• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Hidro-Oseanografi Perairan Selat Karimata

Daerah penelitian merupakan bagian dari perairan Paparan Sunda yang termasuk kedalam perairan laut dangkal (<85 meter). Geologi dasar laut Jawa dan paparan Sunda dipengaruhi oleh perubahan muka/genang laut pada zaman Pleistosen (P3GL, 2002). Dari data yang diperoleh seperti terlihat pada gambar 2b menunjukan bahwa daerah penelitian mempunyai kedalaman berkisar antara 5-55 meter, dimana terdangkal pada stasiun 2 dan terdalam pada stasiun 1. Morfologi perubahan kedalaman mulai terjadi secara bergradasi dari wilayah pantai Pulau Kalimantan di timur dan Bangka-Belitung di barat dengan kedalaman berkisar 5-15 meter dan berangsur bertambah dalam menjauhi Pulau dengan kedalaman maksimum sedalam 50 meter. Morfologi parit yang memanjang utara-tengah sampai tenggara ini umumnya berasosiasi dengan pergerakan arus dari utara (Laut Cina Selatan) menuju Laut Jawa ataupun sebaliknya yang dominan pada perairan ini.

Perairan Selat Karimata merupakan perairan yang relatif dangkal sehingga sangat dipengaruhi oleh kondisi hidro-oseanografi (arus) (Susanto et al, 2013). Pola arus yang terjadi di Selat Karimata sangat dipengaruhi oleh sistem monsoon. Menurut Widyastuti et al (2010) dalam pemodelan arus di perairan Indonesia mengatakan bahwa cycle rata-rata yang memiliki arus kuat terjadi di Laut Maluku dan Selat Karimata dengan kecepatan berkisar antara 800-1200 cm/detik. Model sirkulasi arus rata-rata di perairan Selat Karimata selama satu tahun menunjukan pada periode musim barat, kecepatan arus maksimum terlihat terbentuk di daerah-daerah dengan geometri yang sempit, yaitu di selat-selat kecil disekitar Selat Karimata dan Selat Gaspar (Gambar 3a). Pada periode ini arus mengalir menuju arah Tenggara dari Laut Cina Selatan memasuki Selat Karimata dan ke arah tenggara menuju ke Laut Jawa. Menurut Fang et al (2012) diperkirakan pada periode musim barat terdapat sekitar 1.16 Sv volume transport yang terbawa dari Selat Karimata menuju Laut Jawa dan bergabung dengan Arus Lintas Indonesia (ITF). Pada periode musim Timur kecepatan arus rata-rata di Selat Karimata lebih rendah dibandingkan dengan pada periode musim Barat dengan pola arus bergerak dominan ke arah barat laut dari Laut Jawa memasuki Selat Karimata dan ke arah utara-barat laut dan utara-timur laut memasuki Laut Cina Selatan (Gambar 3b). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Fang et al (2009) bahwa pada periode musim timur, sirkulasi interocean terlihat dengan adanya pergerakan arus dari Selat Karimata yang bergerak kearah utara-timur laut.

Kondisi morfologi perairan dan perbedaan pola arus pada kedua periode musim di Selat ini memberikan peran penting dan diduga berpengaruh terhadap sumber masukan material dan komposisi ukuran butir yang dibawa memasuki Selat Karimata sehingga berdampak terhadap adanya variabilitas konsentrasi logam berat dalam sedimen di perairan Selat Karimata. Perbedaan ukuran butir dapat menggambarkan asal-usul dan proses transport dan pengendapan sedimen di suatu wilayah (Saniah et al, 2014; Armstrong et al, 2014). Ditambahkan, Krumgalz et al (1991) ukuran butir menjadi salah satu faktor penting dalam mempelajari siklus geokimia logam berat dalam sedimen.

