• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komponen Fisik Habitat Mentilin

Hasil identifikasi komponen fisik habitat mentilin (Cephalopachus bancanus bancanus) di empat lokasi penelitian dapat dilihat di Tabel 7 dan 8.

Tabel”7””Hasil identifikasi komponen fisik habitat mentilin (posisi, ketinggian,

Tabel”7””dan kemiringan habitat mentilin) Lokasi habitat mentilin Transek garis Posisi Ketinggian* (m dpl) Kemiringan* (%)

Titik awal Titik akhir

Zed S002°03'03.40" T105°57'31.12" S002°04'04.60" T105°57'10.47" 22-40 0-7,6 Kemuja S002°04'56.47" T105°58'53.17" S002°05'05.85" T105°57'49.30" 24-39 0-7,0 Paya Benua S002°06'22.77" T105°56'27.60" S002°07'27.06" T105°56'22.35" 22-46 0-7,7 Petaling S002°08'12.11" T105°57'03.78" S002°08'57.46" T105°56'17.54" 22-32 0-7,7

*Keterangan: analisis dariGoogle Earth Pro7.1.5.1557

Tabel”8””Hasil identifikasi komponen fisik habitat mentilin (suhu, kelembaban

Tabel”8””udara, serta jarak habitat mentilin dari permukiman, semak belukar, dan

Tabel”8””sungai terdekat) Lokasi habitat mentilin Suhu (°C) Kelembaban udara (%) Jarak dari permukiman terdekat* (km)

Jarak dari semak belukar terdekat* (km) Jarak dari sungai terdekat* (km) Zed 24,0-29,2 72,2-98 1,16 7,11 3,85 Kemuja 23,8-30,0 70,8-99 1,37 4,99 6,22 Paya Benua 23,8-29,6 74,6-98 2,38 0,72 5,65 Petaling 23,5-29,8 72,6-99 5,43 0,36 8,56

*Keterangan: analisis dariGoogle Earth Pro7.1.5.1557

Ketinggian Habitat Mentilin

Hasil penelitian (Tabel 7) menunjukkan habitat mentilin di Kabupaten Bangka berada pada dataran rendah dengan kisaran ketinggian 22-46 m dpl. Pernyataan tersebut sejalan dengan Wirdateti (2005) dalam penelitiannya yang menyatakan western tarsier (C. bancanus) merupakan spesies primata dataran rendah yang umum ditemukan di bawah ketinggian 150 m dpl. Adapun ketinggian tertinggi di Pulau Bangka berada di Bukit Maras (279 m dpt).

Kemiringan Habitat Mentilin

Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 7), diketahui kemiringan habitat mentilin di Kabupaten Bangka berada pada kisaran kemiringan 0-7,7%. Pernyataan tersebut sejalan dengan Qiptiyah dan Setiawan (2012) dalam penelitiannya yang menyatakan habitat tarsius berada pada kemiringan lahan yang bervariasi dari lokasi landai dengan kemiringan 4% hingga lokasi terjal dengan kemiringan 80%. Selain itu, Amnur (2010) dalam penelitiannya menyatakan habitat tarsius berada pada kemiringan rendah hingga sedang pada kisaran 0-25%.

Suhu dan Kelembaban Udara Habitat Mentilin

Suhu dan kelembaban udara habitat mentilin di Kabupaten Bangka berada pada kisaran 23,5-30°C dan 70,8-99% (Tabel 8). Identifikasi suhu dan kelembaban udara habitat mentilin di tiap lokasi penelitian dilakukan pada pagi, siang, sore, dan malam hari. Dari hasil identifikasi tersebut, diketahui pagi hari memiliki tingkat suhu terendah dan tingkat kelembaban udara tertinggi, sedangkan siang hari memiliki tingkat suhu tertinggi dan tingkat kelembaban udara terendah. Pernyataan tersebut sejalan dengan Qiptiyah dan Setiawan (2012), Krisnataliaet al.(2013), dan Sandegoet al.(2014) dalam penelitiannya.

Jarak Habitat Mentilin dari Permukiman, Semak Belukar, dan Sungai Terdekat

Hasil penelitian (Tabel 8) menunjukkan jarak habitat mentilin dengan permukiman terdekat di Desa Zed, Kemuja, Paya Benua, dan Petaling masing- masing menunjukkan jarak 1,16 km, 1,37 km, 2,38 km, dan 5,43 km. Untuk jarak habitat mentilin dengan semak belukar terdekat di Desa Zed, Kemuja, Paya Benua, dan Petaling masing-masing menunjukkan jarak 7,11 km, 4,99 km, 0,72 km, dan 0,36 km. Selain itu, untuk jarak habitat mentilin dengan sungai terdekat di Desa Zed, Kemuja, Paya Benua, dan Petaling masing-masing menunjukkan jarak 3,85 km, 6,22 km, 5,65 km, dan 8,56 km.

