• Tidak ada hasil yang ditemukan

Habitat Dan Populasi Mentilin (Cephalopachus Bancanus Bancanus) Di Kabupaten Bangka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Habitat Dan Populasi Mentilin (Cephalopachus Bancanus Bancanus) Di Kabupaten Bangka"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

(

Cephalopachus bancanus bancanus

) DI KABUPATEN BANGKA,

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

RANDI SYAFUTRA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI, SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Habitat dan Populasi Mentilin (Cephalopachus bancanus bancanus) di Kabupaten Bangka”adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor,??September 2016

(4)

RANDI SYAFUTRA. Habitat dan Populasi Mentilin (Cephalopachus bancanus bancanus) di Kabupaten Bangka. Dibimbing oleh HADI SUKADI ALIKODRA, ENTANG ISKANDAR

Mentilin (Cephalopachus bancanus bancanus) adalah satwa bendera Pulau Bangka dan telah dilindungi oleh Pemerintah Indonesia. Selain itu,C. b. bancanus telah ditetapkan sebagai satwa terancam punah oleh IUCN. Penetapan status konservasi C. b. bancanus tersebut secara pasti didasarkan pada semakin berkurangnya habitat dan populasi C. b. bancanus. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi habitat, distribusi dan populasi, serta permasalahan pelestarian mentilin di Kabupaten Bangka. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2015 hingga Mei 2016 di empat desa di Kabupaten Bangka, yaitu Zed, Kemuja, Paya Benua, dan Petaling.

Hasil penelitian menunjukkan habitat mentilin secara umum di Kabupaten Bangka adalahagroforestkaret (Hevea brasiliensis) berumur 10 tahun ke atas yang sudah tidak terurus pemiliknya (terlantar). Spesies vegetasi yang dimanfaatkan mentilin sebagai vegetasi tidur adalah seruk (Schima wallichii), mengkirai (Trema orientalis), bua bulu (Ficus annulata), dan bua tupai (F. aurata). Habitat mentilin didominasi oleh serangga dari ordo Lepidoptera dan Orthoptera. Distribusi mentilin tertinggi terdapat di habitat mentilin di Desa Petaling dan terendah terdapat di habitat mentilin di Desa Zed. Distribusi mentilin dipengaruhi oleh jarak habitat mentilin terhadap permukiman dan semak belukar. Kepadatan populasi mentilin berkisar 2,22-17,78 ekor/km2. Estimasi populasi mentilin di Desa Zed, Kemuja, Paya Benua, dan Petaling masing-masing berjumlah 90 ekor, 296 ekor, 348 ekor, dan 1.078 ekor. Perburuan liar dan perdagangan, serta konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar dan permukiman menjadi permasalahan pelestarian mentilin yang terjadi di semua lokasi penelitian.

(5)

RANDI SYAFUTRA. Habitat and Population of Mentilin (Cephalopachus bancanus bancanus) in Bangka Regency. Supervised by HADI SUKADI ALIKODRA, ENTANG ISKANDAR

Mentilin (Cephalopachus bancanus bancanus) is a flagship subspecies of Bangka Island and has been protected by Indonesia Government. Besides, C. b.

bancanus has been determined as an endangered subspecies by IUCN.

Determination of conservation status ofC. b. bancanusis certainly based onC. b. bancanusdepopulation and its habitat loss. This research aimed to identify habitat of mentilin, to identify distribution and population of mentilin, and to identify conservation problems of mentilin. The research was conducted from December 2015 to May 2016 in four villages (i.e. Zed, Kemuja, Paya Benua, and Petaling) in Bangka Regency.

Result of the research showed that mentilin habitat generally was at abandoned rubber (Hevea brasiliensis) agroforests aged over 10 years. Vegetation species used as sleeping vegetation by mentilin was seruk (Schima wallichii), mengkirai (Trema orientalis), bua bulu (Ficus annulata), and bua tupai (F. aurata). The habitat was dominated by Lepidoptera and Orthoptera insects as mentilin potential foods. The highest distribution of mentilin was obtained in mentilin habitat in Petaling Village and the lowest distribution of mentilin was obtained in mentilin habitat in Zed Village. The distribution of mentilin was affected by distance of mentilin habitat to settlement and shrub. The population density of mentilin was 2.22-17.78 individuals/km2. The population estimate of mentilin in the village of Zed, Kemuja, Paya Benua, and Petaling was 90 individuals, 296 individuals, 348 individuals and 1,078 individuals. Illegal hunting and trade, and conversion of forests into large-scale oil palm plantations and settlements became major problems for habitat and population of mentilin in research locations.

(6)

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

(

Cephalopachus bancanus bancanus

) DI KABUPATEN BANGKA,

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

RANDI SYAFUTRA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Multidisiplin Mayor Primatologi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

bancanus) di Kabupaten Bangka

Nama : Randi Syafutra

NRP : P053140011

Program Studi : Primatologi

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, MS Ketua

Dr. Ir. Entang Iskandar, MSi Anggota

Diketahui,

Ketua Program Multidisiplin Mayor Primatologi

Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(10)
(11)

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas bantuan, berkat dan

rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis berjudul “Habitat dan

Populasi Mentilin (Cephalopachus bancanus bancanus) di Kabupaten Bangka”.

Penulis menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Hadi

Sukadi Alikodra, MS sebagai ketua komisi pembimbing dan kepada Dr. Ir. Entang

Iskandar, MSi sebagai anggota komisi pembimbing atas segala arahan, pengertian

dan dukungan sejak perencanaan awal penelitian sampai tesis dapat diselesaikan.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Prof. (Ris.) Dr. Ir. M. Bismark,

MS sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan tambahan wawasan

pengetahuan penulis.

Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. drh. Dondin

Sajuthi, MST, PhD sebagai Ketua Program Studi Primatologi IPB dan kepada Prof.

Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer atas bimbingan dan nasehat-nasehat yang diberikan

kepada penulis selama studi. Penghargaan dan terima kasih turut penulis sampaikan

kepada Dr.rer.nat. Indra Yustian, SSi, MSi dan Dr. Eddy Nurtjahya, MSc atas

bantuan yang diberikan kepada penulis selama melakukan penelitian. Terima kasih

disampaikan kepada mahasiswa/i Primatologi atas segala dukungan yang telah

diberikan, serta kepada Nurjayanti, SPt dan Mulyana atas bantuannya kepada

penulis selama studi.

Penulis turut menyampaikan terima kasih kepada KA Firdaus, SE sebagai

Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (KESBANGPOL) Kabupaten Bangka

atas ijin untuk melakukan penelitian di Kabupaten Bangka, serta kepada Kepala

Desa Zed, Kemuja, Paya Benua, dan Petaling atas ijin untuk melakukan penelitian

di hutan desanya. Selain itu, penulis sampaikan rasa terima kasih kepada

orang-orang yang terlibat langsung membantu penulis selama penelitian, terutama kepada

(12)

atas bantuan yang diberikan kepada penulis selama melakukan penelitian.

Ungkapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Ibu dan Ayah

penulis, Sumarti dan Mulkan atas pengertian, dukungan, dan motivasi yang tiada

henti-hentinya kepada penulis, serta kepada adik-adik penulis, Rian Pebriansyah

dan Rio Santri Kurniawan atas dukungan yang diberikan kepada penulis. Tidak lupa

penulis ucapkan terima kasih kepada Dita Amelia, SPd.I atas pengertian, dukungan,

dan motivasi telah dicurahkan kepada penulis. Ucapan terima kasih turut

disampaikan kepada seluruh rekan, kerabat yang telah membantu penulis baik

secara langsung maupun tidak langsung.

Terima kasih kepada DIKTI yang telah memberikan BeasiswaFresh Graduate

(FG) untuk studi penulis. Serta terima kasih kepadathe Rufford Foundation yang

telah memberikanSmall Grants for Nature Conservationuntuk penelitian penulis.

