• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Dari analisa data yang dilakukan diperoleh hasil bahwa pemberian NAA dan BAP berpengaruh nyata terhadap parameter waktu inisiasi. Adapun interaksi antara NAA dan BAP berpengaruh nyata pada parameter jumlah akar dan waktu inisiasi tunas.

Parameter kuantitatif Persentase eksplan yang hidup (%)

Dari data pengamatan persentase eksplan yang hidup dapat dilihat pada Lampiran 4, dapat dilihat bahwa perlakuan konsentrasi NAA, BAP dan interaksi antara kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata pada parameter persentase eksplan yang hidup.

Rataan persentase eksplan yang hidup pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan persentase eksplan yang hidup (%) pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP

perlakuan B (BAP) perlakuan A (NAA)

A0 (kontrol) A1 (NAA 0.2 mg/l) A2 (NAA 0.4 mg/l) A3 (NAA 0.6 mg/l) Rataan B0 (kontrol) 75.00 75.00 100.00 100.00 87.50 B1(BAP 0.5 mg/l) 100.00 75.00 75.00 75.00 81.25 B2 (BAP 1 mg/l) 100.00 75.00 100.00 100.00 93.75 B3 (BAP 1.5 mg/l) 100.00 100.00 100.00 75.00 93.75 Rataan 93.75 81.25 93.75 87.50 89.06

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa pemberian konsentrasi NAA dan BAP yang tidak berbeda nyata pada semua perlakuan, persentase eksplan yang hidup tertinggi

pada perlakuan NAA terdapat pada perlakuan A0 dan A2 yaitu sebesar 93.75% dan terendah pada perlakuan A1 yaitu sebesar 81.25%. Pada pemberian konsentrasi BAP, persentase eksplan yang hidup tertinggi terdapat pada perlakuan B2 dan B3 yaitu sebesar 93.75 dan terendah pada B1 yaitu sebesar 81.25%.

Persentase kontaminasi (%)

Dari data pengamatan persentase kontaminasi dapat dilihat pada Lampiran 5, dapat dilihat bahwa perlakuan konsentrasi NAA, BAP dan interaksi antara kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata pada parameter persentase kontaminasi.

Rataan persentase kontaminasi pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan persentase kontaminasi (%) pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP

perlakuan B (BAP) perlakuan A (NAA)

A0 (kontrol) A1 (NAA 0.2 mg/l) A2 (NAA 0.4 mg/l) A3 (NAA 0.6 mg/l) Rataan B0 (kontrol) 25.00 25.00 0.00 0.00 12.50 B1(BAP0.5 mg/l) 0.00 25.00 25.00 25.00 18.75 B2 (BAP 1 mg/l) 0.00 25.00 0.00 0.00 6.25 B3 (BAP 1.5 mg/l) 0.00 0.00 0.00 25.00 6.25 Rataan 6.25 18.75 6.25 12.50 10.94

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa pemberian konsentrasi NAA dan BAP yang tidak berbeda nyata pada semua perlakuan, persentase kontaminasi tertinggi pada perlakuan NAA terdapat pada perlakuan A1 yaitu sebesar 18.75% dan terendah pada perlakuan A0 dan A2 yaitu sebesar 6.25%. Pada pemberian konsentrasi BAP, persentase kontaminasi tertinggi terdapat pada perlakuan B1 yaitu sebesar 18.75 dan terendah pada B2 dan B3 yaitu sebesar 6.25%.

Persentase eksplan membentuk tunas

Dari data pengamatan persentase eksplan membentuk tunas dapat dilihat pada Lampiran 6, dapat dilihat bahwa perlakuan konsentrasi NAA, BAP dan interaksi antara kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata pada parameter persentase eksplan membentuk tunas.

