• Tidak ada hasil yang ditemukan

Geokimia Logam Berat Dalam Sedimen Di Perairan Selat Karimata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Geokimia Logam Berat Dalam Sedimen Di Perairan Selat Karimata"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

GEOKIMIA LOGAM BERAT DALAM SEDIMEN DI

PERAIRAN SELAT KARIMATA

DUAITD KOLIBONGSO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Geokimia Logam Berat dalam Sedimen di Perairan Selat Karimata” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2016

Duaitd Kolibongso

(4)

RINGKASAN

DUAITD KOLIBONGSO. Geokimia Logam Berat dalam Sedimen di Perairan Selat Karimata. Dibimbing oleh TRI PRARTONO dan ALI ARMAN.

Selat Karimata memiliki karateristik perairan yang cukup unik karena letak geografis daripada selat tersebut. Hal ini mengakibatkan Selat Karimata menjadi tempat/jalur yang terekspos oleh berbagai materi yang terbawa melewati selat ini. Salah satu materi yang dapat membahayakan adalah logam berat. Konsentrasi logam berat sangat bervariasi baik secara spasial maupun temporal. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui distribusi geokimia logam berat di Selat Karimata. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis proses geokimia logam berat dalam sedimen di perairan Selat Karimata. Penelitian ini dilakukan pada ekspedisi Selat Karimata dan Selat Sunda dengan menggunakan kapal riset “Baruna Jaya VIII” yang dilaksanakan pada tanggal 6-16 Juni 2015. Pengambilan sampel sedimen dilakukan menggunakan box core kemudian di analisis komposisi ukuran butir dan konsentrasi logam berat (Cu, Pb, Zn, Ni, dan As) yang terkandung didalamnya menggunakan Inductively Coupled Plasma-Optical

Emission Spectrometry (ICP-OES).

Pola arus di Selat Karimata utamanya dipengaruhi oleh angin muson. Pada periode muson barat, arus bergerak dari utara menuju tenggara dan pada periode muson timur arus bergerak dari arah tenggara menuju utara. Namun, aliran rata-rata lebih kuat pada periode muson barat. Topografi perairan Selat Karimata umumnya memiliki morfologi parit yang memanjang utara-tengah sampai tenggara mengikuti pola arus. Proses transport dan deposisi sedimen pada selat ini sangat dipengaruhi oleh pola arus dan topografi. Hal ini ditunjukan dari dominasi fraksi pasir (>250 µm). Pengaruh ukuran butir terhadap konsentrasi logam berat umumnya ditemukan tinggi pada ukuran butir paling halus (<63 µm). Pola distribusi logam berat dalam profil sedimen menunjukan konsentrasi logam berat ditemukan tinggi pada lapisan permukaan dan rendah pada lapisan dalam.

Logam berat (Cu, Pb, dan As) umumnya menunjukan adanya pengayaan minimal hingga sangat tinggi. Sedangkan, logam berat (Zn dan Ni) menunjukan umumnya tidak mengalami pengayaan hingga pengayaan minimal. Asosiasi logam Pb dan As ditemukan pada fraksi sand (ukuran butir >250 μm dan 63-250

μm). Hal ini mengindikasikan bahwa sumber utama keduanya berasal dari proses alami dan antropogenik. Sementara, logam Cu dan Zn ditemukan dominan pada fraksi silt-clay (ukuran butir <63 µm) dimana ini mengindikasi sumber utama kedua logam ini berasal dari aktivitas antropogenik..

(5)

DUAITD KOLIBONGSO. Heavy Metals Geochemistry in Sediments of Karimata Strait. Supervised by TRI PRARTONO and ALI ARMAN.

Karimata Strait has a very unique in charateristics due to its geographycal setting. This condition made a Karimata Strait exposed to variety of materials that pass through this strait. One of the materials that may be harmful is heavy metal. The concentration of heavy metals vary both in spatial and temporal. Therefore, it is very important to know the geochemical distribution of heavy metals in Karimata Strait. The aimed of this research is to study the geochemical processes of heavy metals in sediment of Karimata Strait. The study was conducted during the Sunda Strait and Karimata Strait Expedition using the “Baruna Jaya VIII” research vessel in June 6th-16th 2015. Sampling was collected using box core. Fractionation analysis was carried out through sieving, continue with digestion, and analyze the heavy metals using Inductively Coupled Plasma-Optical Emission Spectrometry (ICP-OES).

The pattern of current in the Karimata Strait mainly influenced by monsoon. In west monsoon, current moving from north to southeast and during east monsoon, current move from southeast to north. However, the mean flow was strongest in west monsoon. Karimata Strait topography generally has elongated that north-central to southeast followed current pattern. The process of transport and deposition of sediments in the Karimata Strait was strongly influenced by the current pattern and topography. This was indicated by the dominance of the fractions of sand (>250 µm). The influence of the grain size on the concentration of heavy metals are generally found to be high in most fine grain size (<63 µm). The distribution pattern of heavy metals in sediment profile showed a high concentration of heavy metals found in the surface layer and low in the deeper layers.

Heavy metals (Cu, Pb, and As) generally showed a minimal enrichment to very high. Meanwhile, heavy metals (Zn and Ni) did not show enrichment process. Association of Pb and As were found in both sand fraction (>250 µm and 63-250 µm). This indicated that the main source of both from natural and anthropogenic process. Meanhile, Cu and Zn were found predominantly in the fine grain size (<63 µm) where it indicated main source of these two metals derived from anthropogenic.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

DUAITD KOLIBONGSO

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan penyertaan-Nya sehingga penelitian mengenai Geokimia Logam Berat dalam Sedimen di Perairan Selat Karimata berhasil diselesaikan dengan baik sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi Magister pada program studi Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Tri Prartono, MSc dan Bapak Dr Ali Arman, MT selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran dan masukan dalam penyusunan tesis ini. Penulis berterima kasih kepada Bapak Dr Ir Zainal Arifin, MSc selaku penguji luar yang telah banyak memberikan masukan dan saran dalam perbaikan tesis ini. Penulis juga berterima kasih pada Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR)-Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) yang telah memberikan bantuan berupa penggunaan laboratorium dan alat-alatnya dalam rangka penyelesaian penelitian ini, serta staf laboratorium BATAN yaitu Bapak Aditya Dwi Permana Putra, SSi dan Bapak Untung Sugiharto, AMd yang telah memberikan bantuan fisik maupun moral. Penulis juga berterima kasih kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan-Balai Penelitian dan Observasi Laut (KKP-BPOL), yaitu Bapak Agung Yunanto dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), khususnya tim kapal Baruna Jaya VIII yang telah membiayai dan memfasilitasi penelitian ini. Rekan-rekan kuliah seangkatan IKL 2014, dan saudara-saudara seperantauan di Bogor yang selalu memberi bantuan berupa motivasi dan inspirasi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (Fredy), alm ibu (Fanny), kakak (Nonny, Senda, dan Dewy), atas segala doa, kasih sayang dan dukungannya.

Tesis ini masih belum terlepas dari kesalahan dan kekeliruan dalam penyusunannya, untuk itu penulis mengharapkan segala bentuk kritik dan saran demi penyempurnaan dimasa mendatang.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Kerangka Pemikiran 3

Tujuan Penelitian 4

Hipotesis Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

2 METODE 6

Waktu dan Lokasi 6

Alat dan Bahan 6

Sumber Data 6

Pengambilan Sampel Sedimen 7

Analisis Kandungan Bahan Organik 9

Analisis Fraksi Sedimen (Grain Size) 9

Analisis Logam Berat Sedimen 9

Analisis Data 10

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Kondisi Hidro-Oseanografi Perairan Selat Karimata 12

Ukuran butir, bahan organik dan kadar air 15

Konsentrasi dan Distribusi Logam Berat 19

Intensitas dan Tingkat Pengayaan Logam 27

Asosiasi dan Sumber Logam berat 33

4 SIMPULAN DAN SARAN 44

Simpulan 44

Saran 44

DAFTAR PUSTAKA 45

LAMPIRAN 51

(12)

