GAMBARAN UMUM
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Daya Saing CPO Indonesia di Pasar India dan Belanda
Analisis daya saing CPO Indonesia di Pasar India dan Belanda menggunakan pendekatan Revealed Comparative Advantage (RCA). CPO Indonesia dapat dikatakan memiliki keunggulan komparatif jika pangsa nilai ekspor CPO Indonesia di India atau Belanda dalam total nilai ekspor Indonesia ke India atau Belanda lebih besar dari pangsa nilai ekspor CPO dunia di India atau Belanda dalam total nilai ekspor dunia ke India atau Belanda. Berdasarkan hasil analisis RCA dapat diketahui bahwa komoditi CPO Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang tinggi di pasar India dan Belanda dengan perolehan nilai rata-rata RCA lebih dari satu (RCA > 1) selama periode tahun 1989 hingga 2012.
Gambar 11 Perkembangan nilai RCA CPO Indonesia di pasar India dan pasar Belanda periode 1989-2012
Nilai RCA CPO Indonesia di pasar India sangat berfluktuatif selama periode tahun 1989 hingga 2000. Pada tahun 1991 dan 1992 nilai RCA CPO Indonesia di pasar India mengalami peningkatan. Tahun 1991 nilai ekspor CPO Indonesia meningkat secara signifikan dari US$ 512,000 menjadi US$ 3,568,000, sehingga pangsa nilai ekspor CPO Indonesia terhadap total ekspor Indonesia di India meningkat signifikan dari 0.006 menjadi 0.0053 dan menyebabkan peningkatan nilai RCA CPO Indonesia di pasar India menjadi 80.21. Nilai ekspor CPO Indonesia di pasar India pada tahun 1992 mengalami penurunan menjadi US$ 2,262,896, sehingga pangsa nilai ekspor CPO Indonesia terhadap total nilai ekspor Indonesia ke India menurun. Namun pangsa CPO dunia juga mengalami penurunan karena nilai total ekspor CPO dunia di pasar India turun menjadi US$ 3,019,199, sedangkan total nilai ekspor dunia ke India mengalami peningkatan yang signifikan dari US$ 8,572,029,934 menjadi US$ 10,399,195,359. Hal ini menyebabkan nilai RCA kembali meningkat menjadi 116.32 dan merupakan perolehan nilai RCA CPO Indonesia di pasar India yang tertinggi selama periode tahun 1989 hingga 2012.
Pangsa nilai ekspor CPO Indonesia dan pangsa nilai ekspor CPO dunia di pasar India mengalami penurunan pada tahun 1993. Dari total nilai ekspor CPO dunia di pasar India US$ 1,496,835, sebesar US$1,346,172 diserap oleh Indonesia. Penurunan pangsa CPO Indonesia dan dunia di pasar India mengakibatkan nilai RCA turun menjadi 107.82. Pada tahun 1994 nilai RCA CPO Indonesia di India mengalami penurunan yang sangat signifikan menjadi 16.76. Penurunan ini diakibatkan terjadinya penurunan nilai ekspor CPO Indonesia ke India dari US$ 1,346,172 menjadi US$ 437,199, sementara nilai ekspor CPO dunia ke India mengalami peningkatan. Hal ini berarti telah terjadi penurunan pangsa ekspor CPO Indonesia terhadap total nilai ekspor Indonesia di pasar India. Sedangkan pangsa CPO dunia cenderung konstan, karena nilai ekspor CPO dan total nilai ekspor dunia di pasar India sama-sama mengalami peningkatan.