Rataan persentase eksplan membentuk tunas pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan persentase eksplan membentuk tunas (%) pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP

perlakuan B (BAP)

perlakuan A(NAA) Rataan

A0 (kontrol) A1 (NAA 0.2 mg/l) A2 (NAA 0.4 mg/l) A3 (NAA 0.6 mg/l) B0 (kontrol) 75.00 75.00 100.00 75.00 81.25 B1(BAP0.5 mg/l) 100.00 75.00 75.00 75.00 81.25 B2 (BAP 1 mg/l) 100.00 75.00 100.00 100.00 93.75 B3 (BAP 1.5 mg/l) 100.00 100.00 100.00 75.00 93.75 B0 (kontrol) 93.75 81.25 93.75 81.25 87.50

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa pemberian konsentrasi NAA dan BAP yang tidak berbeda nyata pada semua perlakuan, persentase eksplan membentuk tunas tertinggi pada perlakuan NAA terdapat pada perlakuan A0 dan A2 yaitu sebesar 93.75%

Gambar 2 : a. kontaminasi diamati secara visual b. kontaminasi diamati secara mikroskopik

dan terendah pada perlakuan A1 dan A3 yaitu sebesar 81.25%. Pada pemberian BAP, eksplan membentuk tunas tertinggi pada perlakuan B2 dan B3 yaitu sebesar 93.75%. dan terendah pada B0 dan B1 yaitu sebesar 81.25%.

Jumlah tunas (buah)

Dari data pengamatan jumlah tunas dapat dilihat pada Lampiran 7, dapat dilihat bahwa perlakuan konsentrasi NAA, BAP dan interaksi antara kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata pada parameter jumlah tunas.

Rataan jumlah tunas pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan jumlah tunas (buah) pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP 1)

perlakuan B (BAP) perlakuan A (NAA)

A0 (kontrol) A1 (NAA 0.2 mg/l) A2 (NAA 0.4 mg/l) A3 (NAA 0.6 mg/l) Rataan B0 (kontrol) 0.75 1.25 1.50 1.75 1.31 B1(BAP0.5 mg/l) 1.00 1.50 1.25 1.50 1.31 B2 (BAP 1 mg/l) 1.00 1.00 1.00 1.50 1.13 B3 (BAP 1.5 mg/l) 1.50 1.25 1.75 1.25 1.44 Rataan 1.06 1.25 1.38 1.50 1.30

Ket: 1) analisis menggunakan data hasil transformasi (x+0.5)1/2

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pemberian konsentrasi NAA dan BAP yang tidak berbeda nyata pada semua perlakuan, jumlah tunas terbanyak pada perlakuan NAA adalah terdapat pada perlakuan A3 yaitu sebesar 1.50 buah dan terendah pada perlakuan A0 yaitu sebesar 1.06 buah. Pada perlakuan BAP jumlah tunas teringgi terdapat pada B3 yaitu sebesar 1.44 buah dan terendah terdapat pada B2 yaitu sebesar 1.13 buah.

Tinggi tunas (cm)

Dari data pengamatan tinggi tunas (cm) dapat dilihat pada Lampiran 8, dapat dilihat bahwa perlakuan konsentrasi NAA, BAP dan interaksi antara kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata pada parameter tinggi tunas (cm).

Rataan tinggi tunas pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan tinggi tunas (cm) pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP 1) perlakuan B (BAP) perlakuan A (NAA)

A0 (kontrol) A1 (NAA 0.2 mg/l) A2 (NAA 0.4 mg/l) A3 (NAA 0.6 mg/l) Rataan B0 (kontrol) 3.23 4.15 5.78 4.65 4.45 B1(BAP0.5 mg/l) 4.50 4.28 4.33 5.18 4.57 B2 (BAP 1 mg/l) 5.23 4.48 5.93 7.20 5.71 B3 (BAP 1.5mg/l) 6.10 6.58 6.28 5.65 6.15 Rataan 4.76 4.87 5.58 5.67 5.22