DAFTAR TABEL

1 Sumber data yang digunakan dalam penelitian 7

2 Quality control dari Logam Berat (mg/kg) 10

3 Pengayaan logam berat berdasarkan nilai Enrichment Factor (EF) 11

DAFTAR GAMBAR

1 Skema Kerangka Pemikiran 5

2 Peta Lokasi Penelitian. (a) Lokasi pengambilan sedimen core, (b) Peta 3D morfologi dasar laut daerah penelitian (sumber peta: BAKOSURTANAL dan GEBCO 2015 modifikasi oleh perangkat

lunak Global mapper dan Surfer) 8

3 Pola Arus rata-rata di Perairan Selat Karimata (A) Periode Musim

Barat (B) Periode Musim Timur 13

4 Sebaran Komponen Arus Meridional tahun 2015: (A) Stasiun 1 dan (B) Stasiun 2. Warna menunjukan kecepatan arus meridional (v) 14 5 Profil Distribusi Ukuran butir pada St 1: (A) >250 µm, (B) 63-250 µm,

dan (C) <63 µm 16

6 Profil Distribusi Ukuran butir pada St 2: (A) >250 µm, (B) 63-250 µm,

dan (C) <63 µm 17

7 Profil Distribusi Kadar air dan Bahan organik 19 8 Profil Distribusi logam Pb pada St 1 (kiri) dan St 2 (kanan) 21 9 Profil Distribusi logam Cu pada St 1 (kiri) dan St 2 (kanan) 22 10 Profil Distribusi logam Zn pada St 1 (kiri) dan St 2 (kanan) 23 11 Profil Distribusi logam Ni pada St 1 (kiri) dan St 2 (kanan) 24 12 Profil Distribusi logam As pada St 1 (kiri) dan St 2 (kanan) 25 13 Profil Distribusi logam Fe pada St (kiri) dan St 2 (kanan) 27 14 Profil nilai EF Pb: St 1 (kiri) dan St 2 (kanan). Garis putus-putus

merupakan batas pendugaan faktor pengayaan (EF = 1.5) 29 15 Profil nilai EF Cu: St 1 (kiri) dan St 2 (kanan). Garis putus-putus

merupakan batas pendugaan faktor pengayaan (EF = 1.5) 30 16 Profil nilai EF Zn: St 1 (kiri) dan St 2 (kanan). Garis putus-putus

merupakan batas pendugaan faktor pengayaan (EF = 1.5) 31 17 Profil nilai EF Ni: St 1 (kiri) dan St 2 (kanan). Garis putus-putus

merupakan batas pendugaan faktor pengayaan (EF = 1.5) 32 18 Profil nilai EF As: St 1 (kiri) dan St 2 (kanan). Garis putus-putus

merupakan batas pendugaan faktor pengayaan (EF = 1.5) 32 19 Biplot konsentrasi logam berat St 1 pada ukuran butir: (A) >250 µm

(B) 63-250 µm dan (C) <63 µm 35

20 Plot logam berat dalam ukuran butir >250 µm pada St 1 36 21 Plot logam berat dalam ukuran butir 63-250 µm pada St 1 37 22 Plot logam berat dalam ukuran butir <63 µm pada St 1 38 23 Biplot konsentrasi logam berat St 1 pada ukuran butir: (A) >250 µm

(B) 63-250 µm dan (C) <63 µm 39

(13)

26 Biplot logam berat dalam ukuran butir <63 µm pada St 2 43

DAFTAR LAMPIRAN

1 Nilai Enrichment Factor (EF) Pb, Cu, Zn, Ni dan As pada ukuran butir

250 µm St 1 52

2 Nilai Enrichment Factor (EF) Pb, Cu, Zn, Ni dan As pada ukuran butir

250 µm St 2 52

3 Nilai Enrichment Factor (EF) Pb, Cu, Zn, Ni dan As pada ukuran butir

63-250 µm St 1 53

4 Nilai Enrichment Factor (EF) Pb, Cu, Zn, Ni dan As pada ukuran butir

63-250 µm St 2 53

5 Nilai Enrichment Factor (EF) Pb, Cu, Zn, Ni dan As pada ukuran butir

<63 µm St 1 54

6 Nilai Enrichment Factor (EF) Pb, Cu, Zn, Ni dan As pada ukuran butir

<63 µm St 2 54

7 Hasil analisis PCA logam berat pada masing-masing ukuran butir 55

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sedimentasi merupakan proses pengendapan sedimen dan mencakup semua peristiwa yang terjadi selama pembentukan partikel (oleh pelapukan, erosi atau produksi biogenik) melalui transportasi dan pengendapan sedimen, termasuk di dalamnya semua sumber energi yang mampu mentranspor dan mengendapkan sedimen seperti angin, air, es dan gravitasi (Rifardi, 2002; Hueneke and Mulder 2011). Hasil pengendapan menghasilkan materi berstrata dimana karakter atau sifat materi sangat dipengaruhi oleh sumber pasokan dan proses yang dialami oleh materi saat terdeposisi. Friedman dan Sander (1978) menunjukan bahwa endapan sedimen disusun dari berbagai campuran partikel material yang berasal dari sumber yang berbeda-beda. Proses sedimentasi dapat dipahami melalui kajian ukuran butir karena dapat memberikan penjelasan tentang perubahan spasial, proses pengendapan, karateristik lingkungan sedimen, distribusi ukuran butir dan identifikasi sumber sedimen (Pascoe et al, 2002; Cheng et al, 2004; Poizot, 2007; Hurban et al, 2008; Purkait, 2010).

Pengendapan dan distribusi ukuran butir sangat dipengaruhi/berhubungan dengan beberapa faktor yaitu faktor oseanografi (seperti: arus, gelombang, dan pasang surut), angin lokal dan badai episodik yang masing-masing memiliki karateristik spasial dan temporal (Liu et al, 2000). Pada perairan laut, arus dan morfologi permukaan dasar laut menjadi kontrol dalam distribusi dan pengendapan sedimen. Menurut Purnawan et al, (2012) arus memiliki peran penting dalam distribusi partikel sedimen, khususnya terhadap partikel sedimen tersuspensi (suspended sediment). Hal ini senada dengan Darlan (1996) yang menyebutkan bahwa distribusi fraksi sedimen dipengaruhi oleh arus. Pada daerah dengan kecepatan arus tinggi, fraksi berukuran besar seperti kerikil (gravel) dan pasir (sand) lebih cepat mengendap dibandingkan fraksi yang berukuran lebih kecil seperti lempung dan lanau (silt dan clay).

(16)

Pemahaman yang baik tentang pola distribusi dan sumber sedimen yang didekati dengan kajian ukuran butir sedimen dalam lingkungan akuatik sangat diperlukan untuk merekonstruksi wilayah selat Karimata di masa yang akan datang. Oleh karena itu, penelitian ini dilaksanakan untuk menganalisis distribusi ukuran butir sedimen dan memprediksi sumber sedimen untuk kemudian dikaitkan dengan kandungan logam berat yang ditemukan pada masing-masing ukuran butir. Sehingga penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan sumber dan karateristik logam berat dalam sedimen dan bermanfaat sebagai informasi awal atau baseline data yang diperlukan untuk mengetahui perubahan lingkungan perairan Selat Karimata.

Perumusan Masalah

Selat Karimata merupakan perairan yang terletak diantara 2 pulau, yaitu Kalimantan di sebelah timur dengan berbagai aktivitas pertambangan dan pertanian dan perkebunan serta terdapat banyak sungai-sungai yang bermuara di selat ini dan Bangka-Belitung di sebelah barat dengan berbagai aktivitas pertambangan, pertanian, dan industri. Perairan Selat Karimata juga menjadi penghubung antara laut Cina Selatan dengan Laut Jawa dengan kecepatan arus rata-rata di perairan ini mencapai 0.2 m/detik (Susanto et al, 2013). Pola arus di perairan ini dominan dipengaruhi oleh monsoon, yaitu pada saat monsoon barat arus akan mengalir dari arah utara-tengah dan dibelokkan ke selatan-tenggara dan pada saat moonson timur arus akan berbalik arah dengan bergerak dari selatan-tenggara menuju utara-barat laut dengan kecepatan arus akan menurun mendekati perairan pantai dan meningkat di lepas pantai (Alkausar, 2008). Geologi selat ini sendiri merupakan hasil dari rangkaian panjang proses pergerakan tektonik. Semua hal tersebut menjadikan Selat Karimata memiliki keunikan dan kompleksitas tersendiri yang menarik untuk dikaji dibandingkan dengan selat-selat lainnya. Namun, kondisi ini menjadikan perairan Selat Karimata sangat rentan mengalami perubahan karateristik lingkungan baik yang diakibatkan oleh faktor alami maupun non-alami. Salah satunya yaitu proses pembentukan sedimen, karena komposisi ukuran butir sedimen dalam sepanjang proses transport dapat dihasilkan dari masukan berbagai sumber yang berbeda dan proses transportasi.

(17)

1. Apakah pola distribusi dan pengendapan setiap ukuran butir yang mengandung logam berat merupakan hasil masukan dari berbagai sumber atau lebih dipengaruhi daerah sekitar?

2. Berapa besar tingkat pengayaan logam berat pada masing-masing ukuran butir sedimen?

3. Bagaimana pola asosiasi dan sumber logam berat berdasarkan karateristik setiap logam berat pada masing-masing ukuran butir?

Kerangka Pemikiran

Selat Karimata merupakan kawasan yang berdekatan dengan daratan Kalimantan dan Bangka-Belitung serta menghubungkan antara Laut Cina Selatan di utara dan Laut Jawa di selatan kondisi ini mengakibatkan kecepatan arus rata-rata yang melewati selat ini sangat kuat akibat adanya penyempitan. Karateristik diatas juga menyebabkan Selat Karimata menjadi tempat/jalur yang terekspos oleh berbagai senyawa berbahaya hasil dari aktivitas antropogenik yang dapat berupa limbah industri, pertambangan, pertanian, dan rumah tangga yang terbawa oleh pola arus selat ini sehingga dapat menimbulkan dampak negatif bagi kondisi perairan selat Karimata. Salah satu materi yang bersifat berbahaya dan resisten tersebut adalah logam berat. Dalam lingkungan yang masih alami keberadaan logam berat terdapat dalam kisaran konsentrasi yang masih dapat ditoleransi karena sumbernya yang berasal dari dua sistem yakni yang berasal dari luar sistem perairan yang masuk melalui sungai maupun atsmofer seperti proses pelapukan, erupsi gunung berapi dan proses presipitasi yang disebut aloton

(allothoneous) dan yang berasal dari dalam sistem perairan itu sendiri, seperti

proses adveksi, pengadukan, biodegradasi bahan organik dan disolusi yang disebut autotom (autothoneous) (Sanusi, 2006). Namun, dewasa ini aktivitas manusia seperti misalnya kegiatan industrialisasi, pertambangan, pertanian dan rumah tangga yang membuang limbahnya secara langsung maupun melalui sungai berperan juga sebagai sumber terhadap peningkatan konsentrasi logam berat yang masuk ke perairan atau yang lebih dikenal dengan istilah antropogenik (Gambar 1).