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi dunia pendidikan, penelitian dan

masyarakat secara umum, serta bagi Kabupaten Bangka dan Provinsi Kepulauan

Bangka Belitung pada khususnya.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bogor,??September 2016

(13)

i

2””Morfologi, Morfometri, dan Kelas Umur ...6

2””Lokomosi ...10

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...18

3””Dasar Hukum ...18

4””Jenis Data yang dikumpulkan dan Waktu Pelaksanaan...22

4””Metode Pengumpulan Data ...22

4””Analisis Data...29

HASIL DAN PEMBAHASAN...34

4””Komponen Fisik Habitat Mentilin...34

4””Komponen Biotik Habitat Mentilin...36

4””Distribusi dan Populasi Mentilin ...46

(14)

ii

1””Morfologi mentilin... 7

2””Ciri pembeda antar genusTarsiidae... 7

3””MorfometriCephalopachus bancanus... 9

4””Kelas umur mentilin... 9

5””Spesies tumbuhan sebagai pohon sarang atau tidur tarsius... 11

6””Masyarakat yang diwawancara ... 29

7””Hasil identifikasi komponen fisik habitat mentilin (posisi, ketinggian, 7””dan kemiringan habitat mentilin) ... 34

8””Hasil identifikasi komponen fisik habitat mentilin (suhu, kelembaban 8””udara, serta jarak habitat mentilin dari pemukiman, semak belukar, 8””dan sungai terdekat) ... 34

9””Deskripsi habitat mentilin ... 38

10!INP tertinggi vegetasi habitat mentilin... 40

11!H’ dan E vegetasi habitat mentilin... 41

12!Spesies vegetasi tidur mentilin... 44

13!Jumlah ordo, famili, spesies, dan individu serangga, serta 13!keanekaragaman spesies serangga di empat habitat mentilin ... 44

14!Distribusi mentilin di empat habitat ... 46

15!Jarak habitat mentilin terhadap permukiman dan semak belukar terdekat ... 47

16!Estimasi populasi mentilin ... 51

17!Permasalahan pelestarian mentilin ... 52

18!Solusi permasalahan pelestarian mentilin ... 56

DAFTAR GAMBAR 1””Skema kerangka pemikiran penelitian ... 4

2””Tiga genusTarsiidae... 5

3””Sketsa empat subspesiesCephalopachus bancanus... 8

4””Peta persebaran tarsius ... 12

5””Peta Kabupaten Bangka ... 18

6””Transek garis di tiap lokasi penelitian... 21

7””Desain transek jalur-garis berpetak... 24

8””Desain pemetaan pohon pada transek jalur untuk pembuatan 8””stratifikasi habitat mentilin... 25

9””Sketsa stratifikasi atau diagram profil habitat mentilin ... 26

10!Desain perangkap cahaya ... 27

11!Desain transek garis (line transect)... 28

12!Jumlah famili, spesies, dan individu vegetasi habitat mentilin ... 37

13!Habitat mentilin di Desa Zed, Kemuja, Paya Benua, dan Petaling... 39

14!Diagram profil habitat mentilin... 42

15!Mentilin yang tidur di pancang bua tupai ... 43

16!Dominansi ordo serangga di empat habitat mentilin... 45

17!Distribusi mentilin di empat habitat ... 46

18!Kepadatan populasi mentilin... 48 Halaman

(15)

iii

20!Kepadatan populasi mentilin berdasarkan waktu ...50

21!Kehilangan tutupan hutan di Pulau Bangka dan Belitung dari tahun 21!2001 sampai 2014 telah lebih dari 70%...53

22!Penambangan timah inkonvensional (TI) yang mengkonversi hutan 22!di sepanjang alur sungai Pedindang, Pulau Bangka ...54

23!Pelepasan mentilin hasil perburuan liar dan perdagangan (jual-beli) 23!ke habitatnya ...56

24!Pelaksanaan sosialisasi, pemasangan spanduk, serta pembaerian t-shirt 24!dan pamflet“SaveMentilin”ke masyarakat...57

DAFTAR LAMPIRAN 1””Vegetasi habitat mentilin di Desa Zed, Kabupaten Bangka ...65

2””Vegetasi habitat mentilin di Desa Kemuja, Kabupaten Bangka...66

3””Vegetasi habitat mentilin di Desa Paya Benua, Kabupaten Bangka ...67

4””Vegetasi habitat mentilin di Desa Petaling, Kabupaten Bangka ...68

5””Jumlah ordo, famili, spesies, dan individu, serta keanekaragaman 5””spesies serangga di empat habitat mentilin...69

6””Kumpulan serangga ukuran lebih dari 1 cm di empat habitat mentilin 6””dengan metode perangkap cahaya (light trap) ...70

7””Kepadatan populasi mentilin saat bulan gelap (new moon) ...71

8””Kepadatan populasi mentilin saat bulan terang (full moon) ...72

9””Peta penutupan lahan lokasi penelitian...73

10!Peta penutupan lahan Kabupaten Bangka...74

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tarsius (nama untuk anggota famili Tarsiidae) merupakan satwa primata

nokturnal yang memiliki mata merah besar dan bulat (Amnur 2010). Tarsius

diketahui hidup dan berkembang biak pada berbagai tipe habitat yang berbeda

struktur tegakannya, seperti hutan primer, hutan sekunder, belukar-belukar bambu

yang padat, hutan bakau, kebun dekat hutan, dan semak belukar (Napier dan Napier

1967; Fogden 1974; Niemitz 1979; MacKinnon dan MacKinnon 1980; Wolfheim

1983; Supriatna dan Wahyono 2000; Wright et al.2003; Macdonald 2006). Selain

itu, tarsius sejatinya merupakan satwa primata pemakan serangga (insektivor). Jenis

serangga yang umumnya dimakan oleh tarsius antara lain belalang, belalang

sembah atau cangcorang dengan berbagai ukuran, kupu-kupu, ngengat, semut, larva

kumbang kelapa, jangkrik, capung, rayap atau anai-anai, kecoa, dan laba-laba

(Whittenet al.2002; Niemitz 1979; MacKinnon dan MacKinnon 1980; Macdonald

2006). Saat ini familiTarsiidaememiliki tiga genus, yaituCephalopachus(western

tarsier), Carlito (Philippine tarsier), dan Tarsius (eastern tarsier) (Groves dan

Shekelle 2010). Genus Cephalopachussendiri hanya memiliki satu spesies, yaitu

C. bancanus dengan empat subspesies, yaitu C. b. bancanus,C. b. saltator,C. b.

natunensis, danC. b. borneanus(Rooset al.2014). AdapunC. bancanusmemiliki

banyak nama lokal, salah satunya dinamakan mentilin oleh masyarakat Pulau

Bangka.

IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural

Resources) telah menetapkan status konservasi C. bancanus sebagai satwa

vulnerable (VU; rentan) (IUCN 2008; Roos et al. 2014). Namun untuk status

konservasi subspesiesnya memiliki tingkatan yang berbeda-beda, seperti C. b.

borneanus sebagai satwa VU, C. b. bancanus dan C. b. saltator sebagai satwa

endangered (EN; genting atau terancam), serta C. b. natunensis sebagai satwa

critically endangered (CR; kritis) (Roos et al. 2014). Selain itu, Pemerintah

Indonesia telah melindungi semua spesiesTarsiidaedi Indonesia dengan Peraturan

Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

(18)

berkurangnya populasiC. bancanus, yang disebabkan oleh semakin berkurangnya

habitat mereka. Semakin berkurangnya habitat C. bancanus tersebut akibat

konversi hutan menjadi lahan tambang timah inkonvensional (TI), perkebunan

kelapa sawit skala besar, dan permukiman, serta illegal logging, kebakaran, dan

banjir. Selain itu, perburuan liar dan perdagangan (jual-beli) satwa primata tersebut

juga membuat satwa tersebut semakin berkurang (IUCN 2008; Yustianet al.2009).

Data kepadatan populasiC. bancanus sebagaiwestern tarsier masih terbatas

bila dibandingkan dengan eastern tarsier. Kepadatan populasi C. b. borneanus

diketahui kurang dari 80 ekor/km2 di Serawak (Niemitz 1979, 1984) dan sekitar 14-20 ekor/km2di Sabah (Crompton dan Andau 1986, 1987), sedangkan kepadatan populasiC. b. saltatordi Pulau Belitung diketahui sekitar 19-46 ekor/km2(Yustian 2007; Yustianet al.2009). Selain itu, kepadatan populasiC. b. bancanusjuga telah

diketahui namun terbatas di daerah Muara Enim, Sumatera Selatan, yaitu sekitar

25 ekor/km2 di kawasan hutan PT. Suryabumi Agrolanggeng dan 8 ekor/km2 di perkebunan karet tradisional rakyat (Sesa et al. 2014). C. bancanus di Pulau

Bangka (C. b. bancanus), serta di Serasan, Kepulauan Natuna Selatan, dan

Kepulauan Subi (C. b. natunensis) diketahui belum pernah dilakukan penelitiannya

sama sekali (dibuktikan dengan tidak ditemukannya publikasi kepadatan populasi

C. bancanus di daerah tersebut). Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut,

maka penelitian “Habitat dan Populasi Mentilin (Cephalopachus bancanus

bancanus) di Kabupaten Bangka”penting untuk dilakukan.

Identifikasi Masalah

1. Apa dan bagaimana habitat mentilin di Kabupaten Bangka?

2. Bagaimana populasi mentilin di Kabupaten Bangka?

3. Apa dan bagaimana permasalahan pelestarian mentilin di Kabupaten Bangka?

Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi habitat mentilin di Kabupaten Bangka;

2. Mengidentifikasi distribusi dan populasi mentilin di Kabupaten Bangka; dan

(19)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan data awal kondisi habitat dan

populasi mentilin di Kabupaten Bangka. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat

dijadikan dasar bagi Pemerintah Kabupaten Bangka dan Provinsi Kepulauan

Bangka Belitung dalam menentukan strategi konservasi mentilin yang efektif dan

(20)

Kerangka Pemikiran

Hutan Pulau Bangka sebagai habitat mentilin (Cephalopachus bancanus bancanus)

Tidak ada data habitat dan populasi mentilin di Pulau Bangka

Tekanan terhadap habitat:

-“Konversi hutan menjadi

-“lahan tambang timah

-“inkonvensional (TI)

-“Konversi hutan menjadi

-“perkebunan kelapa sawit

-“skala besar

-“Konversi hutan menjadi

-“permukiman

-“Illegal logging

-“Kebakaran

-“Banjir

Tekanan terhadap populasi:

-“Perburuan liar

-“Perdagangan (jual-beli)

Penurunan habitat dan populasi mentilin

Identifikasi habitat mentilin:

-“Komponan fisik habitat

-“Komponen biotik habitat

Identifikasi distribusi dan populasi mentilin

Identifikasi permasalahan pelestarian mentilin

Pelestarian populasi mentilin

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi

Famili Tarsiidae saat ini telah memiliki tiga genus (Gambar 2), yaitu

Cephalopachus(western tarsier),Carlito(Philippine tarsier), danTarsius(eastern

tarsier) (Groves dan Shekelle 2010). GenusCephalopachussendiri hanya memiliki

satu spesies, yaitu C. bancanus dengan empat subspesies, yaitu C. b. bancanus,

C. b. saltator, C. b. natunensis, dan C. b. borneanus (Roos et al. 2014). Adapun

C. bancanusmemiliki banyak nama lokal, salah satunya dinamakan mentilin oleh

masyarakat Pulau Bangka.