Ket: 1) analisis menggunakan data hasil transformasi (x+0.5)1/2

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa pemberian konsentrasi NAA dan BAP yang tidak berbeda nyata pada semua perlakuan, tunas tertinggi pada perlakuan NAA adalah terdapat pada perlakuan A3 yaitu sebesar 5.67 cm dan terendah pada perlakuan A0 yaitu sebesar 4.76 cm. Pada perlakuan BAP tinggi tunas tertinggi terdapat pada B3 yaitu sebesar 6.15 cm dan terendah pada B0 yaitu sebesar 4.45 cm. Jumlah akar

Dari data pengamatan jumlah akar dapat dilihat pada Lampiran 9, dapat dilihat bahwa perlakuan konsentrasi NAA dan BAP tidak berpengaruh nyata dan interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh nyata pada parameter jumlah akar.

Rataan jumlah akar pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan jumlah akar (buah) pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP1)

perlakuan B (BAP) perlakuan A (NAA) A0 (kontrol) A1 (NAA 0.2 mg/l) A2 (NAA 0.4 mg/l) A3 (NAA 0.6 mg/l) Rataan2) B0 (kontrol) 2.50de 1.75ef 5.00b 1.75ef 2.75 B1(BAP0.5 mg/l) 4.50c 2.00ef 1.25f 2.50de 2.56 B2 (BAP 1 mg/l) 1.75ef 2.25ef 5.25b 3.50cd 3.19 B3 (BAP 1.5mg/l) 2.75d 8.00a 1.25f 5.50b 4.38

Rataan 2.88 3.50 3.19 3.31 3.22

Ket: 1) analisis menggunakan data hasil transformasi (x+0.5)1/2

2)angka-angka yang diikuti huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh nyata pada uji BNJ pada taraf

kepercayaan 5% pada kolom yang sama

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa pemberian konsentrasi NAA dan BAP yang tidak berbeda nyata pada pada parameter jumlah akar, tetapi interaksi antara NAA dan BAP berpengaruh nyata pada parameter ini. Jumlah akar terbanyak yaitu terdapat pada kombinasi perlakuan A1B3 yaitu sebesar 8.00 buah dan terendah pada perlakuan A2B3 dan A2B1 yaitu sebesar 1.25 buah.

Panjang akar (cm)

Dari data pengamatan panjang akar dapat dilihat pada Lampiran 10, dapat dilihat bahwa perlakuan konsentrasi NAA, BAP dan interaksi antara kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata pada parameter panjang akar.

Rataan panjang akar pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan panjang akar (cm) pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP1)

perlakuan B(BAP) perlakuan A(NAA)

A0 (kontrol) A1 (NAA 0.2 mg/l) A2 (NAA 0.4 mg/l) A3 (NAA 0.6 mg/l) Rataan B0 (kontrol) 1.30 0.88 2.05 0.73 1.24 B1(BAP0.5 mg/l) 1.60 1.38 1.08 1.13 1.29 B2 (BAP 1 mg/l) 1.65 1.10 1.40 1.33 1.19 B3 (BAP 1.5 mg/l) 1.00 2.03 1.13 1.15 1.33 Rataan 1.21 1.34 1.41 1.04 1.26

Ket: 1) analisis menggunakan data hasil transformasi (x+0.5)1/2

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa pemberian konsentrasi NAA dan BAP yang tidak berbeda nyata pada semua perlakuan, panjang akar tertinggi pada perlakuan NAA adalah terdapat pada perlakuan A2 yaitu sebesar 1.41 cm dan terendah pada perlakuan A2 yaitu sebesar 1.04 cm. Pada perlakuan BAP panjang akar tertinggi terdapat pada B0 yaitu sebesar 1.41 cm dan terendah pada B2 yaitu sebesar 1.04 cm. Jumlah daun

Dari data pengamatan jumlah daun dapat dilihat pada Lampiran 11, dapat dilihat bahwa perlakuan konsentrasi NAA, BAP dan interaksi antara kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap parameter jumlah daun.