(18)

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menjelaskan proses transport dan deposisi melalui fraksi ukuran butir dan logam berat dalam sedimen di Perairan Selat Karimata.

2. Menganalisis intensitas dan tingkat kontaminasi logam berat dalam sedimen di Perairan Selat Karimata.

3. Menjelaskan asosiasi dan sumber logam berat berdasarkan karateristiknya dalam setiap ukuran butir sedimen di Perairan Selat Karimata.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Proses pembentukan sedimen sangat dipengaruhi oleh pola arus di wilayah Selat Karimata.

2. Sumber logam berat dalam sedimen di wilayah perairan Selat Karimata berasal dari daratan sekitar.

Manfaat Penelitian

(19)

Gambar 1 Skema Kerangka Pemikiran Logam Berat

Sedimen

Ukuran Butir

Konsentrasi Logam Berat

Geokimia

Kesimpulan nn

Asosiasi dan pendugaan sumber

Pengayaan Logam Berat

Terestrial Antropogenik Laut

Sungai dan Atsmofer

Sumber informasi pengelolaan

lingkungan Pendugaan

(20)

2

METODE

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni hingga November 2015. Kegiatan penelitian ini merupakan hasil kerjasama antara Balai Penelitian dan Observasi Laut (BPOL) dan The First Institute of Oceanography-State Oceanic

Administration (FIO-SOA) dari Tiongkok dalam ekspedisi The South China

Sea-Indonesian Seas Transport/Exchange (SITE) and Dynamics of Sunda and

Karimata Straits, dengan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VIII yang

dilakukan pada tanggal 6-16 Juni 2015. Koordinat lokasi penelitian ini berada pada posisi 108°32’49,5”E hingga 1°54.64,8”S (core St 1) dan 109°03’48,8”E; 1°24’08,3”S (core St 2) (Gambar 2). Pemilihan kedua titik sampling core sedimen ditentukan oleh jarak terhadap pengaruh dari daratan dan kondisi oseanografi sebagai sumber dan media transpor material sedimen. Jarak core St 1 dari daratan terdekat (Pulau Belitung) yaitu ± 40 km dengan kedalaman perairan 40 meter. Core st 2 terletak pada gugusan kepulauan Karimata dan berjarak ± 20 km dari daratan terdekat (Pulau Kalimantan) dengan kedalaman perairan 15 meter, dan jarak antara kedua titik sampling core sedimen yaitu ± 100 km. Analisis laboratorium dilakukan pada bulan Agustus hingga November 2015 di Laboratorium Kelautan dan Kimia, Bidang Industri dan Lingkungan, Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Jakarta Selatan.

Alat dan Bahan

Penelitian ini menggunakan alat Box core dengan ukuran 50 cm x 50 cm x 75 cm dengan kedalaman penetrasi 75 cm, Pipa paralon berdiameter 4 inchi, Ayakan (Sieve net), Oven, Timbangan digital (ketepatan hingga 0.001 gr),

Microwave Star D, Porcelain, Heraus Furnace, Desiccator, Labocentrifuge I

D-6072, dan Thermo iCAP 7400 ICP-OES (Inductively Coupled Plasma-Optical

Emission Spectrometry).

Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain Sampel sedimen, larutan standar logam berat (Cu, Pb, Zn, Ni, As dan Fe), bidest, asam klorida 37% (HCl), asam nitrat 65% (HNO3), dan hydrogen peroxide 20% (H2O2).

Sumber Data

Data Ukuran butir, konsentrasi Logam berat, Kadar air dan Bahan Organik total di sedimen merupakan data primer atau data hasil analisis. Data arus dan batimetri merupakan data sekunder. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1.

(21)

Tabel 1 Sumber data yang digunakan dalam penelitian

Jenis Data Sifat Data Sumber

Data Satuan INDESO (Infrastructure Development for Space Oceanography) merupakan salah satu contoh pengembangan Mercator Ocean yaitu program ilmiah yang bekerja sama dengan Collecte Localisation Satellite (CLS) untuk menyediakan data kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia (KKP). Memodelkan INDESO memerlukan Mercator Ocean System and Interface Relocatable Nesting

tools (SIREN), yang memungkinkan untuk membuat suatu konfigurasi baru yang

lebih besar dengan cara menggabungkan antara batimetri, kondisi awal serta kondisi batas (Theetten et al, 2014). Model INDESO dibangun dengan menggunakan model MERCATOR. Input data dalam model ini berupa data pengukuran insitu serta data penginderaan jauh. Data yang digunakan dari keluaran hasil model INDESO yang digunakan dalam penelitian ini berupa data arus (vektor arus 2D dan komponen meridional).

GEBCO (The General Bathymetric Chart of the Oceans) merupakan salah satu grup internasional yang bekerja pada pengembangan set-data batimetri dan produk-data dibawah naungan bersama dari International Hydrographic

Organization (IHO) dan The Intergovernmental Oceanographic Commision

(IOC) dari UNESCO. Data batimetri yang disediakan dihasilkan dari data pengukuran langsung (sounding ship-track) dan diinterpolasikan dengan data satelit. Data yang digunakan dari peta digital GEBCO dalam penelitian ini berupa morfologi dasar laut lokasi penelitian.

Pengambilan Sampel Sedimen

Pengambilan sampel sedimen di perairan dilakukan dengan menggunakan

box core berukuran 50x50x75 cm yang dilakukan dengan menggunakan pipa

paralon yang ditusukan ke dalam tube box core yang berisi sedimen. Pada St 1 didapatkan sampel core sedimen sepanjang 28 cm dan St 2 didapatkan sampel core sedimen sepanjang 5 cm. Setelah selesai sampel dilakukan pengepakan pengawetan dan disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu -4 oC. Hal ini

(22)
(23)

Analisis Kandungan Bahan Organik

Kandungan bahan organik total dinyatakan dengan presentase lost on

ignition (% LOI) berdasarkan metode Heiry et al (2001) dan Robertson, (2011).

Analisa diawali dengan penyiapan cawan kosong yang dipanaskan selama 24 jam pada suhu 105OC dengan menggunakan oven. Setelah itu timbang ± 3 gram

sedimen basah kemudian dikeringkan dengan menggunakan suhu 105OC selama 24 jam, setelah itu sampel kering dibakar pada suhu 550OC selama 2 jam sebagai berat kering. Kandungan bahan organik total dihitung sebagai perbedaan berat antara sedimen kering pada suhu 105OC dan abu hasil pembakaran pada suhu 550OC dalam furnace:

%Organic Matter = [berat pembakaran 550OC] / [berat kering 105OC] x [100]

Analisis Fraksi Sedimen (Grain Size)

Klasifikasi ukuran butir sedimen ditentukan menggunakan alat ayakan mekanik. Pengayakan dilakukan dengan metode pengayakan kering. Untuk keperluan analisa logam berat sampel sedimen terlebih dulu dikeringkan menggunakan oven pada suhu 60oC dan kemudian digerus menggunakan mortar

agar dapat menyatu secara merata (homogen). Selanjutnya, dilakukan pemisahan ukuran butir atau sieving selama kurang lebih 10 menit. Klasifikasi ini nantinya akan memisahkan sedimen ke dalam 3 fraksi ukuran butir yang berbeda berdasarkan skala Wentworth mengacu pada Boggs, (2006) yaitu fraksi medium

sand (>250 µm), fraksi fine sand (63-250 µm), dan fraksi mud campuran antara

silt-clay (<63 µm). Setiap fraksi yang telah dipisahkan di masukkan ke dalam

plastik klip dan selanjutnya di destruksi untuk keperluan analisis kandungan logam berat (Cu, Pb, Ni, Zn, As dan Fe).

Analisis Logam Berat Sedimen

Proses analisis logam berat dalam sedimen mengikuti prosedur US-EPA 3051A (2007) dengan modifikasi, yang secara singkat diuraikan sebagai berikut. Pengerjaan awal, sampel sedimen yang telah diayak berdasarkan ukuran butiran didestruksi dengan metode “microwave assisted acid digestion”. Tahapan pengerjaan yaitu sampel sedimen kering hasil fraksinasi ditimbang sebanyak 0.3 gram sebagai berat kering dan dimasukkan ke dalam

polytetrafluoroethylene-tetrafluoromethane (PTFE-TFM) vessel. Selanjutnya ke dalam sampel

ditambahkan 9 ml HNO3 dan 3 ml HCl pekat (3:1) dan penambahan 1 ml H2O2

(24)

ml. Larutan sampel dikocok-kocok dan dibiarkan selama 24 jam. Tahap akhir larutan siap untuk di analisis dengan ICP-OES.