(22)

Klasifikasi mentilin (C. b. bancanus) berdasarkan Groves dan Shekelle (2010)

dan IUCN (2008) sebagai berikut.

Kerajaan : Animalia (Linnaeus 1758)

Filum : Chordata (Haeckel 1874)

Kelas : Mammalia (Linnaeus 1758)

Ordo : Primates (Linnaeus 1758)

Subordo : Haplorhini (Pocock 1918)

Famili : Tarsiidae(Gray 1825)

Genus : Cephalopachus(Swainson 1835)

Spesies : C. bancanus(Horsfield 1821)

Subspesies : C. b. bancanus(Horsfield 1821)

Nama lokal : Mentilin (Pulau Bangka), kera buku (Pulau Bangka, Bengkulu),

Nama lokal : singapuar (Bengkulu), krabuku (Lampung)

Morfologi, Morfometri, dan Kelas Umur

Tarsius (nama untuk anggota famili Tarsiidae) merupakan satwa primata

nokturnal yang memiliki mata merah besar dan bulat (Amnur 2010). Tarsius juga

merupakan satwa primata pencengkeram dan pelompat vertical (Amnur 2010)

dengan lompatan panjang beruntun yang cepat (Niemitz 1984). Adapun western

tarsier diketahui dapat melompat lebih dari 5 m (hampir 40 kali dari panjang

kepala-tubuhnya) (Macdonald 2006). Tarsius bersifat nokturnal sehingga jarang

terlihat di tempat terbuka, dengan ukuran badan relatif kecil dibanding ukuran

matanya yang besar dan senantiasa menatap (Macdonald 2006). Kepala tarsius

bundar dengan moncong tereduksi tanpa struktur pelindung, leher pendek, dan

telinga tipis bermembran tanpa rambut (Nowak 1999a, 1999b). Bola mata tarsius

hampir tidak dapat digerakkan ke kiri dan ke kanan sehingga kemampuan visualnya

dibantu dengan kemampuan memutar kepala 180º di setiap arah tanpa memutarkan

tubuh (memungkinkan tarsius untuk memutar kepala mereka hampir 360º) (Napier

dan Napier 1985; Ankel-Simons 2007). Adapun ciri morfologi mentilin

(23)

Tabel’1’’Morfologi mentilin

Klasifikasi Ciri

Kerajaan Animalia Hewan

Filum Chordata Bertulang belakang

Kelas Mammalia Menyusui, memiliki rambut hampir di seluruh tubuh

Ordo Primata Mata binokuler dan streoskopis; kapasitas otak yang relatif besar; berkuku dan mampu menggenggam

Subordo Haplorhini Tarsius dimasukan ke dalam Haplorhini, dikarenakan tidak memiliki tapetum lucidum dan memiliki fovea atau fovea centralis; tidak memiliki rhinariumtelanjang (berhidung kering ataudry-nosed primate); tidak memilikidental combatautooth comb; serta plasentahemochorial. Namun tarsius juga memiliki ciri Strepsirrhini, yaitu nokturnal; mata besar; telinga dapat digerakkan; mempunyaitoilet clawataugrooming clawpada jari kaki kedua dan ketiga; sertamandibulatersusun atas dua tulang Famili Tarsiidae Tarsius memiliki proporsi tulang tarsal yang lebih panjang

dibandingkan pada tulang tarsal primata lain, serta memilikitibia

dan fibula yang menyatu; kepala bundar dengan moncong tereduksi tanpa struktur pelindung, leher pendek, dan telinga tipis bermembran tanpa rambut; kepala dapat memutar hampir 180º di setiap arah tanpa memutarkan tubuh (sehingga memungkinkan tarsius untuk memutar kepala mereka hampir 360º); serta ukuran badan relatif kecil dibanding ukuran matanya yang besar dan senantiasa menatap

Genus Cephalopachus (Lihat Tabel 2) Spesies C. bancanus

Subspesies C. b. bancanus (Lihat Gambar 3)

Sumber:”(Hill 1955; Napier dan Napier 1985; Fleagle 1988; Nowak 1999a, 1999b; Fridman dan Nadler 2002; Hartwig 2002;

Sumber:”Cooke 2004; Roots 2006; Macdonald 2006; Ankel-Simons 2007; Hammond 2011; Roberts 2011; Norris dan Carr

Sumber:”2013; Gebo 2014).

Tabel”2””Ciri pembeda antar genusTarsiidae

Ciri pembeda Cephalopachus Carlito Tarsius

Perkembangan gigi (dentition)

Terbesar Sedang Terkecil

Mata Terbesar Sedang Terkecil

Kaki dan tangan Terbesar Sedang Terkecil

Jambul ekor (tail tuft) Hirsutepertengahan: menyerupai tangkai

3 pasang 2 pasang 3 pasang

(24)

Tabel”2””(Lanjutan)

Ciri pembeda Cephalopachus Carlito Tarsius

Sosioekologi Sosial paling sedikit: tidak ada saluran (no duct)

Sumber: (Groves dan Shekelle 2010).

(25)

Selain morfologi, morfometri mentilin dapat dilihat di Tabel 3.

Tabel”3””MorfometriCephalopachus bancanus

No. Ukuran Jenis kelamin Rata-rata Standar deviasi

(SD)

01. Berat

(weight)

Tubuh ♂ 128,0 g 06,2 g

♀ (tidak bunting) 117,0 g 10,0 g ♀ (bunting) >”145 g /

07. Area kulit sensitif kaudal (caudal sensitive skin area)

♂ ♀ 092,0 mm 46,0 mm

08. Jambul ekor (tuft) ♂ ♀ 064,0 mm 13,0 mm

09. Sehelai rambut jambul ekor (single hair of the tuft)

Adapun pembagian kelas umur mentilin dapat dilihat di Tabel 4.

Tabel”4””Kelas umur mentilin

Kelas umur Definisi

Neonate Infant yang terlihat baru dilahirkan oleh induk betina beberapa hari yang lalu

Infant Individu belum disapih dan masih bergantung pada induk betina sehingga masih dibawa induknya, atau diparkir untuk sementara

Juvenile Individu belum matang, baik secara fisik dan seksual, serta masih bersama induk betina walau sudah dapat bergerak sendiri

Pra-dewasa (sub-adult) Individu belum matang sempurna baik secara fisik dan seksual, namun secara jelas sudah dapat dibedakan dari anak yang masih bergantung pada induknya

Dewasa (adult) Individu sudah matang baik secara fisik dan seksual, serta gigi permanen sudah komplit

(26)

Lokomosi

LokomosiC. bancanusberupavertical clinging dan leaping(> 65%),climbing

(27,6%), walking (3,2%), serta hopping (2,3%). Selain itu, C. bancanus dapat

meloncat tanpa suara lebih dari 1.000 kali per malam (Niemitz 1984; Crompton dan

Andau 1986; Rowe 1996), dengan jarak lompatan dari pohon ke pohon sekitar

2-5,6 m atau 45 kali panjang kepala-badan mereka (Niemitz 1979; Rowe 1996).

Habitat dan Persebaran

Tarsius diketahui hidup dan berkembang biak pada berbagai tipe habitat yang

berbeda struktur tegakannya, seperti hutan primer, hutan sekunder, tepi perkebunan,

dan di sepanjang pesisir pantai dengan semak belukar (Fogden 1974; Niemitz 1979;

MacKinnon dan MacKinnon 1980; Wolfheim 1983; Macdonald 2006). Tarsius

diketahui juga mendiami belukar-belukar bambu yang padat dan kadangkala

ditemukan di kebun dekat hutan (Napier dan Napier 1967; Supriatna dan Wahyono

2000). Selain itu, tarsius juga pernah ditemukan di hutan bakau dan semak belukar

(Wright et al. 2003). Meskipun tarsius dapat hidup dan berkembang biak pada

berbagai tipe habitat yang berbeda struktur tegakannya, namun Yasuma dan

Alikodra (1990) menyatakan habitat yang paling disukai tarsius adalah hutan hujan

tropis dengan sumber air melimpah yang dapat mendukung ketersediaan makanan,

serta hutan sekunder dengan pohon-pohon yang berukuran kecil dan sedang.