Identifikasi jarak habitat mentilin terhadap permukiman sangat penting dilakukan karena berdasarkan pernyataan Winarti (2011) yang menyatakan semakin dekat habitat suatu satwa dengan permukiman maka semakin besar kemungkinan mentilin untuk diburu dan ditangkap. Berdasarkan jarak habitat mentilin dengan permukiman terdekat (Tabel 8) maka habitat mentilin di Desa Zed

menjadi habitat yang paling berpeluang tinggi terkena perburuan dan penangkapan mentilin, sedangkan habitat mentilin di Desa Petaling menjadi habitat yang paling berpeluang rendah terkena perburuan dan penangkapan mentilin. Selain itu, identifikasi jarak habitat mentilin terhadap semak belukar sangat penting dilakukan karena didasarkan pada pernyataan Fogden (1974) yang menyatakan semak belukar merupakan salah satu kawasan yang disukai mentilin selain hutan sekunder. Kemungkinan besar penyebab semak belukar menjadi kawasan yang disukai mentilin adalah karena adanya kemudahan bagi mentilin dalam mendapatkan serangga sebagai pakan di kawasan tersebut, terutama serangga dari ordo Lepidoptera (ngengat) dan Orthoptera (jangkrik dan belalang). Berdasarkan jarak habitat mentilin dengan semak belukar terdekat (Tabel 8) maka habitat mentilin di Desa Zed menjadi habitat yang paling berpeluang kecil menemukan banyak mentilin, sedangkan habitat mentilin di Desa Petaling menjadi habitat yang paling berpeluang besar menemukan banyak mentilin.

Identifikasi jarak habitat mentilin terhadap sungai juga sangat penting dilakukan dikarenakan dapat memprediksi perilaku mentilin dalam memenuhi kebutuhan minumnya. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 8), diketahui jarak tiap habitat mentilin ke sungai berada dalam rentang jarak yang jauh, yaitu pada kisaran 3,85-8,56 km. Jarak tempuh mentilin menuju sungai yang jauh ini kemungkinan besar membuat mentilin lebih memilih memanfaatkan air yang menetes dari dedaunan, serta dari genangan air yang terdapat di pohon-pohon berlubang dan cekungan-cekungan tanah sekitar habitat. Pernyataan tersebut sejalan dengan Niemitz (1984) dan Amnur (2010) dalam penelitiannya yang menyatakan tarsius merupakan salah satu satwa yang tidak bergantung pada sungai dalam memenuhi kebutuhan minumnya.

Komponen Biotik Habitat Mentilin Spesifikasi dan Stratifikasi Habitat Mentilin

Spesifikasi dan stratifikasi habitat mentilin dapat ditentukan melalui pengamatan struktur dan komposisi vegetasi dengan analisis vegetasi. Analisis vegetasi di setiap lokasi penelitian dilakukan untuk mengetahui potensi setiap habitat dalam mendukung kebutuhan hidup mentilin. Hasil analisis vegetasi habitat mentilin di Desa Zed, Kemuja, Paya Benua, dan Petaling mendapatkan 33 spesies

vegetasi dari 22 famili dengan jumlah individu sebanyak 488. Jika dikategorikan berdasarkan pertumbuhan vegetasi maka vegetasi pohon memiliki 21 spesies vegetasi dari 16 famili dengan jumlah individu sebanyak 327, sedangkan vegetasi penutup lantai (semak, herba, dan rumput) memiliki 12 spesies vegetasi dari sembilan famili dengan jumlah individu sebanyak 161. Adapun jumlah famili, spesies dan individu vegetasi di empat habitat mentilin berdasarkan kategori pertumbuhan disajikan pada Gambar 12.

Gambar”12””Jumlah famili, spesies, dan individu vegetasi habitat mentilin Berdasarkan Gambar 12, diketahui jumlah famili, spesies, dan individu vegetasi pohon di tiap habitat mentilin lebih tinggi dibandingkan dengan vegetasi penutup lantai. Jumlah famili, spesies, dan individu vegetasi pohon paling banyak terdapat pada habitat mentilin di Desa Zed dan Kemuja, sedangkan jumlah famili,

