• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah merupakan bagian dari pengembangan sebuah sistem perbankan nasional dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API). API memiliki enam pilar utama sebagai penopang yaitu struktur perbankan yang sehat, sistem pengaturan yang efektif, sistem pengawasan yang independen dan efektif, industri perbankan yang kuat, infrastruktur pendukung yang mencukupi dan perlindungan konsumen. Bank Indonesia juga melakukan sejumlah penyempurnaan terkait program-program kegiatan API. Penyempurnaan tersebut antara lain adalah strategi yang lebih spesifik terkait pengembangan perbankan syariah, BPR dan UMKM. Hal ini dilakukan agar program API tersebut lebih lengkap dan mencakup seluruh perbankan secara keseluruhan baik itu Bank Umum dan BPR, baik yang beroperasi dengan konvensional maupun syariah dan juga UMKM (Andriansyah 2009).

17 Salah satu cara untuk mengembangkan perbankan syariah adalah dengan peningkatan efisiensi kinerja perbankan. Pengembangan perbankan syariah dapat dinilai dari jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK), jumlah penyaluran pembiayaan, aktiva lancar atau total aset, biaya operasional lainnya, pendapatan operasional lainnya.

Perkembangan Dana Pihak Ketiga

Pola gambaran untuk menilai perkembangan perbankan syariah (BUS dan BPRS) dapat dinilai dari pertumbuhan jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dihimpun perbankan syariah. Peningkatan jumlah DPK yang dimiliki perbankan syariah menunjukkan adanya peningkatan aktivitas dan kegiatan perbankan syariah, khususnya pada fungsi intermediasi sebagai penghimpun dana dari masyarakat. Dana Pihak Ketiga terdiri atas tabungan mudharabah, giro wadiah, tabungan wadiah dan deposito mudharabah.

DPK BUS pada tahun 2012 mengalami peningkatan dari Rp 115.41 triliun menjadi Rp 147.51 triliun (27.81%), sedangkan pertumbuhan pada tahun 2011 sangat tinggi mencapai 51.80% dari Rp 76.03 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp 115.41 triliun. Melambatnya pertumbuhan DPK BUS dikarenakan menurunnya imbal bagi hasil seiring dengan menurunnya suku bunga simpanan. Rata-rata tingkat imbal bagi hasil tahun 2011 sebesar 5.06% dan tahun 2012 hanya sebesar 4.60%, sedangkan imbalan deposito tahun 2011 rata-rata sebesar 7.40% dan tahun 2012 hanya sebesar 6.40%. Selain itu, penarikan dana haji oleh Kementrian Agama sebesar Rp 4.02 triliun juga ikut memberikan pengaruh terhadap total DPK perbankan syariah. Namun, pada tahun 2013 DPK perbankan syariah meningkat menjadi Rp 183.53 triliun.

Walaupun secara nominal pertumbuhan DPK mengalami pelambatan, namun dari sisi jumlah rekening terjadi peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan tahun 2012. Pada tahun 2013 meningkat menjadi 12.3 juta rekening. Perkembangan ini menunjukkan dukungan kuat perbankan syariah dalam meningkatkan akses keuangan masyarakat.

Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2013

Gambar 4 Total Dana Pihak Ketiga Bank Umum Syariah

Sedangkan pada BPRS perkembangan DPK yang dihimpun menunjukkan kondisi yang cukup baik. Hal ini disebabkan oleh kemampuan BPRS yang berhasil mempertahankan tingkat bagi hasil yang kompetitif sehingga dapat mempertahankan nasabah lama dan mampu menarik nasabah baru.

76.03 115.41 147.51 183.53 0 50 100 150 200 2010 2011 2012 2013 (T riliun Rp) Tahun

18

Pertumbuhan DPK pada tahun 2013 lebih baik dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya. Total aset BPRS mengalami peningkatan secara persentase sebesar 34.12% pada tahun 2013. Sedangkan BPR Konvensional hanya sebesar 12.60%. Namun, total DPK BPRS masih rendah jika dibandingkan dengan BPR Konvensional. Pada tahun 2013 total DPK BPR Konvensional sebesar Rp 50.52 triliun sedangkan pada BPRS sebesar Rp 3.66 triliun. Rendahnya total DPK yang dimiliki BPRS disebabkaan total rekening nasabah yan dikelola BPRS juga masih pada kisaran 1.123 juta rekening pada tahun 2013.

Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2013

Gambar 5 Total Dana Pihak Ketiga Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Perkembangan Penyaluran Pembiayaan

Gambaran perkembangan perbankan syariah juga dapat dilihat dari pertumbuhan penyaluran pembiayaan oleh perbankan syariah. Pertumbuhan pembiayaan yang disalurkan dapat menunjukkan perkembangan aktivitas perbankan syariah dalam menyalurkan dana dari shahibul maal (pemilik modal) ke mudharib (pihak yang membutuhkan modal).

Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2013

Gambar 6 Total Pembiayaan Bank Umum Syariah

Pembiayaan perbankan syariah pada tahun 2012 mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2010 pembiayaan yang diberikan sebesar Rp 68.28 triliun meningkat menjadi Rp 102.65 triliun pada tahun 2011. Sedangkan pada tahun 2013 terjadi peningkatan sebesar 24.82% menjadi Rp 184.12 triliun. 1.6 2.09 2.93 3.66 0 1 2 3 4 5 2010 2011 2012 2013 (T riliun Rp) Tahun 68.18 102.65 147.5 184.12 0 50 100 150 200 2010 2011 2012 2013 (T riliun Rp) Tahun

19 Pembiayaan yang dilakukan BUS didominasi dengan menggunakan akad murabahah sebesar Rp 110.57 triliun, musyarakah sebesar Rp 39.874 triliun, mudharabah sebesar Rp 13.625 triliun, Ijarah sebesar Rp 10.481 triliun, qardh Rp 8.995 triliun dan akad Istishna sebesar Rp 582 miliar.

Sedangkan pembiayaan pada sektor ekonomi mengalami pertumbuhan yang positif dari tahun 2010 sampai tahun 2013. Pembiayaan terbesar disalurkan kepada sektor Lain-lain dan bisnis. Sedangkan besaran pembiayaan yang disalurkan yaitu, sektor lain-lain sebesar Rp 79.775 triliun, bisnis sebesar Rp 47.598 triliun, perdagangan sebesar Rp 14.314 triliun, jasa sosial sebesar Rp 12.085 triliun, konstruksi sebesar Rp 8.086 triliun, manufaktur sebesar Rp 6.029 triliun, transportasi sebesar Rp 5.387 triliun, gas sebesar Rp 4.663 triliun, pertanian sebesar Rp 3.165 triliun dan pertambangan sebesar Rp 3.018 triliun.

Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2013

Gambar 7 Pertumbuhan Pembiayaan per Sektor Ekonomi Bank Umum Syariah Tahun 2013

Pada BPRS, perkembangan pembiayaan pada tahun 2011 tumbuh sebesar 26.9% dari Rp 2.06 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp 2.67 triliun pada tahun 2011. Pada tahun 2012 perkembangan pembiayaan tumbuh sebesar 33.33% dari Rp 2.67 triliun pada tahun 2011 menjadi Rp 3.56 triliun pada tahun 2012. Sedangkan pertumbuhan pada tahun 2013 sebesar 24.44% dengan total pembiayaan sebesar Rp 4.433 triliun.

Jenis pembiayaan yang diberikan BPRS didominasi pembiayaan produktif yang didominasi dengan akad murabahah sebesar Rp 3.546 triliun. Kemudian akad musyarakah sebesar Rp 426.528 miliar dan mudharabah sebesar Rp 106.851 miliar, qardh Rp 93.325 miliar, istishna sebesar Rp17.614 miliar, ijarah sebesar Rp 8.318 miliar, salam sebesar Rp 26 miliar dan multi jasa sebesar Rp 234.469 miliar. Pembiayaan multi jasa ini menunjukkan bahwa BPRS telah dipercaya masyarakat untuk mendanai kebutuhan yang bersifat menggunakan jasa seperti kesehatan, pendidikan dan keagamaan.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 T riliun Rp 2010 2011 2012 2013