Untuk menguji akurasi dari metode dan instrument yang digunakan, pengujian dilakukan dengan sedimen standar IAEA-158 marine sediment

(sediment reference materials). Perlakuan yang digunakan untuk zat standar ini

seperti perlakuan terhadap sampel sedimen, dengan reagen yang sama dan diuji dengan alat yang sama untuk penelitian (method blanks). Quality Control untuk metode dan instrument menggunakan presentase standard deviasi relative (RSD) untuk pendugaan precision dan accuracy yang ditentukan oleh perbandingan konsentrasi yang terukur dengan nilai disertifikat yang dinyatakan sebagai presentase recovery (Rec %). Dalam penelitian ini nilai target untuk nilai RSD ≤ 20% dan nilai recovery antara 90-120% (Chen & Ma, 1998; 2001). Nilai presisi (% RSD) dari SRM IAEA-158 untuk semua logam berat (Cu, Pb, Zn, Ni, As dan Fe) adalah lebih dari 5% dan 10% dan nilai recovery logam berat Cu, Pb, Zn, Ni dan As (93.3-103.3%), tetapi ditemukan nilai recovery yang rendah untuk logam Fe (76.7%) (Tabel 2).

Tabel 2 Quality control dari Logam Berat (mg/kg) Elemen Sertifikata Ditemukanb Recovery (%)

Pb 39.6 ± 4.7 41 ± 3.4 103.3

aSertifikat Standard Reference Material, IAEA-158 Marine Sediment. bRata-rata dan Standar deviasi dari 4 replika yang ditampilkan.

Analisis Data

Analisis data konsentrasi logam berat, ukuran butir (grain size), kandungan kadar air, bahan organik total (% LOI) dilakukan dengan melihat pola distribusi masing-masing parameter menggunakan Microsoft Excel. Analisis uji statistik dilakukan menggunakan Principal Component Analysis (PCA) (Ujevic et al, 2000; Zorana et al, 2008; Sekhabira et al, 2012). Analisis PCA menggunakan semua data (komposisi ukuran butir dan konsentrasi logam) untuk megindentifikasi pola asosiasi dan pendugaan sumber asal logam berat dalam kedua core sedimen. Sedangkan, analisis data arus dengan melihat arah dan kecepatan menggunakan Ferret.

1. Penentuan konsentrasi logam berat

(25)

M =C x V x DB

dimana: M adalah konsentrasi logam berat dalam sampel (mg/kg); C adalah konsentrasi yang diperoleh dari kurva kalibrasi (ppm); V adalah volume larutan sampel (ml); D adalah faktor pengenceran; dan B adalah bobot sampel (gr).

2. Enrichment Factor (EF)

Analisis EF digunakan untuk menggambarkan seberapa besar intensitas dan tingkat kontaminasi logam berat dalam sedimen, dan apakah kebanyakan berasal dari aktivitas antropogenik atau alamiah. Metode EF menormalisasikan data hasil pengukuran konsentrasi logam berat pada sedimen dengan reference sampel. Konsentrasi logam dinormalisasikan untuk menghilangkan pengaruh karateristik sedimen. Elemen referensi adalah elemen yang dicirikan dengan rendahnya variabilitas di alam. Elemen yang umum digunakan sebagai elemen referensi adalah Sc, Mn, Ti, Al, dan Fe (Nowrouzi and Pourkhabbaz, 2014; Bastami et al, 2012). Pada penelitian ini, normalisasi data logam berat dilakukan dengan menggunakan logam Besi (Fe) sebagai elemen referensi, mengacu pada Mediolla

et al (2008); Balachandran et al (2005). Fe dipilih karena merupakan salah satu

logam utama dalam fase sorben untuk logam berat, dan Fe merupakan elemen konservatif (tracer) dari logam alami-penghubung untuk sedimen coastal dan sungai (Schiff & Weisberg, 1999; Turner & Milward, 2000). Faktor pengayaan dalam sampel dan (M/Fe) adalah rasio konsentrasi alami logam berat x dan logam Fe (background value). Nilai background yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada nilai alami rata-rata yang ada dalam lapisan kerak bumi (Taylor, 1964).

Zhang dan Liu (2002) mengemukakan penggunaan nilai EF = 1.5 sebagai batas pendugaan. Nilai EF dalam kisaran 0.5-1.5 mengindikasikan semua logam berat berasal dari materi crust (kerak) atau proses alami pelapukan (weathering). Sebaliknya, nilai EF lebih dari 1.5 mengindikasi bagian logam berat berasal dari materi antropogenik. Nilai EF mengindikasikan tingkatan pengayaan logam di lingkungan (Tabel 3).

Tabel 3 Pengayaan logam berat berdasarkan nilai Enrichment Factor

Nilai Kriteria

<1.5 Tidak ada pengayaan

1.5 - 2 Pengayaan minimal

2 - 5 Pengayaan sedang

5 - 20 Pengayaan cukup

20 – 40 Pengayaan sangat tinggi

(26)

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Hidro-Oseanografi Perairan Selat Karimata

Daerah penelitian merupakan bagian dari perairan Paparan Sunda yang termasuk kedalam perairan laut dangkal (<85 meter). Geologi dasar laut Jawa dan paparan Sunda dipengaruhi oleh perubahan muka/genang laut pada zaman Pleistosen (P3GL, 2002). Dari data yang diperoleh seperti terlihat pada gambar 2b menunjukan bahwa daerah penelitian mempunyai kedalaman berkisar antara 5-55 meter, dimana terdangkal pada stasiun 2 dan terdalam pada stasiun 1. Morfologi perubahan kedalaman mulai terjadi secara bergradasi dari wilayah pantai Pulau Kalimantan di timur dan Bangka-Belitung di barat dengan kedalaman berkisar 5-15 meter dan berangsur bertambah dalam menjauhi Pulau dengan kedalaman maksimum sedalam 50 meter. Morfologi parit yang memanjang utara-tengah sampai tenggara ini umumnya berasosiasi dengan pergerakan arus dari utara (Laut Cina Selatan) menuju Laut Jawa ataupun sebaliknya yang dominan pada perairan ini.

Perairan Selat Karimata merupakan perairan yang relatif dangkal sehingga sangat dipengaruhi oleh kondisi hidro-oseanografi (arus) (Susanto et al, 2013). Pola arus yang terjadi di Selat Karimata sangat dipengaruhi oleh sistem monsoon. Menurut Widyastuti et al (2010) dalam pemodelan arus di perairan Indonesia mengatakan bahwa cycle rata-rata yang memiliki arus kuat terjadi di Laut Maluku dan Selat Karimata dengan kecepatan berkisar antara 800-1200 cm/detik. Model sirkulasi arus rata-rata di perairan Selat Karimata selama satu tahun menunjukan pada periode musim barat, kecepatan arus maksimum terlihat terbentuk di daerah-daerah dengan geometri yang sempit, yaitu di selat-selat kecil disekitar Selat Karimata dan Selat Gaspar (Gambar 3a). Pada periode ini arus mengalir menuju arah Tenggara dari Laut Cina Selatan memasuki Selat Karimata dan ke arah tenggara menuju ke Laut Jawa. Menurut Fang et al (2012) diperkirakan pada periode musim barat terdapat sekitar 1.16 Sv volume transport yang terbawa dari Selat Karimata menuju Laut Jawa dan bergabung dengan Arus Lintas Indonesia (ITF). Pada periode musim Timur kecepatan arus rata-rata di Selat Karimata lebih rendah dibandingkan dengan pada periode musim Barat dengan pola arus bergerak dominan ke arah barat laut dari Laut Jawa memasuki Selat Karimata dan ke arah utara-barat laut dan utara-timur laut memasuki Laut Cina Selatan (Gambar 3b). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Fang et al (2009) bahwa pada periode musim timur, sirkulasi interocean terlihat dengan adanya pergerakan arus dari Selat Karimata yang bergerak kearah utara-timur laut.

(27)
(28)

Keluaran model INDESO selama satu tahun menunjukan kecepatan arus rata-rata pada stasiun 1 sekitar 0.2 m/detik. Pergerakan arus menuju selatan ditemukan sekitar akhir bulan Februari hingga awal bulan April yang sebenarnya telah memasuki musim peralihan I. Pergerakan arus meridional (v) ke arah selatan terlihat pada warna ungu tua yang menunjukan nilai negatif. Sedangkan, pergerakan arus menuju utara ditemukan lebih awal sebelum memasuki musim timur yaitu pada pertengahan bulan April hingga memasuki bulan Juni. Pergerakan arus meridional (v) ke arah utara terlihat pada warna merah tua yang menunjukan nilai positif (Gambar 4a).

Pada stasiun 2 kecepatan arus rata-rata hasil model INDESO sekitar 0.03 m/detik lebih rendah dari yang ditemukan pada stasiun 1. Hal ini diduga karena letak stasiun 2 yang lebih dekat dengan daratan dan berada pada gugusan kepulauan Karimata. Pergerakan arus menuju selatan ditemukan hampir mendominasi sepanjang tahun pada kedalaman di atas 6 meter. Sedangkan, pergerakan arus menuju utara ditemukan pada akhir bulan Februari hingga awal bulan April (Gambar 4b). Adanya perbedaan arah dan kecepatan arus yang terbentuk pada kedua lokasi diduga berpengaruh terhadap proses deposisi sedimen pada kedua lokasi penelitian. Perairan dengan kecepatan arus relatif kuat kurang mampu mengendapkan partikel relatif kecil dan sebaliknya, partikel dengan ukuran relatif besar seperti pasir akan mudah diendapkan.