Gambar 3 Pola Arus rata-rata di Perairan Selat Karimata (A) Periode Musim Barat (B) Periode Musim Timur

Keluaran model INDESO selama satu tahun menunjukan kecepatan arus rata-rata pada stasiun 1 sekitar 0.2 m/detik. Pergerakan arus menuju selatan ditemukan sekitar akhir bulan Februari hingga awal bulan April yang sebenarnya telah memasuki musim peralihan I. Pergerakan arus meridional (v) ke arah selatan terlihat pada warna ungu tua yang menunjukan nilai negatif. Sedangkan, pergerakan arus menuju utara ditemukan lebih awal sebelum memasuki musim timur yaitu pada pertengahan bulan April hingga memasuki bulan Juni. Pergerakan arus meridional (v) ke arah utara terlihat pada warna merah tua yang menunjukan nilai positif (Gambar 4a).

Pada stasiun 2 kecepatan arus rata-rata hasil model INDESO sekitar 0.03 m/detik lebih rendah dari yang ditemukan pada stasiun 1. Hal ini diduga karena letak stasiun 2 yang lebih dekat dengan daratan dan berada pada gugusan kepulauan Karimata. Pergerakan arus menuju selatan ditemukan hampir mendominasi sepanjang tahun pada kedalaman di atas 6 meter. Sedangkan, pergerakan arus menuju utara ditemukan pada akhir bulan Februari hingga awal bulan April (Gambar 4b). Adanya perbedaan arah dan kecepatan arus yang terbentuk pada kedua lokasi diduga berpengaruh terhadap proses deposisi sedimen pada kedua lokasi penelitian. Perairan dengan kecepatan arus relatif kuat kurang mampu mengendapkan partikel relatif kecil dan sebaliknya, partikel dengan ukuran relatif besar seperti pasir akan mudah diendapkan.

Gambar 4 Sebaran Komponen Arus Meridional tahun 2015: (A) Stasiun 1 dan (B) Stasiun 2. Warna menunjukan kecepatan arus meridional (v)

Ukuran butir, bahan organik dan kadar air

Variasi ukuran butir dengan kedalaman pada 2 core sedimen dari Selat Karimata ditampilkan pada Gambar 5 dan 6, dimana menunjukan adanya perbedaan komposisi antara kedua core meskipun berada pada perairan yang sama. Umumnya, sedimen pada core St 1 lokasi yang jauh dari daratan (tengah selat), dicirikan dengan kondisi sedimen umumnya berwarna putih. Sedangkan, sedimen pada St 2 (dekat daratan) dicirikan dengan kondisi sedimen umumnya berwarna kecoklatan. Berdasarkan hasil fraksinasi, partikel berukuran >250 µm (medium sand) mendominasi sedimen St 1 dengan presentase lebih dari 60%, diikuti partikel 63-250 µm (fine sand) sekitar 20% dan partikel <63 µm (silt-clay) kurang dari 8%. Sementara, partikel >250 µm dan partikel 63-250 µm cukup dominan pada St 2 dengan presentase masing-masing lebih dari 40%, dan partikel <63 µm kurang dari 10%. Perbedaan dominasi ukuran butir sedimen mencirikan proses pengendapan atau pembentukan sedimen yang disebabkan oleh perbedaan kondisi hidro-oseanografi dan topografi.

