
memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan
bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia, dan terwujudnya
pengabdian kepada masyarakat berbasis penalaran dan karya penelitian yang
bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa (Kemenhum dan HAM, 2012).
Adapun sasaran kawasan tanpa rokok di tempat proses belajar mengajar
adalah pimpinan/penanggung jawab/pengelola tempat proses belajar mengajar,
peserta didik/siswa, tenaga kependidikan (guru), dan unsur sekolah lainnya (tenaga
administrasi, pegawai disekolah) (Kemenkes RI, 2011b).
Indikator kawasan tanpa rokok pada tempat proses belajar mengajar
diklasifikasikan sebagai berikut. Indikator input yaitu adanya kebijakan tertulis
tentang KTR, adanya tenaga yang ditugaskan untuk memantau KTR di tempat proses
belajar mengajar, dan adanya media promosi tentang larangan merokok/KTR.
Indikator proses yaitu terlaksananya sosialisasi kebijakan KTR baik secara langsung
(tatap muka) maupun tidak langsung (melalui media cetak, elektronik), adanya
pengaturan tugas dan tanggung jawab dalam pelaksanaan KTR, terpasangnya
pengumuman kebijakan KTR melalui poster, tanda larangan merokok, mading, surat
edaran, dan pengeras suara, terpasangnya tanda KTR di tempat proses belajar
19
merokok. Indikator output yaitu lingkungan tempat proses belajar mengajar tanpa
asap rokok, siswa yang tidak merokok menegur siswa yang merokok di lingkungan
KTR, perokok merokok diluar KTR, dan adanya sanksi bagi yang melanggar KTR
(Kemenkes RI, 2011b).
Selain itu ada salah satu lagi indikator keberhasilan dalam penerapan KTR
yaitu meningkatnya perilaku kepatuhan terhadap KTR di berbagai tatanan
(Kemenkes RI, 2012b). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Widya, dkk
(2015), ada hubungan yang bermakna antara perilaku merokok dengan kepatuhan
terhadap penerapan kebijakan KTR. Dimana hasil penelitian menunjukkan perokok
berat cenderung lebih patuh dibandingkan dengan perokok ringan. Begitu juga
dengan penelitian yang dilakukan oleh Puswitasari (2012), didapatkan hasil bahwa
adanya hubungan yang bermakna antara perilaku merokok yang dipengaruhi oleh
lingkungan dan pengetahuan peraturan KTR terhadap kepatuhan terhadap penerapan
kebijakan KTR. Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh lingkungan memberikan
resiko 1,6 kali lipat terhadap tingkat kepatuhan dan tidak mengetahui peraturan KTR
memberikan resiko 1,5 kali lipat terhadap tingkat kepatuhan.
Dalam pelaksanaan kawasan tanpa rokok ini, setiap pengelola, pimpinan
dan/atau penanggung jawab tempat proses belajar mengajar berkewajiban untuk
melakukan pengawasan internal, melarang semua orang untuk tidak merokok,
menyingkirkan asbak atau sejenisnya, memasang tanda-tanda dan pengumuman
dilarang merokok sesuai persyaratan di semua pintu masuk dan ditempat-tempat
yang dipandang perlu dan mudah terbaca dan/atau didengar baik pada tempat
dan/atau lokasi yang menjadi tanggung jawabnya. Selain itu masyarakat juga dapat
20
masyarakat tersebut dapat dilakukan dengan cara memberikan sumbangan pemikiran
dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijakan yang terkait dengan KTR,
melakukan pengadaan dan pemberian bantuan sarana dan prasarana yang diperlukan
untuk mewujudkan KTR, ikut serta dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan
serta penyebarluasan informasi kepada masyarakat, mengingatkan setiap orang yang
melanggar, dan melaporkan setiap orang yang terbukti melanggar kepada
pimpinan/penanggung jawab KTR (Pemprov Bali, 2011).