Adapun western tarsier(C. bancanus) pada umumnya lebih memilih muncul di tepi

hutan sekunder dengan pohon muda yang berlimpah dan vegetasi sekunder lainnya

(Wolfheim 1983).

Tarsius diketahui dapat hidup pada ketinggian yang bervariasi tergantung

spesiesnya, mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 2200 m dpl (Supriatna dan

Wahyono 2000). Adapun western tarsier (C. bancanus) sering digambarkan

sebagai spesies dataran rendah yang umum ditemukan di bawah ketinggian 100 m

dpl (IUCN 2008). Namun Gorog dan Sinaga (2008) melaporkan telah menemukan

C. bancanusdi ketinggian di atas 1.200 m dpl di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit

Raya, Kalimantan Barat. Laporan Gorog dan Sinaga (2008) ini setidaknya akan

mematahkan persepsi bahwa western tarsier merupakan spesies tarsius dataran

(27)

Tarsius merupakan satwa primataarboreal(hidup di atas pohon) yang sangat

lincah (Nowak 1999a, 1999b). Maka dari itu, pohon menjadi hal yang sangat

penting dan tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan tarsius. Adapun tempat tidur

atau sarang tarsius berupa rongga-rongga di dalam pohon tidur yang terlindung

sinar matahari dan agak gelap atau remang-remang (Widyastuti 1993) yang berada

pada ketinggian 3-15 m dari permukaan tanah (dpt) (Wirdateti dan Dahruddin

2006), sedangkan tempat tidur atau sarang tarsius di rumpun bambu (bagian bawah

bambu yang rapat dan berupa lubang-lubang dalam) berada di ketinggian 2-3 m dpt

(Wirdateti dan Dahruddin 2008), dan di tebing karst di ketinggian 10-20 m dpt

(Amnur 2010). Setidaknya terdapat satu pohon tidur tarsius dalam satu wilayah

teritorinya (Kinnaird 1997). Adapun spesies tumbuhan sebagai pohon tidur tarsius

dapat dilihat di Tabel 5.

Tabel”5””Spesies tumbuhan sebagai pohon tidur tarsius

No. Famili Spesies Habit

1. Anacardiaceae Mangga-manggaan Mangifera laurina1 Pohon 2. Annonaceae Sirkaya-sirkayaan Polyalthia rumphii1 Pohon

3. Cananga odorata1 Pohon

4. Apocynaceae Kamboja-kambojaan Alstonia angustifolia2 Pohon 5. Arecaceae Pinang-pinangan (palem) Arenga pinnata3 Pohon 6. Bambusaceae Bambu-bambuan Bambusa multiflex1, 5 Pohon

7. Gigantochloa kuring7 Pohon

8. Malvaceae Kapas-kapasan Thespesia lampas1 Pohon

9. Hibiscus tiliaceus3 Pohon

10. Moraceae Ara-araan Ficussp.2, 4 Pohon

11. Ficus altissima2 Pohon

12. Ficus ampelas2 Pohon

13. Ficus septica2 Pohon

14. Ficus variegata2 Pohon

15. Ficus caulocarpa6 Pohon

16. Verbenaceae Jati-jatian Vitex cofassus2 Pohon

17. Fagaceae Pasang-pasangan (termasuk pasang dan berangan)

Lithocarpussp.4 Pohon

18. Castanopsis acuminatissima4 Pohon

19. Leeaceae - Leea angulata2 Perdu

Sumber:”(1Wirdateti dan Dahrudin 2008;2Wirdateti dan Dahrudin 2006;3Sinagaet al.2009;4Sandegoet al.2014;5Qiptiyah Sumber:”dan Setiawan 2012;6Gursky 1998;7Sesaet al.2014).

Wilayah jelajah tarsius bervariasi antara 1,6-4,1 ha atau 0,016-0,041 km2, dengan rata-rata 2,3 ha atau 0,023 km2untuk betina dan 3,1 ha atau 0,031 km2untuk jantan, serta memiliki batas setiap individu radius 10 m dari tepi wilayah

(28)

umumnya ditujukan untuk mempertahankan proses kawin daripada

mempertahankan sumberdaya (Gursky 2007).

Persebaran tarsius diketahui menyebar luas di Pulau Sumatera, Borneo, Pulau

Sulawesi dan pulau-pulau kecil sekitarnya, serta di Kepulauan Filipina (Gambar 4).

Adapun C. bancanus dibagi menjadi empat subspesies berdasarkan daerah

persebarannya, yaitu Pulau Bangka dan Sumatera bagian tenggara untuk

C. b. bancanus; Pulau Belitung untukC. b. saltator; Serasan, Kepulauan Natuna

Selatan, dan Kepulauan Subi untukC. b. natunensis; serta Borneo dan Kepulauan

Karimata untukC. b. borneanus(Yustian 2007; IUCN 2008).

Gambar’4’’Peta persebaran tarsius (Groves dan Shekelle 2010)

Populasi

Data kepadatan populasiC. bancanus sebagaiwestern tarsier masih terbatas

bila dibandingkan dengan eastern tarsier. Kepadatan populasi C. b. borneanus

(29)

populasiC. b. saltatordi Pulau Belitung diketahui sekitar 19-46 ekor/km2(Yustian 2007; Yustianet al.2009). Selain itu, kepadatan populasiC. b. bancanusjuga telah

diketahui namun terbatas di daerah Muara Enim, Sumatera Selatan, yaitu sekitar

25 ekor/km2 di kawasan hutan PT. Suryabumi Agrolanggeng dan 8 ekor/km2 di perkebunan karet tradisional rakyat (Sesa et al. 2014). C. bancanus di Pulau

Bangka (C. b. bancanus), serta di Serasan, Kepulauan Natuna Selatan, dan

Kepulauan Subi (C. b. natunensis) diketahui belum pernah dilakukan studi

penelitiannya sama sekali (dibuktikan dengan tidak ditemukannya publikasi

kepadatan populasiC. bancanusdi daerah tersebut).

Perilaku Harian

Perilaku harian tarsius disaat aktif lebih banyak digunakan untuk mencari

makan (foraging) (60%), bergerak (travel) (27%) beristirahat (rest) (11%),

grooming(1%), dan perilaku lainnya (1%) (Trembleet al.1993; Rowe 1996).

Perilaku Makan

Tarsius merupakan satwa primata pemakan serangga (insectivorous) dan juga

pemakan daging (carnivorous). Jenis serangga yang umumnya dimakan oleh tarsius

antara lain belalang, belalang sembah atau cangcorang dengan berbagai ukuran,

kupu-kupu, ngengat, semut, larva kumbang kelapa, jangkrik, capung, rayap atau

anai-anai, kecoa, dan laba-laba. Selain itu, tarsius juga memangsa vertebrata kecil

seperti cicak, kadal, ular cabe, burung-burung kecil, kelelawar, dan beberapa

spesies reptil kecil (Whittenet al.2002; Niemitz 1979; MacKinnon dan MacKinnon

1980; Macdonald 2006). Adapun tarsius dewasa (baik jantan dan betina) melakukan

pencarian makan (foraging) secara sendiri-sendiri. Namun terkadang tarsius betina

dewasa juga melakukan foraging bersama juvenile. Untuk daya jelajah foraging,

tarsius jantan dewasa dapat menjelajah lebih jauh dibanding dengan betina dewasa

(Crompton dan Andau 1986).

Tarsius memodifikasi lokasi mencari pakan selama musim hujan dan musim

kemarau. Tarsius diketahui memperoleh pakan di empat lokasi yang berbeda, yaitu

di daun 46,3%, udara 34,8%, batang 11,1%, dan di lantai hutan 7,8% (Gursky

2007). Tarsius mengkonsumsi jenis pakan alami dengan kandungan protein tinggi,

(30)

cicak 64,48%, dan kadal 17,47%) dan 3.654-4.016 kal/g (Wirdateti dan Dahrudin

2006). Kadar protein yang tinggi dari pakan yang dikonsumsi memberikan bau khas

pada tarsius, terutama pada urin (Amnur 2010).

Tarsius mulai mencari mangsa dengan menggerak-gerakkan kedua telinganya

untuk mendeteksi bunyi serangga yang sedang terbang didekatnya, kemudian

memastikan dengan penglihatan (Wharton 1974). Adapun tarsius dapat melihat

mangsanya dalam jarak 6-10 m (Wirdateti dan Dahrudin 2008), dengan lama

mengamati mangsa sekitar 5-10 menit (Wirdateti dan Dahrudin 2006). Setelah

memastikan mangsa, tarsius kemudian menangkap mangsa tersebut dengan cara

melompat dan menyambar dengan tangan, kemudian melompat lagi dengan cara

membalik ke pohon atau tempat semula. Lama tarsius memakan mangsanya atau

berpindah ke pohon lain sekitar 10-25 menit, tergantung dengan spesies mangsanya

(Wirdateti dan Dahrudin 2006). Tarsius terkadang berpegang pada bagian

tumbuhan atau ranting bagian yang terbuka agar dengan mudah menyambar

mangsa yang terbang di depannya (Amnur 2010). Rowe (1996) melaporkan bahwa

tarsius dapat memburu mangsa pada jarak 9 m dan apabila mangsanya berada

di tanah, tarsius akan turun ke tanah mengambilnya dan secepatnya kembali ke

pohon semula.