Pada St 1, profil distribusi ukuran butir >250 µm (medium sand) ditemukan rendah dilapisan dalam dan perlahan meningkat hingga ke lapisan permukaan; ukuran butir 63-250 µm (fine sand) tinggi dilapisan dalam dan perlahan menurun menuju lapisan permukaan, dan partikel ukuran butir <63 µm (silt-clay) dengan presentase rendah dilapisan dalam dan perlahan-lahan meningkat menuju lapisan permukaan (Gambar 5). Perbedaan distribusi ukuran butir sedimen pada stasiun ini diduga berhubungan dengan asal sumber sedimen dan diduga terbentuk dari kondisi lingkungan sekitarnya yang menentukan variasi pengendapan sedimen, salah satunya adalah mekanisme transport material sedimen yang dipengaruhi oleh pola pergerakan arus pada area ini (Gambar 3 dan 4). Pada St 1 pola transportasi sedimen yang berkembang diduga terdiri dari transportasi bedload dan suspension berdasarkan pada ukuran butir yang ditemukan mendominasi. Mekanisme transpor bedload terjadi untuk ukuran butir >250 µm dan 63-250 µm melalui pergerakan arus dalam bentuk menggelinding, terseret, merayap dan saltasi dari sumber yang relatif dekat sebelum dengan cepat diendapkan. Sedangkan, pola suspension load mentranspor partikel <63 µm (fraksi silt-clay) berbentuk suspensi yang terangkut dari sumber yang jauh dalam aliran (arus), sebelum akhirnya diendapkan ketika kecepatan arus mulai menurun. Kecepatan arus umumnya di Selat Karimata berkisar 0.3 hingga 0.6 m/detik (Heriarti et al, 2015) dimana kondisi ini cukup untuk dapat mendistribusikan partikel pasir (ukuran butir >250 µm) dari sumbernya. Sementara untuk kecepatan arus rata-rata di St 1 berkisar 0.1-0.2 m/detik (Gambar 4a) dimana pada kecepatan ini partikel pasir dapat diendapkan. Diagram Hjulstrom yang menjelaskan hubungan antara ukuran butir dan kecepatan aliran menunjukan bahwa fraksi pasir pada ukuran butir 250-500 µm memerlukan energi (arus) <100 cm/detik untuk dapat bergerak, sedangkan pada kecepatan <20 cm/detik partikel pasir akan berhenti bergerak/terendapkan. Hal ini sesuai dengan Nybakken (1992) dan Purnawan et al, (2012) menyatakan bahwa perairan yang berarus kuat umumnya memiliki dan didominasi tekstur sedimen berpasir sedang hingga halus. Sementara untuk arah transport dan sumber sedimen pada stasiun ini diduga mengikuti pola pergerakan arus yang dipengaruhi angin muson, dimana transport yang berasal dari arah utara-barat laut menuju selatan-tenggara terjadi pada

periode musim barat hingga musim peralihan I dan dari arah selatan-tenggara menuju utara-barat laut pada periode musim timur hingga musim peralihan II. Kondisi perairan pada St 1 memiliki kedalaman kurang dari 50 meter dengan kecepatan arus yang relatif tinggi namun tidak stabil dimana ini berpengaruh terhadap settling velocity (kecepatan jatuh) partikel sedimen yang semakin berkurang. Arus mempunyai sifat yang mampu menyeleksi ukuran butir yang di pindahkannya dalam proses sedimentasi sehingga menyebabkan adanya variasi ukuran butir dalam suatu lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan material sedimen St 1 yang ditemukan umumnya didominasi partikel besar (>250 µm) yang mempunyai setlling velocity lebih cepat dan distribusinya merupakan perselingan antara fraksi fine sand dan silt-clay.

Gambar 5 Profil Distribusi Ukuran butir pada St 1: (A) >250 µm, (B) 63-250 µm, dan (C) <63 µm

Sementara, untuk pendugaan/indikasi sumber asal sedimen, stasiun ini cenderung dipengaruhi oleh lautan karena letaknya yang berada ditengah selat. Ukuran butir >250 µm dan 63-250 µm diduga bersumber cenderung kebanyakan dari pulau-pulau yang berdekatan dengan stasiun ini yaitu dari arah Laut Natuna dan pesisir timur pulau Sumatera karena transport material yang dibawa dari arah utara-barat laut (timur Sumatera) menuju selatan-tenggara pada saat musim barat (Muson Barat laut) serta sedikit dari Kalimantan Selatan pada periode musim timur (Muson tenggara). Hal ini didukung dengan hasil penelitian Butar-butar (2011); Girsang & Rifardi, (2014) menemukan bahwa sedimen di perairan timur pulau Sumatera umumnya didominasi fraksi pasir sedang hingga halus. Sedangkan, fraksi silt-clay diduga kebanyakan bersumber dari wilayah yang jauh, yaitu dari Laut Cina Selatan pada musim barat (Muson Barat laut) hingga peralihan I yang bergerak dari arah Utara (Laut Cina Selatan) menuju arah tenggara (Gambar 3a) dan Laut Jawa yang menjadi muara dari beberapa sungai