Rataan persentase jumlah daun pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan jumlah daun (helai) pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP 1) perlakuan

B(BAP) perlakuan A(NAA)

A0 (kontrol) A1 (NAA 0.2 mg/l) A2 (NAA 0.4 mg/l) A3 (NAA 0.6 mg/l) Rataan B0 (kontrol) 4.75 5.00 7.50 5.25 5.63 B1(BAP0.5 mg/l) 6.00 5.00 5.50 5.75 5.56 B2 (BAP 1 mg/l) 6.50 4.50 7.25 7.75 6.50 B3 (BAP 1.5mg/l) 7.50 7.75 6.75 6.50 7.13 Rataan 6.19 5.56 6.75 6.31 6.20

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa pemberian konsentrasi NAA dan BAP yang tidak berbeda nyata pada semua perlakuan, jumlah daun terbanyak pada perlakuan NAA adalah terdapat pada perlakuan A2 yaitu sebesar 6.75 buah dan terendah pada perlakuan A1 yaitu sebesar 5.56 buah. Pada perlakuan BAP jumlah daun tertinggi terdapat pada B3 yaitu sebesar 7.13 buah dan terendah pada B1 yaitu sebesar 5.56 buah.

Jumlah buku

Dari data pengamatan jumlah buku dapat dilihat pada Lampiran 12, dapat dilihat bahwa perlakuan konsentrasi NAA, BAP dan interaksi antara kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata pada parameter jumlah buku.

Rataan jumlah buku pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Rataan jumlah buku (buah) pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP 1)

perlakuan B(BAP) perlakuan A(NAA)

A0 (kontrol) A1 (NAA 0.2 mg/l) A2 (NAA 0.4 mg/l) A3 (NAA 0.6 mg/l) Rataan B0 (kontrol) 2.50 2.50 4.50 2.75 3.06 B1(BAP0.5 mg/l) 3.50 2.50 2.50 3.25 2.94 B2 (BAP 1 mg/l) 4.00 2.75 4.50 4.25 3.88 B3 (BAP 1.5mg/l) 3.75 4.00 3.75 3.50 3.75 Rataan 3.44 2.94 3.81 3.44 3.41

Ket: 1) analisis menggunakan data hasil transformasi (x+0.5)1/2

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa pemberian konsentrasi NAA dan BAP yang tidak berbeda nyata pada semua perlakuan, jumlah buku terbanyak pada perlakuan NAA adalah terdapat pada perlakuan A2 yaitu sebesar 3.81 buah dan terendah pada perlakuan A1 yaitu sebesar 2.94 buah. Pada perlakuan BAP jumlah daun tertinggi

terdapat pada B2 yaitu sebesar 3.88 buah dan terendah pada B1 yaitu sebesar 2.94 buah.

Waktu inisiasi tunas (hari)

Dari data pengamatan waktu inisiasi tunas dapat dilihat pada Lampiran 13 dan sidik ragam Lampiran 14, dapat dilihat bahwa perlakuan konsentrasi BAP dan NAA, interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh nyata pada parameter waktu inisiasi tunas.

Rataan waktu inisiasi tunas pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Rataan waktu inisiasi tunas (hari) pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP 1)

perlakuan B (BAP) perlakuan A (NAA) A0 (kontrol) A1 (NAA 0.2 mg/l) A2 (NAA 0.4 mg/l) A3 (NAA 0.6 mg/l) Rataan2) B0 (kontrol) 12.25a 10.25f 10.75d 9.00h 10.56a B1(BAP 0.5 mg/l) 12.00b 10.50e 10.25f 8.00i 10.19b B2 (BAP 1 mg/l) 11.00c 10.50e 9.75g 7.75j 9.75c B3 (BAP 1.5 mg/l) 10.25f 10.50e 9.75g 7.50k 9.50d Rataan 11.38a 10.44b 10.13c 8.06d 10.00