0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 N il ai RCA
Tabel 11 Nilai RCA CPO Indonesia di pasar India periode tahun 1989-2012
Tahun Nilai RCA Tahun Nilai RCA
1989 66.58 2001 20.72 1990 16.88 2002 22.90 1991 80.21 2003 23.53 1992 116.32 2004 25.60 1993 107.82 2005 31.59 1994 16.76 2006 33.38 1995 58.16 2007 33.68 1996 40.93 2008 31.73 1997 20.67 2009 22.97 1998 0.64 2010 24.54 1999 20.33 2011 18.46 2000 34.72 2012 13.03
Pada tahun 1995 nilai RCA CPO Indonesia di India meningkat disebabkan nilai ekspor CPO Indonesia ke India mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari nilai ekspor CPO sebesar US$ 437,199 menjadi US$ 1,237,686. Di tahun yang sama total nilai ekspor dunia di pasar India meningkat signifikan, sehingga nilai RCA mengalami peningkatan menjadi 58.16. Nilai RCA CPO Indonesia di India kembali mengalami penurunan berturut-turut pada periode 1996 hingga 1997. Pada tahun 1996 nilai ekspor CPO Indonesia dan nilai ekspor CPO dunia ke India sama-sama mengalami peningkatan menjadi US$ 3,996,690 dan US$ 4,941,640. Namun pangsa CPO dunia di India mengalami penurunan, sehingga nilai RCA mengalami penurunan dari 58.16 menjadi 40.93. Di tahun berikutnya nilai RCA kembali mengalami penurunan yang signikan menjadi sebesar 20.67. Penurunan ini disebabkan nilai ekspor CPO Indonesia turun dari US$ 3,996,690 menjadi US$ 2,949,618, sementara total nilai ekspor meningkat menjadi US$ 730,642,944.
Daya saing komparatif CPO Indonesia di pasar India berada pada tingkat terendah pada tahun 1998 dengan perolehan nilai RCA kurang dari 1 (RCA < 1) yaitu sebesar 0.64, sehingga pada tahun tersebut komoditi CPO Indonesia di pasar India memiliki keunggulan komparatif rendah (di bawah rata-rata dunia). Pada tahun 1998 nilai ekspor CPO Indonesia ke India hanya mencapai US$ 27,272 dari total nilai ekspor CPO dunia di pasar India sebesar US$ 1,605,088. Hal ini berarti nilai ekspor CPO di India sebesar US$1,577,816 diserap oleh pesaing. Penurunan nilai ekspor CPO Indonesia di pasar India yang signifikan disebabkan krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun tersebut.
Pasca krisis ekonomi, Indonesia berhasil meningkatkan nilai ekspor CPO Indonesia menjadi US$ 8,209,613 pada tahun 1999 dan kembali mengalami peningkatan yang sangat signifikan menjadi US$ 233,992,535 pada tahun 2000. Peningkatan nilai ekspor CPO Indonesia ke India diiringi peningkatan nilai ekspor CPO dunia ke pasar India dari US$ 1,605,088 pada tahun 1998 menjadi US$ 15,532,767 dan US$ 285,291,407 pada tahun 1999 dan 2000. Namun pangsa CPO Indonesia juga mengalami peningkatan yang signifikan, sehingga nilai RCA CPO Indonesia di pasar india meningkat menjadi 20.33 dan 34.72 selama periode tahun 1999 hingga 2000.
Nilai ekspor CPO Indonesia di pasar India terus mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan total nilai ekspor CPO dunia di India pada periode 2001 hingga2012, kecuali pada tahun 2005 dan 2009 nilai ekspor CPO mengalami penurunan. Pada periode 2001 hingga 2012 nilai RCA CPO Indonesia di India cenderung lebih stabil dari periode sebelumnya. Nilai RCA CPO Indonesia di pasar India mengalami peningkatan yang konsisten selama periode tahun 2001 sampai2007, hingga mencapai 33.68 yang disebabkan peningkatan pangsa nilai ekspor CPO Indonesia terhadap total nilai ekspor Indonesia di India.
Pada tahun 2008 terjadi krisis global yang berdampak pada kondisi perekonomian negara-negara di dunia. Nilai RCA CPO Indonesia cenderung mengalami tren menurun selama periode 2008 hingga 2012. Namun pada tahun 2008 nilai ekspor CPO Indonesia dan total nilai ekspor CPO dunia di pasar India masih mengalami peningkatan, meskipun pangsa CPO Indonesia mengalami penurunan yang menyebabkan menurunnya nilai RCA CPO Indonesia di pasar India dari 33.68 menjadi 31.73. Dampak krisis global baru terlihat pada tahun berikutnya yaitu penurunan total nilai ekspor CPO dunia yang diiringi penurunan nilai ekspor CPO Indonesia di pasar India. Nilai ekspor CPO Indonesia di India menurun menjadi sebesar US$ 2,611,278,770 dari total nilai ekspor CPO dunia sebesar US$ 3,004,301,189 yang menyebabkan menurunnya perolehan nilai RCA menjadi 22.97.