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 60 66 72 78 Ke da lama n (c m) Presentase (%) A 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 10 30 50 Ke da lama n (c m) Presentase (%) B 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 0 4 8 12 Ke da lama n (c m) Presentase (%) C

besar. Indikasi ini dibuktikan dengan pola arus pada musim timur (Muson Tenggara) hingga peralihan II yang cenderung bergerak dari arah tenggara (Laut Jawa) menuju barat laut-utara (Gambar 3b). Namun, aliran rata-rata (mean flow)

di Selat Karimata lebih kuat/dominan pada periode musim barat hingga peralihan I sehingga kuat diduga transpor dan sumber sedimen pada stasiun 1 lebih banyak dibawa dan berasal dari arah utara. Ukuran butir sand biasanya terendapkan akibat kondisi oseanografi yang kuat karena fraksi silt-clay terendapkan relatif jauh dari sumber.

Pada St 2, distribusi antara kedua partikel berukuran >250 µm dan 63-250 µm pola distribusinya terlihat seragam dan ukuran butir <63 µm menunjukan presentase yang rendah dilapisan dalam dan tinggi di permukaan (Gambar 6).

Gambar 6 Profil Distribusi Ukuran butir pada St 2: (A) >250 µm, 63-250 µm , dan (C) <63 µm

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya (pada St 1), St 2 kuat diduga juga memiliki pola transpor sedimen yang serupa karena keduanya yang berada pada satu wilayah perairan dengan kondisi oseanografi perairan yang serupa. Namun berbeda dari stasiun sebelumnya, St 2 indikasi sumber sedimennya di duga lebih dominan berasal dan di pengaruhi daratan, dimana hal ini terlihat dari presentase fraksi lanau dan lempung (<63 µm) yang sedikit tinggi (Gambar 6c). Kondisi perairan St 2 menunjukan kedalaman perairan umumnya kurang dari 20 meter dan memiliki kecepatan arus yang relatif lemah dengan pola arus yang tidak beraturan (Gambar 4b), karena letak stasiun ini yang lebih dekat ke daratan dan berada pada gugusan kepulauan Karimata. Hal ini kemudian berpengaruh terhadap material sedimen yang terendapkan pada St 2 dimana memiliki presentase fraksi pasir halus, yaitu partikel ukuran 63-250 µm (fine sand) hampir sama presentasenya dengan partikel >250 µm (medium sand). Sedangkan, sumber partikel <63 µm

(silt-clay) sedimen St 2 diperkirakan berasal dari input oleh sungai-sungai dari

0 1 2 3 4 5 6 30 40 50 60 Ke da lama n (c m) Presentase (%) A 0 1 2 3 4 5 6 30 40 50 60 Ke da lama n (c m) Presentase (%) B 0 1 2 3 4 5 6 0 10 20 Ke da lama n (c m) Presentase (%) C

daratan pantai barat Kalimantan, run off dan dari hasil lapukan batuan penyusun kepulauan Karimata atau terbawa oleh sistem arus dari Laut Cina Selatan yang tertahan oleh keberadaan pulau-pulau tersebut.

Kandungan kadar air (water content) sedimen pada kedua core ditampilkan pada Gambar 7. Presentase kandungan kadar air dalam penelitian ini dinyatakan berdasarkan presentase berat basah (wet basis). Kandungan kadar air pada kedua stasiun yakni, St 1 dan St 2 umumnya berada dibawah 50%. Pola distribusi kandungan kadar air dari core St 1 dan St 2, menunjukan kadar air tinggi umumnya di lapisan permukaan dan berkurang dengan bertambahnya kedalaman atau dapat dikatakan porositas sedimen pada pada kedua stasiun umumnya menurun dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini menggambarkan bahwa terjadi adanya pemadatan lapisan sedimen pada lapisan bawah oleh lapisan sedimen baru diatasnya yang mengakibatkan sedimen baru akan memberikan kompresi terhadap sedimen dibawahnya yang menyebabkan kadar air dalam sedimen dilapisan bawah berkurang dan cenderung bergerak ke lapisan permukan sedimen. Selain itu, variasi komposisi ukuran butiran partikel juga turut berpengaruh dimana seperti telah dijelaskan bahwa distribusi ukuran butiran sand ditemukan tinggi di lapisan dalam, sebaliknya ukuran butiran halus (silt-clay) tinggi pada lapisan permukaan. Diketahui umumnya fraksi pasir (sand) memiliki distribusi ukuran butir rata-rata terhadap ukuran butir cukup lebar, dengan demikian akan terdapat rongga diantara butir besar yang kemudian akan diisi ukuran butir yang lebih kecil lagi sehingga menyebabkan kandungan kadar air berkurang. Sebaliknya, ukuran butir halus memiliki distribusi ukuran butir rata-rata terhadap butir sempit sehingga lebih banyak menyimpan air menyebabkan kandungan kadar air dilapisan atas lebih tinggi. Nurwidyanto et al, (2006) menguji sampel berpasir menemukan bahwa ukuran butir dan porositas (kadar air) mempunyai hubungan yang berlawanan arah yaitu apabila nilai ukuran butiran naik maka nilai porositasnya akan turun.

Kandungan bahan organik dalam sedimen laut biasanya berasal dari lingkungan terestrial, laut dan sumber antropogenik (Zorana et al, 2008). Presentase bahan organik total St 1 dalam profil sedimen umumnya >20% dan St 2 presentasenya <20% (Gambar 7). Presentase Loss on ignition (LOI) mewakili presentase banyaknya bahan organik yang berbeda dalam sedimen. Pola distribusi bahan organik memperlihatkan pola dimana kandungan bahan organik umumnya ditemukan tinggi pada lapisan permukaan dan mulai menurun perlahan dengan bertambahnya lapisan kedalaman. Namun, pada St 1 terlihat adanya sedikit variasi nilai bahan organik total sepanjang profil sedimen. Hal ini diduga berkaitan dengan kandungan karbonat yang masih terdapat didalam sedimen. Dalam tahapan proses preparasi sampel untuk pemisahan ukuran butir tidak dilakukan pemisahan atau penghilangan kandungan karbonat yang terkandung didalam masing-masing ukuran butir sedimen sehingga pada saat dilakukan pembakaran

(combustion) dengan furnace mengakibatkan presentase (%) nilai LOI bahan

organik total cenderung bervariasi dan lebih tinggi dibandingkan pada St 2 yang lebih mendapat pengaruh daratan lebih dominan dan memiliki presentase ukuran butir halus lebih tinggi. Pada proses pengendapan sedimen dimana adanya perselingan antara ukuran butir, partikel fraksi pasir (partikel berukuran >250 µm dan 63-250 µm) cenderung memiliki kandungan karbonat yang lebih tinggi yang biasanya berasal dari foraminifera, dan pecahan-pecahan cangkang organisme laut.

Sementara, fraksi silt-clay (partikel berukuran <63 µm) atau tergolong ukuran butir halus akan mengakumulasi bahan organik jauh lebih besar dan mengakibatkan kandungan bahan organik tinggi dimana hal ini berkaitan dengan fraksi halus yang memiliki luas permukaan besar. Menurut Maslukah (2013) semakin halus sedimen, kemampuan dalam mengakumulasi bahan organik akan semakin besar, dimana kandungan bahan organik pada umumnya akan tinggi pada sedimen lumpur (campuran lempung dan lanau). Keberadaan bahan organik umumnya memiliki korelasi positif dengan peningkatan nilai konsentrasi logam berat dalam sedimen walaupun bahan organik bukan merupakan faktor utama yang mengatur/berperan dalam menentukan konsentrasi logam berat dalam sedimen. Logam berat mempunyai sifat mudah terikat pada bahan organik yang kemudian mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen (Razak dan Rochyatun, 2007).

Gambar 7 Profil Distribusi Kadar air dan Bahan organik

Konsentrasi dan Distribusi Logam Berat

Kisaran konsentrasi yang bervariasi dari masing-masing logam dalam 2 core sedimen di Selat Karimata mengindikasikan adanya pengaruh yang berbeda dari setiap fraksi ukuran butir sedimen dalam mengikat dan mengakumulasi logam. Konsentrasi logam berat (Cu, Pb, Ni, Zn, As dan Fe) ditemukan tinggi dalam fraksi halus (partikel ukuran <63 µm) dimana nilainya 1 hingga 2 kali lebih tinggi dibandingkan pada kedua fraksi sand (>250 µm dan 63-250 µm). Tingginya konsentrasi dalam fraksi halus umumnya karena memiliki rasio luas permukaan

(surface area) yang besar, kaya kandungan bahan organik, dan Fe/Mn/Al oksida

yang berperan dalam proses pengikatan atau penyerapan logam (Martinic, 1990; Krumgalz et al, 1991; Yao et al, 2015). Horowitz (1985) menghitung rasio luas

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 10 20 30 40 50 Ke da lama n (c m) (%) Kadar Air St 1 St 2 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 15 20 25 30 Ke da lama n (c m) Bahan organik St 2 St 1

permukaan (surface area) partikel ukuran sand yaitu sebesar 10 hingga 100 cm2/gram sedangkan partikel ukuran clay/silt memiliki luas permukaan 100 hingga 1000 cm2/gram. Sementara, rendahnya konsentrasi logam berat dalam fraksi sand diduga karena tingginya mineral detrital yang berasal dari proses pelapukan batuan (weathering), terutama mineral quartz dan feldspar. Namun ada fenomena yang ditemukan pada St B3, dimana menunjukan pola distribusi konsentrasi logam tidak meningkat dengan menurunnya ukuran butiran. Pada stasiun ini konsentrasi dari logam As dan Fe ditemukan meningkat pada ukuran butir 63-250 µm. Peningkatan konsentrasi pada fraksi pasir di stasiun ini diduga berkaitan dengan karateristik geokimia dari kedua logam ini untuk berikatan dengan fraksi karbonat yang tinggi dalam fraksi pasir dan juga karena masukan dari kegiatan antropogenik dari daratan dan lautan. Partikel yang lebih besar akan lebih lama terendapkan di daerah dangkal yang beroksigen dan mungkin memiliki banyak waktu untuk mengembangkan lapisan oksida sehingga mampu menyerap lebih banyak logam dibandingkan partikel kecil. Kehadiran mineral berat atau fraksi kasar dari pertambangan dan limbah industri juga meningkatkan konsentrasi logam dalam partikel pasir.

Karateristik distribusi logam Pb dalam profil sedimen St 1 dan St 2 dalam ukuran partikel sama-sama memperlihatkan konsentrasi logam Pb akan semakin tinggi dengan semakin kecilnya ukuran partikel butiran sedimen (Gambar 8). Profil core St 1, lapisan kedalaman 28-17 cm konsentrasi Pb cenderung bervariasi dengan adanya peningkatan dan penurunan konsentrasi di antara ketiga fraksi namun nilainya masih relatif stabil. Pada kedalaman 15-7 cm konsentrasi Pb cenderung seragam, tetapi ada sedikit variasi peningkatan untuk ukuran butiran >250 µm. Kemudian pada kedalaman 6-0 cm, ditemukan sebuah fenomena pada masing-masing ukuran butir. Partikel <63 µm menunjukan peningkatan konsentrasi Pb dari nilai lapisan di bawahnya. Sebaliknya, terjadi penurunan konsentrasi Pb yang signifikan dengan meningkatnya ukuran partikel. Partikel ukuran 63-250 µm dimana menunjukan konsentrasi terendah dari lapisan dibawahnya. Sementara, profil distribusi konsentrasi logam Pb St 2 memperlihatkan konsentrasi umumnya menunjukan adanya keseragaman pola untuk ketiga fraksi. Dimana pada kedalaman 5-3 cm konsentrasi cenderung menurun kemudian sedikit meningkat untuk masing-masing ukuran partikel. Partikel ukuran <63 µm dimana menunjukan konsentrasi tertinggi. Selanjutnya, kedalaman 3-0 cm konsentrasi menurun namun dengan sedikit variasi perubahan. Perbedaan konsentrasi Pb secara umum sepanjang core (St 1) antara ketiga partikel butiran tidak menunjukan perbedaan yang signifikan khususnya pada lapisan kedalaman dibawah 5 cm. Hal ini diduga karena karateristik geokimia logam Pb saat berada di kolom air hingga terendapkan dalam sedimen, logam Pb cenderung akan berasosiasi dan berikatan dengan dua fase geokimia, yaitu fase residual (residual phase) yang utamanya terdiri dari logam Pb yang berikatan dengan mineral-mineral utama (seperti: mineral clay) yang umumnya tinggi pada partikel berukuran <63 µm dan fase redusibel (reducible phase) yang utama terdiri dari logam Pb yang di adsorpsi atau di lapisi oleh Fe-oksida yang tinggi dalam partikel ukuran pasir. Komponen kimia mineral clay misalnya hidroksida (OH) akan mengadsorpsi (attachment) kation-kation Pb terlarut (Pb2+) dalam kolom air dan membentuk ikatan kompleks dan mengendapkannya dalam sedimen. Masukan atsmofer dari dampak aktifitas tambang dan pelayaran diduga juga