(29)

Ukuran butir, bahan organik dan kadar air

Variasi ukuran butir dengan kedalaman pada 2 core sedimen dari Selat Karimata ditampilkan pada Gambar 5 dan 6, dimana menunjukan adanya perbedaan komposisi antara kedua core meskipun berada pada perairan yang sama. Umumnya, sedimen pada core St 1 lokasi yang jauh dari daratan (tengah selat), dicirikan dengan kondisi sedimen umumnya berwarna putih. Sedangkan, sedimen pada St 2 (dekat daratan) dicirikan dengan kondisi sedimen umumnya berwarna kecoklatan. Berdasarkan hasil fraksinasi, partikel berukuran >250 µm (medium sand) mendominasi sedimen St 1 dengan presentase lebih dari 60%, diikuti partikel 63-250 µm (fine sand) sekitar 20% dan partikel <63 µm (silt-clay) kurang dari 8%. Sementara, partikel >250 µm dan partikel 63-250 µm cukup dominan pada St 2 dengan presentase masing-masing lebih dari 40%, dan partikel <63 µm kurang dari 10%. Perbedaan dominasi ukuran butir sedimen mencirikan proses pengendapan atau pembentukan sedimen yang disebabkan oleh perbedaan kondisi hidro-oseanografi dan topografi.

(30)

periode musim barat hingga musim peralihan I dan dari arah selatan-tenggara menuju utara-barat laut pada periode musim timur hingga musim peralihan II. Kondisi perairan pada St 1 memiliki kedalaman kurang dari 50 meter dengan kecepatan arus yang relatif tinggi namun tidak stabil dimana ini berpengaruh terhadap settling velocity (kecepatan jatuh) partikel sedimen yang semakin berkurang. Arus mempunyai sifat yang mampu menyeleksi ukuran butir yang di pindahkannya dalam proses sedimentasi sehingga menyebabkan adanya variasi ukuran butir dalam suatu lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan material sedimen St 1 yang ditemukan umumnya didominasi partikel besar (>250 µm) yang mempunyai setlling velocity lebih cepat dan distribusinya merupakan perselingan antara fraksi fine sand dan silt-clay.

Gambar 5 Profil Distribusi Ukuran butir pada St 1: (A) >250 µm, (B) 63-250 µm, dan (C) <63 µm

(31)

besar. Indikasi ini dibuktikan dengan pola arus pada musim timur (Muson Tenggara) hingga peralihan II yang cenderung bergerak dari arah tenggara (Laut Jawa) menuju barat laut-utara (Gambar 3b). Namun, aliran rata-rata (mean flow)

di Selat Karimata lebih kuat/dominan pada periode musim barat hingga peralihan I sehingga kuat diduga transpor dan sumber sedimen pada stasiun 1 lebih banyak dibawa dan berasal dari arah utara. Ukuran butir sand biasanya terendapkan akibat kondisi oseanografi yang kuat karena fraksi silt-clay terendapkan relatif jauh dari sumber.

Pada St 2, distribusi antara kedua partikel berukuran >250 µm dan 63-250 µm pola distribusinya terlihat seragam dan ukuran butir <63 µm menunjukan presentase yang rendah dilapisan dalam dan tinggi di permukaan (Gambar 6).

Gambar 6 Profil Distribusi Ukuran butir pada St 2: (A) >250 µm, 63-250 µm , dan (C) <63 µm

(32)

daratan pantai barat Kalimantan, run off dan dari hasil lapukan batuan penyusun kepulauan Karimata atau terbawa oleh sistem arus dari Laut Cina Selatan yang tertahan oleh keberadaan pulau-pulau tersebut.

Kandungan kadar air (water content) sedimen pada kedua core ditampilkan pada Gambar 7. Presentase kandungan kadar air dalam penelitian ini dinyatakan berdasarkan presentase berat basah (wet basis). Kandungan kadar air pada kedua stasiun yakni, St 1 dan St 2 umumnya berada dibawah 50%. Pola distribusi kandungan kadar air dari core St 1 dan St 2, menunjukan kadar air tinggi umumnya di lapisan permukaan dan berkurang dengan bertambahnya kedalaman atau dapat dikatakan porositas sedimen pada pada kedua stasiun umumnya menurun dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini menggambarkan bahwa terjadi adanya pemadatan lapisan sedimen pada lapisan bawah oleh lapisan sedimen baru diatasnya yang mengakibatkan sedimen baru akan memberikan kompresi terhadap sedimen dibawahnya yang menyebabkan kadar air dalam sedimen dilapisan bawah berkurang dan cenderung bergerak ke lapisan permukan sedimen. Selain itu, variasi komposisi ukuran butiran partikel juga turut berpengaruh dimana seperti telah dijelaskan bahwa distribusi ukuran butiran sand ditemukan tinggi di lapisan dalam, sebaliknya ukuran butiran halus (silt-clay) tinggi pada lapisan permukaan. Diketahui umumnya fraksi pasir (sand) memiliki distribusi ukuran butir rata-rata terhadap ukuran butir cukup lebar, dengan demikian akan terdapat rongga diantara butir besar yang kemudian akan diisi ukuran butir yang lebih kecil lagi sehingga menyebabkan kandungan kadar air berkurang. Sebaliknya, ukuran butir halus memiliki distribusi ukuran butir rata-rata terhadap butir sempit sehingga lebih banyak menyimpan air menyebabkan kandungan kadar air dilapisan atas lebih tinggi. Nurwidyanto et al, (2006) menguji sampel berpasir menemukan bahwa ukuran butir dan porositas (kadar air) mempunyai hubungan yang berlawanan arah yaitu apabila nilai ukuran butiran naik maka nilai porositasnya akan turun.

Kandungan bahan organik dalam sedimen laut biasanya berasal dari lingkungan terestrial, laut dan sumber antropogenik (Zorana et al, 2008). Presentase bahan organik total St 1 dalam profil sedimen umumnya >20% dan St 2 presentasenya <20% (Gambar 7). Presentase Loss on ignition (LOI) mewakili presentase banyaknya bahan organik yang berbeda dalam sedimen. Pola distribusi bahan organik memperlihatkan pola dimana kandungan bahan organik umumnya ditemukan tinggi pada lapisan permukaan dan mulai menurun perlahan dengan bertambahnya lapisan kedalaman. Namun, pada St 1 terlihat adanya sedikit variasi nilai bahan organik total sepanjang profil sedimen. Hal ini diduga berkaitan dengan kandungan karbonat yang masih terdapat didalam sedimen. Dalam tahapan proses preparasi sampel untuk pemisahan ukuran butir tidak dilakukan pemisahan atau penghilangan kandungan karbonat yang terkandung didalam masing-masing ukuran butir sedimen sehingga pada saat dilakukan pembakaran

(combustion) dengan furnace mengakibatkan presentase (%) nilai LOI bahan

(33)

Sementara, fraksi silt-clay (partikel berukuran <63 µm) atau tergolong ukuran butir halus akan mengakumulasi bahan organik jauh lebih besar dan mengakibatkan kandungan bahan organik tinggi dimana hal ini berkaitan dengan fraksi halus yang memiliki luas permukaan besar. Menurut Maslukah (2013) semakin halus sedimen, kemampuan dalam mengakumulasi bahan organik akan semakin besar, dimana kandungan bahan organik pada umumnya akan tinggi pada sedimen lumpur (campuran lempung dan lanau). Keberadaan bahan organik umumnya memiliki korelasi positif dengan peningkatan nilai konsentrasi logam berat dalam sedimen walaupun bahan organik bukan merupakan faktor utama yang mengatur/berperan dalam menentukan konsentrasi logam berat dalam sedimen. Logam berat mempunyai sifat mudah terikat pada bahan organik yang kemudian mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen (Razak dan Rochyatun, 2007).

Gambar 7 Profil Distribusi Kadar air dan Bahan organik

Konsentrasi dan Distribusi Logam Berat

Kisaran konsentrasi yang bervariasi dari masing-masing logam dalam 2 core sedimen di Selat Karimata mengindikasikan adanya pengaruh yang berbeda dari setiap fraksi ukuran butir sedimen dalam mengikat dan mengakumulasi logam. Konsentrasi logam berat (Cu, Pb, Ni, Zn, As dan Fe) ditemukan tinggi dalam fraksi halus (partikel ukuran <63 µm) dimana nilainya 1 hingga 2 kali lebih tinggi dibandingkan pada kedua fraksi sand (>250 µm dan 63-250 µm). Tingginya konsentrasi dalam fraksi halus umumnya karena memiliki rasio luas permukaan

(surface area) yang besar, kaya kandungan bahan organik, dan Fe/Mn/Al oksida

(34)

permukaan (surface area) partikel ukuran sand yaitu sebesar 10 hingga 100 cm2/gram sedangkan partikel ukuran clay/silt memiliki luas permukaan 100 hingga 1000 cm2/gram. Sementara, rendahnya konsentrasi logam berat dalam fraksi sand diduga karena tingginya mineral detrital yang berasal dari proses pelapukan batuan (weathering), terutama mineral quartz dan feldspar. Namun ada fenomena yang ditemukan pada St B3, dimana menunjukan pola distribusi konsentrasi logam tidak meningkat dengan menurunnya ukuran butiran. Pada stasiun ini konsentrasi dari logam As dan Fe ditemukan meningkat pada ukuran butir 63-250 µm. Peningkatan konsentrasi pada fraksi pasir di stasiun ini diduga berkaitan dengan karateristik geokimia dari kedua logam ini untuk berikatan dengan fraksi karbonat yang tinggi dalam fraksi pasir dan juga karena masukan dari kegiatan antropogenik dari daratan dan lautan. Partikel yang lebih besar akan lebih lama terendapkan di daerah dangkal yang beroksigen dan mungkin memiliki banyak waktu untuk mengembangkan lapisan oksida sehingga mampu menyerap lebih banyak logam dibandingkan partikel kecil. Kehadiran mineral berat atau fraksi kasar dari pertambangan dan limbah industri juga meningkatkan konsentrasi logam dalam partikel pasir.