20

Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2013

Gambar 8 Total Pembiayaan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

Pertumbuhan pembiayaan BPRS pada sektor ekonomi juga mengalami peningkatan yang cukup positif. Pembiayaan terbesar pada tahun 2013 ada pada sektor lain-lain sebesar Rp 1.615 triliun, perdagangan sebesar Rp 1.443 triliun, pertanian sebesar Rp 389.336 miliar, jasa sosial sebesar Rp 365.006 miliar, bisnis sebesar Rp 338.85 miliar, konstruksi sebesar Rp 157.138 miliar, transportasi sebesar Rp 70.748 miliar, manufaktur sebesar Rp 39.681 miliar. Sedangkan pembiayaan dengan proporsi paling minim berada pada sektor gas, listrik dan air sebesar 7.321 miliar dan pertambangan sebesar Rp 6.004 miliar.

Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2013

Gambar 9 Pertumbuhan Pembiayaan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Berdasarkan Sektor Ekonomi Tahun 2013

Perkembangan Aset (Aktiva Lancar)

Pengembangan perbankan syariah dapat dilihat pula dari pertumbuhan total aset (aktiva) yang dimiliki perbankan syariah. Total aset lancar merupakan

2.06 2.67 3.56 4.43 0 1 2 3 4 5 2010 2011 2012 2013 (Tri li un R p) Tahun 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 M ilia r Rp 2010 2011 2012 2013

21 kumpulan aktiva yang dimiliki oleh perbankan syariah yagn terdiri atas kas, penempatan pada Bank Indonesia, penempatan pada bank lain, surat berharga yang dimiliki, piutang murabahah, piutang ishtishna, piutang qardh, Ijarah, persediaan, pendapatan yang akan diterima dan biaya dibayar dimuka.

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia 2013

Gambar 10 Total Aset Bank Umum Syariah

Selama tahun 2013, aset perbankan syariah meningkat dari Rp 147.581 triliun menjadi Rp 174.056 triliun atau tumbuh sebesar 17.94%. Pada tahun 2012 pertumbuhan aset BUS sebesar 26.21%. Pada tahun 2011 perkembangan aset perbankan syariah tumbuh sebesar 47.67%. Salah satu penyebab melambatnya perkembangan aset perbankan syariah adalah karena melambatnya pertumbuhan DPK pada tahun 2012, dimana Kementrian Agama menarik dana haji sebesar Rp 4.02 triliun. Walaupun demikian, pertumbuhan aset pada tahun 2012 telah mendorong peningkatan market share perbankan syariah terhadap perbankan nasional dengan share sebesar 4.61% dengan pertumbuhan sebesar 0.9% dari tahun 2011 sebesar 4.02%.

Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2013

Gambar 11 Total Aset Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

Sedangkan pada BPRS perkembangan total aset mengalami peningkatan yang cukup baik. Pada tahun 2011 perkembangan total aset BPRS meningkat sebesar 28.20% dari RP 2.73 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp 3.50 triliun pada

79.186 116.93 147.581 174.056 0 50 100 150 200 2010 2011 2012 2013 (T riliun Rp) Tahun 2.73 3.50 4.70 5.68 0 1 2 3 4 5 6 2010 2011 2012 2013 (T riilun Rp) Tahun

22

tahun 2011. Pada tahun 2012 pertumbuhan total aset BPRS meningkat sebesar 33.47% dari Rp 3.50 triliun pada tahun 2011 menjadi Rp 4.70 triliun pada tahun 2012. Sedangkan pada tahun 2013 pertumbuhan aset BPRS sebesar 20.85% dari Rp 4.7 triliun menjadi Rp 5.68 triliun.

Posisi Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)

BOPO merupakan rasio beban operasional (beban bonus titipan wadiah, beban administrasi dan umum, biaya personalia, beban penurunan nilai surat berharga, beban transaksi valuta asing, beban promosi dan beban lainnya) terhadap pendapatan operasional (pendapatan dari penyaluran dana, pendapatan dari BI, pendapatan dari bank-bank lain di Indonesia, serta pendapatan yang diperoleh dari jasa investasi terkait, serta pendapatan operasional lainnya). Perkembangan bank syariah ini dapat dilihat dari rasio BOPO bank tersebut. BOPO merupakan indikator yang sering digunakan untuk menilai efisiensi bank dari penilaian rasio keuangan (Wardani 2013). Nilai BOPO yang semakin kecil mengidentifikasikan bahwa bank tersebut lebih efisien (secara produksi) karena mampu menghasilkan pendapatan yang lebih besar dengan biaya atau beban yang lebih sedikit.