Ket: 1) analisis menggunakan data hasil transformasi (x+0.5)1/2

2)angka-angka yang diikuti huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh nyata pada uji BNJ pada taraf

kepercayaan 5% pada kolom atau baris yang sama

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa pemberian konsentrasi NAA dan BAP yang berbeda nyata pada semua perlakuan, waktu inisiasi tunas pada perlakuan NAA adalah terdapat pada perlakuan A3 yaitu sebesar 8.06 hari dan terlama pada perlakuan A0 yaitu sebesar 11.38 hari. Pada perlakuan BAP waktu inisiasi tercepat terdapat pada B3 yaitu sebesar 9.50 hari dan terlama pada B0 yaitu sebesar 10.56 hari.

Kombinasi perlakuan yang tercepat untuk parameter waktu inisiasi tunas yaitu A3B3 yaitu sebesar 7.50 hari dan terlama pada A0B0 yaitu sebesar 12.25 hari.

Parameter kuantitatif Kemunculan kalus dan tunas adventif

Dari pengamatan yang dilakukan secara visual diperoleh hasil bahwa adanya kemunculan kalus pada penelitian yang dilakukan yaitu hampir di semua kombinasi perlakuan kecuali pada kombinasi perlakuan A0B0 (kontrol), A0B1(NAA 0 + BAP 0.5mg/l), A0B3 (NAA 0 + BAP 1.5mg/l) dan A1B3 (NAA 0.2 mg/l + BAP 1.5 mg/l). Pengamatan visual kemunculan kalus pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. a. Tanpa kalus, b. Ada kalus

Pada beberapa kombinasi perlakuan, dari kalus yang terbentuk ada yang menumbuhkan tunas adventif dan ada yang tidak, dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Kemunculan kalus dan tunas adventif

Ket : - (tidak terbentuk kalus) + (terbentuk kalus)

++ (kalus dan tunas adventif) Warna kalus

Dari pengamatan visual yang dilakukan diperoleh hasil bahwa warna kalus pada awal proses inisiasi yaitu berwarna putih atau putih kehijauan namun lama kelamaan warna berubah menjadi kecoklatan (Gambar 2).

Perlakuan Ulangan I II III IV A0B0 - - - - A0B1 - - - - A0B2 ++ ++ ++ ++ A0B3 - - - - A1B0 - - ++ ++ A1B1 - ++ - - A1B2 ++ ++ ++ - A1B3 - - - - A2B0 ++ ++ ++ ++ A2B1 ++ ++ ++ - A2B2 ++ ++ ++ ++ A2B3 ++ ++ ++ ++ A3B0 + ++ ++ ++ A3B1 - ++ ++ ++ A3B2 ++ ++ ++ ++ A3B3 ++ ++ - ++

Gambar 4. Kiri: warna tunas yang belum mengalami perubahan warna, kanan: kalus sudah mengalami perubahan warna

Pengamatan visual warna kalus pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Warna kalus

Perlakuan

Ulangan

I II III IV

A0B0 - - - -

A0B1 - - - -

A0B2 Putih Putih Putih Putih

A0B3 putih kehijauan putih kehijauan tidak ada putih kehijauan

A1B0 - - Putih Putih

A1B1 - Putih - -

A1B2 Putih putih kehijauan putih kehijauan -

A1B3 - - - -

A2B0 Putih Putih Putih Putih

A2B1 Putih Putih Putih -

A2B2 Putih Putih Putih Putih

A2B3 putih kehijauan putih kehijauan putih kehijauan putih kehijauan

A3B0 Putih Putih Putih Putih

A3B1 - Putih Putih Putih

A3B2 putih kehijauan putih kehijauan putih kehijauan putih kehijauan A3B3 putih kehijauan putih kehijauan - putih kehijauan

Tekstur kalus

Dari pengamatan visual yang dilakukan diperoleh hasil bahwa tekstur kalus adalah remah pada perlakuan sitokinin yang rendah (B0 dan B1) dan kompak pada perlakuan sitokinin yang tinggi (B2 dan B3) (Gambar 3) .