Selain itu, pihak pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat
proses belajar mengajar juga dapat melakukan pemantauan dan evaluasi keberhasilan
penerapan KTR yang menjadi tanggung jawabnya. Evaluasi tersebut dapat dilakukan
dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Evaluasi jangka pendek (4-6 bulan),
yaitu adanya tanda KTR yang dipasang dan adanya media promosi KTR. Sedangkan
evaluasi jangka panjang (1-3 tahun) yaitu kebijakan KTR diterima dan dilaksanakan
oleh pimpinan dan karyawan/guru/dosen/siswa, dipatuhi dan dimanfaatkannya
fasilitas yang mendukung KTR, tidak ada penjual rokok disekitar tempat proses
belajar mengajar, Karyawan/guru/dosen/siswa yang tidak merokok bertambah
banyak, dan semua karyawan/guru/dosen/siswa tidak merokok di KTR (Kemenkes
RI, 2011b).
2.3.4 Peluang dan hambatan penerapan KTR
Kebijakan terkait rokok yang ada saat ini lebih mementingkan aspek ekonomi
dibandingkan dengan aspek kesehatan. Cara pandang kebijakan ini tidak memandang
jauh kedepan dampak dari kebijakan yang ada saat ini. Pada jangka pendek,
21
panjang, konsumsi rokok akan berdampak pada timbulnya berbagai penyakit dan
akan menjadi beban bagi negara untuk pembiayaan pengobatan. Perilaku merokok
sudah menjadi hal yang biasa dan sulit dipisahkan dalam sendi kehidupan
masyarakat, hal ini terutama karena selama ini tidak adanya pengaturan tentang
merokok, sehingga penerapan KTR akan mendapat penolakan bagi para perokok
(Juanita, 2012).
Masih lemahnya aturan pengendalian rokok pada tingkat nasional hendaknya
dapat direspon oleh pemerintah daerah (kabupaten/kota) untuk memberlakukan
peraturan pada tingkat lokal karena penerapan peraturan yang berasal dari tingkat
lokal lebih mudah dan dapat diterima masyarakat dibanding dengan tingkat nasional.
Larangan merokok diruang publik pada tingkat lokal dapat mempengaruhi persepsi
penduduk terhadap norma merokok di masyarakat (Juanita, 2012).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nasyuruddin (2013), yang
menjadi hambatan dalam proses implementasi kawasan tanpa rokok di sekolah yaitu,
pengetahuan yang kurang terkait KTR, sumber daya yang kurang mendukung seperti
tidak adanya satgas anti rokok, pendanaan dan sarana prasarana yang kurang, proses
sosialisasi yang tidak optimal, belum ada SOP implementasi KTR, komitmen
sekolah yang kurang dan tidak adanya bimbingan dan pengawasan yang
menyebabkan implementasi kawasan tanpa rokok menjadi tidak berjalan efektif.
Namun adanya dukungan yang sangat kuat dari sasaran kebijakan dapat menjadi
peluang yang bagus terhadap implementasi KTR.
Selain itu, dalam penelitian yang dilakukan oleh Efraldo (2014), beberapa hal
yang juga menghambat implementasi KTR, yaitu pimpinan (dekan) belum
22
ada tanda larangan merokok, kurangnya peran aktif dari masyarakat yang ada di
kampus untuk menegur atau mengingatkan orang yang merokok di dalam lingkungan
kampus, masih ada dosen dan mahasiswa yang kurang mendukung penerapan
kawasan tanpa rokok, serta kantin di lingkungan kampus yang masih menjual rokok.