(35)

sebagai sumber utama Pb pada stasiun ini. Sarkar et al (2014); Dawson et al

(1998) dan Ramos et al (1999) menemukan logam Pb umumnya berikatan dengan fraksi Fe-Mn oksida karena kemampuannya sebagai scavenger Pb dari kolom air. Ditambahkan, El-Sayed El-Gohary et al, 2012 mengatakan keberadaan logam Pb dalam sedimen biasanya berasosiasi dengan dua mineral, satu dengan mineral clay dan lainnya dengan mineral authigenic.

Gambar 8 Profil Distribusi logam Pb pada St 1 (kiri) dan St 2 (kanan) Logam Cu pada St 1 dan St 2 (Gambar 9) memperlihatkan karateristik distribusi logam akan meningkat dengan semakin kecilnya ukuran partikel. Kondisi ini mencerminkan bahwa peningkatan konsentrasi Cu sangat efektif pada partikel berukuran halus. Pada core St 1 kedalaman 28-17 cm, konsentrasi logam Cu menunjukan adanya variasi dengan peningkatan konsentrasi untuk partikel ukuran <63 µm, sebaliknya partikel ukuran >250 µm dan 63-250 µm menunjukan tidak adanya variasi dengan pola yang cenderung stabil dan seragam. Kedalaman 15-7 cm, konsentrasi Pb menunjukan adanya peningkatan dalam masing-masing ukuran butiran dengan variasi yang kecil khususnya untuk partikel ukuran 63-250 µm. Selanjutnya, pada kedalaman 6-0 cm menunjukan peningkatan konsentrasi yang signifikan dalam masing-masing partikel butiran, khususnya pada kedalaman 4 cm terlihat konsentrasi meningkat 2 kali lebih tinggi dari konsentrasi di sepanjang core. Kemudian diatas kedalaman 4 cm hingga permukaan konsentrasi terlihat kembali menurun. Sementara pada core St 2, konsentrasi Cu pada partikel berukuran <63 µm menunjukan nilai konsentrasi dua kali lebih tinggi dari partikel berukuran 63-250 µm dan >250 µm. Pola distribusi antara partikel <63 µm dan 63-250 µm menunjukan pola yang hampir sama. Pada kedalaman 5-3 cm, konsentrasi cenderung bervariasi dengan peningkatan konsentrasi Cu pada partikel berukuran <63 µm dan 63-250 µm dan sebaliknya penurunan konsentrasi

(36)

pada partikel berukuran >250 µm. Selanjutnya, kedalaman 2-0 cm, konsentrasi logam Cu meningkat namun dengan variasi yang kecil (kedalaman 2 cm) pada partikel berukuran <63 µm dan 63-250 µm dan partikel berukuran >250 µm yang cenderung tidak menunjukan adanya variasi konsentrasi. Secara umum, kondisi untuk core St B3 dan St 9 menunjukan logam Cu terakumulasi tinggi pada partikel <63 µm. Hal ini diduga karena sifat geokimia Cu yang cenderung untuk berikatan dengan fraksi residual dan fraksi organik dimana logam Cu akan membentuk ikatan yang kuat dengan mineral clay dan bahan organik yang tinggi dalam fraksi silt-clay. Menurut Liu et al (2001) dan Sahara, (2009) logam Cu dapat dengan mudah berikatan dengan bahan organik yang menyebabkan konsentrasi Cu tinggi pada partikel halus karena partikel sedimen halus memiliki luas permukaan yang besar (surface area) dengan kerapatan ion yang lebih stabil

(surface charge) untuk mengikat logam. Ditambahkan Callender, (2010) dalam

siklus sedimentasi, logam Cu biasa berasosiasi dengan mineral clay, khususnya yang kaya dalam pengikatan karbon organik dan mangan oksida yang tinggi dalam fraksi silt-clay. Tingginya Cu dalam perikatan dengan fraksi residual dan organik merupakan indikasi Cu dalam sedimen kurang mobile dibandingkan logam Pb.

Gambar 9 Profil Distribusi logam Cu pada St 1 (kiri) dan St 2 (kanan) Logam Zn menunjukan pola distribusi umumnya seragam di sepanjang core. Konsentrasi Zn terlihat meningkat dengan semakin kecil ukuran butiran. Profil distribusi Zn pada core St 1, kedalaman 28-17 cm dan 15-7 cm sama-sama memperlihatkan pola distribusi sama seperti yang telah dijelaskan pada logam Cu (Gambar 10) hanya pada kedalaman 15 cm dijumpai ada sedikit peningkatan konsentrasi dari partikel berukuran 63-250 µm. Kemudian menuju permukaan, kedalaman 6-0 cm juga menunjukan pola peningkatan konsentrasi Zn yang sama dengan Cu. Pada kedalaman ini konsentrasi tertinggi dalam core ditemukan pada

(37)

partikel berukuran <63 µm (kedalaman 4 cm). Sementara, core St 2 juga memiliki karateristik dimana konsentrasi meningkat dengan semakin kecilnya ukuran butiran dengan nilai konsentrasi pada partikel halus (<63 µm) dua kali lebih tinggi dari partikel kasar (>63 µm). Pola distribusi Zn dalam core St 2 menunjukan konsentrasi umumnya tinggi di permukaan dan menurun dengan bertambahnya kedalaman. Pada kedalaman 5-3 cm ditemukan konsentrasi Zn mengalami penurunan namun dengan variasi yang kecil. Selanjutnya, kedalaman 2-0 cm konsentrasi meningkat secara signifikan untuk partikel berukuran >250 µm dan <63 µm. Karateristik logam Zn dalam core St B3 dan St 9 memperlihatkan kondisi yang serupa dengan logam Pb dan Cu dimana konsentrasi logam Zn meningkat pada ukuran butiran sedimen yang paling halus akan tetapi cenderung karakteristik geokimia logam Zn serupa dengan logam Cu. Hal ini diduga karena karakter/sifat geokimia logam Zn akan lebih dominan berikatan dan membentuk ikatan kompleks pada fase residual dimana logam Zn akan berikatan dengan mineral clay (aluminium) dan Fe-Mn oksida yang umumnya tinggi dalam partikel butir halus. Zn terlarut (Zn2+) dalam kolom air akan di adsorpsi oleh padatan tersuspensi dan membentuk kompleks dengan materi partikulat organik dan inorganik pada saat diendapkan. Selanjutnya, logam Zn yang telah terendapkan dalam sedimen membentuk spesiasi berikatan dengan Fe-Mn dibawah kondisi oksida yang bersifat stabil. Zn utamanya berasosiasi dengan Fe-Mn oksida. Besi oksida mengadsorp jumlah besar Zn dan dan oksida berperan menyimpan Zn struktur lattice (Sarkar et al, 2014; Banerjee, 2003).

Gambar 10 Profil Distribusi logam Zn pada St 1 (kiri) dan St 2 (kanan) Distribusi logam Ni juga menunjukan konsentrasi dalam kedua core umumnya ditemukan tinggi pada partikel berukuran halus (Gambar 11). Profil distribusi Ni dalam core St 1 menunjukan pada kedalaman 28-17 cm konsentrasi cenderung stabil dengan hanya mengalami sedikit perubahan khususnya yang

(38)

terlihat pada kedalaman 28-23 cm untuk ketiga ukuran butiran dengan adanya sedikit kenaikan konsentrasi. Kedalaman 15-7 cm konsentrasi Ni mengalami peningkatan pada masing-masing ukuran butiran dengan partikel berukuran <63 µm mengalami kenaikan konsentrasi yang cukup signifikan (kedalaman 11 cm). Selanjutnya, kedalaman 6-0 cm konsentrasi Ni menunjukan adanya variasi pada masing-masing ukuran partikel. Sementara pada core St 2, kedalaman 5-3 cm konsentrasi Ni mengalami penurunan pada masing-masing ukuran butiran. Pada kedalaman 2-0 cm konsentrasi mengalami peningkatan khususnya pada partikel <63 µm. Tingginya konsentrasi logam Ni pada St 1 dan St 2 dalam fraksi halus (lanau dan lempung) diduga berhubungan dengan komposisi kimia yang terdapat dalam fraksi halus. Karakteristik geokimia Ni yaitu cenderung berasosiasi dengan dengan Fe-Mn oksida dan mineral clay. Logam Ni bebas (Ni2+) ketika masuk ke perairan akan di adsorpsi oleh partikel tersuspensi dan membentuk ikatan dengan materi partikulat organik dan inorganik dimana kemudian akan ditransport dan diendapkan dalam sedimen. Selanjutnya, logam Ni dalam sedimen membentuk spesiasi berikatan dengan Fe-Mn oksida. Namun, logam Ni dalam sedimen umumnya ditemukan dalam membentuk ikatan yang kuat dengan struktur Kristal mineral utama/mineral clay (Alumunium dan Silikat) dalam sedimen. Sehingga, biasanya konsentrasi logam Ni digunakan dalam menggambarkan kondisi geologi alami suatu area.