Tarsius sesekali menggigit dedaunan, tetapi mereka tidak benar-benar

memakannya. Sejumlah kecil jaringan tumbuhan sering ditemukan di dalam

kandungan perutnya yang diduga berasal dari isi perut serangga atau binatang yang

dimakannya. Tarsius memperoleh air untuk minum dari air yang menetes

di dedaunan dan pohon-pohon berlubang, serta dari aliran-aliran air yang terdapat

di wilayah tempat tinggal mereka (Nietmitz 1984).

Perilaku Sosial

Tarsius melakukan aktivitasnya mulai dari sore hari sampai pagi hari. Tarsius

jantan dewasa lebih dahulu bangun atau aktif demi melakukan rutinitas sebagai

pemimpin kelompok, yaitu melakukan pengintaian keluar sarang. Pengintaian

tersebut dilakukan demi menjaga keamanan anggota kelompoknya sebelum

anggota kelompok tersebut keluar dari sarang. Jika dirasakan aman, tarsius jantan

dewasa akan berteriak dengan suara melengking yang khas untuk memberitahu

(31)

akan masuk kembali ke sarang dan keluar beberapa saat lagi untuk melakukan

pengintaian kembali sampai keadaan dirasakan telah aman. Sebelum berpencar,

anggota kelompok tarsius masih berkumpul beberapa menit lalu kemudian pergi

meninggalkan pohon tidur, atau pergi meninggalkan pohon tidur 10-20 menit

setelah matahari terbenam (Amnur 2010). Tujuh nada panggil diketahui

dikeluarkan oleh tarsius (Niemitz 1979; Rowe 1996) baik sebagaialarm calluntuk

memanggil anggota kelompoknya keluar dan kembali ke sarang, territorial call,

fear call, threat call, nada-nada yang dikeluarkan oleh induk maupun anak yang

dalam masa pengasuhan, serta nada-nada yang dikeluarkan oleh jantan dan betina

dewasa yang mencari pasangan. Beberapa nada panggil tersebut memiliki frekuensi

yang sangat tinggi yang berada diluar jangkauan pendengaran manusia (Amnur

2010).

Perilaku sosial tarsius seperti saling menjilat bulu oleh dua individu

(allo-grooming) jarang sekali dilakukan, serta hanya terjadi antara induk daninfant

(Niemitz 1984). Adapun perilaku grooming lebih banyak dilakukan oleh satu

individu sendirian (auto-grooming). Kebiasaan grooming oleh tarsius dilakukan

pada saat sore hari sebelum melakukan aktivitas berburu, saat waktu istirahat

sehabis menangkap mangsa dan saat pagi hari setelah selesai berburu (Amnur

2010). Perilaku lain yang sering ditunjukkan oleh tarsius adalah perilaku pemberian

tanda dengan bau (scent marking). Salah satu scent marking dari tarsius adalah

dengan menggunakan urin mereka yang berbau khas, yang bahkan manusia dengan

sangat mudah dapat mendeteksinya (Niemitz 1979; Rowe 1996). Selain itu, tarsius

diketahui mempunyai kelenjar-kelenjar penanda bau (scent marking glands) yang

mereka gunakan untuk menyimpan bau, yaitu kelenjar ano-genital, kelenjar

epigastric, dan kelenjarcircum-oral(Niemitz 1984; Gursky-Doyen 2010). Adapun

perilakuscent markingdari tarsius dapat dimaksudkan sebagai tanda teritorial dan

tanda kawin (Gursky-Doyen 2010).

Reproduksi

Tarsius termasuk golongan hewan poliestrus dikarenakan musim kawinnya

dapat terjadi beberapa waktu dalam setahun (Hill 1955). MacKinnon dan

MacKinnon (1980) menyatakan perkawinan tarsius yang hidup bebas terjadi

(32)

kurungan terjadi sepanjang tahun (Mitchell dan Erwin 1986). Dewasa kelamin

tarsius dicapai pada umur satu tahun enam bulan sampai dua tahun. Pada umur

tersebut, organ kelamin tarsius jantan sudah berkembang baik terutamascrotumdan

testes. Lama kebuntingan pada tarsius adalah enam bulan, dengan jumlah anak yang

dilahirkan hanya satu individu di setiap kelahiran (Napier dan Napier 1967). Pada

saat menjelang estrus (tahap akhir proestrus), tarsius jantan mulai

mengendus-endus alat kelamin dan urin betina, bahkan terkadang sampai mengejar-mengejar

betina (Amnur 2010). Periode siklus birahi tarsius sekitar 23-24 hari (Napier dan

Napier 1967; Hill 1955) dengan fase proestrus tiap siklus sekitar 4-7 hari, fase

estrus sekitar 1-3 hari, dan metestrus sekitar 1-2 hari. Pada fase siklusfollicular,

terjadi peningkatan sekresi vagina dan tanda-tanda luar berupa pembengkakan alat

kelamin bagian luar atau kadang-kadangcollapseatau susut dengan timbulnya fase

luteal. Tarsius betina diketahui memproduksi feromon sebagai isyarat ke jantan,

sedangkan jantan memberi isyarat ke betina dengan panggilan-panggilan

percumbuan yang didengar sebelum kawin, pupil mata yang besar dan ekor yang

dilengkungkan ke atas punggungnya (Gursky 2007; Amnur 2010).

Setelah kelahiran, induk betina akan membawa infant yang dilahirkannya

dengan mulut dan ketika induk betina akan mencari makan, induk betina tersebut

akan memarkirinfantpada cabang pohon (Haringet al.1985). Infantlahir dengan

mata terbuka dan sepenuhnya berbulu, serta dapat melakukan grooming sendiri

(auto-grooming) (Roberts 1994).Infantdiketahui juga dapat menggunakan ekornya

pertama kali sebagai pendukung (support) selamaresting7-10 hari (Roberts 1994).

Selain itu, induk betina daninfantmulai terlibat dalam permainan perkelahian (play

fighting) ketikainfantberusia 20-25 hari (Roberts 1994).

Status Konservasi

IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural

Resources) telah menetapkan status konservasi C. bancanus sebagai satwa

vulnerable (VU; rentan) (IUCN 2008; Roos et al. 2014). Namun untuk status

konservasi subspesiesnya memiliki tingkatan yang berbeda-beda, seperti C. b.

borneanus sebagai satwa VU, C. b. bancanus dan C. b. saltator sebagai satwa

endangered (EN; genting atau terancam), serta C. b. natunensis sebagai satwa

(33)

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and

Flora) telah menetapkan semua spesies Tarsiidae dalam daftar Apendiks II,

sedangkan Pemerintah Indonesia telah melindungi semua spesies Tarsiidae

di Indonesia dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan

Jenis Tumbuhan dan Satwa. Semua penetapan status tersebut secara pasti

didasarkan pada semakin berkurangnya populasi C. bancanus, yang disebabkan

oleh semakin berkurangnya habitat mereka. Semakin berkurangnya habitat

C. bancanus tersebut akibat konversi hutan menjadi lahan tambang timah

inkonvensional (TI), perkebunan kelapa sawit skala besar, dan permukiman, serta

illegal logging, kebakaran, dan banjir. Selain itu, perburuan liar dan perdagangan

satwa primata tersebut juga membuat satwa tersebut semakin berkurang (IUCN

(34)

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Dasar Hukum

Pembentukan Kabupaten Bangka ditetapkan berdasarkan Undang-Undang

Republik Indonesia No. 28 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II

dan Kota Praja di Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1959 No. 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 1821), dan

merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan. Penetapan Kota Sungailiat

sebagai Ibukota Kabupaten Bangka didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 12

Tahun 1971. Namun sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 27 Tahun 2000

tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kabupaten Bangka

menjadi salah satu kabupaten dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

(PEMDAKAB BANGKA 2011).

Geografis dan Wilayah

Luas Wilayah dan Batas Administrasi

Kabupaten Bangka (Gambar 5) memiliki luas wilayah ± 3.028,794 km2 atau

3.028.794,693 ha yang terletak di Pulau Bangka. Secara administratif, Kabupaten

Bangka berbatasan langsung dengan kota dan kabupaten lain, yaitu dengan Kota

Pangkalpinang, Kabupaten Bangka Tengah, dan Kabupaten Bangka Barat

(PEMDAKAB BANGKA 2011).

(35)

Keadaan Alam

Iklim

Kabupaten Bangka beriklim tropis tipe A dengan variasi curah hujan antara

43,6-356,2 mm tiap bulan untuk tahun 2011, dengan curah hujan terendah pada

bulan Agustus dan curah hujan tertinggi pada bulan April. Suhu daerah Kabupaten

Bangka berdasarkan data dari Stasiun Meteorologi Pangkalpinang menunjukkan

variasi antara 26-28,1ºC, sedangkan kelembaban udara bervariasi antara 73-87%

pada tahun 2011. Sementara intensitas penyinaran matahari pada tahun 2011

bervariasi antara 33,8-89,0% dan tekanan udara antara 1.008,5-1.010,2 mb

(PEMDAKAB BANGKA 2011).