Tabel 5 Perkembangan BOPO Bank Umum Syariah dan Bank Konvensional di Indonesia

Bank 2010 (%) 2011 (%) 2012 (%) 2013 (%)

Bank Umum syariah 80.54 78.41 74.97 78.21

Bank Konnvensional 78.08 76.31 80.02 80.75

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia 2013

Pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa perkembangan efisiensi bank syariah dari nilai BOPO pada tahun 2010-2012 membaik. Namun, pada tahun 2013 nilai BOPO BUS meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tingginya nilai BOPO BUS menunjukkan bahwa efisiensi BUS menurun dari tahun ke tahun. Hal ini dapat disebabkan oleh perbankan syariah yang masih dalam tahap ekspansi, sehingga membutuhkan upaya besar dalam pembangunan infrastruktur baru.

Rasio BOPO pada BUS menggambarkan efisiensi Peran BPRS dalam memajukan perekonomian rakyat melalui sektor unit usaha mikro kecil dan menegah (UMKM) juga patut untuk diperhatikan. Karena UMKM merupakan objek utama pembiayaan bagi BPRS dalam menggerakkan sektor riil (Fauzi 2014). Rasio BOPO pada BPRS juga menggambarkan efisiensi dengan membandingkan biaya operasional dengan pendapatan operasional BPRS.

Tabel 6. Perkembangan BOPO BPRS dan BPR Konvensional di Indonesia

Bank 2010 (%) 2011 (%) 2012 (%) 2013 (%) Bank Pembiayaan Rakyat

Syariah

78.08 76.31 80.02 86.02

Bank Perkreditan Rakyat 80.97 79.47 77.77 78.50 Sumber: Statistik Perbankan Indonesia 2013

23

Keterangan:

CRS TE : Technical Efficiency VRS TE : Pure Technical Efficiency

SE : Scale Efficiency (CRS TE/VRS TE) CRS : Constant Return to Scale

DRS : Decreasing Return to Scale IRS : Increasing Return to Scale

Pada Tabel 6 diketahui bahwa kinerja efisiensi BPRS mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari nilai BOPO yang terus meningkat. Pada tahun 2012 pendapatan operasional BPRS tumbuh sebesar 31.4%. Namun, pertumbuhan tersebut juga diikuti dengan kenaikan biaya operasional yang meningkat mencapai 35.7%, terutama biaya terkait penyusutan, penyisihan aset produktif, dan biaya tenaga kerja. Hal ini berakibat pada meningkatnya nilai BOPO pada BPRS dari tahun 2011 sebesar 76.31% menjadi 80.02% pada tahun 2012. Sedangkan pada tahun 2013 nilai BOPO BPRS mengalami kenaikan dari 80.02% menjadi 86.02%.

Tingkat Efisiensi Bank Umum Syariah

Jumlah Bank Umum Syariah (BUS) yang diteliti selama periode tahun 2013 sebanyak 11 BUS. Hasil perhitungan DEA menunjukkan bahwa setiap BUS di Indonesia telah memiliki kinerja yang efisien pada tahun 2013. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6, dimana pada setiap BUS memiliki nilai efisien sebesar 1. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa setiap BUS di Indonesia telah mampu menyalurkan setiap input yang ada menjadi output dengan optimal.

Tabel 7 Nilai Efisiensi Bank Umum Syariah Tahun 2013

No. Nama Bank CRS

TE VRS TE SE Return to Scale FDR (%) 1 BNI Syariah 1 1 1 CRS 97.86 2 Mega Syariah 1 1 1 CRS 93.37 3 Muamalat 1 1 1 CRS 99.99 4 Bank Syariah Mandiri 1 1 1 CRS 89.37 5 BCA Syariah 1 1 1 CRS 83.48 6 BRI Syariah 1 1 1 CRS 102.70 7 Bukopin Syariah 1 1 1 CRS 100.29 8 Jabar Banten Syariah 1 1 1 CRS 97.40 9 Maybank Syariah 1 1 1 CRS 152.87 10 Panin Syariah 1 1 1 CRS 90.40 11 Victoria Syariah 1 1 1 CRS 84.65

Sumber: Bank Indonesia 2013 (diolah)

BUS dengan kinerja yang efisien telah melakukan fungsi intermediasinya dengan baik. Artinya setiap BUS menyalurkan dana yang diperoleh dari shahibul maal kepada mudharib melalui pembiayaan. Pembiayaan yang dilakukan BUS pada umumnya menggunakan akad mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah.