Perekonomian dunia mulai mengalami pemulihan dan nilai ekspor CPO di India mengalami peningkatan selama periode 2010 hingga 2012. Peningkatan nilai ekspor diiringi meningkatnya pangsa nilai ekspor CPO Indonesia terhadap total nilai ekspor Indonesia di India, sehingga nilai RCA mengalami peningkatan menjadi 24.54. Berbeda dengan tahun sebelumnya, meskipun nilai ekspor CPO Indonesia dan total nilai ekspor CPO dunia di India kembali mengalami peningkatan, namun nilai RCA turun menjadi 18.46 pada tahun 2011 yang disebabkan pangsa CPO Indonesia mengalami penurunan. Pada tahun 2012 nilai RCA CPO Indonesia kembali turun menjadi 13.03 yang disebabkan menurunnya nilai ekspor CPO Indonesia dari US$ 4,465,022,137 menjadi US$ 3,308,546,141.
Tabel 12 Nilai RCA CPO Indonesia di pasar Belanda periode tahun 1989-2012
Tahun Nilai RCA Tahun Nilai RCA
1989 70.91 2001 68.58 1990 68.29 2002 84.06 1991 82.81 2003 72.90 1992 78.43 2004 61.12 1993 85.79 2005 69.33 1994 96.48 2006 68.52 1995 114.81 2007 36.93 1996 93.72 2008 70.72 1997 99.27 2009 77.54 1998 103.76 2010 75.50 1999 82.54 2011 35.30 2000 91.56 2012 49.95
Nilai ekspor CPO Indonesia pada tahun 1989 sebesar US$ 122,129,000 yang hampir menyerap seluruh pangsa nilai ekspor CPO dunia di pasar Belanda sebesar US$ 128,053,064. Nilai RCA CPO Indonesia di pasar Belanda pada tahun 1989 sebesar 70.91, kemudian turun menjadi 68.29 pada tahun 1990. Penurunan ini disebabkan nilai ekspor CPO Indonesia turun menjadi US$74,150,544. Selama periode tahun 1991 hingga 1992 nilai ekspor CPO Indonesia mengalami peningkatan menjadi US$ 103,870,912 dan US$ 130,498,544, namun hanya pada tahun 1991 nilai RCA CPO Indonesia meningkat menjadi 82.81. Tahun 1992 nilai RCA CPO Indonesia turun menjadi 78.43 disebabkan menurunnya pangsa nilai ekspor CPO Indonesia di pasar Belanda.
Selama periode tahun 1993 hingga 1995 nilai RCA CPO Indonesia di pasar Belanda berturt-turut mengalami peningkatan. Tahun 1993 nilai RCA CPO meningkat menjadi 85.79 karena pangsa nilai ekspor CPO dunia mengalami penurunan. Tahun 1994 nilai ekspor CPO Indonesia di pasar Belanda meningkat dari US$ 129,659,768 menjadi US$ 198,968,656, sehingga pangsa terhadap total nilai ekspor Indonesia di Belanda meningkat. Namun, pangsanilai ekspor CPO dunia di Belanda mengalami peningkatan yang lebih signifikan. Hal ini menyebabkan naiknya nilai RCA CPO Indonesia menjadi 96.48. Pada tahun 1995, pangsa nilai ekspor CPO Indonesia menurun karena peningkatan nilai ekspor CPO Indonesia lebih kecil dari peningkatan total nilai ekspor Indonesia di pasar Belanda. Namun pada tahun tersebut nilai RCA CPO Indonesia di Belanda mencapai tingkat tertinggi dengan perolehan sebesar 114.81 yang disebabkan penurunan pangsa nilai CPO dunia di pasar Belanda.