Tanah atau Topografi

Tanah di daerah Kabupaten Bangka mempunyai pH rata-rata dibawah lima,

dengan kandungan mineral biji timah dan bahan galian lainnya seperti pasir kwarsa,

kaolin, batu gunung, dan lain-lain (PEMDAKAB BANGKA 2011). Bentuk dan

keadaan tanahnya (PEMDAKAB BANGKA 2011) sebagai berikut.

• 4% berbukit seperti Bukit Maras dengan ketinggian ± 699 m, Bukit Pelawan, Bukit Rebo, dan lain-lain. Jenis tanah perbukitan tersebut adalah komplek

podsolik coklat kekuning-kuningan dan litosol berasal dari batu plutonik

masam.

• 51% berombak dan bergelombang, dengan tanah berjenis asosiasi podsolik coklat kekuning-kuningan dengan bahan induk komplek batu pasir kwarsit dan

batuan plutonik masam.

• 20% lembah atau datar sampai berombak, dengan tanah berjenis asosiasi podsolik berasal dari komplek batu pasir dan kwarsit.

• 25% rawa dan beancah atau datar, dengan tanah berjenis asosiasi alluvial hedromotif dan glei humus, serta regosol kelabu muda berasal dari endapan

pasir dan tanah liat.

Hidrologi

Pada umumnya sungai-sungai di daerah Kabupaten Bangka berhulu di daerah

perbukitan dan pegunungan yang berada di tengah Pulau Bangka dan bermuara

(36)

yaitu Sungai Baturusa, Sungai Layang, dan lain-lain. Sungai-sungai tersebut

berfungsi sebagai sarana transportasi dan belum bermanfaat untuk pertanian dan

perikanan karena para nelayan karena para nelayan lebih cenderung mencari ikan

ke laut. Selain itu, daerah Kabupaten Bangka tidak terdapat danau alam

(PEMDAKAB BANGKA 2011).

Hutan, Fauna, dan Flora

Luas kawasan hutan menurut fungsinya di Kabupaten Bangka, yaitu seluas

± 100.514,60 ha yang terdiri dari hutan produksi tetap seluas ± 65.091,56 ha, hutan

lindung seluas ± 18.097,20 ha, dan hutan konservasi seluas ± 17.325,84 ha. Pada

tahun 2011 telah dilakukan rehabilitasi hutan berupa penghijauan di luar kawasan

hutan seluas 459 ha dan reboisasi di dalam kawasan hutan seluas 126 ha, sedangkan

produksi hasil hutan ikutan dalam daerah Kabupaten Bangka tahun 2011 antara lain

kayu api 63,043 ton, kayu bagan 138.666 m3, dan kayu bulat 411.916 m3

(PEMDAKAB BANGKA 2011).

Kawasan hutan Kabupaten Bangka memiliki fauna seperti rusa, kijang, beruk,

monyet ekor panjang, mentilin, beruk semundi atau kukang, lutung, babi,

trenggiling, napuh atau pelanduk, musang, murai, tekukur, pipit, kalong, elang, dan

ayam hutan, serta tidak terdapat binatang buas seperti gajah, harimau, dan lain-lain

sebagainya. Selain itu, kawasan hutan Kabupaten Bangka juga memiliki flora

seperti ramin, meranti, kapuk, jelutung, pulai, gelam, bitanggor, meranti rawa,

cempedak air, mahang, bakau, dan lain-lain sebagainya (PEMDAKAB BANGKA

(37)

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di empat desa di Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan

Bangka Belitung (Gambar 6), yaitu Zed, Kemuja, Paya Benua, dan Petaling. Secara

keseluruhan, keempat desa tersebut memiliki luas ± 224,56 km2 atau ± 22.456 ha (PEMDAKAB BANGKA 2011). Survei pendahuluan telah dilakukan pada bulan

April 2014 hingga Juli 2014, sedangkan penelitian dilakukan pada bulan Desember

2015 hingga Mei 2016.

Gambar”6””Transek garis di tiap lokasi penelitian

Bahan dan Alat

Bahan

Satwa yang dijadikan bahan penelitian adalah mentilin (Cephalopachus

bancanus bancanus), sedangkan bahan yang digunakan untuk keperluan analisis

vegetasi adalah alkohol 70% yang digunakan sebagai bahan pengawet contoh

bagian tumbuhan (terutama yang tidak dikenali nama lokalnya) untuk dibuat

menjadi herbarium. Adapun contoh bagian tumbuhan tiap lokasi penelitian

(38)

Alat

Peralatan yang digunakan pada penelitian antara lain: (1) altimeter untuk

mengukur ketinggian; (2) buku panduan tumbuhan sebagai panduan pengenalan

spesies tumbuhan di lapangan; (3) handheld GPS (Global Positioning System)

device, yaitu Garmin eTrex 30 untuk mencatat koordinat; (4) Google Earth Pro

7.1.5.1557 untuk menganalisis data koordinat dari Garmin eTrex 30; (5) hand

counter untuk menghitung jumlah spesies tumbuhan dalam petak transek;

(6) handlamp dan headlamp untuk mendeteksi mentilin pada malam hari;

(7) kamera digital dengan flashlight untuk memotret mentilin dan habitat;

(8) klinometer untuk menghitung tinggi pohon; (9) lembar kerja (tally sheets) dan

lembar pengamatan (observation sheets); (10)Microsoft Exceluntuk menganalisis

data; (11) peralatan analisis vegetasi; (12) peralatan herbarium; (13) peralatan

perangkap serangga (light trap); (14) termohigrometer untuk mengukur suhu dan

kelembaban udara; serta (15) teropong binokuler untuk mendeteksi mentilin pada

siang hari dan untuk keperluan pengenalan vegetasi.

Jenis Data yang dikumpulkan dan Waktu Pelaksanaan

1. Habitat mentilin, meliputi komponen fisik dan biotik. Penelitian tersebut

dilakukan pada bulan Desember 2015 hingga bulan Februari 2016;

2. Distribusi dan populasi mentilin. Penelitian tersebut dilakukan pada bulan

Januari 2016 hingga bulan Mei 2016; dan

3. Permasalahan pelestarian mentilin. Penelitian tersebut dilakukan pada bulan

Mei 2016.

Metode Pengumpulan Data

Penentuan Lokasi

Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan survei pendahuluan dan wawancara

dengan masyarakat Pulau Bangka berkenaan perjumpaan mentilin.

Habitat Mentilin

Komponen Fisik

1. Posisi. Masing-masing lokasi penelitian dicatat titik koordinatnya

(39)

2. Ketinggian. Identifikasi ketinggian masing-masing lokasi penelitian

menggunakanGoogle Earth Pro7.1.5.1557.

3. Kemiringan. Identifikasi kemiringan masing-masing lokasi penelitian

dilakukan denganGoogle Earth Pro7.1.5.1557.

4. Iklim mikro (suhu dan kelembaban udara). Identifikasi suhu udara harian dan

kelembaban udara relatif masing-masing lokasi penelitian menggunakan

termohigrometer.

5. Jarak dari permukiman, semak belukar, dan sungai terdekat. Identifikasi jarak

dilakukan secara digital. Masing-masing lokasi penelitian dicatat titik

koordinatnya menggunakanGarmin eTrex30, kemudian dipetakan diGoogle

Earth Pro7.1.5.1557 untuk mengukur jarak lokasi penelitian dari permukiman,

semak belukar, dan sungai terdekat.

Komponen Biotik

Komponen biotik habitat mentilin yang diukur dan diidentifikasi meliputi

spesifikasi habitat (struktur dan komposisi vegetasi), stratifikasi habitat, identifikasi

vegetasi tidur, dan keanekaragaman serangga sebagai pakan potensial.

1. Spesifikasi Habitat Mentilin

Data spesifikasi habitat mentilin berupa struktur dan komposisi vegetasi

di tiap lokasi penelitian diperoleh dengan menggunakan metode transek

jalur-garis berpetak (strip transect-line plot method) (Kusmana 1997). Penggunaan

metode transek jalur-garis berpetak (Gambar 7) dapat memberikan gambaran

vegetasi yang lebih representatif dari suatu habitat daripada hanya

menggunakan metode petak kuadrat saja (Winarti 2011). Adapun transek

jalur-garis berpetak di tiap lokasi penelitian diletakkan di jalur yang sama dengan

transek garis (line transect) untuk distribusi dan populasi mentilin.

Tiga petak contoh vegetasi diletakkan pada tiap transek jalur per lokasi

penelitian (ada empat desa), sehingga total petak contoh vegetasi yang

digunakan berjumlah 12 buah (4.800 m2atau 0,48 ha). Adapun pengumpulan

data vegetasi dilakukan pada saat mentilin tidur, yaitu pada pagi hari jam 08.00

WIB hingga sore hari jam 15.00 WIB. Vegetasi yang diidentifikasi pada setiap

ukuran petak meliputi dua kategori, yaitu vegetasi pohon dan vegetasi lantai

(40)

pertumbuhan, yaitu pohon (batang dengan dbh (diameter at breast height)

20 cm ke atas), tiang (batang dengan dbh antara 10 cm hingga kurang dari

20 cm), pancang (permudaan dengan tinggi lebih dari 1,5 m dan batang dengan

dbh kurang dari 10 cm), dan semai (permudaan dengan tinggi mencapai 1,5 m)

(Iskandar 2007).