Gambar 11 Profil Distribusi logam Ni pada St 1 (kiri) dan St 2 (kanan) Distribusi logam As menunjukan pola yang berbeda antara kedua core, dimana pada core St 1 konsentrasi As ditemukan tinggi dalam partikel berukuran 63-250 µm, sebaliknya pada core St 9 konsentrasi As ditemukan tinggi dalam partikel berukuran <63 mm (Gambar 12). Profil distribusi vertikal As dalam core St 1, pada kedalaman 28-17 cm umumnya dicirikan dengan konsentrasi yang tinggi pada masing-masing ukuran partikel. Kedalaman 15-7 cm konsentrasi As

(39)

mengalami perubahan dengan adanya penurunan konsentrasi khususnya pada partikel 63-250 µm dan partikel >250 µm, sedangkan partikel <63 µm konsentrasi cenderung stabil dengan tidak mengalami perubahan. Dan pada kedalaman 6-0 cm, konsentrasi mengalami sedikit peningkatan pada masing-masing ukuran butiran. Sementara, pada core St 2 di kedalaman 5-3 cm konsentrasi As terlihat bervariasi antar ukuran butiran, dimana pada partikel <63 µm konsentrasi cenderung mengalami penurunan sebaliknya pada partikel >250 µm dan partikel 63-250 µm konsentrasi cenderung mengalami peningkatan konsentrasi. Kedalaman 2-0 cm konsentrasi terlihat sedikit menurun pada masing-masing ukuran partikel. Perbedaan antara konsentrasi logam As pada kedua ukuran partikel dalam kedua stasiun diduga karena sifat geokimia logam As pada masing-masing stasiun yang berbeda. Pada St 1 keberadaan dan distribusi logam As sangat dipengaruhi oleh keberadaan Fe-hidroksida yang berada dalam masing-masing ukuran butiran sedimen karena logam As lebih banyak terikat pada fase reducible. Sanusi (2006) proses adsorpsi dan desorpsi logam As oleh padatan tersuspensi/sedimen berkaitan dengan kadar As dalam sedimen dan dipengaruhi oleh terjadinya reduksi Fe3+ menjadi Fe2+, selain itu As akan bereaksi membentuk ikatan kompleks dengan Ba, Cr, dan Fe membentuk endapan metal-arsenat. Sementara, pada St 2 logam As lebih dipengaruhi keberadaan bahan organik, terutama asam humus (humic acid) karena logam As juga berasosiasi pada fase residual. Logam As terlarut yang masuk ke perairan diduga terperangkap dalam sedimen berukuran halus yang tinggi bahan organik mengakibatkan konsentrasi As pada partikel <63 µm di St 2 ditemukan tinggi.

Gambar 12 Profil Distribusi logam As pada St 1 (kiri) dan St 2 (kanan) Distribusi Fe menunjukan karateristik distribusi yang serupa dengan logam As yang terdapat pada kedua core (Gambar 13). Profil distribusi vertikal Fe dalam core St 1, sama-sama memperlihatkan pola yang serupa seperti yang diperlihatkan

(40)

dalam distribusi logam As sebelumnya, dimana konsentrasi tertinggi ditemukan pada kedalaman 28-17 cm dan menuju permukaan kedalaman 15-7 cm, konsentrasi cenderung mulai menurun. Pada kedalaman 6-0 cm, konsentrasi Fe tidak mengalami banyak variasi dan cenderung stabil, hanya pada partikel berukuran >250 µm (kedalaman 4 cm) ditemukan konsentrasi terendah disepanjang core. Pada St 1 penurunan konsentrasi Fe diikuti dengan semakin kecilnya ukuran partikel butiran. Sementara pada core St 2, kedalaman 5-3 cm ditandai dengan variasi antara partikel ukuran butiran dimana pada partikel <63 µm konsentrasi cenderung tidak mengalami perubahan sebaliknya, pada partikel >250 µm dan partikel 63-250 µm konsentrasi cenderung mengalami peningkatan konsentrasi. Kedalaman 2-0 cm konsentrasi pada msing-masing partikel menunjukan sedikit penurunan. Adanya perbedaan konsentrasi tertinggi logam Fe antara kedua stasiun yaitu St 1 dan St 2 menggambarkan bahwa logam Fe cenderung lebih dipengaruhi oleh karateristik alami geologi karena logam Fe sendiri merupakan logam yang memiliki konsentrasi cukup melimpah di alam. Sementara, tingginya konsentrasi logam Fe dalam fraksi pasir sangat halus St 1 diduga disebabkan oleh ion Fe yang dapat disubsitusi oleh ion Ca2+ dalam Kristal mineral dari kalsium karbonat (kalsit) membentuk FeCO3 yang hadir sekitar 40%

dalam fraksi pasir (Ujevic, 2000). Sementara, tingginya konsentrasi logam Fe dalam fraksi lempung dan lanau pada St 2 diduga karena Fe berasosiasi dengan bahan organik dalam sedimen yang dipengaruhi oleh proses reduksi-oksidasi yang menghasilkan produk senyawa kimia (spesiasi) yang berbeda selain produk solidifikasi. Fe dan Mn merupakan beberapa elemen yang mempunyai konsentrasi melimpah dalam kerak bumi (earth crust) dan merupakan elemen yang sensitif dengan proses redoks karena dapat kembali terlarut dibawah kondisi reduksi (Ujevic et al, 2000; Kruopiene, 2007). Sementara, kehadiran Fe dalam sedimen laut umumnya sebagai oksida atau hidroksida, dimana mempunyai kapasitas adsorpsi yang besar untuk logam berat (Krumgalz and Fainsthein, 1991).

Secara umum, profil distribusi logam berat pada masing-masing ukuran butir yang terdapat dalam sedimen dari dua core Selat Karimata memperlihatkan pola dimana konsentrasi tertinggi dengan variasi perubahan konsentrasi yang signifikan dari logam Cu, Zn, dan Ni umumnya ditemukan pada lapisan kedalaman diatas 10 cm (khususnya core St B3). Belluci et al (2003) dan Bertolotto et al (2003) menyatakan penelitian mengenai lingkungan geokimia melaporkan konsentrasi logam berat tertinggi terdapat pada lapisan permukaan dan kemudian akan menurun dengan bertambahnya kedalaman. Profil vertikal logam berat yang tinggi di lapisan permukaan sedimen adalah tipe proses muatan

(loading) sedimen yang berasal dari area disekitar (Ujevic et al, 2000).

(41)

surface area sedimen, kandungan bahan organik, pengaruh Eh dan pH dan sebagainya (Forstner and William, 1979; Zorana et al, 2008).

Gambar 13 Profil Distribusi logam Fe pada St (kiri) dan St 2 (kanan)

Intensitas dan Tingkat Kontaminasi Logam

Perbandingan konsentrasi logam dalam sedimen dengan nilai referensi umumnya digunakan untuk pendugaan faktor pengayaan (Enrichment Factor) (Tuna et al, 2007). Faktor pengayaan digunakan untuk membedakan (diferensiasi) sumber logam: sumber alami (natural weathering) dan dari aktivitas manusia (antropogenik) (Praveena et al, 2010; Zahra et al, 2014). Faktor pengayaan juga digunakan dalam menentukan seberapa besar suatu elemen mengkontaminasi suatu daerah atau lokasi (Sutherland, 2000; Yunus et al, 2010). Metode dalam menentukan EF, yaitu membandingkan konsentrasi logam yang diteliti dengan konsentrasi alamiah pada daerah yang sama atau menggunakan nilai dari daerah lain yang belum terpolusi (reference value) dan dinormalisasi dengan elemen Fe. Nilai EF < 1.5 menunjukan tidak terjadi pengayaan yang disebabkan oleh sumber alamiah dari elemen tersebut. Sedangkan, EF > 1.5 menunjukan adanya pengayaan dan lokasi tersebut sudah terkontaminasi dan kemungkinan berasal dari sumber antropogenik (Zhang et al, 2007).

(42)

menunjukan pola distribusi yang relatif sama dimana umumnya nilai EF tertinggi ditemukan berada di lapisan permukaan. Hal ini mengindikasikan bahwa sedimen pada lapisan permukaan umumnya dipengaruhi oleh masukan antropogenik.

Berdasarkan profil kedalaman (vertikal), secara umum nilai EF pada masing-masing partikel ukuran butiran sedimen memperlihatkan logam As secara signifikan mengalami pengayaan yang sangat tinggi (20-40), diikuti logam Pb mengalami pengayaan sedang (2-5), logam Cu dan Zn pengayaan minimal (1.5-2) dan Ni tidak mengalami pengayaan (<1.5). Kondisi ini mengindikasikan bahwa sedimen pada kedua core ini cenderung telah mengalami adanya pengayaan. Menurut Sutherland (2000) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai EF maka kontribusi sumber antropogenik juga semakin meningkat. Sedangkan, Zhang et al

(2007) mengatakan nilai EF dalam kisaran 0.5 hingga 1.5 mengindikasikan bahwa semua logam cenderung berasal dari materi crust (kerak) atau hasil alami pelapukan (weathering).