24

Fungsi intermediasi BUS juga dapat ditunjukkan pada nilai financing to deposit ratio (FDR) pada masing-masing BUS yang cukup tinggi. Maybank Syariah memiliki FDR tertinggi dengan nilai sebesar 152.87% dan FDR terendah dimiliki oleh BCA Syariah sebesar 83.48%. Namun, angka FDR yang terlalu tinggi perlu dicermati, karena ada kemungkinan BUS mengalami kesulitan dalam menghimpun dana yang tidak dapat mengimbangi kecepatan penyaluran dana. Jika dibandingkan antara nilai efisiensi DEA dengan nilai FDR masing-masing BUS maka hasil yang diperoleh secara umum cukup bervariasi. Hal ini disebabkan oleh pemakaian variabel pada DEA lebih banyak dengan dua input dan tiga output, sedangkan pada FDR hanya memakai dua variabel yang juga digunakan pada variabel DEA.

Tingkat Efisiensi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

Hasil perhitungan dengan model CCR dan model BCC menunjukkan dari 113 BPRS yang diteliti ternyata hanya 19 BPRS memiliki kinerja yang efisien pada tahun 2013.

Tabel 8 BPRS dengan Kinerja yang Efisien

ID Nama BPRS CRS TE VRS TE SE Return to Scale

1 Adeco 1 1 1 CRS 2 Al Falah 1 1 1 CRS 9 Al Masoem Syariah 1 1 1 CRS 10 Al Salaam Amal Salman 1 1 1 CRS 11 Al Washliyah 1 1 1 CRS

14 Amanah Insan Cita 1 1 1 CRS

47 BPRS Rahma Syariah 1 1 1 CRS

49 Buana Mitra Pertiwi 1 1 1 CRS

54 Bumi Rinjani Malang 1 1 1 CRS

56 Cempaka Al-Amin 1 1 1 CRS

60 Dana Hidayatullah 1 1 1 CRS

80 Karya Mugi Sentosa 1 1 1 CRS

89 Mitra Cahaya Indonesia

1 1 1 CRS

91 Mitra Harmoni Kota Malang

1 1 1 CRS

93 Mitra Harmoni Yogyakarta

1 1 1 CRS

96 Mulia Berkah Abadi 1 1 1 CRS

101 Sarana Prima Mandiri 1 1 1 CRS

102 Situbondo 1 1 1 CRS

103 Sukowati Sragen 1 1 1 CRS

Sumber: Bank Indonesia (2013)

Setiap BPRS dengan kinerja yang efisien telah melakukan fungsi intermediasinya dengan baik. Pembiayaan yang dilakukan BPRS diutamakan pada sektor riil melalui pembiayaan produktif. Pembiayaan produktif yang dilakukan

25 berbasiskan pada pembiayaan jual beli dengan akad murabahah dan untuk pembiayaan bagi hasil digunakan akad musyarakah dan mudharabah. Pemilihan akad tersebut pada masing-masing jenis pembiayaan didasarkan pada besaran pembiayaan yang dilakukan BPRS pada tahun 2012. Pada tahun 2012 pembiayaan BPRS mengalami peningkatan terbesar pada pembiayaan produktif dan pembiayaan modal kerja sebesar 51.36%, sedangkan pembiayaan konsumsi sebesar 35.29%. Pembiayaan produktif tersebut dibagi kembali menjadi pembiayaan jual beli dan pembiayaan bagi hasil. Pada pembiayaan jual beli didominasi oleh akad murabahah dengan porsi sebesar 80.33%. Pada pembiayaan bagi hasil didominasi oleh akad musyarakah sebesar 9.04% dan mudharabah sebesar 2.80%.