Gambar 5. Kiri: tekstur padat, kanan: tekstur remah

Pengamatan visual tekstur kalus pada pemberian konsentrasi NAA dan BAP dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 13. Tekstur kalus

Perlakuan

Ulangan

I II III IV

A0B0 - - - -

A0B1 - - - -

A0B2 Remah Remah Remah Remah

A0B3 Padat Padat Padat Padat

A1B0 - - Remah Remah

A1B1 - Remah - -

A1B2 Padat Padat Padat -

A1B3 - - - -

A2B0 Remah Remah Remah Remah

A2B1 Remah Remah Remah -

A2B2 Remah Remah Remah Remah

A2B3 Padat Padat Padat Padat

A3B0 Remah Remah Remah Remah

A3B1 - Remah Remah Remah

A3B2 Padat Padat Padat Padat

Pembahasan

Dari hasil analisis data yang dilakukan bahwa pemberian BAP dan NAA berpengaruh nyata pada parameter waktu inisiasi. Dapat dilihat pada Tabel 9 bahwa waktu inisiasi tunas tercepat pada perlakuan NAA adalah terdapat pada perlakuan A3 yaitu sebesar 7.50 hari dan terlama pada perlakuan A0 yaitu sebesar 12.25 hari. Pada perlakuan BAP waktu inisiasi tercepat terdapat pada B3 yaitu sebesar 9.50 hari dan terlama pada B0 yaitu sebesar 10.56 hari. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian NAA dan BAP berpengaruh positif terhadap percepatan munculnya tunas adventif pada eksplan, ini diduga karena penggunaan konsentrasi yang tepat pada NAA dan BAP sehingga memacu percepatan waktu inisiasi tunas. Hal ini sesuai dengan literatur Lestari (2011) yang menyatakan bahwa dalam proses pembentukanorgan seperti tunas atau akar ada interaksi antarazat pengatur tumbuh eksogen yang ditambahkan kedalam media dengan zat pengatur tumbuh endogenyang diproduksi oleh jaringan tanaman.Penambahan auksin atau sitokinin ke dalam mediakultur dapat meningkatkan konsentrasi zat pengaturtumbuh endogen di dalam sel, sehingga menjadi “faktorpemicu” dalam proses tumbuh dan perkembanganjaringan. Untuk memacu pembentukan tunas dapat dilakukan dengan memanipulasi dosisauksin dan sitokinineksogen.

Dari hasil analisis data yang dilakukan diperoleh hasil adanya interaksi antara BAP dan NAA yang berpengaruh nyata pada parameter jumlah akar. Dapat dilihat pada Tabel 6 bahwa jumlah akar terbanyak terdapat pada perlakuan A1B3 (0.2 mg/l NAA+1.5 mg/l BAP) yaitu sebanyak 8.00 buah akar. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi antara auksin dan sitokinin ini sudah mencapai taraf keseimbangan dalam

pembentukkan akar. Wattimena, dkk (1992) menyatakan bahwa di dalam kultur jaringan morfogenesis dari eksplan selalu tergantung dari interaksi antara auksin dan sitokinin. Dan dilihat dari kombinasi yang ada bahwa kebutuhan terhadap auksin eksogen adalah pada taraf yang rendah, ini diduga karena eksplan yang merupakan tunas yang sedang berkembang dapat memproduksi auksin yang cukup untuk memacu perakaran. Hal ini sesuai dengan literatur Evans, dkk (1986) yang dikutip oleh Sobardini, dkk (2006) yang menyatakan bahwa tunas yang sedang berkembang dapat memproduksi auksin dalam jumlah yang cukup untuk perakaran maka penambahan auksin eksogen tidak diperlukan. Ini dapat dilihat dari kombinasi yang tanpa pemberian NAA (A0B0) eksplan dapat menginisiasi pertumbuhan akar.