Keterangan:

L : vegetasi lantai, petak 1 m x 1 m Ti : tiang, petak 10 m x 10 m S : semai, petak 2 m x 2 m Po : pohon, petak 20 m x 20 m Pa : pancang, petak 5 m x 5 m

Gambar”7””Desain transek jalur-garis berpetak

Data vegetasi pada garis berpetak digunakan untuk menghasilkan indeks

nilai penting (INP) dari setiap kategori dan subkategori vegetasi. INP

digunakan untuk menetapkan dominansi suatu spesies terhadap spesies

lainnya, atau dengan kata lain INP menggambarkan kedudukan ekologis suatu

spesies dalam komunitas (Latifah 2005). Data vegetasi tingkat pohon dan tiang

yang dikumpulkan di tiap lokasi penelitian meliputi spesies, jumlah, dbh,

tinggi, dan penutupan tajuk. Data vegetasi tingkat pancang, semai, dan lantai

(41)

2. Stratifikasi Habitat Mentilin

Indriyanto (2006) menyatakan semua vegetasi dalam habitat tidak sama

ukurannya dan secara vertikal tidak menempati ruang yang sama. Oleh karena

itu stratifikasi habitat diperlukan untuk menggambarkan struktur vegetasi

habitat tersebut. Stratifikasi habitat adalah distribusi vegetasi habitat yang

dikaji dalam struktur atau dimensi (ruang) vertikal. Pengkajian stratifikasi atau

arsitektur kanopi habitat diketahui menggunakan metode tertua dan paling

banyak digunakan, yaitu profil vegetasi secara vertikal (vertical diagram of

vegetation profile) (Setyawan et al. 2008). Adapun metode diagram profil

vegetasi menggunakan petak dengan panjang dan lebar petak masing-masing

60 m dan 20 m (Gambar 8).

Gambar”8””Desain pemetaan pohon pada transek jalur untuk pembuatan Gambar”8””stratifikasi habitat mentilin

Data-data yang diperlukan untuk membuat diagram profil vegetasi

(Gambar 9) sebagai berikut.

1. Posisi pohon yang ditentukan berdasarkan koordinat (absis dan ordinat)

dalam petak atau plot, untuk memproyeksikan lokasi pohon pada diagram

profil vegetasi.

2. Tinggi pohon dan tinggi percabangan pertama yang diukur dengan

klinometer, untuk menggambarkan kenampakan pohon pada diagram

profil vegetasi.

3. Gap, yaitu ruang terbuka pada vegetasi baik secara vertikal (gap antar

stratum) maupun horizontal (gap yang berupa kolom).Gap antar stratum

(GS) diukur dari tajuk paling bawah dari strata atas hingga tajuk pertama

strata yang berada di bawahnya, sedangkan gap kolom (GK) diukur dari

Keterangan:

(42)

tajuk terakhir yang mengawali pembentukan ruang terbuka hingga tajuk

pertama yang mengakhiri ruang terbuka tersebut secara horizontal.

Keterangan:

GS:”gapantar stratum GK:”gapkolom

SA:”stratum A dengan selang ketinggian

SA:”30 m ke atas

SB:”stratum B dengan selang ketinggian SB:”20-30 m

an

: SC:”stratum C dengan selang ketinggian SC:”4-20 m

SD:”stratum D dengan selang ketinggian SD:”1-4 m

SE:”stratum E dengan selang ketinggian SE:”0-1 m

Gambar”9””Sketsa stratifikasi atau diagram profil habitat mentilin

Menurut Indriyanto (2006), strata vegetasi habitat mentilin terdiri atas lima

kategori sebagai berikut.

1. Stratum A dengan ketinggian di atas 30 m, merupakan lapisan teratas yang

mempunyai batang pohon tinggi dan tegak lurus;

2. Stratum B dengan ketinggian 20-30 m, terdiri atas pohon-pohon yang

tinggi serta mempunyai banyak cabang;

3. Stratum C dengan ketinggian 4-20 m, yang terdiri dari pohon-pohon kecil,

rendah, dan banyak cabang;

4. Stratum D dengan ketinggian 1-4 m, merupakan tanaman perdu dan semak

belukar; dan

5. Stratum E dengan ketinggian 0-1 m, merupakan lantai hutan dan

(43)

3. Identifikasi Vegetasi Tidur Mentilin

Identifikasi vegetasi tidur mentilin dilakukan di sepanjang transek jalur

(strip transect) per lokasi penelitian pada saat mentilin tidur, yaitu pada pagi

hari jam 09.00 WIB hingga sore hari jam 15.00 WIB. Pada saat berjumpa

mentilin yang sedang tidur di suatu pohon, dilakukan pencatatan data pohon

tidur yang digunakan. Identifikasi vegetasi tidur mentilin meliputi jenis, dbh,

tinggi, dan ketinggian dimana mentilin berada di pohon tersebut.

4. Keanekaragaman Serangga sebagai Pakan Potensial Mentilin

Pengumpulan data serangga dengan menggunakan metode perangkap

cahaya (light trap) dilakukan dengan cara meletakkan lampu cahaya di depan

kain putih ukuran 1 x 1 m (Gambar 10). Satu perangkap cahaya diletakkan pada

transek jalur per lokasi penelitian, tepatnya pada petak contoh vegetasi kedua

dari transek jalur-garis berpetak. Penggunaan metode perangkap cahaya

diketahui efektif untuk menjebak serangga yang aktif pada malam hari

(nocturnal insects) (Tambunan et al. 2013). Adapun pengumpulan serangga

nocturnal dilakukan selama tiga jam (dari jam 19.00 WIB hingga jam 22.00

WIB) dan diulang selama tiga malam berturut-turut.

Keterangan:

: perangkap cahaya (light trap)

(44)

Sampel serangga yang diperoleh kemudian disortasi dari kotoran yang ada,

lalu dimasukkan ke dalam botol sampel yang berisi alkohol 70%. Sampel diberi

label dan diidentifikasi di Laboratorium Biologi, Fakultas Pertanian, Perikanan

dan Biologi, Universitas Bangka Belitung, dengan tujuan untuk mengetahui

ordo serangga. Adapun serangga yang diidentifikasi adalah serangga berukuran

lebih dari 1 cm. Niemitz (1984) menyatakan serangga yang berpotensi sebagai

pakan tarsius adalah serangga yang berukuran lebih dari 1 cm.

Distribusi dan Populasi Mentilin

Metode transek garis (line transect) (Gambar 11) diketahui digunakan untuk

menghitung kepadatan populasi berbagai spesies mamalia di hutan tropis (Wallace

et al. 1998; Iskandar 2007). Tiap lokasi penelitian dibuat satu transek garis

sepanjang ± 2 km, dan dengan jarak pandang ± 25 m pada kedua sisi jalur. Jarak

pandang ini didapat saat survei pendahuluan yang dilakukan pada bulan April 2014

hingga bulan Juli 2014 dengan bantuan senter. Pengamatan mentilin dilakukan pada

tiga periode waktu (15.00-18.00 WIB, 20.00-24.00 WIB, dan 01.00-05.00 WIB)

dan diulang sebanyak tiga kali masing-masing saat bulan gelap (new moon) dan

bulan terang (full moon), sehingga ulangan pengamatan di tiap lokasi penelitian

adalah sebanyak 18 kali. Selain itu, pengamatan dilakukan pada saat kondisi langit

cerah atau berawan, dan tidak dilakukan pada saat kondisi hujan. Mentilin yang

teridentifikasi dihitung berdasarkan jumlah penampakan wujud mentilin.

(45)

Jarak habitat mentilin dari permukiman dan semak belukar terdekat diukur

untuk mengetahui pengaruhnya terhadap distribusi mentilin. Identifikasi jarak

dilakukan secara digital. Masing-masing lokasi penelitian dicatat titik koordinatnya

menggunakan Garmin eTrex 30, kemudian dipetakan di Google Earth Pro

7.1.5.1557 untuk mengukur jarak lokasi penelitian dari permukiman dan semak

belukar terdekat.

Permasalahan Pelestarian Mentilin

Data permasalahan pelestarian mentilin di lokasi penelitian diperoleh melalui

wawancara dengan masyarakat sekitar lokasi penelitian dan pengamatan

di lapangan. Wawancara dengan masyarakat sekitar lokasi penelitian dilakukan

dengan metode purposive sampling (sampel bertujuan). Purposive sampling

dilakukan dengan cara mengambil subjek atau responden atau informan bukan

didasarkan atas strata, random, atau daerah, tetapi didasarkan atas adanya tujuan

tertentu (Arikunto 2002). Kriteria pemilihan masyarakat yang diwawancara, yaitu

(1) penduduk yang sudah lama tinggal di lokasi penelitian tersebut, minimal 20

tahun; (2) dewasa; (3) bersedia dan memiliki kemampuan untuk menjelaskan

tentang tema atau topik yang dibicarakan; (4) tokoh masyarakat atau perangkat desa

atau kelurahan. Berdasarkan kriteria pemilihan tersebut didapat 21 orang. Adapun

masyarakat yang diwawancara disajikan pada Tabel 6.