2.3.5 Efektivitas penerapan KTR
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Azkha (2013), kebijakan KTR
dalam pelaksanaannya masih kurang dalam waktu dua sampai tiga tahun, sehingga
efektivitas KTR dalam menurunkan angka perokok aktif di tiga kota di Sumatera
Barat belum menunjukkan angka yang signifikan, jumlah perokok juga masih lebih
dari separuh yaitu sebesar 59%, masyarakat yang mendukung penerapan KTR
sebesar 40%, namun masyarakat yang menyadari KTR ini cukup efektif dalam
menurunkan perokok yaitu sebesar 51%.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prabandari, dkk (2009) di FK
UGM yang sudah menerapkan KTR sejak tahun 2004, efektivitas penerapan KTR di
kampus dapat dilihat dari penurunan jumlah perokok mahasiswa pada tahun 2003
yaitu sebesar 10,9% menjadi 8,5% di tahun 2007, dan jumlah perokok eksperimen
(tidak selalu merokok setiap hari) turun dari 36% pada tahun 2003 menjadi 21% di
tahun 2007. Sedangkan jumlah mahasiswi yang merokok juga turun dari 0,7% pada
tahun 2003 menjadi 0,4% di tahun 2007 dan jumlah mahasiswi perokok eksperimen
turun dari 9,2% menjadi 7,3% di tahun 2007. Hasil penelitian ini menunjukkan
penerapan KTR di kampus dapat memberikan dampak yang positif, dimana hal ini
juga didukung dengan pemberlakuan kebijakan pelarangan merokok bagi mahasiswa
23
2.4 Perilaku Merokok
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat
diamati secara langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Masalah
kesehatan masyarakat, ditentukan oleh dua faktor salah satunya adalah faktor
perilaku. Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi
karena perilaku merupakan resultan dari berbagai faktor, baik faktor internal maupun
faktor eksternal (lingkungan) (Notoadmodjo, 2010).
Menurut Lawrence Green, perilaku ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu
faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors), dan
faktor penguat (reinforcing factors). Faktor predisposisi (predisposing factors)
adalah faktor yang mempermudah terjadinya perilaku pada diri seseorang atau
masyarakat, yaitu pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, tradisi, sistem nilai di
masyarakat, tingkat pendidikan, dan tingkat sosial ekonomi. Faktor pemungkin
(enabling factors) adalah faktor yang mendukung dan memungkinkan terwujudnya
perilaku kesehatan masyarakat yang dikaitkan dengan lingkungan fisik, seperti
tersedian atau tidaknya fasilitas, sarana dan prasarana. Faktor penguat (reinforcing
factors) adalah faktor yang meliputi sikap dan perilaku tokoh masyarakat dan tenaga
kesehatan yang dapat dijadikan acuan oleh masyarakat untuk berperilaku sehat.
Disini termasuk juga peraturan, undang-undang, surat-surat keputusan dari para
pejabat pemerintah pusat atau daerah yang berguna untuk memperkuat perilaku
masyarakat (Notoadmodjo, 2010).
Adapun karakteristik perilaku merokok setiap hari di Provinsi Bali terbanyak
dilakukan oleh laki-laki sebesar 35,2% dengan usia mulai merokok terbanyak berada
24
kelompok umur 20-24 tahun sebesar 29,8%, sedangkan perilaku merokok pada
wanita sebesar 0,6% terbanyak berada pada kelompok umur 20-24 tahun sebesar
39,6% dan terbanyak kedua pada kelompok umur 15-19 tahun sebesar 28,5%. Jika
dilihat dari pekerjaan, pegawai menempati urutan kedua memiliki perilaku merokok
yaitu sebesar 25,8%. Sebagian besar penduduk yang merokok tersebut mempunyai
kebiasaan merokok dalam gedung atau ruangan sebesar 60,6% dan sebesar 94,3%
penduduk setuju mengenai penerapan kebijakan KTR (Kemenkes RI, 2013b).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Salawati dan Amalia (2010)
dalam penelitiannya tentang perilaku merokok mahasiswa, dijelaskan beberapa
faktor yang mempengaruhi perilaku merokok tersebut. Faktor yang mempengaruhi
pertama adalah pengetahuan yang meliputi pengetahuan tentang bahaya merokok,
bahan kimia yang terkandung dalam rokok, dan pengaruh rokok terhadap kesehatan,
dimana sebagian besar mahasiswa yang merokok memiliki pengetahuan yang baik
terkait hal tersebut. Selanjutnya keyakinan terhadap kenikmatan dan manfaat rokok,
sebagian besar mahasiswa yang merokok yakin merokok memberikan kenikmatan
tersendiri dan memiliki manfaat sebagai hiburan, pereda stress dan membantu
berkonsentrasi. Bahkan mahasiswa yang merokok tersebut memiliki keyakinan
tentang bahaya merokok terhadap dirinya dan orang lain, namun tetap akan merokok.