Tahun 1996 nilai RCA CPO Indonesia mengalami penurunan dari tahun sebelumnya menjadi 93.72. Nilai ekspor CPO Indonesia di Belanda turun dari US$ 214,393,568 menjadi US$ 212,227,264, sedangkan nilai ekspor CPO dunia di Belanda mengalami peningkatan. Selama periode tahun 1997 hingga1998 nilai RCA CPO meningkat menjadi 99.27 dan 103.76. Pada tahun 1997 nilai ekspor CPO Indonesia di Belanda meningkat menjadi US$ 326,862,080, kemudian pada tahun 1998 nilai ekspor CPO Indonesia turun secara signifikan menjadi US$ 119,834,408 akibat krisis ekonomi yang dialami Indonesia.
Pasca krisis ekonomi Indonesia pada tahaun 1999 nilai ekspor CPO Indonesia di pasar India mengalami peningkatan menjadi US$ 125,705,608, namun pangsa nilai ekspornya terhadap total nilai ekspor CPO dunia ke Belanda menurun. Perolehan nilai RCA turun menjadi 82.54, kemudian kembali meningkat pada tahun 2000 menjadi 91.56. Nilai ekspor CPO Indonesia ke Belanda turun menjadi US$ 108,104,905 tetapi pangsa nilai ekspor CPO dunia ke pasar Belanda mengalami peningkatan yang lebih signifikan.
Pada tahun 2001 nilai RCA CPO Indonesia ke Belanda mengalami penurunan yang signifikan menjadi 68.58 disebabkan menurunnya nilai ekspor CPO Indonesia ke Belanda. Dari total nilai ekspor di pasar Belanda sebesar US$ 216,060,780, Indonesia hanya menyerap sebesar US$ 102,574,649. Nilai RCA kembali meningkat pada tahun 2002 menjadi 84.06 seiring peningkatan nilai ekspor CPO Indoneisa di Belanda menjadi US$ 218,740,703. Selama periode 2003 hingga 2004 nilai RCA mengalami penurunan menjadi 72.90 dan 61.12. Menurunnya nilai RCA di tahun 2003 disebabkan menurunnya nilai ekspor CPO Indonesia ke Belanda menjadi US$ 129,468,217, sedangkan nilai RCA turun pada tahun 2004 karena meningkatnya pangsa CPO dunia di pasar Belanda. Pada
tahun selanjutnya nilai RCA meningkat menjadi 69.33 karena nilai ekspor CPO Indonesia di Belanda meningkat dari US$ 129,468,217 menjadi US$ 239,089,062. Selama periode 2006 hingga 2007 nilai RCA CPO Indonesia mengalami penurunan disebabkan meningkatya pangsa nilai ekspor CPO dunia di pasar Belanda. Pada tahun 2006 nilai ekspor CPO Indonesia di Belanda meningkat menjadi US$ 322,370,141, namun nilai total eskpor CPO dunia di Belanda mengalami peningkatan yang lebih signifikan dari US$579,749,319 menjadi US$ 825,037,375. Tahun 2006 Indonesia hanya menyerap nilai ekspor CPO sebesar US$ 370,062,746, sedangkan sisa nilai ekspor CPO sebesar US$ 1,492,673,328 diserap oleh pesaing. Nilai RCA turun dari tahun 2006 sebesar 68.52menjadi 36.93.
Selama periode tahun 2008 hingga 2009 nilai RCA mengalami peningkatan menjadi 70.72 dan 77.54. Meningkatnya nilai RCA pada tahun 2008 disebabkan peningkatan nilai ekspor CPO Indonesia menjadi US$ 786,712,815, selain itu total nilai ekspor CPO dunia mengalami penurunan menjadi US$ 1,708,049,463. Sementara peningkatan nilai RCA pada tahun 2009 disebabkan oleh penurunan total nilai ekspor CPO dunia di pasar Belanda menjadi US$ 1,274,432,223, sedangkan nilai ekspor CPO Indonesia mengalami penurunan.
Daya saing komoditi CPO Indonesia di pasar Belanda selama periode 2010 hingga 2011terus melemah dengan perolehan nilai RCA yang terus mengalami penurunan. Pada tahun 2010 pangsa nilai ekspor CPO Indonesia meningkat menjadi US$ 800,848,886 dari total nilai ekspor Indonesia sebesar US$ 1,523,090,126. Namun pangsa total nilai ekspor Indonesia mengalami peningkatan menjadi US$ 3,722,455,122 dari total nilai ekspor dunia sebesar US$ 800,848,886, sehingga perolehan nilai RCA turun menjadi 75.50. Nilai ekspor CPO Indonesia di pasar Belanda mengalami penurunan menjadi US$ 601,834,422 yang mengakibatkan turunnya pangsa nilai ekspor CPO Indonesia. Sementara itu pangsa nilai ekspor CPO dunia di pasar India mengalami peningkatan, sehingga nilai RCA CPO turun secara signifikan dari tahun sebelumnya menjadi 35.30.
Nilai RCA CPO Indonesia mengalami peningkatan menjadi 49.95 pada tahun 2012. Peningkatan ini disebabkan meningkatnya nilai ekspor secara signifikan menjadi US$ 1,031,539,048. Hal ini menyebabkan pangsa nilai ekspor CPO Indonesia di pasar Belanda mengalami peningkatan. Pangsa nialai ekspor CPO dunia di pasar Belanda juga mengalami peningkatan, namun peningktan npangsa nilai ekspor CPO Indonesia lebih signifikan.
Berdasarkan perolehan nilai RCA CPO Indonesia di kedua negara dapat diketahui bahwa komoditi CPO Indonesia selama periode 1989 hingga 2012 secara umum memiliki daya saing yang sangat kuat di pasar India dan Belanda. Nilai RCA rata-rata CPO Indonesia di pasar India sebesar 36.76, sedangkan nilai RCA rata-rata CPO Indonesia di pasar Belanda sebesar 76.62. Meskipun nilai ekspor CPO Indonesia ke Belanda lebih kecil dari nilai ekspor CPO ke India, namun nilai RCA CPO Indonesia di pasar Belanda lebih tinggi dibandingkan di pasar India. Hal ini disebabkan rata-rata pangsa total nilai ekspor CPO dunia terhadap total nilai ekspor dunia di pasar Belanda selama periode tahun 1989 hingga 2012 sebesar 0.002. Lebih rendah dibandingkan rata-rata pangsa total nilai ekspor CPO dunia terhadap total nilai ekspor dunia di pasar India sebesar 0.007 (Lampiran 3 dan 4).
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor CPO Indonesia ke India Uji kesesuaian model
Metode yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor CPO Indonesia ke India adalah metode Ordinary Least Square (OLS). Hasil estimasi model ekspor CPO Indonesia ke India dapat dilihat pada Tabel Coeffisient (Lampiran 7). Persamaan model dapat ditulis sebagai berikut:
LnY = -29.799 – 3.598 LnX1 + 3.781 LnX2 + 3.714 LnX3 + 1.937 LnX4 + 2.368 D1+ ε
Pada Tabel Model Summary (Lampiran 5) dapat dilihat bahwa nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.925. Artinya variasi volume ekspor CPO Indonesia ke India dapat dijelaskan bersama-sama sebesar 92.5 persen oleh harga ekspor CPO Indonesia ke India, harga minyak kedelai dunia, kurs rupiah terhadap dollar, nilai RCA CPO Indonesia di India, dan pajak progresif, sedangkan sisanya sebesar 7.7 persen dijelaskan oleh faktor lain di luar model.
Uji asumsi klasik
Untuk memperoleh model terbaik atau Best Linier Unbiased Estimator
(BLUE) maka model regresi harus memenuhi asumsi normalitas dan terbebas dari asumsi multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas.
Normalitas
Uji normalitas digunakan untukmengetahui bahwa data berdistribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas dilakukan dengan menggunakan uji P-Plot dan histogram. Berdasarkan Gambar P-P Plot (Lampiran 6) dapat dilihat bahwa data menyebar di atas dan di bawah garis angka nol, sehingga dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi dengan normal. Gambar histogram (Lampiran 6) juga menunjukkan bahwa data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, sehingga grafik histogram menunjukkan pola distribusi normal. Uji normalitas menggunakan P-Plot dan histogram dapat dideskripsikan dengan salah untuk jumlah data yang kecil, oleh karena itu dilakukan uji normalitas dengan menggunakan Uji Kolmogorov Smirnov. Normalitas dipenuhi jika nilai signifikansi yang diperoleh lebih besar dari taraf signifikansi. Pada Tabel hasil uji Kolmogorov-Smirnov (Lampiran 6) diperoleh nilai Asymp. Sig. (2-tailed) 0.483 lebih besar dari alpha 5 persen, sehingga dapat disimpulkan bahwa residual pada model berdistribusi normal.
Multikolinearitas
Berdasarkan Tabel Coeffisient (Lampiran 7) masing-masing variabel independen memiliki nilai Tolerance tidak lebih kecil dari 0.1 berarti tidak ada korelasi antar peubah yang melebihi 95 persen dan nilai VIF tidak lebih besar dari 10, sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi linier tidak mengalami masalah multikolinearitas.
Autokorelasi
Deteksi autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji statistik Durbin-Watson. Jumlah variabel independen (k) yang digunakan sebanyak 5 dan jumlah observasi (n) sebanyak 24, maka diperoleh nilai dU 1.9018 sebesar dan nilai dL sebesar 0.9249. Tabel Model Summary (Lampiran 5) menunjukkannilai Durbin-Watson (dw) sebesar 1.270. Berdasarkan aturan keputusan durbin watson, nilai tersebut berada pada daerah No decision yaitu 0 ≤ dw (1.270) ≤ du (1.9018), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada keputusan model regresi linier berganda terbebas atau tidak terbebas dari autokorelasi. Untuk memperoleh keputusan, maka residual regresi diolah dengan menggunakan uji run. Apabila nilai hasil run test lebih besar daripada tingkat signifikansi (alpha), maka tidak terdapat masalah autokorelasi pada data yang diuji. Pada Tabel Runs Test (Lampiran 8) diperoleh nilai Asymp. Sig. (2-tailed) 0.531, maka hasil run test lebih besar dari alpha 5 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa data yang dipergunakan cukup random, sehingga tidak terdapat autokorelasi.
Heteroskedastisitas
Pengujian heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji residu. Berdasarkan Gambar scatterplots (Lampiran 9) terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak serta tersebar baik di atas maupun di bawah angka nol pada sumbu Y dan tidak membentuk pola tertentu. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat heteroskedastisitas pada model regresi.
Pengujian gabungan dan parsial
Hasil uji F tertera pada Tabel ANOVA (Lampiran 10). Pada kolom Sig dapat dilihat bahwa diperoleh nilai-p (0.000) lebih kecil alpha 5 persen, maka dapat disimpulkan model regresi secara keseluruhan signifikan pada taraf nyata 5 persen. Hal ini berarti variabel independen secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen pada taraf 5 persen.
Hasil uji t dapat dilihat pada Tabel Coeffisients (Lampiran 7). Berdasarkan nilai Sig. terdapat dua variabel yang berpengaruh signifikan pada taraf nyata 1 persen, yaitu variabel kurs rupiah terhadap dollar dan nilai RCA CPO Indonesia di India sedangkan variabel harga ekspor CPO Indonesia ke India, harga minyak kedelai dunia, dan variabel dummy pajak progresif berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen. Interpretasi pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen dapat dijelaskan sebegai berikut:
Harga ekspor CPO Indonesia ke India (LnX1)
Variabel harga ekspor CPO Indonesia ke India (LnX1) berpengaruh signifikan dengan nilai sig 0.018 yang lebih kecil dari alpha 5 persen dan memiliki korelasi negatif terhadap volume ekspor CPO Indonesia ke India. Nilai koefisien -3.598 yang menunjukkan elastisitas sebesar -3.598. Artinya setiap kenaikan harga ekspor CPO Indonesia ke India sebesar 1 persen maka akan menurunkan volume ekspor CPO Indonesia ke India sebesar 3.598 persen, cateris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis dan teori permintaan bahwa apabila harga komoditi mengalami peningkatan, maka kuantitas permintaan atas komoditi tersebut akan mengalami penurunan. Hasil analisis ini juga sesuai dengan
penelitian Djoni et al. (2013) yang menunjukkan bahwa harga ekspor komoditi berpengaruh negatif terhadap volume ekspor komoditi tersebut.