Tabel”6””Masyarakat yang diwawancara

Tipe masyarakat Jumlah (orang)

Zed Kemuja Paya Benua Petaling Total

Kepala desa 1 1 1 1 4

Sekretaris desa 1 1 1 1 4

Keamanan desa 1 1 1 1 4

Warga desa 1 2 1 5 9

Jumlah 4 5 4 8 21

Analisis Data

Habitat Mentilin

Komponen Fisik

Komponen fisik habitat mentilin yang terdiri dari posisi, ketinggian,

kemiringan, iklim mikro (suhu dan kelembaban udara), serta jarak dari

(46)

bentuk tabel dan grafik atau diagram atau persentase. Kemudian, data tersebut

dianalisis secara deskriptif sebagai penggambaran dari pengamatan dan

pengidentifikasian, serta kondisi sesungguhnya di lokasi penelitian.

Komponen Biotik

Komponen biotik habitat mentilin yang terdiri dari spesifikasi habitat (struktur

dan komposisi vegetasi), stratifikasi habitat, identifikasi vegetasi tidur, dan

keanekaragaman serangga sebagai pakan potensial disajikan secara kuantitatif

dalam bentuk tabel dan grafik atau diagram atau persentase. Kemudian, data

tersebut dianalisis secara deskriptif sebagai penggambaran dari pengamatan dan

pengidentifikasian di lokasi penelitian.

1. Spesifikasi Habitat Mentilin

Spesifikasi habitat mentilin dianalisis dari data struktur dan komposisi

vegetasi, yaitu kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi, frekuensi relatif,

dominansi, dan dominansi relatif yang selanjutnya dihitung untuk

mendapatkan indeks nilai penting (INP) (Soerianegara dan Indrawan 1998).

Penghitungan INP dilakukan untuk mengetahui spesies dan tingkat vegetasi

yang memiliki pengaruh atau nilai penting bagi habitat (Winarti 2011). Adapun

formula yang digunakan sebagai berikut.

Kerapatan suatu spesies (K) = Jumlah individu suatu spesies Luas petak contoh

Frekuensi suatu spesies (F) = Jumlah petak contoh ditemukan suatu spesies

(47)

INP pancang, INP semai, dan INP vegetasi lantai

= KR + FR

INP pohon dan INP tiang = KR + FR + DR

Setelah melakukan penghitungan INP, dilakukan penghitungan

keanekaragaman dan kemerataan spesies vegetasi masing-masing dengan

menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dan indeks

kemerataan Pielou (E). Persamaan indeks yang digunakan sebagai berikut.

H’= n

N In n N

Keterangan: H’: indeks keanekaragaman Shannon-Wiener;

ni : INP suatu spesies;

N : INP seluruh spesies; dan In : logaritma natural.

Magurran (1988) menyatakan besaran H'”≤”1 menunjukkan

keanekaragaman spesies tergolong rendah, 1”<”H'”≤”3 menunjukkan

keanekaragaman spesies tergolong sedang, serta H'”>”3 menunjukkan

keanekaragaman spesies tergolong tinggi.

E = H

In (S)

Keterangan: E : indeks kemerataan Pielou;

H’: indeks keanekaragaman Shannon-Wiener;

S : jumlah seluruh spesies; dan In : logaritma natural.

Magurran (1988) menyatakan besaran E”≤”0,3 menunjukkan kemerataan

spesies tergolong rendah, 0,3”<”E”≤”0,6 menunjukkan kemerataan spesies

tergolong sedang, serta E”>”0,6 menunjukkan kemerataan spesies tergolong

tinggi.

2. Stratifikasi Habitat Mentilin

Data stratifikasi habitat mentilin disajikan dalam bentuk diagram profil

vegetasi. Kemudian, diagram profil vegetasi tersebut dianalisis secara

deskriptif sebagai penggambaran stratifikasi habitat mentilin dan penggunaan

(48)

3. Identifikasi Vegetasi Tidur Mentilin

Data identifikasi vegetasi tidur mentilin disajikan secara kuantitatif dalam

bentuk tabel dan grafik atau diagram atau persentase. Kemudian, data tersebut

dianalisis secara deskriptif sebagai penggambaran hasil identifikasi di lokasi

penelitian.

4. Keanekaragaman Serangga sebagai Pakan Potensial Mentilin

Keanekaragaman serangga sebagai pakan potensial mentilin ditentukan

dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener sebagai

berikut.

H’= n

N In n N

Keterangan: H’: indeks keanekaragaman Shannon-Wiener;

ni : jumlah individu suatu spesies;

N : jumlah individu seluruh spesies; dan In : logaritma natural.

Magurran (1988) menyatakan besaran H'”≤”1 menunjukkan

keanekaragaman spesies tergolong rendah, 1”<”H'”≤”3 menunjukkan

keanekaragaman spesies tergolong sedang, serta H'”>”3 menunjukkan

keanekaragaman spesies tergolong tinggi.

Distribusi dan Populasi Mentilin

Kepadatan populasi mentilin di tiap lokasi penelitian ditentukan dengan

menganalisis data yang telah diperoleh menggunakan formula (SCNP 1981)

sebagai berikut.

D = N

p x l

Keterangan: D : kepadatan populasi mentilin (ekor/km2); N : jumlah mentilin yang teridentifikasi (ekor);

p : panjang total jalur pengamatan di tiap lokasi penelitian (36 km = 2 km x 3 ulangan pengamatan x 3 periode waktu x 2 periode bulan); dan

(49)

Estimasi populasi mentilin di tiap lokasi penelitian ditentukan dengan

menganalisis data yang telah diperoleh menggunakan formula (SCNP 1981)

sebagai berikut.

P = D x L

Keterangan: P : estimasi populasi mentilin (ekor);

D : kepadatan populasi mentilin (ekor/km2); dan

L : estimasi luas habitat representatif bagi mentilin (km2).

Permasalahan Pelestarian Mentilin

Data permasalahan pelestarian mentilin di lokasi penelitian yang diperoleh

melalui wawancara dengan masyarakat sekitar lokasi penelitian dan pengamatan

di lapangan dirangkum atau ditabulasikan. Kemudian, data tersebut dianalisis

secara deskriptif sebagai penggambaran permasalahan pelestarian mentilin di lokasi

(50)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komponen Fisik Habitat Mentilin

Hasil identifikasi komponen fisik habitat mentilin (Cephalopachus bancanus

bancanus) di empat lokasi penelitian dapat dilihat di Tabel 7 dan 8.

Tabel”7””Hasil identifikasi komponen fisik habitat mentilin (posisi, ketinggian,

Tabel”7””dan kemiringan habitat mentilin) Lokasi habitat

*Keterangan: analisis dariGoogle Earth Pro7.1.5.1557

Tabel”8””Hasil identifikasi komponen fisik habitat mentilin (suhu, kelembaban

Tabel”8””udara, serta jarak habitat mentilin dari permukiman, semak belukar, dan

Tabel”8””sungai terdekat)

Zed 24,0-29,2 72,2-98 1,16 7,11 3,85

Kemuja 23,8-30,0 70,8-99 1,37 4,99 6,22

Paya Benua 23,8-29,6 74,6-98 2,38 0,72 5,65

Petaling 23,5-29,8 72,6-99 5,43 0,36 8,56

*Keterangan: analisis dariGoogle Earth Pro7.1.5.1557

Ketinggian Habitat Mentilin

Hasil penelitian (Tabel 7) menunjukkan habitat mentilin di Kabupaten Bangka

berada pada dataran rendah dengan kisaran ketinggian 22-46 m dpl. Pernyataan

tersebut sejalan dengan Wirdateti (2005) dalam penelitiannya yang menyatakan

western tarsier (C. bancanus) merupakan spesies primata dataran rendah yang

umum ditemukan di bawah ketinggian 150 m dpl. Adapun ketinggian tertinggi

Gambar

Gambar 20.40Kepadatan populasi mentilin

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Keragaman Genetik, Struktur Populasi dan Filogenetik Ikan Tuna Sirip Kuning ( Thunnus albacares ) di Perairan

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Distribusi dan Preferensi Habitat Udang Dan Kepiting Air Tawar (Crustacea: Decapoda) di Danau Laut Tawar Aceh Tengah,

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Pengaruh Infrastruktur Jalan terhadap Peningkatan Kinerja UKM Tas di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul analisis dan perancangan marketplace pertanian menggunakan user experience adalah benar karya saya dengan

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Populasi, Identifikasi dan Deteksi Fragmen Gen Penghasil Aflatoksin Aspergillus flavus

Jumlah Tarsius sebanyak 2 ekor yang didapatkan pada perkebunan karet tradi- sional menunjukkan bahwa penutupan tumbuhan pada lokasi tersebut mampu memberikan habitat bagi

Perilaku Bersuara Tarsius (Cephalopachus bancanus bancanus) di Desa Petaling Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.. xii+46 pages, 18 pictures, 6 tables,

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Optimalisasi Pengembangan Tanah Wakaf di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing