• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arahan Pengembangan Integrasi Sawit Sapi Dalam Peningkatan Ekonomi Wilayah Di Kabupaten Langkat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Arahan Pengembangan Integrasi Sawit Sapi Dalam Peningkatan Ekonomi Wilayah Di Kabupaten Langkat"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

ARAHAN PENGEMBANGAN INTEGRASI SAWIT-SAPI DALAM

PENINGKATAN EKONOMI WILAYAH DI KABUPATEN LANGKAT

LISMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Arahan Pengembangan Integrasi Sawit-Sapi dalam Peningkatan Ekonomi Wilayah di Kabupaten Langkat benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

LISMAWATI. Arahan Pengembangan Integrasi Sawit-Sapi dalam Peningkatan Ekonomi Wilayah di Kabupaten Langkat. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO dan KHURSATUL MUNIBAH.

Kabupaten Langkat memiliki potensi yang besar di bidang pertanian khususnya sub sektor perkebunan dan peternakan. Besarmya kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Langkat adalah sebesar 54,04 %, yaitu sub sektor perkebunan (30,90%) dan peternakan (5,75%). Komoditas perkebunan yang paling dominan di Kabupaten Langkat adalah kelapa sawit dengan luas perkebunan sebesar 112 323.9 Ha pada tahun 2013. Luas perkebunan kelapa sawit rakyatnya mencapai 45.407 Ha (40%) dari total luas perkebunan sawit dan termasuk 3 terbesar di Provinsi Sumatera Utara. Adapun komoditas peternakan utama di Kabupaten Langkat adalah peternakan sapi potong yang menyumbang sekitar 25 – 30 % dari populasi ternak sapi potong di Provinsi Sumatera Utara. Kedua kondisi sub sektor tersebut memberikan peluang untuk melaksanakan integrasi sawit-sapi di Kabupaten langkat. Integrasi sawit-sapi diharapkan dapat berperan untuk meningkatkan populasi ternak sapi potong dalam mendukung program swasembada daging sapi.

Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) menentukan potensi lahan perkebunan kelapa sawit eksisting sebagai sumber pakan ternak sapi potong, 2) menganalisis keuntungan ekonomi program integrasi sawit-sapi, 3) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani-peternak, 4) menentukan tingkat preferensi anggota terhadap kelompok tani dan 5) menentukan prioritas, strategi dan arahan pengembangan integrasi sawit-sapi dalam peningkatan ekonomi wilayah di Kabupaten Langkat.

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara/kuesioner di lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari beberapa instansi pemerintah. Penentuan responden petani, para pakar, dan stakeholders lainnya menggunakan metode purposive sampling. Adapun metode analisis yang digunakan diantaranya analisis deskriptif, analisis Location Quotient (LQ), Shift Share Analyzed (SSA), analisis usaha tani, analisis regresi, analisis Multiple Criteria Decision Making (MCDM) dengan pendekatan Technidue For Others Reference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS), Analytical Hierarchy Process (AHP) dan analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities dan Threats (SWOT).

(5)

829 570,- per tahun dengan pendapatan per ST sebesar Rp. 3 707 392. Faktor yang berpengaruh signifikan terhadap pendapatan petani peternak adalah biaya pakan dan skala pemeliharaan. Adapun nilai respon positif rata-rata dari tingkat preferensi anggota terhadap keberadaan kelompok tani sebesar 64.4% yang menunjukkan bahwa perlu adanya pembenahan manajemen kelompok tani.

Prioritas daerah pengembangan integrasi sawit-sapi berturut-turut adalah Kecamatan Secanggang, Wampu, Babalan dan Kuala. Strategi utama yang dilakukan untuk pengembangan integrasi sawit sapi melalui peningkatan efisiensi model pemeliharaan dari ekstensif menjadi intensif dengan dukungan akademisi dan kebijakan pemerintah. Arahan pengembangan berdasarkan strategi yang telah disusun untuk diimplementasikan pada empat kecamatan penelitian. Pengembangan integrasi sawit-sapi memberikan dampak positif terhadap peningkatan ekonomi wilayah di Kabupaten Langkat karena dapat menciptakan lapangan kerja sebanyak 114 447 orang atau 22.66% (12.16% menjadi 34.82%) dari total angkatan kerja dan meningkatkan kontribusi sub sektor peternakan sebesar 177.81 milyar atau 3.85% (5.75% menjadi 9.60%) terhadap PDRB sektor pertanian.

(6)

SUMMARY

LISMAWATI. Direction of Oil Palm-Cattle Integrated Based Culture Development in Uplifting Regional Economic of Langkat District. Supervised by KUKUH MURTILAKSONO and KHURSATUL MUNIBAH.

Langkat has a great potency in the agriculture field, especially plantation and livestock sub-sector. The amount of agricultural sector's contribution to Langkat’s GDP about 54.04%, with plantations (30.90%) and livestock sub-sector (5.75%). The most dominant commodities in Langkat is palm oil with 112 323.9 hectares of palm plantations in 2013. Oil palm plantations of smalholders estate reached 45 407 hectares (40%) of the total area of oil palm plantations and includes the 3rd largest in the province of North Sumatra. While the main commodities of the livestock sub-sector in Langkat is beef cattle farms accounts for about 25-30% of the population of cattle in the province of North Sumatra. Both of sub-sector condition provides the opportunity to implement the oil palm-cattle integrated in Langkat. Oil palm-palm-cattle integrated was expected to increase the cattle population in favor of beef self-sufficiency program.

The purpose of this study were: 1) to determine the potential of oil palm plantations existing as feed for cattle, 2) to analyze the economic benefits of oil palm cattle integrated based culture, 3) to identified the factors that affect the income of farmers 4) to determine the members level preference of farmer groups and 5) to determine the priority, strategy and direction of oil palm-cattle integrated based culture development in uplifting regional economic of Langkat District.

This study uses primary data obtained through interviews / questionnaires in the field. Secondary data were obtained from several government agencies. Respondent farmers, experts, and other stakeholders using purposive sampling method. The analytical method used analysis of descriptive, analysis of Location Quotient (LQ), analysis of the Shift Share (SSA), analysis of farming, analysis of regression, analysis of Multiple Criteria Decision Making (MCDM) approach Technidue For Others Reference by Similarity to ideal Solution (TOPSIS), analysis of Hierarchy Process (AHP) and analysis of Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT).

(7)

of farmer groups was about 64.4% that indicated the need for a management improvement of farmer groups.

The priority of development areas are respectively Secanggang, Wampu, Babalan and Kuala sub-districs. The strategies for developing oil palm-cattle integrated based culture was done by changing the integration model from extensive into intensive model to increase its efficiency with academic and government policies supports. The direction of development based on a strategy that has been conceived to be implemented in four sub-districts of the study.The development of oil palm-cattle integrated based culture provided positive impact on the uplifting regional economic in Langkat district because could create job as many as 114 447 people or 22.66% ( from 12.16% to 34.82%) from the total economically active and contributed to the GDP esspecially on the livestock sub-sector amounted to 177.81 billion or 3.85% (from 5.75% to 9.6%) of the agricultural sector.

(8)

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

ARAHAN PENGEMBANGAN INTEGRASI SAWIT-SAPI DALAM

PENINGKATAN EKONOMI WILAYAH DI KABUPATEN LANGKAT

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

(10)
(11)

Judul Tesis : Arahan Pengembangan Integrasi Sawit-Sapi dalam Peningkatan Ekonomi Wilayah di Kabupaten Langkat

Nama : Lismawati NRP : A156140144

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Kukuh Murtilaksono, MS Ketua

Dr Dra Khursatul Munibah, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang berjudul Arahan Pengembangan Integrasi Sawit-Sapi dalam Peningkatan Ekonomi Wilayah di Kabupaten Langkat. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof Dr Ir Kukuh Murtilaksono, MS sebagai ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr Ir Khursatul Munibah. M.Sc sebagai anggota komisi pembimbing dengan kesabaran dan keikhlasannya telah meluangkan waktu untuk mengarahkan dan membuka wawasan penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 2. Bapak Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus selaku Ketua Program Studi Ilmu

Perencanaan Wilayah sekaligus dosen penguji luar komisi yang banyak memberi wawasan dalam menyelesaikan tesis ini.

3. Segenap dosen dan staf manajemen Program Studi PWL IPB yang telah mengajar dan membantu penulis selama mengikuti studi.

4. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.

5. Bapak Gubernur, Sekretaris Daerah, Kepala Badan Kepegawaian Daerah, serta Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara yang telah memberikan izin serta dukungan baik moril maupun materiil unuk mengikuti tugas belajar pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB.

6. Bapak Direktur PPKS Medan, BPTP Provinsi Sumatera Utara, Dinas Peternakan Kabupaten Langkat dan Akademisi Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan USU Medan atas kerjasamanya dalam penulisan tesis ini.

7. Ayah dan Ibunda yang tersayang semoga tenang di sisi-Nya serta Suami dan Anak tercinta yang telah memberikan ridho, izin serta dorongan semangat sehingga memberikan kekuatan yang besar kepada penulis.

8. Rekan-rekan PWL IPB baik kelas khusus Bappenas maupun reguler yang banyak memberikan bantuan moral selama masa pendidikan.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan baik moril maupun materiil selama studi dan penulisan tesis ini

Penulis sepenuhnya menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan. Kritik dan saran yang bermanfaat sangat diharapkan penulis untuk lebih menyempurnakan karya tulis ini. Semoga memberikan manfaat.

Bogor, Januari 2016

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Kerangka Pemikiran 3

Ruang Lingkup Penelitian 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Pengembangan Wilayah 6

Perkebunan Kelapa Sawit dan Pemanfaatan Limbah 8

Sapi Potong 12

Konsep Integrasi Sawit-Sapi 16

Usaha Tani/Ternak 21

Kelompok Tani 24

3 METODE PENELITIAN 25

Lokasi dan Waktu Penelitian 25

Jenis dan Sumber Data 25

Bahan dan Alat 25

Metode Pengumpulan Data 26

Metode Analisis Data 26

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 40

Kondisi Wilayah 40

Kondisi Karakter Responden 44

Integrasi Sawit, Sapi dan Energi (ISSE) di PPKS 49

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 50

Potensi Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Sebagai Sumber Pakan 50

Analisis Usaha Tani 53

Preferensi Anggota terhadap Kelompok Tani 64

(14)

6 SIMPULAN DAN SARAN 83

Simpulan 83

Saran 84

DAFTAR PUSTAKA 85

LAMPIRAN 90

(15)

DAFTAR TABEL

1 Luas Tanam dan Produksi Tanaman Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat

di Kabupaten Langkat Tahun 2013 9

2 Kandungan Nutrisi Hasil Samping dan Limbah Industri Kelapa Sawit

(% Bahan Kering) 10

3 Produksi Daging Sapi Nasional Tahun 2008-2012 13 4 Jumlah Populasi Sapi Potong dan Produksi Daging Sapi di Kabupaten

Langkat Tahun 2013 15

5 Daya Tampung Ternak Sapi Potong/hektar Lahan Sawit 18

6 Jenis dan Jumlah Responden Penelitian 26

7 Matriks Tujuan, Jenis dan Sumber Data, Teknik Analisis dan Output 27

8 Skala Dasar Ranking AHP 36

9 Alokasi Penggunaan Lahan di Kabupaten Langkat 41

10 Statistik Ketenagakerjaan Kabupaten Langkat 41

11 Statistik Pendidikan Kabupaten Langkat 42

12 Statistik Kesehatan dan Kemiskinan Kabupaten Langkat 42

13 Statistik Peternakan Kabupaten Langkat 43

14 Perkembangan PDRB Kabupaten Langkat 44

15 Luas Kecamatan dan Jumlah Penduduk di Kecamatan Penelitian 45 16 Luas Tanam dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di

Kecamatan Penelitian 51

17 Potensi Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di Kecamatan-kecamatan Penelitian untuk Menampung Populasi Ternak Sapi Potong 52 18 Jumlah Pendapatan dan Nilai R/C di Kecamatan-kecamatan Penelitian 54 19 Analisis Pendapatan Usaha Peternakan Sapi Potong Secara Ekstensif di

Kecamatan-kecamatan Penelitian (rataan) 54

20 Analisis Pendapatan Usaha Peternakan Sapi Potong di Kecamatan-kecamatan Penelitian Asumsikan Pemeliharaan Secara Intensif (rataan) 57 21 Hasil Uji Asumsi Multikolinieritas Model Regresi Faktor yang

Berpengaruh Terhadap Pendapatan Peternak di Kecamatan Penelitian 59 22 Analisis Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Petani Peternak 60 23 Perbandingan Kentungan Penggunaan Pakan Konsentrat Konvensional

dan Silase di Kecamatan Penelitian 61

24 Rata-rata Preferensi Responden Terhadap Kelompok Tani/Ternak di

Kecamatan-kecamatan Penelitian 64

25 Preferensi Responden Terhadap Kelompok Tani/Ternak di

Masing-masing Kecamatan Penelitian Tahun 2015 64

26 Hasil Pembobotan Kriteria dan Nilai CR Berdasarkan Analisis AHP 65 27 Urutan Kriteria dan Alternatif Pada Metode TOPSIS 66 28 Urutan Prioritas Alternatif Kecamatan Pengembangan Integrasi

Sawit-Sapi di Kabupaten Langkat 67

29 Prioritas Pengembangan Integrasi Sawit-Sapi Menurut Kecamatan di

Kabupaten Langkat 67

30 Faktor Internal dan Eksternal Pengembangan Integrasi Sawit-Sapi di

Kabupaten Langkat 69

31 Strategi Pengembangan Integrasi Sawit-Sapi 78

(16)

33 Ranking Arahan Strategi Pengembangan Integrasi Sawit-Sapi 80 34 Arahan Pengembangan Integrasi Sawit-Sapi di Kabupaten Langkat 81 35 Perbandingan Model Pemeliharaan Ternak Sapi Potong Secara

Ekstensif dan Intensif 82

36 Perbandingan Integrasi di Masyarakat dan Peluang Pengembangannya 83

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran 5

2 Produk dan Hasil Samping Kelapa Sawit 10

3 Perkembangan Populasi Sapi Potong di Indonesia Tahun 2008-2012 12

4 Bagan Alir Tahapan Penelitian 28

5 Proses Pemilihan Arahan Prioritas Pengembangan Integrasi Sawit-Sapi

dengan AHP-TOPSIS 38

6 Hirarki Analisis AHP-SWOT Pengembangan Integrasi Sawit-Sapi di

Kabupaten Langkat 39

7 Peta Lokasi Penelitian 40

8 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di Kecamatan-kecamatan

Penelitian 45

9 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan di

Kecamatan-kecamatan penelitian 45

10 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman Beternak di

Kecamatan-kecamatan penelitian 45

11 Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Ternak 45 12 Penggunaan Tenaga Kerja dalam Keluarga di Kecamatan-kecamatan

Penelitian 46

13 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan di

Kecamatan-kecamatan Penelitian 46

14 Keikutsertaan Petani Peternak Dalam Kelompok Tani/Ternak di

Kecamatan-kecamatan Penelitian 46

15 Peta Lahan Perkebunan di Lokasi Penelitian 51

16 Grafik Normal P-Plot Regresi untuk Uji Normalitas 58 17 Grafik Scatterplots Regresi Uji Heteroskedastisitas 59 18 Grafik Ranking dari Alternatif Kecamatan Prioritas Pengembangan

Integrasi Sawit-Sapi Berdasarkan Analisis TOPSIS 67

DAFTAR LAMPIRAN

1 Target Swasembada Daging Tahun 2015-2019 90

2 Konsumsi dan Defisit Daging Sapi Nasional Tahun 2008-2012 90 3 Nilai LQ dan SSA Komoditas Sapi Potong di Kabupaten Langkat 91 4 Data Petani Peternak Integrasi Sawit-Sapi di Kecamatan Penelitian

Tahun 2015 92

5 Kuisioner Untuk Pakar/Stakeholders Berdasarkan Metode

(17)

6 Kuisioner Untuk Petani Peternak Integrasi Sawit-Sapi di Kecamatan

Penelitian 103

7 Hasil Analisis SWOT Strategi Pengembangan Integrasi Sawit-Sapi di

Kabupaten Langkat 110

8 Hasil Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi PendapatanPetani

Peternak 113

9 Pemilihan Prioritas Kecamatan Untuk Pengembangan Integrasi

(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging sapi merupakan komoditas prioritas dalam peningkatan kedaulatan pangan selain padi, jagung, kedelai, gula, dan ikan. Berdasarkan rincian dari Sembilan Agenda Prioritas (Nawa Cita), maka agenda prioritas di bidang pertanian terdiri dari dua hal, yaitu peningkatan agroindustri dan peningkatan kedaulatan pangan. Pembangunan pertanian dalam lima tahun kedepan berlandaskan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ketiga (2015-2019). Visi yang ingin dicapai dalam Renstra Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) tahun 2015-2019 adalah terwujudnya kedaulatan dan keamanan pangan asal ternak dengan tujuan antara lain mengembangkan usaha peternakan yang terintegrasi dan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani peternak.

Pemerintah Indonesia merumuskan program swasembada daging sapi untuk mewujudkan kedaulatan pangan asal ternak. Program swasembada daging sapi telah dicanangkan beberapa kali, terakhir diubah menjadi Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) 2014, kemudian dilanjutkan kembali pada tahun 2015-2019. Sulitnya mencapai swasembada daging sapi antara lain disebabkan karena jumlah populasi ternak sapi potong belum mencukupi. Tingkat konsumsi daging perkapita Indonesia menurut Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2015 yaitu 1.77 kg/kapita/tahun termasuk rendah dibandingkan negara lain seperti Filipina sebesar 7.5 kg, Singapura dan Malaysia 15 kg. Proporsi penyediaan daging sapi untuk target 2016 sebesar 90.10% dari lokal dan 9.90% dari impor. Oleh sebab itu perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan populasi sapi potong agar terjadi peningkatan konsumsi daging sapi perkapita. Salah satu program untuk meningkatkan populasi ternak sapi potong adalah dengan integrasi sawit-sapi.

Program integrasi sawit-sapi di Kabupaten Langkat merupakan komitmen pemerintah dengan mandat RPJMN dan Renstra 2015-2019 yaitu: 1) Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 43/Kpts/ PD.410/1/2015 Tanggal 16 Januari 2015 Tentang Pengembangan Kawasan Komoditas Peternakan di Provinsi Sumatera Utara yang dikembangkan di Kabupaten Deli Serdang dan Langkat. 2) Peraturan Menteri Pertanian No 05/permentan/PD.300/8/2014 Tanggal 14 Agustus 2014 Tentang Integrasi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit dengan Usaha Budidaya Sapi Potong. 3) Surat Edaran Bupati Langkat Nomor : 188.3-1032/ Disnak/2015 Tanggal 26 Mei 2015 tentang integrasi sawit-sapi yang ditujukan kepada Stakeholders Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Langkat.

(20)

Kabupaten Langkat atas dasar harga konstan sektor pertanian menyumbang sebesar Rp 4 608.280 milyar, Sub Sektor Tanaman Perkebunan Rp 1 423.874 milyar (30.89%), dan Sub Sektor Peternakan dan Hasil-hasilnya Rp 265.264 milyar (5.75%).

Sub sektor Perkebunan Kabupaten Langkat memiliki luas areal kelapa sawit perkebunan rakyat terbesar ke-3 pada tahun 2013 yaitu sebesar 45 407 hektar dengan produksi TBS 708 809.40 ton sementara luas areal kelapa sawit perkebunan rakyat di Provinsi Sumatera Utara 393 990 (sekitar 11.53% luas areal kelapa sawit perkebunan rakyat Sumatera Utara). Pada urutan pertama dan kedua adalah Kabupaten Asahan (72 337 ha dengan produksi 1 275 juta ton) dan Kabupaten Labuhan Batu Utara (68 161 ha dengan produksi 1 071 juta ton). Luas perkebunan kelapa sawit rakyat pada tahun 2010 hanya sebesar 41 542 hektar dan mampu memproduksi kelapa sawit sebanyak 611 391.60 ton, terjadi peningkatan luas lahan dan juga produksi kelapa sawit dari tahun 2010 sampai tahun 2013 (BPS Kabupaten Langkat 2014).

Kabupaten Langkat juga merupakan sentra peternakan terutama sapi potong. Jumlah populasi sapi potong di Kabupaten Langkat Tahun 2013 sebesar 160 821 ekor (BPS Kabupaten Langkat 2014b), sementara populasi ternak sapi potong di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013 sebesar 523 277 ekor. Kabupaten Langkat berkontribusi sebesar 30.73% terhadap populasi ternak sapi potong Provinsi. Potensi perkebunan kelapa sawit dan sebaran populasi ternak sapi potong ini menjadi peluang untuk melaksanakan integrasi sawit-sapi di Kabupaten Langkat.

Perumusan Masalah

Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai lebih dari 250 juta, dengan tingkat pertumbuhan sekitar 1.5 % per tahun dan elastisitas permintaan daging yang tinggi maka peningkatan pendapatan dan pertambahan penduduk akan meningkatkan jumlah peningkatan akan daging sapi setiap tahunnya, akhir-akhir ini terdapat kecenderungan kenaikan impor daging sapi dan ternak sapi hidup. Kondisi seperti ini dimanfaatkan negara lain untuk mengincar Indonesia sebagai tempat memasarkan produksi dagingnya terutama apabila Indonesia masih belum juga dapat menghasilkan produk sejenis dengan harga lebih bersaing.

Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas (2013) melaporkan bahwa Indonesia mengalami defisit daging sapi nasional sebesar 28.06% dari kebutuhan konsumsi sebesar 544 896 ton sementara produksi hanya sebesar 425 495 ton. Kondisi kekurangan daging sapi menjadi tantangan bagi pemerintah untuk dapat mewujudkan swasembada daging sapi salah satunya melalui integrasi sawit-sapi.

(21)

Pelaksanaan Integrasi sawit-sapi harus saling menguntungkan (Rahutomo et al. 2012).

Adanya laju permintaan produk peternakan yang terus meningkat, belum optimalnya pemanfaatan potensi sumber daya lokal dan sosial-ekonomi masyarakat dan model pemeliharaan diduga merupakan penyebab terjadinya perkembangan produksi sapi potong yang tidak sesuai dengan harapan dan menjadikan tantangan dan peluang untuk pengembangan sapi potong di Kabupaten Langkat. Pendekatan integrasi ini memposisikan sapi sebagai mesin pengolah limbah pertanian menjadi kompos (bahan organik), sedangkan pedet adalah bonus akibat pemeliharaan sapi secara benar, dan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan pokok dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Belum diketahui potensi lahan perkebunan kelapa sawit eksisting sebagai

sumber pakan ternak sapi potong.

2. Belum diketahui pemusatan ternak sapi potong dan tren pertumbuhannya. 3. Belum diketahui keuntungan ekonomi dan faktor-faktor yang mempengaruhi

pendapatan petani peternak.

4. Belum diketahui tingkat preferensi anggota terhadap keberadaan kelompok tani. 5. Belum diketahui prioritas dan strategi serta arahan pengembangan integrasi

sawit-sapi dalam peningkatan ekonomi wilayah di Kabupaten Langkat. Tujuan Penelitian

1. Menentukan potensi perkebunan kelapa sawit sebagai sumber pakan. 2. Menganalisis keuntungan ekonomi program integrasi sawit-sapi.

3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani peternak. 4. Menentukan tingkat preferensi anggota terhadap keberadaan kelompok tani. 5. Menentukan prioritas dan strategi serta merumuskan arahan pengembangan

integrasi sawit-sapi dalam peningkatan ekonomi wilayah di Kabupaten Langkat. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah untuk membuat perencanaan pembangunan, khususnya pengembangan sapi potong berbasis perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Langkat.

2. Sebagai bahan masukan kepada masyarakat/swasta yang bergerak dalam usaha ternak sapi potong/perkebunan dalam berinvestasi sehingga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani peternak.

Kerangka Pemikiran Penelitian

(22)

pengembangan sapi harus memanfaatkan wilayah yang berlimpah pakan di kawasan kebun sawit terutama di kawasan Sumatera dan Kalimantan.

Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan untuk mencukupi kebutuhan daging sapi di dalam negeri yang ke depan akan terus bertumbuh. Pemerintah Indonesia merumuskan program swasembada daging sapi untuk mendukung kedaulatan pangan. Swasembada menurut Hasnudi (2009) adalah kemampuan penyediaan daging dalam negeri sebesar 90-95% sisanya dapat dipenuhi dari impor. Susanti et al. (2012) menambahkan hasil yang diharapkan dari swasembada daging sapi adalah 10% kebutuhan nasional dipenuhi dari impor dan sisanya dipenuhi dari daging sapi lokal. Saat ini pasokan sapi potong berasal dari Nusa Tenggara, Bali dan Jawa.

Ketergantungan akan komponen impor bahan penyusun ransum yang semakin mahal dan ketersediaan pakan lokal yang tidak tersedia secara berkelanjutan menyebabkan kendala dalam industri peternakan dewasa ini. Selain itu dampak negatif sebagai akibat pergeseran fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian yang semakin meningkat sangat dirasakan oleh usaha ternak ruminansia. Sumber dan ketersediaan hijauan yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak menjadi terbatas. Konsekuensinya adalah tingkat produktivitas ternak yang bersangkutan menjadi rendah. Oleh karena itu dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak perlu dilakukan upaya mencari, menggunakan dan meningkatkan nilai nutrien sumber pakan alternatif, seperti produk samping industri pertanian. Salah satu sumber pakan alternatif yang cukup potensial adalah produk samping tanaman dan hasil ikutan pengolahan buah kelapa sawit yang tersedia sepanjang tahun dalam jumlah yang banyak (Mathius 2005). Pemanfaatan produk samping tersebut dilaksanakan melalui integrasi sawit-sapi.

Integrasi sawit-sapi di Kabupaten Langkat memiliki berbagai model pemeliharaan, secara umum model pemeliharaan adalah digembalakan (ekstensif) dan dikandangkan (intensif). Masing-masing pola pemeliharaan memiliki kelebihan dan kekurangan. Salah satu pola integrasi yang sudah berhasil dilaksanakan yaitu di Bukit Sentang Kecamatan Babalan Kabupaten Langkat dengan model dikandangkan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). PPKS berhasil mengembangkan integrasi sawit-sapi dengan pola perbanyakan dan penggemukan sapi. Konsep teknologi ISSE yang diterapkan dengan loop tertutup, dimana tidak ada biomassa yang keluar dari kebun, dengan adopsi pola integrasi ini dapat dikembangkan di kecamatan lain.

(23)

dapat dibuat menjadi silase dengan proses fermentasi sehingga waktu simpannya lebih lama.

Pemerintah Indonesia berusaha untuk mencapai swasembada daging sapi pada tahun 2015-2019. Kendala pencapaian swasembada daging sapi antara lain karena belum tercapai target populasi ternak sapi potong. Program integrasi sawit-sapi membantu pemerintah untuk meningkatkan populasi ternak sawit-sapi potong untuk pencapaian swasembada daging. Apabila program ini dapat berjalan baik maka akan memberi dampak yaitu peningkatan konsumsi daging sapi perkapita dan peningkatan pendapatan petani peternak yang akan mempengaruhi ekonomi wilayah. Diagram alir kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran

Kebutuhan Daging Semakin Meningkat

Konsep integrasi sawit-sapi

Perkebunan Kelapa Sawit 1. Luas Sawit no 3 di Sumut 2. Pemanfaatan hsl samping

dan limbah sbg pakan

Kenyataan :

Defisit daging 2012 sebesar 28.06%, Konsumsi daging/kapita rendah (1.778 kg/thn)

Daging Komoditas Prioritas Meningkatkan Kedaulatan Pangan

Swasembada Daging Tahun 2001-2005 Tahun 2008-2010 Tahun2010-2014 Tahun 2015-2019

Meningkatkan Populasi Sapot

Peternakan Sapot 1. Sentra Peternakan Sapot 2. Populasi Sapot Langkat 30.72%

Populasi Sapot Provinsi

Meningkatkan Pendapatan Petani

Meningkatkan Ekonomi Wilayah Adopsi dari PPKS

(24)

Ruang Lingkup Penelitian

Integrasi sawit-sapi melibatkan sub-sektor perkebunan dan peternakan. Kedua sub-sektor hendaknya mendapatkan manfaat dari program integrasi sawit-sapi karena merupakan hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Kajian penelitian ini dibatasi oleh pembahasan mengenai peternakan sapi potong yang memanfaatkan perkebunan kelapa sawit milik rakyat.

2.

TINJAUAN PUSTAKA

Pengembangan Wilayah

Secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai “upaya yang sistematis dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan beberapa alternative yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik “. Pembangunan dapat dikatakan merupakan proses memanusiakan manusia. Komponen dasar yang harus dimiliki dan dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling hakiki yaitu kecukupan (sustainance) memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jati diri (self-estreem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih. Pembangunan dipandang sebagai proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan keimpangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan (Todaro 2000 dalam Rustiadi et al. 2011). Pada hakikatnya pembangunan harus mencerminkan perubahan jumlah suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada didalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spiritual ( Rustiadi et al. 2011)

Menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004), dalam merencanakan suatu pembangunan wilayah/daerah ada beberapa aspek yang perlu mendapatkan perhatian agar perencanaan pembangunan dapat menghasilkan rencana pembangunan yang baik serta dapat diimplementasikan di lapangan. Aspek-aspek tersebut adalah :

1. Aspek lingkungan, pembangunan yang kurang memperhatikan masalah lingkungan akan memiliki nilai relevansi yang rendah terhadap perubahan. 2. Aspek potensi dan masalah, merupakan fakta yang ada di lapangan dan sangat

berpengaruh terhadap proses pembangunan, bahkan hal tersebut dapat menjadi suatu pijakan awal dalam proses penyusunan perencanaan yang dapat menjadi dasar analisis berikutnya.

(25)

4. Aspek ruang dan waktu, harus jelas menggambarkan suatu kebutuhan dalam timing yang tepat tentang kapan perencanaan pembangunan daerah mulai disusun, kapan mulai diberlakukan, untuk berapa lama masa pemberlakuannya, serta kapan dilakukan evaluasi atau perencanaan ulang (replanning)

5. Aspek legalisasi kebijakan, aspek ini menjadi penting ketika hasil perencanaan pembangunan daerah dipandang sebagai suatu keputusan dari suatu kebijakan yang harus dilaksanakan. Pelanggaran terhadap hasil suatu perencanaan dapat dipandang sebagai suatu tindakan penyelewengan yang dapat mengakibatkan implikasi hokum terhadap para pelanggarnya.

Pembangunan wilayah menurut Anwar (2005), dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Pengertian pembangunan dalam sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada kebutuhan dasar (basic need approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development).

Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan wilayah adalah :

1. Sebagai growth center. Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran atau pengaruh (spred effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah dan secara nasional.

2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama antar daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah.

3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan. 4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat

bagi perencanaan pengembangan kawasan.

Perencanaan pembangunan wilayah pada dasarnya adalah merancang keseluruhan proses perencanaan yang akan dilaksanakan dalam rangka melaksanakan pembangunan wilayah. Oleh karena itu mengenal dan memahami dengan baik tentang wilayah perencanaan sudah menjadi suatu keharusan bagi seorang perencana. Mengenali potensi dan masalah, mengetahui profil wilayah, memahami berbagai kebijakan pembangunan yang ada sampai dengan masalah kultur/budaya masyarakat, dan sebagainya dapat membantu perencana daerah untuk menghasilkan rencana pembangunan yang baik dan relevan. (Riyadi dan Bratakusumah 2004).

(26)

development” policies) yang memanfaatkan potensi sumber daya manusia lokal, sumber daya institusional lokal dan sumber daya fisik lokal. Orientasi ini menekankan pada pemberian prakarsa lokal (lokal initiatives) dalam prses pembangunan untuk menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong peningkatan kegiatan ekonomi secara luas.

Pertumbuhan Ekonomi wilayah adalah peningkatan volume variabel ekonomi dari suatu wilayah atau dapat dikatakan sebagai peningkatan sejumlah komoditas yang dapat digunakan atau diperoleh di suatu wilayah. Rustiadi et al. (2011) menyatakan bahwa mengingat keterbatasan/kelangkaaan (scarcity) dan sumber daya yang tidak merata, maka setiap potensi sumber daya yang ada harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Hal ini berarti bahwa setiap sumber daya harus dimanfaatkan seefesien dan seefektif mungkin. Dalam proses perencanaan dan pengembangan wilayah aspek ekonomi berperan penting untuk mengalokasikan sumber daya secara lebih efektif dan efisien dalam perspektif jangka pendek maupun jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi wilayah ditandai dengan pertambahan pendapatan masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (value added).

Perkebunan Kelapa Sawit dan Pemanfaatan Limbah

Kelapa sawit menjadi komoditi yang penting bagi bangsa Indonesia, tanpa disadari bahwa setiap hari kita tidak lepas dari produk kelapa sawit, dari minyak goreng, sabun, hingga berbagai produk oleokimia dan pangan yang setiap hari kita perlukan. Industri kelapa sawit juga member alternatif saat timbul kekhawatiran semakin menipisnya minyak bumi, karena minyak sawit dapat diproses menjadi biodiesel, bahan bakar terbarukan yang tidak pernah habis. Belakangan pada saat isu krisis daging sapi melanda Indonesia, karena setiap tahun kita mengimpor sapi dari Australia, maka kelapa sawit memberikan alternatif solusi yang menarik melalui integrasi sawit, sapi dan energi/ISSE (Sutarta 2012).

Agribisnis kelapa sawit merupakan salah satu sektor yang sangat potensial. Pasokan bahan pakan ternak pada perkebunan kelapa sawit yang tersedia sepanjang tahun menjadi jaminan kuantitas, kualitas dan kontinuitas pakan yang dihasilkan. Pada pola integrasi ini, tanaman kelapa sawit sebagai komponen utama sedangkan ternak sebagai komponen pelengkap. Melalui pola integrasi sawit-sapi dan energi (ISSE) ini, pelepah kelapa sawit akan menjadi komponen hijauan sementara bungkil dan lumpur sawit sebagai pengganti konsentrat yang biasa diperoleh dari bungkil kedelai, rapeseed meal, dan corn gluten meal yang selama ini diimpor 100% dari luar negeri (Purba et al. 2013)

(27)

Tabel 1. Luas Tanam dan Produksi Tanaman Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Kabupaten Langkat Tahun 2013

Kecamatan Luas Tanam / Area (Ha) Produksi TBM TM TTM Jumlah (Ton)

-1 -2 -3 -4 -5 -6

1. Bahorok 722 2706 5 3433 52747,50

2. Serapit 179 1 211 - 1390 22 403,50

3. Salapian 121 3 422 - 3543 61 596,00

4. Kutambaru 110 790 5 905 14 615,00

5. Sei Bingai 191 2 615 26 2832 48 377,50

6. Kuala 475 887 - 1362 16 853,00

7. Selesai 570 3 409 5 3984 63 066,50

8. Binjai 237 267 - 504 4 969,50

9. Stabat 79 116 - 195 2 146,00

10. Wampu 165 3 466 - 3631 62 388,00

11. Batang Serangan 406 3 966 - 4372 69 405,00

12. Sawit Seberang 35 210 - 245 3 675,00

13. Padang Tualang 175 595 5 775 10 412,50

14. Hinai 275 453 - 728 8 154,00

15. Secanggang 250 816 - 1066 14 688,00

16. Tanjung Pura 203 1 866 20 2089 13 655,00

17. Gebang 397 823 - 1220 14 402,50

18. Babalan 69 165 - 234 2 887,50

19. Sei Lepan 543 2 510 - 3053 44 678,00

20. Brandan Barat 40 759 - 799 13 054,80

21. Besitang 642 6 804 20 7466 122 472,00

22. Pangkalan Susu 105 446 - 551 7 626,60

23. Pematang Jaya 125 905 - 1030 15 566,00

Langkat 6 114 39 207 86 45407 708 809,40

Tahun 2012 6 664 38 375 65 45.104 633 047,00 Tahun 2011 3 802 38 121 346 42.269 598 073,30 Tahun 2010 3 575 37 621 346 41.542 611 391,60 Sumber : .BPS Kabupaten Langkat (2014a)

Selain menghasilkan CPO sebagai komoditas utama, industri kelapa sawit juga menghasilkan beberapa jenis hasil samping yang potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak, yakni serabut mesokarp (palm press fibr/ PPF), lumpur sawit (palm oil sludge/ POS), dan bungkil inti sawit (palm kernel cake/ PKC) yang diperoleh dari pabrik pengolahan kelapa sawit, serta pelepah sawit (oil palm frond/OPF) dan batang pohon sawit (oil palm trunk/OPT) yang diperoleh dari kebun kelapa sawit.

(28)

ternak sebenarnya telah lama dan cukup banyak dilakukan (Elisabeth dan Ginting 2003 ).

Gambar 2. Produk dan Hasil Samping Kelapa Sawit

Kandungan nutrisi dari beberapa jenis hasil samping industri kelapa sawit menurut Idris et al. (1998) disajikan pada Tabel 2 (% bahan kering).

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Hasil Samping dan Limbah Industri Kelapa Sawit (% Bahan Kering)

No Komponen Pelepah sawit Lumpur

Sawit

Bungkil Inti sawit

1. Bahan kering 86.2 91.1 91.8

2. Protein kasar 5.8 11.1 15.3

3. Serat Kasar 48.6 17.0 15.0

4. Ekstrak eter 5.8 12.0 8.9

5. Ekstrak bebas N 36.5 50.4 55.8

6. Abu 3.3 9.0 5.0

7. Kalsium 0.32 0.7 0.2

8. Fospor 0.27 0.5 0.52

9. TDN 29.8 45.0 65.4

10. Energi Kasar ( MJ/kg) 4.02 6.52 9.8

Sumber : Idris et al. ( 1998) dalam Elisabeth dan Ginting (2003)

Elisabeth dan Ginting (2003) menyatakan bahwa untuk ternak ruminansia pelepah sawit dapat digunakan sebagai bahan pengganti rumput, sedangkan lumpur sawit dan bungkil inti sawit dapat digunakan sebagai bahan sumber protein dengan kandungan protein masing-masing 14.5% dan 16.3%. Hasil samping dari limbah perkebunan kelapa sawit adalah :

Pelepah dan Daun Sawit

Pelepah dan daun sawit merupakan hasil ikutan yang diperoleh pada saat dilakukan pemanenan tandan buah segar. Jumlah pelepah dan daun segar yang dapat diperoleh untuk setiap ha kelapa sawit mencapai lebih 2.3 ton bahan kering. Dengan asumsi satu hektar terdiri dari 130 pohon, setiap pohon dapat

Tandan Buah Segar ( TBS )

Tandan Kososng Sawit

/TKS ( 23%)

Serat Mesokarp (13%)

Minyak Sawit ( 20-22%)

Inti Sawit ( 5%)

Cangkang ( 7%)

Lumpur Sawit /POS ( 2% BK)

Minyak Inti Sawit/ PKO ( 45-46%)

(29)

menghasilkan 22–26 pelepah/tahun dengan rataan berat pelepah dan daun sawit 4–6 kg/pelepah, bahkan produksi pelepah dapat mencapai 40–50 pelepah/pohon/tahun dengan berat sebesar 4.5 kg/pelepah (Hutagalung dan Jalaluddin 1982 dalam Harfiah 2009).

Pelepah dan daun sawit dapat dimanfaatkan sepenuhnya sebagai bahan pengganti hijauan dan sumber serat. Pemanfaatannya maksimal 30 % dari konsumsi bahan kering. Pencacahan yang dilanjutkan dengan pengeringan dan digiling, dapat diberikan dalam bentuk pellet (Wan Zahari et al. 2003). Untuk meningkatkan nilai nutrien dan biologis pelepah melalui pembuatan silase dengan memanfaatkan urea atau molasses belum memberikan hasil yang signifikan, tetapi nilai nutrient cenderung meningkat. Untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan pelepah dapat dilakukan dengan menambah produk ikutan pengolahan buah kelapa sawit. Pelepah kelapa sawit dapat mengganti rumput sampai 80% tanpa mengurangi laju pertambahan bobot badan ternak yang sedang tumbuh.

Tingkat kecernaan bahan kering pelepah dan daun kelapa sawit pada sapi mencapai 45%. Daun kelapa sawit dapat digunakan sebagai sumber atau pengganti pakan hijauan. Adanya lidi pada pelepah daun kelapa sawit akan menyulitkan ternak dalam mengkonsumsinya. Masalah tersebut dapat diatasi dengan perancangan alat pencacah yang tepat sehingga dapat diperoleh cacahan pelepah dan daun beserta lidi dengan ukuran 0.5–1 cm. Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) telah berhasil memproduksi alat tersebut sehingga pemanfaatan pelepah daun kelapa sawit sebagai bahan pakan sapi dapat mencapai 70%. Pemberian pelepah kelapa sawit sebagai bahan pakan sapi dalam jangka panjang menghasilkan kualitas karkas yang baik 50% dari jumlah pakan menghasilkan pertambahan bobot badan harian berkisar antara 0.62–0.75 kg (Balai Penelitian Ternak 2003).

Lumpur Sawit ( Palm Sludge / Solid )

Limbah yang dihasilkan pada produksi minyak kelapa sawit (crude palm oil/ CPO) ada dua macam yaitu limbah padat dan limbah cair. Lumpur minyak sawit merupakan larutan buangan yang diperoleh setelah proses ekstraksi minyak kelapa sawit, terdiri dari 4–5% padatan, sisanya minyak 0.5– 1% dan air sebanyak 95% (Hutagalung dan Jalaluddin 1982 dalam Harfiah 2009). Lumpur minyak sawit adalah salah satu limbah padat dari hasil pengolahan minyak sawit, biasanya sudah dipisahkan dengan cairannya sehingga merupakan limbah padat. Lumpur sawit umumnya digunakan sebagai sumber energi dan mineral dalam ransum karena kandungan lemak yang relatif tinggi, sedangkan proteinnya sekitar 12 - 15%. Kendala penggunaan lumpur sawit sebagai pakan ternak adalah tingginya kandungan air dan abu sehingga tidak dapat digunakan sebagai pakan tunggal dan harus disertai dengan pakan yang bersumber dari produk samping lainnya.

Bungkil Inti Sawit (Palm Kernel Cake)

(30)

konsentrat kualitas tinggi yaitu sebesar 84.3%, sedangkan tanpa molases hanya 77.8%. Pakan tambahan untuk ternak mengandung bungkil inti sawit sampai 55.5%, molases digunakan sampai 7.50% dan menghasilkan pertambahan bobot hidup yang sama dengan konsentrat komersial. Berdasarkan penelitian Batubara et al. (1992) yang menggunakan bungkil inti sawit sebanyak 30% ditambah molases 3.25% dan bahan lainnya pada ternak, hasilnya dapat menyamai bila ternak tersebut diberikan pakan konvensional.

Sapi Potong

Secara umum ada tiga faktor penting dalam pengembangan sapi potong disuatu wilayah yaitu pertimbangan teknis, sosial, dan ekonomis. Pertimbangan teknis mengarah kepada kesesuaian pada sistem produksi yang berkesinambungan, ditunjang oleh kemampuan manusia dan kondisi agroekologis. Pertimbangan sosial meliputi penerimaan masyarakat terhadap keberadaan ternak tanpa menimbulkan konflik sosial. Pertimbangan ekonomis mengandung arti bahwa ternak yang dipelihara harus menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian daerah serta bagi pemeliharanya sendiri. Selanjutnya dikatakan bahwa di samping ketiga faktor tersebut di atas terdapat faktor lain yang mempengaruhi perkembangan peternakan secara eksternal di antaranya infra struktur, keterpaduan dan koordinasi lintas sektoral, perkembangan penduduk, serta kebijakan pengembangan wilayah (Soehadji 1999).

Populasi sapi potong selama 2008-2012 terus meningkat dengan rata-rata 6,87 % /ekor, yaitu dari 12,26 juta ekor pada tahun 2008 menjadi 16,03 juta ekor pada tahun 2012 (Gambar 3). Peningkatan populasi pada tahun 2011 dan 2012 lebih cepat dibanding selama 2008-2010.

Gambar 3. Perkembangan Populasi Sapi Potong di Indonesia Tahun 2008-2012 (ekor)

Pemenuhan permintaan daging sapi apabila hanya dipenuhi melalui pemotongan sapi lokal dapat berakibat terjadinya pengurasan jumlah populasi sapi lokal, lebih dari itu dikhawatirkan terjadinya pemotongan terhadap sapi-sapi muda

12,257 12,760 13,582 14,824 16,034 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000

2008 2009 2010 2011 2012

(31)

maupun sapi betina produktif. Penyebab pengurasan adalah karena ketidakmampuan Indonesia meningkatkan produktivitas daging melalui pengembangan teknologi masyarakat dan manajemen pemeliharaan ternak sapi dalam mengimbangi permintaan yang mengalami pertumbuhan yang jauh lebih cepat ( Yusdja dan Pasandaran dalam Winarso dan Basuno 2013).

Sumber produksi daging sapi nasional adalah: (1) sapi lokal, yaitu sapi potong, sapi perah jantan, dan sapi perah betina afkir, yang sebagian besar adalah sapi potong; dan (2) sapi bakalan (feeder steer) yang diimpor dari Australia dan digemukkan di Indonesia selama sekitar 100 hari. Daerah sentra sapi potong yang menjadi sumber ternak potong bagi daerah lain adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB dan NTT (Direktorat Pangan dan Pertanian/Bappenas 2013).

[image:31.612.121.512.415.536.2]

Perkembangan produksi daging sapi nasional selama 2008-2012 diperlihatkan pada Tabel 3. Produksi daging nasional meningkat terus selama kurun waktu tersebut dengan rata-rata 6,76 % /tahun (dari 392 500 ton pada tahun 2008 menjadi 505 477 ton pada tahun 2012). Perkembangan produksi nasional tersebut dipengaruhi oleh perkembangan produksi daging sapi ex sapi lokal dan ex sapi impor. Selama 2008-2012 produksi daging sapi lokal cenderung naik sangat cepat dengan rata-rata 19,50 % /tahun. Pada tahun 2009 produksi daging ex sapi lokal sempat turun menjadi 213 477 ton atau turun 4,12% dibanding tahun 2008. Penurunan produksi ini disebabkan oleh peningkatan produksi daging ex sapi impor sebesar 15,30%, yaitu dari 169 844 ton pada tahun 2008 menjadi 195 823 ton pada tahun 2009. Peningkatan produksi daging ex sapi impor tahun 2009 ini disebabkan oleh impor sapi bakalan dari Australia dalam jumlah besar. (Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas 2013)

Tabel 3 . Produksi Daging Sapi Nasional Tahun 2008-2012

Tahun Ex Sapi Lokal Ex Sapi Impor Jumlah(Ton)

Ton % Ton %

2008 222 656 56.73 169 844 43.27 392 500

2009 213 477 52.16 195 823 47.84 409 300

2010 349 967 80.18 86 485 19.82 436 452

2011 410 698 84.62 74 635 15.38 485 333

2012 425 495 84.18 79 982 15.82 505 477

Laju (%/th)

19.5 -24.71 6.76

Sumber : Direktorat Pangan dan Pertanian. Bappenaa (2013)

(32)

produksi daging ex sapi lokal meningkat lagi sehingga pangsanya menjadi 84,62%, sementara produksi daging ex sapi impor turun lagi menjadi hanya 15,38%.

Pada tahun 2012, produksi daging ex sapi lokal dan ex sapi impor sama-sama meningkat lagi, namun pangsa produksi daging ex sapi impor sedikit meningkat, sementara pangsa produksi daging ex sapi lokal sedikit menurun. Perlu dicacat bahwa peningkatan produksi daging ex sapi lokal yang sangat cepat bukan berarti suatu prestasi yang bagus. Peningkatan produksi daging ex sapi lokal yang sangat cepat sebagai akibat dari pembatasan impor sapi bakalan (dan juga pembatasan impor daging sapi) dapat mengancam populasi ternak sapi potong di Indonesia, jika peningkatan jumlah kelahiran hidup tidak sebanding dengan peningkatan jumlah pemotongannya.

Indikasi terjadinya pengurasan populasi ternak sapi potong antara lain adalah: 1) di daerah sentra sapi potong seperti NTT dan NTB makin sulit mendapatkan ternak sapi potong jantan dengan bobot hidup 300 kg atau lebih per ekor. Ternak sapi yang ada tinggal yang berukuran kecil dengan bobot sekitar 250 kg/ekor. Dengan menurunnya pasokan ternak sapi dengan bobot 300 kg atau lebih, maka untuk mendapatkan 1 ton daging diperlukan jumlah sapi lebih banyak. 2) meningkatnya pemotongan ternak sapi potong betina produktif, yang berarti pemusnahan (extinction) sumber daya ternak sapi potong.

Pemotongan sapi betina produktif berarti mengurangi jumlah ternak sapi yang lahir. Pemerintah tidak berdaya menghadapi masalah pemotongan ternak betina produktif ini. Oleh sebab itu, maka kebijakan pembatasan impor sapi bakalan dan impor daging sapi harus benar-benar memperhitungkan dua hal, yaitu: (1) kebutuhan riil daging sapi untuk konsumsi rumah tangga, rumah makan, hotel, catering, industri pengolahan, dan lain-lain; dan (2) jumlah kelahiran sapi dan jumlah sapi yang tersedia untuk dipotong. Kesalahan dalam menentukan kuota impor akan berdampak fatal, yaitu pengurasan ternak sapi potong lokal.

Bambang (2004) menyatakan bahwa berdasarkan pola dan sistem pemeliharaannya, klasifikasi usaha ternak sapi potong rakyat dapat dibedakan sebagai berikut :

a. Berbasis lahan (land-base)

Karakteristik dari pola ini adalah : 1) ternak dilepas di padang penggembalaan yang tidak digunakan untuk kegiatan pertanian, sumber pakan ternak berasal dari rumput yang tersedia di padang penggembalaan tersebut, 2) teknik pemeliharaan dilakukan secara tradisional tanpa sentuhan teknologi, 3) tidak mengutamakan aspek ekonomi lebih bersifat simbol/status sosial. Pola ini umumnya terdapat di wilayah yang tidak subur, sulit air, bertemperatur tinggi, dan jarang penduduk seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, sebagian wilayah Kalimantan dan sebagian Sulawesi.

b. Berbasis bukan lahan (non land-base).

(33)

Populasi sapi potong di Kabupaten Langkat pada tahun 2013 menurut data BPS Kabupaten Langkat (2014b) berjumlah 160 821 ekor dengan produksi daging sebesar 294 509 kg. Populasi ternak sapi potong dan produksi daging yang ada di Kabupaten Langkat lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah Populasi Sapi Potong dan Produksi Daging Sapi di Kabupaten Langkat Tahun 2013

Kecamatan Sapi Potong ( ekor ) Produksi Daging (Kg)

1. Bahorok 13 236 24 340

2. Serapit 3 303 6 040

3. Salapian 6 717 12 295

4. Kutambaru 4 412 8 077

5. Sei Bingai 5 825 10 663

6. Kuala 7 248 13 269

7. Selesai 10 950 20 044

8. Binjai 6 326 11 581

9. Stabat 6 733 12 331

10. Wampu 8 465 15 495

11. Batang Serangan 14 833 27 153

12. Sawit Seberang 11 030 20 190

13. Padang Tualang 9 345 17 107

14. Hinai 5 503 10 073

15. Secanggang 10 086 18 462

16. Tanjung Pura 3 986 7 297

17. Gebang 5 698 10 431

18. Babalan 2 157 3 949

19. Sei Lepan 5 823 10 660

20. Brandan Barat 3 398 6 220

21. Besitang 5 875 10 754

22. Pangkalan Susu 3 621 6 629

23. Pematang Jaya 6 251 11 443

Langkat 160 821 294 509

Tahun 2012 152 115 858 000

Tahun 2011 150 033 1 070 913 Tahun 2010 136 370 1 416 470 Sumber : BPS Kabupaten Langkat (2014b)

Menurut Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (2015), komitmen Pemerintah dalam melaksanakan integrasi sawit-sapi diwujudkan dalam bentuk kegiatan yang dianggarkan dalam APBN 2015 untuk peningkatan produksi daging sapi dengan kegiatan :

1. Bantuan langsung pakan sapi.

[image:33.612.129.512.168.503.2]
(34)

Konsep Integrasi Sawit-Sapi

Pengembangan usaha integrasi sawit dan ternak sapi didasarkan pada pemikiran pemanfaatan sumber daya pada suatu komoditas bagi pengembangan komoditas lain guna mendorong terciptanya interaksi saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Industri kelapa sawit baik perkebunan maupun industri pengolahan (CPO) menyediakan sumber pakan yang sangat potensial dalam pengembangan usaha peternakan sapi potong, dan sebaliknya limbah peternakan berupa feses bercampur sisa pakan akan menjadi sumber pupuk organik untuk perkebunan kelapa sawit. Usaha integrasi merupakan upaya tindak lanjut himbauan Menteri Negara BUMN (Dahlan Iskan) kepada BUMN Perkebunan agar dapat menjadi pelopor pengembangan usaha integrasi sawit sapi (Novra 2012). Beberapa perusahaan yang telah melaksanakan integrasi baik secara intensif maupun ekstensif adalah Perkebunan Nusantara (PTPN) I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, dan XIII. Lalu, PT Rajawali Nusantara Indonesia area Sumatera dan Kalimantan, Agricinal di Bengkulu Utara, Citra Borneo Indah, Medco Agro, dan Bumitama Guna Jaya Agro di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, dan Buana Karya Bakti di Kalimantan Selatan.

Usaha pengembangan integrasi sawit sapi potong menurut Novra (2012) memiliki tujuan ganda yaitu menyediakan ternak sapi siap potong melalui unit usaha penggemukan (fattening) dan ternak sapi bibit sebar melalui unit usaha pembibitan (breeding) serta beberapa tujuan lain, yaitu : a) memanfaatkan limbah perkebunan kelapa sawit terutama pelepah sawit sebagai sumber pakan ternak sapi potong, b) menyediakan pupuk organik padat berupa limbah usaha ternak sapi potong guna memenuhi kebutuhan pupuk tanaman kelapa sawit, c) memanfaatkan areal dan bangunan untuk pengembangan usaha produktif, d) menyediakan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar lokasi pengembangan usaha integrasi sawit sapi.

Perkebunan kelapa sawit banyak menuai kritik karena ketergantungan yang tinggi terhadap pupuk kimia sehingga kurang ramah lingkungan yang pada akhirnya turut memperburuk efek pemanasan global, terdapat pro dan kontra terhadap pernyataan tersebut. Program integrasi sawit-sapi dapat menurunkan ketergantungan terhadap pupuk kimia karena kotoran sapi dapat diolah menjadi pupuk organik baik padat maupun cair. Pada umumnya, rumput yang tumbuh di perkebunan dibasmi dengan herbisida, namun dengan adanya ternak sapi, rumput tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pakan yang murah dan juga memanfaatkan pelepah serta hasil samping dari pabrik kelapa sawit. Pelepah kelapa sawit selama ini hanya digunakan sebagai sumber bahan organik yang dibiarkan terdegradasi secara alami menjadi pupuk organik bagi kesuburan tanah. Pelepah merupakan pengganti hijauan rumput ataupun hijauan lainnya yang dapat digunakan sebagai bahan pakan, sementara komponen pengganti bahan pakan konsentrat dapat mengandalkan produk samping pabrik pengolahan kelapa sawit seperti bungkil sawit dan lumpur sawit. Bagi masyarakat sekitar, program ini juga mampu membantu meningkatkan pendapatan. Petani dapat membuat kandang sederhana di pinggir perkebunan sawit sehingga program sebagai solusi yang mudah, murah dan fungsional.

(35)

ketersediaan pakan sepanjang tahun sehingga dapat meningkatkan produksi ternak, disamping itu kotoran ternak sebagai sumber pupuk organik bagi perkebunan kelapa sawit, begitulah siklus terus terjadi sehingga menciptakan pertanian yang berkelanjutan. Pola integrasi ini diharapkan juga dapat meningkatkan pendapatan petani. Menurut Gabdo dan Ismail (2013) bahwa tingginya pendapatan petani dengan pola integrasi kelapa sawit dan ternak sapi menunjukkan besarnya potensi peningkatan kesejahteraan petani sawit. Penelitian yang dilakukan di Provinsi Bengkulu menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pendapatan sebesar 1.81 kali dibandingkan dengan pola perkebunan kelapa sawit saja dengan asumsi tiap keluarga memiiliki kebun seluas 3 ha dengan sapi minimal 3 ekor (Gunawan et al. 2004). Menurut Handaka et al. (2009) bahwa keuntungan sistem integrasi tanaman ternak adalah : 1) diversifikasi penggunaan sumber daya, 2) mengurangi resiko usaha, 3) efisiensi penggunaan tenaga kerja, 4) efisiensi penggunaan input produksi, 5) mengurangi ketergantungan energi kimia, 6) ramah lingkungan, 7) meningkatkan produksi dan 8) pendapatan rumah tangga petani yang berkelanjutan.

Ternak ruminansia berpotensi besar untuk mendukung upaya pengembangan perkebunan kelapa sawit yang pengelolaannya tidak terlepas dari faktor pemupukan dan perbaikan tektur tanah. Ternak bertindak sebagai bioindustri dan berperan ganda, yaitu pemroses limbah sawit dan pemberantas gulma, pemanfaatan limbah naungan tanah yang biasa digunakan pada saat tanaman muda ataupun pada lahan berkelerengan, tenaga kerja (penghela) dan dapat bertindak sebagai sumber penghasilan bagi petani kelapa sawit. Integrasi ternak dengan perkebunan kelapa sawit dapat menurunkan biaya produksi yang berkaitan dengan biaya pengadaan bahan kimiawi untuk pemberantasan tanaman pengganggu dan tenaga kerja. Alternatif pola pemeliharaan ternak secara ekstensif atau intensif tergantung pada jenis ternak serta disesuaikan sumber daya alam yang ada. Pembibitan ternak ditentukan oleh kapasitas tampung vegetasi lahan perkebunan. Usaha ini diharapkan berperan sebagai penyedia ternak bakalan dan mencukupi kebutuhan bibit. Untuk usaha ini tidak terlalu diperlukan pakan berkualitas tinggi tetapi untuk usaha penggemukan diperlukan laju pertumbuhan yang optimal diperlukan perlakuan khusus, terutama pemberian pakan tambahan dan pemeliharaan yang intensif (Wijono et al. 2003)

Pelaksanaan integrasi sawit-sapi merupakan hubungan yang saling menguntungkan (mutualism simbiotic). Keuntungan tersebut antara lain :

1. Ternak sapi menghasilkan kotoran yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Seekor sapi dengan berat hidup 350 kg menghasilkan 20-25 kg berat basah limbah padat (setara dengan 12.5 kg berat kering). Sementara produksi limbah cair adalah 10-11 liter per ekor per hari dengan effective collecting 5–7 per liter. Sistem integrasi sapi-sawit, feses dan urin sapi dapat memangkas biaya pemupukan sampai 40 %. Nilai keuntungan akan lebih didapatkan apabila dipadukan dengan pengolahan limbah menjadi biogas. Apabila keuntungan limbah tersebut diatur dalam suatu bentuk sistem, otomatis subsidi pupuk akan dirasakan oleh peternak sebagai sumber pendapatan.

(36)

dipastikan, petani plasma (kebun rakyat) di periode ini tidak mendapat penghasilan sampai pohon muda ini berbuah dan masuk masa produksi. Oleh sebab itu pilihan usaha integrasi sapi–sawit mampu jadi jalan keluar bagi petani, mengisi celah kurangnya pendapatan di masa paceklik tersebut. Kecambah kelapa sawit pada umumnya mulai produksi di umur 30 bulan (2,5 tahun) selama periode menunggu 30 bulan tersebut, produksi sawit otomatis berhenti dan petani tidak ada pendapatan dari kelapa sawit sama sekali. Pengembangan program integrasi sapi - sawit dapat menjadi salah satu solusi di masa replanting.

3. Bagi ternak sapi potong keberadaan perkebunan kelapa sawit sebagai tempat penggembalaan dan sumber pakan yang dapat memenuhi kebutuhan ternak. 4. Pelepah hasil pruning (pemangkasan) yang diletakkan di kebun lebih

bermanfaat apabila digunakan sebagi sumber pakan. Pruning atau pemangkasan dilakukan dengan tujuan untuk : a) memangkas pelepah yang sudah tidak produktif. b) mempermudah di dalam proses pemanenan serta pengutipan brondolan. c) mempertahankan jumlah pelepah setiap pokoknya minimal 56-64 pelepah. d) sanitasi (Menjaga kebersihan ) tanaman agar tidak diserang oleh hama dan penyakit.

[image:36.612.111.481.453.649.2]

Pemeliharaan sapi potong di Indonesia dilakukan secara ekstensif dan intensif. Pada umumnya sapi yang dipelihara secara intensif hampir sepanjang hari berada dalam kandang dan diberikan pakan berdasarkan kebutuhan sehingga cepat bertambah bobot badannya, sedangkan secara ekstensif sapi-sapi tersebut dilepaskan di padang penggembalaan dan digembalakan sepanjang hari mulai dari pagi hingga sore hari. Menurut Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara (2013), apabila ternak sapi potong dipelihara secara intensif dan menggunakan pelepah, bungkil serta solid maka setiap hektar lahan perkebunan dapat menampung 3.2 ST ternak sapi potong ( Tabel 5).

Tabel 5. Daya Tampung Ternak Sapi Potong/hektar Lahan Sawit Hasil Samping dan Limbah

Sawit

Perhitungan Jumlah

Pelepah dan daun sawit 23 helai x 130 pohon x 7 kg x 36 % BK

7 534.8 kg Bungkil inti sawit 22 ton TBS x 2,3% Bungkil

inti sawit x 93% BK

470.58 kg Lumpur sawit 22 ton TBS x 5% sludge x

24.08% BK

264.88 kg

Jumlah BK pakan 8 270 kg

Kebutuhan BK/ekor sapi 3.5% Bobot Badan Metabolik Asumsi berat seekor sapi lokal 200 kg

Kebutuhan BK/ekor/tahun 3.5 % x 200 kg x 365 hari 2 555 kg Jadi daya tampung kebun kelapa

sawit /hektar

8 270 / 2 555 3.2 ST

Sumber : Dinas Perkebunan (2013)

(37)

digembalakan dan mengkonsumsi hijauan di perkebunan kelapa sawit (ekstensif) maka 1 hektar lahan perkebunan dapat menampung 4.2 ST (Panggasa 2008).

Mathius et al. (2003) melalui penelitiannya menunjukan bahwa sapi bakalan yang diberi ransum dari bahan pelepah cincang, BIS dan solid dengan komposisi masing-masing satu bagian memberikan penambahan bobot badan sebesar 338 gr/ekor/ha. Penelitian pemberian ransum pada sapi potong dengan komposisi pelepah sawit 50% solid dan BIS masing-masing 18% serta dedak padi 4% mampu menambah bobot badan sebesar 0.58 kg/ekor/hari dengan tingkat konsumsi pakan 8.6 kg/hari.

Biaya pakan merupakan biaya variabel yang cukup mempengaruhi pendapatan petani peternak. Porsi terbesar pakan yaitu hijauan yang dapat berasal dari rumput, legume, dan limbah tanaman pangan seperti jerami dan lainnya, serta dari hasil samping kelapa sawit yaitu pelepah. Penggunakan hasil samping kelapa sawit dapat mengurangi biaya pakan dari petani peternak dengan adanya bantuan dari Pemerintah untuk pengadaan alat cacah (Chopper). Ruswendi et al. (2006) menyatakan bahwa implementasi dari integrasi sawit-sapi ini pernah dilaksanakan dengan menggunakan daun kelapa sawit sebesar 1.5 kg/ekor/hari dan solid sebanyak 1.3 kg/ekor/hari dapat meningkatkan bobot sapi Bali hampir mencapai dua kali lebih baik dibandingkan dengan sapi Bali yang hanya diberi pakan hijauan secukupnya. Perbandingannya adalah pertambahan bobot badan harian (PBBH) berturut-turut sebesar 0.267 dan 0.139 kg/ekor/hari.

Daya dukung suatu wilayah yang diperuntukkan bagi pengembangan ternak adalah kemampuan wilayah untuk menampung sejumlah populasi ternak secara optimal. Pemanfaatan lahan didasarkan pada : 1) lahan sebagai sumber pakan ternak, 2) semua jenis lahan cocok sebagai sumber pakan, 3) pemanfaatan lahan untuk Peternakan diartikan sebagai usaha penyerasian antara peruntukan lahan dengan sistem pertanian, dan 4) hubungan antara lahan dan ternak bersifat dinamis. Potensi pengembangan sapi potong di atas masih dapat ditingkatkan melalui inovasi teknologi, dan implementasi integrasi tanaman dan ternak (Crop Livestock System), yakni melalui optimalisasi pemanfaatan limbah usaha tani tanaman untuk pakan dan pemanfaatan kotoran ternak untuk pupuk tanaman ( Arfa’i 2009).

Sistem pertanian terpadu adalah suatu usaha dalam bidang pertanian dimana terjadi keterkaitan input-output antar komoditas pertanian, keterkaitan antar kegiatan produksi dengan pra-pasca produksi, serta antara kegiatan pertanian dengan kegiatan manufaktur dan jasa. Pengembangan usaha tani terpadu merupakan salah satu pendekatan dalam memanfaatkan keragaman sumber daya alam, dan apabila dikembangkan dengan tepat maka sistem usaha tani terpadu dapat menjadi pilar pembangunan pertanian modern dan berkelanjutan. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam sistem usaha tani berbeda (integrasi) adalah 1) sifat usaha tani, 2) sumber daya manusia, 3) skala usaha, 4) sarana dan prasarana, 5) kemitraan dan hubungan antar subsistem agribisnis (orientasi usaha), 6) kelestarian sumber daya dan lingkungan (Rusono1999; Sutanto 2004)

Sutanto (2004) men bahwa ciri-ciri pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah :

(38)

2. Mampu menghasilkan yang terbeli dengan kualitas gizi yang tinggi serta mampu menekan atau meminimalkan kandungan bahan-bahan pencemar kimia maupun bakteri yang membahayakan.

3. Tidak mengurangi dan merusak kesuburan tanah, tidak meningkatkan erosi dan menekan ketergantungan pada masyarakat sumber daya alam yang tidak terbarukan.

4. Mampu mendukung dan menopang kehidupan masyarakat pedesaan dengan meningkatkan kesempatan kerja, menyediakan penghidupan yang layak dan mantap bagi para petani.

5. Tidak membahayakan bagi kesehatan masyarakat yang bekerja atau hidup di lingkungan pertanian dan bagi yang mengkomsumsi hasil-hasil pertanian . 6. Melestarikan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup di lahan pertanian

dan pedesaan serta melestarikan sumber daya alam dan keragaman hayati. Beberapa contoh penerapan integrasi sawit-sapi misalnya integrasi pemeliharaan ternak sapi pada perkebunan kelapa sawit memberikan keuntungan baik pada usaha ternak maupun usaha kelapa sawit, sebagaimana yang telah dilaksanakan pada PT.Agricinal Bengkulu yang dikenal dengan Sistem Integrasi Sapi-Sawit Model Agricinal (SISKA). Pada sistem integrasi ini, ternak sapi digunakan sebagai penarik gerobak untuk mengangkut Tandan Buah Segar (TBS) dari lokasi pemanenan ke tempat penampungan sementara. Satu ekor sapi dapat menarik gerobak dengan daya angkut sampai 400 kg pada lahan yang permukaannya datar. Dampak positif yang dirasakan oleh pemanen dengan sistem ini adalah jumlah panenan meningkat sehingga produktivitas pemanen meningkat, yang ditandai dengan peningkatan pendapatan (Handayani 2009).

Peran ternak sapi selain sebagai penghasil tenaga kerja, juga dapat menghasilkan bahan organik untuk pembuatan pupuk dan sumber energi alternatif pada tingkat pemanen dalam bentuk biogas sementara bagi pihak perusahaan, keuntungan yang diperoleh adalah: 1) Biaya perawatan jalan menurun menjadi 40 persen, 2) Biaya pupuk menurun dengan ketersediaan pupuk organik asal sapi dan 3) Terbinanya calon usahawan di bidang peternakan (Manurung 2005). Selanjutnya dikemukakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan hijauan yang terbatas di areal perkebunan, digunakan cacahan pelepah sawit dan daun sebagai pengganti pakan hijuan, sementara sebagai pakan tambahan digunakan hasil samping pengolahan buah sawit yang dikenal dengan non oil solid atau biasa disebut solid. Dari hasil pengolahan sawit PT. Agricinal diperoleh solid paste, yang kandungan protein kasarnya lebih tinggi serta kadar serat kasarnya lebih rendah dari solid biasa. Pemanfaatan hasil samping tanaman dan pengolahan kelapa sawit berupa pelepah, solid dan bungkil kelapa sawit dengan imbangan 1:1:1 sebagai bahan dasar pakan sapi potong memberikan pertambahan bobot hidup harian yang terbaik serta harga ransum yang termurah untuk menghasilkan setiap kilogram pertambahan bobot hidup (Mathius et al. 2003).

(39)

juga dimanfaatkan untuk pupuk organik dan sumber energi biogas yang dapat mensuplai 20 kepala keluarga. Pada program ISSE, pakan untuk ternak sapi bersumber dari pelepah dan bungkil kelapa sawit. Pelepah kelapa sawit tersedia melimpah se

Gambar

Tabel 3 . Produksi Daging Sapi Nasional Tahun 2008-2012
Tabel 4. Jumlah Populasi Sapi Potong dan Produksi Daging Sapi di Kabupaten  Langkat Tahun 2013
Tabel 5. Daya Tampung Ternak Sapi Potong/hektar Lahan Sawit
Tabel 7. Matriks Tujuan, Jenis dan Sumber Data, Teknik Analisis dan Output
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemanfaatan Redistilat Asap Cair Cangkang Kelapa Sawit sebagai Bahan Pengawet Alami pada Bakso Sapi adalah benar karya

Sistem pemeliharaan yang dijalankan oleh peternak dengan pola integrasi sapi-sawit adalah sistem semi intensif dimana pada siang hari sapi ternak dilepas atau digembalakan

Sistem integrasi sawit-sapi yang berjalan dengan baik dapat memberikan banyak keuntungan antara lain: a) mendukung tercapainya program swasembada sapi, b) memberikan

Sistem pemeliharaan yang dijalankan oleh peternak dengan pola integrasi sapi-sawit adalah sistem semi intensif dimana pada siang hari sapi ternak dilepas atau digembalakan

S UHARTO. Pengalaman Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Sapi-Kelapa Sawit di Riau. Usaha Peternakan saat ini menghadapi berbagai masalah. Pengembangan usaha ternak

Kegiatan pengembangan peternakan pada wilayah-wilayah perkebunan kelapa sawit, diarahkan untuk membentuk sentra-sentra produksi bibit sapi, melalui kegiatan ini petani

Sapi Bali telah terbukti mampu beradaptasi dan berproduksi serta bereproduksi baik dalam pemeliharaan pada sistem integrasi Sapi – Sawit baik untuk penggemukan ataupun

Desa Korporasi Sapi mempunyai potensi yang cukup signifikan dalam melakukan pengembangan sapi potong – integrasi dengan perkebunan kelapa sawit untuk mencukupi pemenuhan kebutuhan