Harga minyak kedelai dunia (LnX2)
Variabel harga minyak kedelai dunia (LnX2) berpengaruh signifikan dengan nilai sig 0.020 yang lebih kecil dari alpha 5 persen dan memiliki korelasi positif terhadap volume ekspor CPO Indonesia ke India. Nilai koefisien 3.781 yang menunjukkan elastisitas sebesar 3.781. Artinya setiap kenaikan harga minyak kedelai dunia sebesar 1 persen, maka akan meningkatkan volume ekspor CPO Indonesia ke India sebesar 3.781 persen, cateris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis dan teori bahwa peningkatan harga komoditi substitusi akan meningkatkan volume permintaan suatu komoditi. Hasil analisis ini juga sesuai dengan penelitian Siregar et al. (2006) yang menunjukkan bahwa harga minyak kedelai dunia berpengaruh positif terhadap ekspor CPO Indonesia. Jika supply
minyak kedelai menurun, maka harga minyak kedelai mengalami peningkatan. Hal ini menyebabkan negara yang mengkonsumsi minyak kedelai beralih membeli CPO sebagai komoditi substitusi.
Kurs rupiah terhadap dollar (LnX3)
Variabel kurs rupiah terhadap dollar (LnX3) berpengaruh signifikan dengan nilai sig 0.000 yang lebih kecil dari alpha 1 persen dan memiliki korelasi positif terhadap volume ekspor CPO Indonesia ke India. Nilai koefisien 3.714 menunjukkan elastisitas sebesar 3.714. Artinya setiap kenaikan kurs rupiah terhadap dollar sebesar 1 persen maka akan meningkatkanvolume ekspor CPO Indonesia ke India sebesar 3.714 persen, cateris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis dan teori bahwa depresiasi mata uang negara pengekspor mengakibatkan peningkatan volume permintaan suatu komoditi ekspor (Mankiw 2006). Hasil analisis ini juga sesuai dengan hasil penelitian Widyastutik (2011) dan Purba et al.
(2009) yang menunjukkan kurs rupiah berpengaruh positif terhadap ekspor. Nilai RCA CPO Indonesia di India (LnX4)
Variabel nilai RCA CPO Indonesia di India (LnX4) tidak berpengaruh signifikan dengan nilai sig 0.000 yang lebih kecil dari alpha 1 persen dan memiliki korelasi positif terhadap volume ekspor CPO Indonesia ke India. Nilai koefisien 1.937 menunjukkan elastisitas sebesar 1.937. Artinya setiap kenaikan nilai RCA CPO Indonesia di India sebesar 1 persen, maka akan meningkatkan volume ekspor CPO Indonesia ke India sebesar 1.937 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa semakin tinggi daya saing komparatif suatu komoditi, maka semakin tinggi volume ekspor komoditi tersebut.
Pajak progresif (D1)
Variabel dummy pajak progresif (D1) berpengaruh signifikan dengan nilai sig 0.032 yang lebih kecil dari alpha 5 persen dan memiliki korelasi positif terhadap volume ekspor CPO Indonesia ke India. Nilai koefisien 2.368 menunjukkan elastisitas sebesar 2.368. Artinya pajak progresif akan meningkatkan volume ekspor CPO Indonesia ke India sebesar 2.368 persen,
cateris paribus. Hal ini dikarenakan besar pajak progresif mengacu pada fluktuasi harga CPO di pasar internasional. Selama periode November 2008 hingga Maret
2010, pajak ekspor CPO tertinggi yang dikenakan sebesar 3 persen yaitu pada bulan Juni dan Juli tahun 2009, dan bulan Januari, Februari, dan Maret tahun 2010, sedangkan sisanya pajak ekspor yang dikenakan sebesar 0 persen. Pajak ekspor CPO yang cenderung rendah selama periode tersebut disebabkan revisi