(43)

Gambar 14 Profil nilai EF Pb: St 1 (kiri) dan St 2 (kanan). Garis putus-putus merupakan batas pendugaan faktor pengayaan (EF = 1.5)

(44)

Gambar 15 Profil nilai EF Cu: St 1 (kiri) dan St 2 (kanan). Garis putus-putus merupakan batas pendugaan faktor pengayaan (EF = 1.5)

Nilai EF logam Zn pada St 1 dan St 2 ditemukan tinggi pada partikel berukuran <63 µm. Nilai EF logam Zn pada St 1 (Gambar 16) secara umum menunjukan ukuran butir <63 µm mengalami pengayaan (EF >1.5) sepanjang core. Pada kedalaman 28-17 cm, nilai EF logam Zn cenderung tidak mengalami banyak perubahan. Kedalaman 15-7 cm, nilai EF logam Zn menunjukan adanya kecenderungan peningkatan pada masing-masing ukuran butir sepanjang core. Dan pada kedalaman 6-0 cm menunjukan peningkatan dengan variasi nilai EF >1.5 yang ditemukan pada ukuran butir >250 µm dan 63-250 µm. Pengayaan logam Zn yang ditemukan hanya pada ukuran butir <63 µm sepanjang core dan pada lapisan permukan untuk ukuran butir 63-250 µm merupakan indikasi bahwa adanya input/masukan logam Zn yang berasal dari wilayah sekitar ataupun wilayah yang jauh yang terus-menerus mengalami peningkatan. Sementara pada St 2 (Gambar 16), nilai EF logam Zn secara umum menunjukan tidak adanya pengayaan (EF <1.5) dalam sedimen. Pada kedalaman 5-3 cm, nilai EF logam Zn menunjukan tidak adanya perubahan/variasi pada masing-masing ukuran butir. Kedalaman 2-0 cm menunjukan adanya peningkatan nilai EF logam Zn, khususnya pada ukuran butir >250 µm dan <63 µm.

(45)

Gambar 16 Profil nilai EF Zn: St 1 (kiri) dan St 2 (kanan). Garis putus-putus merupakan batas pendugaan faktor pengayaan (EF = 1.5)

Nilai EF untuk logam Ni pada St 1 dan St 2 umumnya memperlihatkan intensitas yang yang sangat rendah dan menunjukan umumnya tidak adanya pengayaan (EF <1.5). Nilai EF logam Ni pada St 1 (Gambar 17), kedalaman 28-17 cm menunjukan tidak ditemukan adanya perubahan dengan nilai EF cenderung konstan. Lapisan kedalaman 15-7 cm menunjukan adanya peningkatan nilai EF pada masing-masing ukuran butir sepanjang core. Kedalaman 6-0 cm ditemukan variasi nilai EF, khususnya pada ukuran butir >250 µm dan 63-250 µm. Sementara, ukuran butir <63 µm cenderung tidak menunjukan adanya variasi nilai EF. Pada St 2 (Gambar 17), nilai EF logam Ni untuk masing-masing ukuran butir sepanjang core umumnya tidak menunjukan adanya variasi nilai EF dan cenderung memiliki profil seragam. Kondisi ini merupakan indikasi logam Ni belum mengontaminasi St 1 dan 2 dan sumber logam ini di perairan berasal dari sumber alamiah lebih dominan daripada pengaruh antropogenik.

Nilai EF untuk logam As pada St 1 dan St 2 umumnya memperlihatkan intensitas dan tingkat kontaminasi yang sangat tinggi diantara semua logam. Nilai EF logam As pada St 1 (Gambar 18) menunjukan secara umum memiliki pola cenderung seragam dan tidak ditemukan adanya variasi nilai EF yang besar sepanjang core untuk masing-masing ukuran butir. Sementara, nilai EF logam As pada St 2 (Gambar 18) juga menunjukan memiliki pola yang seragam dan tidak adanya variasi nilai sepanjang core pada masing-masing ukuran butir. Namun, pada stasiun ini nilai EF tertinggi ditemukan pada ukuran butir <63 µm. Kondisi ini merupakan indikasi kontaminasi logam As sangat ekstrim dan sumber di perairan Selat Karimata berasal dari sumber antropogenik lebih banyak daripada dari sumber alamiah. Akan tetapi hasil perhitungan nilai EF tidak sejalan dengan profil logam As dalam sedimen yang cenderung menunjukan tidak adanya variasi

(46)

yang ekstrim sepanjang core. Tingginya nilai EF logam As disebabkan karena terjadi anomali, yaitu konsentrasi As pada kerak bumi sebagai nilai referensi sangat rendah. Tingginya konsentrasi logam As yang ditemukan pada kedua core diduga memang berasal dari perairan itu sendiri, yaitu yang berasal dari air tanah dan lahan gambut yang terdapat didaratan sekitar.

Gambar 17 Profil nilai EF Ni: St 1 (kiri) dan St 2 (kanan). Garis putus-putus merupakan batas pendugaan faktor pengayaan (EF = 1.5)

Gambar 18 Profil nilai EF As: St 1 (kiri) dan St 2 (kanan). Garis putus-putus merupakan batas pendugaan faktor pengayaan (EF = 1.5)

(47)

Secara umum, berdasarkan hasil analisis nilai EF untuk semua logam pada masing-masing ukuran butir pada kedua stasiun memperlihatkan bahwa ukuran butir berperan penting dalam mempengaruhi pengayaan logam berat dalam sedimen. Pada St 1 yang terletak jauh dari daratan umumnya memiliki intensitas nilai pengayaan logam berat yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan St 2 yang terletak lebih dekat ke daratan yang memiliki intensitas pengayaan logam berat yang ditemukan rendah. Hal ini menunjukan bahwa utamanya sumber logam berat pada St 1 berasal dari sumber yang berbeda-beda dan tidak dominan dipengaruhi oleh wilayah terdekat atau sekitar. Lokasi St 1 yang tepat berada ditengah-tengah selat menjadikan St 1 menjadi tempat yang sangat terekspos oleh berbagai materi yang terbawa dari berbagai wilayah oleh sistem arus di Selat Karimata. Sementara, St 2 sumber utama logam berat lebih dominan dipengaruhi dari wilayah sekitar (khususnya wilayah Kalimantan Barat). Hal ini didukung dengan ditemukan adanya pengayaan hanya untuk logam berat tertentu (misalnya: As, Cu, dan Pb) yang kuat diduga berasal dari aktivitas/kegiatan disekitar lokasi St 2. Sedangkan, untuk profil distribusi nilai EF masing-masing logam berat menunjukan umumnya di lapisan 6-0 cm merupakan lapisan yang ditemukan adanya peningkatan dan variasi nilai EF yang cukup besar. Hal ini merupakan indikasi bahwa adanya input yang terus-menerus masuk kedalam perairan Selat Karimata baik yang berasal dari wilayah sekitar maupun dari wilayah lain yang terbawa oleh sistem arus di Selat ini.

Asosiasi dan Sumber Logam berat

Pendugaan asosiasi elemen dan sumber asal logam, dilakukan analisis korelasi dan analisis principal komponen (PCA) pada semua data konsentrasi logam pada masing-masing ukuran butir dalam dua profil sedimen. Analisis korelasi dan PCA menunjukan adanya korelasi positif antara logam dalam kedua core; hal ini mengindikasi sumber asal yang sama. Namun, beberapa logam juga menunjukan tidak adanya korelasi yang signifikan. Ada dua komponen utama dengan eigenvalue lebih dari satu untuk menjelaskan 72% dari total varian pada partikel berukuran >250 µm, 85% dari total varian pada partikel berukuran 63-250 µm dan 80% dari total varian pada partikel <63 µm untuk core St 1 (Lampiran 7). Sedangkan, St 2 faktor pertama terhitung 82.9% dari total varian pada partikel >250 µm, partikel 63-250 µm terhitung 89.2% dari total varian dan partikel <63 µm terhitung 75% dari total varian (Lampiran 7).

Gambar

Gambar 1 Skema Kerangka Pemikiran
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian. (a) Lokasi pengambilan sedimen core, (b) Peta
Tabel 3 Pengayaan logam berat berdasarkan nilai Enrichment Factor
Gambar 3 Pola Arus rata-rata di Perairan Selat Karimata (A) Periode Musim Barat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Angket yaitu sejumlah pertanyaan tertulis tentang hal ± hal yang diteliti yang bertujuan untuk memperoleh data dari responden yaitu pedagang kecil yang berdagang

Permasalahan dalam mengimpor bahan baku daging adalah terbatasnya negara yang diperbolehkan mengimpor (hanya Australia dan New Zealand) sehingga produk daging

Kebaya sebagai busana wanita termarginalkan pada berbagai acara formal yang memiliki nilai religi yaitu di berbagai upacara tradisional, seperti labuhan, suronan, ngalap

Faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya perdarahan berulang pada VE adalah jenis kelamin, usia, adanya asites, derajat varises, tingkat keparahan penyakit hati, dan riwayat

malayanum 1 terbukti sebagai sepesies M.malayanum yang sesuai DNA barcode menggunakan gen COI bisa diaplikasikan untuk menentukan spesies udang air tawar, terutama dari

Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal).

Karena untuk mempengaruhi pelanggan itu tidak mudah, maka langkah pertama yang dapat dilakukan adalah mengerti kebutuhan pelanggan, antara lain dengan menggunakan hasil riset