Dari pengamatan yang dilakukan secara visual di peroleh hasil bahwa tidak terlihat adanya kemunculan kalus (Gambar 2) pada kombinasi perlakuan (A0B0) dan (A0B1). Hal ini diduga karena pada kedua kombinasi perlakuan ini tidak digunakan zat pengatur tumbuh (A0B0) dan kombinasi perlakuan juga sangat rendah (A0B1). Diketahui bahwa kemunculan kalus dipengaruh oleh zat pengatur tumbuh salah satunya adalah auksin. Hal ini sesuai dengan literatur Pierik (1987) yang menyatakan bahwa pada umumnya auksin digunakan untuk menginduksi pembentukan kalus.

Dari hasil pengamatan yang dilakukan secara visual di peroleh hasil bahwa terjadi perubahan warna kalus dari putih kehijauan menjadi coklat (Gambar 3). Hal ini diduga oleh adanya perubahan yang terjadi pada senyawa fenol dalam jaringan dan pendewasaan yang terjadi oleh jaringan tersebut. Ini sesuai dengan literatur Trimulyono,dkk (2004) yang menyatakan bahwa kalus setelah berumur 15-17 hari mengalamiperubahan warna menjadi kuning bening dengantekstur yang masih sama.

Kalus menjadi berwarnakuning kecoklatan setelah berumur 28-30 hari, halini karena terbentuknya senyawafenol dari jaringan dan semakin dewasanya umurkalus.

Dari hasil pengamatan yang dilakukan secara visual di peroleh hasil bahwa tekstur kalus remah terdapat pada perlakuan sitokinin yang rendah dan padat pada perlakuan sitokinin yang tinggi (Gambar 4). Hal ini diduga karena adanya proses morfogenesis dari sel tanaman dan interaksi zat pengatur tumbuh. Hal ini sesuai dengan literatur Wattimena (1992) yang menyatakan bahwa pada kultur jaringan, morfogenesis darieksplan selalu tergantung dari interaksi dari auksindan sitokinin. Kadir (2008) menyatakan bahwa kualitas kalus dapat dilihat dari penampakan tekstur kalus dan warna kalus. Pertumbuhan kalus yang baik ditunjukkan oleh struktur kalus yang remah dan berwarna putih. Hal tersebut mengindikasikan proliferasi kalus menghendaki 2,4D dan BA dalam konsentrasi yang rendah atau tanpa pemberian BA. Penggunaan BA dalam konsentrasi yang tinggi kulitas kalus yang dapat dilihat dari struktur dan warna kalus yaitu kompak dan berwarna putih kehijauan. Ini menunjukkan adanya diferensiasi dari kalus tersebut. Sriyanti dan Wijayani (1994) menyatakan bahwa zat pengatur tumbuh sangat diperlukan sebagaikomponen media bagi pertumbuhan dan diferensiasikalus.

KESIMPULAN

1. Pemberian NAA dan BAP tidak berpengaruh nyata terhadap parameter persentase eksplan yang hidup, persentase kontaminasi, persentase eksplan membentuk tunas, tinggi tunas, panjang akar, jumlah daun, dan jumlah buku 2. Pemberian NAA dan BAP berpengaruh nyata pada parameter waktu inisiasi

dan jumlah akar dengan waktu inisiasi tercepat yaitu sebesar 7.50 hari pada 0.6 mg/l NAA dan 1.5mg/l BAP dan jumlah akar terbanyak yaitu 8 buah pada konsentrasi 0.2 mg/l NAA dan 1.5 mg/l BAP.

3. Media yang terbaik untuk perbanyakan akar yaitu pada 0.2 mg/l NAA dan 1.5 mg/l BAP tapi media yang terbaik untuk induksi tunas belum diperoleh.

SARAN

Sebaiknya penelitian lanjutan yang akan dilakukan menggunakan kadar konsentrasi yang berbeda untuk melihat pengaruh dari zat pengatur tumbuh tersebut.

Dokumen terkait