sebagai sumber utama Pb pada stasiun ini. Sarkar et al (2014); Dawson et al

(1998) dan Ramos et al (1999) menemukan logam Pb umumnya berikatan dengan fraksi Fe-Mn oksida karena kemampuannya sebagai scavenger Pb dari kolom air. Ditambahkan, El-Sayed El-Gohary et al, 2012 mengatakan keberadaan logam Pb dalam sedimen biasanya berasosiasi dengan dua mineral, satu dengan mineral clay dan lainnya dengan mineral authigenic.

Gambar 8 Profil Distribusi logam Pb pada St 1 (kiri) dan St 2 (kanan) Logam Cu pada St 1 dan St 2 (Gambar 9) memperlihatkan karateristik distribusi logam akan meningkat dengan semakin kecilnya ukuran partikel. Kondisi ini mencerminkan bahwa peningkatan konsentrasi Cu sangat efektif pada partikel berukuran halus. Pada core St 1 kedalaman 28-17 cm, konsentrasi logam Cu menunjukan adanya variasi dengan peningkatan konsentrasi untuk partikel ukuran <63 µm, sebaliknya partikel ukuran >250 µm dan 63-250 µm menunjukan tidak adanya variasi dengan pola yang cenderung stabil dan seragam. Kedalaman 15-7 cm, konsentrasi Pb menunjukan adanya peningkatan dalam masing-masing ukuran butiran dengan variasi yang kecil khususnya untuk partikel ukuran 63-250 µm. Selanjutnya, pada kedalaman 6-0 cm menunjukan peningkatan konsentrasi yang signifikan dalam masing-masing partikel butiran, khususnya pada kedalaman 4 cm terlihat konsentrasi meningkat 2 kali lebih tinggi dari konsentrasi di sepanjang core. Kemudian diatas kedalaman 4 cm hingga permukaan konsentrasi terlihat kembali menurun. Sementara pada core St 2, konsentrasi Cu pada partikel berukuran <63 µm menunjukan nilai konsentrasi dua kali lebih tinggi dari partikel berukuran 63-250 µm dan >250 µm. Pola distribusi antara partikel <63 µm dan 63-250 µm menunjukan pola yang hampir sama. Pada kedalaman 5-3 cm, konsentrasi cenderung bervariasi dengan peningkatan konsentrasi Cu pada partikel berukuran <63 µm dan 63-250 µm dan sebaliknya penurunan konsentrasi

0 5 10 15 20 25 30 0 10 20 30 40 Ked alam an ( cm ) Pb (mg/kg) >250 µm 63-250 µm <63 µm 0 1 2 3 4 5 6 0 15 30 45 Ked alam an ( cm ) Pb (mg/kg) >250 µm 63-250 µm <63 µm

pada partikel berukuran >250 µm. Selanjutnya, kedalaman 2-0 cm, konsentrasi logam Cu meningkat namun dengan variasi yang kecil (kedalaman 2 cm) pada partikel berukuran <63 µm dan 63-250 µm dan partikel berukuran >250 µm yang

Dokumen terkait