Sebagian besar mahasiswa termotivasi untuk merokok karena pengaruh pergaulan
dan lingkungan sekitar.
Mahasiswa juga mendukung bila ada smoking area yang penting ia tetap bisa
merokok dan bersikap tidak setuju bila ada petugas kesehatan yang merokok karena
dianggap harus memberi teladan. Sebagian besar mahasiswa yang merokok tersebut
25
tersebut memiliki niat untuk berhenti merokok tetapi merasa hal tersebut sebagai
sesuatu yang sulit dilakukan karena sudah ketergantungan terhadap rokok (Salawati
dan Amalia, 2010).
Ada banyak faktor yang mempengaruhi orang untuk merokok. Pertama faktor
pengaruh orang tua, hal ini biasanya terjadi dalam rumah tangga yang tidak bahagia,
orang tua yang tidak memperhatikan anaknya, suka memberi hukuman fisik, dan
remaja yang melihat orang tua merokok sebagai pelampiasan kekesalan. Faktor
kepribadian juga mempengaruhi dimana kondisi mental seseorang yang sedang
drop/stres ternyata sangat berpengaruh untuk melarikan diri menuju merokok. Faktor
lingkungan juga dapat mempengaruhi orang untuk merokok jika bergaul dengan
orang disekitarnya yang banyak merokok maka lama kelamaan dimulai dari
pemberian gratis lama-lama akan membeli sendiri karena zat adiktif didalamnya.
Selain itu faktor ekonomi dan sosial juga berpengaruh, disamping harganya yang
murah rokok juga dengan mudah didapat yang menjadi daya tarik tersendiri bagi
pemula. Remaja yang merokok akan merasa lebih percaya diri agar orang
disekitarnya menganggap bahwa dia sudah dewasa dan gagah. Faktor terakhir yang
berpengaruh yaitu iklan dan ini merupakan faktor yang memberi pengaruh besar
karena melalui segala bentuk promosi iklan, produsen rokok dengan mudah dapat
26
2.5 Keaslian Penelitian
Tabel 2.1 Keaslian Penelitian
Indikator Penelitian Efraldo, J.Z Nasyuruddin, M.F Penelitian ini Judul
penelitian
Implementasi Peraturan Daerah Kota
Pontianak No. 10 tahun 2010 tentang
Kawasan Tanpa Rokok di Kecamatan
Pontianak Tenggara
Implementasi Kawasan Tanpa Rokok
(KTR) di Sekolah (Studi kualitatif pada
SMP Negeri 21 Semarang)
Rokok di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (FISIP)
Mengetahui gambaran implementasi
kawasan tanpa rokok di SMP Negeri 21
Semarang
Mengetahui implementasi Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 10 tahun
2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok
(KTR) di Universitas Udayana
Desain Deskriptif dengan pendekatan kualitatif Deskriptif dengan pendekatan kualitatif Deskriptif dengan pendekatan campuran
27
Lanjutan Tabel 2.1 Keaslian Penelitian
Indikator Penelitian Efraldo, J.Z Nasyuruddin, M.F Penelitian ini Subyek
penelitian
Dekan, mahasiswa, dosen, pegawai, kepala seksi
pencegahan PTM, pegawai puskesmas, satpol PP,
kondisi budaya, sosial, dan ekonomi.
Wawancara, observasi, dan dokumentasi Wawancara mendalam dan observasi Wawancara mendalam dan observasi
Analisis data Content analysis Transkrip, reduksi data, penyajian data, dan verifikasi
Analisis data kuantitatif menggunakan
analisis univariat, kualitatif dengan data
reduction, data display, dan conclusing
drawing/verification
Hasil Dekan belum mengetahui kewajibannya dalam KTR, belum ada tanda larangan sehingga sasaran
belum mengetahui kampus ditetapkan sebagai
KTR, belum pernah dilakukan monitoring dan
survey kepatuhan, kurangnya peran aktif untuk
menegur, kantin yang masih menjual rokok.
Pengetahuan kurang, sumber daya
kurang mendukung, sosialisasi tidak
optimal, belum ada SOP, komitmen
sekolah kurang, tidak ada bimbingan dan
pengawasan menyebabkan implementasi