Nilai rata-rata efisiensi pada BPRS berada pada kisaran 0.619 (61.8%) dengan asumsi CRS, pada asumsi VRS rata-rata efisiensi BPRS sebesar 0.830 (83%) dan pada asumsi skala efisiensi memiliki rata-rata sebesar 0.734 (73.4%). Minimnya jumlah BPRS yang efisien pada sebagian besar BPRS dapat disebabkan oleh persaingan dengan lembaga keuangan lainnya turut berpengaruh dalam menentukan nilai efisiensi BPRS. Kondisi persaingan ini diramaikan oleh Baitul Maal wa Tamwil (BMT), koperasi syariah, koperasi konvensional, BPR Konvensional dan juga BPRS Syariah yang berada pada daerah yang sama (Fauzi 2014).

Nilai Efisiensi yang dihasilkan DEA

Nilai efisiensi yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan selang tertentu dengan tujuan melihat frekuensi dan sebaran nilai efisiensi BPRS (Tabel 9). Tabel 9 Frekuensi dan Sebaran Nilai Efisiensi BPRS

Asumsi 1 0.800-0.999 0.600-0.799 0.400-0.599 0.000-0.399 Rata-rata CRS 19 19 16 23 36 0.619 VRS 41 19 37 16 0 0.830 Skala 20 35 20 29 9 0.734

Sumber: Bank Indonesia (diolah)

Pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa BPRS di Indonesia memiliki nilai efisien yang kurang baik. Hal ini dapat dilihat pada asumsi CRS hanya 19 BPRS yang efisien sedangkan 94 BPRS lainnya tidak efisien. Pada asumsi VRS (efisiensi teknis) jumlah yang efisien sebanyak 41 BPRS sedangkan 72 BPRS lainnya tidak efisien. Sedangkan efisiensi secara skala sebanyak 20 BPRS yang efisien dan 93 BPRS lainnya tidak efisien. Perbedaan jumlah BPRS yang efisien pada masing-masing asumsi dikarenakan pada asumsi CRS BPRS diasumsikan berada pada kondisi optimal tanpa memperhitungkan faktor eksternal lainnya. Sedangkan pada asumsi VRS BPRS diasumsikan bahwa BPRS memperoleh pengaruh selain dari variabel yang digunakan seperti regulasi pemerintah, terbatasnya keuangan, persaingan serta pemakaian teknologi sehingga bank syariah tidak beroperasi pada skala optimalnya (Coelli et al 1998). Sedangkan asumsi skala mengindikasikan efisiensi secara menyeluruh dengan memberikan

26

informasi skala efisiensi setiap BPRS (Tabel 10). Rendahnya efisiensi skala berdampak kepada rendahnya tingkat efisiensi secara menyeluruh (overall). Tabel 10 Distibusi Skala Efisiensi BPRS

Skala BPRS

CRS (Constant Return to Scale) 20

IRS (Increasing Return to Scale) 9 DRS (Decreasing Return to Scale) 84 Sumber: Bank Indonesia (diolah)

Efisiensi skala diperoleh dengan membandingkan hasil nilai efisiensi pada asumsi CRS dengan nilai efisiensi pada asumsi VRS. Pada Tabel 10 dapat diketahui bahwa sebanyak 84 BPRS berada pada kondisi DRS (Decresing Return to Scale), yang mengindikasikan bahwa BPRS dengan kondisi DRS harus mengurangi input karena jumlah input yang dipakai sudah tidak ideal dengan jumlah output yang dihasilkan. Pengurangan input pada penelitian ini terletak pada variabel biaya operasional lainnya (Tabel 12). Sedangkan 9 BPRS lainnya berada pada kondisi IRS (Increasing Retun to Scale), yang mengindikasikan bahwa BPRS dengan kondisi IRS harus meningkatkan kapasitas outputnya dengan mempertahankan jumlah input yang ada. Karena dengan menambah input justru tidak efektif karena sumberdaya yang digunakan masih belum optimal. Sedangkan 20 BPRS lainnya berada pada kondisi CRS (Constant Return to Scale), mengindikasikan bahwa BPRS dengan kondisi CRS telah efisien secara skala (Coell et al 1998). Namun, dari 20 BPRS dengan kondisi CRS ternyata hanya 19 BPRS yang benar-benar memiliki efisiensi kinerja yang sempurna. Sedangkan satu BPRS lainnya (Khasanah Ummat) hanya efisien secara skala sedangkan pada asumsi CRS dan VRS BPRS Khasanah Ummat hanya memiliki nilai efisiensi sebesar 0.725.