12 10 7 8 6 6 5 3 0 5 10 15

Zed Kemuja Paya Benua Petaling

J u m la h f a m ili 12 12 10 10 8 8 7 5 0 5 10 15

Zed Kemuja Paya Benua Petaling

J u m la h s p e sie s 96 98 76 57 33 40 43 45 0 50 100 150

Zed Kemuja Paya Benua Petaling

J u m la h in d iv id u Habitat mentilin

spesies, dan individu vegetasi pohon paling sedikit terdapat pada habitat mentilin di Desa Petaling dan Paya Benua. Untuk vegetasi lantai, habitat mentilin di Desa Petaling dan Paya Benua memiliki jumlah famili dan spesies vegetasi yang paling sedikit namun memiliki jumlah individu vegetasi yang paling banyak, sedangkan untuk habitat mentilin di Desa Zed dan Kemuja memiliki jumlah famili dan spesies vegetasi yang paling banyak namun memiliki jumlah individu vegetasi yang paling sedikit.

Berdasarkan pengamatan di lapangan dan informasi dari masyarakat desa sekitar lokasi penelitian, diketahui habitat mentilin secara umum di Kabupaten Bangka merupakan hutan sekunder muda berupa kebun karet atauagroforestkaret berumur 10 tahun ke atas yang sudah tidak terurus pemiliknya (terlantar). Selain itu, mentilin diketahui tidak ditemukan di perkebunan kelapa sawit di seluruh lokasi penelitian. Adapun perkebunan kelapa sawit di seluruh lokasi penelitian tersebut merupakan perkebunan kelapa sawit yang masih terurus pemiliknya. Pernyataan tersebut sejalan dengan Yustian (2007) dalam penelitiannya yang menyatakan pelilin atau C. b. saltator di Pulau Belitung teridentifikasi menggunakan perkebunan lada dan karet terlantar sebagai habitat, sedangkan pelilin tidak pernah teridentifikasi menggunakan perkebunan kelapa sawit sebagai habitat. Pernyataan tersebut juga memperkuat pernyataan Fogden (1974) yang menyatakan C. b. borneanusdi Borneo lebih menyukai hutan sekunder, semak belukar, dan daerah terbuka dengan vegetasi yang tebal sebagai habitat daripada hutan primer dan mangrove. Adapun deskripsi habitat mentilin disajikan pada Tabel 9 dan Gambar 13.

Tabel”9””Deskripsi habitat mentilin

Lokasi habitat mentilin Deskripsi habitat mentilin

Zed Agroforestkaret (Hevea brasiliensis) berumur 10 tahun ke atas yang sudah tidak terurus pemiliknya (terlantar)

Kemuja Agroforestkaret (H. brasiliensis) berumur 10 tahun ke atas yang sudah tidak terurus pemiliknya (terlantar) + hutan bambu ater (Gigantochloa atter)

Paya Benua Agroforestkaret (H. brasiliensis) berumur 10 tahun ke atas yang sudah tidak terurus pemiliknya (terlantar)

Petaling Agroforestkaret (H. brasiliensis) berumur 10 tahun ke atas yang sudah tidak terurus pemiliknya (terlantar) + kebun lada atau sahang (Piper nigrum) yang tidak produktif lagi dan sudah tidak terurus pemiliknya (terlantar)

Gambar”13””Habitat mentilin di Desa Zed (a), Kemuja (b), Paya Benua (c), dan

Gambar”13””Petaling (d) (Foto: dokumentasi pribadi)

Berdasarkan indeks nilai penting (INP) (Tabel 10), secara umum karet (Hevea brasiliensis (Willd. ex A. Juss.) Müll. Arg.) memiliki dominansi atau kedudukan tertinggi di empat habitat mentilin, terkecuali pada fase pohon dan semai di Desa Kemuja yang masing-masing didominansi oleh bambu ater (Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz) dan seruk (Schima wallichii Choisy). Selain itu, untuk vegetasi lantai (semak, herba, dan rumput) secara umum didominansi oleh kedebik pasir (Clidemia hirta (L.) D. Don), terkecuali di Desa Petaling yang didominansi oleh rumput malela (Brachiaria mutica (Forssk.) Stapf). Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dan indeks kemerataan Pielou (E) (Tabel 11), ke empat habitat mentilin umumnya memiliki keanekaragaman spesies vegetasi yang bernilai sedang dan kemerataan spesies vegetasi yang tinggi. Rasnovi (2006) dalam penelitiannya menyatakan semakin dominan atau semakin besar INP H. brasiliensis maka kelimpahan dan kekayaan spesies tumbuhan lain cenderung akan semakin kecil dan akan berpengaruh pada keanekaragaman spesies diagroforest karet. Selain itu, Ludwig dan Reynolds (1988) menyatakan semakin

a

b

merata penyebaran individu antar spesies maka keseimbangan ekosistem akan makin meningkat.

Kedua pernyataan di atas (INP, H’, dan E) memperkuat eksistensi habitat mentilin berupa kebun karet atauagroforest karet berumur 10 tahun ke atas yang sudah tidak terurus pemiliknya (terlantar) di Kabupaten Bangka sebagai sebuah hutan sekunder. Menurut Beukema et al. (2007), suatuagroforest karet berumur minimal 8-10 tahun sudah dapat membentuk suatu vegetasi yang menyerupai hutan sekunder. Hal ini dikarenakan selama kurun waktu tersebut, karet sudah tumbuh besar bersama spesies tumbuhan lainnya yang tersedia maupun yang menyebar dari hutan terdekat.

Tabel”10””INP tertinggi vegetasi habitat mentilin Lokasi habitat mentilin Kategori pertumbuhan vegetasi Spesies KR (%) FR (%) DR (%) INP (%) Nama lokal Nama ilmiah

Zed Pohon Karet Hevea brasiliensis 171,43 160,00 136,52 167,95 Tiang Karet Hevea brasiliensis 165,63 133,33 118,28 117,24 Pancang Karet Hevea brasiliensis 135,48 118,75 - 154,23 Semai Mengkirai Trema orientalis 130,77 121,43 - 151,20 Seruk Schima wallichii 130,77 121,43 - 151,20 Penutup

Lantai

Kedebik pasir

Clidemia hirta 130,30 117,65 - 147,95

Kemuja Pohon Bambu

ater

Gigantochloa atter 144,44 128.57 196,91 169,92 Tiang Karet Hevea brasiliensis 181,25 166,67 140,21 188,13 Pancang Karet Hevea brasiliensis 136,00 115,38 - 151,38 Semai Seruk Schima wallichii 120,00 115,38 - 135,38 Penutup

Lantai

Kedebik pasir

Clidemia hirta 142,50 118,75 - 161,25 Paya Benua Pohon Karet Hevea brasiliensis 178,57 150,00 125,96 154,53 Tiang Karet Hevea brasiliensis 100,00 100,00 100,00 300,00 Pancang Karet Hevea brasiliensis 140,63 118,75 - 159,38 Semai Karet Hevea brasiliensis 126,67 125,00 - 151,67 Seruk Schima wallichii 126,67 125,00 - 151,67 Penutup

Lantai

Kedebik pasir

Clidemia hirta 132,56 117,65 - 150,21 Petaling Pohon Karet Hevea brasiliensis 100,00 100,00 100,00 300,00 Tiang Karet Hevea brasiliensis 100,00 100,00 100,00 300,00 Pancang Karet Hevea brasiliensis 136,00 117,65 - 153,65 Semai Karet Hevea brasiliensis 130,77 120,00 - 150,77 Penutup

Lantai

Rumput malela

Tabel”11””H’dan E vegetasi habitat mentilin Lokasi habitat mentilin Kategori pertumbuhan vegetasi Jumlah spesies Keanekaragaman spesies (H’) Kemerataan spesies (E)

Nilai Interpretasi Nilai Interpretasi

Zed Pohon 12 0,6860 Rendah 0,9896 Tinggi

Tiang 13 1,0902 Sedang 0,9924 Tinggi

Pancang 18 1,8849 Sedang 0,9064 Tinggi

Semai 15 1,5669 Sedang 0,9736 Tinggi

Penutup Lantai 18 1,9495 Sedang 0,9375 Tinggi

Kemuja Pohon 15 1,2445 Sedang 0,7732 Tinggi

Tiang 12 0,6605 Rendah 0,9529 Tinggi

Pancang 18 1,9232 Sedang 0,9249 Tinggi

Semai 18 2,0515 Sedang 0,9865 Tinggi

Penutup Lantai 18 1,8705 Sedang 0,8995 Tinggi Paya Benua Pohon 12 0,6927 Sedang 0,9993 Tinggi

Tiang 11 0,0000 Tidak ada 0,0000 Tidak ada

Pancang 18 1,9540 Sedang 0,9397 Tinggi

Semai 17 1,7874 Sedang 0,9185 Tinggi

Penutup Lantai 17 1,8571 Sedang 0,9544 Tinggi Petaling Pohon 11 0,0000 Tidak ada 0,0000 Tidak ada

Tiang 11 0,0000 Tidak ada 0,0000 Tidak ada

Pancang 10 2,1398 Sedang 0,9293 Tinggi

Semai 16 1,7207 Sedang 0,9603 Tinggi

Penutup Lantai 15 1,4217 Sedang 0,8834 Tinggi

Mentilin berdasarkan pengamatan di lapangan, umumnya memanfaatkan vegetasi pancang untuk berlokomosi dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari seperti mencari makan, bermain, dan bersosialisasi. Pernyataan tersebut sejalan dengan Yustian (2006) dalam penelitiannya yang menyatakan C. b. borneanus di Pulau Belitung menggunakan tumbuhan yang memiliki cabang dan ranting, serta permudaan pohon dengan diameter 1-4 cm dengan tinggi 1-5 m dpt untuk melakukan pergerakan mencari makan, bermain, dan bersosialisasi. Selain itu, jika dikategorikan dalam strata, dapat diketahui strata tertinggi habitat mentilin di Kabupaten Bangka umumnya berada pada stratum C (pohon-pohon dengan ketinggian 4-20 m) yang berkombinasi dengan stratum D dan E. Adapun stratifikasi habitat mentilin disajikan pada Gambar 14.

Zed Kemuja

Paya Benua Petaling

Gambar”14””Diagram profil habitat mentilin Identifikasi Vegetasi Tidur Mentilin

Berdasarkan pengamatan di lapangan, mentilin diketahui memanfaatkan vegetasi tingkat pancang sebagai vegetasi tidur, disamping sebagai vegetasi untuk berlokomosi dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari (seperti mencari makan, bermain, dan bersosialisasi). Selain itu, walaupun empat habitat mentilin merupakan hutan sekunder berupa agroforest karet berumur 10 tahun ke atas, mentilin diketahui tidak memanfaatkan karet sebagai vegetasi tidur. Spesies vegetasi yang diketahui dimanfaatkan mentilin sebagai vegetasi tidur adalah seruk (Schima wallichii Choisy), mengkirai (Trema orientalis (L.) Blume), bua bulu (Ficus annulata Blume), dan bua tupai (F. aurata (Miq.) Miq.). Seruk dan mengkirai diketahui digunakan sebagai vegetasi tidur di empat habitat mentilin, sedangkan bua bulu dan bua tupai (Gambar 15) diketahui digunakan sebagai vegetasi tidur di habitat mentilin di Desa Paya Benua dan Petaling. Adapun pancang seruk, mengkirai, bua bulu, dan bua tupai diketahui memiliki tajuk lebat sehingga sesuai sebagai vegetasi tidur mentilin. MacKinnon dan MacKinnon (1980), Meijaard et al. (2006), dan Wirdateti dan Dahruddin (2006) menyatakan tarsius di hutan sekunder tidur pada siang hari pada vegetasi berdiameter sedang (4-8 cm)

yang berdaun lebat dan di ranting vertikal pada ketinggian 3-15 m dpt, serta jarang pada pohon yang berongga. Selain itu, tarsius diketahui sering menjadikan Ficus spp. sebagai vegetasi tidurnya, yang dinyatakan dalam penelitian Gursky (1998), Wirdateti dan Dahrudin (2006), dan Sandegoet al.(2014).

Gambar”15””Mentilin yang tidur di pancang bua tupai (Foto: dokumentasi pribadi) Selain seruk, mengkirai, bua bulu, dan bua tupai, terdapat juga spesies vegetasi lain yang berpotensi dimanfaatkan mentilin sebagai vegetasi tidur, yaitu bambu ater (Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz), mengkelik (Gynotroches axillaris Blume), leben (Vitex pinnata L.), simpur (Dillenia suffruticosa(Griff.) Martelli), mentenuk (Commersonia bartramia (L.) Merr.), dan bua lipan (Ficus fistulosa Reinw. Ex Blume). Bambu ater dinyatakan sebagai vegetasi tidur potensial untuk mentilin didasarkan pada Wirdateti dan Dahrudin (2008), Amnur (2010), dan Qiptiyah dan Setiawan (2012) dalam penelitiannya yang menyatakan tarsius menggunakan bagian bawah rumpun bambu yang rapat setinggi 2-3 m dpt sebagai tempat tidur sekaligus tempat berlindung (cover) dari serangan predator, seperti ular dan burung hantu. Selain itu, untuk mengkelik, simpur, mentenuk, dan bua lipan dinyatakan sebagai vegetasi tidur potensial untuk mentilin dikarenakan spesies vegetasi tersebut memiliki tajuk lebat seperti seruk, mengkirai, bua bulu, dan bua lipan. Selain itu, bua lipan dinyatakan sebagai vegetasi tidur potensial untuk mentilin dikarenakan merupakan spesies Ficus. Adapun spesies vegetasi tidur mentilin disajikan pada Tabel 12.

Tabel”12””Spesies vegetasi tidur mentilin Lokasi

habitat mentilin

Spesies Famili Kategori

pertumbuhan vegetasi

INP

Dokumen terkait