Salah satu keunggulan DEA adalah dapat membuat peringkat dari setiap BPRS yang dijadikan benchmark atau acuan dari BPRS lainnya. Hal ini dapat memberikan informasi tentang BPRS yang paling banyak dirujuk oleh BPRS lainnya yang tidak efisien (Tabel 11).

Tabel 11 Reference Set BPRS

ID BPRS Count ID BPRS Count

93 Muamalah Cilegon 32 80 Karya Mugi Sentosa 11 96 Oloan Ummah

Sidempuan

28 103 Sukowati Sragen 9

91 Mitra Harmoni Kota Semarang

27 54 Bumi Rinjani Malang 3

102 Situbodo 23 10 Al Salaam Amal Salman 2

60 Dana Hidayatullah 19 11 Al Washliyah 1

49 Buana Mitra Perwira 17 14 Amanah Insan Cita 1

1 Adeco 13 47 BPRS Rahma Syariah 1

27 Walaupun hasil perhitungan DEA menunjukkan bahwa terdapat 19 BPRS dengan kinerja yang efisien, namun hanya 14 BPRS yang dijadikan rujukan oleh BPRS lainnya yang tidak efisien. Hal ini dapat disebabkan diantara 19 BPRS yang efisien tersebut terdapat 14 BPRS yang memiliki nilai lebih dari BPRS lainnya dari varibabel yang digunakan seperti Dana Pihak Ketiga, aset, pembiayaan, biaya operasional lainnya atau pendapatan operasional lainnya. Pada BPRS yang tidak efisien dapat meningkatkan kinerjanya dengan menambah output atau mengurangi pemakaian input yang berlebihan. Potensi pengembangan BPRS tertera pada Tabel 12.

Tabel 12 Potensi Pengembangan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

Input CCR (%) BCC (%)

DPK -0.00 -0.00

Biaya Operasional Lainnya -0.52 -0.24

Output

Pembiayaan 56.13 45.94

Aktiva Lancar 45.92 27.16

Pendapatan Operasional Lainnya 53.14 39.96 Sumber: Bank Indonesia (diolah)

Pada Tabel 12 diperoleh bahwa potensi pengembangan BPRS tertinggi adalah variabel pembiayaan sebesar 56.13% pada model CCR dengan asumsi CRS (constant return to scale) dan sebesar 45.94% pada model BCC dengan asumsi VRS (variable return to scale). BPRS yang inefisien bisa meningkatkan pembiayaan kepada nasabah dalam bentuk akad mudharabah, murabahah atau musyarakah. Variabel lainnya yang dapat ditingkatkan adalah pendapatan operasional lainnya sebesar 53.14% pada model CCR dan 39.96% pada model BCC. Variabel ini mengindikasikan bahwa pendapatan yang diperoleh masih dapat ditingkatkan lagi melalui pendapatan dari pelayanan yang diberikan BPRS kepada nasabah. BPRS dapat ikut serta dalam memberikan pelayanan asuransi dengan bekerjasama dengan perusahaan asuransi syariah. Kemudian potensi pengembangan aktiva lancar sebesar 45.92% pada model CCR dan 27.16% pada model BCC. Variabel aktiva lancar yang cukup besar mengindikasikan bahwa BPRS dapat menempatkan asetnya pada surat berharga atau investasi lainnya seperti SBSN (Surat Berhaga Syariah Nasional). Akan tetapi besaran aktiva lancar yang ditempatkan pada surat berharga harus lebih rendah dibandingkan pembiayaan. Akan lebih baik lagi jika aktiva lancar tersebut digunakan untuk peningkatan pembiayaan kepada nasabah, khususnya sektor UMKM yang merupakan objek utama pembiayaan dari BPRS. Selain itu, dari sisi input terdapat ruang untuk penghematan pada biaya operasional lainnya sebesar 0.52% pada model CCR dan 0.24% pada model BCC.

28

Dokumen terkait